Anjuran Mencuci tangan Dalam Islam

Anjuran Mencuci tangan Dalam Islam 

Islam adalah agama yang membawa maslahah dan mencegah mudharat bagi manusia. Diantara bentuknya, Islam mengajarkan pola hidup bersih dan tampil indah. Contohnya, ada beberapa waktu yang dianjurkan untuk mencuci tangan ketika itu. Siapa yang melakukan cuci tangan dalam rangka memenuhi anjuran ini, ia mendapatkan pahala.

Berikut ini beberapa tempat yang disunnahkan untuk cuci tangan

1. Ketika berwudhu
Disebutkan dalam hadits Humran bin Aban rahimahullah tentang cara wudhu Utsman bin Affan radhiallahu’anhu :

فغسل كَفَّيْهِ ثلاثَ مراتٍ

“.. kemudian beliau membasuh kedua tangannya 3 kali”

Yang di akhir hadits, Utsman bin Affan mengatakan:

رأيتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم توضأ نحوَ وُضوئي هذا

Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu seperti wudhuku ini” (HR. Bukhari no.1934, Muslim no.226).

Mencuci kedua tangan ketika wudhu hukumnya sunnah, tidak sampai wajib. Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mughni mengatakan:

وليس ذلك بواجب عند غير القيام من النوم بغير خلاف نعلمه

Tidak mencuci tangan yang wajib kecuali ketika bangun tidur, hal ini tidak ada khilaf ulama yang kami ketahui“.

2. Ketika bangun tidur
Ketika bangun tidur disyariatkan untuk mencuci tangan sebelum memasukkan tangan ke dalam bejana atau melakukan aktifitas lainnya. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

إذا استيقظ أحدُكم من نومِهِ، فلا يَغْمِسْ يدَه في الإناءِ حتى يغسلَها ثلاثًا . فإنه لا يَدْرِي أين باتت يدُه

Jika salah seorang di antara kalian bangun dari tidurnya, maka jangan mencelupkan tangannya ke dalam bejana sebelum ia mencucinya tiga kali. Karena ia tidak mengetahui dimana letak tangannya semalam” (HR. Bukhari no. 162, Muslim no. 278).

Ulama berbeda pendapat apakah larangan mencelupkan tangan ke dalam bejana (semua tempat yang menyimpan air) di dalam hadits ini apakah makruh ataukah haram. Ulama Hanabilah berpendapat hukumnya haram dan mencuci tangan hukumnya wajib. Namun jumhur ulama berpendapat hukumnya makruh dan mencuci tangan hukumnya mustahab (sunnah).

3. Ketika sebelum makan
Dalam hadits dari Aisyah radhiallahu’anha, beliau berkata:

كانَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللهُ علَيهِ وسلَّمَ إذا أرادَ أن ينامَ ، وَهوَ جنبٌ ، تَوضَّأَ . وإذا أرادَ أن يأْكلَ ، أو يشربَ . قالت : غسلَ يدَيهِ ، ثمَّ يأكلُ أو يشربُ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika beliau ingin tidur dalam keadaan junub, beliau berwudhu dahulu. Dan ketika beliau ingin makan atau minum beliau mencuci kedua tangannya, baru setelah itu beliau makan atau minum” (HR. Abu Daud no.222, An Nasa’i no.257, dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa’i).

Ibnu Qudamah dalam Al Mughni mengatakan:

يستحب غسل اليدين قبل الطعام وبعده, وإن كان على وضوء

Dianjurkan mencuci tangan sebelum makan dan setelah makan, walaupun dalam keadaan punya wudhu“.

4. Ketika setelah makan
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, ia berkata:

أكل كتفَ شاةٍ فمضمضَ وغسل يديهِ وصلَّى

Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memakan daging bahu kambing, kemudian beliau berkumur-kumur, mencuci kedua tangannya, baru setelah itu shalat” (HR. Ibnu Majah no. 405, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah).

5. Ketika tangan kotor
Secara umum ketika ada kotoran pada tubuh kita atau pakaian kita, hendaknya berusaha membersihkannya agar tampil bersih dan bagus. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الجَمالَ

Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan” (HR. Muslim no.91).

Terlebih jika tangan yang kotor bisa mengganggu orang lain. Dari Abu Musa radhiallahu’anhu, ia berkata:

قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْإِسْلَامِ أَفْضَلُ قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

Para sahabat bertanya: ‘Wahai Rasulullah, amalan Islam manakah yang paling utama?’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Yaitu orang yang kaum Muslimin selamat dari gangguan lisan dan tangannya”” (HR. Bukhari no.10, Muslim no.57).

Semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Mengapa Hati Dilanda Gundah

Mengapa Hati Dilanda Gundah 

Idealnya seorang mukmin selalu bahagia dan jauh dari rasa gundah meskipun sejatinya kehidupannya penuh dengan masalah. Dengan modal dasar keimanan yang kuat yang dibangun di atas ilmu dan diaplikasikan dengan amal shalih niscaya hidupnya akan damai jauh dari perasaan gelisah, sedih berlebihan, resah memikirkan dunia yang tak seindah harapannya atau resah memikirkan kenikmatan yang Allah Ta’ala berikan pada orang lain.

Mukmin yang yakin dengan kehidupan akhirat, isi hatinya akan tenang dan ibadahnya akan fokus karena yang dia kejar adalah kemuliaan akhirat atau surga dan dengan pahamnya dia bahwa dunia adalah ujian akan membuatnya tidak galau ketika ia menjumpai perkara-perkara yang tidak disukainya.

Dahulu ulama salaf berkata:

مَا دَخَلَ هَمُّ الدَّيْنِ قَلْبًا إِلَّا اذْهَبْ من الْعقل مَالا يَعُودُ إِلَيْهِ

Tidaklah jiwa seseorang dirundung oleh rasa gundah karena memikirkan piutang yang tidak kuasa ia bayar melainkan perasaan itu menjadikannya tidak kuasa untuk berpikir dengan jernih.” (Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-Asqalani, 11/174)

Masalah hutang seringkali memicu hati gelisah, susah tidur, makan serasa tak enak dan jika tidak terbayar akan dituntut di akhirat. Karena hutang, hati tidak tenang saat berjumpa dengan si penghutang, ketika ditagih hati tidak nyaman apalagi saat belum ada uang untuk membayarnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ

Jiwa seorang mukmin itu tergantung kepada hutangnya hingga dibayarkan hutangnya.” (HR. Ahmad, 11/440 dan di-shahih-kan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir no. 6779)

Jiwa akan damai ketika hidup terbebas dari hutang, meskipun kehidupannya serba sederhana. Berbeda dengan orang yang sekilas kehidupannya bahagia dan mewah namun sebenarnya hatinya gundah karena harus memikirkan setoran, terlebih lagi jika sistemnya riba.

Selain prahara hutang, ada lagi masalah yang membuat kepala pusing dan hati penuh penyakit lantaran hal ini sangat membebani hati, yaitu penyakit hasad. Sebagian ulama mengatakan:

اطول الناس هما الحسود و اهنئهم عيشا القنوع

Orang yang paling banyak di rundung rasa gundah adalah orang yang paling besar rasa hasadnya dan orang yang paling bahagia kehidupannya adalah orang yang paling besar rasa qona’ahnya.” (Majmu’ Rasa`il oleh Ibnu Rajab 1/67)

Saat hati dihinggapi hasad atau iri hati kepada orang lain maka hatinya akan merana sedih, membenci orang lain karena kelebihan yang Allah Ta’ala berikan kepadanya. Penyakit hasad hanya akan menyiksanya bahkan bisa memicu permusuhan dengan orang lain. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللّٰهُ بِهٖ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ ۗ لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوْا ۗ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ ۗوَسْـَٔلُوا اللّٰهَ مِنْ فَضْلِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا

Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisa`: 32)

Jika kita ingin tenang lahir batin, maka ketika bisikan hasad datang, berupayalah menepisnya dan jangan biarkan hasad menguasai hati dengan memperbanyak istigfar dan menyibukkan hati dengan amalan yang bermanfaat.

Penyakit lain yang membuat hati resah ialah kurang mensyukuri nikmat dan merasa selalu kurang dengan karunia Allah Ta’ala. Orang yang tidak qana’ah dan selalu merasa kurang dengan pembagian rezeki akan berupaya mengejar dunia. Waktunya sibuk untuk mengejarnya dan mengesampingkan dirinya untuk memuliakan akhirat. Penyakit inilah yang membuatnya tidak lapang dada dan tidak berprasangka baik kepada Allah Ta’ala . Allah Ta’ala berfirman:

وَلَوْ بَسَطَ اللّٰهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهٖ لَبَغَوْا فِى الْاَرْضِ وَلٰكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَّا يَشَاۤءُ ۗاِنَّهٗ بِعِبَادِهٖ خَبِيْرٌۢ بَصِيْرٌ

Dan sekiranya Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya niscaya mereka akan berbuat melampaui batas di bumi, tetapi Dia menurunkan dengan ukuran yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Mahateliti terhadap (keadaan) hamba-hamba-Nya, Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura’: 27)

Ibnu Katsir rahimahullah dalam menafsirkan ayat ini, “Seandainya Dia memberikan kepada mereka rezeki di atas kebutuhan mereka niscaya hal ini akan membawa mereka berlaku sewenang-wenang dan saling menjauhi satu dengan yang lainnya karena angkuh dan sombong. Akan tetapi, Dia memberikan rezeki kepada mereka sesuai yang dipilih-Nya untuk kemaslahatan mereka. Dia Maha Mengetahui terutama hal tersebut. Dia menjadikan kaya orang yang berhak menerima kekayaan dan menjadikan kamu fakir kepada orang yang berhak menerima kefakiran.” (Tafsir Ibni Katsir (VII/206) Tahqiq Sami as-Salamah, Cet. Daar Thaybah)

Oleh karena itu, sebisa mungkin seorang mukmin menjauhi tiga perkara, yakni berhutang, hasad, dan tidak qana’ah agar hidupnya terbebas dari perasaan gundah, gelisah, dan berbagai pikiran negatif supaya hatinya bahagia untuk semakin mendekatkan diri dengan tuntunan agama, beramal shalih lebih tekun, menghadiri majelis ilmu, serta berteman dengan orang-orang shalih agar terpacu menjadi orang yang lebih bertakwa.

Referensi:

1). 12 Kiat Ngalap Berkah, Muhammad Arifin bin Badri, pustaka Darul ilmu, Bogor, 2019

2). Kiat-Kiat Islam Mengatasi Kemiskinan, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, At-Taqwa, Bogor, 2015

KEUTAMAAN PEDAGANG YANG JUJUR DAN AMANAH

KEUTAMAAN PEDAGANG YANG JUJUR DAN AMANAH

عن عبد الله بن عمر رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: « التَّاجِرُ الأَمِينُ الصَّدُوقُ الْمُسْلِمُ مَعَ الشُّهَدَاءِ – وفي رواية: مع النبيين و الصديقين و الشهداء – يَوْمَ الْقِيَامَةِ » رواه ابن ماجه والحاكم والدارقطني وغيرهم

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhu bahwa Rasuluillah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang pedagang muslim yang jujur dan amanah (terpercaya) akan (dikumpulkan) bersama para Nabi, orang-orang shiddiq dan orang-orang yang mati syahid pada hari kiamat (nanti).”[1]

Hadis yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan seorang pedagang yang memiliki sifat-sifat ini, karena dia akan dimuliakan dengan keutamaan besar dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan dikumpulkan bersama para Nabi, orang-orang shiddiq dan orang-orang yang mati syahid pada hari kiamat. Imam ath-Thiibi mengomentari hadis ini dengan mengatakan, “Barangsiapa yang selalu mengutamakan sifat jujur dan amanah, maka dia termasuk golongan orang-orang yang taat (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala); dari kalangan orang-orang shiddiq dan orang-orang yang mati syahid, tapi barangsiapa yang selalu memilih sifat dusta dan khianat, maka dia termasuk golongan orang-orang yang durhaka (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala); dari kalangan orang-orang yang fasik (buruk/rusak agamanya) atau pelaku maksiat”.[2]

Beberapa faidah penting yang dapat kita petik dari hadis ini:

– Maksud sifat jujur dan amanah dalam berdagang adalah dalam keterangan yang disampaikan sehubungan dengan jual beli tersebut dan penjelasan tentang cacat atau kekurangan pada barang dagangan yang dijual jika memang ada cacatnya.[3]

– Inilah sebab yang menjadikan keberkahan dan kebaikan dalam perdagangan dan jual beli, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kalau keduanya (pedagang dan pembeli) bersifat jujur dan menjelaskan (keadaan barang dagangan atau uang pembayaran), maka Allah akan memberkahi keduanya dalam jual beli tersebut. Akan tetapi kalau kaduanya berdusta dan menyembunyikan (hal tersebut), maka akan hilang keberkahan jual beli tersebut”.[4]

– Berdagang yang halal dengan sifat-sifat terpuji yang disebutkan dalam hadis ini adalah pekerjaan yang disukai dan dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat y, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis yang shahih.[5] Adapun hadis “Sembilan persepuluh (90 %) rezeki adalah dari perniagaan”, maka ini adalah hadis yang lemah, sebagaimana yang dijelaskan oleh syaikh al-Albani.[6]

– Maksud dari keutamaan dalam hadis ini: “…bersama para Nabi, orang-orang shiddiq dan orang-orang yang mati syahid pada hari kiamat (nanti)” bukanlah berarti derajat dan kedudukannya sama persis dengan derajat dan kedudukan mereka, tapi maksudnya dikumpulkan di dalam golongan mereka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا. ذَلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللَّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ عَلِيمًا

“Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan (dikumpulkan) bersama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang yang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.” (QS an-Nisaa’: 69-70)[7].

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

                                                                          Kota Kendari, 11 Jumadal Akhir 1433 H

                                                                                  Abdullah bin Taslim al-Buthoni

[1] HR Ibnu Majah (no. 2139), al-Hakim (no. 2142) dan ad-Daraquthni (no. 17), dalam sanadnya ada kelemahan, akan tetapi ada hadits lain yang menguatkannya, dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, HR at-Tirmidzi (no. 1209) dan lain-lain. Oleh karena itu, hadits dinyatakan baik sanadnya oleh imam adz-Dzahabi dan syaikh al-Albani (lihat “ash-Shahiihah” no. 3453).
[2] Lihat kitab “Syarhu sunani Ibni Majah” (hal. 155).
[3] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (3/278).
[4] HSR al-Bukhari (no. 1973) dan Muslim (no. 1532).
[5] HR ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul kabiir” (23/300, no. 674) dan dinyatakan jayyid (baik/shahih) oleh syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaa-ditsish shahiihah” (no. 2929).
[6] Dalam “Silsilatul ahaa-ditsidh dha’iifah” (no. 3402).
[7] Lihat keterangan imam adz-Dzahabi dalam “Miizaanul i’tidaal” 

Saat Futur Melanda

Saat Futur Melanda 

Bertambah dan berkurangnya iman adalah bagian dari sunatullah atas makhluk-Nya, yaitu manusia. Nikmat nafsu dan akal yang menjadi pembeda antara manusia dan makhluk lainnya menunjukkan kesempurnaan ciptaan Allah.

Iman yang berkurang, populer dengan sebutan futurFutur dipahami dengan arti kemalasan, suka menunda, tidak bergairah, dan tidak bersemangat untuk melakukan berbagai kebaikan, khususnya ibadah-ibadah sunah yang disyariatkan.

Futur merupakan hal biasa dialami oleh siapa pun. Tetapi, bayangkan jika kita terus menerus dalam keadaan futur. Adakah jaminan, jika tanpa segera memperbaharui iman (dengan meningkatkan ketaatan kepada Allah), kita kemudian tidak terjerumus dalam level futur paling rendah, bahkan jatuh kepada kekufuran? Wal’iyadzubillah

Tantangan futur

Mari kita renungkan sejenak. Ketika futur melanda, rasanya memang untuk melaksanakan kewajiban saja cukup berat. Konon lagi hal-hal yang sunah. Contoh, melakukan salat sunah rawatib terasa berat, puasa Senin-Kamis seperti sulit sekali, bahkan untuk berzikir yang hanya dengan gerakan mulut pun kita seakan tak sanggup melakukannya.

Oleh karenanya, sebagai seorang mukmin kita tidak boleh membiarkan hal ini terus terjadi. Saat-saat seperti inilah, godaan setan yang mengancam keutuhan iman kita bisa datang dari berbagai arah.

Jangan hanya menunggu hidayah itu datang, tetapi jemputlah hidayah itu. Allah Ta’ala berfirman dalam sebuah hadis qudsi,

يا عبادي كلُّكم ضالٌّ إلَّا من هديتُه ، فاستهدوني أهدِكُ

“Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua adalah tersesat, kecuali yang Aku beri petunjuk, maka mintalah petunjuk kepada-Ku, niscaya Aku akan memberimu petunjuk.” (HR. Muslim no. 2577, dari Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu)

Pelajaran dari orang-orang terdahulu

Belajar dari orang-orang terdahulu, sebagian besar dari mereka ketika tidak ada niat, tekad, dan ikhtiar untuk menggapainya, maka hidayah itu pun tak kunjung datang hingga ajal menjemput.

Meskipun orang-orang di sekitarnya berupaya semaksimal mungkin mengarahkan mereka kepada keimanan yang kokoh dan mengajak mereka dengan susah payah untuk bangkit dari kefuturan. Namun, ketika individu tersebut pada dasarnya tidak memiliki niat, tekad, dan ikhtiar untuk kembali meniti jalan ilahi, tentu hidayah itu akan semakin sulit didapat.

Saudaraku, lihatlah! Betapa dekatnya hubungan antara anak dan ayah, seperti Habil bin Adam ‘alaihissalamKan’an bin Nuh ‘alaihissalam, dan Ibrahim ‘alaihissalam bin Azar. Atau antara suami dan istri, seperti halnya Walilah istri Nabi Luth ‘alaihissalam. Serta, kedekatan antara seorang keponakan dan paman, seperti antara Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sang paman Abu Talib.

Begitu dekatnya mereka dengan para Rasul shalawatullah ‘alaihim. Tetapi, hidayah tak kunjung mereka dapatkan. Bahkan, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pun tidak punya kuasa untuk memberikan hidayah kepada paman yang dicintainya.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّكَ لَا تَهۡدِی مَنۡ أَحۡبَبۡتَ وَلَـٰكِنَّ ٱللَّهَ یَهۡدِی مَن یَشَاۤءُۚ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِینَ

“Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Al-Qasas: 56)

Di zaman ini, tak jarang pula kita jumpai orang-orang yang dulunya dikenal dengan kesalehannya dan ketaatannya, tapi tak disangka ia pun berubah dan justru kini menjadi terbiasa melakukan kemaksiatan dan kemungkaran. Wal’iyadzubillah.

Kekufuran bermula dari kefuturan

Saudaraku, sungguh kita tidak tahu takdir yang telah ditetapkan Allah Ta’ala atas kita dalam lauh mahfudz-Nya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فوالَّذي لا إلَهَ غيرُهُ إنَّ أحدَكُم ليعملُ بعملِ أَهْلِ الجنَّةِ حتَّى ما يَكونُ بينَهُ وبينَها إلَّا ذراعٌ ثمَّ يسبِقُ علَيهِ الكتابُ فيُختَمُ لَهُ بعملِ أَهْلِ النَّارِ فيدخلُها ، وإنَّ أحدَكُم ليعملُ بعملِ أَهْلِ النَّارِ حتَّى ما يَكونَ بينَهُ وبينَها إلَّا ذراعٌ ثمَّ يسبِقُ علَيهِ الكتابُ فيُختَمُ لَهُ بعملِ أَهْلِ الجنَّةِ فيَدخلُها

“Demi Allah, Zat yang tidak ada sesembahan yang hak, selain Dia. Sesungguhnya salah seorang dari kalian, benar-benar beramal dengan amalan penduduk jannah (surga) sehingga jarak antara dia dengan jannah itu tinggal sehasta. Namun, dia didahului oleh al-kitab (catatan takdirnya) sehingga dia beramal dengan amalan penduduk neraka, maka dia pun masuk ke dalamnya. Dan sungguh, salah seorang dari kalian beramal dengan amalan penduduk neraka hingga jarak antara dia dengan neraka tinggal satu hasta. Namun, dia didahului oleh catatan takdir, sehingga dia beramal dengan amalan penduduk jannah, maka dia masuk ke dalamnya.” (HR. Tirmidzi no. 2137, dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)

Hadis di atas semakin meyakinkan kita bahwa tiada seorang hamba pun yang tahu dan bisa menjamin akhir amalannya dan tempatnya di akhirat.

Maka, renungkanlah! Orang yang mulanya terbiasa beramal saleh saja bisa jadi di akhir hidupnya justru ia kembali melakukan kemaksiatan yang mengantarkannya ke neraka. Lalu, bagaimana lagi dengan orang yang terbiasa dengan pelanggaran syariat Allah.

Dan yang pasti, kembalinya seseorang kepada kemaksiatan dari ketaatan bermula dari kefuturan yang diremehkan yang lama kelamaan menjadi kekufuran. Wal’iyadzubillah.

Oleh karenanya, yang harus kita yakini bahwa seseorang akan dimudahkan dengan amalannya. Maka, biasakanlah diri untuk melakukan amalan saleh. Tatkala futur melanda, mohonlah pertolongan kepada Allah Ta’ala dan berikhtiarlah semaksimal mungkin untuk mempertahankan ketaatan dan menghindari kemaksiatan.

Teruslah beramal

Perhatikanlah hadis dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Suraqah bin Malik bin Ju’syum datang dan berkata,

“Wahai Rasulullah, berikanlah penjelasan kepada kami tentang agama kami, seakan-akan kami baru diciptakan sekarang. Untuk apakah kita beramal hari ini? Apakah itu terjadi pada hal-hal yang pena telah kering dan takdir yang berjalan, ataukah untuk yang akan datang?”

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

قَالَ: لَا، بَلْ فِيمَا جَفَّتْ بِهِ الْأَقْلَامُ وَجَرَتْ بِهِ الْمَقَادِيرُ

“Bahkan, pada hal-hal yang dengannya pena telah kering dan takdir yang berjalan.”

Ia bertanya, “Lalu apa gunanya beramal?”

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اعْمَلُوا، فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ

“Beramallah kalian, karena masing-masing dimudahkan (untuk melakukan sesuatu yang telah ditakdirkan untuknya).” (HR. Muslim no. 2648)

Ikhtiar bangkit dari futur

Pertama: Memohon pertolongan dan petunjuk dari Allah

Maka dari itu, kita mesti menyadari bahwa hal yang pertama dan utama sekali kita lakukan tatkala futur melanda adalah berdoa memohon pertolongan kepada Allah agar diberikan hidayah. Inilah makna bahwa hidayah memang harus dijemput dengan doa.

Karena semestinya segala urusan yang kita ikhtiarkan sepatutnya kita gantungkan pada pertolongan dari Allah Ta’ala sebagaimana doa zikir pagi yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Fatimah radhiyallahu ‘anha berikut,

يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ أَبَدًا

“Wahai Rabb Yang Mahahidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri (tidak butuh segala sesuatu), dengan rahmat-Mu aku minta pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan diserahkan kepadaku sekali pun sekejap mata (tanpa mendapat pertolongan dari-Mu).” (HR. Ibnu As-Sunni no. 46)

Sungguh paripurna syariat yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam ini. Kita pun diajarkan bagaimana berdoa memohon pertolongan kepada Allah agar diberikan petunjuk dan hidayah sebagaimana doa yang tersurat dalam Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman,

رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

“Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu, dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami.” (QS. Al Kahfi: 10)

Kedua: Berupaya semaksimal mungkin istikamah dalam kebaikan

Setelah berdoa dan memantapkan niat, kita pun berikhtiar untuk selalu istikamah dalam mempertahankan keimanan dan ketakwaan kita. Meski futur melanda, setidaknya untuk amalan (ibadah) wajib, kita tidak tinggalkan seberat apapun itu. Begitu pula terhadap kemaksiatan, kita tidak lakukan semenarik apapun itu.

Sungguh berarti nasihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

اتَّقِ اللَّهَ حيثُ ما كنتَ ، وأتبعِ السَّيِّئةَ الحسنةَ تمحُها ، وخالقِ النَّاسَ بخلقٍ حسنٍ

”Bertakwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di mana pun engkau berada. Iringilah kejelekan itu dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapusnya (kejelekan). Dan pergaulilah manusia dengan pergaulan yang baik.” (HR. Tirmidzi no. 1987 dari Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu)

Ketiga: Merutinkan zikrullah di setiap waktu

Melakukan amalan ringan, tetapi timbangannya berat, yaitu zikrullah. Saat futur melanda, amalan sunah yang paling mudah dilakukan adalah zikrullah. Karena berzikir tidak membutuhkan energi fisik, kecuali gerakan mulut yang melantunkan kalimat-kalimat Allah.

Allah Ta’ala berfirman,

فَٱذْكُرُونِىٓ أَذْكُرْكُمْ وَٱشْكُرُوا۟ لِى وَلَا تَكْفُرُونِ

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku”. (QS. Al-Baqarah: 152)

Saudaraku, saat futur melanda, tidak ada yang kita butuhkan selain Allah Ta’ala. Oleh karena itu, yang kita butuhkan adalah bagaimana agar Allah Ta’ala ingat dengan kita lagi. Tidak ada cara lain agar mendapatkan perhatian Allah selain zikrullah.

Maka, biasakanlah untuk berzikir sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Berzikir dalam setiap aktivitas, mulai dari bangun pagi dengan membaca zikir dan doa, salat fajr dengan rawatib-nya, zikir pagi, dan berbagai amalan zikir sesuai sunah dalam setiap kegiatan yang kita lakukan.

Di antara kalimat zikir yang ringan diucapkan, tetapi berat dalam timbangan dan dicintai oleh Allah adalah sebagaimana hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ، ثَقِيلَتَانِ فِى الْمِيزَانِ ، حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ ، سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ

“Dua kalimat yang ringan di lisan, namun berat dalam timbangan (amalan) dan dicintai oleh Ar-Rahman, yaitu subhanallahi wa bihamdih, subhanallahil ‘azhim (Mahasuci Allah, segala pujian untuk-Nya. Mahasuci Allah Yang Mahamulia).” (HR. Bukhari no. 6682 dan Muslim no. 2694)

Wallahu a’lam.

***

Orang Yang Banyak Berdzikir Doanya Maqbul

Orang Yang Banyak Berdzikir Doanya Maqbul


الحَدِيْثُ الخَمْسُوْنَ

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ بُسْرٍ قَالَ : أَتَى النَّبِيَّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – رَجُلٌ ، فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إنَّ شَرَائِعَ الإِسْلاَمِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيْنَا ، فَبَابٌ نَتَمَسَّكُ بِهِ جاَمِعٌ ؟ قال : (( لاَ يَزالُ لِسَانُكَ رَطْباً مِنْ ذِكْرِ اللهِ – عَزَّ وَجَلَّ – )) خَرَّجَهُ الإِمَامُ أَحْمَدُ بِهَذَا اللَّفْظِ .

Dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang lelaki berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya syariat Islam (amalan sunnah) itu amat banyak yang mesti kami jalankan. Maka mana yang mesti kami pegang (setelah menunaikan yang wajib, pen.)?” Beliau menjawab, “Hendaklah lisanmu selalu basah dengan berdzikir kepada Allah (maksudnya: terus meneruslah berdzikir kepada Allah, pen).” (HR. Ahmad dengan lafazh seperti ini) [HR. Ahmad, 4:188; Tirmidzi, no. 3375; Ibnu Majah, no. 3793; Ibnu Hibban, no. 2317; Al-Hakim, 1:495. Syaikh Syuaib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Lihat pula penjelasan hadits ini dalam Tuhfah Al-Ahwadzi bi Syarh At-Tirmidzi, 9:305].

Faedah hadits

Pertama: Para sahabat begitu bersemangat dalam bertanya berkaitan dengan urusan agama mereka.

Kedua: Allah memerintahkan kita untuk banyak berdzikir. Allah juga memuji orang yang banyak berdzikir tersebut.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا , وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang.” (QS. Al-Ahzab: 41-42)

وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10)

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berdzikir (mengingat) Allah pada setiap waktunya.” (HR. Bukhari, no. 19 dan Muslim, no. 737)

Yang dimaksud banyak berdzikir di sini adalah berdzikir ketika berdiri, berjalan, duduk, berbaring, termasuk pula dalam keadaan suci dan berhadats.

Ketiga: Para ulama menghitung dzikir dengan jarinya.

Khalid bin Ma’dan bertasbih setiap hari 40.000 kali. Ini selain Al-Qur’an yang beliau baca. Ketika ia meninggal dunia, ia diletakkan di atas ranjangnya untuk dimandikan, maka isyarat jari yang ia gunakan untuk menghitung dzikir masih terlihat.

Ada yang bertanya pada ‘Umair bin Hani, bahwa ia tak pernah kelihatan lelah untuk berdzikir. Ketika ditanya berapa jumlah bacaan tasbih beliau, ia jawab bahwa 100.000 kali tasbih dan itu dihitung dengan jari jemari.

Dari Yusairah seorang wanita Muhajirah, dia berkata:

قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْكُنَّ بِالتَّسْبِيحِ وَالتَّهْلِيلِ وَالتَّقْدِيسِ وَاعْقِدْنَ بِالْأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ وَلَا تَغْفُلْنَ فَتَنْسَيْنَ الرَّحْمَة

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada kami, ‘Hendaknya kalian bertasbih (ucapkan subhanallah), bertahlil (ucapkan laa ilaha illallah), dan bertaqdis (mensucikan Allah), dan himpunkanlah (hitunglah) dengan ujung jari jemari kalian karena itu semua akan ditanya dan diajak bicara, janganlah kalian lalai yang membuat kalian lupa dengan rahmat Allah.’” (HR. Tirmidzi, no. 3583; Abu Daud, no. 1501 dari hadits Hani bin ‘Utsman dan disahihkan oleh Adz-Dzahabi. Sanad hadits ini dikatakan hasan oleh Al-Hafizh Abu Thahir).

Keempat: Jika seseorang telah benar-benar mengenal Allah, ia akan berdzikir tanpa ada beban sama sekali.

Kelima: Berdzikir adalah kelezatan bagi orang-orang benar-benar mengenal Allah. Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’du: 28)

Keenam: Ada keutamaan berdzikir saat orang-orang itu lalai.

Abu ‘Ubaidah bin ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, “Ketika hati seseorang terus berdzikir pada Allah maka ia seperti berada dalam shalat. Jika ia berada di pasar lalu ia menggerakkan kedua bibirnya untuk berdzikir, maka itu lebih baik.” (Lihat Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2: 524). Di sini dinyatakan lebih baik karena orang yang berdzikir di pasar berarti berdzikir di kala orang-orang lalai. Para pedagang dan konsumen tentu lebih sibuk dengan tawar menawar mereka dan jarang yang ambil peduli untuk sedikit mengingat Allah barang sejenak.

Lihatlah contoh ulama salaf. Kata Ibnu Rajab Al-Hambali setelah membawahkan perkataan Abu ‘Ubaidah di atas, beliau mengatakan bahwa sebagian salaf ada yang bersengaja ke pasar hanya untuk berdzikir di sekitar orang-orang yang lalai dari mengingat Allah. Ibnu Rajab pun menceritakan bahwa ada dua orang yang sempat berjumpa di pasar. Lalu salah satu dari mereka berkata, “Mari sini, mari kita mengingat Allah di saat orang-orang pada lalai dari-Nya.” Mereka pun menepi dan menjauh dari keramaian, lantas mereka pun mengingat Allah. Lalu mereka berpisah dan salah satu dari mereka meninggal dunia. Dalam mimpi, salah satunya bertemu lagi temannya. Di mimpi tersebut, temannya berkata, “Aku merasakan bahwa Allah mengampuni dosa kita di sore itu dikarenakan kita berjumpa di pasar (dan lantas mengingat Allah).” Lihat Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:524.

Ketujuh: Allah telah mewajibkan pada kaum muslimin untuk berdzikir kepada Allah pada siang dan malam dengan mengerjakan shalat lima waktu pada waktunya. Dari shalat lima waktu itu ada shalat rawatib (qabliyah dan bakdiyah), di mana shalat rawatib itu berfungsi sebagai penutup kekurangan atau sebagai tambahan dari yang wajib.

Kedelapan: Antara shalat Isya dan shalat Shubuh ada shalat malam dan shalat witir. Antara shalat Shubuh dan shalat Zhuhur ada shalat Dhuha.

Kesembilan: Dzikir dengan lisan disunnahkan setiap waktu dan ada yang dianjurkan pada waktu tertentu seperti:

  • Dzikir bakda shalat wajib.
  • Dzikir pagi dan petang pada bakda shubuh dan bakda ashar (yang tidak ada shalat sunnah setelah dua shalat tersebut).
  • Dzikir sebelum tidur, dianjurkan berwudhu sebelumnya.
  • Dzikir setelah bangun tidur.
  • Beristighfar pada waktu sahur.
  • Dzikir ketika makan, minum, dan mengambil pakaian.
  • Dzikir ketika bersin.
  • Dzikir ketika melihat yang lain terkena musibah.
  • Dzikir ketika masuk pasar.
  • Dzikir ketika mendengar suara ayam berkokok pada malam hari.
  • Dzikir ketika mendengar petir.
  • Dzikir ketika turun hujan.
  • Dzikir ketika turun musibah.
  • Dzikir ketika safar.
  • Dzikir ketika meminta perlindungan saat marah.
  • Doa istikharah kepada Allah ketika memilih sesuatu yang belum nampak kebaikannya.
  • Taubat dan istighfar atas dosa kecil dan dosa besar.

Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Siapa yang menjaga dzikir pada waktu-waktu tadi, dialah yang disebut orang yang rajin berdzikir kepada Allah pada setiap waktunya.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:529)

Mayoritas bahasan di atas diambil dari Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam pada bahasan hadits ke-50.

Tulisan ini jadi bahasan terakhir kajian Hadits Arbain dan Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam.

Semoga bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. 

Referensi:

  1. Fath Al-Qawi Al-Matin fii Syarh Al-Arba’in wa Tatimmah Al-Khamsiin li An-Nawawi wa Ibnu Rajab rahimahumallah. Cetakan kedua, Tahun 1436 H. Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Muhammad Al-‘Abbad Al-Badr.
  2. Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, Tahun 1432 H. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
  3. Tuhfah Al-Ahwadzi bi Syarh At-Tirmidzi. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Al-Imam Al-Hafizh Abul ‘Ula Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim Al-Mubarakfuri. Penerbit Darul Fayhan & Darus Salam.

Adab Islam Ketika Bersendawa

Adab Islam Ketika Bersendawa 

Islam datang membawa adab-adab yang memuliakan manusia, menjauhkan mereka dari kerendahan dan kehinaan. Maka Islam adalah agama yang sempurna dalam segala aspeknya, baik dalam akidah, ibadah, dan akhlak. Di antara adab yang diajarkan dalam Islam adalah adab ketika bersendawa.

Sendawa dalam bahasa Arab disebut al-jusya’ (الجُشَاء). Disebutkan dalam kamus Mishbahul Munir :

وَهُوَ صَوْتٌ مَعَ رِيْحِ يَحْصُلُ مِنَ الْفَمِّ عِنْدَ حُصُوْلِ الشَّبْعِ

Al-jusya’ adalah suara yang disertai udara yang keluar dari mulut ketika merasa kenyang.”

Terdapat sebuah hadis yang menuntunkan kepada kita bagaimana adab Islami dalam bersendawa. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:

تَجَشَّأَ رَجُلٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ كُفَّ عَنَّا جُشَاءَكَ، فَإِنَّ أَكْثَرَهُمْ شِبَعًا فِيْ الدُّنْيَا أَطْوَلُهُمْ جُوْعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Ada seorang yang bersendawa di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau bersabda: ‘Tahanlah sendawamu agar tidak terdengar oleh kami. Karena orang yang paling banyak kenyangnya di dunia adalah orang yang paling panjang laparnya di hari Kiamat‘”. (HR. Tirmidzi no. 2478, dihasankan al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi).

Pelajaran yang bisa kita ambil dari hadis ini, di antaranya:

1. Hendaknya berusaha untuk menahan sendawa ketika ada orang lain

Ketika hendak bersendawa dan ada orang lain, hendaknya berusaha menahannya sebisa mungkin atau menguranginya. Al-Mubarakfuri rahimahullah menjelaskan hadis di atas dengan mengatakan:

قَوْلُهُ: (كُفَّ عَنَّا ) أَمْرٌ مُخَاطَبٌ مِنَ الْكُفِّ بِمَعْنَى الصَّرْفِ وَالدَّفْعِ، وَفِيْ رِوَايَةِ شَرْحِ السُّنَّةِ : أَقْصِرْ مِنْ جُشَائِكَ، ( جُشَاءِكَ ) بِضَمِّ الْجِيْمِ مَمْدُوْدٌ، أَوْ النَّهْيِ عَنِ الْجُشَاءِ هُوَ النَّهْيُ عَنِ الشَّبْعِ ; لِأَنَّهُ السَّبَبُ الجَالِبُ لَهُ

“Perkataan Nabi [tahanlah sendawamu agar tidak terdengar oleh kami] adalah perintah untuk menahan, maksudnya mencegah sendawanya. Dalam riwayat lain di kitab Syarhus Sunnah: “kurangi sendawamu!”. Atau hadis ini juga bermakna bahwa larangan untuk sendawa maksudnya larangan untuk makan terlalu kenyang. Karena makan terlalu kenyang akan menyebabkan sendawa.” (Tuhfatul Ahwadzi, penjelasan hadis no. 2478)

2. Bersendawa ketika ada orang lain merupakan adab yang buruk

Hadis ini menunjukkan bahwa bersendawa ketika ada orang lain adalah adab yang buruk. Syaikh Dr. Shalih Sindi hafidzahullah mengatakan:

مَا أَقْبحَ الْجُشَاءَ فِيْ مَجلِسِ النَّاسِ

“Betapa buruknya perbuatan bersendawa ketika sedang bermajelis bersama orang-orang.” (Al-Adab ‘Unwan as-Sa’adah : 23)

Maka ketika bersendawa, andaikan tidak tertahankan, hendaknya menjauh dari orang-orang agar tidak menyebabkan gangguan kepada mereka.

3. Dianjurkan untuk menutup mulut ketika sendawa

Para ulama menganjurkan untuk menutup mulut dengan tangan ketika bersendawa. Syaikh Zakaria al-Anshari rahimahullah mengatakan:

( قَوْلُهُ : فَإِنْ تَثَاءَبَ سُنَّ لَهُ أَنْ يُغَطِّيَ فَاهُ بِيَدِهِ ) قَالَ ابْنُ الْمُلَقِّنِ: وَغَيْرِهِ : وَالظَّاهِرُ أَنَّهَا الْيُسْرَى ; لِأَنَّهَا لِتَنْحِيَةِ اْلأَذَى، قَالَ الأَذْرَعِيُّ وأُلْحِقَ بِذَلِكَ التَّجَشُّؤُ

“Perkataan penulis kitab Raudhatut Thalib: ‘Jika seseorang menguap, disunnahkan untuk menutup mulutnya dengan tangannya.’ Namun Ibnu Mulaqqin dan ulama lain mengatakan: ‘Yang lebih tepat, menggunakan tangan kiri, karena digunakan untuk menahan sesuatu yang sifatnya bisa mengganggu.’ Al-Adzra’i mengatakan: ‘ini juga berlaku jika bersendawa.’” (Asnal Mathalib Syarah Raudhatut Thalib, 1/180)

4. Hendaknya jangan makan hingga berlebihan

Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan, “Orang yang paling banyak kenyangnya di dunia adalah orang yang paling panjang laparnya di hari Kiamat.” Maksudnya beliau membimbing kita agar tidak berlebihan dalam makanan sehingga akan membuat malas beribadah dan menimbulkan keburukan lainnya. Al-Munawi rahimahullah menjelaskan hadis di atas, beliau mengatakan:

لِأَنَّ مَنْ كَثُرَ أَكْلُهُ كَثُرَ شُرْبُهُ فَكَثُرَ نَوْمُهُ فَكَسُلً جِسْمُهُ

“Karena orang yang banyak makannya, ia akan banyak minumnya. Kemudian akan banyak tidurnya dan menjadi malaslah badannya.” (At-Taisir bi Syarhi Jami’ish Shaghir, 1/312)

Akan tetapi, bukan berarti tidak boleh makan sampai kenyang. Adapun hadis,

نَحْنُ قَوْمٌ لَا نَأْكُلُ حَتَّى نَجُوْع وَإِذَا أَكَلْنَا لَا نَشْبَعُ

Kita (kaum muslimin) adalah kaum yang hanya makan bila lapar dan berhenti makan sebelum kenyang.”

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz mengatakan, “Hadis ini memang diriwayatkan dari sebagian sahabat yang bertugas sebagai utusan, namun sanadnya dhaif.” Beliau juga menjelaskan, “Ketika makan, tidak boleh berlebihan sampai kekenyangan. Adapun rasa kenyang yang tidak membahayakan, tidak mengapa. Karena orang-orang di masa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan masa selain mereka pun pernah makan sampai kenyang. Namun, mereka menghindari makan sampai terlalu kenyang. Terkadang Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengajak para sahabat ke sebuah jamuan makan. Kemudian beliau menjamu mereka dan meminta mereka makan. Kemudian mereka makan sampai kenyang.” (Sumber: http://www.ibnbaz.org.sa/mat/38)

Apa yang diucapkan oleh orang yang bersendawa?

Sebagian orang ketika bersendawa, mereka mengucapkan, “Alhamdulillah”, atau ada juga yang mengucapkan “astagfirullah”, atau mengucapkan “a’udzubillahi minasy syaithanir rajim”, dan semisalnya. Apakah ini dibenarkan?

Perlu kita rinci menjadi dua keadaan:

1. Jika diyakini bahwasanya mengucapkan zikir-zikir di atas ketika sendawa adalah sunnah, atau dianjurkan, atau memiliki keutamaan, atau dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah, maka ini merupakan ke-bid’ah-an.
Ibnu Muflih rahimahullah mengatakan,

وَلَا يُجِيبُ الْمُجَشِّي بِشَيْءٍ ، فَإِنْ قَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ ، قِيلَ لَهُ : هَنِيئًا مَرِيئًا ، أَوْ هَنَّأَكَ اللَّهُ وَأَمْرَاك ، ذَكَرَهُ فِي الرِّعَايَةِ الْكُبْرَى وَابْنُ تَمِيْم ، وَكَذَا ابْنُ عَقِيلٍ ، وَقَالَ : لَا نَعْرِفُ فِيهِ سُنَّةً، بَلْ هُوَ عَادَة مَوْضُوعَة

“Orang yang bersendawa tidak perlu mengucapkan apa-apa. Jika ada yang bersendawa lalu mengucapkan, “alhamdulillah“, kemudian dijawab oleh orang lain “hani`an mari`an (semoga Allah memberi kebahagiaan pada makananmu)”, atau “hannakallah” atau “amrakallah”, ini disebutkan dalam kitab ar-Ri’ayah al-Kubra juga disebutkan oleh Ibnu at-Tamim, juga oleh Ibnu ‘Aqil dan beliau berkata: “Kami tidak mengetahui ada sunnah terkait hal ini, bahkan ini adalah kebiasaan yang diada-adakan.”” (Al-Adab asy-Syar’iyyah, 2/346)

Oleh karena itu, maka sikap yang paling tepat setelah bersendawa adalah tidak mengucapkan zikir apa-apa. Karena andaikan ada anjuran membaca zikir tertentu, tentunya sudah ternukil dari Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam atau para sahabat.

2. Jika diucapkan dengan niat lain, semisal mengucapkan “alhamdulillah” dengan niat bersyukur kepada Allah atas nikmat yang didapatkan, atau mengucapkan “a’udzubillah minasy syaithanir rajim” untuk berlindung dari setan, maka tidak mengapa. Selama tidak diyakini bahwa itu bagian dari sunnah.

Syaikh ‘Abdul Muhsin al-’Abbad hafidzahullah mengatakan:

لَا يُوْجَدُ شَيْءٌ يَدُلُّ عَلَيْهِ ، لَكِنَّ كَوْنَ الْإنْسَاِن يَحْمَدُ اللهَ عَلَى كُلِّ حَالٍ ، وَأَنَّ هَذَا الشَّبَعَ الَّذِيْ حَصَلَ لَهُ مِنْ نِعْمَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ : لَا بَأْسَ بِذَلِكَ ، لَكِنَّ كَوْنَهُ يَعْتَقِدُ أَنَّ هَذَا أَمْرَ مَشْرُوْعٌ فِي هَذِهِ الْمُنَاسِبَةِ ، فَلَيْسَ هُنَاكَ شَيْءٌ يَدُلُّ عَلَيْهِ فِيْمَا أَعْلَمُ

“Tidak ada dalil yang menunjukkan ada zikir tertentu setelah bersendawa. Namun memang benar bahwa seseorang hendaknya memuji Allah dalam setiap keadaan. Dan rasa kenyang itu didapatkan atas nikmat Allah ‘Azza wa Jalla, maka tidak mengapa mengucapkan hamdalah. Namun, jika ia meyakini bahwa ucapan hamdalah tersebut disyariatkan pada waktu setelah sendawa, maka tidak kami ketahui dalil yang menunjukkannya.” (Syarah Sunan Abi Daud, 19/492, asy-Syamilah).

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah ketika ditanya tentang membaca ta’awwudz setelah menguap, beliau menjawab:

لَا حَرَجَ فِيْهَا ؛ لِأَنَّهَا مِنَ الشَّيْطَانِ ، لَكِنَّ لمَ يُرِدْ شَيْءً يَدُلُّ عَلَى اسْتِحْبَاِبَها ، لَكِنَّ أَخْبَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ ( التَّثَاؤُبَ مِنَ الشَّيْطَانِ ، فَإِذَا تَثَاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَكْظِم مَا اسْتَطَاعَ )

“Tidak mengapa melakukannya karena memang menguap itu dari setan. Tidak ada ada dalil khusus yang menganjurkan perbuatan ini. Akan tetapi, terdapat hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa menguap itu dari setan, jika kalian menguap maka tahanlah sebisa mungkin.” 

Dan sebagian ulama meng-qiyas-kan sendawa dengan menguap. Semoga tidak mengapa mengucapkan ta’awwudz dengan niat berlindung dari setan, bukan dengan keyakinan bahwa itu dianjurkan. Wallahu a’lam.

Semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.**

***