Islam Melarang Menyiksa Binatang

Islam Melarang Menyiksa Binatang 

Islam sangat menjunjung tinggi kasih sayang, sampai pada hewan yang akan disembelih pun tidak boleh disiksa. Kita dilarang menyiksa binatang saat menyembelih seperti mengikatnya lantas dipanah.

Berikut dua hadits yang dibawakan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani dalam kitab beliau Bulughul Marom no.  1347 dan 1350.

وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: – “لَا تَتَّخِذُوا شَيْئاً فِيهِ اَلرُّوحُ غَرَضًا” – رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah jadikan hewan yang bernyawa itu sebagai sasaran (tembak atau panah).” Diriwayatkan oleh Muslim. (HR. Muslim no. 1957).

وَعَنْ جَابِرِ بنِ عَبْدِ اَللَّهِ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: – نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ يُقْتَلَ شَيْءٌ مِنَ اَلدَّوَابِّ صَبْرًا – رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang pembunuhan binatang dengan diikat lantas dipanah.” Diriwayatkan oleh Muslim. (HR. Muslim no. 1959).

Beberapa faedah dari hadits di atas:

1- Diharamkan menjadikan hewan sebagai sasaran tembak dengan mengikatnya lalu dipanah karena hal itu termasuk bentuk penyiksaan pada binatang. Di dalamnya ada bentuk pengrusakan, membuang-buang harta, dan tidak melakukan penyembelihan yang syar’i.

2- Jika ada hewan yang mampu disembelih, maka dilarang  membunuhnya dengan. Semestinya hewan tersebut disembelih. Sedangkan hewan yang tidak mampu disembelih, maka boleh memburunya dengan dipanah di bagian mana saja dari tubuhnya.

3- Islam mengajarkan untuk menyayangi manusia dan hewan, segala bentuk penyiksaan terhadap hewan itu diharamkan.

Demikian beberapa faedah dari dua hadits di atas, moga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.

Referensi:

Minhatul ‘Allam fii Syarhi Bulughil Marom, Syaikh ‘Abdullah bin Sholih Al Fauzan, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H, 9: 243, 255, 256.

Berbuat Baiklah Kepada Tetangga

Berbuat Baiklah Kepada Tetangga 

Berbagai hadits telah mengajak bagaimanakah agar kita berakhlak yang baik, terutama terhadap orang-orang di sekitar kita yaitu tetangga. Itulah ajaran Islam yang mulia yang selalu mengajak kepada kebaikan dan berbuat baik terhadap sesama. Berikut beberapa hadits yang dibawakan oleh Al Imam Al Bukhari dalam kitab adabnya, Adabul Mufrod tentang berbuat baik kepada tetangga. Semoga semakin memperbaiki akhlak kita setelah mengetahui hal ini.

58- Bab Seseorang Jangan Meremehkan Tetangganya Meskipun [pemberiannya] Hanya Berupa Kuku Kambing -67

[90/122]

Dari ‘Amru bin Muadz Al Asyhali berkata, neneknya berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepadaku,

ياَ نِسَاءَ الْمُؤْمِنَاتِ! لاَ تُحْقِرَنَّ امْرَأةٌ مِنْكُنَّ لِجَارَتِهَا، وَلَوْ كُرَاعُ شَاةٍ مُحْرَقٌ

Wahai para wanita yang beriman janganlah salah seorang wanita dari kalian meremehkan (pemberian) tetangganya walaupun hanya berupa betis kambing yang dibakar.” (Shahih karena dikuatkan oleh hadits sesudahnya)[91/123]

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ! يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ!لاَ تُحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا، وَلَوْ فِرْسِنَ شاةٍ

Wahai para wanita muslimah! Wahai para wanita muslimah! Janganlah salah seorang di antara kalian meremehkan tetangganya meskipun [pemberiannya] hanya berupa kaki domba.” (Shahih) Lihat: [Bukhari: 78-Kitab Al Adab, 30-Bab Takhunu Jaaroh Lijarotiha. Muslim: 12-Kitab Az Zakah, hal. 90]

59- Bab Keluhan Tetangga -68

[92/124]

Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Seorang berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يَا رَسُولَ اللهِ ! إِنَّ لِي جَاراً يُؤْذِيْنِي

Wahai Rasulullah saya punya tetangga yang menggangguku.”

Rasulullah lalu berkata padanya,

اِنْطَلِقْ. فَأُخْرِجْ مَتَاعَكَ إِلَى الطَّرِيْقِ

“Pulanglah dan keluarkanlah barang milikmu ke jalan.”

Orang itu lalu pulang dan mengeluarkan barang miliknya ke jalan. Maka orang-orang berkumpul padanya dan bertanya,

مَا شَأْنُكَ؟

“Apa yang terjadi padamu?”

Orang itu menjawab,

لِي جَارٌ يُؤْذِيْنِي، فَذَكَرْتُ لِلنَّبِيِّ صَلىّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ” اِنْطَلِقْ. فَأُخْرِجْ مَتَاعَكَ إِلَى الطَّرِيْقِ

“Tetanggaku mengganguku, lalu kuceritakan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berkata, “Pulanglah dan keluarkanlah barang milikmu.”

Orang – orang lalu berkata,

اللَّهُمَّ! اِلْعَنْهُ، الَّلهُمَّ! أَخْزِهُ

“Ya Allah laknat dan hinakanlah dia”

Rupanya hal itu terdengar oleh tetangganya. Maka berangkatlah ia untuk menemuinya dan berkata,

اِرْجِعْ إِلىَ مَنْزِلِكَ، فَوَاللهِ ! لاَ أُوْذِيْكَ

“Kembalilah ke rumahmu, demi Allah saya tidak akan mengganggumu lagi.” (Hasan Shahih) Lihat At Ta’liq Ar Raghib (3/235): [Abu Dawud: 40-Kitab Al Adab, 123-Bab Fii Haqqil Jaar] [93/125]

Dari Abu Juhainah, ia berkata, “Ada seseorang mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai tetangganya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bersabda,

اِحْمِلْ مَتَاعَكَ، فَضَعْهُ عَلَى الطَّرِيْقِ، فَمَنْ مَرَّ بِهِ يَلْعَنُهُ

“Bawalah hartamu dan letakkanlah di jalan sehingga orang yang lewat akan melaknatnya.”

Maka orang yang lewat di tempat itu melaknat tetangganya. Tetangganya tersebut lalu datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau berkata padanya,

ماَ لَقِيْتَ مِنَ النَّاسِ؟

”Apa yang engkau dapatkan dari orang-orang?”

Orang itu berkata,

إَنَّ لَعْنَةَ اللهِ فَوْقَ لَعْنَتِهِمْ

”Sesungguhnya laknat Allah berada di atas laknat mereka.”

Lalu dia berkata pada orang yang mengadu tadi,

كُفِيْتَ

“Sudah cukup bagimu” atau semacam itu yang dia ucapkan. (Hasan Shahih) Lihat At Ta’liq Ar Raghib (3/235)

60- Bab 0rang yang Menganggu Tetangganya Sampai Keluar -69

[94/127]

Dari Abu Amir Al Himsi berkata, ”Tsauban berkata,

ماَ مِنْ رَجُلَيْنِ يَتَصَارَمَانِ فَوْقَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ، فَيَهْلُكُ أَحَدُهُمَا، فَمَاتَا وَهُمَا عَلىَ ذَلِكَ مِنَ الْمُصَارَمَةِ، إِلاَّ هَلَكاَ جَمِيْعاً، وَمَا مِنْ جَارٍ يُظْلِمُ جَارَهُ وَيَقْهَرُهُ، حَتىَّ يَحْمِلَهُ ذَلِكَ عَلىَ أَنْ يَخْرُجَ مِنْ مَنْزِلِهِ، إِلاَّ هَلَكَ

”Tidak ada dua orang yang saling mengisolir lebih dari tiga hari, lalu salah seorang dari mereka meninggal dalam keadaan seperti itu, melainkan keduanya akan binasa. Dan tidak ada seorang pun yang menzhalimi tetangganya dan menyakitinya sampai hal itu membawanya keluar dari rumahnya kecuali dia pasti akan binasa.” (Shahih secara sanad)

61- Bab Tetangga Yahudi -70

[95/128]

Mujahid berkata, “Saya pernah berada di sisi Abdullah ibnu ‘Amru sedangkan pembantunya sedang memotong kambing. Dia lalu berkata,

ياَ غُلاَمُ! إِذَا فَرَغْتَ فَابْدَأْ بِجَارِنَا الْيَهُوْدِي

”Wahai pembantu! Jika anda telah selesai (menyembelihnya), maka bagilah dengan memulai dari tetangga Yahudi kita terlebih dahulu.”

Lalu ada salah seorang yang berkata,

آليَهُوْدِي أَصْلَحَكَ اللهُ؟!

“(Engkau memberikan sesuatu) kepada Yahudi? Semoga Allah memperbaiki kondisimu.”

‘Abdullah bin ’Amru lalu berkata,

إِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوْصِي بِالْجَارِ، حَتَّى خَشَيْنَا أَوْ رُؤِيْنَا أَنَّهُ سَيُوّرِّثُهُ

‘Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat terhadap tetangga sampai kami khawatir kalau beliau akan menetapkan hak waris kepadanya.” (Shahih) Lihat Al Irwa’ (891): [Abu Dawud: 40-Kitab Al Adab, 123-Fii Haqqil Jiwar. At Tirmidzi: 25-Kitab Al Birr wash Shilah, 28-Bab Maa Jaa-a fii Haqqil Jiwaar]

Kefakiran Yang Paling Benar

Kefakiran Yang Paling Benar

Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata:

ولا تحسبن الفقر من فقد الغنى، ولكن فقد الدين من أعظم الفقر

“Janganlah sekali-sekali engkau menganggap bahwa fakir itu dengan hilangnya kekayaan akan tetapi hilangnya agama adalah bentuk kefakiran yang paling besar.” (Kitab Majmu’u ar-Rasa`il, I/65)

Faktor agama merupakan standar hidup yang harus diupayakan setiap mukmin. Status seseorang itu miskin (harta), namun dia menjadi unggul karena keshalihannya di sisi Allah Ta’ala. Demikian pula, ketika seseorang dianugerahi kekayaan atau harta yang melimpah maupun kedudukan, namun tak memiliki adab, tidak mau belajar agama, enggan beramal shalih, dan mengutamakan dunia dibandingkan kehidupan akhirat, maka merekalah orang yang fakir.

Makhluk cerdas tak tergoyahkan imannya ketika mayoritas manusia berlomba-lomba membangun kehidupan dunia. Mukmin bertakwa justru lebih fokus menghibahkan untuk membangun kehidupan akhiratnya.

Yahya Bin Mu’adz berkata: “Dunia hanya jembatan menuju akhirat, lewati saja dan jangan memperindahnya, tidak masuk akal membangun istana di atas jembatan.” (Al-Hilyah, 3/260)

Seorang mukmin yang beriman dan bertakwa akan mulia di sisi Allah Ta’ala meskipun kehidupan ekonominya serba kekurangan. Kesabarannya dalam menghadapi keterbatasan makanan, tempat tinggal, pakaian, dan berbagai fasilitas penunjang hidup tidak menggoyahkannya untuk tetap komitmen pada syariat Islam. Kemiskinan dihadapinya dengan penuh tawakal dan sabar karena inilah yang telah dipilihkan Allah Ta’ala yang terbaik untuk dunia dan akhiratnya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنْ الصَّبْرِ ….

” … dan tidak ada pemberian yang lebih baik dan lebih luas bagi seseorang daripada kesabaran.” (HR. Al-Bukhari (no.1469) dan Muslim (no. 1053) dari Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu)

Selama seorang mukmin masih kokoh memegang agama, menjaga sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, niscaya ia akan bahagia meskipun orang-orang menilai mereka orang yang menderita dan serba kekurangan. Kenikmatan yang tiada tandingnya telah mereka nikmati ketika hidup mereka diniatkan sebagai ibadah, hari-harinya dipenuhi dengan giat menuntut ilmu agama, hak-hak mereka mulia karena meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka senantiasa beramal shalih.

Inilah sejatinya kekayaan hati dan nikmat iman yang jarang diraih oleh para pemburu dunia yang lebih mengutamakan kenikmatan sesaat dan memandang remeh orang yang mencintai kehidupan akhirat.

Di zaman fitnah ini seorang mukmin harus selalu memperkokoh iman, giat belajar agama, dan senantiasa berdoa kepada Allah Ta’ala agar tetap memegang agama dan menjadikannya sebagai petunjuk agar hidupnya tidak tersesat. Agama merupakan harta termulia, termahal, dan tiada bandingannya yang harus selalu dijaga dan dibela sampai mati.

Banyak kisah-kisah mengagumkan orang-orang yang ikhlas meninggalkan dunia demi mencari kebahagiaan hakiki dalam Islam. Mereka rela menderita untuk mempertahankan agamanya dengan pengorbanan yang sedemikian besar. Semua ini karena keyakinannya yang tinggi bahwa agama adalah kekayaan terbesar dan harus dijaga dan dipertahankan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يُوشِكَ أَنْ يَكُونَ خَيْرَ مَالِ الرَّجُلِ غَنَمٌ يَتْبَعُ بِهَا شَعَفَ الْجِبَالِ وَمَوَاقِعَ الْقَطْرِ يَفِرُّ بِدِينِهِ مِنْ الْفِتَنِ

Hampir-hampir sebaik-baik harta orang muslim ialah kambing yang digembalakannya di gunung dan di lembah karena ia lari mengasingkan diri demi menyelamatkan agamanya dari fitnah.” (HR. Al Bukhari no. 19, dari Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu)

Alangkah beruntungnya para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak terjebak dalam fitnah harta sehingga mereka berhijrah menuju Madinah untuk menyelamatkan agamanya. Dan sangat cerdasnya para sahabat Anshor yang demi ukhuwah iman, mereka membantu para Muhajirin agar tetap kokoh agamanya dengan berbagai bantuan meskipun mereka juga sangat membutuhkannya. Sedikit maupun banyaknya kekayaan bagi seorang mukmin tetap mulia ketika semua itu tidak melalaikannya dalam ibadah. Bahkan, kekayaan yang mampu mengokohkan dalam ketaatan dan amal shalih, inilah harta yang berkah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلرَّجُلِ الصَّالِحِ

Nikmat harta yang baik adalah yang dimiliki laki-laki yang shalih.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya, Juz 4 no. 197 dan 202, di-shahih-kan al-Albani dalam Ghayatul Maram, no. 454).

Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Referensi:

1). Kiat-kiat Islam Mengatasi Kemiskinan, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Pustaka at- Taqwa, Bogor, 2015.

2).Mencari Kunci Rizki yang Hilang, Zainal Abidin Syamsudin, Pustaka Imam Abu Hanifah, Jakarta, 2008.

Kematian Merupakan Istirahat Bagi Seorang Muslim


Kematian Merupakan Istirahat Bagi Seorang Muslim 

Disebutkan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan yang lainnya. Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang bersama beberapa sahabatnya, lalu lewatlah jenzah seorang muslim, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مُسْتَرِيحٌ

“Dia beristirahat”

Tak lama kemudian lewatlah jenazah seorang Yahudi, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مُسْتَرَاحٌ مِنْهُ

“Dia diistirahatkan darinya”

Kemudian para sahabat bertanya:

مَا الْمُسْتَرِيحُ وَالْمُسْتَرَاحُ مِنْهُ؟

“Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan “Dia beristirahat” dan “Dia diistirahatkan darinya”?

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya:

“Sesungguhnya seorang mukmin apabila meninggal dunia maka dia istirahat dari lelahnya kehidupan dunia dan penatnya. Dan orang yang kafir apabila meninggal dunia maka beristirahat darinya para hamba dan negeri-negeri.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits ini menjelaskan bahwa apabila seorang mukmin meninggal maka dia benar-benar beristirahat. Sedangkan orang kafir ketika meninggal sejatinya orang-orang dan penghuni negeri mendapatkan manfaat dari kematiannya tersebut dan bisa istirahat dari perilakunya. Karena perbuatan kemaksiatan dan kekafirannya itu menyakiti makhluk dan penghuni bumi, maka ketika dia meninggal mereka beristirahat darinya.

Digigit Ular Dilubang Yang Sama Dua Kali

Digigit Ular Dilubang Yang Sama Dua Kali 

Seorang mukmin yang cerdas tak mungkin digigit ular di lubang yang sama dua kali. Maksudnya apa?

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يُلْدَغُ الْمُؤْمِنُ مِنْ جُحْرٍ وَاحِدٍ مَرَّتَيْنِ

Tidak selayaknya seorang mukmin dipatuk ular dari lubang yang sama sebanyak dua kali.” (HR. Bukhari no. 6133 dan Muslim no. 2998)

Imam Nawawi menyatakan bahwa Al-Qadhi Iyadh berkata, cara baca “yuldagu” ada dua cara:

Pertama: Yuldagu dengan ghainnya didhammah. Kalimatnya menjadi kalimat berita. Maksudnya, seorang mukmin itu terpuji ketika ia cerdas, mantap dalam pekerjaannya, tidak lalai dalam urusannya, juga tidak terjatuh di lain waktu di lubang yang sama. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa ia tergelincir dalam urusan agama (akhirat).

Kedua: Yuldagi dengan ghainnya dikasrah. Kalimatnya menjadi kalimat larangan. Maksudnya, janganlah sampai lalai dalam suatu perkara. (Syarh Shahih Muslim, 12: 104)

Ibnu Hajar berkata, “Seorang muslim harus terus waspada, jangan sampai lalai, baik dalam urusan agama maupun urusan dunianya.” (Fath Al-Bari, 10: 530)

Kesimpulannya, muslim yang cerdas tak mungkin berbuat dosa yang sama dua kali. Ketika ia sudah berbuat kesalahan, ia terus hati-hati jangan digigit lagi di lubang yang sama. Semoga kita demikian. Wallahu waliyyut taufiq.

Referensi:

Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim. Cetakan pertama, tahun 1433 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm.

Fath Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari. Cetekan keempat, tahun 1432 H. Ibnu Hajar Al-Asqalani. Penerbit Dar Thiybah.