Hukum Sulam Alis

Hukum Sulam Alis

Tidak  semua upaya mempercantik wajah, dibolehkan secara syariat. Karena ada beberapa cara mempercantik diri, yang dulu menjadi adat masyarakat jahiliyah, kemudian dilarang oleh Islam. Di antaranya adalah an-Namsh (mencabut bulu yang ada di wajah).

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

لَعَنَ اللَّهُ الوَاشِمَاتِ وَالمُوتَشِمَاتِ، وَالمُتَنَمِّصَاتِ وَالمُتَفَلِّجَاتِ، لِلْحُسْنِ المُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ

“Allah melaknat tukang tato, orang yang ditato, al-mutanamishah, dan orang yang merenggangkan gigi, untuk kecantikan, yang mengubah ciptaan Allah.” (HR. Bukhari 4886, Muslim 2125, dan lainnya).

Makna al-Mutanamishah

Al-Mutanamishah adalah para wanita yang minta dicukur bulu di wajahnya. Sedangkan wanita yang menjadi tukang cukurnya namanya an-Namishah. (Syarh Muslim An-Nawawi, 14/106).

An-Nawawi juga menegaskan, bahwa larangan dalam hadis ini tertuju untuk bulu alis,

وأن النهي إنما هو في الحواجب وما في أطراف الوجه

“Larangan tersebut adalah untuk alis dan ujung-ujung wajah..” (Sharh Shahih Muslim, 14/106).

Ancaman ini Berlaku Meskipun untuk Mempercantik Diri

Kita semua sangat yakin, motivasi terbesar para wanita melakukan berbagai macam treatment di wajahnya adalah untuk mempercantik diri, bukan untuk merusak wajahnya. Dia berharap, agar dengan cara seperti itu, bisa lebih menarik pandangan suaminya. Dia rela keluar banyak dana, untuk merenggut cinta sang suami. Kita sepakat akan hal itu.

Akan tetapi, meskipun tujuannya mulia, bukan berarti bisa menghalalkan segala cara.

Kita lihat keterangan para ulama terkait hadis ini,

Ibnul Atsir mengatakan,

النمص: ترقيق الحواجب وتدقيقها طلبا لتحسينها

“An-Namsh adalah menipiskan bulu alis untuk tujuan kecantikan…”

Ibnul Allan mengatakan dalam Syarh Riyadhus Shalihin,

وَالنَّامِصَةُ: الَّتي تَأخُذُ مِنْ شَعْرِ حَاجِبِ غَيْرِهَا، وتُرَقِّقُهُ لِيَصِيرَ حَسَناً. “وَالمُتَنَمِّصَةُ”: الَّتي تَأمُرُ مَنْ يَفْعَلُ بِهَا ذَلِكَ

“An-Namishah adalah wanita yang mencukur bulu alis wanita lain atau menipiskannya agar kelihatan lebih cantik. Sedangkan Al-Mutanamishah adalah wanita yang menyuruh orang lain untuk mencukur bulu alisnya.” (Dalil al-Falihin, 8:482).

Termasuk Dosa Besar

Beberapa ulama yang mengarang kitab kumpulan dosa-dosa besar, seperti Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya Al-Kabair, demikian pula Al-Haitami dalam kitabnya Az-Zawajir ‘an Iqtiraf Al-Kabair menyebutkan bahwa salah satu di antara dosa yang masuk daftar dosa besar adalah mencukur atau menipiskan bulu alis. Karena terdapat hadis yang menyebutkan bahwa Allah melaknat para wanita yang mencukur bulu asli di wajahnya, seperti bulu alis, meskipun itu untuk tujuan kecantikan.

Al-Haitami mengatakan,

الْكَبِيرَةُ الثَّمَانُونَ حَتَّى الثَّالِثَةُ وَالثَّمَانُونَ الْوَصْلُ وَالْوَشْمُ وَشْرُ الْأَسْنَانِ وَالتَّنْمِيصُ

Dosa besar nomor 80 hingga 83 : menyambung rambut, tato, ngikir gigi, dan an-Namsh.

Selanjutnya, al-Haitami menyebutkan beberapa dalil yang menunjukkan bahwa itu dosa bsar. (az-Zawajir, 1/234)

Mengapa Sulam Alis Dilarang?

Dalam salah satu situs yang mengupas serba-serbi keluarga, dijelaskan proses sulam alis.

Salah satu di antara proses yang dilangsungkan dalam sulam alis adalah alis dibersihkan dan dibentuk. Alis dirapikan dengan alat cukur alis atau pinset. Terutama bulu-bulu yang tumbuh di luar garis ideal.

Selanjutnya, dilakukan proses penyulaman. Setelah krim anestesi dirasa sudah bekerja, proses sulam pun dimulai. Menggunakan alat khusus (embroidery pen) untuk mengaplikasikan tinta dan menghasilkan salur-salur yang mirip bulu alis.

Untuk proses seperti yang disebutkan, tidak keluar dari larangan yang disebutkan dalam dalil.

Ikat Hati Suami dengan Akhlak

Seberapa lama anda bisa mempertahankan kecantikan anda? 40 tahun, 50 tahun, atau 60 tahun. Ketika anda hanya fokus kepada kecantikan, anda akan dihantui dengan kondisi masa depan wajah anda. Di saat fisik anda tidak mungkin mampu dipoles lebih menawan.

Karena itu, selayaknya anda tidak melupakan kelebihan lain yang bisa menggait hati suami dan itu sifatnya lebih abadi. Itulah akhlak.

Apa yang bisa anda bayangkan ketika anda adalah seorang hafidzah yang hafal al-Quran 30 juz, atau 20 juz atau 10 juz, kalau terlalu jauh, ya.. setidak juz amma.

Atau anda seorang yang sangat antusias dalam dakwah dan ibadah. Atau anda seorang pelopor kebaikan bagi para muslimah. Atau anda orang yang sangat anggun akhlaknya.

Hebat di mata suami, pahlawan di mata anak-anak, bakti di hadapan orang tua, dan mulia di hadapan mertua.

Di saat anda tidak lagi mampu mempertahankan kecantikan fisik, saatnya anda tunjukkan kecantikan akhlak.

Allahu a’lam.

Sudahkah Kita Memiliki Bagian Dari Amalan Yang Tersembunyi

Sudahkah Kita Memiliki Bagian Dari Amalan Yang Tersembunyi 

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ.

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ

أَشْهَدُ أَنْ لَاۧ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ .

اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى مَحَمَّدِ نِالْمُجْتَبٰى، وَعَلٰى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَهْلِ التُّقٰى وَالْوَفٰى. أَمَّا بَعْدُ فَيَاأَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ! أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ فَقَدْ فَازَ مَنِ اتَّقَى

فَقَالَ اللهُ تَعَالٰى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا * يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Bertakwalah kepada Allah Ta’ala! Taatilah seluruh perintah-Nya dan janganlah engkau bermaksiat kepada-Nya! Ketahuilah wahai jemaah sekalian, bahwa kebaikan duniamu dan akhiratmu tidak akan bisa diraih, kecuali dengan ketakwaan kepada Allah Sang Mahakaya dan Maha Esa. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS. At-Talaq: 2-3)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّاٰتِهٖ وَيُعْظِمْ لَهٗٓ اَجْرًا

“Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipatgandakan pahala baginya.” (QS. At-Talaq: 5)

Jemaah yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Ada satu doa yang senantiasa diulang-ulang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Doa yang selalu beliau rutinkan dan beliau baca di waktu-waktu mustajab. Salah satu doa yang selayaknya mendapatkan perhatian khusus dari kita. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, pelayan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan,

كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ يُكثرُ أن يقولَ يا مقلِّبَ القلوبِ ثَبِّتْ قلبِي على دينِك فقلت يا نبيَّ اللهِ آمنَّا بك وبما جئتَ به فهل تخافُ علينا؟ قال نعم إن القلوبَ بينَ إصبعينِ من أصابعِ اللهِ يُقلِّبُها كيفَ يشاءُ

”Rasulullah ﷺ senantiasa memperbanyak doa, ‘Wahai Zat Yang Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.’ Lalu, aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami telah beriman kepadamu dan dengan apa yang engkau bawa, apakah engkau mengkhawatirkan kami?’ Beliau bersabda, ‘Iya, sesungguhnya hati itu ada di antara dua jemari dari jari jemari Allah. Dia membolak-balikkan sebagaimana yang Dia kehendaki.’” (HR. Tirmidzi no. 2140, Ahmad no. 13696 dan Ibnu Majah no. 38334)

Jika Nabi saja mengkhawatirkan kondisi agama para sahabatnya, maka ketakutan dan kekhawatiran kita akan godaan terhadap agama kita tentunya lebih besar. Karena hati ini seperti namanya dalam bahasa Arab “Al-Qalbu” memiliki makna mudah dan cepat berubah. Dari keimanan menuju kekafiran. Dan dari ketaatan menuju kemaksiatan.

Wahai hamba-hamba Allah sekalian.

Salah satu hal terbesar yang akan membantu kita teguh di atas kebenaran dan keimanan adalah menjaga hal-hal yang bersifat rahasia dari ibadah yang tersembunyi. Karena hal-hal tersebut terbukti akan menguatkan keteguhan kita. Amalan tersembunyi adalah ujian tersendiri yang dihadapkan pada amalan kita di hari kiamat nanti. Allah Ta’ala mengatakan,

يَوْمَ تُبْلَى السَّرَائِرُ

“Pada hari ditampakkan segala rahasia.” (QS. At-Thariq: 9)

Mengenai ayat ini, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

“Muqaatil rahimahullah mengatakan, ‘Yaitu, itu nampak dan muncul…’  Maka, keimanan termasuk dari rahasia. Dan hukum-hukum-Nya termasuk rahasia. Mereka semua akan diuji pada hari itu untuk menampakkan mana saja yang baik dari yang buruk. Siapa saja yang melaksanakannya dari mereka yang menyepelekannya. Dan apa yang diniatkan untuk Allah dari apa yang bukan untuk-Nya.”

Wahai hamba-hamba Allah sekalian.

Kebaikan yang disembunyikan dan niat yang tulus karena Allah Ta’ala akan menjadikan pahala sebuah amal menjadi besar, meskipun aslinya amalannya tersebut terlihat kecil dan sedikit. Sedangkan niat yang jelek bisa jadi akan membatalkan pahala sebuah amal, meskipun amalannya tersebut terlihat besar.

Jemaah Jum’at yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Perbanyaklah amalan-amalan tersembunyi untuk menggapai rida Allah Ta’ala. Sahabat Zubair bin Awwam radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan,

مَنِ استطاعَ منكم أنْ يكونَ لَهُ خَبْءٌ [خَبِيءٌ] مِنْ عمَلٍ صالِحٍ فلْيَفْعَلْ

”Siapa saja di antara kalian yang mampu untuk memiliki amal saleh yang tersembunyikan, maka lakukanlah!” (Diriwayatkan dan disahihkan oleh Syekh Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 6018)

Ibadah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi serta meninggalkan dosa yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi akan mengangkat derajat seorang hamba, membesarkan nilai pahala, dan menghapuskan dosa-dosa. Allah Ta’ala berfirman,

اِنَّمَا تُنْذِرُ مَنِ اتَّبَعَ الذِّكْرَ وَخَشِيَ الرَّحْمٰنَ بِالْغَيْبِۚ فَبَشِّرْهُ بِمَغْفِرَةٍ وَّاَجْرٍ كَرِيْمٍ

“Sesungguhnya engkau hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, walaupun mereka tidak melihat-Nya. Maka, berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia.” (QS. Yasin :11)

Jemaah jum’at yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Ibadah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi akan menguatkan hubungan kita dengan Allah Ta’ala. Tidaklah ada seseorang yang mengeluhkan lemahnya hubungan dirinya dengan Allah, kecuali pasti sedikit dirinya di dalam berdua-duaan, berkhalwat, dan bermunajat dengan Allah Ta’ala.

Oleh karena itu, tidak mengherankan bila kekasih hati kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa bangun di malam hari, bermunajat dengan Tuhan-Nya, beriktikaf di sepuluh malam terakhir bulan Ramadan dengan kualitas salat yang tidak perlu diragukan dan dipertanyakan lagi bagusnya dan lamanya. Allah Ta’ala berfirman,

يٰٓاَيُّهَا الْمُزَّمِّلُۙ * قُمِ الَّيْلَ اِلَّا قَلِيْلًاۙ * نِّصْفَهٗٓ اَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيْلًاۙ * اَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْاٰنَ تَرْتِيْلًاۗ * اِنَّا سَنُلْقِيْ عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيْلًا * اِنَّ نَاشِئَةَ الَّيْلِ هِيَ اَشَدُّ وَطْـًٔا وَّاَقْوَمُ قِيْلًاۗ

“Wahai orang yang berselimut (Muhammad)! Bangunlah (untuk salat) pada malam hari, kecuali sebagian kecil, (yaitu) separuhnya atau kurang sedikit dari itu, atau lebih dari (seperdua) itu. Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan perkataan yang berat kepadamu. Sungguh, bangun malam itu lebih kuat (mengisi jiwa); dan (bacaan pada waktu itu) lebih berkesan.” (QS. Az-Zamil: 1-6)

Jikalau Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memiliki waktu khusus untuk berduaan dengan Rabbnya dan salat di hadapan-Nya, maka beliau tidak akan kuat memikul amanah risalah yang berat ini.

Wahai saudaraku yang sedang menghadapi kesulitan dalam agamanya, sedang menghadapi kesulitan dalam urusan dunianya, mohonlah pertolongan kepada Tuhanmu, berbisiklah kepada-Nya di malam-malam yang sunyi. Karena amal ibadah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi merupakan salah satu sebab terbesar diterimanya doa-doa dan harapanmu. Karena amalan tersebut akan menjagamu dari riya’ dan pengelihatan manusia.

Wallahu a’lam bisshawab.

أقُولُ قَوْلي هَذَا وَأسْتغْفِرُ اللهَ العَظِيمَ لي وَلَكُمْ، فَاسْتغْفِرُوهُ يَغْفِرْ لَكُمْ إِنهُ هُوَ الغَفُورُ الرَّحِيمُ، وَادْعُوهُ يَسْتجِبْ لَكُمْ إِنهُ هُوَ البَرُّ الكَرِيْمُ.

Khotbah kedua

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ.

Ma’asyiral mukminin yang dimuliakan Allah Ta’ala.

Sebagaimana setan menggoda manusia pada ibadah-ibadah yang nampak dengan riya’, setan juga tidak berputus asa dari amalan-amalan yang tersembunyi. Mereka akan menggoda para pelakunya untuk berlaku ujub, bangga diri dengan amalan tersembunyi yang telah dilakukannya. Terkadang ia jadi meremehkan saudara semuslimnya yang lain. Menganggap bahwa amal ibadah tersembunyi yang dilakukannya menjadikannya lebih baik dari mereka semua. Saat engkau sudah dimampukan untuk melakukan amal ibadah tersembunyi ini, maka berhati-hatilah dari jebakan setan tersebut.

Berhati-hatilah juga wahai saudaraku, setan akan berusaha menggoda mereka yang telah berhasil melakukan amalan secara sembunyi-sembunyi dengan cara membuatnya lalai, membuat lisannya tidak kuat untuk tidak menceritakan hal tersebut kepada manusia lainnya. Amalan yang sudah susah payah dilakukannya secara sembunyi-sembunyi itu dengan cepat berubah menjadi amalan yang nampak hanya dengan satu ucapan dari lisannya. Berusahalah sekuat tenaga wahai saudaraku, untuk tidak menceritakan amalan tersembunyi yang telah kita lakukan.

Jemaah yang berbahagia, ketahuilah bahwa selain amalan-amalan tersembunyi, ada juga amalan-amalan yang Allah Ta’ala ingin untuk ditampakkan. Oleh karenanya, janganlah terlambat dan jangan lupakan bagianmu dari ibadah-ibadah ini, baik itu menghadiri salat berjemaah ataupun menghadiri salat Jumat layaknya berkumpulnya kita di masjid yang mulia ini. Sungguh itu bukanlah termasuk dari riya’ yang diharamkan.

Ma’asyiral mukminin yang berbahagia, amalan-amalan tersembunyi adalah penyeimbang bagi amal ibadah kita yang zahir dan nampak tersebut. Oleh karenanya, sangat penting sekali untuk kita rutinkan dan kita jaga. Muslim bin Yasar rahimahullah, salah atau tabiin dan muhaddits terkemuka pernah mengatakan,

ما تلذَّذ المتلذِّذونَ بمثلِ الخَلْوةِ بمناجاةِ اللهِ عز وجل

”Tidak ada kenikmatan yang dapat dirasakan oleh seorang penikmat melebihi nikmatnya yang kesendirian untuk bermunajat dengan Allah Azza Wajalla.”  (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam hal. 36)

Masruq bin Ajda’ rahimahullah juga pernah mengatakan,

إِنَّ الْمَرْءَ لَحَقِيقٌ أَنْ يَكُونَ لَهُ مَجَالِسُ يَخْلُو فِيهَا فَيَذْكُرَ فِيهَا ذُنُوبَهُ فَيَسْتَغْفِرَ مِنْهَا

“Sesungguhnya wajib bagi seseorang untuk memiliki waktu-waktu di mana dia menyendiri di dalamnya. Waktu-waktu yang ia manfaatkan untuk mengingat dosa-dosanya dan meminta pengampunan untuk itu.” (Mushannaf Al-Hafidz Ibnu Abi Syaibah no. 36017)

Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik-Nya kepada kita untuk bisa menjaga dan merutinkan amal ibadah yang nampak maupun yang tidak nampak dan tersembunyi.

Ya Allah,  kuatkanlah kami untuk bisa rutin bangun di sepertiga malam terakhir dan bermunajat kepada-Mu, izinkan hamba-Mu ini untuk memiliki waktu khusus dengan-Mu.

Ya Allah, jauhkan diri kami dari riya’ dan ujub dalam beribadah, karena keduanya pastilah akan merusak kadar keikhlasan kami di dalam beramal.

Amin ya Rabbal ‘alamin.

فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ،

اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَ

اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ

رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.

وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

***

Bukan Besarnya Dosa Tetapi Kepada Siapa Bermaksiat

Bukan Besarnya Dosa Tetapi Kepada Siapa Bermaksiat 

Terkadang setan membisikkan kepada kita agar meremehkan dosa walaupun kecil. Kita merasa tidak apa-apa melakukan dosa ini, karena itu “hanya” dosa kecil dan bukan merupakan dosa besar. Hendaknya kita perhatikan nasehat ulama bahwa bukan besar-kecilnya dosa yang menjadi masalah, akan tetapi kita bermaksiat kepada Allah pencipta kita. Kita buat permisalan, kepada atasan/bos saja, kita hati-hati sekali, jangan sampai melakukan kesalahan walaupun kecil. Kita sangat hati-hati ketika melakukan tugas dari atasan/bos. Tentu kita harus sangat-sangat hati-hati jika bermaksiat kepada Allah, Rabb Penguasa semesta alam yang telah menciptakan alam semesta ini.

Bilal bin Sa’ad berkata,

لا تنظر إلي صغر المعصية, و لكن انظر من عصيت

“Janganlah engkau melihat kecilnya maksiat tetapi lihatlah kepada siapa engkau bermaksiat.” [Ad-Daa’ wad Dawaa’ hal. 82]

Dosa kecil sangat berbahaya jika diremehkan. Dosa yang kecil yang terus-menerus dilakukan akan menjadi dosa besar yang berbahaya, terlebih hatinya meremehkan dosa tersebut. Terdapat ungkapan dari sebagian ulama kita:

لاَ صَغِيْرَةَ مَعَ الْاِسْتِمْرَارَ وَلاَ كَبِيْرَةَ مَعَ الْاِسْتِغْفَارِ

“Tidak ada dosa kecil apabila dilakukan terus-menerus, tidak ada dosa besar apabila diiringi dengan istighfar.”

Bagaimanapun juga, dosa yang kita lakukan besar atau kecil tetap akan membuat hati kita menjadi sakit bahkan mati.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻦَ ﺇِﺫَﺍ ﺃَﺫْﻧَﺐَ ﺫَﻧْﺒًﺎ ﻧُﻜِﺖَ ﻓِﻲ ﻗَﻠْﺒِﻪِ ﻧُﻜْﺘَﺔٌ ﺳَﻮْﺩَﺍﺀُ ﻓَﺈِﻥْ ﺗَﺎﺏَ ﻭَﻧَﺰَﻉَ ﻭَﺍﺳْﺘَﻐْﻔَﺮَ ﺻُﻘِﻞَ ﻗَﻠْﺒُﻪُ ﻭَﺇِﻥْ ﺯَﺍﺩَ ﺯَﺍﺩَﺕْ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﻌْﻠُﻮَ ﻗَﻠْﺒَﻪُ ﻓَﺬَﻟِﻚَ ﺍﻟﺮَّﺍﻥُ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺫَﻛَﺮَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﺰَّ ﻭَﺟَﻞَّ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ : ﻛَﻠَّﺎ ﺑَﻞْ ﺭَﺍﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﻗُﻠُﻮﺑِﻬِﻢْ ﻣَﺎ ﻛَﺎﻧُﻮﺍ ﻳَﻜْﺴِﺒُﻮﻥَ

”Sesungguhnya seorang mukmin, jika melakukan satu perbuatan dosa, maka ditorehkan di hatinya satu titik hitam. Jika ia bertaubat, berhenti dan minta ampun, maka hatinya akan dibuat mengkilat (lagi). Jika semakin sering berbuat dosa, maka titik-titik itu akan bertambah sampai menutupi hatinya. Itulah ‘raan‘ yang disebutkan Allah ta’ala, sekali-kali tidak akan tetapi itulah ‘raan‘ yang disebutkan Allah dalam Al-Qur’an”. (HR. Ahmad, hasan)

Terkait dengan melakukan dosa juga, ada hal penting yang kita ketahui agar kita semua benar-benar takut ketika akan melakukan sebuah maksiat yang tentu merugikan diri sendiri dan bisa jadi orang lain, yaitu bahwa maksiat ini akan mendatangkan maksiat selanjutnya, akan menyebabkan kita cenderung melakukan maksiat selanjutnya.

Inilah yang dimaksudkan bahwa suatu keburukan akan membawa keburukan selanjutnya. Allah berfirman,

ﻭَﺟَﺰَﺍﺀُ ﺳَﻴِّﺌَﺔٍ ﺳَﻴِّﺌَﺔٌ ﻣِﺜْﻠُﻬَﺎ

“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa.” (QS. Asy-Syura: 40)

Demikian juga Ibnu Abbas menjelaskan bahwa jangan pernah merasa aman ketika telah melakukan maksiat karena bisa jadi akan melakukan maksiat selanjutnya yang lebih besar. Beliau berkata,

ﻳﺎ ﺻﺎﺣﺐ ﺍﻟﺬﻧﺐ، ﻻ ﺗﺄﻣﻦ ﻣﻦ ﺳﻮﺀ ﻋﺎﻗﺒﺘﻪ، ﻭﻟﻤﺎ ﻳﺘﺒﻊ ﺍﻟﺬﻧﺐ ﺃﻋﻈﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﺬﻧﺐ ﺇﺫﺍ ﻋﻤﻠﺘﻪ

“Wahai pelaku dosa, janganlah merasa aman dari jeleknya akibat dosa, karena dosa yang lebih besar bisa jadi mengiringinya/mengikutinya, lebih besar dari dosa yang telah engkau lakukan (sekarang).” (Hilyatul Auliya’ no. 1180)

Semoga kita dijauhkan dari berbagai dosa baik dosa besar maupun dosa kecil, karena maksiat yang kita lakukan ini menjadi sebab kesusahan, musibah dan bencana yang turun kepada kita.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَآأَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا عَن كَثِيرٍ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syuraa :30)

Demikian semoga bermanfaat.

Keutamaan Membangun Masjid

Keutamaan Membangun Masjid 

Ternyata membangun masjid punya keutamaan yang besar. Bahkan bila kita membangun bagian kecil saja tetap punya keutamaan.

Bangun Masjid Walau Hanya Menyumbang Satu Bata

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ بَنَى مَسْجِدًا لِلَّهِ كَمَفْحَصِ قَطَاةٍ أَوْ أَصْغَرَ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ

Siapa yang membangun masjid karena Allah walaupun hanya selubang tempat burung bertelur atau lebih kecil, maka Allah bangunkan baginya (rumah) seperti itu pula di surga.” (HR. Ibnu Majah no. 738. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

Mafhash qathaah dalam hadits artinya lubang yang dipakai burung menaruh telurnya dan menderum di tempat tesebut. Dan qathah adalah sejenis burung.

Ibnu Hajar dalam Al-Fath (1: 545) menyatakan,

(مَنْ بَنَى مَسْجِدًا) التَّنْكِير فِيهِ لِلشُّيُوعِ فَيَدْخُلُ فِيهِ الْكَبِير وَالصَّغِير ، وَوَقَعَ فِي رِوَايَةِ أَنَس عِنْدَ التِّرْمِذِيِّ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا

“Maksud dari “siapa yang membangun masjid” digunakan isim nakirah yang menunjukkan keumuman, sehingga maksud hadits adalah siapa yang membangun masjid besar maupun kecil. Dalam riwayat Anas yang dikeluarkan oleh Tirmidzi yang mendukung yang menyatakan dengan masjid kecil atau besar.”

Masih melanjutkan penjelasan Ibnu Hajar, yang diterangkan dalam hadits di atas adalah cuma bahasa hiperbolis. Karena tak mungkin tempat burung menaruh telur dan menderum yang seukuran itu dijadikan tempat shalat. Ada riwayat Jabir semakin memperkuat hal ini.

Sebagian ulama lainnya menafsirkan hadits tersebut secara tekstual. Maksudnya, siapa membangun masjid dengan menambah bagian kecil saja yang dibutuhkan, tambahan tersebut seukuran tempat burung bertelur; atau bisa jadi caranya, para jama’ah bekerja sama untuk membangun masjid dan setiap orang punya bagian kecil seukuran tempat burung bertelur; ini semua masuk dalam istilah membangun masjid. Karena bentuk akhirnya adalah suatu masjid dalam benak kita, yaitu tempat untuk kita shalat.

Berarti penjelasan Ibnu Hajar di atas menunjukkan bahwa jika ada yang menyumbang satu sak semen saja atau bahkan menyumbang satu bata saja, sudah mendapatkan pahala untuk membangun masjid … masya Allah.

Yang Penting Ikhlas Ketika Menyumbang

Berapa pun besar sumbangan untuk masjid harus didasari niatan ikhlas karena Allah. Karena yang dimaksud lillah, kata Ibnu Hajar adalah ikhlas (karena Allah). (Fath Al-Bari, 1: 545). Jadi, pahala besar membangun masjid yang disebutkan dalam hadits yang kita kaji bisa diraih ketika kita ikhlas dalam beramal, bukan untuk cari pujian atau balasan dari manusia.

Maksud Dibangunkan Bangunan Semisal di Surga

Hadits tentang keutamaan membangun masjid juga disebutkan dari hadits Utsman bin Affan. Di masa Utsman yaitu tahun 30 Hijriyah hingga khilafah beliau berakhir karena terbunuhnya beliau, dibangunlah masjid Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Utsman katakan pada mereka yang membangun sebagai bentuk pengingkaran bahwa mereka terlalu bermegah-megahan. Lalu Utsman membawakan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ بَنَى مَسْجِدًا لِلَّهِ بَنَى اللَّهُ لَهُ فِى الْجَنَّةِ مِثْلَهُ

Siapa yang membangun masjid karena Allah, maka Allah akan membangun baginya semisal itu di surga.” (HR. Bukhari no. 450 dan Muslim no. 533).

Kata Imam Nawawi rahimahullah, maksud akan dibangun baginya semisal itu di surga ada dua tafsiran:

1- Allah akan membangunkan semisal itu dengan bangunan yang disebut bait (rumah). Namun sifatnya dalam hal luasnya dan lainnya, tentu punya keutamaan tersendiri. Bangunan di surga tentu tidak pernah dilihat oleh mata, tak pernah didengar oleh telinga, dan tak pernah terbetik dalam hati akan indahnya.

2- Keutamaan bangunan yang diperoleh di surga dibanding dengan rumah di surga lainnya adalah seperti keutamaan masjid di dunia dibanding dengan rumah-rumah di dunia. (Syarh Shahih Muslim, 5: 14)

Masjid Hanya untuk Ajang Pamer dan Saling Bangga

Yang tercela adalah jika masjid cuma untuk bermegah-megahan, bukan untuk tujuan ibadah atau berlomba dalam kebaikan. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِى الْمَسَاجِدِ

Kiamat tidaklah terjadi hingga manusia berbangga-bangga dalam membangun masjid” (HR. Abu Daud no. 449, Ibnu Majah no. 739, An-Nasa’i no. Ahmad 19: 372. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan menyatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim, perawinya tsiqah. Al-Hafizh Abu Thahir juga menyimpulkan bahwa sanad hadits ini shahih).

Itulah kenyataan yang terjadi saat ini di tengah-tengah kaum muslimin. Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Yang dimaksud hadits adalah saling menyombongkan diri dengan masjidnya masing-masing. Ada yang nanti berujar, wah masjidku yang paling tinggi, masjidku yang paling luas atau masjidku yang paling bagus. Itu semua dilakukan karena riya’ dan sum’ah, yaitu mencari pujian. Itulah kenyataan yang terjadi pada kaum muslimin saat ini.” (Minhah Al-‘Allam, 2: 495). Itulah tanda kiamat semakin dekat.

Semoga bermanfaat. Semoga artikel ini semakin memotivasi kita untuk membangun masjid di dunia, sehingga Allah menjadikan kita rumah yang indah dan penuh kenikmatan di surga. Wallahu waliyyut taufiq.

Referensi:

Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim. Cetakan pertama, tahun 1433 H. Yahya bin Syarh An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm.

Fath Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari. Cetakan keempat, tahun 1432 H. Ibnu Hajar Al-Asqalani. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.

Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan ketiga, tahun 1431 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.

Berbaik Sangka Kepada Allah


Berbaik Sangka Kepada Allah 

Husnudzan (berbaik sangka) kepada Allah termasuk ibadah hati yang memiliki nilai besar. Dan inti dari husnudzan kepada Allah adalah membangun keyakinan sesuai dengan keagungan nama dan sifat Allah, dan membangun keyakinan sesuai dengan konsekuensi dari nama dan sifat Allah.

Misalnya : Membangun keyakinan bahwa Allah akan memberi rahmat dan ampunan bagi para hamba-Nya yang baik.

Allah berfirman,

وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا

Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. an-Nisa: 110)

Membangun keyakinan bahwa Allah akan mengampuni hamba-Nya yang mau bertaubat.

Allah berfirman,

وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَابًا

Orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya. (QS. al-Furqan: 71)

Membangun keyakinan bahwa Allah akan memberi pahala bagi hamba-Nya yang melakukan ketaatan.

Allah berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. (QS. al-Baqarah: 277)

Membangun keyakinan bahwa siapa yang tawakkal kepada Allah akan diberi kecukupan oleh Allah.

Allah berfirman,

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (kebutuhan)nya. (QS. at-Thalaq: 3)

Membangun keyakinan bahwa setiap takdir dan keputusan Allah memiliki hikmah yang agung.

Allah berfirman,

وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنَزِّلُهُ إِلَّا بِقَدَرٍ مَعْلُومٍ

Tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu. (QS. al-Hijr: 21)

Bukan Husnudzan kepada Allah

Karena itulah, bukan termasuk husnudzan kepada Allah, ketika seseorang mengharap pahala dari Allah, sementara dia tidak beramal. Sebagian remaja punya angan-angan, kecil bermain ria, muda foya-foya, mati masuk surga. Keyakinan ini bertentangan dengan banyak dalil yang menyebutkan bahwa Allah akan memberi hukuman untuk orang yang berbuat maksiat.

Ibnul Qoyim mengatakan,

وقد تبين الفرق بين حسن الظن والغرور ، وأن حسن الظن إن حمَل على العمل وحث عليه وساعده وساق إليه : فهو صحيح ، وإن دعا إلى البطالة والانهماك في المعاصي : فهو غرور ، وحسن الظن هو الرجاء ، فمن كان رجاؤه جاذباً له على الطاعة زاجراً له عن المعصية : فهو رجاء صحيح ، ومن كانت بطالته رجاء ورجاؤه بطالة وتفريطاً : فهو المغرور

Sangat jelas perbedaan antara husnudzan dengan ghurur (tertipu). Husnudzan kepada Allah yang mendorong dirinya untuk beramal, menggiringnya beramal, maka ini husnudzan yang benar. Namun jika husnudzan menyebabkan dirinya menjadi pengangguran, atau bahkan tenggelam dalam maksiat, ini ghurur (tertipu). Karena husnudzan adalah membangun harapan. Siapa yang harapannya menyebabkan dirinya semakin taat dan menjauhi maksiat, ini harapan yang benar. Sebaliknya, jika penganggurannya menjadi harapan dan harapannya menyebabkan dia pengagguran dan pelanggaran syariat, maka ini tertipu. (al-Jawab al-Kafi, hlm. 24).

Termasuk juga meyakini Allah akan mengampuninya, sementara dia tetap bertahan dalam kubangan maksiat.

Sering kali ada orang yang diingatkan untuk meninggalkan maksiat, dia tidak mau meninggalkannya dan beralasan Allah Maha Pengampun, pasti akan mengampuni semua dosa hamba-Nya.

Termasuk tidak mau beramal, karena meyakini Allah tidak akan menerima amalnya.

Atau tidak mau berubah menjadi baik, karena anggapan Allah tidak akan menerima taubatnya.

Sering kita jumpai ada wanita yang tidak mau berjilbab, dengan alasan, dirinya kotor, tidak pantas jadi wanita solihah. Dia telah suudzan kepada Allah. Karena dia putus asa dengan rahmat Allah.

Allah berfirman,

وَلَا تَيْئَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لَا يَيْئَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ

“Jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir..” (QS. Yusuf: 87).

Orang kafir tidak punya harapan untuk mendapat rahmat Allah, karena mereka kafir. Karena itu, janganlah meniru orang kafir, yang pupus harapan untuk mendapat rahmat dari Allah.

Contoh Husnudzan kepada Allah

Diantara bentuk husnudzan adalah membangun harapan untuk mendapat pahala ketika beribadah, atau berharap besar agar doanya dikabulkan ketika berdoa.

Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي

Allah Ta’ala berfirman, “Aku sesuai sangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Dan Aku bersamanya, jika dia mengingat-Ku.” (HR. Bukhari 7405 & Muslim 6981)

Allah memberi balasan dari amal baik hamba, sesuai persangkaan hamba kepada-Nya

Allahu a’lam.

Anggaplah Besar Dosamu

Anggaplah Besar Dosamu

Orang yang beriman lagi bertakwa yang takut kepada Kekasihnya (Allah) dan mengagungkan-Nya, ia menganggap besar dosanya dan menganggap besar dalam hatinya kekurangan dirinya di sisi Allah. Sejauh mana keimanan seseorang dan pengagungannya kepada Allah, sejauh itu pula ia menganggap besar kemaksiatan dan dosanya.
Allah –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى – menyifati hamba-hamba-Nya yang bertakwa dengan firman-Nya,

كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ (17) وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ (18)

Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam ; dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah) (Qs. adz-Dzariyat : 17-18)

Dalam ayat lain, Dia –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا إِنَّنَا آمَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (16) الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ (17)

(Yaitu) orang-orang yang berdoa: Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka,” (yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur (Qs. Ali Imran : 16-17)

Kendatipun sedemikian rupa ketakwaan, ibadah, infak dan qiyamullail yang mereka lakukan, tetapi mereka tetap beristighfar kepada Allah pada waktu yang mereka anggap lebih mudah dikabulkan.

Abdullah bin Mas’ud رَضِيَ اللهُ عَنْه mengilustrasikan keadaan orang yang beriman dalam hubungannya dengan kemaksiatan dengan ilustrasi yang detail dan mendalam :

“Orang beriman melihat dosa-dosanya seolah-olah ia duduk di bawah gunung, ia takut gunung tersebut menimpanya. Sementara orang yang fajir (suka berbuat dosa) melihat dosanya seperti lalat yang lewat di atas hidungnya.”Ia mengisyaratkan begini-Ibnu Syihab berkata – : dengan tangannya di atas hidungnya.” (HR. al-Bukhari, no.6308)

Ibnu Abi Jamrah –رَحِمَهُ اللهُ -mengatakan : “Hikmah dalam penyerupaan (dosa) dengan gunung ialah bahwa hal-hal yang membahayakan selain gunung adakalanya diperoleh faktor yang menyelamatkan darinya. Berbeda dengan gunung apabila menimpa seseorang, maka biasanya ia tidak dapat selamat darinya (Fathul Baariy, 11/105)

Al-Muhibb ath-Thabariy –رَحِمَهُ اللهُ -berkata : “Ini hanyalah sifat orang yang beriman kerena begitu takutnya kepada Allah dan siksa-Nya. Karena ia merasa yakin dengan dosanya dan tidak yakin mendapatkan ampunan. Sedangkan orang yang fajir sedikit pengetahuannya tentang Allah. Karena itu, kurang rasa takutnya dan menganggap remeh kemaksiatan (HR. al-Bukhari, 6492)

Saudaraku, jika aku letakkan diriku juga dirimu pada timbangan Ibnu Mas’ud-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, dan bagaimana kita melihat kemaksiatan-kemaksiatan dan dosa-dosa kita, maka kita termasuk dalam sisi timbangan yang mana ? Apakah kita termasuk mereka yang melihat dosa-dosanya laksana gunung ataukah termasuk orang-orang yang melihat dosanya seperti lalat ?

Kepekaan dan ketakutan terhadap dosa serta menganggap besar dosa tersebut bukan hanya sifat spesial Ibnu Mas’ud-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, tetapi sifat yang pada umumnya dimiliki oleh generasi awal.

Dalam shahih al-Bukhari dari Ghailan, dari Anas-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- ia berkata, “Sungguh kalian mengetahui amalan-amalan yang lebih kecil daripada rambut dalam pandangan kalian, padahal kami menilainya pada masa Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- sebagai dosa besar (HR. al-Bukhari, no.6492)

Seorang muslim merenungi atsar ini dengan kebingungan dan bertanya-tanya.
Anas-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- mengatakan hal itu kepada salah seorang tabi’in dan salah seorang muridnya untuk mengilustrasikan perbandingan antara pandangan mereka terhadap dosa mereka dengan pandangan para sahabat Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.

Ia bertanya-tanya dalam dirinya, sebesar apa dosa-dosa para tabi’in tersebut ? Dan bagaimana perbandingan antara pandangan kita terhadap dosa-dosa kita dan kekurangan kita dengan pandangan generasi tersebut ? Apa kira-kira yang akan dikatakan Anas-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-seandainya ia melihat apa yang kita lakukan ?

Perasaan yang sama kita lihat pada Khudzaefah bin al-Yaman-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- , ketika ia mengatakan, “Jika seseorang mengatakan sesuatu perkataan pada masa Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- ,maka dengan perkataan itu ia menjadi munafik. Tapi aku mendengar perkataan itu dari salah seorang kalian empat kali dalam satu majlis (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ashim dalam az-Zuhd, hal. 69; dan Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, 1/279)

Ini juga berlaku bagi sebaik-baik manusia sesudah Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-. Pernah Umar bin Khaththab -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- menemui Abu Bakar ash-Shiddiq -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- dalam keadaan menutup mulutnya. Ia mengatakan, “Lisanku inilah yang membawaku kepada kebinasaan (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ashim dalam az-Zuhd, hal. 22; dan Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, 1/33)

Dalam perang Hudaibiyah kaum muslimin datang dengan penuh kerinduan ke Baitullah. Tapi mereka beserta Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dihalang-halangi oleh kaum musyrikin dari melaksanakan niat mereka itu. Sehingga ada unek-unek dalam hati para sahabat Rasulullah. Maka Umar-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- menemui Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- seraya bertanya, “Bukankah engkau benar-benar Nabi Allah ?” Nabi menjawab,”Benar” Ia bertanya,”Bukankah kita berada di atas kebenaran dan musuh kita di atas kebatilan ?” Beliau menjawab,”Benar.”Ia berkata, “Kalau begitu mengapa kita memberikan kehinaan kepada agama kita? ” Beliau menjawab, “Aku adalah utusan Allah dan aku tidak pernah bermaksiat kepadaNya dan Dia adalah penolongku.” Ia berkata,”Bukankah engkau mengatakan kepada kami bahwa kami akan datang ke Baitullah dan melakukan thawaf di sana ? ” Beliau menjawab, “Benar.” Apakah aku telah memberitahukan kepada kalian bahwa kita akan datang ke Baitullah tahun ini ? ” Ia (Umar -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-) mengatakan, “Tidak.” Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya kamu akan datang dan berthawaf di sana.” Lalu Umar menemui Abu Bakar, lalu Abu Bakar berkata kepadanya seperti itu dan menjawabnya seperti jawaban Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- kepadanya (HR. al-Bukhari, no. 2732; dan Muslim, no. 1785 dengan redaksi lain yang senada dengannya.

Anda lihat apa yang mendorong Umar -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- berdialog dengan Rasulullah-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, bukankah keinginan untuk membela agamanya, berthawaf di Baitullah dan beribadah kepada Allah ?

Tapi Umar masih merasa dan menilai sikapnya tersebut sebagai dosa. Karena itu ia bersungguh-sungguh dalam beramal shalih yang akan dapat menghapus dosanya itu. Ia mengatakan, “Karena kesalahan itu, saya melakukan berbagai amalan.” Dalam riwayat Ibnu Ishaq disebutkan bahwa Umar pernah mengatakan, “Aku senantiasa bersedekah, berpuasa, shalat dan memerdekakan budak, karena apa yang pernah aku katakan waktu itu.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar-رَحِمَهُ اللهُ – mengatakan, “Sesungguhnya dia melakukan amalan-amalan tersebut hanya karena hal ini, karena kalau tidak karena itu, maka seluruh yang muncul darinya adalah termaafkan, bahkan mendapatkan pahala karena ia berijtihad di dalamnya (Fath al-Bariy, 11/347)

Jika demikian biografi mereka dalam apa yang mereka ijtihadkan, lalu bagaimana halnya dengan orang yang betul-betul melakukan kemaksiatan dengan terang-terangan ?

Abdullah bin Amr bin Ash –رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – mengilustrasikan jiwa seorang mukmin ketika melakukan kesalahan. Ia mengatakan, “Sungguh jiwa orang yang beriman lebih menjauhi kesalahan dibandingkan burung ketika ia dilempar.” (Riwayat Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd, hal 72)

Mudah-mudahan anda sama memahami dengan saya bahwa terdapat perbedaan antara dosa yang dilihat Abdullah bin Amr bin Ash –رَضِيَ اللهُ عنهُ- dengan apa yang kita lihat.

Adakalanya pandangan seseorang tertuju pada kecilnya kesalahan. Tetapi Bilal bin Sa’d mengingatkan perilaku ini, ketika mengatakan,”Jangan melihat kecilnya dosa, tetapi lihatlah kepada siapa kamu bermaksiat.” (Riwayat al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, no. 7159)

Adapun Sulaiman bin Hubaib-رَحِمَهُ اللهُ – mengatakan, “Apabila Allah menghendaki kebajikan pada hamba-Nya, Dia menjadikan dosa itu suatu yang buruk. Dan apabila menghendaki keburukan pada hamba-Nya, Dia membuatnya indah di matanya (Riwayat Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd, hal 70)

Menganggap remeh suatu dosa adalah suatu yang besar bagi al-Auza’iy. Ia mengatakan, “Dikatakan sebagai dosa besar adalah apabila seseorang melakukan dosa (kecil) tapi ia anggap remeh (Riwayat al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, no. 7153)

Ia mengatakan juga, “Ishrar” (terus menerus) adalah seorang melakukan dosa dan menganggapnya remeh (Riwayat al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, no. 7154)

Saudaraku yang budiman !

Menganggap besar suatu dosa, bagi orang yang melakukan dosa, akan melahirkan istighfar, taubat, tangisan, penyesalan, dan rengekan kepada Allah dengan doa dan permohonan kepada-Nya agar dirinya dibebaskan dari bahaya dan keburukan dosa tersebut. Semua itu menjadi faktor utama yang memungkinkan pelaku dosa tersebut dapat mengalahkan syahwatnya dan menguasai hawa nafsunya.

Adapun mereka yang menganggap remeh dosa, mereka merasa menyesal dan bertekad untuk bertaubat tetapi tekad tersebut tekad yang sangat lemah yang mudah lenyap di hadapan tarikan-tarikan kemaksiatan.

Wallahu A’lam.