Bersabar Atas Musibah Kehilangan Anak

Bersabar Atas Musibah Kehilangan Anak 

Tidak sedikit dari kaum muslimin yang Allah berikan cobaan berupa kehilangan anak, entah itu di usia balita, dewasa, atau bahkan saat masih berupa janin. Hal ini sangatlah tidak mengherankan, terutama di zaman sekarang yang sudah memasuki akhir zaman. Salah satu tandanya adalah banyak terjadi kematian mendadak sebagaimana disebutkan di dalam hadis,

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ، رَفَعَهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : مِنِ اقْتِرَابِ السَّاعَةِ أَنْ يُرَى الْهِلالُ قِبَلا ، فَيُقَالُ : لِلَيْلَتَيْنِ ، وَأَنْ تُتَّخَذَ الْمَسَاجِدَ طُرُقًا ، وَأَنْ يَظْهَرَ مَوْتُ الْفُجَاءَةِ

Dari Anas bin Mâlik, dia meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Di antara dekatnya hari kiamat, hilal akan terlihat nyata sehingga dikatakan ‘ini tanggal dua’, masjid-masjid dijadikan tempat melintas saja (tanpa mengerjakan salat), dan munculnya (banyaknya) kematian mendadak”. (HR Thabarani dalam Al-Mu’jamush Shaghîr 2/261, no. 1132. Dihasankan oleh Syekh Al-Albâni dalam Shahîh Al-Jâmi‘  2/1.026, no. 5899)

Apakah kematian mendadak itu tanda su’ul khotimah?

Kematian mendadak bukanlah tanda khusnul khatimah maupun su’ul khatimah, karena kematian mendadak bisa menimpa seorang muslim ataupun kafir. Akan tetapi, kematian mendadak merupakan bentuk kemurkaan Allah bagi orang kafir atau orang yang selalu berada dalam maksiat. Adapun orang mukmin, yang selalu mempersiapkan diri dengan iman yang sahih dan amalan yang saleh, maka kematian mendadak merupakan keringanan baginya.

عَنْ عَائِشَةَ ، قَالَتْ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَقُولُ : مَوْتُ الْفُجَاءَةِ تَخْفِيفٌ عَلَى الْمُؤْمِنِ ، وَأَخْذَةُ أَسَفٍ عَلَى الْكَافِرِ

Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Aku mendengar Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Kematian mendadak adalah keringanan terhadap seorang mukmin, dan siksaan yang membawa penyesalan terhadap orang kafir.’” (HR. Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, no. 6.781)

Mukmin yang dimaksud dalam hadis adalah mukmin yang telah mempersiapkan diri menghadapi kematian dan selalu memperhatikannya. Adapun orang yang mengaku muslim, namun banyak berbuat kemaksiatan dan dosa, maka kematian mendadak bukanlah ‘keringanan’ baginya. Hal ini karena ia tidak sempat bertobat dan mempersiapkan diri untuk akhirat.

Pahala bersabar di atas musibah

Tidak diragukan lagi musibah yang datang menghampiri kita, kesusahan yang kita rasakan, serta kesempitan yang kita hadapi, di dalamnya terkandung kebaikan yang sangat besar. Apalagi ketika kita bisa bersabar dan introspeksi diri setelah mendapatkan musibah tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ ۝ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ ۝ أُوْلَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

“Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un’ (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 155-157)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَلَنَجْزِيَنَّ الَّذِينَ صَبَرُوا أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.“ (QS. An-Nahl: 96)

Di dalam sebuah hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ { إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ } اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا إِلَّا أَجَرَهُ اللَّهُ فِي مُصِيبَتِهِ وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا

“Tidak ada seorang muslim yang tertimpa musibah kemudian dia berdoa, ‘Kami adalah milik Allah dan kepada Allah kami kembali. Ya Allah, berilah pahala atas musibah saya dan berilah ganti yang lebih baik daripada musibah ini’, kecuali Allah akan memberi pahala dalam musibahnya dan memberi ganti yang lebih baik daripada musibah tersebut. (HR. Muslim no. 1526)

Setelah menyebutkan hadis ini, Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha menceritakan bahwa ketika beliau ditimpa musibah dengan wafatnya sang suami, beliau membaca doa tersebut. Kemudian Allah Ta’ala mengganti kesedihan dan musibah tersebut dengan yang lebih baik, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian datang meminang Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha. Sungguh benar ucapan Nabi dan wahyu yang diturunkan kepadanya.

Bahkan, bisa jadi kesabaran kita atas musibah yang menimpa merupakan sebab diri kita dimasukkan ke dalam surga. Allah Ta’ala berfirman,

وَالْمَلَائِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِم مِّن كُلِّ بَابٍ سَلَامٌ عَلَيْكُم بِمَا صَبَرْتُمْ ۚ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ

“Sedang para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu, (sambil mengucapkan), ‘Selamat sejahtera atasmu karena kesabaranmu.’ Maka, alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS. Ar-Ra’d: 23-24)

Keutamaan khusus ditinggal anak yang belum dewasa

Bagi orang tua yang ditinggal wafat oleh anaknya dan belum dewasa, maka ada keutamaan khusus untuknya.

Yang pertama, Allah akan membangunkan rumah di surga baginya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا مَاتَ وَلَدُ العَبْدِ قَالَ اللَّهُ لِمَلَائِكَتِهِ: قَبَضْتُمْ وَلَدَ عَبْدِي، فَيَقُولُونَ: نَعَمْ، فَيَقُولُ: قَبَضْتُمْ ثَمَرَةَ فُؤَادِهِ، فَيَقُولُونَ: نَعَمْ، فَيَقُولُ: مَاذَا قَالَ عَبْدِي؟ فَيَقُولُونَ: حَمِدَكَ وَاسْتَرْجَعَ، فَيَقُولُ اللَّهُ: ابْنُوا لِعَبْدِي بَيْتًا فِي الجَنَّةِ، وَسَمُّوهُ بَيْتَ الحَمْدِ “

“Jika anak seorang hamba meninggal, Allah berfirman kepada para malaikat-Nya, ‘Kalian telah mencabut anak hamba-Ku.’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ (Allah Ta’ala) berfirman, ‘Kalian telah mencabut buah hatinya.’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ (Allah Ta’ala) bertanya, ‘Apa yang dikatakan hamba-Ku.’ Mereka menjawab, ‘Dia memuji-Mu dan mengucapkan istirja’.’ Allah berkata, ‘Bangunlah untuk hamba-Ku satu rumah di surga, dan berilah nama dengan Baitulhamd’.” (HR. Tirmidzi no.1021 dan Ahmad dalam Al-Musnad no. 19725. Dihasankan oleh Syekh Albani dan beliau mengatakan, “Hadis ini dengan penggabungan jalan-jalannya adalah hasan untuk kondisi minimalnya.”)

Yang kedua, anak yang meninggal di usia balita akan menunggu kedua orangtuanya di pintu surga.

Di dalam sebuah hadis dikisahkan,

أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَهُ ابْنٌ لَهُ فَقَالَ لَهُ أَتُحِبُّهُ فَقَالَ أَحَبَّكَ اللَّهُ كَمَا أُحِبُّهُ فَمَاتَ فَفَقَدَهُ فَسَأَلَ عَنْهُ فَقَالَ مَا يَسُرُّكَ أَنْ لَا تَأْتِيَ بَابًا مِنْ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ إِلَّا وَجَدْتَهُ عِنْدَهُ يَسْعَى يَفْتَحُ لَكَ

“Seseorang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa anaknya. Beliau bertanya kepadanya, ‘Apakah Engkau mencintainya?’ Ia menjawab, ‘Kiranya Allah mencintaimu sebagaimana aku mencintainya.’ Kemudian hari anak itu meninggal dan ia pun merasa kehilangan. Lantas ia bertanya tentang keadaan anaknya kepada beliau. Lalu beliau bersabda, ‘Tidaklah Engkau ingin mendatangi pintu surga, kecuali telah Engkau dapatkan anakmu membukanya untukmu.’” (HR. Nasa’i no. 1869)

Yang ketiga, anak tersebut akan menarik orang tuanya ke dalam surga.

Di dalam sebuah hadis disebutkan,

عَنْ أَبِي حَسَّانَ، قَالَ: قُلتُ لأَبِي هُرَيْرَةَ: إنَّه قدْ مَاتَ لِيَ ابْنَانِ، فَما أَنْتَ مُحَدِّثِي عن رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ بحَدِيثٍ تُطَيِّبُ به أَنْفُسَنَا عن مَوْتَانَا؟ قالَ: قالَ: نَعَمْ، صِغَارُهُمْ دَعَامِيصُ الجَنَّةِ يَتَلَقَّى أَحَدُهُمْ أَبَاهُ، أَوْ قالَ أَبَوَيْهِ، فَيَأْخُذُ بثَوْبِهِ، أَوْ قالَ بيَدِهِ، كما آخُذُ أَنَا بصَنِفَةِ ثَوْبِكَ هذا، فلا يَتَنَاهَى، أَوْ قالَ فلا يَنْتَهِي، حتَّى يُدْخِلَهُ اللَّهُ وَأَبَاهُ الجَنَّةَ

Dari Abu Hassan radhiyallahu ’anhu, ia berkata, ‘Saya memberitahu Abu Hurairah, bahwa dua orang anakku telah meninggal dunia. Adakah berita (hadis) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam yang dapat Engkau sampaikan kepadaku yang dapat menyenangkan hati kami berkenaan dengan anak kami yang meninggal itu?’ Abu Hurairah menjawab, ‘Ada! Anak-anak kecil (yang meninggal) menjadi kanak-kanak surga, ditemuinya kedua ibu bapaknya, lalu dipegangnya pakaian ibu bapaknya – sebagaimana saya memegang tepi pakaian ini – dan tidak berhenti (memegang pakaian) sampai Allah memasukkannya dan kedua ibu bapaknya ke dalam surga.’” (HR. Muslim no. 2635)

Dari makna ketiga hadis di atas dapat disimpulkan, bahwa ditinggal anak di usia balita merupakan salah satu sebab masuknya orang tua ke dalam surga. Di dalam riwayat yang lain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,

مَا مِنْ النَّاسِ مِنْ مُسْلِمٍ يُتَوَفَّى لَهُ ثَلاَثٌ لَمْ يَبْلُغُوا الْحِنْثَ إِلاَّ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ بِفَضْلِ رَحْمَتِهِ إِيَّاهُمْ

“Tidaklah seorang muslim pun yang ditinggal wafat oleh tiga orang anaknya yang belum balig, kecuali akan Allah masukkan dia ke dalam surga karena limpahan rahmat-Nya kepada mereka.” (HR. Bukhari no. 1171)

Sungguh Allah Ta’ala Mahaadil. Tidaklah Ia mengambil suatu rezeki dan kenikmatan dari seseorang, kecuali akan digantikan dengan yang lebih baik, dengan syarat kita bersabar, rida, dan ikhlas dengan semua takdir yang telah Allah tetapkan.

Wallahu A’lam bisshowaab.

Amalan Yang Rutin Dan Istiqomah

Amalan Yang Rutin Dan Istiqomah 

Khutbah Pertama:

الحمد لله أعطى كل شيء خلقه ثم هداه وأعان عباده سائرين على التقى وأودعى قلوب ما شاء من الحكمة والنور والنقى. وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له شهادة تكون للنجاة وسيلة وبرفع الدرجة كفيلة. وأشهد أن سيدنا محمدا عبده ورسوله، كان عمله ديمة، صلى الله عليه وعلى آله وصحبه.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

أما بعد:

وأصيكم ونفسي بتقوى الله. قال الله تعالى يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

Ibadallah,

Masa-masa ketaatan dan kebaikan tersebar di tengah kita. Kesempatannya pun terus datang beriringan. Orang-orang yang sadar akan adanya kehidupan akhirat setelah kehidupan dunia ini, akan meniti jalan amal shaleh dengan serius dan semangat. Mereka daki satu per satu tangga-tangga keutamaan. Dengan hal itu mereka perbagus kondisi ruh mereka. Mereka beri asupan gizi untuk keimanan mereka. Dan mereka kejar ketertinggalan. Mereka tambal amal-amal yang kurang dan yang lalai di masa lalu. Mereka perbaiki yang dulu mungkin banyak kekurangan. 

Dalam hadits yang lain, dijelaskan oleh Ummul Mukminin, Aisyah radhiallahu ‘anha, saat ditanya oleh seorang sahabat, Alqamah radhiallahu ‘anhu:

قُلتُ لِعَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: هلْ كانَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَخْتَصُّ مِنَ الأيَّامِ شيئًا؟ قالَتْ: لَا، كانَ عَمَلُهُ دِيمَةً، وأَيُّكُمْ يُطِيقُ ما كانَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يُطِيقُ؟!

“Aku bertanya pada Aisyah radhiallahu ‘anha, ‘Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi ‘alaihi wa sallam mengkhususkan hari tertentu untuk beribadah’? Aisyah menjawab, ‘Tidak. Amal beliau adalah sesuatu yang berkelanjutan. Dan siapa dari yang kalian yang mampu istiqomah seperti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam’?” [HR. Shahih al-Bukhari 1987].

Maksudnya amalan shaleh Nabi itu terus berkelanjutan. Tidak ada masa-masa malasnya.

Namun kita manusia biasa, masa semangat beramal akan dihampiri masa malas dan lesu. Kondisi semangat dalam taat akan didatangi ujian masa malas dan bosan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّ لكلِّ عملٍ شِرَّةٌ ولكلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ، فمن كانت شِرَّتُه إلى سنَّتي فقد أفلح ، ومن كانت فَتْرَتُه إلى غيرِ ذلك فقد هلكَ

“Sesungguhnya setiap amalan itu memiliki masa semangat. Dan setiap masa semangat memiliki masa malasnya. Siapa yang masa semangatnya berada di atas sunnahku, maka dia beruntung. Dan siapa yang masa malasnya tidak berada di atas sunnahku, dia binasa.” [HR. Ahmad 6958].

Artinya, saat malas pun seseorang jangan sampai melakukan sesuatu yang haram. Mungkin ibadah sunnatnya berkurang, tapi jangan sampai ia tinggalkan kewajiban. Hadits ini juga memberikan pelajaran kepada kita agar memikirkan dan menyusun rencana bagaimana cara terbaik meniti jalan hidayah? Bagaimana caranya agar kita bisa istiqomah dalam kebaikan di sepanjang tahun. 

Di antara kiat yang dituntunkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar kita bisa istiqomah dalam beramal shaleh adalah mengerjakan amalan sedikit tapi rutin dan kontinyu. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ رواه البخاري (6464)، ومسلم (783)  

“Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling konsisten meskipun sedikit.” [HR. Bukhori, (6464) dan Muslim, (783)].

Inilah jalannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengantarkan seseorang untuk senantiasa bersama Rabbnya ‘Azza wa Jalla. Amalan sedikit akan terasa ringan di hati. Sehingga memudahkan bagi seseorang untuk rutin mengerjakannya. Karena hati tidak merasa berat dalam mengamalkannya. 

Amalan sedikit tapi rutin disertai dengan niat ikhlas dan tulus, pengaruhnya akan sangat besar bagi jiwa. Terlebih di zaman kita sekarang, zaman yang waktunya terasa singkat, kalau kita isi dengan amalan yang rutin, maka kita akan banyak memperoleh kesuksesan.

Hadits ini memotivasi kita untuk memulai beramal, jangan banyak berpikir. Mulai saja. Kemudian istiqomah, maka seseorang akan mendapatkan kemuliaan yang tinggi di sisi Allah. Para sahabat Nabi berusaha mengamalkan hadits ini dengan serius. Mereka memanfaatkan ibadah-ibadah sunnah agar bisa rutin dan berkelanjutan dalam beramal. Mereka isi dengan ibadah shalat, puasa, berbuat kebajikan, menyambung silaturahim, dan lain-lain.

Dalam hadits yang lain disebutkan:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ كَانَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَصِيرٌ وَكَانَ يُحَجِّرُهُ مِنْ اللَّيْلِ فَيُصَلِّي فِيهِ فَجَعَلَ النَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاتِهِ وَيَبْسُطُهُ بِالنَّهَارِ فَثَابُوا ذَاتَ لَيْلَةٍ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ مِنْ الْأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا وَإِنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَا دُووِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّ وَكَانَ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا عَمِلُوا عَمَلًا أَثْبَتُوهُ

Dari Aisyah bahwa ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempunyai sehelai tikar yang dibentangkannya pada malam hari, sehingga merupakan tabir sebuah kamar tempat beliau shalat. Lalu orang-orang pun shalat pula bersama beliau. Dan dibentangkannya di siang hari. Pada suatu malam mereka kembali berkumpul mengikuti beliau. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda: ‘Wahai sekalian manusia, ambil suatu amalan yang kalian mampui. Sebab Allah tidak akan pernah bosan (memberi pahala) hingga kalian bosan sendiri (beramal). Sesungguhnya amalan yang paling disukai Allah, adalah amalan yang dikerjakan secara terus-menerus meskipun sedikit. Dan bila keluarga Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan suatu amalan, maka mereka akan menekuninya’.” [HR. Muslim 1302].

Artinya, hendaknya seseorang mengenali potensi diri mereka masing-masing. Karena setiap orang memiliki potensi amal yang berbeda. Ada yang kuat membaca dan menghafal Alquran, tapi tidak mampu untuk rutin sedekah. Maka orang seperti ini memanfaatkan potensinya tersebut dengan banyak membaca Alquran dan dilakukan dengan rutin. Ada orang yang kuat puasa, tapi tidak dengan shalat malam. Orang ini juga memanfaatkan kekuatannya tadi untuk rutin berpuasa sunat sesuai kemampuannya. Ada orang yang kuat shalat malam, tapi tidak dengan puasa. Ada orang yang punya potensi memudahkan urusan orang lain, karena dia memiliki jabatan, kerja di kantor pelayanan publik, dll. Makai a manfaatkan potensinya tersebut untuk memudahkan urusan kaum muslimin. Dan lain-lain. Ingat pesan Nabi tadi:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ مِنْ الْأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا

“Wahai sekalian manusia, ambil suatu amalan yang kalian mampui. Sebab Allah tidak akan pernah bosan (memberi pahala) hingga kalian bosan sendiri (beramal).”

Para sahabat Nabi adalah orang-orang terdepan dalam mengamalkan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara contoh pengamalan hadits ini adalah 

Dalam Shahih Muslim disebutkan, dari istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Ummul Mukminin, Ummu Habibah radhiallahu ‘anha, beliau berkata, 

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ صَلَّى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِي يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِيَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ قَالَتْ أُمُّ حَبِيبَةَ فَمَا تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ سَمِعْتُهُنَّ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa shalat dua belas rakaat sehari semalam, maka akan dibangunkan baginya sebuah rumah di surga.” Ummu Habibah berkata; Maka aku tidak akan meninggalkan dua belas rakaat itu semenjak aku mendengarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” [HR. Muslim 1198].

Yang dimaksud dua belas rakaat di hadits ini adalah dua belas rakaat shalat rawatib. Yaitu: dua rakaat sebelum subuh, empat rakaat sebelum zuhur, dua rakaat setelah zuhur, dua rakaat setelah maghrib, dan dua rakaat setelah isya.

Pengamalan lainnya terhadap hadits ini adalah hadits yang bercerita tentang keutamaan sahabat Bilal bin Rabah radhiallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Bilal,

قال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم لِبلالٍ عندَ صلاةِ الفجرِ : ( يا بلالُ حدِّثْني بأرجى عمَلٍ عمِلْتَه عندَكَ في الإسلامِ فإنِّي سمِعْتُ اللَّيلةَ خَشْفةَ نَعليكَ بَيْنَ يدَيَّ في الجنَّةِ ) فقال : ما عمَلٌ عمِلْتُه أرجى عندي أنِّي لَمْ أتطهَّرْ طُهورًا تامًّا في ساعةٍ مِن ليلٍ أو نهارٍ إلَّا صلَّيْتُ لربِّي ما قُدِّر لي أنْ أُصلِّيَ 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Bilal saat usai mengerjakan shalat subuh. ‘Bilal, ceritakan padaku tentang ibadah di dalam Islam yang kau kerjakan dan itu adalah amalan yang paling kau andalkan. Karena aku mendengar derap langkah sandalmu di depanku di surga’.

Bilal menjawab, ‘Amalan yang paling aku harapkan adalah tidaklah aku berwudhu dengan wudhu yang sempurna di satu waktu di malam atau siang hari, kecuali pasti aku shalat kepada Rabbku semaksimal kemampuanku. [Shahih Ibnu Hibban 7085]. 

Artinya, Bilal mengenali potensi dirinya. Kemudian ia maksimalkan potensi amal yang mampu ia lakukan untuk menjadi amalan yang ia andalkan di sisi Allah.

Contohnya lainnya, dari sahabat Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu, ia bercerita:

كنا نصلي مع النبي صلى الله عليه وسلم فجاء رجل فدخل في الصلاة 

“Kami shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ada seorang yang datang dan turut shalat berjamaah. Ia membaca doa iftitah:

الله أكبر كبيراً والحمد لله كثيراً وسبحان الله بكرة وأصيلاً

Titik sampai di situ. 

فلما قضى النبي صلى الله عليه وسلم الصلاة قال: من صاحب كلام كذا وكذا فقال الرجل: أنا فقال: عجبت لها فتحت أبواب السموات

Setelah shalat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Siapa yang membaca do aini dan ini. Seseorang menjawab, ‘Saya’. Nabi berkomentar, ‘Aku takjub karena dibukakan pintu-pintu langit karenanya’.

Lalu Abdullah bin Umar berkata, 

قال ابن عمر: فما تركتهن منذ سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول ذلك

‘Doa iftitah tersebut tidak pernah kutinggalkan setelah aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan keutamaannya.” [HR. Ibnu Majah].

Amalan-amalan ini adalah amalan yang mudah dan ringkas. Namun keutamaannya besar. Oleh karena itu, hendaknya kita meluangkan sedikit saja dari waktu yang kita bisa manfaatkan untuk rutin shalat lima waktu di masjid, rutin membaca Alquran, atau mendengar hadits Nabi shallallahu ‘alaih wa sallam dibaca dan dikaji, atau membaca biografi Nabi Muhammad, atau membaca buku-buku bermanfaat, atau berdzikir, atau shalat, sedekah, atau amal-amal lainnya.

Dan ketauhilah tatkala kita memiliki kebiasaan amal shaleh, lalu kita tidak mengerjakannya karena sakit atau safar, maka kita tetap dihitung mengerjakannya dan mendapatkan pahalanya dengan sempurna. 

إِذَا مَرِضَ العَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا)). رواه البخاري.

“Apabila seorang hamba sakit atau sedang melakukan safar, Allah akan tetap menuliskan baginya pahala ibadah seperti yang ia lakukan saat sehat dan mukimnya.” [HR. Bukhari].

أَقُولُ قَوْلِي هَذَا، وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ؛ فَإِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ.

Khutbah Kedua:

الْحَمْدُ للهِ عَلَى إِحْسَانِهِ، وَالشُّكْرُ لَهُ عَلَى تَوْفِيقِهِ وَامْتِنَانِهِ، وَأَشْهَدُ أَلاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ تَعْظِيمًا لِشَانِهِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ نَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ الدَّاعِي إِلَى رِضْوانِهِ، صَلَّى اللهُ عَليْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَأَعْوَانِهِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا كَثِيرًا..

أَمَّا بَعْدُ: أَيُّهَا الْمُسْلِمُونَ اِتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى:

Ibadallah,

Di khotbah pertama, khotib telah menyampaikan tentang tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar kita istiqomah dalam beribadah. Kemudian tuntunan beliau dipraktekkan oleh para sahabat-sahabatnya dengan ketekunan dan keseriusan. Oleh karena itu, hendaknya kita meniti jalan mereka. Meneladani mereka. Agar kita termasuk orang-orang yang bersama mereka dalam kemuliaan. Dan termasuk orang-orang yang dipuji Allah Ta’ala dalam firman-Nya,

 وَٱلسَّٰبِقُونَ ٱلْأَوَّلُونَ مِنَ ٱلْمُهَٰجِرِينَ وَٱلْأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحْسَٰنٍ رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّٰتٍ تَجْرِى تَحْتَهَا ٱلْأَنْهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا ذَٰلِكَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” [Quran At-Taubah: 100].

Ibadallah, 

Kemudian di hari Jumat ini, hendaknya kita merutinkan amalan yang utama yaitu memperbanyak shalawat kita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَكْثِرُوا عَلَىَّ مِنَ الصَّلاَةِ فِى كُلِّ يَوْمِ جُمُعَةٍ فَإِنَّ صَلاَةَ أُمَّتِى تُعْرَضُ عَلَىَّ فِى كُلِّ يَوْمِ جُمُعَةٍ ، فَمَنْ كَانَ أَكْثَرَهُمْ عَلَىَّ صَلاَةً كَانَ أَقْرَبَهُمْ مِنِّى مَنْزِلَةً

“Perbanyaklah shalawat kepadaku pada setiap Jum’at. Karena shalawat umatku akan diperlihatkan padaku pada setiap Jum’at. Barangsiapa yang banyak bershalawat kepadaku, dialah yang paling dekat denganku pada hari kiamat nanti.” [HR. Al-Baihaqi 3:249 dalam Sunan Al-Kubra]. 

﴿إِنَّ اللهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا﴾ [الأحزاب: 56]، وَقَالَ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاةً وَاحِدَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا» [رَوَاهُ مُسْلِم].

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ . وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الأَئِمَّةِ المَهْدِيِيْنَ أَبِيْ بَكْرِ الصِّدِّيْقِ ، وَعُمَرَ الفَارُوْقِ ، وَعُثْمَانَ ذِيْ النُوْرَيْنِ، وَأَبِي الحَسَنَيْنِ عَلِي، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَنِ التَابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِمَنِّكَ وَكَرَمِكَ وَإِحْسَانِكَ يَا أَكْرَمَ الأَكْرَمِيْنَ.

اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ، وَأَذِلَّ الشِرْكَ وَالمُشْرِكِيْنَ ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنَ ، وَاحْمِ حَوْزَةَ الدِّيْنِ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ آمِنَّا فِي أَوْطَانِنَا وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةَ أُمُوْرِنَا وَاجْعَلْ وِلَايَتَنَا فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ ، اَللَّهُمَّ وَفِّقْ وَلِيَ أَمْرِنَا لِمَا تُحِبُّ وَتَرْضَى وَأَعِنْهُ عَلَى البِرِّ وَالتَقْوَى وَسَدِدْهُ فِي أَقْوَالِهِ وَأَعْمَالِهِ يَا ذَا الجَلَالِ وَالإِكْرَامِ ، اَللَّهُمَّ وَفِّقْ جَمِيْعَ وُلَاةَ أَمْرِ المُسْلِمِيْنَ لِلْعَمَلِ بِكِتَابِكَ وَاتِّبَاعِ سُنَّةَ نَبِيِّكَ صلى الله عليه وسلم ، وَاجْعَلْهُمْ رَأْفَةً عَلَى عِبَادِكَ المُؤْمِنِيْنَ

اللَّهمَّ إنِّا ظلَمنا أَنَفسنا ظلمًا كثيرًا ولا يغفرُ الذُّنوبَ إلَّا أنتَ فاغفِر لنا مغفرةً من عندِكَ وارحَمنا إنَّكَ أنتَ الغفورُ الرَّحيمُ

عِبَادَ اللهِ : اُذْكُرُوْا اللهَ يَذْكُرْكُمْ ، وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ ،  وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ  .

Maksiat Menggelapkan Hati

Maksiat Menggelapkan Hati 

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Setiap hari tidak bosan-bosannya kita melakukan maksiat. Aurat terus diumbar, tanpa pernah sadar untuk mengenakan jilbab dan menutup aurat yang sempurna. Shalat 5 waktu yang sudah diketahui wajibnya seringkali ditinggalkan tanpa pernah ada rasa bersalah. Padahal meninggalkannya termasuk dosa besar yang lebih besar dari dosa zina. Saudara muslim jadi incaran untuk dijadikan bahan gunjingan (alias “ghibah”). Padahal sebagaimana daging saudaranya haram dimakan, begitu pula dengan kehormatannya, haram untuk dijelek-jelekkan di saat ia tidak mengetahuinya. Gambar porno jadi bahan tontonan setiap kali browsing di dunia maya. Tidak hanya itu, yang lebih parah, kita selalu jadi budak dunia, sehingga ramalan primbon tidak bisa dilepas, ngalap berkah di kubur-kubur wali atau habib jadi rutinitas, dan jimat pun sebagai penglaris dan pemikat untuk mudah dapatkan dunia. Hati ini pun tak pernah kunjung sadar. Tidak bosan-bosannya maksiat terus diterjang, detik demi detik, di saat pergantian malam dan siang. Padahal pengaruh maksiat pada hati sungguh amat luar biasa. Bahkan bisa memadamkan cahaya hati. Inilah yang patut direnungkan saat ini.

Ayat yang patut jadi renungan di malam ini adalah firman Allah Ta’ala,

كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al Muthoffifin: 14)

Makna ayat di atas diterangkan dalam hadits berikut.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِى قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ وَهُوَ الرَّانُ الَّذِى ذَكَرَ اللَّهُ ( كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ) »

Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Seorang hamba apabila melakukan suatu kesalahan, maka dititikkan dalam hatinya sebuah titik hitam. Apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertaubat, hatinya dibersihkan. Apabila ia kembali (berbuat maksiat), maka ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah yang diistilahkan “ar raan” yang Allah sebutkan dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka’.”[1]

Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah dosa di atas tumpukan dosa sehingga bisa membuat hati itu gelap dan lama kelamaan pun mati.” Demikian pula yang dikatakan oleh Mujahid, Qotadah, Ibnu Zaid dan selainnya.[2]

Mujahid rahimahullah mengatakan, “Hati itu seperti telapak tangan. Awalnya ia dalam keadaan terbuka dan jika berbuat dosa, maka telapak tangan tersebut akan tergenggam. Jika berbuat dosa, maka jari-jemari perlahan-lahan akan menutup telapak tangan tersebut. Jika ia berbuat dosa lagi, maka jari lainnya akan menutup telapak tangan tadi. Akhirnya seluruh telapak tangan tadi tertutupi oleh jari-jemari.”[3]

Penulis Al Jalalain rahimahumallah menafsirkan, “Hati mereka tertutupi oleh “ar raan” seperti karat karena maksiat yang mereka perbuat.”[4]

Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan perkataan Hudzaifah dalam fatawanya. Hudzaifah berkata, “Iman membuat hati nampak putih bersih. Jika seorang hamba bertambah imannya, hatinya akan semakin putih. Jika kalian membelah hati orang beriman, kalian akan melihatnya putih bercahaya. Sedangkan kemunafikan membuat hati tampak hitam kelam. Jika seorang hamba bertambah kemunafikannya, hatinya pun akan semakin gelap. Jika kalian membelah hati orang munafik, maka kalian akan melihatnya hitam mencekam.”[5]

Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah mengatakan, “Jika dosa semakin bertambah, maka itu akan menutupi hati pemiliknya. Sebagaimana sebagian salaf mengatakan mengenai surat Al Muthoffifin ayat 14, “Yang dimaksud adalah dosa yang menumpuk di atas dosa.”[6]

Inilah di antara dampak bahaya maksiat bagi hati. Setiap maksiat membuat hati tertutup noda hitam dan lama kelamaan hati tersebut jadi tertutup. Jika hati itu tertutup, apakah mampu ia menerima seberkas cahaya kebenaran? Sungguh sangat tidak mungkin. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jika hati sudah semakin gelap, maka amat sulit untuk mengenal petunjuk kebenaran.”[7]

Perbanyaklah taubat dan istighfar, itulah yang akan menghilangkan gelapnya hati dan membuat hati semakin bercahaya sehingga mudah menerima petunjuk atau kebenaran.

Ya Allah, tunjukkanlah hati kami ini agar selalu taat pada-Mu dan berusaha menjauhi setiap maksiat yang benar-benar telah Engkau larang, apalagi dosa syirik dan kekufuran. Amin Yaa Mujibbas Saailin.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.


[1] HR. At Tirmidzi no. 3334, Ibnu Majah no. 4244, Ibnu Hibban (7/27) dan Ahmad (2/297). At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[2] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muassasah Al Qurthubah, 14/268.

[3] Fathul Qodir, Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir, 7/442.

[4] Tafsir Al Jalalain, Al Mahalli dan As Suyuthi, Mawqi’ At Tafasir, 12/360

[5] Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426, 15/283

[6] Ad Daa’ wad Dawaa’, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, hal. 70.

[7] Ad Daa’ wad Dawaa’, hal. 107.

Cara Shalat Semalam Suntuk

 Cara Shalat Semalam Suntuk

عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : سَمِعْتُ رَسُول اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، يَقُوْلُ : (( مَنْ صَلَّى العِشَاءَ فِي جَمَاعَةٍ ، فَكَأنَّمَا قَامَ نِصْفَ اللَّيْلِ ، وَمَنْ صَلَّى الصُّبْحَ في جَمَاعَةٍ ، فَكَأنَّمَا صَلَّى اللَّيْلَ كُلَّهُ )) رواه مُسْلِمٌ .

Dari ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa yang melaksanakan shalat Isya berjamaah, maka seolah ia telah melaksanakan shalat separuh malam. Dan barangsiapa yang melaksanakan shalat Shubuh berjamaah, maka seolah ia telah melaksanakan shalat semalaman penuh.’” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 656]

وَفِي رِوَايَةِ التِّرْمِذِي عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – :

(( مَنْ شَهِدَ العِشَاءَ فِي جَمَاعَةٍ كَانَ لَهُ قِيَامُ نِصْفَ لَيلَةٍ ، وَمَنْ صَلَّى العِشَاءَ وَالفَجْرَ فِي جَمَاعَةٍ ، كَانَ لَهُ كَقِيَامِ لَيْلَةٍ )) قَالَ التِّرْمِذِي : (( حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ )) .

Dalam riwayat Tirmidzi, dari ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang menghadiri shalat Isya berjamaah, maka baginya shalat separuh malam. Dan barangsiapa yang melaksanakan shalat Isya dan Shubuh berjamaah, maka baginya seperti shalat semalaman.” (HR. Tirmidzi, ia mengatakan hadits ini hasan shahih.) [HR. Tirmidzi, no. 221]

Faedah Hadits:

1- Dianjurkan menjaga shalat Shubuh dan Isya secara berjamaah. Karena kalau dua shalat ini dijaga, tentu shalat lainnya dijaga pula.

2- Menjaga shalat Shubuh dan Isya merupakan tanda iman. Karena ketika itu keadaan gelap dan sedang menikmati makan malam.

3- Yang meninggalkan shalat Shubuh dan Isya hanyalah munafik dan orang yang punya uzur.

4- Keutamaan shalat Shubuh berjamaah seperti melaksanakan shalat semalam penuh.

5- Keutamaan shalat Isya berjamaah seperti melaksanakan shalat separuh malam.

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِي العَتَمَةِ وَالصُّبْحِ لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوَاً )) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ . وَقَدْ سَبَقَ بِطُوْلِهِ .

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya mereka mengetahui pahala shalat Isya dan Shubuh, pasti mereka akan mendatanginya walaupun dengan merangkak.” (Muttafaqun ‘alaihi, sudah lewat hadits panjangnya pada hadits no. 1033 dari kitab Riyadhus Sholihin.) [HR. Bukhari, no. 615 dan Muslim, no. 437]

وَعَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : (( لَيْسَ صَلاَةٌ أثْقَلَ عَلَى المُنَافِقِينَ مِنْ صَلاَةِ الفَجْرِ وَالعِشَاءِ ، وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيْهِمَا لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْواً )) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada shalat yang paling berat bagi orang munafik daripada shalat Shubuh dan Isya. Seandainya mereka mengetahui pahala keduanya, pasti mereka mendatanginya walaupun dalam keadaan merangkak.” (Muttafaqun ‘alaihi). [HR. Bukhari, no. 657 dan Muslim, no. 651]

Faedah Hadits:

1- Keutamaan shalat Shubuh dan Isya dalam berjamaah sangatlah besar.

2- Orang munafik ketika melaksanakan ibadah dalam keadaan yang jelek dan malas. Sifat orang munafik disebutkan dalam ayat,

وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا

Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An Nisaa’: 142).

Ini Akibat Malas Bangun Shubuh

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَقِدَ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ إِذَا هُوَ نَامَ ثَلاَثَ عُقَدٍ ، يَضْرِبُ كُلَّ عُقْدَةٍ عَلَيْكَ لَيْلٌ طَوِيلٌ فَارْقُدْ ، فَإِنِ اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللَّهَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ ، فَإِنْ تَوَضَّأَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ ، فَإِنْ صَلَّى انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَأَصْبَحَ نَشِيطًا طَيِّبَ النَّفْسِ ، وَإِلاَّ أَصْبَحَ خَبِيثَ النَّفْسِ كَسْلاَنَ

Setan membuat tiga ikatan di tengkuk (leher bagian belakang) salah seorang dari kalian ketika tidur. Di setiap ikatan setan akan mengatakan, “Malam masih panjang, tidurlah!” Jika ia bangun lalu berdzikir pada Allah, lepaslah satu ikatan. Kemudian jika dia berwudhu, lepas lagi satu ikatan. Kemudian jika dia mengerjakan sholat, lepaslah ikatan terakhir. Di pagi hari dia akan bersemangat dan bergembira. Jika tidak melakukan seperti ini, dia tidak ceria dan menjadi malas.” (HR. Bukhari, no. 1142 dan Muslim, no. 776)

Telat Shubuh dan Dikencingi Setan

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia pernah berkata, “Di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan tentang seorang laki-laki yang tidur semalaman sampai datang pagi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,

ذَاكَ رَجُلٌ بَالَ الشَّيْطَانُ فِى أُذُنَيْهِ – أَوْ قَالَ – فِى أُذُنِهِ

Laki-laki itu telah dikencingi oleh setan pada kedua telinganya -dalam riwayat lain: di telinganya.” (HR. Bukhari, no. 3270 dan Muslim, no. 774).

Jika Bangun Kesiangan

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا رَقَدَ أَحَدُكُمْ عَنِ الصَّلاَةِ أَوْ غَفَلَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَقُولُ أَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِى

Jika salah seorang di antara kalian tertidur atau lalai dari shalat, maka hendaklah ia shalat ketika ia ingat. Karena Allah berfirman (yang artinya), “Kerjakanlah shalat ketika ingat.” (HR. Bukhari, no. 597 dan Muslim, no. 684).

Para ulama Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia di masa Syaikh Ibnu Baz mengatakan, “Jika engkau ketiduran atau lupa sehingga luput dari waktu shalat, maka hendaklah engkau shalat ketika engkau terbangun dari tidur atau ketika ingat walaupun ketika itu saat terbit atau tenggelamnya matahari.” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah nomor 6196, 6:10)

Nasihat bagi yang Sering Begadang

Diriwayatkan dari Abu Barzah, beliau berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيْثَ بَعْدَهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.” (HR. Bukhari, no. 568)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menerangkan, “Di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang tidaklah begadang sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang saat ini. Mereka terbiasa tidur lebih awal setelah shalat Isya, supaya nantinya bisa mendirikan shalat Shubuh dan ada di antara mereka yang berharap bisa bangun untuk shalat malam. Shalat Shubuh dan Isya ini berat bagi orang munafik. Sehingga sudah sepantasnya seorang muslim benar-benar menjaga kedua shalat ini.” (Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 5:83)

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah untuk terus memperhatikan shalat.

Referensi utama:  (1) Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:246-247. (2) Syarh Riyadh Ash-ShalihinCetakan ketiga, Tahun 1427 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Madarul Wathan.


Bertaubatlah Agar Kamu Beruntung

Bertaubatlah Agar Kamu Beruntung 

Alhamdulillah wa Sholatu wa Salamu ‘alaa Rosulillah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam.

Taubat merupakan sebuah ungkapan yang ringan di lidah namun sangat berat untuk dikerjakan. Ibnul Qoyyim Rohimahullah mengatakan[1] sebuah ungkapan yang sangat luar biasa berkaitan dengan kedudukan taubat dalam hidup kita,

“Kedudukan/derajat taubat adalah kedudukan awal, pertengahan dan akhir (dari kehidupan seorang hamba- pen). Maka seorang hamba yang hendak berjalan (menuju keridhoan Allah –pen.) tidak boleh meninggalkannya. Ia harus senantiasa bertaubat hingga ruh meninggalkan jasadnya (mati). Ketika dia berpindah dari satu kedudukan (dalam hidupnya –pen) maka taubat pun akan senantiasa menyertainya”.

Beliau Rohimahullah melanjutkan,

Tirulah Penyelesalan Mereka ... Mari Bertaubat 2

“Maka taubat merupakan permulaan seorang hamba dan akhirnya. Kebutuhannya terhadap taubat ketika akhir hidupnya merupakan sebuah kebutuhan yang amat urgen. Sedemikian jua butuhnya ia terhadap taubat pada awal hidupnya. Sungguh Allah Ta’ala telah berfirman,

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Dan bertaubat kalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman seluruhnya. Agar kamu beruntung”. (QS. An Nuur [24] : 31)”[2].

Tirulah Penyelesalan Mereka ... Mari Bertaubat 3

“Ayat ini terdapat dalam surat Madaniah. Allah berfirman dengannya kepada orang-orang yang beriman dan manusia-manusia terbaik agar mereka bertaubat kepada Allah padahal mereka telah beriman, bersabar, berhijrah dan berjihad di jalan Allah. Kemudian Allah kaitkan kesuksesan, kebahagian dengan taubat dengan menggandengkan sebab dan akibat. Kemudian Allah menggunakan kata (لَعَلَّ) yang memberikan kesan adanya harapan[3]. Allah mengingatkan kita jikalau kalian bertaubat maka kalian memiliki harapan untuk sukses, beruntung dan bahagiaSehingga tidaklah orang-oranng yang berharap kebahagian, kesuksesan dan keberuntungan melainkan orang-orang yang bertaubat. Mudah-mudahan Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang bertaubat”[4].

Maka lihatlah saudaraku….

Firman Allah Tabaroka wa Ta’ala di atas turun kepada Nabi Shollalahu ‘alaihi wa Sallam dan para Shahabat Rodhiyallahu ‘anhuyang tidak ada keraguan akan kekuatan ilmu, iman dan amalnya …..

Jika mereka saja masih Allah perintahkan untuk bertaubat agar mereka beruntung……

Maka bagaimana dengan kita yang masih jauh, jauh, jauh, jauh sekali dengan mereka dalam hal ilmu, iman dan amal !!!!

Tidakkah kita pernah membaca hadits Nabi Shollalahu ‘alaihi wa Sallam

يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ فَإِنِّى أَتُوبُ فِى الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ

“Wahai sekalian manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah. Karena sesungguhnya aku bertaubat kepada Nya dalam sehari 100 kali”[5].

Dalam lafazh milik Imam Bukhori disebutkan,

وَاللهِ إنِّي لأَسْتَغْفِرُ اللهَ وَأتُوبُ إلَيْهِ فِي اليَومِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً

“Demi Allah, sesungguhnya aku memohon ampun dan bertaubat kepada Nya dalam sehari lebih dari 70 kali”[6].

Ibnu Hajar Rohimahullah mengatakan,

Tirulah Penyelesalan Mereka ... Mari Bertaubat 4

“Sabda Nabi Shollalahu ‘alaihi wa Sallam (وَاللهِ إنِّي لأَسْتَغْفِرُ اللهَ) ‘Demi Allah, sesungguhnya aku memohon ampun’ pada kutipan hadits ini terdapat sumpah Nabi Shollalahu ‘alaihi wa Sallam terhadap suatu perkara sebagai penguatan/penegasan walaupun tidak ada keraguan pada orang yang mendengar sabda beliau Shollalahu ‘alaihi wa Sallam”[7].

Beliau Rohimahullah melanjutkan,

Tirulah Penyelesalan Mereka ... Mari Bertaubat 5

“Sabda Nabi Shollalahu ‘alaihi wa Sallam (لأَسْتَغْفِرُ اللهَ وَأتُوبُ إلَيْهِ) ‘sesungguhnya aku memohon ampun dan bertaubat kepada Nya’ secara zhohir menunjukkan bahwasanya beliau Shollalahu ‘alaihi wa Sallam meminta ampun dan benar-benar berkeinginan kuat untuk bertaubat”[8].

Belumkah hati kita tergugah untuk bertaubat kepada Allah ‘Azza wa Jalla ?!!

Mari simak sebuah hadits yang menceritakan keadaan mencekam di hari qiyamat. Nabi Shollalahu ‘alaihi wa Sallam mengatakan,

أَنَا سَيِّدُ النَّاسِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَهَلْ تَدْرُونَ بِمَ ذَاكَ يَجْمَعُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الأَوَّلِينَ وَالآخِرِينَ فِى صَعِيدٍ وَاحِدٍ فَيُسْمِعُهُمُ الدَّاعِى وَيَنْفُذُهُمُ الْبَصَرُ وَتَدْنُو الشَّمْسُ فَيَبْلُغُ النَّاسَ مِنَ الْغَمِّ وَالْكَرْبِ مَا لاَ يُطِيقُونَ وَمَا لاَ يَحْتَمِلُونَ فَيَقُولُ بَعْضُ النَّاسِ لِبَعْضٍ أَلاَ تَرَوْنَ مَا أَنْتُمْ فِيهِ أَلاَ تَرَوْنَ مَا قَدْ بَلَغَكُمْ أَلاَ تَنْظُرُونَ مَنْ يَشْفَعُ لَكُمْ إِلَى رَبِّكُمْ فَيَقُولُ بَعْضُ النَّاسِ لِبَعْضٍ ائْتُوا آدَمَ. فَيَأْتُونَ آدَمَ فَيَقُولُونَ يَا آدَمُ أَنْتَ أَبُو الْبَشَرِ خَلَقَكَ اللَّهُ بِيَدِهِ وَنَفَخَ فِيكَ مِنْ رُوحِهِ وَأَمَرَ الْمَلاَئِكَةَ فَسَجَدُوا لَكَ اشْفَعْ لَنَا إِلَى رَبِّكَ أَلاَ تَرَى إِلَى مَا نَحْنُ فِيهِ أَلاَ تَرَى إِلَى مَا قَدْ بَلَغَنَا فَيَقُولُ آدَمُ إِنَّ رَبِّى غَضِبَ الْيَوْمَ غَضَبًا لَمْ يَغْضَبْ قَبْلَهُ مِثْلَهُ وَلَنْ يَغْضَبَ بَعْدَهُ مِثْلَهُ وَإِنَّهُ نَهَانِى عَنِ الشَّجَرَةِ فَعَصَيْتُهُ نَفْسِى نَفْسِى اذْهَبُوا إِلَى غَيْرِى اذْهَبُوا إِلَى نُوحٍ. فَيَأْتُونَ نُوحًا فَيَقُولُونَ يَا نُوحُ أَنْتَ أَوَّلُ الرُّسُلِ إِلَى الأَرْضِ وَسَمَّاكَ اللَّهُ عَبْدًا شَكُورًا اشْفَعْ لَنَا إِلَى رَبِّكَ أَلاَ تَرَى مَا نَحْنُ فِيهِ أَلاَ تَرَى مَا قَدْ بَلَغَنَا فَيَقُولُ لَهُمْ إِنَّ رَبِّى قَدْ غَضِبَ الْيَوْمَ غَضَبًا لَمْ يَغْضَبْ قَبْلَهُ مِثْلَهُ وَلَنْ يَغْضَبَ بَعْدَهُ مِثْلَهُ وَإِنَّهُ قَدْ كَانَتْ لِى دَعْوَةٌ دَعَوْتُ بِهَا عَلَى قَوْمِى نَفْسِى نَفْسِى نَفْسِى اذْهَبُوا إِلَى إِبْرَاهِيمَ -صلى الله عليه وسلم-.

فَيَأْتُونَ إِبْرَاهِيمَ فَيَقُولُونَ أَنْتَ نَبِىُّ اللَّهِ وَخَلِيلُهُ مِنْ أَهْلِ الأَرْضِ اشْفَعْ لَنَا إِلَى رَبِّكَ أَلاَ تَرَى إِلَى مَا نَحْنُ فِيهِ أَلاَ تَرَى إِلَى مَا قَدْ بَلَغَنَا فَيَقُولُ لَهُمْ إِبْرَاهِيمُ إِنَّ رَبِّى قَدْ غَضِبَ الْيَوْمَ غَضَبًا لَمْ يَغْضَبْ قَبْلَهُ مِثْلَهُ وَلاَ يَغْضَبُ بَعْدَهُ مِثْلَهُ. وَذَكَرَ كَذَبَاتِهِ نَفْسِى نَفْسِى نَفْسِى اذْهَبُوا إِلَى غَيْرِى اذْهَبُوا إِلَى مُوسَى.

فَيَأْتُونَ مُوسَى -صلى الله عليه وسلم- فَيَقُولُونَ يَا مُوسَى أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ فَضَّلَكَ اللَّهُ بِرِسَالاَتِهِ وَبِتَكْلِيمِهِ عَلَى النَّاسِ اشْفَعْ لَنَا إِلَى رَبِّكَ أَلاَ تَرَى إِلَى مَا نَحْنُ فِيهِ أَلاَ تَرَى مَا قَدْ بَلَغَنَا فَيَقُولُ لَهُمْ مُوسَى -صلى الله عليه وسلم- إِنَّ رَبِّى قَدْ غَضِبَ الْيَوْمَ غَضَبًا لَمْ يَغْضَبْ قَبْلَهُ مِثْلَهُ وَلَنْ يَغْضَبَ بَعْدَهُ مِثْلَهُ وَإِنِّى قَتَلْتُ نَفْسًا لَمْ أُومَرْ بِقَتْلِهَا نَفْسِى نَفْسِى نَفْسِى اذْهَبُوا إِلَى عِيسَى -صلى الله عليه وسلم-.

فَيَأْتُونَ عِيسَى فَيَقُولُونَ يَا عِيسَى أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلَّمْتَ النَّاسَ فِى الْمَهْدِ وَكَلِمَةٌ مِنْهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ فَاشْفَعْ لَنَا إِلَى رَبِّكَ أَلاَ تَرَى مَا نَحْنُ فِيهِ أَلاَ تَرَى مَا قَدْ بَلَغَنَا فَيَقُولُ لَهُمْ عِيسَى -صلى الله عليه وسلم- إِنَّ رَبِّى قَدْ غَضِبَ الْيَوْمَ غَضَبًا لَمْ يَغْضَبْ قَبْلَهُ مِثْلَهُ وَلَنْ يَغْضَبَ بَعْدَهُ مِثْلَهُ – وَلَمْ يَذْكُرْ لَهُ ذَنْبًا – نَفْسِى نَفْسِى نَفْسِى اذْهَبُوا إِلَى غَيْرِى اذْهَبُوا إِلَى مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم-

“Aku adalah pemimpin manusia pada hari qiyamat. Tahukah kalian apa yang terjadi pada hari qiyamat dimana Allah mengumpulkan manusia dari awal hingga orang terakhir mereka di suatu padang yang amat luas. Diperdengarkan kepada mereka seorang yang menyeru. Ketika itu mata terbelalak, matahari di dekatkan, manusia pada saat itu berada di puncak ketakutan dan kesusahan terhadap sebuah perkara yang mereka tidak mampu memikulnya. Ketika itu sebagian orang berkata kepada sebagian yang lain, ‘Tidaklah kalian melihat keadaan kalian ini, tidaklah kalian melihat apa yang telah disampaikan kepada kalian, tidakkah kalian mencari orang yang dapat memberikan syafa’at atas kalian kepada Robb kalian ?’ Sebagian orang lain menjawab, ‘Datanglah kalian kepada Adam’. Merekapun mendatangi Adam kemudian mengatakan, ‘Wahai Adam engkau adalah Bapaknya manusia, Allah menciptakanmu dengan tangannya sendiri kemudian menghembuskan ruh kepadamu kemudian memerintahkan malaikat untuk bersujud kepadamu. Maka mintalah syafa’at Robbmu untuk kami. Tidakkah engkau melihat betapa keadaan kami, tidaklah engkau melihat kesusahan yang sudah sampai kepada kami’. Kemudian Adam mengatakan, “Sungguh Robb ku telah murka kepadaku di suatu hari dengan kemurkaan yang luar biasa, tidak ada kemarahan yang semisal sebelumnya dan sesudah itu. ketika itu Allah melarangku mendekati sebuah pohon kemudian aku bermaksiat dengan melanggar perintah itu, wahai jiwaku, wahai jiwaku… pergilah kalian kepada selainku, pergilah kalian kepada Nuh”.

Lalu merekapun mendatangi Nuh kemudian mengatakan, ‘Wahai Nuh, engkau adalah rosul pertama yang diutus ke bumi. Allah menyebutmu sebagai hamba yang bersyukur. Mintakanlah syafa’at Robb mu untuk kami. Tidakkah engkau melihat betapa keadaan kami, tidaklah engkau melihat kesusahan yang sudah sampai kepada kami’. Nuh menjawab, “Sungguh Robb ku telah murka kepadaku di suatu hari dengan kemurkaan yang luar biasa, tidak ada kemarahan yang semisal sebelumnya dan sesudah itu. sesungguhnya aku memiliki sebuah do’a yang aku berdo’a dengannya untuk ummatku. Wahai jiwaku, wahai jiwaku, wahai jiwaku. Pergilah kalian kepada Ibrohim Shollalahu ‘alaihi wa Sallam”.

Merekapun mendatangi Ibrohim lalu berkata, ‘Engkau adalah Nabi Allah, Kekasih Allah dari kalangan penduduk bumi. Mintakanlah syafa’at Robb mu untuk kami. Tidakkah engkau melihat betapa keadaan kami, tidaklah engkau melihat kesusahan yang sudah sampai kepada kami’. Kemudian beliau menjawab, “Sungguh Robb ku telah murka kepadaku di suatu hari dengan kemurkaan yang luar biasa, tidak ada kemarahan yang semisal sebelumnya dan sesudah itu”. kemudian beliau menyebutkan dusta yang pernah beliau lakukan (dalam redaksi Bukhori disebutkan 3 kedustaan -pen). “Wahai jiwaku, wahai jiwaku, wahai jiwaku. Pergilah kalian kepada orang selainku. Pergilah kepada Musa”.

Merekapun mendatangi Musa Shollalahu ‘alaihi wa Sallam kemudian mengakatan, ‘Wahai Musa engkau adalah Rosul Allah, Allah telah mengutamakanmu dari manusia lainnya dengan risalah Nya, berbicara langsung kepada Nya. Mintakanlah syafa’at Robb mu untuk kami. Tidakkah engkau melihat betapa keadaan kami, tidaklah engkau melihat kesusahan yang sudah sampai kepada kami’. Musa pun mengatakan, “Sungguh Robb ku telah murka kepadaku di suatu hari dengan kemurkaan yang luar biasa, tidak ada kemarahan yang semisal sebelumnya dan sesudah itu. sesungguhnya aku telah membunuh seseorang yang aku tidak diperintahkan untuk membunuhnya. Wahai jiwaku, wahai jiwaku, wahai jiwaku. Pergilah kalian temui ‘Isa Shollalahu ‘alaihi wa Sallam”.

Merekapun mendatangi ‘Isa, kemudian mengatakan, ‘Wahai ‘Isa engkau adalah Rosul Allah, engkau berbicara kepada manusia tentang Imam Mahdi, engkau adalah kalimat yang berasal dari Allah, yang Allah tiupkan kepada Maryan sebagai sebuah ruh dari Nya. Mintakanlah syafa’at Robb mu untuk kami. Tidakkah engkau melihat betapa keadaan kami, tidaklah engkau melihat kesusahan yang sudah sampai kepada kami’. ‘Isa Shollalahu ‘alaihi wa Sallam pun menjawab, “Sungguh Robb ku telah murka kepadaku di suatu hari dengan kemurkaan yang luar biasa, tidak ada kemarahan yang semisal sebelumnya dan sesudah itu. namun tidak disebutkan dosa beliau. Beliau mengatakan, “Wahai jiwaku, wahai jiwaku, wahai jiwaku. Pergilah kalian kepada Muhammad Shollalahu ‘alaihi wa Sallam”[9].

Lihatlah saudaraku, betapa dosa begitu besar dimata mereka, padahal mereka adalah utusan Allah ‘Azza wa Jalla. Lihatlah betapa mereka tahu keadaan mereka yang pernah berdosa. Betapa kuat rasa penyesalan mereka atas dosa-dosa mereka. Betapa mereka tidak merasa aman dari dosa yang telah lalu ?!!!!

Lalu pantaskah kita tidak bertaubat lagi dan tidak memohon ampun kepada Allah ‘Azza wa Jalla !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Selesai Subuh, 1 Jumadil Ulaa 1436 H, 21 Februari 2015 M

Al Faaqir ilaa Maghfiroti Robbihi/Aditya Budiman bin Usman.

[1] Lihat Madaarijus Saalikiin oleh Ibnul Qoyyim Rohimahullahhal. 532/I terbitan Dar Shomi’i Riyadh, KSA.

[2] Idem hal. 532-533/I.

[3] Namun kalimat (لَعَلَّ) jika terdapat dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla dan Sabda Nabi Shollalahu ‘alaihi wa Sallam maka menghasilkan sebuah kepastian.

[4] Lihat Madaarijus Saalikiin oleh Ibnul Qoyyim Rohimahullahhal. 533/I

[5] HR. Muslim no. 2702.

[6] HR. Bukhori no. 6307.

[7] Lihat Fathul Baari oleh Ibnu Hajar hal. 285/XIV terbitan Dar Thoyyibah, Riyadh, KSA.

[8] Idem.

[9] HR. Bukhori no. 4712, Muslim no. 501