10 Terapi Mabuk Cinta

10 Terapi Mabuk Cinta 

Kata orang, cinta itu buta. Virus hati yang mengatasnamakan cinta ternyata telah menelan banyak korban. Sering kita dengar seorang remaja yang nekat bunuh diri karena cintanya bertepuk sebelah tangan. Bahtera rumah tangga bisa hancur jika ada cinta terlarang di dalamnya. Ada pula cinta yang membinasakan dan sekaligus memalukan, yaitu mencintai kepada sesama jenis.

Cinta kepada orang lain yang didominasi karena syahwat disebut al ‘isyq. Jika hawa nafsu menuruti cinta ini akan terjerat dalam mabuk cinta. Ini adalahpenyakit. Jika tidak dibentengi oleh aturan syariat yang benar, cinta ini bisa menjadi mabuk cinta yang terlarang.  Mabuk cinta bisa menjangkiti siapa saja. Tidak hanya pemuda, bahkan mereka yang sudah berkeluarga. Berikut 10 terapi bagi orang sedang dimabuk cinta.

(1). Menikah

Jika memungkinkan bagi orang yang sedang mabuk cinta untuk meraih cinta pujaan hatinya dengan ketentuan syariat, maka inilah terapi yang paling utama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.

“ Wahaii sekalian pemuda, barangsiapa yang sudah mampu untuk menikah maka hendaklah dia segera menikah. Barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa karena puasa dapat menahan dirinya dari ketergelinciran perbuatan zina. ” (H.R Bukhari dan Muslim)

Hadits ini memberikan dua solusi, yaitu solusi utama dan solusi alternatif. Solusi petama adalah menikah. Jika ini bisa dilakukan, maka inilah yang terbaik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَمْ أَرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلَ النِّكَاحِ

Saya belum pernah melihat (solusi) untuk dua orang yang saling jatuh cinta selain menikah (HR. Ibnu Majah, shahih).

Adapun bagi yang belum mampu menikah, maka ada solusi alternatif yaitu berpuasa untuk meredam gejolak syahwatnya.

(2). Meninggalkan Si Dia

Jika tidak memungkinkan untuk menikahi orang yang dicintai, solusinya adalah meninggalkan pujaan hatinya sejauh-jauhnya. Menjauh dari kota tempat tinggal si dia adalah di antara obat mabuk asmara, sebagaimana sebuah perkataan :

البعيد عن العين بعيد عن القلب

Sesuatu yang jauh dari pandangan mata, akan jauh pula di hati”.

Maka hendaknya orang yang sedang mabuk cinta pergi ke daerah lain dan meninggalkan kota tempat tinggal orang yang dia cintai. Orang yang dia cintai memiliki peran penting, maka hendaknya dia menjauh darinya sehingga dia tidak lagi mendengar kabar berita si dia, tidak melihatnya , serta tidak mendengar ucapannya. Dengan demikian sedikit demi sedikit dia bisa melupakannya dan hilanglah penderitaann mabuk cinta yang dialaminya.

(3). Membayangkan Kejelekan Pujaan Hati

Dalam pandangan orang yang sedang mabuk cinta, pujaan hatinya seolah-olah tidak punya aib sama sekali. Yang tampak darinya hanya kebaikan, tanpa cela dan cacat sedikitpun. Maka termasuk obat bagi hawa nafsu yang sedang mabuk cinta adalah dengan membayangkan kejelekan yang ada pada orang yang dia cintai. Ibnu Mas’ud radhiyalllahu ‘anhu pernah berkata :

إذا أعجبت أحدكم امرأة فليذكر مناتنها

” Jika kalian kagum terhadap seorang wanita, maka ingatlah hal-hal buruk yang ada padanya “

(4). Meninggalkan Keharaman

Cinta buta yang dialami orang yang mabuk asmara ternyata sebagiannya merupakan cinta yang terlarang. Seperti mencintai wanita yang merupakan istri orang lain. Cinta seperti ini jelas merupakan perbuatan haram dan harus ditinggalkan.

Demikian pula termasuk cinta terlarang adalah mencintai sesama jenis. Ini merupakan perbuatan haram sebagaimana Allah melaknat dan membinasakan kaum Luth :

فَطَمَسْنَا أَعْيُنَهُمْ

“ lalu Kami butakan mata mereka “ (Al Qomar : 37)

فَلَمَّا جَاء أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِّن سِجِّيلٍ مَّنضُودٍ

Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi. “ ( Huud : 82)

فَأَخَذَتْهُمُ الصَّيْحَةُ مُشْرِقِينَ

Maka mereka dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur, ketika matahari akan terbit. “ (Al Hijr : 73)

Inilah ancaman berat dan mengerikan bagi pecinta sesama jenis. Cinta yang terlarang dan merupakan keharaman yang harus ditinggalkan.

(6). Memperhatikan Akibat Buruk dari Penyakit ‘Isyq

Penyakit ‘isyq bisa mengakibatkan bahaya besar yang merusak. Mabuk cinta akan menjadikan manusia bodoh, lupa diri, dan akan mengurangi akal dan kebijaksanaannya. Mabuk cinta juga menyebabkan kegundahan, kekhawatiran, ketakutan akan perpisahan, rasa kesempitan di dunia, dan juga ancaman di akhirat.

Jika pada diri seseorang ada penyakit yang akan menyebabkan kebinasaan, maka dia pasti akan menempuh berbagai cara  mengobatinya. Demikian pula penyakit ‘isyq, ini merupakan penyakit hati yang membinasakan sehingga harus segera diobati apabila seseorang sudah terjangkiti penyakit ini.

(7). Banyak Berdoa

Bagi seorang mukmin, doa adalah senjata ampuh, obat untuk segala macam penyakit, dan solusi untuk beragam persoalan. Allah Ta’ala berfirman :

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ

“ Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku “ (Al Baqarah : 182)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  mengajarkan doa :

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ سَمْعِى وَمِنْ شَرِّ بَصَرِى وَمِنْ شَرِّ لِسَانِى وَمِنْ شَرِّ قَلْبِى وَمِنْ شَرِّ مَنِيِّى

“ Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari kejelekan pada pendengaranku, kejelakan pada penglihatanku, kejelekan pada lisanku, kejelekan pada hatiku, serta kejelakan pada mani atau kemaluanku .“ (HR. Tirmidzi, hasan)

Doa lain yang Nabi ajarkan :

اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

“ Ya Allah, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf dan ghina.” (HR. Muslim)

(8). Bersabar

Untuk mengobati penyakit ‘isyq memang membutuhkan kesabaran ekstra. Kesabaran hasil akhirnya adalah sesuatu yang terpuji. Pertolongan bagi seorang hamba akan senantiasa menyertai kesabarannya. Berat dan pahitnya sabar di dunia saat ini lebih baik daripada beratnya menanggung siksaan di neraka jahannam nanti.

(9). Bersungguh-Sungguh  

Dibutuhkan kesungguhan hati dalam mengobati penyakit ini. Dengan niat yang benar dan usaha yang penuh dengan kesungguhan, niscaya Allah akan beri jalan kemudahan. Allah Ta’ala berfirman :

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا

Dan orang-orang yang berjihad bersunggguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami “ (Al Ankabut :69)

(10)  Berkonsultasi dengan Orang Yang Selamat dari Penyakit  ‘Isyq

Hendaknya orang yang sedang terjangkit penyakit ‘isyq berkonsultasi dengan orang yang pernah mengalami mabuk cinta dan selamat darinya. Meminta solusi dan nasihat darinya akan membantu untuk mengobati penyakit ini.

Demikianlah di antara kiat agar selamat dari bahaya mabuk cinta. Wallahu a’lam.

Janganlah Berbuat Zalim !

Janganlah Berbuat Zalim !

Islam adalah agama yang penuh keadilan dan jauh dari kezaliman. Oleh karena itu Islam juga memerintahkan untuk berbuat adil dan melarang berbuat zalim.

Makna Zalim

Secara bahasa, zalim atau azh zhulmu artinya meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Disebutkan dalam Lisaanul Arab:

الظُّلْمُ: وَضْع الشيء في غير موضِعه

Azh zhulmu artinya meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya”

Secara istilah, zalim artinya melakukan sesuatu yang keluar dari koridor kebenaran, baik karena kurang atau melebih batas. Al Asfahani mengatakan:

هو: (وضع الشيء في غير موضعه المختص به؛ إمَّا بنقصان أو بزيادة؛ وإما بعدول عن وقته أو مكانه)

“Zalim adalah meletakkan sesuatu bukan pada posisinya yang tepat baginya, baik karena kurang maupun karena adanya tambahan, baik karena tidak sesuai dari segi waktunya ataupun dari segi tempatnya” (Mufradat Allafzhil Qur’an Al Asfahani 537, dinukil dari Mausu’ah Akhlaq Durarus Saniyyah).

Zalim juga diartikan sebagai perbuatan menggunakan milik orang lain tanpa hak. Al Jurjani mengatakan:

هو عبارة عن التعدِّي عن الحق إلى الباطل وهو الجور. وقيل: هو التصرُّف في ملك الغير، ومجاوزة الحد) 

“Zalim artinya melewati koridor kebenaran hingga masuk pada kebatilan, dan ia adalah maksiat. Disebut oleh sebagian ahli bahasa bahwa zalim adalah menggunakan milik orang lain, dan melebihi batas” (At Ta’rifat, 186, dinukil dari Mausu’ah Akhlaq Durarus Saniyyah).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin memiliki penjelasan yang bagus dalam memaknai zalim. Beliau mengatakan:

واعلم أن الظلم هو النقص، قال الله تعالى (كِلْتَا الْجَنَّتَيْنِ آتَتْ أُكُلَهَا وَلَمْ تَظْلِمْ مِنْهُ شَيْئاً) (الكهف: 33) ، يعني لم تنقص منه شيئاً، والنقص إما أن يكون بالتجرؤ على ما لا يجوز للإنسان، وإما بالتفريط فيما يجب عليه. وحينئذٍ يدور الظلم على هذين الأمرين، إما ترك واجب، وإما فعل محرم

“Ketahuilah bahwa zalim itu adalah an naqsh (bersikap kurang). Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ‘Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu lam tazhlim (tidak kurang) buahnya sedikitpun‘. Maksudnya tidak kurang buahnya sedikit pun. Bersikap kurang itu bisa jadi berupa melakukan hal yang tidak diperbolehkan bagi seseorang, atau melalaikan apa yang diwajibkan baginya. Oleh karena itu zalim berporos pada dua hal ini, baik berupa meninggalkan kewajiban atau melakukan yang haram” (Syarah Riyadush Shalihin, 2/486).

Oleh karena itu, jika dikatakan “Amr menzalimi Zaid”, artinya Amr melakukan hal yang tidak diperbolehkan terhadap Zaid atau Amr meninggalkan apa yang wajib ia lakukan terhadap Zaid.

Lawan dari zalim atau azh zhulmu adalah adil atau al ‘adl. Maka adil artinya menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya dan berada dalam koridor kebenaran.

Larangan Berbuat Zalim

Perbuatan zalim terlarang dalam Islam. Terdapat banyak sekali ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang mencela dan melarang perbuatan zalim. 

Allah Ta’ala berfirman:

أَلاَ لَعْنَةُ اللّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ

Ingatlah, laknat Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim” (QS. Hud: 18).

وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ

Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras” (QS. Hud: 102).

نَقُولُ لِلَّذِينَ ظَلَمُوا ذُوقُوا عَذَابَ النَّارِ الَّتِي كُنتُم بِهَا تُكَذِّبُونَ

Dan Kami katakan kepada orang-orang yang zalim: “Rasakanlah olehmu azab neraka yang dahulunya kamu dustakan itu”” (QS. Saba: 40).

مَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ حَمِيمٍ وَلا شَفِيعٍ يُطَاعُ

Orang-orang yang zalim tidak mempunyai teman setia seorangpun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafa’at yang diterima syafa’atnya” (QS. Ghafir: 18).

إِنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang aniaya itu tidak mendapat keberuntungan” (QS. Al An’am: 21).

Dan ayat-ayat yang semisal sangatlah banyak. Adapun dalil-dalil dari As Sunnah, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

قال الله تبارك وتعالى: يا عبادي، إني حرمت الظلم على نفسي، وجعلته بينكم محرمًا؛ فلا تظالموا

Allah Tabaaraka wa ta’ala berfirman: ‘wahai hambaku, sesungguhnya aku haramkan kezaliman atas Diriku, dan aku haramkan juga kezaliman bagi kalian, maka janganlah saling berbuat zalim’” (HR.  Muslim no. 2577).

Beliau juga bersabda: 

اتَّقوا الظُّلمَ . فإنَّ الظُّلمَ ظلماتٌ يومَ القيامةِ

“jauhilah kezaliman karena kezaliman adalah kegelapan di hari kiamat” (HR. Al Bukhari no. 2447, Muslim no. 2578).

Beliau juga bersabda:

المسلم أخو المسلم، لا يظلمه، ولا يسلمه

“Seorang Muslim itu adalah saudara bagi Muslim yang lain, tidak boleh menzaliminya dan tidak boleh menelantarkannya” (HR. Muslim no. 2564).

Dan dalil-dalil yang mencela dan melarang perbuatan zalim datang dalam bentuk muthlaq, sehingga perbuatan zalim dalam bentuk apapun dan kepada siapa pun terlarang hukumnya. Bahkan kepada orang kafir dan kepada binatang sekalipun, tidak diperkenankan berbuat zalim. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لَوْ غُفِرَ لَكُمْ مَا تَأْتُونَ إِلَى الْبَهَائِمِ , لَغُفِرَ لَكُمْ كَثِيرًا

“Andaikan perbuatan yang kalian lakukan terhadap binatang itu diampuni, maka ketika itu diampuni banyak dosa” (HR. Ahmad 6/441, dihasankan Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah, 2/41-42).

Al Albani setelah menjelaskan derajat hadits ini beliau mengatakan, “maknanya larangan dan peringatan terhadap perbuatan zalim pada hewan. Jadi, andaikan si pemilik binatang yang tidak memiliki kasih sayang terhadap binatangnya itu dimaafkan, maka ketika itu sungguh telah diampuni dosa yang banyak” (Silsilah Ahadits Shahihah, 2/41-42).

Jelas sudah bahwa Allah dan Rasul-Nya melarang kezaliman dalam bentuk apapun. Dan wajib untuk berbuat adil dalam segala sesuatu, Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa” (QS. Al Maidah: 8).

Akibat Perbuatan Zalim

Perbuatan zalim menyebabkan pelakunya mendapat keburukan di dunia dan di akhirat. Diantaranya:

Akan di-qishash pada hari kiamat

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya:

أتدرون ما المفلِسُ ؟ قالوا : المفلِسُ فينا من لا درهمَ له ولا متاعَ . فقال : إنَّ المفلسَ من أمَّتي ، يأتي يومَ القيامةِ بصلاةٍ وصيامٍ وزكاةٍ ، ويأتي قد شتم هذا ، وقذف هذا ، وأكل مالَ هذا ، وسفك دمَ هذا ، وضرب هذا . فيُعطَى هذا من حسناتِه وهذا من حسناتِه . فإن فَنِيَتْ حسناتُه ، قبل أن يقضيَ ما عليه ، أخذ من خطاياهم فطُرِحت عليه . ثمَّ طُرِح في النَّارِ

“Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut?”. Para shahabat pun menjawab, ”Orang yang bangkrut menurut kami adalah orang yang tidak memiliki uang dirham maupun harta benda”. Nabi bersabda, ”Sesungguhnya orang yang bangkrut di kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat, tetapi ia juga datang membawa dosa berupa perbuatan mencela, menuduh, memakan harta, menumpahkan darah, dan memukul orang lain. Kelak kebaikan-kebaikannya akan diberikan kepada orang yang terzalimi. Apabila amalan kebaikannya sudah habis diberikan, sementara belum selesai pembalasan tindak kezalimannya, maka diambillah dosa-dosa orang yang terzalimi itu, lalu diberikan kepadanya. Kemudian dia pun dicampakkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim no. 2581).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ

“Siapa yang pernah berbuat aniaya (zhalim) terhadap kehormatan saudaranya atau sesuatu apapun hendaklah dia meminta kehalalannya (maaf) pada hari ini (di dunia) sebelum datang hari yang ketika itu tidak bermanfaat dinar dan dirham. Jika dia tidak lakukan, maka (nanti pada hari kiamat) bila dia memiliki amal shalih akan diambil darinya sebanyak kezholimannya. Apabila dia tidak memiliki kebaikan lagi maka keburukan saudaranya yang dizhaliminya itu akan diambil lalu ditimpakan kepadanya”. (HR. Al-Bukhari no. 2449)

Mendapatkan laknat dari Allah

Allah Ta’ala berfirman:

يَوْمَ لا يَنفَعُ الظَّالِمِينَ مَعْذِرَتُهُمْ وَلَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ

“(yaitu) hari yang tidak berguna bagi orang-orang zalim permintaan maafnya dan bagi merekalah laknat dan bagi merekalah tempat tinggal yang buruk” (QS. Ghafir: 52).

Laknat dari Allah artinya dijauhkan dari rahmat Allah.

Mendapatkan kegelapan di hari kiamat

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الظُّلْمُ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ القِيَامَةِ

“Kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat” (HR. Al Bukhari no. 2447, Muslim no. 2578).

Terancam oleh doa orang yang dizhalimi

Doa orang yang terzalimi dikabulkan oleh Allah, termasuk jika orang yang terzalimi mendoakan keburukan bagi yang menzaliminya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ

“Dan berhati-hatilah terhadap doa orang yang terzalimi, karena tidak ada penghalang antara doanya dengan Allah.” (HR. Bukhari no.1496, Muslim no.19).

Jauh dari hidayah Allah

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (QS. Al Maidah: 51).

Dijauhkan dari Al Falah

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang zalim tidak akan mendapatkan al falah” (QS. Al An’am: 21).

Al falah artinya mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat

Kezaliman adalah sebab bencana dan petaka

Allah Ta’ala berfirman:

فَكَأَيِّن مِّن قَرْيَةٍ أَهْلَكْنَاهَا وَهِيَ ظَالِمَةٌ فَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَى عُرُوشِهَا وَبِئْرٍ مُّعَطَّلَةٍ وَقَصْرٍ مَّشِيدٍ

“Berapalah banyaknya kota yang Kami telah membinasakannya, yang penduduknya dalam keadaan zalim, maka (tembok-tembok) kota itu roboh menutupi atap-atapnya dan (berapa banyak pula) sumur yang telah ditinggalkan dan istana yang tinggi” (QS. Al Hajj: 45).

Jenis-Jenis Perbuatan Zalim

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan: “Zalim ada dua macam: pertama, kezaliman terkait dengan hak Allah ‘Azza wa Jalla, kedua, kezaliman terkait dengan hak hamba.

Kezaliman terhadap hak Allah

Kezaliman yang terbesar yang terkait dengan hak Allah adalah kesyirikan. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ditanya: ‘dosa apa yang paling besar?’, beliau menjawab:

أن تجعل لله نداً وهو خلقك

‘Engkau menjadikan sesuatu sebagai sekutu bagi Allah, padahal Allah yang menciptakanmu’ (HR. Bukhari no. 4477, Muslim no. 86).

Setelah dosa syirik, lalu tingkatan setelahnya adalah kezaliman berupa dosa-dosa besar, kemudian setelahnya adalah dosa-dosa kecil. 

Kezaliman terhadap hak hamba

Adapun kezaliman yang terkait hak hamba, berporos pada tiga hal, yang dijelaskan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam khutbahnya ketika haji Wada’, beliau bersabda:

إن دماءكم وأموالكم وأعراضكم حرام عليكم، كحرمة يومكم هذا، في شهركم هذا، في بلدكم هذا

‘Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, kehormatan kalian, semuanya haram atas sesama kalian. Sebagaimana haramnya hari ini, bulan ini, di tanah kalian ini’ (HR. Bukhari no. 67, Muslim no. 1679).

Kezaliman terhadap jiwa

Kezaliman terhadap jiwa seseorang itulah yang dimaksud kezaliman dalam darah, yaitu seseorang berbuat melebihi batas kepada sesama Muslim dengan menumpahkan darahnya, melukainya, atau semisal itu. 

Kezaliman terhadap harta

Kezaliman terhadap harta yaitu seseorang berbuat melebihi batas terhadap sesama Muslim dalam masalah harta, baik berupa enggan mengeluarkan yang wajib ia keluarkan, atau dengan melakukan hal yang haram dalam masalah harta, atau berupa meninggalkan hal wajib ia lakukan, atau juga berupa melakukan sesuatu yang diharamkan terhadap harta orang lain.

Kezaliman terhadap kehormatan

Adapun kezaliman terhadap kehormatan orang lain itu mencakup berbuat melebihi batas terhadap sesama Muslim dengan melakukan zina, atau liwath (sodomi), qodzaf, dan semisalnya. Semua jenis kezaliman ini haram hukumnya” (Syarah Riyadus Shalihin, 2/485).

Dan barangsiapa yang melakukan dua jenis kezaliman di atas, baik zalim terhadap hak Allah maupun zalim terhadap hak hamba, maka ia telah melakukan kezaliman kepada dirinya sendiri. Karena ia adalah makhluk yang dicipta untuk beribadah kepada-Nya, dengan menaati segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Maka dengan melanggar hal itu, ia tepat menempatkan dirinya pada tempat yang tidak sesuai dan inilah kezaliman. Oleh karena itu Allah Ta’ala menyebutkan hamba-Nya yang bermaksiat dengan “menzalimi dirinya sendiri”,

مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ

di antara hamba Kami ada yang menzalimi dirinya sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang berlomba berbuat kebaikan” (QS. Fathir: 32).

As Sa’di mengatakan: “ada yang menzalimi dirinya, yaitu dengan maksiat” (Taisir Karimirrahman).

Syirik Adalah Kezaliman Terbesar

Ketahuilah bahwa kezaliman terbesar itu bukanlah kezaliman dari penguasa, bukan kezaliman dari diktator yang keji, bukan kezaliman dari kaum kapitalis, namun kezaliman terbesar di dunia ini adalah mempersembahkan ibadah kepada selain Allah, atau perbuatan syirik. Kezaliman mana lagi yang lebih besar dari menyekutukan Rabb yang telah menciptakan kita, memberi segala nikmat dan keselamatan selama ini? Oleh karena itu ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ditanya: ‘dosa apa yang paling besar’, beliau menjawab:

أن تجعل لله نداً وهو خلقك

‘Engkau menjadikan sesuatu sebagai sekutu bagi Allah, padahal Allah yang menciptakanmu’

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya kesyirikan adalah kezaliman yang terbesar” (QS. Luqman: 13).

As Sa’di menjelaskan ayat ini, “alasan mengapa syirik adalah kezaliman tersbesar adalah, bahwasanya tidak ada yang lebih parah dan lebih buruk dari orang yang menyetarakan makhluk yang terbuat dari tanah dengan Sang Pemilik semua makhluk, menyetarakan makhluk yang tidak memiliki sesuatu apapun dengan Dzat yang memiliki semuanya,  menyetarakan makhluk yang serba kurang dan fakir dari segala sisinya dengan Rabb yang sempurna dan Maha Kaya dari segala sisinya, menyetarakan makhluk yang tidak bisa memberikan satu nikmat pun dengan Dzat yang memberikan semua nikmat dalam agamanya, dunianya dan akhiratnya. Padahal hati orang tersebut beserta raganya, adalah dari Allah. Dan tidaklah keburukan tercegah darinya, kecuali karena Allah. Maka adakah kezaliman yang lebih besar dari ini?” (Taisir Karimirrahman).

Maka saudaraku, jauhilah perbuatan syirik! jauhilah semua bentuk perbuatan zalim! Berlaku adil lah dalam segala sesuatu. Semoga Allah memberi taufiq. Wallahu waliyyu dzalika wal qaadiru ‘alaihi.

Referensi:

  • Mausu’atul Akhlaq, bab Zhalim, yang disusun oleh tim Durarus Saniyah dibawah isyraf Syaikh Alwi bin Abdil Qadir As Segaf
  • Syarah Riyadus Shalihin, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
  • Taisir Karimirrahman fi Tafsiri Kalamil Mannan, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di

Ketika Dicela Dan Dihina

Ketika Dicela Dan Dihina

Ketika seseorang dihina dan dicela, maka jawaban terbaik adalah diam dan bersabar. Bahkan hendaknya dia mengetahui bahwa apabila dia memaafkan dan berbuat baik, maka hal itu akan menyebabkan hatinya selamat dari berbagai kedengkian dan kebencian kepada saudaranya, serta hatinya akan terbebas dari keinginan untuk melakukan balas dendam dan berbuat jahat (kepada pihak yang mendholiminya).

Sehingga dia memperoleh kenikmatan memaafkan yang justru akan menambah kelezatan dan manfaat yang berlipat-lipat, baik manfaat itu dirasakan sekarang atau nanti.

Manfaat di atas tentu tidak sebanding dengan “kenikmatan dan manfaat” yang dirasakannya ketika melakukan pembalasan. Oleh karenanya, (dengan perbuatan di atas), dia termasuk dalam cakupan firman Allah Ta’ala,

وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran: 134).

Dengan melaksanakan perbuatan di atas, dirinya pun menjadi pribadi yang dicintai Allah Ta’ala. Kondisi yang dialaminya layaknya seorang yang kecurian Seribu rupiah, namun dia malah menerima ganti Satu juta rupiah.

Sehingga, dia akan merasa sangat gembira atas karunia Allah Ta’ala yang diberikan kepadanya melebihi kegembiraan yang pernah dirasakannya.

Bagi seorang yang melampiaskan dendam semata-mata untuk kepentingan nafsunya, maka hal itu hanya akan mewariskan kehinaan di dalam dirinya.

Apabila dia memaafkan, maka Allah Ta’ala justru akan memberikan kemuliaan kepadanya.

Keutamaan ini telah diberitakan oleh sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasul Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا

“Kemuliaan hanya akan ditambahkan oleh Allah kepada seorang hamba yang bersikap pemaaf.” (HR. Muslim, no. 2588).

Berdasarkan hadits di atas, kemuliaan yang diperoleh dari sikap memaafkan itu lebih disukai dan lebih bermanfaat bagi dirinya daripada kemuliaan yang diperoleh dari tindakan pelampiasan dendam.

Kemuliaan yang diperoleh dari pelampiasan dendam adalah kemuliaan lahiriah semata, namun mewariskan kehinaan batin, bahkan sampai terlihat dalam kehidupan nyata.

Sedangkan sikap diam dan memaafkan terkadang merupakan kehinaan di dalam batin, namun sejatinya hal itu mewariskan kemuliaan lahir dan batin.

Karenanya dahulu Syabib bin Syaibah rahimahullahu memberikan nasehat bagi mereka yang dicela agar diam saja dan bersabar, karena hal itu adalah awal dari tanda-tanda kemuliaan, keselamatan diri dan kebahagiaan jiwa.

Sebaliknya jika mereka membalas atas celaan itu, yang ada adalah kalah dengan hawa nafsu dan sakit secara lahir dan batin tidak terelakan lagi. Beliau menyampaikan;

‎من سمع كلمة يكرهها فسكت عنها انقطع عنه ما يكره، فإن أجاب عنها سمع أكثر مما يكره

“Siapa yang mendengar sebuah ucapan yang dia benci lalu diam tidak membalas, terputuslah darinya apa yang dia benci tersebut, namun jika dia membalasnya maka dia akan mendengar lebih banyak lagi hal-hal yang dia benci.” (lihat Uyunul Akhbar libni Qutaibah, 1/400).

Wallahu Ta’ala A’lam.

Jauhilah Sifat Pelit

Jauhilah Sifat Pelit

 

وَعَنْ جَابِرٍ – رضى الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ : { اِتَّقُوا اَلظُّلْمَ, فَإِنَّ اَلظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ, وَاتَّقُوا اَلشُّحَّ , فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ }

Dari Jabir radhiyallāhu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

“Jauhilah berbuat zhalim karena perbuatan zhalim adalah kegelapan yang bertumpuk-tumpuk pada hari kiamat dan jauhilah sifat “syuh” (sangat pelit) karena sifat sangat pelit tersebut telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.”

(HR Muslim 2578).
〰〰〰〰〰〰〰

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Ikhwan dam akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla,

Kita masih dalam Bab Tarhib min Masawil Akhlak (Bab Tentang Peringatan Bahaya dari Akhlak-akhlak yang Buruk, kita masuk pada hadits yang ke-4.

Dari Jabir radhiyallāhu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

اِتَّقُوا اَلظُّلْمَ, فَإِنَّ اَلظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ, وَاتَّقُوا اَلشُّحَّ , فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ

“Jauhilah berbuat zhalim karena perbuatan zhalim adalah kegelapan yang bertumpuk-tumpuk pada hari kiamat dan jauhilah sifat “syuh” (sangat pelit) karena sifat sangat pelit tersebut telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.”

(HR Muslim 2578)

Hadits ini terdiri dari 2 bagian.

BAGIAN PERTAMA

Jauhilah perbuatan zhalim karena perbuatan zhalim merupakan kegelapan yang bertubi-tubi pada hari kiamat, dan telah kita jelaskan pada pembahasan hadits yang sebelumnya.

Oleh karenanya kita akan konsentrasi pada bagian yang kedua.

BAGIAN KEDUA

Jauhilah kalian “asy syuh” (sifat sangat pelit) karena itulah yang telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.

Asy syuh maknanya adalah pelit yang amat sangat yang disertai dengan semangat untuk meraih harta, bahkan harta milik orang lain.

Oleh karenanya, Rasulullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam menyebutkan bahwasannya syuh inilah yang membinasakan umat-umat terdahulu, ini benar.

Kita lihat bagaimana terjadinya pertempuran dan penjajahan. Suatu negara datang ke negera yang lain untuk merebut harta yang dimiliki negara tersebut karena adanya sifat tamak.

Dan inilah yang menyebabkan terjadinya peperangan dan penjajahan pada umat-umat terdahulu.

Dalam Al Quran juga banyak ayat yang menjelaskan tentang buruknya sifat pelit, seperti firman Allāh Subhānahu wa Ta’āla:

وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَآ ءَاتٰىهُمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِۦ هُوَ خَيْرًا لَّهُم ۖ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَّهُمْ ۖ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِۦ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۗ

“Sekali-sekali janganlah orang yang bakhil dengan harta yang Allāh berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka, sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di leher mereka pada hari kiamat.”

(QS Ali Imran: 180)

Seperti juga firman Allāh Subhānahu wa Ta’āla:

وَمَنْ يَبْخَلْ فَإِنَّمَا يَبْخَلُ عَنْ نَفْسِهِ

“Barang siapa yang bakhil, maka sesungguhnya dia bakhil untuk dirinya sendiri.”
(QS Muhammad: 38)

Ini celaan dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Kemudian juga firman Allāh Subhānahu wa Ta’āla:

وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Barang siapa yang terjaga dari sifat pelit maka sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

(Al Hasyr: 9)

Orang yang pelit sesungguhnya menunjukkan bahwa keimanannya kepada hari akhirat dan kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla kurang.

Dalam suatu hadits Rasulullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda :

وَلاَ يَجْتَمِعُ الشُّحُّ وَالإِيمَانُ فِي قَلْبِ عَبْدٍ أَبَدًا

“Tidak akan berkumpul sifat pelit dan keimanan dalam hati seorang hamba selama-lamanya.”

(HR Nasa’i: 3111)

Kenapa?

Karena kalau orang yang beriman dengan iman yang benar maka dia yakin bahwasanya harta yang dia keluarkan akan diganti oleh Allāh di dunia maupun di akhirat.

Jadi, kapan seseorang itu pelit? Yaitu tatkala dia kurang yakin.

Dalam Al Qur’an terlalu banyak Allāh memerintahkan, “Infaqlah,..,” “Bersedekahlah…,” banyak sekali.

Dalam hadits juga Rasulullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam menyeru untuk bersedekah.

Betapa banyak ayat-ayat dan hadits-hadits ini namun tidak menggerakkan hatinya untuk bersedekah, malah justru membuat dirinya pelit. Ini menunjukkan keimanannya kurang.

Kalau keimanannya kuat, dia akan yakin bahwa apa yang dikeluarkannya akan diganti oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Sehingga seseorang bisa mengukur imannya dari sifat pelitnya. Kalau teryata dia pelit maka imannya kepada Allāh dan hari akhirat kurang.

Oleh karenanya dalam hadits Rasulullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

الصدقة برهان

“Bahwa sedekah itu adalah burhan (bukti).”

Maksudnya apa?

Maksudnya bukti tentang keimanan.

Anda, kalau mengaku beriman kepada Allāh harus ada buktinya, buktinya mana?

Buktinya yaitu anda mau bersedekah.

Maka paksakan anda untuk bersedekah, sebagai bukti bahwa anda beriman, bahwa sedekah yang anda keluarkan akan diganti oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

sumber : https://ilmiyyah.com/archives/5765#:~:text=%E2%80%9CJauhilah%20berbuat%20zhalim%20karena%20perbuatan,orang%2Dorang%20sebelum%20kalian.%E2%80%9D

Peran Ibu Dalam Pendidikan Anak

Peran Ibu Dalam Pendidikan Anak 

Di balik pria yang agung ada wanita agung di belakangnya

Demikianlah kata orang bijak tempo dulu. Jika ada lelaki yang menjadi ulama cendikia, tokoh ternama, atau pahlawan ksatria, lihatlah siapa ibu mereka. Karena Ibu memiliki peran besar dalam membentuk watak, karakter, dan pengetahuan seseorang.

Ibu adalah ustadzah pertama, sebelum si kecil berguru kepada ustadz besar sekalipun

Maka kecerdasan, keuletan, dan perangai sang ibu adalah faktor dominan bagi masa depan anak. Termasuk juga ibu susu [1]. Karenanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melarang para orang tua menyusukan bayi mereka pada wanita yang lemah akal. Karena air susu dapat mewariskan sifat-sifat ibu pada si bayi [2].

Dalam kitab Ar Raudhul Unuf disebutkan bahwa persusuan itu seperti hubungan darah (nasab), ia dapat mempengaruhi watak seseorang. Kemudian penulisnya menyitir sebuah hadits dari ‘Aisyah radhiallahu’anha secara marfu’: “Janganlah kalian menyusukan bayi kalian kepada wanita bodoh, karena air susu akan mewariskan sifat sang ibu” [3].

Salah seorang sahabat Nabi yang bernama Aktsam bin Shaifi radhiallahu’anhu pernah berwasiat kepada kaumnya. Diantaranya ia mengatakan,

أوصيكم بتقوى الله، وصلة الرحم ؛ فإنه لا يبلى عليهما أصل، ولا يهتصر عليهما فرع، وإياكم ونكاح الحمقاء ؛فإن صحبتها قذر

Aku wasiatkan kepada kalian agar senantiasa bertaqwa kepada Allah dan menyambung tali silaturahmi. Dengan keduanya akar (keimanan) akan selalu tegak, dan cabangnya tak akan bengkok. Hati-hatilah kalian jangan sampai menikahi wanita yang dungu, karena hidup bersamanya adalah kenistaan” [4]

Memang demikianlah faktanya; wanita dungu hanya akan merepotkan suaminya, sulit dididik dan sukar diatur. Anaknya pun akan terlantar dan salah asuhan.

Pernah suatu ketika ada seorang bapak yang mengeluh kepada Amirul Mukminin Umar bin Khathab radhiallahu’anhu mengenai anaknya yang durhaka. Orang itu mengatakan bahwa putranya selalu berkata kasar kepadanya dan sering kali memukulnya. Maka Umar pun memanggil anak itu dan memarahinya.

“Celaka engkau! Tidakkah engkau tahu bahwa durhaka kepada orang tua adalah dosa besar yang mengundang murka Allah?”, bentak Umar.

“Tunggu dulu, wahai Amirul Mukminin. Jangan tergesa-gesa mengadiliku. Jikalau memang seorang ayah memiliki hak terhadap anaknya, bukankah si anak juga punya hak terhadap ayahnya”, tanya si anak.

“Benar”, jawab Umar. “Lantas apa hak anak terhadap ayahnya tadi”, lanjut si anak.

“Ada tiga”, jawab Umar. “Pertama, hendaklah ia memilih calon ibu yang baik bagi putranya. Kedua, hendaklah ia menamainya dengan nama yang baik. Dan ketiga, hendaknya ia mengajarinya menghafal Al Qur’an”.

Maka si anak mengatakan, “ketahuilah wahai Amirul Mukminin, ayahku tidak pernah melakukan satu pun dari tiga hal tersebut. Ia tidak memilih calon ibu yang baik bagiku, ibuku adalah hamba sahaya jelek berkulit hitam yang dibelinya dari pasar seharga 2 dirham. Lalu malamnya ia gauli sehingga hamil mengandungku. Setelah aku lahir pun ayah menamaiku Ju’al [5], dan ia tidak pernah mengajariku menghafal Al Qur’an walau seayat!”.

“Pergi sana! Kaulah yang mendurhakainya sewaktu kecil, pantas kalau ia durhaka kepadamu sekarang”, bentak Umar kepada ayahnya [6].

Begitulah, ibu memiliki peran begitu besar dalam menentukan masa depan si kecil. Ibu, dengan kasih sayangnya yang tulus, merupakan tambatan hati bagi si kecil dalam menapaki masa depannya. Di sisinya lah si kecil mendapatkan kehangatan. Senyuman dan belaian tangan ibu akan mengobarkan semangatnya. Jari-jemari lembut yang senantiasa menengadah ke langit, teriring doa yang tulis dan deraian air mata bagi si buh hati, ada kunci kesuksesannya di hari esok.

Dalam Siyar-nya, Adz Dzahabi mengisahkan dari Muhammad bin Ahmad bin Fadhal Al Balkhi, ia mendengar ayahnya mengatakan bahwa kedua mata Imam Al Bukhari sempat buta semasa kanak-kanak. Namun pada suatu malam, ibunya bermimpi bahwa ia berjumpa dengan Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim berkata kepadanya, “Hai Ibu, sesungguhnya Allah telah berkenan mengembalikan penglihatan anakmu karena cucuran air mata dan banyaknya doa yang kau panjatkan kepada-Nya“. Maka setelah kami periksa keesokan harinya ternyata penglihatan Al Bukhari benar-benar telah kembali [7].

Catatan Kaki

[1] Yakni wanita yang menyusui anak orang lain, hingga secara syar’i ia menjadi mahram bagi sang anak seperti ibu kandungnya sendiri. Semua keluarga wanita ini juga otomatis jadi mahram bagi sang anak; baik itu suaminya, anaknya, saudaranya, orang tuanya, pamannya, bibinya, dan seterusnya. Sedang dari pihak anak, yang menjadi mahram bagi ibu susunya ialah keturunan dari sang anak yang disusui saja.

[2] HR. Al Baihaqi dalam Sunanul Kubra 7/464 dari Zaid As Sahmi, secara mursal dengan lafadz,

نهى رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ أن تُسترضَعَ الحَمْقاءُ فإنَّ اللَّبنَ يشبِه

Namun ada hadits-hadits lain yang menjadi syawahid atas hadits di atas, seperti yang diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Al Mu’jamul Ausath, 1/68 hadits no. 65, dari Ibnu Umar radhiallahu’anhu dengan lafadz,

أنَّ رسولَ اللهِ نهى عن رَضاعِ الحَمقاءِ

Bahwasanya Rasulullah melarang untuk menyusukan anak kepada wanita yang bodoh

Juga dalam Al Mu’jam Ash Shaghir 1/140 hadits no. 137 dari Aisyah radhiallahu’anha dengan lafadz,

لا تَسْتَرْضِعُوا الْوَرْهَاءَ ” ، قَالَ الأَصْمَعِيُّ : سَمِعْتُ يُونُسَ بْنَ حَبِيبٍ ، يَقُولُ : الْوَرْهَاءُ : الْحَمْقَاءُ

jangan kalian menyusukan (bayi kalian) kepada wanita yang warha‘”. Al Ashma’i berkata: ‘aku mendengar Yunus bin Habib berkata bahwa warha‘ itu artinya dungu’

Dengan syawahid tadi insya Allah hadits di atas menjadi hasan li ghairihi, wallahu a’lam.

[3] Bab Syarh Hadits Ar Radha’ah, 1/285.

[4] Ma’rifatus Shahabah karya Abu Nu’aim Al Ashbahani, 3/385.

[5] Ju’al adalah sejenis kumbang yang selalu bergumul pada kotoran hewan. Bisa juga diartikan sebagai orang yang berkulit hitam dan berparas jelek (mirip kumbang) atau orang yang emosional (lihat Al Qamus Al Muhith, hal. 977)

[6] Disadur dari khutbah Syaikh Dr. Muhammad Al Arifi, Masuliyatur rajuli fii usratihi.

[7] Siyar A’lamin Nubala, 3/3324, cet. Baitul Afkar Ad Duwaliyah

***

Hukum Mengeraskan Suara Ketika Membaca Al Qur'an

Hukum Mengeraskan Suara Ketika Membaca Al Qur'an 

Terkadang ketika akan shalat sunnah di masjid ada yang sedang membaca Al-Qur’an dengan suara yang keras sehingga menganggu jamaah yang shalat

[lwptoc]

Mengeraskan Suara ketika Membaca Al-Qur’an yang Terlarang

Di antara perbuatan yang mengganggu orang-orang yang sedang shalat (sunnah) sebelum iqamat adalah adanya jamaah yang membaca Al-Qur’an dengan suara keras. Perbuatan semacam ini akan mengganggu konsentrasi atau kekhusyu’an orang-orang yang sedang shalat atau yang sedang melakukan ibadah yang lainnya. 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang perbuatan semacam ini. Hal ini sebagaimana hadits yang diceritakan dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

اعْتَكَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُونَ بِالْقِرَاءَةِ فَكَشَفَ السِّتْرَ وَقَالَ أَلَا إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلَا يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلَا يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ أَوْ قَالَ فِي الصَّلَاةِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di masjid, lalu beliau mendengar mereka (para sahabat) mengeraskan bacaan (Al-Qur’an) mereka. Kemudian beliau membuka tirai sambil bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya kalian sedang berdialog dengan Rabb kalian. Oleh karena itu, janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian yang lain, dan jangan pula sebagian yang satu mengeraskan terhadap sebagian yang lain di dalam membaca Al-Qur’an” atau beliau mengatakan, “atau dalam shalatnya.”” (HR. Abu Dawud no. 1332, shahih)

Hadits tersebut menunjukkan adanya larangan bagi orang-orang yang sedang membaca Al-Qur’an di masjid untuk meninggikan atau mengeraskan suara mereka. Karena perbuatan ini akan mengganggu jamaah lain yang sedang beribadah, baik yang sedang sama-sama membaca Al-Qur’an seperti dia, atau sedang shalat, sedang berdzikir, dan yang sedang i’tikaf.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

“Tidak boleh bagi seseorang untuk mengeraskan bacaan Al-Qur’an, baik di dalam shalat ataupun ketika di luar shalat. Jika dia di masjid, perbuatan itu akan mengganggu jama’ah lain karena suaranya.” (Majmu’ Al-Fataawa, 23: 61)

Mengeraskan Suara ketika Membaca Al-Qur’an yang Dibolehkan

Adapun jika suara tersebut tidak mengganggu orang lain, maka terdapat hadits-hadits yang menunjukkan bolehnya perbuatan tersebut. Lebih-lebih jika orang yang mengeraskan suara tersebut tidak khawatir akan tertimpa penyakit riya’ atau mencari pujian dan popularitas. Dan mengeraskan suara ini lebih ditekankan lagi jika dalam rangka mengajarkan ilmu (Al-Qur’an). 

Tidaklah diragukan lagi bahwa dengan mengeraskan bacaan Al-Qur’an itu akan lebih menghidupkan hati, membangkitkan (memperbarui) semangat, pendengarannya pun akan ikut mendengarkan bacaan tersebut, dan juga bermanfaat bagi orang-orang di sekitarnya yang ikut mendengarkan dan mengambil manfaat dari bacaan tersebut. [1]

Diperbolehkan pula mengeraskan bacaan Al-Qur’an di malam hari, bahkan hal itu merupakan kebaikan jika tidak mengganggu siapa pun, dan juga ketika tidak khawatir akan terjatuh dalam riya’. 

Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ رَجُلًا يَقْرَأُ مِنْ اللَّيْلِ فَقَالَ يَرْحَمُهُ اللَّهُ لَقَدْ أَذْكَرَنِي كَذَا وَكَذَا آيَةً كُنْتُ أَسْقَطْتُهَا مِنْ سُورَةِ كَذَا وَكَذَا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seseorang membaca (Al-Qur`an) di dalam masjid, lalu beliau bersabda, “Semoga Allah merahmati si Fulan. Sesungguhnya dia telah mengingatkanku tentang ayat ini dan ini, yakni ayat yang aku lupa dari surat ini dan itu.” (HR. Bukhari no. 5037 dan Muslim no. 788)

[Selesai]

Catatan kaki:

[1] Lihat At-Tibyaan, hal. 71; karya An-Nawawi rahimahullah.

[2] Pembahasan ini kami sarikan dari kitab Ahkaam Khudhuuril Masaajid karya Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafidzahullah, hal. 214-215 (cetakan ke empat tahun 1436, penerbit Maktabah Daarul Minhaaj, Riyadh KSA). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Menikmati Lelahnya Ibadah

Menikmati Lelahnya Ibadah 

Bismillah, walhamdulillah was sholaatu wassalam’ala Rasulillah wa ba’du.

Siapa di dunia ini yang tak merasakan lelah? Semuanya pernah mengalaminya. Kehidupan ini selalu berputar. lelah dan freshnya tubuh, datang bergantian. Tak perlu kita bermimpi menghindar dari kondisi ini. Seperti impian orang-orang malas. Mukmin itu, seorang pejuang, yang siap capek demi kebaikan, yang siap berkorban demi keridhoan Allah.

Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam pernah menyampaikan pesan semangat,

اَلْمُؤْمِنُ اَلْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلىَ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِيْ كُلٍّ خَيْرٍ، اِحْرِصْ عَلىَ ماَ يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّيْ فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ: قَدَّرَ اللَّهُ وَماَ شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَـفْتَـحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ.” أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ 

“Orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah, namun pada masing-masing (dari keduanya) ada kebaikan. Bersemangatlah terhadap hal-hal yang berguna bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan menjadi lemah. Jika kamu ditimpa sesuatu, jangan berkata seandainya aku berbuat begini, maka akan begini dan begitu, tetapi katakanlah Allah telah menakdirkan, dan kehendak oleh Allah pasti dilakukan. Sebab kata ‘seandainya’ itu dapat membuka perbuatan setan.” (HR. Muslim)

Sehingga untuk memiliki iman yang sempurna, seorang harus siap berjuang, siap capek demi meraih cinta Sang Pencipta.

Yang menjadi persoalan, bukan soal capek ngga capek. Tapi, untuk apa seorang menghabiskan capeknya?

Coba kita lihat ke luar sana, betapa banyak orang-orang yang durhaka kepada Allah ta’ala, rela bercapek-capek. Bahkan mereka menikmati capek mereka. Bahkan mereka berusaha menghibur diri dengan kata-kata ‘mutiara’ untuk tetap bertahan dan sabar, melalui capek mereka. Orang-orang kafir, rela bercapek ria, demi membela kekafirannya. Pada pendosa, rela bercapek ria, sampai terwujudlah dosanya.

Mereka mencari neraka, pun rela untuk capek. Para pencari surga, sungguh hadis lebih rela untuk capek.

Seribu pasukan musyrik rela berjalan menuju Badr, di musim panas yang menyengat. Karena perang Badr terjadi di bulan ramadhan, yang identik dengan musim panas. Bulan ramadhan sendiri disebut ramadhan, karena panasnya cuaca di bulan tersebut. Berjalan kaki sepanjang 500 san km, di tengah terik matahari yang membakar, melewati gunung-gunung batu yang gersang, dan padang pasir yang kering panas. Untuk apa mereka bercapek-capek ini? Menerangi kekasih Allah, mencari kemurkaan Allah!!

Bahkan sepuluh ribu pasukan musyrik, rela capek berjalan ke Madinah, berperang di tengah terik matahari, bulan Syawal, saat perang Uhud, menguras pikiran dan mengurus otot, 
untuk memperjuangkan kemusyrikan mereka, mencari neraka Allah!!

Fir’aun dan bala tentaranya, rela capek mengejar Nabi Musa dan pengikutnya, sampe rela menyeberangi laut, hingga mereka mati dalam capek tenggelam di laut merah.

Tentu beda capeknya kaum musyrikin itu dengan orang-orang beriman. Capeknya orang-orang kafir adalah kepedihan, siksaan dan murka Allah. Adapun capeknya orang-orang beriman, adalah kenangan bahagia, nikmat dan ridho Allah.

إِن يَمۡسَسۡكُمۡ قَرۡحٞ فَقَدۡ مَسَّ ٱلۡقَوۡمَ قَرۡحٞ مِّثۡلُهُۥۚ وَتِلۡكَ ٱلۡأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيۡنَ ٱلنَّاسِ وَلِيَعۡلَمَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَيَتَّخِذَ مِنكُمۡ شُهَدَآءَۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ ٱلظَّٰلِمِينَ

Jika kalian (pada Perang Uhud) mendapat luka, maka mereka pun (pada Perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan agar sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang zhalim. (QS. Ali ‘Imran : 140)

Suatu hari Umar melewati seorang pendeta, kemudian beliau memanggilnya, “Pak Pendeta…”Saat memandangi si pendeta, Umar tiba-tiba menangis. 

“Apa gerangan yang membuat Anda menangis Ya Amirul Mukminin?” tanya heran sang pendeta.

 ذكرت قول الله ، – عز وجل في كتابه (عاملة ناصبة تصلى نارا حامية ) فذاك الذي أبكاني 

“Aku teringat, “tanggap Umar, “firman Allah ‘azza wa jalla,

عَامِلَةٌ نَّاصِبَةٌ ﴿٣﴾ تَصْلَىٰ نَارًا حَامِيَةً

Dia bekerja keras lagi kepayahan. Namun pada akhirnya dia memasuki api yang sangat panas (neraka).

Diriwayatkan dari Ikrimah dan As-Suddi, tentang makna ayat ini,

( عاملة ) في الدنيا بالمعاصي ( ناصبة ) في النار بالعذاب والأغلال 

“Dia bekerja keras lagi kepayahan,” yakni dengan maksiat-maksiat saat di dunia. “Namun pada akhirnya dia memasuki api yang sangat panas.” Yakni di neraka yang berisi azab yang sangat pedih.

Maka jika mereka pun berani capek untuk mencari neraka Allah, mengapa kita berani capek untuk mencari surga Allah?!

Robmu Senang Melihat Capekmu Karena Ibadah

Allah amat senang melihat bekas-bekas capeknya orang-orang beriman, saat mereka berjuang menggapai ridhoNya.

Tentang jama’ah haji yang sedang wukuf di padang Arofah, Nabi bersabda,

إن الله تعالى يباهي ملائكته عشية عرفة بأهل عرفة ، فيقول : انظروا إلى عبادي أتوني شعثا غبرا

“Sesungguhnya Allah membanggakan penduduk Arafah kepada malaikat-Nya pada siang Arafah, Seraya berfirman, “Lihatlah kepada hamba-Ku mereka datang dalam kondisi lusuh dan berdebu.” (HR. Ahmad. Dishahihkan oleh Albani)

Tentang mujahid yang gugur di jalan Allah, Nabi mengatakan,

ما من مكلوم يكلم في سبيل الله والله أعلم بمن يكلم في سبيله إلا جاء يوم القيامة وكلمه يثعب دما ، اللون لون الدم ، والريح ريح المسك

“Tidak ada seorangpun yang terluka di jalan Allah, dan Allah lebih tahu siapa yang benar-benar terluka di jalan-Nya (yakni yang jujur dan ikhlas)-, kecuali dia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan lukanya mengalirkan darah, warnanya warna darah, dan aromanya aroma kasturi (misk).” (HR. Tirmidzi)

Capeknya Perjuangan Penduduk Surga dalam Meraih Surga

Meraih surga, bukan hal mudah, yang cukup diraih dengan angan-angan dan malas-malasan. Penduduk surga adalah orang-orang yang diuji dengan berbagai perjuangan dan pengorbanan, yang mencapekkan jiwa, raga dan pikiran, lalu mereka lulus ujian. Penduduk surga adalah, pejuang tangguh, orang-orang rela berkorban tanpa pamrih kecuali cinta Rob mereka.

أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتۡرَكُوٓاْ أَن يَقُولُوٓاْ ءَامَنَّا وَهُمۡ لَا يُفۡتَنُونَ وَلَقَدۡ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡۖ فَلَيَعۡلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْ وَلَيَعۡلَمَنَّ ٱلۡكَٰذِبِينَ

Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman,” dan mereka tidak diuji?

Sungguh! Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta. (QS. Al-Ankabut, 2-3)

Oleh karena itu, dalam banyak ayat, Allah menceritakan apa sebabnya mereka bisa masuk surga. Yaitu karena kesabaran mereka menahan ‘capek’ demi memperjuangkan surga.

أُوْلَٰٓئِكَ يُجۡزَوۡنَ ٱلۡغُرۡفَةَ بِمَا صَبَرُواْ وَيُلَقَّوۡنَ فِيهَا تَحِيَّةٗ وَسَلَٰمًا

Mereka itu akan diberi balasan dengan tempat yang tinggi (dalam surga) atas kesabaran mereka, dan di sana mereka akan disambut dengan penghormatan dan salam. (QS. Al-Furqan : 75)

وَجَزَىٰهُم بِمَا صَبَرُواْ جَنَّةٗ وَحَرِيرٗا * مُّتَّكِـِٔينَ فِيهَا عَلَى ٱلۡأَرَآئِكِۖ لَا يَرَوۡنَ فِيهَا شَمۡسٗا وَلَا زَمۡهَرِيرٗا

Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabarannya (berupa) surga dan (pakaian) sutera.
Di sana mereka duduk bersandar di atas dipan, di sana mereka tidak melihat (merasakan teriknya) matahari dan tidak pula dingin yang berlebihan. (QS. Al-Insan : 12 – 13)

Baca Juga:

إِنِّي جَزَيۡتُهُمُ ٱلۡيَوۡمَ بِمَا صَبَرُوٓاْ أَنَّهُمۡ هُمُ ٱلۡفَآئِزُونَ

Sesungguhnya pada hari ini Aku memberi ganjaran kepada mereka, karena kesabaran mereka; sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan. (QS. Al-Mu’minun : 111)

Menjadi Pelebur Dosa

Ada dua daun timbangan di hari penghitungan amal nanti (Yaumul Hisab). Satu untuk menimbang amalan baik, satu untuk menimbang amalan buruk. Dalam kitab Syarah Akidah Thohawiyah, Ibnu Abil ‘Iz menerangkan,

والذى دلت عليه السنة: أن ميزان الأعمال له كفتان حسيتان مشاهدتان

(Syarah Thohawiyah, hal. 472)

Atas dasar rahmad Allah, satu amalan kebaikan dilipatkan minimal 10 x lipat, amal dosa tidak dilipatkan, satu perbuatan dosa dihitung satu dosa.

Allah ta’ala berfirman,

مَن جَآءَ بِٱلۡحَسَنَةِ فَلَهُۥ عَشۡرُ أَمۡثَالِهَاۖ وَمَن جَآءَ بِٱلسَّيِّئَةِ فَلَا يُجۡزَىٰٓ إِلَّا مِثۡلَهَا وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ

Siapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya. Dan barangsiapa berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan (dizhalimi). (QS. Al-An’am : 160)

Artinya, satu timbangan amal kebaikan, lebih berat sepuluh kali lipat daripada satu timbangan amalan dosa.

Sekarang coba kita mencoba mengingat, sudah berapa banyak dosa yang dilakukan. Sudah berapa capek yang terkorban untuk maksiat. Saatnya menebus capeknya dosa-dosa itu dengan capek beribadah kepada Allah. Dan berbahagialah… Karena satu capekmu dalam ibadah, akan lebih berat 10 kali lipat daripada satu capekmu dalam melakukan dosa.

Kita periksa mata kita, pernahkah capek karena melihat hal-hal yang Allah haramkan? Jika iya, ayo kita cspekkan mata kita untuk ibadah, membaca Alquran, membaca hadis-hadis Nabi, membaca buku2 agama yang membuat ku semakin mengenal agama Allah serta melahirkan takwa dan takut kepada Alalh. Agar capeknya matamu saat ibadah, dapat melebur dosa capeknya matamu saat kau gunakan untuk maksiat.

Kaki pernah capek untuk berbuat maksiat? Jika iya, ayo cspekkan kaki kita kita untuk ibadah, melangkahkan kaki ke masjid, ke majelis ilmu, towaf di baitullah, Sai antara sofa dan marwa. Agar capeknya kakimu saat ibadah, dapat menebus dosa capeknya kaki mu saat kau langkahkan untuk maksiat.

Demikian pula, telinga, hati, pikiran, seluruh anggota badan. Karena kebaikan akan menghapus keburukan.

Rasul shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

اتق الله حيثما كنت ، وأتبع السيئة الحسنة تمحها، وخالق الناس بخلق حسن

Bertaqwalah kepada Allah dimanapun engkau berada, dan hendaknya setelah melakukan kejelekan engkau melakukan kebaikan yang dapat menghapusnya. Serta bergaulah dengan orang lain dengan akhlak yang baik‘” (HR. Ahmad 21354, Tirmidzi 1987, ia berkata: ‘hadits ini hasan shahih’)

***

Ikat Ilmu Dengan Tulisan

Ikat Ilmu Dengan Tulisan 

Ada beberapa adab majelis ilmu yang mungkin sudah kita lupakan dan lalaikan, yaitu berusaha mencatat ilmu tersebut. Seringnya kita datang ke majelis ilmu dengan niat yang kurang ikhlas, datang ke majelis ilmu hanya sekedar mendengarkan sambil santai-santai, itupun tidak serius, ada yang sambil bermain HP, ada yang sambil bersandar di posisi paling belakang dan adab yang tidak selayaknya ada di majelis ilmu yang mulia serta di doakan oleh para malaikat. Bahkan ada yang niatnya kurang baik yaitu majelis ilmu dengan tujuan utama ngumpul-ngumpul, kopdar, ingin ketemu ustadznya atau tujuannya berdagang saja. Semoga niat ini bisa diperbaiki agar mendapatkan keberkahan ilmu dengan adab majelis yang benar.

Anjuran mencatat ilmu

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,

قَيِّدُوا الْعِلْمَ بِالْكِتَابِ

Ikatlah ilmu dengan dengan menulisnya1

Bahkan beliau memerintahkan sebagian sahabatnya agar menulis ilmu. Salah satunya adalah Abdullah bin ‘Amru. Beliau bersabda kepadanya:

اكْتُبْ، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، مَا خَرَجَ مِنْهُ إِلَّا حَقٌّ

Tulislah. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya. Tidaklah keluar darinya melainkan kebenaran2

Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,

الْعِلْمُ صَيْدٌ وَالْكِتَابَةُ قَيْدُهُ قَيِّدْ صُيُوْدَكَ بِالْحِبَالِ الْوَاثِقَهْ

فَمِنَ الْحَمَاقَةِ أَنْ تَصِيْدَ غَزَالَةً وَتَتْرُكَهَا بَيْنَ الْخَلاَئِقِ طَالِقَهْ

Ilmu adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya

Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat

Termasuk kebodohan kalau engkau memburu kijang

Setelah itu kamu tinggalkan terlepas begitu saja3

Sampai-sampai Asy-Sya’bi rahimahullah berkata,

إِذَا سَمِعْتَ شَيْئًا فَاكْتُبْهُ وَلَوْ فِي الْحَائِطِ

Apabila engkau mendengar sesuatu ilmu, maka tulislah meskipun pada dinding”4

Mencatat ilmu agar tidak mudah lupa

Daya ingat manusia lemah dan terbatas, karenanya kita dianjurkan agar mencatat ilmu. Dengan mencatat ilmu ketika di majelis, maka kita berusaha merangkum apa yang didengar dan mencatatnya. Ini membuat lebih fokus ketika mengikuti majelis ilmu dan membuat ingatan lebih kokoh dan yang lebih penting sikap ini menunjukkan perhatian kita terhadap ilmu serta memulia ilmu agama yang berkah ini.

Tafsir surat Al-Alaq yaitu agar kita mencatat ilmu agar tidak mudah lupa, yaitu membaca dari tulisan. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata,

قلنا: نعم له دواء ـ بفضل الله ـ وهي الكتابة، ولهذا امتن الله عز وجل على عباده بها فقال: {اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِى خَلَقَ * خَلَقَ الإِنسَـنَ مِنْ عَلَقٍ * اقْرَأْ وَرَبُّكَ الاَْكْرَمُ * الَّذِى عَلَّمَ بِالْقَلَمِ}. (العق: 1 ـ 4). فقال (اقرأ) ثم قال: {الَّذِى عَلَّمَ بِالْقَلَمِ } يعني اقرأ من حفظك، فإن لم يكن فمن قلمك، فالله تبارك وتعالى بين لنا كيف نداوي هذه العلة، وهي علة النسيان وذلك بأن نداويها بالكتابة، والان أصبحت الكتابة أدقُّ من الأول، لأنه وجد ـ بحمد الله ـ الان المسجِّل

kita katakan, iya. Lupa ada obatnya –dengan karunia dari Allah- yaitu menulisnya. Karenanya Allah memberi karunia kepada hamba-Nya dengan surat Al-Alaq. Yaitu “iqra’” kemudian “mengajarkan dengan perantara pena”. Maksudnya, bacalah dengan hapalannya, jika tidak hapal maka dengan tulisanmu.

Allah Tabaraka Ta’ala menjelaskan kepada kita bagaimana mengobati penyakit ini yaitu penyakit lupa dan kita obati dengan menulis. Dan sekarang menulis lebih mudah dibanding dahulu karena mudah didapatkan dan segala puji bagi Allah, sekarang bisa direkam.”5

Ikat juga ilmu dengan amal

Di zaman sekarang di mana sarana tulis-menulis dan kemudahan copy-paste serta sarana sosial media internet, maka mencata dan menyalin cukup mudah, karenanya ada ungkapan,

قيد العلم بالعمل

ikatlah ilmu dengan mengamalkannya

Ilmu lebih layak diikat dengan amal karena ilmu yang telah diikat dikitab-kitab telah banyak dilupakan. Apalagi di zaman ini kita sangat butuh terhadap amal, contoh akhlak mulia bagi masyarakat.

___

Silsilah Ash-Shahiihah no. 2026

2 HR. Ahmad 2/164 & 192, Al-Haakim 1/105-106, shahih

3 Diwan Syafi’I hal. 103

4  Al-‘Ilmu no. 146 oleh Abu Khaitsamah

5 Mutshalah Hadits syaikh Al-Utsaimin

Bangga Menjadi Muslim

Bangga Menjadi Muslim 

Dewasa ini, kita sering mendapatkan saudara-saudara kita – semoga Allah memberikan petunjuk kepada mereka – yang tidak berbangga dengan agamanya (yaitu tidak merasa gagah karena keutamaan dan keunggulan Islam). Sehingga sebagian pelajar muslim, misalnya, mungkin masih merasa minder ketika memakai celana di atas mata kaki (tidak isbal) di sekolahan mereka. Sebagian pemuda muslim minder dengan hari raya Islam, sehingga menambahkan hari raya-hari raya lainnya dalam Islam. Bahkan, ada diantara mereka yang ikut memperingati hari raya agama lain, Na’uudzubillahi min dzaalik.

Padahal, apabila kita melihat keutamaan Islam, tentu kita akan merasa bangga dengannya. Pada bahasan kali ini, penulis mengangkat tema “Bangga menjadi Muslim”, supaya menambah rasa syukur kita kepada Allah Ta’ala atas nikmat Islam ini, tetap istiqomah di atas jalan-Nya, dan meninggalkan jalan-jalan selainnya.

Diantara Keutamaan-keutamaan Islam

Imam Bukhari dan Muslim membawakan hadits dari Thaariq bin Syihaab, dia berkata bahwasanya seorang yahudi berkata kepada ‘Umar bin Khattab (yang saat itu menjadi khalifah) radhiyallahu ‘anhu, “Wahai amirul mukminin, sebuah ayat dalam al-Quran yang kalian membacanya, seandainya ayat tersebut turun di tengah-tengah orang Yahudi, tentu kami akan menjadikannya sebagai hari perayaan (hari ‘ied).” “Ayat apakah itu?,” tanya ‘Umar. Ia berkata, “(Ayat yang artinya): “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagi kalian” (QS. Al-Maidah: 3) ‘Umar berkata, “Kami telah mengetahui hal itu, yaitu hari dan tempat di mana ayat tersebut diturunkan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berdiri di ‘Arofah pada hari Jum’at. ” (Muttafaqun ‘alaih)

Demikianlah, seorang Yahudi mengetahui keutamaan Islam, dimana keutamaan Islam bisa dilihat (melalui ayat QS. Al-Maidah: 3 tersebut) dari beberapa tinjauan, diantaranya:

Ditinjau dari hakikat islam itu sendiri

Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan tentang tafsir ayat ini, “Allah telah mengabarkan kepada nabi-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, bahwasanya Dia telah menyempurnakan islam bagi mereka, sehingga mereka tidak akan membutuhkan tambahan selamanya. Dan Allah telah melengkapkannya, sehingga Dia tidak akan menguranginya selamanya. Dan Allah telah meridhainya, maka Dia tidak akan marah kepadanya selamanya.” (Tafsir Ibnu Katsir: 14/2)

Ditinjau dari pemeluknya

Hal ini diambil dari firman Allah (artinya), “Dan Aku telah meridhai bagi kalian Islam sebagai agama” yang umum mencakup seluruh manusia. Oleh karena itu, Allah tidak menerima agama apapun — setelah diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam — kecuali Islam. Hal ini merupakan keutamaan bagi seluruh pemeluknya.

Ditinjau dari kekekalan / keabadiannya

Agama-agama sebelum islam dikhususkan bagi waktu tertentu (terbatas) dan zaman yang telah Allah tentukan; kemudian Allah mengangkat hukumnya (naskh), dan menggantikannya dengan agama Islam. Sementara itu, agama islam kekal sampai hari kiamat. Bahkan, Nabi Isa ‘alaihissalam ketika turun pada akhir zaman, dia akan berhukum dengan syariat Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam. (lihat I’laamul Anaam bi Syarhi Kitaab Fadhlil Islaam, hal. 22 — 24).

Demikianlah agama kita tercinta ini. Sangat banyak dan jelas keutamaan-keutamaan yang terdapat di dalamnya, sehingga orang di luar Islampun juga mengakui keutamaan-keutamaannya.

Keutamaan islam ditinjau dari perbandingannya dengan agama-agama selainnya

Masih tentang keutamaan islam, untuk melengkapi bahasan tentang keutamaan Islam, penulis merasa perlu menambahkan bahasan khusus tentang keutamaan islam ditinjau dari perbandingannya dengan agama-agama selainnya. Keutamaan tersebut juga sangat banyak, diantaranya :

  1. Islam untuk semua umat manusia
    Islam merupakan agama yang Allah syariatkan untuk seluruh umat manusia. Hal tersebut berbeda dengan agama-agama samawi lainnya yang disyariatkan khusus untuk umat tertentu, misalkan Nashrani (baca : syariat Nabi Isa ‘alaihissalam) yang khusus diperuntukkan kepada Bani Israil saja.
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diberi lima perkara yang tidak diberikan kepada nabi-nabi sebelumku … nabi sebelumku diutus hanya untuk kaumnya, sedangkan aku diutus untuk manusia seluruhnya” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
    Allah Ta’ala berfirman ketika mensifati Nabi Isa ‘alaihissalam (yang artinya), “Dan sebagai Rasul kepada Bani Israil” (QS. Ali Imran : 49).
  2. Tanda kenabian yang kekal hingga akhir zaman
    Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan adz-Dzikr (al-Quran), dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS. Al-Hijr: 9).
    Dalam ayat tersebut, Allah menyebutkan bahwa Dia yang akan menjaga al-Quran. Sementara untuk selain al-Quran, Dia berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (QS. Al-Maidah: 44)
    Maka dalam ayat ini, Allah menyerahkan penjagaan kitab tersebut kepada mereka, kemudian mereka mengganti dan merubahnya. (lihat Tafsir al-Qurthubi : 5/10)

Segala puji bagi Allah Ta’ala yang telah menunjukkan kita kepada Islam, satu-satunya agama yang benar, dan memiliki banyak keutamaan.

Beberapa contoh aplikasi nyata dari bangga sebagai muslim

Bangga dengan hari raya islam

Diantara praktek nyata dari kebanggaan sebagai seorang muslim, adalah bangga dengan hari raya yang telah Allah pilihkan untuknya. Anas Radhiallahu ‘anhu berkata : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah sedang penduduknya memiliki dua hari raya dimana mereka bersenang-senang di dalamnya di masa jahiliyah. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Aku datang pada kalian sedang kalian memiliki dua hari yang kalian besenang-senang di dalamnya pada masa jahiliyah. Sungguh Allah telah menggantikan untuk kalian yang lebih baik dari dua hari itu, yaitu hari Raya Kurban dan hari Idul Fithri”. (Hadits Shahih, dikeluarkan oleh Ahmad dan selainnya).

Berkata Syaikh Ahmad Abdurrahman Al-Banna rahimahullah: “Maksudnya : Karena hari Idul Fihtri dan hari raya Kurban ditetapkan dengan syariat Allah Ta’ala, merupakan pilihan Allah untuk mahluk-Nya dan karena keduanya mengikuti pelaksanaan dua rukun Islam yang agung yaitu Haji dan Puasa, serta didalamnya Allah mengampuni orang-orang yang melaksanakan ibadah haji dan orang-orang yang berpuasa, dan Dia menebarkan rahmat-Nya kepada seluruh mahluk-Nya yang taat …. ” [Fathur Rabbani, 6/119] (Lihat Ahkaamul ‘Iidain fis Sunnahil Muthohharoh, hal 13 — 16)

Oleh karena itu, cukup bagi kita hari raya yang telah Allah pilihkan untuk kita, dan meninggalkan hari raya-hari raya selainnya, seperti tahun baru, dan selainnya.

Bangga dengan celana tidak isbal (khusus laki-laki)

Sebagian pelajar muslim mungkin masih merasa minder ketika memakai celana yang tidak isbal (yaitu celana di atas mata kaki) di sekolahan mereka. Sebagian mahasiswa muslim mungin juga minder ketika memakai celana seperti itu di kampus mereka. Demikian juga, sebagian karyawan muslim mungin juga minder ketika memakai celana seperti itu di kantor mereka.

Wahai saudaraku sekalian, ketahuilah bahwasanya memakai celana di atas mata kaki merupakan perkara yang disyariatkan dalam agama kita yang mulia ini. Oleh karena itu, berbanggalah kalian dengan model celana seperti itu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencela orang lain. Janganlah kalian meremehkan kebaikan sedikitpun, walaupun itu hanya dengan bermuka ceria saat bicara dengan saudaramu. Itu saja sudah termasuk kebaikan. Dan naikan kain sarungmu sampai pertengahan betis. Kalau engkau enggan, maka sampai mata kaki. Jauhilah isbal dalam memakai kain sarung. Karena isbal itu adalah kesombongan. Dan Allah tidak menyukai kesombongan” (HR. Abu Daud, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)

Hadits-hadits yang melarang isbal sangat banyak, sehingga mencapai batas hadits mutawatir maknawi, diantaranya adalah hadits di atas. Untuk mendapatkan penjelasan yang lebih luas tentang masalah ini, silahkan merujuk ke kitab Hadduts Tsaub wal Uzroh wa Tahriimul Isbaal wa Libaasusy Syuhroh karya Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah.

Semoga Allah mengaruniakan kepada kita semua istiqomah untuk senantiasa berada di jalan-Nya.

Merenungi Sisa sisa Umur Kita

Merenungi Sisa sisa Umur Kita 

Dia yang di masa muda berbadan tegap, akhirnya akan mengeriput kulitnya. Dia yang di masa dewasa memiliki kekayaan ratusan trilliun rupiah, akhirnya akan beruban. Dia yang di masa puncak pernah duduk di kursi terpandang pun, akhirnya akan berkurang penglihatan dan pendengarannya. Dia yang Allah Ta’ala berikan umur panjang, akhirnya akan menua, sehebat apapun masa mudanya.

Sudah berapa tahun kita hidup?

Cobalah sejenak merenungi pertanyaan ini. Sudah berapa tahun kita hidup? Jika ternyata usia sudah 60 tahun lebih, maka berarti kita termasuk ke dalam orang-orang yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

 أعمارُ أمَّتي ما بينَ الستينَ إلى السبعينَ وأقلُّهم مَنْ يجوزُ ذلِكَ

“Umur umatku itu antara 60 sampai 70 tahun, dan sedikit orang yang melewati umur tersebut.” (HR. At-Tirmidzi no. 3550, Ibnu Majah no. 4236,  dihasankan oleh Syekh Albani)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan bahwa umur kita sebagai umatnya adalah antara 60 sampai 70 tahun hijriyah. Sehingga apabila kita sudah berumur 60 tahun atau lebih, maka sudah seharusnya diri semakin banyak mengingat kematian yang akan datang tanpa diundang.

Sudah berapa tahun kita hidup?

Jika ternyata usia sudah 40 tahun, berarti kita termasuk ke dalam orang-orang yang disebutkan dalam Al-Quran,

وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ اِحْسَانًا ۗحَمَلَتْهُ اُمُّهٗ كُرْهًا وَّوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۗوَحَمْلُهٗ وَفِصٰلُهٗ ثَلٰثُوْنَ شَهْرًا ۗحَتّٰىٓ اِذَا بَلَغَ اَشُدَّهٗ وَبَلَغَ اَرْبَعِيْنَ سَنَةًۙ قَالَ رَبِّ اَوْزِعْنِيْٓ اَنْ اَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِيْٓ اَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلٰى وَالِدَيَّ وَاَنْ اَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضٰىهُ وَاَصْلِحْ لِيْ فِيْ ذُرِّيَّتِيْۗ اِنِّيْ تُبْتُ اِلَيْكَ وَاِنِّيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan, sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun dia berdoa, ‘Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridai, dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sungguh, aku termasuk orang muslim.’” (QS. Al-Ahqaf: 15)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa seseorang ketika sudah mencapai 40 tahun, maka akal dan pemahamannya telah sempurna. Kebanyakan orang yang sudah berusia 40 tahun tidak akan berubah lagi kebiasaan dalam menjalani kesehariannya. Seseorang yang telah mencapai usia 40 tahun harus memperbarui tobat dan bertekad tidak mengulangi lagi kesalahan yang pernah diperbuatnya. (Tafsir Ibnu Katsir, 7: 258-259)

Sudah berapa tahun kita hidup?

Jika ternyata sudah mulai muncul uban di kepala, berarti kita termasuk ke dalam ayat Al-Quran,

اَللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْۢ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْۢ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَّشَيْبَةً ۗيَخْلُقُ مَا يَشَاۤءُۚ وَهُوَ الْعَلِيْمُ الْقَدِيْرُ

“Allahlah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dan Dia Maha Mengetahui, Mahakuasa.” (QS. Ar-Rum: 54)

Allah Ta’ala berfirman,

اَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَّا يَتَذَكَّرُ فِيْهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجَاۤءَكُمُ النَّذِيْرُۗ فَذُوْقُوْا فَمَا لِلظّٰلِمِيْنَ مِنْ نَّصِيْرٍ

“Bukankah Kami telah memanjangkan umurmu untuk dapat berpikir bagi orang yang mau berpikir, padahal telah datang kepadamu pemberi peringatan? Maka rasakanlah (azab Kami), dan bagi orang-orang zalim tidak ada seorang penolong pun.“ (QS. Fathir: 37)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa para ulama tafsir seperti Ibnu Abbas, Ikrimah, Qatadah, Sufyan bin ‘Uyainah, dan yang lainnya, menjelaskan bahwa maksud pemberi peringatan dalam ayat di atas adalah uban. (Tafsir Ibnu Katsir, 6: 493)

Aku masih muda …

Kita masih merasa muda? Usia kita belum 60 tahun, belum muncul uban sedikit pun, belum 40 tahun, bukan berarti waktu kita masih panjang. Masalah sisa umur yang tersisa tidak ada orang yang mengetahui, kapan dan di mana jatah hidup di dunia habis.

وَمَا تَدْرِيْ نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًاۗ وَمَا تَدْرِيْ نَفْسٌۢ بِاَيِّ اَرْضٍ تَمُوْتُۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

“Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dikerjakannya besok. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal.” (QS. Lukman: 34)

Masih muda bukanlah jaminan. Betapa banyak yang meninggal di masa mudanya. Data jaringan kolaborasi beban penyakit dunia menyebutkan kematian penduduk Indonesia pada tahun 2019 sebesar 18.370 orang berumur 5-14 tahun, 264.550 orang berumur 15-49 tahun, 612.889 berumur 50-69 tahun, sisanya berumur kurang dari 5 tahun dan lebih dari 69 tahun. Ini menunjukkan bahwa kematian di usia muda sangat banyak. Jadi, bukan berarti kita masih bisa bersantai ria karena merasa masih muda dan kematian masih lama.

Kebiasaan di sisa waktu

Kalau kita mau jujur, nasihat untuk beramal kebaikan yang datang kepada kita sudah banyak. Peringatan akan kematian seringkali terdengar. Imbauan dan ajakan untuk memanfaatkan sisa umur sudah sangat sering didapatkan. Jadi, kita bisa memilih, mau memilih mengisi sisa umur dengan kebiasaan yang baik ataukah menghabiskannya dengan kesenangan dunia dan kepuasan nafsu dalam hidup ini. Yang perlu diingat, seseorang itu akan meninggal dalam keadaan kebiasaan hidupnya. Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan saat menafsirkan surah Ali-Imran ayat 102, maksud dari firman Allah Ta’ala,

وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

adalah supaya kita memelihara Islam saat keadaan sehat, agar kita mati di atas Islam. Sesungguhnya Allah Ta’ala akan memberlakukan seseorang sesuai dengan kebiasaannya. Orang yang memiliki kebiasaan tertentu dalam hidup, dia akan mati sesuai kebiasaannya tersebut. Dan siapa yang mati dalam kondisi tertentu, dia akan dibangkitkan sesuai kondisi matinya. (Tafsir Ibnu Katsir, 2: 75)

Sebelum kita menyesali masa lalu

Sebagaimana seseorang belajar di sekolah atau di kampus, ataupun bekerja menjadi karyawan, seseorang yang hidup di dunia akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Anak sekolah akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dia kerjakan dan pelajari selama sekolah lewat ujian sekolah atau ujian kampus. Orang yang bekerja sebagai karyawan akan dimintai pertanggungjawaban atas pekerjaannya lewat laporan rutin. Para pejabat juga dimintai pertanggungjawaban selama ia menjabat. Itu dalam masalah dunia yang sifatnya sementara. Bagaimana dengan masalah akhirat yang merupakan kehidupan abadi? Tentu pertanggungjawabannya semakin besar dan teliti.

Di antara pertanggungjawaban tahap awal dalam kehidupan akhirat yang akan dilalui manusia adalah apa yang telah diceritakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam,

لا تزولُ قدَما عبدٍ يومَ القيامةِ حتَّى يسألَ عن عمرِهِ فيما أفناهُ ، وعن عِلمِهِ فيمَ فعلَ ، وعن مالِهِ من أينَ اكتسبَهُ وفيمَ أنفقَهُ ، وعن جسمِهِ فيمَ أبلاهُ

“Tidaklah kedua kaki seorang hamba beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai: untuk apa umurnya ia habiskan, apakah ilmunya ia amalkan, dari mana hartanya ia peroleh dan di mana ia belanjakan, serta untuk apa tubuhnya ia usangkan.” (HR. Tirmidzi no. 2417, Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih)

Sungguh kelak setiap orang akan mempertanggungjawabkan umur yang telah Allah Ta’ala berikan. Manusia akan menyesali keadaannya selama di dunia.

كَلَّآ اِذَا دُكَّتِ الْاَرْضُ دَكًّا دَكًّاۙ   وَّجَآءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّاۚ وَجِايْۤءَ يَوْمَىِٕذٍۢ بِجَهَنَّمَۙ يَوْمَىِٕذٍ يَّتَذَكَّرُ الْاِنْسَانُ وَاَنّٰى لَهُ الذِّكْرٰىۗ يَقُوْلُ يٰلَيْتَنِيْ قَدَّمْتُ لِحَيَاتِيْۚ

“Sekali-kali tidak! Apabila bumi diguncangkan berturut-turut (berbenturan), dan datanglah Tuhanmu; dan malaikat berbaris-baris, dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahanam; pada hari itu sadarlah manusia, tetapi tidak berguna lagi baginya kesadaran itu. Dia berkata, ‘Alangkah baiknya sekiranya dahulu aku mengerjakan (kebajikan) untuk hidupku ini.’” (QS. Al-Fajr: 21-24)

Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa yang menyesal kelak di hari kiamat bukan hanya orang-orang kafir saja, melainkan juga kaum muslimin yang melakukan perbuatan dosa atas maksiat yang dilakukannya. Selain itu, kaum mukminin juga menyesal karena kurangnya ketaatan yang dilakukannya selama di dunia. (Tafsir Ibnu Katsir, 8: 389)

Saat ini, sebelum penyesalan itu datang, sebelum hari ini menjadi masa lalu yang akan disesali, marilah kita berusaha sekuat tenaga meningkatkan keimanan kita, terus berdoa kepada Allah Ta’ala, agar Allah Ta’ala senantiasa memberikan petunjuk, menjaga dan memberikan keistiqomahan kepada kita semua. Aamiin