Makan Bersama Setan

Makan Bersama Setan 

Kapan seseorang bisa makan bersama setan? Bisa saja itu terjadi yaitu ketika seseorang tidak membaca bismillah saat makan.

Dari Hudzaifah, ia berkata,

كُنَّا إِذَا حَضَرْنَا مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- طَعَامًا لَمْ نَضَعْ أَيْدِيَنَا حَتَّى يَبْدَأَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَيَضَعَ يَدَهُ وَإِنَّا حَضَرْنَا مَعَهُ مَرَّةً طَعَامًا فَجَاءَتْ جَارِيَةٌ كَأَنَّهَا تُدْفَعُ فَذَهَبَتْ لِتَضَعَ يَدَهَا فِى الطَّعَامِ فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِيَدِهَا ثُمَّ جَاءَ أَعْرَابِىٌّ كَأَنَّمَا يُدْفَعُ فَأَخَذَ بِيَدِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ الشَّيْطَانَ يَسْتَحِلُّ الطَّعَامَ أَنْ لاَ يُذْكَرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ جَاءَ بِهَذِهِ الْجَارِيَةِ لِيَسْتَحِلَّ بِهَا فَأَخَذْتُ بِيَدِهَا فَجَاءَ بِهَذَا الأَعْرَابِىِّ لِيَسْتَحِلَّ بِهِ فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ إِنَّ يَدَهُ فِى يَدِى مَعَ يَدِهَا ».

“Jika kami bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiri jamuan makanan, maka tidak ada seorang pun di antara kami yang meletakkan tangannya hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulainya. Dan kami pernah bersama beliau menghadiri jamuan makan, lalu seorang budak wanita datang yang seolah-oleh ia terdorong, lalu ia meletakkan tangannya pada makanan, namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang tangannya. Kemudian seorang arab badui datang sepertinya ia terdorong hendak meletakkan tangannya pada makanan, namun beliau memegang tangannya dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Sungguh, setan menghalalkan makanan yang tidak disebutkan nama Allah padanya. Setan datang bersama budak wanita, dengannya setan ingin menghalalkan makanan tersebut, maka aku pegang tangannya. Dan setan tersebut juga datang bersama arab badui ini, dengannya ia ingin menghalalkan makanan tersebut, maka aku pegang tangannya. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sesungguhnya tangan setan tersebut ada di tanganku bersama tangan mereka berdua.” (HR. Muslim no. 2017)

Hadits di atas mengajarkan beberapa hal:

1- Hendaklah mendahulukan orang yang lebih punya keutamaan dan orang yang lebih tua dalam hal makan dan mencuci tangan.

2- Imam Nawawi mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan dianjurkannya membaca bismillah saat mulai makan, begitu pula saat akan akan minum. (Syarh Shahih Muslim, 13: 171)

Namun yang lebih tepat, membaca bismillah saat mulai makan adalah wajib sama halnya dengan perintah makan dengan tangan kanan. Lihat pendapat Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 9: 522 saat mengkritik pendapat Imam Nawawi yang menyatakan adanya ijma’ (konsensus ulama) bahwa mengucapkan bismillah tersebut sunnah.

3- Jika seeorang lupa membaca bismillah di awal makan karena sengaja, lupa, tidak tahu, dipaksa, atau tidak mampu mengucapkan lalu baru ingat ketika di tengah-tengah makan, maka diperintahkan ia mengucapkan “bismillah awwalahu wa akhirohu” (dengan nama Allah di awal dan di akhir).

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فَإِنْ نَسِىَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فِى أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ

Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia menyebut nama Allah Ta’ala. Jika ia lupa untuk menyebut nama Allah Ta’ala di awal, hendaklah ia mengucapkan: “Bismillaah awwalahu wa aakhirohu (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya)”.” (HR. Abu Daud no. 3767 dan At Tirmidzi no. 1858. At Tirmidzi mengatakan hadits tersebut hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut shahih)

Dalam lafazh lain disebutkan,

إِذَا أَكَلَ أَحَدكُمْ طَعَامًا فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّه ، فَإِنْ نَسِيَ فِي أَوَّله فَلْيَقُلْ : بِسْمِ اللَّه فِي أَوَّله وَآخِره

Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia ucapkan “Bismillah”. Jika ia lupa untuk menyebutnya, hendaklah ia mengucapkan: Bismillaah fii awwalihi wa aakhirihi (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya)”. (HR. Tirmidzi no. 1858, Abu Daud no. 3767 dan Ibnu Majah no. 3264. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih dan Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini shahih).

4- Setiap yang makan diperintahkan membaca bismillah baik dalam keadaan junub, haidh dan berhadats lainnya. Lihat perkataan Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, 13: 171.

5- Setan akan makan bersama dengan orang yang tidak menyebut bismillah saat makan.

Masih dilanjutkan dengan satu hadits lagi tentang makan dan tidur bersama setan. Moga postingan kali ini bermanfaat bagi pembaca Rumaysho.Com sekalian.

Hanya Allah yang memberi hidayah taufik untuk beramal sholeh dan istiqomah menjalankan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ternyata Pintu Langit Terbuka Setiap Hari

Ternyata Pintu Langit Terbuka Setiap Hari 

Jika boleh diibaratkan, seperti seorang yang hendak bepergian dan menunggu bus yang segera lewat. Sambil melambai-lambaikan tangannya mengharap dirinya segera dibawa menuju tempat yang diinginkan. Semakin cepat datangnya bus akan semakin senang dan melegakan hati si penumpang.

Demikian juga mengenai ibadah yang setiap hari kita lakukan serta doa-doa dan pujian yang setiap saat kita panjatkan. Mengharap segera sampai di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak terlalu lama menunggu maupun tersesat jalan hingga tak tersampaikan.

Ternyata Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi kabar gembira buat kita melalui lisan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi was salam.Yaitu tentang waktu-waktu terbukanya pintu langit, yang apabila seorang hamba memohon sebuah permintaan atau meminta ampunan niscaya akan dikabulkan. Masalahnya, kapankah pintu langit itu terbuka? Simak ulasan berikut.

SAAT-SAAT TERBUKANYA PINTU LANGIT IBARAT PISAU BERMATA DUA

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam pernah menjelaskan bahwa ketika bulan Ramadhan pintu-pintu langit akan dibuka, pintu-pintu Jahannam akan ditutup serta para setan akan dibelenggu. (HR. al-Bukhari: 1889)

Pada bulan Sya’ban juga begitu; semua amal diangkat naik ke langit. (Hasan, HR. an-Nasa’i, Shahih at-Targhib no. 1022)

Pun hari Senin dan Kamis, pintu surga yang ada di langit dibuka, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala ampuni pada hari itu bagi setiap hamba yang tidak berbuat syirik kepada-Nya, kecuali seorang yang memiliki permusuhan antara sesama muslim, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan, “Tunggulah sampai dua orang ini berdamai.” (HR. Muslim, Dawud dan yang lainnya, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib no. 5281)

Maka kesempatan berada satu waktu dengan saat-saat terbukanya pintu langit seharusnya dapat kita manfaatkan dengan semaksimal mungkin. Demikian pun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam, beliau tak mau melewatkan kesempatan bagus tersebut. Nabi Shallallahu ‘alaihi was salam selalu memanfaatkan momentum tersebut dengan melakukan ibadah dan amal shalih serta doa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebab waktu itu menjadi kesempatan yang lebih bisa diharapkan diterimanya amal.

Namun yang harus diingat pula, bahwa saat terbukanya pintu langit merupakan waktu yang bagus sekaligus berbahaya. Berbahaya karena apabila seorang salah dalam memanjatkan doa atau permohonan, maka barangkali doa kejelekan itu akan diijabahi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Shahih Sunan Abi Dawud no. 1371)

PINTU LANGIT TERBUKA SETIAP HARI

  1. Sebelum Zhuhur (waktu zawal)

Tepatnya ialah ketika matahari telah bergeser dari garis tengahnya, alias zawal. Dan zawal ialah tanda bahwa waktu shalat Zhuhur telah dimulai. Pada saat itulah ternyata pintu langit sedang terbuka.

Dari Abu Ayyub Radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi was salam shalat sebelum Zhuhur sebanyak empat rakaat ketika waktu sudah menunjukkan zawal (bergesernya matahari dari garis tengah). Beliau Shallallahu ‘alaihi was salam pun bersabda,

إِنَّ أَبْوَابَ السَّمَاءِ تُفْتَحُ إِلَى زَوَالِ الشَّمْسِ فَلَا تَرْتُجُ حَتَّى يُصَلَّى الظُّهْرُ فَأُحِبُّ أَنْ يَصْعَدَ لِي فِيْهَا خَيْرٌ

“Sesungguhnya pintu-pintu langit sedang terbuka sampai zawalnya matahari, maka ia tidak akan tertutup hingga shalat Zhuhur selesai ditunaikan. Maka aku ingin pada saat itu ada kebaikanku yang naik.” (HR. Ahmad, Abu Dawud no. 1153, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, lihat pula dalam Shahih at-Targhib no. 585)

Inilah salah satu rahasia mengapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam tidak pernah meninggalkan kebiasaan shalat empat rakaat sebelum Zhuhur. Beliau tahu bahwa waktu itu sangat berharga dan amat sayang sekali bila disia-siakan. Allahul musta’an..

  1. Setiap adzan

Waktu kedua ialah saat-saat muadzin mengumandangkan adzan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam bersabda dalam salah satu haditsnya, bersumber dari sahabat Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi was salam bersabda,

إِذَا نُوْدِيَ بِالصَّلَاةِ فُتِحَتْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَ اسْتُجِيْبَ الدُّعَاءُ

“Jika shalat telah dikumandangkan maka pintu-pintu langit akan terbuka dan doa akan dikabulkan.” (HR. Abu Dawud ath-Thayalisi dalam al-Musnad no. 2106, Abu Ya’la dalam al-Musnad hal. 1008, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 818 dan as-Silsilah ash-Shahihah no. 1443)

Jika kita hitung, berapa kali dalam sehari muadzin mengumandangkan adzan? Pernahkah kita memanfaatkan waktu berharga tersebut??

  1. Di antara dua waktu shalat

Di antara waktu lainnya yang biasa kita lalaikan ialah waktu antara dua shalat wajib. Kita dapati biasanya banyak kaum muslimin yang memilih berbincang-bincang di masjid sambil menunggu shalat Isya’ ditunaikan. Namun tahukah kita, sebenarnya waktu itu adalah waktu yang sangat berharga? Simak hadits berikut ini:

Dari Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash Radhiallahu ‘anhu berkata,

صَلَّيْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ الْمَغْرِبَ ، فَرَجَعَ مَنْ رَجَعَ ، وَعَقَّبَ مَنْ عَقَّبَ ، فَجَاءَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ مُسْرِعًا ، قَدْ حَفَزَهُ النَّفَسُ ، قَدْ حَسَرَ عَنْ رُكْبَتَيْهِ ، فَقَالَ : أَبْشِرُوا ، هَذَا رَبُّكُمْ قَدْ فَتَحَ بَابًا مِنْ أَبْوَابِ السَّمَاءِ ، يُبَاهِي بِكُمُ الْمَلاَئِكَةَ ، يَقُولُ : انْظُرُوا إِلَى عِبَادِي قَدْ قَضَوْا فَرِيضَةً ، وَهُمْ يَنْتَظِرُونَ أُخْرَى

“Kami shalat Maghrib bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam, maka ada jamaah yang pulang dan ada yang tinggal (di masjid).Ada pula yang berdzikir atau berdoa setelah shalat. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam datang cepat-cepat sembari terengah-engah dan menyingsingkan baju hingga tersingkap kedua betisnya. Beliau bersabda, ‘Bergembiralah…!! Inilah Rabb kalian benar-benar telah membuka pintu dari pintu-pintu langit, Dia memamerkan kalian di hadapan Malaikat, Dia Subhanahu wa Ta’ala berkata, ‘Lihatlah para hamba-Ku, mereka telah menunaikan sebuah kewajiban, dan sekarang mereka tengah menunggu kewajiban yang lain.’” (HR. Ibnu Majah no. 801, Ahmad 2/186, Shahih at-Targhib no. 445, dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah 2/269)

  1. Di tengah malam

Dari Utsman bin Abi al-‘Ash Radhiallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was salam bersabda,

تُفْتَحُ أَبْوَابُ السَّمَاءِ نِصْفَ اللَّيْلِ فَيُنَادِيْ مُنَادٍ هَلْ مِنْ دَاعٍ فَيُسْتَجَابُ لَهُ هَلْ مِنْ سَائِلٍ فَيُعْطَى هَلْ مِنْ مَكْرُوْبٍ فَيُفْرَجُ عَنْهُ فَلَا يَبْقَى مُسْلِمٌ يَدْعُوْ بِدَعْوَةٍ إِلَّا اسْتَجَابَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُإِلَّا زَانِيَةً تَسْعَى بِفَرْجِهَا أَوْ عَشَّارًا

Pintu-pintu langit dibuka saat tengah malam, lalu ada penyeru yang berkata, ‘Apakah ada orang yang berdoa (ingin) dikabulkan? Adakah orang yang meminta (ingin) diberi? Adakah orang yang tertimpa musibah (ingin) dibebaskan? Maka tidak ada seorang muslim pun yang berdoa dengan sebuah permintaan melainkan Allah akan mengijabahinya, kecuali seorang pelacur yang menjajakan farjinya dan ‘Asysyar[1] (orang yang mengambil pajak).” (HR. Ahmad dan ath-Thabrani dan al-Ausath, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib no. 786 dan 2391)

[1] ‘Asysyar yang dimaksud dalam hadits ini ialah orang yang mengambil pajak sebanyak sepuluh persen tanpa ada izin dari syariat. Terkecualikan dalam masalah ini ialah zakat pertanian, karena pengambilan sepuluh persen dari harta pertanian sebagai zakat telah diizinkan oleh syariat. Demikian pula pajak yang dibebankan atas orang kafir yang tinggal di negeri kaum muslimin. (an-Nihayah fi Gharib al-Hadits 3/476)

Menyemarakkan Membaca Al Qur'an Di Rumah

Menyemarakkan Membaca Al Qur'an Di Rumah 

بسم الله الرحمن الرحيم

Adakah kebutuhan manusia yang melebihi kebutuhan makan dan minum? Jawabnya: ada, yaitu kebutuhan manusia terhadap petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala (baca: al-Qur-an) untuk membaca, memahami dan mengamalkan kandungannya.

Al-Qur-an adalah pedoman hidup untuk kebahagiaan manusia dunia dan akhirat, petunjuk kepada jalan yang lurus, obat bagi penyakit hati manusia, penyubur keimanan dan fungsi-fungsi kebaikan lain yang dibutuhkan oleh manusia untuk kebahagiaan hidup mereka, dan ini jelas lebih dari fungsi makanan dan minuman bagi manusia.

Coba renungkan makna firman-firman Allah ‘Azza wa Jalla berikut ini:

{إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا}

“Sesungguhnya al-Qur-an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (QS al-Israa’).

{وَنُنزلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِين}

“Dan Kami turunkan di dalam al-Qur’an suatu yang menjadi obat (penyakit manusia) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS al-Israa’: 82).

{الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ}

“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan (membaca) petunjuk Allah (al-Qur-an). Ingatlah, hanya dengan (membaca) petunjuk Allah (al-Qur-an) hati menjadi tenteram” (QS ar-Ra’du:28).

Artinya: dengan membaca dan merenungkan al-Qur-an  segala kegalauan dan kegundahan dalam hati mereka akan hilang dan berganti dengan kegembiraan dan kesenangan[1].

Bahkan tidak ada sesuatupun yang lebih besar mendatangkan ketentraman dan kebahagiaan bagi hati manusia melebihi bacaan al-Qur-an[2].

Dalam ayat lain, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

{قَالَ اهْبِطَا مِنْهَا جَمِيعًا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلا يَضِلُّ وَلا يَشْقَى}

“Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku (wahai manusia), lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka” (QS Thaahaa: 123).

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu berkata: “Allah ‘Azza wa Jalla memberikan jaminan bagi orang yang membaca al-Qur-an dan mengamalkan kandungannya bahwa dia tidak akan tersesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat (kelak)”[3].

Oleh karena itu, ketika menggambarkan besarnya kebutuhan manusia terhadap petunjuk Allah ‘Azza wa Jalla dalam al-Qur-an, yang ini melebihi kebutuhan mereka terhadap makan dan minum, Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Manusia butuh kepada ilmu (petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Qur-an) lebih dari kebutuhan mereka kepada makan dan minum, karena makan dan minum dibutuhkan (oleh manusia) dalam sehari sekali atau dua kali, sedangkan ilmu (petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Qur-an) dibutuhkan sesuai dengan hitungan (tarikan) nafas (dibutuhkan setiap saat)”[4].

Manfaat tilawah al-Qur-an bagi rumah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perumpamaan rumah yang disebut nama Allah[5] di dalamnya dan rumah yang tidak disebut nama Allah di dalamnya adalah seperti perumpaan orang yang hidup dan orang yang mati”.

Imam an-Nawawi berkata: “Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk (banyak) berzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla (termasuk membaca al-Qur-an dan zikir-zikir lainnya) di rumah dan hendaknya rumah jangan dikosongkan dari berzikir (kepada-Nya)”[6].

Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa rumah yang selalu disemarakkan dengan bacaan al-Qur-an dan zikir akan selalu hidup dan bercahaya, serta menjadi motivasi bagi para penghuninya untuk giat melakukan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala[7].

Oleh karena itu, Allah ‘Azza wa Jalla menjelaskan fungsi diturunkannya al-Qur-an kepada manusia, yaitu sebagai pemberi kehidupan bagi hati manusia dan sumber cahaya yang menerangi hidupnya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

{وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلا الإيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا}

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh (al-Qur’an) dari perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Alkitab (al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Qur’an itu sebagai cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami” (QS asy-Syuura: 52).

Ketika menafsirkan ayat ini, Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Ini adalah (fungsi) al-Qur-an yang mulia, Allah menyebutnya sebagai ruh karena ruh yang menjadikan tubuh manusia hidup. (Demikian) pula al-Qur-an yang menjadikan hati dan jiwa manusia hidup, sehingga hiduplah (terwujudlah) dengan al-Qur-an semua kebaikan (dalam urusan) dunia dan agama, karena di dalamnya banyak kebaikan dan ilmu yang luas”[8].

Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

{أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا}

“Dan apakah orang yang tadinya mati (kafir) kemudian dia Kami hidupkan (dengan petunjuk Kami) dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan ditengah-tengah manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita dan sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya” (QS al-An’aam: 122).

Imam Ibnul Qayyim berklata: “(Dalam ayat ini) Allah menjelaskan bahwa kitab-Nya (al-Qur-an) yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam mengandung dua perkara (manfaat), yaitu (sebagai) ruh untuk menghidupkan hati manusia dan (sebagai) cahaya untuk menyinari dan menerangi (hidupnya)”[9].

Mengusir setan dari rumah

Di antara manfaat besar bacaan al-Qur-an di rumah adalah untuk mengusir setan, musuh utama yang selalu mengajak manusia berbuat buruk.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

{إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ}

“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala” (QS Faathir: 6).

Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kamu menjadikan rumahmu (seperti) kuburan (dengan tidak pernah mengerjakan shalat dan membaca al-Qur’an di dalamnya), sesungguhnya setan akan lari dari rumah yang dibaca di dalamnya surat al-Baqarah”[10].

Dalam lafazh riwayat at-Tirmidzi: “…Sesungguhnya setan tidak akan masuk ke rumah yang dibaca di dalamnya surat al-Baqarah”[11].

Manfaat ini tentu sangat besar, karena bagaimana mungkin akan terwujud kebaikan dan kebahagiaan dalam rumah yang dipenuhi setan, sebagai akibat tidak disemarakkan bacaan al-Qur-an di dalamnya, padahal sifat setan sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala gambarkan dalam firman-Nya:

{إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ}

“Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui” (QS al-Baqarah: 169).

Imam al-Munawi menjelaskan bahwa termasuk makna hadits di atas adalah bahwa setan berputus asa dari upaya untuk menyesatkan para penghuni rumah yang dibaca di dalamnya surat al-Baqarah, karena dia melihat kesungguhan dan semangat mereka dalam melakukan ibadah dan ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla[12].

Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan petunjuk kebaikan kepada umatnya yang berkenaan dengan rumah, selain membaca surat al-Baqarah, untuk mengusir setan darinya, karena keburukan yang timbul dari godaannya. Misalnya zikir ketika masuk rumah, Dari Jabir bin abdillah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika seseorang masuk ke dalam rumahnya dan menyebut (nama) Allah ketika masuk dan ketika makan (maka pada waktu itu) setan berkata (kapada teman-temannya): “Tidak ada tempat menginap dan makanan bagi kalian”. Tapi jika dia masuk (rumahnya) dan tidak menyebut (nama) Allah ketika masuk, maka setan berkata: “Kalian mendapat tempat menginap”. Dan jika dia tidak menyebut (nama) Allah ketika makan maka setan berkata: “Kalian mendapat tempat menginap dan makanan”[13].

Pemimpin keluarga memotivasi anggota keluarganya untuk gemar dan tekun membaca al-Qur-an

Seorang pemimpin keluarga berkewajiban untuk mengajak anggota keluarganya mengerjakan kebaikan dan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, terutama ketika mereka berada di rumah, termasuk yang paling utama di antaranya adalah memotivasi mereka untuk gemar dan tekun membaca al-Qur-an di rumah.

Allah ‘Azza wa Jalla mengingatkan kewajiban ini dalam firman-Nya:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ}

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS at-Tahriim:6).

Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu ketika menafsirkan ayat di atas, beliau berkata: “(Maknanya): Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan keluargamu”[14].

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata: “Memelihara diri (dari api neraka) adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bertobat dari semua perbuatan yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun memelihara istri dan anak-anak (dari api neraka) adalah dengan mendidik dan mengajarkan kepada mereka (syariat Islam), serta memaksa mereka untuk (melaksanakan) perintah Allah. Maka seorang hamba tidak akan selamat (dari siksaan neraka) kecuali jika dia (benar-benar) melaksanakan perintah Allah (dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan pada orang-orang yang dibawa kekuasaan dan tanggung jawabnya”[15].

Dalam sebuah hadits shahih, ketika shahabat yang mulia, Malik bin al-Huwairits radhiallahu ‘anhu dan kaumnya mengunjungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama dua puluh hari untuk mempelajari al-Qur-an dan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka: “Pulanglah kepada keluargamu, tinggallah bersama mereka dan ajarkanlah (petunjuk Allah/al-Qur-an) kepada mereka”[16].

Sebagian di antara para ulama salaf ada yang mempraktekkan ini dengan mentalqinkan al-Qur-an (mendikte dan menuntun orang lain dengan membacakan al-Qur-an secara langsung lalu orang itu mengikutinya) kepada anaknya dari ayat pertama sampai terakhir, sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hambal. Putra beliau yang bernama ‘Abdullah berkata: “Bapakku (Imam Ahmad) telah mentalqinkan al-Qur-an seluruhnya kepadaku dengan keinginan beliau sendiri”[17].

Beberapa cara praktis untuk mengajak anggota kelurga agar semangat membaca dan menghafal ayat-ayat al-Qur-an

1- Menjelaskan keutamaan membaca dan menghafal ayat-ayat al-Qur-an yang disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih, karena sebaik-baik nasehat untuk memotivasi adalah nasehat dari al-Qur-an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Misalnya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Orang yang paling baik (di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala) di antara kamu adalah orang yang mempelajari dan mengajarkan al-Qur-an”[18].

Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “(Pada hari kiamat nanti) dikatakan kepada orang yang tekun membaca al-Qur-an (sewaktu di dunia): Bacalah (al-Qur-an), naiklah (ke tingkatan surga yang lebih tinggi), dan bacalah dengan perlahan-lahan sebagaimana (dulu) kamu membacanya di dunia, karena sesungguhnya kedudukan/tempatmu (di surga nanti) sesuai dengan ayat terakhir yang engkau baca (sewaktu di dunia)”[19].

Juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Orang yang ahli (membaca)al-Qur-an adalah orang yang terdekat dan istimewa (di sisi) Allah”[20].

2- Mentalqin/menuntun mereka secara langsung dengan membacakan ayat-ayat al-Qur-an kepada mereka kemudian mereka mengikutinya, sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Ahmad. Cara ini sangat mudah dan disukai terutama oleh anak-anak.

3- Memotivasi dengan memberi hadiah bagi anggota keluarga yang rajin membaca atau menghafal ayat-ayat al-Qur-an. Ini diperbolehkan[21] dan dilakukan oleh sebagian dari ulama salaf terhadap anak-anak mereka.

Imam al-Khathiib al-Bagdaadi menukil ucapan salah seorang ulama salaf dari generasi Atbaa’ut taabi’iin, Ibrahim bin Adham, beliau berkata: “Bapakku berkata kepadaku: “Wahai anakku, tuntutlah (ilmu) hadits, setiap kali kamu mendengar sebuah hadits dan menghafalnya maka untukmu (uang) satu dirham”. Maka akupun menuntut (ilmu) hadits karena motivasi tersebut”[22].

4- Mengadakan perlombaan di antara anggota keluarga untuk membaca/menghafal surat-surat tertentu dalam al-Qur-an dan memberi hadiah kepada anggota keluarga yang bacaan dan hafalannya benar[23].

Penutup

Termasuk sebab penting yang harus dilakukan pemimpin keluarga untuk menyemarakkan bacaan al-Qur-an di rumah, setelah banyak berdoa memohon taufik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, adalah menjauhkan rumah dari perbuatan-perbuatan maksiat dan mungkar yang akan menjadikan Malaikat rahmat menjauh dari rumah, sehingga Setanlah yang akan  meramaikannya.

Misalnya nyanyian dan alat musik yang keduanya diharamkan dalam Islam[24], bahkan dalam hadits yang shahih[25] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan penamaan nyanyian dan alat musik sebagai “seruling setan”[26].

Demikian pula gambar atau patung makhluk yang bernyawa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Malaikat (rahmat) tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada gambar (makhluk hidup)”[27].

Juga perbuatan tidak menyebut nama Allah ‘Azza wa Jalla ketika masuk rumah dan makan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika seseorang masuk ke dalam rumahnya dan menyebut (nama) Allah ketika masuk dan ketika makan, (maka pada waktu itu) setan berkata (kapada teman-temannya): “Tidak ada tempat menginap dan makanan bagi kalian”. Tapi jika dia masuk (rumahnya) dan tidak menyebut (nama) Allah ketika masuk, maka setan berkata: “Kalian mendapat tempat menginap”. Dan jika dia tidak menyebut (nama) Allah ketika makan maka setan berkata: “Kalian mendapat tempat menginap dan makanan”[28].

Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat untuk kebaikan bagi keluarga muslim di dunia dan akhirat.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Ditulis oleh: Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

[1] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 417).
[2] Ibid.
[3] Dinukil oleh Imam al-Qurthubi dalam tafsir beliau (11/228).
[4] Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/61).
[5] Yaitu membaca al-Qur-an dan zikir-zikir yang dicontohkan oleh Rasulullah r.
[6] Kitab “Syarhu shahiihi Muslim” (6/68).
[7] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (5/506).
[8] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 762).
[9] Kitab “Igaatsatul lahfaan” (1/21).
[10] HSR Muslim (no. 780).
[11] HR at-Tirmidzi (5/157), dinyatakan shahih oleh Imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani.
[12] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/46).
[13] HSR Muslim (no. 2018).
[14] Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam “al-Mustadrak” (2/535), dishahihkan oleh Imam al-Hakim sendiri dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi.
[15] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 640).
[16] HSR al-Bukhari (no. 602).
[17] Dinukil oleh Imam Ibnul Jauzi dalam kitab “Mana-qibul imaami Ahmad” (hal. 496).
[18] HSR al-Bukhari (no. 4739).
[19] HR Abu Dawud (no. 1464), at-Tirmidzi (5/177) dan Ibnu Hibban (no. 766), dinyatakan shahih oleh Imam at-Tirmidzi, Imam Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albani.
[20] HR Ahmad (3/127) dan Ibnu Majah (no. 215), dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.
[21] LIhat kitab “Nida-un ilal murabbiyyiina wal murabbiyyaat” (hal. 67).
[22] Kitab “Syarafu ashhaabil hadiits” (hal. 66).
[23] LIhat kitab “Nida-un ilal murabbiyyiina wal murabbiyyaat” (hal. 67).
[24] Sebagaimana dalam HSR al-Bukhari (no. 5268).
[25] HSR al-Bukhari (no. 3716) dan Muslim (no. 892).
[26] Lihat keterangan imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Igaatsatul lahfaan” (1/256-257).
[27] HSR al-Bukhari (no. 5613) dan Muslim (no. 2106).
[28] HSR Muslim (no. 2018).

Saat Judi Online Merajalela

Saat Judi Online Merajalela 

Akhir-akhir ini, judi online semakin merajalela. Iklannya bisa ditemui di mana-mana, dalam bentuk terang-terangan seperti “iklan judi slot” ataupun secara tersirat seperti “main slot”, “main trading”, dan lain-lain. Bahkan para influencer dan selebgram pun ikut aktif mengiklankannya.

Korbannya tak tanggung-tanggung, model judi online seperti ini mengenai hampir semua lapisan masyarakat dan semua umur. Mulai dari remaja dan anak-anak, para orang tua, ibu rumah tangga, para pejabat, bahkan para pengangguran juga ikut main judi slot.

Hal ini semakin diperparah dengan adanya aplikasi pinjaman online yang begitu instan untuk diakses. Kecanduan main judi didukung dengan kemudahan meminjam secara online membuat dua hobi buruk ini semakin tak terbendung.

Akibatnya, ketika tidak mampu bayar dan semakin terdesak karena jatuh tempo, ditambah sebagian oknum pinjol ini terkadang mengirim preman untuk meneror dan menagih secara kasar, maka yang hobi main judi online dan pinjaman hutang online ini menjadi semakin nekat dan menghalalkan segala cara demi mendapatkan uangnya dengan segera. Ada yang nekat mencuri, merampok, memalak, keuangan keluarga menjadi rusak serta tidak lagi menafkahi anak istrinya. Bahkan parahnya ada yang nekat jual aset dan tanah keluarga tanpa sepengetahuan orang tuanya. Dampaknya adalah kriminalitas semakin meningkat dan tidak sedikit rumah tangga yang hancur, awal mulanya karena judi slot.

Oleh karena itu, sebagai saudara sesama muslim, kita perlu saling mengingatkan dan saling membantu menyadarkan saudara-saudara kita, dimulai dari keluarga terdekat, kemudian teman lalu masyarakat secara umum. Sadarkan bahwa judi itu sudah diatur oleh penyelenggaranya, bandar pasti untung melalui pengaturan program aplikasi dan sebagainya. Jadi, apapun judinya, bandar lah yang akan menang dan dapat keuntungan paling banyak.

Tidak diragukan lagi, judi apapun bentuknya adalah hal yang sangat dilarang dalam Islam. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al-Maidah: 90)

Dalam ayat di atas, sangat nampak bahaya dari judi. Mulai dari disandingkan dengan dosa minum khamr yang tidak diragukan lagi bahayanya dunia dan akhirat. Judi disebut dengan rijs (najis). Judi disebut dengan amalan syaithan yang jelas-jelas menjadi musuh utama manusia. Kemudian keberuntungan hanya bisa didapatkan dengan menjauhi judi.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

إنّ مفسدة الميسر أعظم من مفسدة الرّبا لأنّه يشتمل على مفسدتين : مفسدة أكل المال بالحرام , ومفسدة اللّهو الحرام , إذ يصد عن ذكر اللّه وعن الصّلاة ويوقع في العداوة والبغضاء , ولهذا حرّم الميسر قبل تحريم الرّبا .

“Sesungguhnya kerusakan maisir (judi) lebih besar daripada kerusakan riba karena kerusakan judi mencakup dua kerusakan: kerusakan karena memakan harta dengan cara haram dan kerusakan karena permainan yang haram. Perjudian itu juga menghalangi seseorang dari mengingat Allah dan dari shalat, serta menimbulkan permusuhan dan kebencian. Oleh karena itu, judi diharamkan sebelum pengharaman riba.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32/337)

Semoga Allah menjaga keluarga kita, masyarakat dan negeri kita tercinta dari kerusakan judi. Harapannya pemerintah juga bisa menindak tegas praktik judi seperti ini karena jelas dilarang dalam aturan negara kita.

Siapakah Yang Ukhti Pilih ?

Siapakah Yang Ukhti Pilih ?

Menikah, satu kata ini akan menjadi sesuatu yang sangat berarti bagi pemuda ataupun pemudi yang sudah mencapai usia remaja. Remaja yang sudah mulai memiliki rasa tertarik dengan lawan jenisnya, akan memperhatikan pasangan yang diimpikan menjadi pasangan hidupnya. Sejenak waktu, hatinya akan merenda mimpi, membayangkan masa depan yang indah bersamanya.


Saudariku muslimah yang dirahmati Allah, tentu kita semua menginginkan pasangan hidup yang dapat menjadi teman dalam suka dan duka, bersama dengannya membangun rumah tangga yang bahagia, sampai menapaki usia senja, bahkan menjadi pasangan di akhirat kelak. Tentu kita tidak ingin bahtera tumah tangga yang sudah terlanjur kita arungi bersama laki-laki yang menjadi pilihan kita kandas di tengah perjalanan, karena tentu ini akan sangat menyakitkan, menimbulkan luka mendalam yang mungkin sangat sulit disembuhkan, baik luka bagi kita maupun bagi buah hati yang mungkin sudah ada. Lagipula, kita mengetahui bahwa Allah Ta’ala, Robb sekaligus Illah kita satu-satunya sangat membenci perceraian, meskipun hal itu diperbolehkan jika memang keduanya merasa berat. “Mencegah lebih baik daripada mengobati.” Itulah slogan yang biasa dipakai untuk masalah kesehatan. Dan untuk masalah kita ini, yang tentunya jauh lebih urgen dari masalah kesehatan tentu lebih layak bagi kita untuk memakai slogan ini, agar kita tidak menyesal di tengah jalan.

Saudariku muslimah, sekarang banyak kita jumpai fenomena yang sangat memprihatinkan dan menyedihkan hati. Banyak dari saudari-saudari kita yang terpesona dengan kehidupan dunia, sehingga timbul predikat ‘cewek matre’, yaitu bagi mereka yang menyukai laki-laki karena uangnya. Ada juga diantara saudari kita yang memilih laki-laki hanya karena fisiknya saja. Ada juga diantara mereka yang menyukai laki-laki hanya karena kepintarannya saja, padahal belum tentu kepintarannya itu akan menyelamatkannya, mungkin justru wanita itu yang akan dibodohi.

Sebenarnya tidak mengapa kita menetapkan kriteria – kriteria tersebut untuk calon pasangan kita, namun janganlah hal tersebut dijadikan tujuan utama, karena kriteria-kriteria itu hanya terbatas pada hal yang bersifat duniawi, sesuatu yang tidak kekal dan suatu saat akan menghilang. Lalu bagaimana solusinya ? Saudariku, sebagai seorang muslim, standar yang harus kita jadikan patokan adalah sesuatu yang sesuai dengan ketentuan syariat. Karena hanya dengan itu kebahagian hakiki akan tercapai, bukan hanya kebahagian dunia saja yang akan kita dapatkan, tapi kebahagiaan akhirat yang kekal pun akan kita nikmati jika kita mempunyai pasangan yang bisa diajak bekerjasama dalam ketaatan kepada Allah.

Diantara kriteria-kriteria yang hendaknya kita utamakan antara lain:

1. Memilih calon suami yang mempunyai agama dan akhlak yang baik, dengan hal tersebut ia diharapkan dapat melaksanakan kewajiban secara sempurna dalam membimbing keluarga, menunaikan hak istri, mendidik anak, serta memiliki tanggung jawab dalam menjaga kehormatan keluarga.

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Jika datang melamar kepadamu orang yang engkau ridho agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dengannya, jika kamu tidak menerimanya, niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang luas.” (HR. Tirmidzi, hasan)

Seorang laki-laki bertanya kepada Hasan bin ‘Ali, “Saya punya seorang putri, siapakah kiranya yang patut jadi suaminya ?” Hasan bin ‘Ali menjawab, “Seorang laki-laki yang bertaqwa kepada Allah, sebab jika ia senang ia akan menghormatinya, dan jika ia sedang marah, ia tidak suka zalim kepadanya.”

2. Memilih calon suami yang bukan dari golongan orang fasiq, yaitu orang yang rusak agama dan akhlaknya, suka berbuat dosa, dan lain-lain.

“Siapa saja menikahkan wanita yang di bawah kekuasaanya dengan laki-laki fasiq, berarti memutuskan tali keluarga.” (HR. Ibnu Hibban, dalam Adh-Dhu’afa’ & Ibnu Adi)

Ibnu Taimiyah berkata, “Laki-laki itu selalu berbuat dosa, tidak patut dijadikan suami. Sebagaimana dikatakan oleh salah seorang salaf.” (Majmu’ Fatawa 8/242)

3. Laki-laki yang bergaul dengan orang-orang sholeh.

4. Laki-laki yang rajin bekerja dan berusaha, optimis, serta tidak suka mengobral janji dan berandai-andai.

5. Laki-laki yang menghormati orang tua kita.

6. Laki-laki yang sehat jasmani dan rohani.

7. Mau berusaha untuk menjadi suami yang ideal, diantaranya: Melapangkan nafkah istri dengan tidak bakhil dan tidak berlebih-lebihan; memperlakukan istri dengan baik, mesra, dan lemah lembut; bersendau gurau dengan istri tanpa berlebih-lebihan; memaafkan kekurangan istri dan berterima kasih atas kelebihannya; meringankan pekerjaan istri dalam tugas-tugas rumah tangga; tidak menyiarkan rahasia suami istri; memberi peringatan dan bimbingan yang baik jika istri lalai dari kewajibannya; memerintahkan istri memakai busana muslimah ketika keluar; menemani istri bepergian; tidak membawa istri ke tempat-tempat maksiat; menjaga istri dari segala hal yang dapat menimbulkan fitnah kepadanya; memuliakan dan menghubungkan silaturahim kepada orang tua dan keluarga istri; memanggil istri dengan panggilan kesukaannya; dan yang terpenting bekerjasama dengan istri dalam taat kepada Allah Ta’ala.

Satu hal yang perlu kita ingat saudariku, bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna. Jangan pernah membayangkan bahwa laki-laki yang sholeh itu tidak punya cacat & kekurangan. Tapi, satu hal yang tidak boleh kita tinggalkan adalah ikhtiar dengan mencari yang terbaik untuk kita, serta bertawakal kepada Allah dengan diiringi do’a.

Kiamat Sudah Dekat

Kiamat Sudah Dekat 

Ayat-ayat al-Qur-an yang mulia dan hadits-hadits shahih menunjukkan telah dekatnya hari Kiamat karena munculnya sebagian besar tanda-tanda Kiamat merupakan bukti bahwa Kiamat sudah dekat dan kita berada di akhir dunia.

Allah Ta’ala berfirman:

اقْتَرَبَ لِلنَّاسِ حِسَابُهُمْ وَهُمْ فِي غَفْلَةٍ مُعْرِضُونَ

“Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya).” [Al-Anbiyaa’: 1]

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ السَّاعَةَ تَكُونُ قَرِيبًا

“… Dan tahukah kamu (hai Muhammad), boleh jadi hari Berbangkit itu sudah dekat waktunya.” [Al-Ahzaab: 63]

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّهُمْ يَرَوْنَهُ بَعِيدًا وَنَرَاهُ قَرِيبًا

“Sesungguhnya mereka memandang siksaan itu jauh (mustahil). Sedangkan kami memandangnya dekat (pasti terjadi).” [Al-Ma’aarij: 6-7]

Allah Ta’ala berfirman:

اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ

“Telah dekat (datangnya) saat itu (Kiamat) dan telah terbelah bulan.” [Al-Qamar: 1]

Dan ayat-ayat lainnya yang menunjukkan dekatnya kesudahan alam dunia ini dan perpindahan ke alam yang lain (akhirat), di alam itu setiap orang mendapatkan apa-apa yang mereka amalkan, jika baik maka baik pula balasan-nya, dan jika jelek maka jelek pula balasannya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةُ كَهَاتَيْنِ، وَيُشِيْرُ بِإِصْبَعَيْهِ فَيَمُدُّ بِهِمَا.

“Jarak diutusnya aku dan hari Kiamat seperti dua (jari) ini.” Beliau berisyarat dengan kedua jarinya (jari telunjuk dan jari tengah), lalu merenggangkannya.”[1]

Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بُعِثْتُ فيِ نَسْمِ السَّاعَةِ.

“Aku diutus pada awal hembusan angin Kiamat.” [2]

Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا أَجَلُكُمْ -فِي أَجَلِ مَنْ خَلاَ مِنَ اْلأُمَمِ- مَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعَصْرِ إِلَى مَغْرِبِ الشَّمْسِ.

“Sesungguhnya ajal kalian jika dibandingkan dengan ajal umat terdahulu adalah seperti jarak antara shalat ‘Ashar dan Maghrib.” [3]

Baca Juga  12. Hilangnya Amanah
Dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, beliau berkata:

كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالشَّمْسُ عَلَـى قُعَيْقِعَـانَ بَعْدَ الْعَصْرِ، فَقَالَ: مَا أَعْمَارُكُمْ فِي أَعْمَارِ مَنْ مَضَى إِلاَّ كَمَا بَقِيَ مِنَ النَّهَارِ فِيمَا مَضَى مِنْهُ.

“Kami pernah duduk-duduk bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara matahari berada di atas gunung Qu’aiqa’aan [4] setelah waktu ‘Ashar, lalu beliau bersabda, ‘Tidaklah umur-umur kalian dibandingkan dengan umur orang yang telah berlalu kecuali bagaikan sisa hari (ini) dibandingkan dengan waktu siang yang telah berlalu.’” [5]

Hadits ini menunjukkan bahwa waktu yang tersisa sangat sedikit jika dibandingkan dengan waktu yang telah berlalu. Akan tetapi waktu yang telah berlalu tidak ada yang mengetahui kecuali Allah Ta’ala. Belum pernah ada satu riwayat pun dengan sanad yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menerangkan batasan waktu dunia sehingga bisa dijadikan sebagai rujukan agar diketahui sisa waktu yang ada. Tentunya waktu sisa ini sangat sedikit sekali jika dibandingkan dengan waktu yang telah berlalu.[6]

Tidak ada sebuah ungkapan yang lebih jelas tentang dekatnya hari Kiamat daripada sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةُ جَمِيعًا إِنْ كَادَتْ لَتَسْبِقُنِي.

“Jarak diutusnya aku dan hari Kiamat secara bersamaan, hampir saja dia mendahuluiku.” [7]

Ini adalah isyarat sangat dekatnya hari Kiamat dengan waktu diutusnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga beliau takut jika Kiamat itu mendahului beliau karena sangat dekatnya.


Footnote
[1]. Shahiih al-Bukhari, kitab ar-Riqaaq bab Qaulin Nabiyyi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Bu’itstu Ana was Saa’atu ka Haataini dari Sahl z (XI/347, al-Fat-h).
[2]. Al-Albani berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh ad-Daulabi dalam al-Kuna’ (I/23), Ibnu Mandah dalam al-Ma’rifah (II/234/2) dari Abi Hazim dari Abi Jabirah secara marfu’, ini adalah sanad yang shahih dan semua rijalnya (rawi) tsiqah (dipercaya), ada perbedaan pendapat tentang Abu Jabirah, apakah dia seorang Sahabat? Sementara al-Hafizh dalam at-Taqriib mentarjih (menguatkan) bahwa beliau adalah seorang Sahabat. (Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah) (II/467, no. 808).
Dan lihat Tahdziibut Tahdziib (XII/52-53/al-Kuna), cet. Majlis Da-irah al-Ma’arif, India, cet. I th. 1327 H dan Taqriibut Tahdziib (II/405), tahqiq ‘Abdul Wahhab ‘Abdul Lathif, cet. Darul Ma’rifah, cet. II th. 1395 H.
[3]. Shahiih al-Bukhari, kitab Ahaadiitsul Anbiyaa’, bab Maa Dzukira ‘an Banii Israa-iil (VI/495, al-Fat-h).
[4]. (قُعَيْقِعَـانَ) dengan didhammahkan qaf yang pertama, dan dikasrahkan yang kedua, dengan lafazh Tashghir, “Sebuah gunung di sebelah selatan Makkah sejauh dua belas mil. Dinamakan Qu’aiqa’aan karena ketika kabilah Jurhum melakukan peperangan di sana terdengar banyak gemerincing senjata. Dan jelas bahwasanya perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini terjadi pada haji Wada atau pada peperangan Fat-hu Makkah, dan waktu itu Ibnu ‘Umar mengikutinya beserta para Sahabat.
Lihat an-Nihaayah, karya Ibnul Atsir (IV/88) dan Syarh Musnad Ahmad (VIII/ 176), karya Ahmad Syakir.
[5]. Musnad Ahmad (VIII/176, no. 5966) syarah Ahmad Syakir, dan beliau berkata, “Isnadnya shahih.”
Ibnu Katsir berkata, “Isnad ini hasan la ba’-sa bihi.” (An-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/194)).
Dan Ibnu Hajar berkata, “Hasan,” (Fat-hul Baari XI/350).
[6]. An-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/195) tahqiq Dr. Thaha Zaini.
[7]. Musnad Ahmad (V/348, Muntakhabul Kanzi), dan Taariikhul Umam wal Muluuk (I/8), karya ath-Thabrani.

Berdamai Itu Lebih Baik

Berdamai Itu Lebih Baik 

Kebersamaan sepasang insan yang dijalin dengan pernikahan tak selamanya seia sekata. Di antara mereka terkadang ada ketidakcocokan yang dapat memicu pertikaian.

Ada yang tidak bisa mencintai pasangannya sehingga kebersamaan terasa hambar dan ingin diakhiri. Bisa jadi cinta itu tidak pernah tumbuh sejak awal pernikahan ataupun pernah ada cinta kemudian pupus di belakang hari, karena satu atau beberapa sebab. Ketiadaan cinta ini jelas memicu masalah. Apalagi bila suami yang tidak memiliki cinta terhadap sang istri, sementara si istri tetap ingin hidup bersamanya.

Syariat yang mulia memberi solusi atas permasalahan seperti ini. Allah l berfirman:

“Dan jika seorang istri khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak berdosa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya. Dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kalian bergaul dengan istri kalian secara baik dan memelihara diri kalian dari nusyuz dan sikap tak acuh maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (An-Nisa’: 128)

Al-Hafizh Ibnu Katsir t menerangkan dalam tafsirnya, “Apabila istri mengkhawatirkan suaminya akan menjauhinya atau berpaling darinya, ia boleh menggugurkan haknya atau sebagian haknya (sehingga ia merelakan suaminya untuk tidak memenuhi hak yang digugurkan tersebut). Baik hak itu berupa nafkah, pakaian, mabit (bermalam di sisinya), atau hak-hak lainnya yang semula wajib ditunaikan sang suami. Si suami boleh menerima pengguguran hak tersebut. Si istri tidak berdosa merelakan haknya kepada suaminya. Suaminya pun tidak berdosa bila menerimanya. Karena itulah Allah l berfirman:

“Maka tidak berdosa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya.” (An-Nisa’: 128)

Kemudian Allah l menyatakan:

“Dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka…” (An-Nisa’: 128)

Maksudnya, berdamai itu lebih baik daripada harus berpisah.

Allah l berfirman:

ﭤ ﭥ ﭦ

“Walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir.” (An-Nisa’: 128)

Maksudnya berdamai tatkala ada pertikaian itu lebih baik daripada harus berpisah. Karena itulah, ketika Saudah bintu Zam’ah x mencapai usia tua, Rasulullah n berketetapan hati untuk menceraikannya, maka Saudah pun meminta perdamaian kepada Rasulullah n agar beliau tetap menahannya sebagai istri, tidak menceraikannya, dan ia menyerahkan hari gilirannya kepada Aisyah x. Rasulullah n menerima permintaan Saudah tersebut dan tetap menahannya sebagai istri beliau dengan perjanjian demikian2.” (Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, 2/314)

Aisyah x berkata, “Seorang lelaki memiliki seorang istri, tetapi ia tidak mencintai istrinya dan ingin menceraikannya. Maka istrinya berkata, ‘Biarkanlah aku tetap sebagai istrimu, jangan dicerai.’ Maka turunlah ayat ini (yaitu An-Nisa’: 128) dalam perkara tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 4601)

Ali bin Abi Thalib z ketika ditanyai seseorang tentang ayat di atas, beliau menerangkan, “Ayat di atas berkenaan dengan seorang istri yang masih dalam status pernikahan dengan suaminya namun kedua mata suaminya tidak sedap memandangnya. Mungkin karena keburukan paras/rupanya, kefakirannya, usianya yang sudah tua, atau karena akhlaknya yang buruk. Sementara si istri tidak suka bila harus berpisah dengan suaminya. Bila si istri merelakan sesuatu dari maharnya untuk suaminya, maka halal bagi suami untuk mengambilnya. Juga bila istri menyerahkan hari-harinya untuk tidak dipenuhi oleh suaminya (tidak dikunjungi). maka tidak ada dosa dalam hal ini.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 5/259-260)

Asy-Syaikh Abu Abdirrahman Muqbil ibnu Hadi Al-Wadi’i t dalam kitab beliau Ash-Shahihul Musnad min Asbabil Nuzul (hal. 93) membawakan riwayat dari Rafi’ ibnu Khadij. Beliau ini memiliki seorang istri yang telah berusia tua. Kemudian beliau menikah lagi dengan seorang wanita yang masih berusia remaja. Maka ia lebih mengutamakan istri mudanya daripada istri pertamanya. Namun istri pertamanya tidak menerima hal tersebut. Rafi’ pun menceraikannya dengan talak satu. Sampai menjelang akhir iddah si istri, Rafi’ menawarkan, “Kalau kamu mau aku akan merujukmu. Namun kamu harus bersabar dengan perkara yang ada. Tapi kalau kamu tidak menghendaki hal tersebut, aku akan meninggalkanmu sampai berakhir iddahmu.” Istrinya berkata, “Rujuklah diriku dan aku akan bersabar dengan kenyataan kamu lebih mengutamakan dirinya.” Setelah berlalu waktu dan Rafi’ tetap mengutamakan istri keduanya, istri pertamanya ternyata tidak sabar dengan kenyataan tersebut. Maka Rafi’ pun menceraikannya untuk kedua kalinya dan tetap memilih istri keduanya. Rafi’ berkata, “Inilah perdamaian yang telah sampai kepada kami bahwa Allah l menurunkan ayat tentangnya:

ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟﭠ

“Dan jika seorang istri khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak berdosa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya.” (Diriwayatkan Al-Hakim, 2/308, ia berkata, “Shahih di atas syarat Al-Bukhari dan Muslim.” Adz-Dzahabi mendiamkannya.)

Asy-Syaikh Muqbil menyatakan bahwa Rafi’ hendak menerangkan, ayat di atas juga mencakup apa yang ia lakukan.

Dengan penjelasan di atas dapat kita pahami bahwa ketika ada permasalahan di antara suami istri, maka berdamai lebih baik daripada harus berpisah, dengan cara memaafkan, bersabar, dan merelakan sebagian hak tidak dipenuhi. Walaupun sebenarnya jiwa itu tabiatnya kikir, tidak mau menggugurkan apa yang menjadi haknya, bahkan berambisi untuk menuntut haknya. Namun sepantasnya seseorang bersemangat untuk melepaskan diri dari tabiat jiwa yang buruk tersebut dan menggantinya dengan yang sebaliknya, yaitu memberi pemaafan dan kelapangan, merelakan haknya tidak terpenuhi dan merasa cukup dengan sebagian saja, tidak menuntut semuanya. Bilamana seseorang bisa berakhlak baik seperti ini, akan mudah baginya untuk mengadakan perdamaian dengan orang yang bermuamalah dengan dirinya. Beda halnya dengan orang yang memelihara kekikiran dirinya, tidak ada upaya menghilangkannya. Akan sulit baginya berdamai dan membuat kesepakatan dengan orang yang bermasalah dengannya. Karena ia tidak ridha kecuali bila semua haknya dipenuhi dan tidak ingin menggugurkannya untuk orang lain. Demikian penjelasan Al-Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman ibnu Nashir As-Sa’di t dalam tafsirnya. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 207)

Pernah ada permasalahan diungkapkan kepada para masyaikh yang duduk di Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wal Ifta’ (Komite Tetap untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa), ketika itu masih diketuai oleh Samahatusy Syaikh Ibnu Baz t, tentang seorang istri yang tidak dapat menunaikan hak-hak suaminya sehingga suaminya hendak menceraikannya. Akan tetapi si istri memilih tetap hidup bersama suaminya dengan kedua anaknya yang masih kecil, dengan kesepakatan ia akan menggugurkan seluruh haknya, sehingga suaminya tidak perlu bermalam di sisinya, tidak perlu berlaku adil kepadanya. Ringkas kata, ia tidak menuntut apa-apa dari suaminya. Suaminya menyetujui hal tersebut sehingga keduanya pun sepakat. Pertanyaannya, apakah sah kesepakatan seperti ini? Apakah si suami tidak berdosa bila tidak memenuhi hak-hak istrinya?

Al-Lajnah Ad-Da’imah memberikan fatwa, “Bila seorang istri menggugurkan hak-haknya agar tetap dalam ikatan pernikahan dengan suaminya, kemudian tercapai kesepakatan antara keduanya maka tidak ada larangan dalam hal ini. Karena dahulu Saudah x meminta kepada Rasulullah n agar tetap menjadikannya sebagai istri, tidak menceraikannya, dan sebagai perdamaiannya ia menghadiahkan malamnya untuk Aisyah x. Rasulullah n pun menerima permintaan Saudah tersebut.” (Fatwa no. 20688, dari Fatawa Al-Lajnah, 19/207-208)

Suami yang Tidak Mencintai Istrinya Hendaknya Menahan Istrinya dengan Baik atau Menceraikannya

Pernah ada keluhan tersampaikan dari seorang istri tentang suaminya yang tidak bergaul dengan ma’ruf, karena ia tidak mencintai istrinya namun tidak juga diceraikannya. Ia tidak memberikan nafkah lahir batin kepada istrinya dan tidak pula menempatkan istrinya di rumahnya, namun menyuruh istrinya tinggal di rumah orangtuanya. Maka suami seperti ini jelas tidak menunaikan kewajibannya. Ia telah membiarkan istrinya terkatung-katung seperti disinggung dalam ayat:

“Sehingga kalian biarkan istri tersebut terkatung-katung.” (An-Nisa’: 129)

Status si istri menjadi tidak jelas, tidak sebagai janda namun tidak pula sebagai seorang yang memiliki suami. (Ma’alimut Tanzil atau Tafsir Al-Baghawi, 1/388)

Tentunya perbuatan seperti ini tidak diperkenankan oleh syariat, bahkan termasuk kezaliman. Karena, selama si wanita berstatus sebagai istri maka ia harus dipergauli dengan cara yang baik sebagaimana firman Allah l:

“Dan bergaullah kalian (wahai para suami) dengan mereka (para istri) dengan ma’ruf (baik).” (An-Nisa’: 19)

Terkecuali bila si istri memaafkan, merelakan, dan menggugurkan sebagian atau seluruh haknya yang semula harus ditunaikan suaminya. Kalau tidak bisa ditempuh perdamaian, maka perpisahan mungkin merupakan obatnya.

Seorang suami pernah menyampaikan problem rumah tangganya kepada Al-Lajnah Ad-Da’imah, “Saya seorang pemuda berusia 22 tahun dan telah menikah dengan seorang wanita yang masih kerabat dekat, yaitu putri bibi saya. Pernikahan kami telah berlangsung sekitar 2 tahun. Namun saya tidak pernah mencintainya. Saya menikahinya karena desakan ibu saya agar memperistri keponakannya tersebut. Akan tetapi setelah menikah belum juga tumbuh cinta kepadanya dalam hati saya, padahal saya telah berupaya mencoba dan mencoba, namun tidak ada faedahnya. Tempat kerja saya jauh dari kediaman ibu saya sementara istri saya itu tinggal bersama ibu saya. Sekarang ini saya tidak mendatangi mereka kecuali setahun sekali karena saya tidak sanggup duduk bersama istri saya disebabkan saya tidak menyukainya. Padahal ia telah melahirkan seorang putri untuk saya yang mencintai saya dan saya pun sangat mencintainya. Namun saya tetap tidak menginginkan ibunya sebagai istri saya. Dulu saya menikahinya karena desakan ibu, juga karena usia saya yang masih muda, cepat menikah mendahului teman-teman saya. Sungguh saat itu saya belum berpikir jauh ke depan. Istri saya sebenarnya seorang wanita yang sangat mulia dan cerdas, hanya saja saya tidak mampu menjadikan hati saya merasa cukup dengannya. Apa yang harus saya lakukan, sementara bila saya menceraikannya, ibu saya akan kecewa dan saya sendiri khawatir setelah bercerai nanti istri saya tidak dapat menikah lagi dan ia akan tersia-siakan, karena seperti yang  saya katakan, ia putri bibi saya. Saya tidak menginginkan dirinya sengsara. Disamping itu, saya tidak inginkan putri saya yang tidak berdosa tersia-siakan. Ataukah saya harus tetap mempertahankannya dan bersabar dalam kegundahan saya lalu menikahi wanita lain namun jelas saya tidak dapat berlaku adil selama saya tidak mencintainya.”

Demikian problem yang diadukan, maka Al-Lajnah Ad-Da’imah yang saat itu masih diketuai Samahatusy Syaikh Ibnu Baz t memberikan jawaban, “Wajib bagi suami untuk bergaul dengan baik terhadap istrinya dan menahannya dalam pernikahan dengan cara yang ma’ruf. Kalau ia tidak menyukai istrinya maka ia boleh mentalaknya dengan talak satu, mudah-mudahan setelah itu keadaannya berubah (bisa mencintai istrinya) dan merujuk istrinya kembali. Engkau boleh menikahi wanita lain namun engkau harus berlaku adil di antara istri-istri tersebut dalam hal pemberian nafkah, tempat tinggal, dan mabit (bemalam/menginap), kecuali bila salah satu dari istri tersebut menggugurkan haknya pada salah satu dari perkara tersebut, maka ketika itu tidak ada dosa bagimu. Wa billahit taufiq. Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam.” (Fatwa no. 6723, dari Fatawa Al-Lajnah, 19/249-250)


1 Di antara definisi nusyuz adalah salah satu atau masing-masing dari suami istri tidak menyukai pasangannya. Demikian keterangan Al-Imam Al-Qurthubi t dalam tafsirnya.

2 Haditsnya ada dalam Ash-Shahihain.

Sungguh Alloh Akan Menghinakan Musuh Al Qur'an

Sungguh Alloh Akan Menghinakan Musuh Al Qur'an 

Nabi –shollallohu alaihi wasallam– telah bersabda:

إنَّ اللهَ لَيرفَعُ بهذا القُرآنِ أقوامًا ويضَعُ به آخَرينَ

Sungguh dengan sebab Kitab (Al Qur’an) ini, Allah akan mengangkat sekelompok kaum, dan dengannya pula Dia akan merendahkan sekelompok kaum yg lain” (HR. Muslim: 817).

Siapapun yang membela Al Qur’an, Allah akan mengangkat derajatnya. Sebaliknya siapapun yang merendahkannya, Allah akan meruntuhkan martabatnya.

Karena Al Qur’an adalah kalamullah; firman Allah yang Dia jamin penjagaannya dan kemurniannya. Maka merendahkannya berarti merendahkan Allah ta’ala. Sungguh Dia tidak akan rela dengan siapapun yang merendahkannya. Ingatlah, disamping Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang, Allah juga Maha Kuat Perkasa, serta Maha Pedih Siksa dan Hukuman-Nya.

Kaum Muslimin, jadilah pasukan-pasukan pembela Al Qur’an, sehingga Allah memuliakan kalian. Dan jangan sampai kalian merendahkan Al Qur’an atau membela orang-orang yang merendahkannya, sehingga Allah meruntuhkan martabat kalian.

Jangan sampai Anda menjadi pelajaran bagi orang lain. Tapi, cerdaslah, dan ambillah pelajaran dari orang lain.

Lihatlah orang-orang yang hari ini mencari ketenaran dan kedudukan dengan jalan merendahkan Al Qur’an atau membela orang yg merendahkan Al Qur’an, nantinya Allah pasti akan menghinakannya.

Allah azza wajalla telah berfirman:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Harusnya orang-orang yang menyelisihi perintah RasulNya, takut akan mendapatkan cobaan atau azab yg pedih” (QS. Annur: 63).

***