Tangan Di Atas Lebih Baik Dari Tangan Dibawah

Tangan Di Atas Lebih Baik Dari Tangan Dibawah

عَنْ حَكِيْمِ بْنِ حِزَامٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُوْلُ، وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ

Dari Hakîm bin Hizâm Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu. Dan sebaik-sebaik sedekah adalah yang dikeluarkan dari orang yang tidak membutuhkannya. Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya maka Allâh akan menjaganya dan barangsiapa yang merasa cukup maka Allâh akan memberikan kecukupan kepadanya.”

TAKHRIJ HADITS.
Hadits ini muttafaq ‘alaih. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri (no. 1427) dan Muslim no.1053 (124)

KOSA KATA HADITS.

اَلْيَدُ الْعُلْيَا : Tangan yang di atas (Orang yang memberi)
اَلْيَدُ السُّفْلَى : Tangan yang di bawah (orang yang menerima)
بِمَنْ تَعُوْلُ : Orang yang menjadi tanggunganmu, yaitu isteri, orang tua, anak-anak yang masih menjadi tanggungan orang tua dan pelayan (pembantu).
خَيْرٌ : Lebih baik.
ظَهْرُ غِنًى : Tidak membutuhkannya, lebih dari keperluan.
يَسْتَعْفِفْ : Menjaga kehormatan diri atau menahan diri dari meminta-minta.
يَسْتَغْنِي : Merasa cukup (dengan karunia Allâh).
SYARAH HADITS.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى

Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah

Yaitu orang yang memberi lebih baik daripada orang yang menerima, karena pemberi berada di atas penerima, maka tangan dialah yang lebih tinggi sebagaimana yang disabdakan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Al-Yadus Suflâ (tangan yang dibawah) memiliki beberapa pengertian:
Makna Pertama, artinya orang yang menerima, jadi maksudnya adalah orang yang memberi lebih baik daripada orang yang menerima. Namun ini bukan berarti bahwa orang yang diberi tidak boleh menerima pemberian orang lain. Bila seseorang memberikan hadiah kepadanya, maka dia boleh menerimanya, seperti yang terjadi pada Shahabat yang mulia ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu ketika beliau Radhiyallahu anhu menolak pemberian dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya:

خُذْهُ، وَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَأنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلاَ سَائِلٍ، فَخُذْهُ، وَمَا لَا، فَلاَ تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ

Ambillah pemberian ini! Harta yang datang kepadamu, sementara engkau tidak mengharapkan kedatangannya dan tidak juga memintanya, maka ambillah. Dan apa-apa yang tidak (diberikan kepadamu), maka jangan memperturutkan hawa nafsumu (untuk memperolehnya).”[1]

Demikian juga jika ada yang memberikan sedekah dan infak kepada orang miskin dan orang itu berhak menerima, maka boleh ia menerimanya.

Makna kedua, yaitu orang yang minta-minta, sebagaimana dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، اَلْيَدُ الْعُلْيَا هِيَ الْمُنْفِقَةُ، وَالسُّفْلَى هِيَ السَّائِلَةُ

Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Tangan di atas yaitu orang yang memberi infak dan tangan di bawah yaitu orang yang minta-minta.[2]

Makna yang kedua ini terlarang dalam syari’at bila seseorang tidak sangat membutuhkan, karena meminta-minta dalam syari’at Islam tidak boleh, kecuali sangat terpaksa. Ada beberapa hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang untuk meminta-minta, di antaranya sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّىٰ يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain sehingga ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan tidak ada sepotong daging pun di wajahnya.[3]

Hadits ini merupakan ancaman keras yang menunjukkan bahwa meminta-minta kepada manusia tanpa ada kebutuhan itu hukumnya haram. Oleh karena itu, para Ulama mengatakan bahwa tidak halal bagi seseorang meminta sesuatu kepada manusia kecuali ketika darurat.

Ancaman dalam hadits di atas diperuntukkan bagi orang yang meminta-minta kepada orang lain untuk memperkaya diri, bukan karena kebutuhan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ

Barangsiapa meminta-minta (kepada orang lain) tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api.’”[4]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا ، فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا ، فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ

Barangsiapa meminta harta kepada orang lain untuk memperkaya diri, maka sungguh, ia hanyalah meminta bara api, maka silakan ia meminta sedikit atau banyak.[5]

Adapun meminta-minta karena adanya kebutuhan yang sangat mendesak, maka boleh karena terpaksa. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ

Dan terhadap orang yang meminta-minta, janganlah engkau menghardiknya.” [Adh-Dhuhâ/93:10]

Dan juga seperti dalam hadits Qâbishah yang panjang, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (no. 1044) dan lainnya.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُوْلُ

Dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu

Yaitu saat ingin memberikan sesuatu, hendaknya manusia memulai dan memprioritaskan orang yang menjadi tanggungannya, yakni yang wajib ia nafkahi. Menafkahi keluarga lebih utama daripada bersedekah kepada orang miskin, karena menafkahi keluarga merupakan sedekah, menguatkan hubungan kekeluargaan, dan menjaga kesucian diri, maka itulah yang lebih utama. Mulailah dari dirimu! Lalu orang yang menjadi tanggunganmu. Berinfak untuk dirimu lebih utama daripada berinfak untuk selainnya, sebagaimana dalam hadits, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

اِبْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ

Mulailah dari dirimu, bersedekahlah untuknya, jika ada sisa, maka untuk keluargamu[6]

Dalam hadits di awal rubrik ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh umatnya untuk memulai pemberian nafkah dari keluarga. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

دِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِيْ رَقَبَةٍ، وَدِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِيْنٍ، وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ، أَعَظَمُهَا أَجْرًا الَّذِيْ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ.

Satu dinar yang engkau infaqkan di jalan Allâh, satu dinar yang engkau infakkan untuk memerdekakan seorang hamba (budak), satu dinar yang engkau infakkan untuk orang miskin, dan satu dinar yang engkau infakkan untuk keluargamu, maka yang lebih besar ganjarannya ialah satu dinar yang engkau infakkan untuk keluargamu[7]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى

Dan sebaik-sebaik sedekah adalah yang dikeluarkan dari orang yang tidak membutuhkannya

Artinya sedekah terbaik yang diberikan kepada sanak keluarga, fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan adalah sedekah yang berasal dari kelebihan harta setelah keperluan terpenuhi. Artinya, setelah dia memenuhi keperluan keluarganya secara wajar, baru kemudian kelebihannya disedekahkan kepada fakir miskin.

Hadits yang serupa dengan pembahasan ini yaitu hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu , Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا يَكُنْ عِنْدِيْ مِنْ خَيْرٍ فَلَنْ أَدَّخِرَهُ عَنْكُمْ،وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ، وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللهُ، وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ


Apa saja kebaikan yang aku punya, aku tidak akan menyembunyikannya dari kalian. Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya dari kejelekan, maka Allâh akan menjaganya. Barangsiapa merasa cukup (dengan karunia Allâh) maka Allâh akan mencukupinya. Barangsiapa melatih diri untuk bersabar, maka Allâh akan menjadikannya sabar. Dan tidaklah seseorang diberi sebuah pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada anugerah kesabaran.[8]

Hadits ini mengandung empat kalimat yang bermanfaat dan menyeluruh yaitu:

Kalimat Pertama :

وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ

Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya dari kejelekan, maka Allâh akan menjaganya

 Kalimat Kedua :

ومَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ

Barangsiapa merasa cukup (dengan karunia Allâh) maka Allâh akan mencukupinya

Kedua kalimat di atas saling berkaitan, karena kesempurnaan penghambaan diri seorang hamba kepada Allâh Azza wa Jalla terletak dalam keikhlasannya kepada Allâh, takut, harap, dan bergantung kepada-Nya, tidak kepada makhluk. Oleh karena itu, wajib baginya untuk berusaha merealisasikan kesempurnaan tersebut, mengerjakan semua sebab dan perantara yang bisa mengantarkannya kepada kesempurnaan tersebut. Sehingga dia menjadi hamba Allâh yang sejati, bebas dari perbudakan seluruh makhluk. Dan itu didapat dengan mencurahkan jiwanya pada dua perkara;

Meninggalkan ketergantungan pada seluruh makhluk dengan menjauhkan diri dari apa-apa yang ada pada mereka. Tidak meminta kepada mereka dengan perkataan maupun keadaannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Umar Radhiyallahu anhu :


خُذْهُ، وَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلاَ سَائِلٍ، فَخُذْهُ، وَمَا لَا، فَلاَ تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ.

Ambillah pemberian ini. Harta yang datang kepadamu, sedang engkau tidak mengharapkan kedatangannya dan tidak juga memintanya, maka ambillah! Dan apa-apa yang tidak (diberikan kepadamu), maka jangan memperturutkan hawa nafsumu (untuk memperolehnya)[9]

Maka menghilangkan ketamakan dari dalam hati serta menjauhkan lisan dari meminta-minta demi menjaga diri dan menjauhkan diri dari pemberian makhluk serta menjauhkan diri ketergantungan hati terhadap mereka, merupakan faktor yang kuat untuk memperoleh ‘iffah (kesucian diri dan dijauhkan dari hal-hal yang tidak halal atau tidak baik).

Merasa cukup dengan Allâh Azza wa Jalla , percaya dengan kecukupan-Nya, karena barangsiapa bertawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla , maka Allâh Azza wa Jalla akan mencukupinya. Inilah yang dimaksudkan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya:


وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ 

Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allâh, niscaya Allâh akan mencukupkan (keperluan)nya…” [Ath-Thalâq/65:3]

Potongan kalimat yang pertama yaitu sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “ Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya, maka Allâh akan menjaganya,” merupakan wasîlah (cara) untuk sampai kepada hal ini. Yaitu barangsiapa menjaga kehormatan dirinya dari apa-apa yang ada pada manusia dan apa-apa yang didapat dari mereka, maka itu mendorong dirinya untuk semakin bertawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla , berharap, semakin menguatkan keinginannya dalam (meraih) kebaikan dari Allâh Azza wa Jalla , dan berbaik sangka kepada Allâh serta percaya kepada-Nya. Allâh Azza wa Jalla bersama hamba-Nya yang berprasangka baik kepada-Nya; jika hamba tersebut berprasangka baik, maka itu yang dia dapat. Dan jika ia berprasangka buruk, maka itu yang dia dapat.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits bahwa Allâh Azza wa Jalla berfirman:

أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ

Aku bersama prasangka hamba-Ku terhadap-Ku[10]

Masing-masing dari dua hal tersebut saling membangun dan saling menguatkan. Semakin kuat ketergantungannya kepada Allâh Azza wa Jalla , maka akan semakin lemah ketergantungannya kepada seluruh makhluk. Begitu juga sebaliknya, semakin kuat ketergantungan manusia kepada makhluk, maka semakin lemah ketergantungannya kepada Allâh Azza wa Jalla . Di antara do’a Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu:

اللهم إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْهُدَى، وَالتُّقَى، وَالْعَفَافَ، وَالْغِنَى

Ya Allâh, sesungguhnya aku memohon kepadamu petunjuk, ketakwaan, kesucian (dijauhkan dari hal-hal yang tidak halal dan tidak baik), dan aku memohon kepada-Mu kecukupan (dijauhkan dari hal-hal yang tidak halal/tidak baik), dan aku memohon kepada-Mu kecukupan.[11]

Doa yang singkat ini telah mencakup seluruh kebaikan, yaitu:

Petunjuk : yaitu memohon hidayah ilmu yang bermanfaat.
Ketakwaan : Takwa kepada Allâh yaitu dengan mengerjakan amal-amal shalih dan meninggalkan segala hal yang haram. Inilah kebaikan agama.
Yang menyempurnakan itu semua adalah keshalihan hati dan ketenangannya yang dapat diraih dengan menjauhkan diri dari makhluk dan merasa cukup dengan Allâh Azza wa Jalla. Barangsiapa merasa cukup dengan Allâh Azza wa Jalla, maka dia adalah orang kaya yang sesungguhnya, walaupun penghasilannya sedikit. Karena kekayaan bukanlah dengan banyaknya harta, tetapi kekayaan yaitu kekayaan hati. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

 (Hakikat) kaya bukanlah dengan banyaknya harta benda, namun kaya (yang sebenarnya) adalah kaya hati (merasa ridha dan cukup dengan rezeki yang dikaruniakan)[12]

Dengan iffah (kesucian diri) dan merasa berkecukupan maka akan terwujud kehidupan yang baik bagi seorang hamba, nikmat dunia, dan qanâ’ah (merasa puas) atas apa yang Allâh berikan padanya.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ

Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberikan rezeki yang cukup, dan dia merasa puas dengan apa yang Allâh berikan kepadanya[13]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

طُوْبَى لِمَنْ هُدِيَ إِلَى الْإِسْلَامِ، وَكَانَ عَيْشُهُ كَفَافًا، وَقَنِعَ

Berbahagialah orang yang mendapat petunjuk untuk memeluk Islam, dan diberi rezeki yang cukup serta merasa puas (qana’ah)[14]

Orang yang merasa cukup dan qanâ’ah (merasa puas dengan apa yang Allâh karuniakan) –meskipun dia hanya mempunyai bekal dan makanan hari itu saja– maka seolah-olah ia memiliki dunia dan seisinya.

Kalimat ketiga:

وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللهُ

Barang siapa yang melatih diri untuk bersabar, maka Allâh akan menjadikan dia sabar

Kemudian disebutkan dalam kalimat keempat  bahwa jika Allâh Azza wa Jalla memberikan kesabaran kepada seorang hamba, maka pemberian itu merupakan anugerah yang paling utama dan pertolongan yang paling luas serta paling agung. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ

Dan mohonlah pertolongan (kepada Allâh) dengan sabar dan shalat…” [Al-Baqarah/2:45], yaitu dalam setiap perkara kalian.

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :

وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِاللَّهِ ۚ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِي ضَيْقٍ مِمَّا يَمْكُرُونَ

Dan bersabarlah (Muhammad) dan kesabaranmu itu semata-mata dengan pertolongan Allâh dan janganlah engkau bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan jangan (pula) bersempit dada terhadap tipu daya yang mereka rencanakan.”[An-Nahl/16:127]

Sabar, seperti halnya akhlak-akhlak terpuji lainnya, membutuhkan kesungguhan jiwa dan latihan. Karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang melatih diri untuk bersabar,” yaitu orang yang mencurahkan jiwanya untuk bersabar, “Maka Allâh Azza wa Jalla akan menjadikannya sabar,” yaitu Allâh akan menolongnya agar ia bisa bersabar.

Sabar itu merupakan pemberian yang paling agung, karena ia berkaitan dengan semua urusan seorang hamba dan sebagai penyempurnanya. Seorang hamba membutuhkan kesabaran dalam segala keadaan selama hidupnya.

Baca Juga  Larangan Saling Mendengki
Seorang hamba membutuhkan kesabaran dalam segala hal, di antaranya:

Dalam menjalankan ketaatan kepada Allâh sampai dia bisa mengerjakan dan menunaikannya
Sabar dalam menjauhkan maksiat kepada Allâh sampai dia bisa meninggalkannya karena Allâh Azza wa Jalla
Sabar atas takdir-takdir Allâh yang menyakitkan sampai dia tidak marah karenanya,
Bahkan seorang hamba membutuhkan sabar atas nikmat-nikmat Allâh dan hal-hal yang dicintai oleh jiwa, sehingga dia tidak membiarkan jiwanya tenggelam dalam kesenangan dan kegembiraan yang tercela, tetapi dia terus menyibukkannya dengan bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla .
Kesimpulannya, seorang hamba membutuhkan kesabaran dalam setiap keadaannya. Dengan kesabaran, seorang hamba akan mendapat kemenangan. Allâh Azza wa Jalla menyebutkan tentang penghuni surga dalam firman-Nya :

وَالْمَلَائِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِمْ مِنْ كُلِّ بَابٍ ﴿٢٣﴾ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ ۚ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ

“…Sedangkan para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu;(sambil mengucapkan), ‘Selamat sejahtera atasmu karena kesabaranmu.’ maka alangkah nikmatnya tempat kesudahan itu.” [Ar-Ra’du/13: 23-24]

Begitu juga firman-Nya :

أُولَٰئِكَ يُجْزَوْنَ الْغُرْفَةَ بِمَا صَبَرُوا

Mereka itu akan diberi balasan dengan tempat yang tinggi (dalam surga) atas kesabaran mereka… [Al-Furqân/25:75]

Mereka mendapatkan surga berserta kenikmatannya dan mendapatkan tempat-tempat yang tinggi karena kesabaran. Seorang hamba harus meminta kepada Allâh Azza wa Jalla agar diselamatkan dari cobaan yang tidak diketahui akibatnya, namun jika cobaan itu datang kepadanya, maka kewajibannya adalah bersabar.

Dalam al-Qur’ân dan lewat lisan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allâh Azza wa Jalla telah berjanji akan memberikan perkara-perkara yang tinggi dan mulia bagi orang-orang yang bersabar. Di antara perkara-perkara tersebut:

Allâh Azza wa Jalla berjanji akan menolong mereka dalam semua urusan. (Al-A’râf/7:137)
Allâh Azza wa Jalla bersama mereka dengan pertolongan, taufik, dan kelurusan dari-Nya (Al-Anfâl/8: 46)
Allâh Azza wa Jalla mencintai orang-orang yang bersabar. (Ali ‘Imrân/3:146)
Allâh Azza wa Jalla menguatkan hati dan kaki mereka, memberi ketenangan kepada mereka, memudahkan mereka untuk melakukan ketaatan dan menjaga mereka dari perselisihan.
Allâh Azza wa Jalla mengaruniakan kepada mereka shalawat, rahmat, dan hidayah ketika musibah menimpa mereka. (Al-Baqarah/2:155-157)
Allâh Azza wa Jalla meninggikan derajat mereka di dunia dan akhirat.
Allâh Azza wa Jalla menjanjikan kemenangan buat mereka, akan memberikan kemudahan, dan menjauhkan mereka dari kesulitan.
Allâh Azza wa Jalla menjanjikan kebahagiaan, keberuntungan, dan kesuksesan buat mereka. (Ali ‘Imrân/3:200)
Allâh Azza wa Jalla memberi mereka ganjaran tanpa perhitungan. (Az-Zumar/39:10)
Sabar itu awalnya sangat sulit, tetapi akhirnya mudah dan terpuji. Sebagaimana dikatakan:

وَالصَّبْرُ مِثْلُ اسْمِهِ مُرٌّ مَذَاقَتُهُ               لَكِنْ عَوَاقِبُهُ أَحْلَى مِنَ الْعَسَلِ

Sabar itu pahit rasanya seperti namanya
Tetapi akhirnya lebih manis daripada madu

FAWAA-ID.

Orang yang memberi lebih baik daripada orang yang menerima.
Dianjurkan bersedekah dan berinfak kepada kaum Muslimin yang membutuhkan.
Minta-minta hukumnya haram dalam Islam.
Bila seseorang diberi sesuatu tanpa diminta, maka ia boleh menerimanya.
Seorang Muslim wajib memberi nafkah kepada orang yang berada dalam pemeliharaan, seperti isteri, anak, orang tua dan pembantu.
Dimakruhkan menyedekahkan apa yang masih dibutuhkan atau menyedekahkan seluruh apa yang dimilikinya, sehingga dia tidak terpaksa meminta-minta kepada orang lain.
Sebaik-baik sedekah yaitu sedekah yang diambilkan dari kelebihan harta setelah kebutuhan kita terpenuhi.
Memelihara diri dari meminta-minta dan merasa cukup dengan pemberian Allâh Azza wa Jalla dapat membuahkan rezeki yang baik dan jalan menuju kemuliaan.
Orang yang menjaga kehormatan dirinya (‘iffah), maka Allâh Azza wa Jalla akan menjaganya.
Orang-orang yang tidak meminta-minta kepada manusia, maka dia akan mulia.
Orang yang qanâ’ah (merasa puas dengan rezeki yang Allâh Azza wa Jalla karuniakan), dia adalah orang yang paling kaya.
Orang yang merasa cukup dengan rezeki yang Allâh karuniakan kepadanya, maka Allâh Azza wa Jalla akan mencukupinya.
Orang yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla wajib menghilangkan ketergantungan hatinya kepada makhluk. Dia wajib bergantung hanya kepada Allâh Azza wa Jalla .
Orang yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla wajib bertawakkal hanya kepada Allâh dan merasa cukup dengan rezeki yang Allâh karuniakan.
Seorang Mukmin wajib melatih dirinya untuk sabar.
Wajib sabar dalam melaksanakan ketaatan, sabar dalam menjauhkan dosa dan maksiat, serta sabar dalam menghadapi cobaan dan ujian.
Pemberian yang paling baik yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada seorang hamba adalah kesabaran.
MARAAJI’:

Kutubussittah
Musnad Imam Ahmad bin Hanbal.
Bahjatun Nâzhiriin Syarh Riyâdhis Shâlihî
Syarh Riyâdhis Shâlihîn, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.
Bahjatu Qulûbil Abrâr fii Syarh Jawâmi’il Akhbâr, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di.
‘Idatush Shâbirîn wa Dzakhîratusy Syâkirîn, Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah.


Footnote
[1] Muttafaq ‘alaih: HR. Al-Bukhâri (no. 1473) dan Muslim (no. 1045 (110))
[2] Muttafaq ‘alaih: HR. Al-Bukhâri (no. 1429) dan Muslim (no. 1033), dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma.
[3] Muttafaq ‘alaih: HR. Al-Bukhâri (no. 1474) dan Muslim (no. 1040 (103)).
[4] Shahih: HR. Ahmad (IV/165), Ibnu Khuzaimah (no. 2446), dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (IV/15, no. 3506-3508). Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 6281), dari Hubsyi bin Junadah Radhiyallahu anhu
[5] Shahih: HR. Muslim (no. 1041), Ahmad (II/231), Ibnu Majah (no. 1838), Ibnu Abi Syaibah dalam al–Mushannaf (no. 10767), al-Baihaqi (IV/196), Abu Ya’la (no. 6061), dan Ibnu Hibbân (no. 3384-at-Ta’lîqâtul Hisân).
[6] Shahih: HR. Muslim (no. 997), dari Jâbir Radhiyallahu anhu
[7] Shahih:HR. Muslim(no. 995), dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[8] Muttafaq ‘alaih: Al-Bukhâri (no. 1469, 6470) dan Muslim (no. 1053 (124)) dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu
[9] Muttafaq ‘alaih: HR. Al-Bukhâri (no. 1473) dan Muslim (no. 1045 (110)).
[10] Muttafaq ‘alaih: HR.Al-Bukhâri (no. 7405, 7505) dan Muslim (no. 2675) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[11] Shahih: HR. Muslim (no. 2721), at-Tirmidzi (no. 3489), Ibnu Majah (no. 3832), dan Ahmad (I/416, 437), dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhuma
[12] Shahih: HR. Ahmad (II/243, 261, 315), Al-Bukhâri (no. 6446), Muslim (no. 1051), dan Ibnu Majah (no. 4137), dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[13] Shahih: HR. Muslim (no. 1054) dari Shahabat ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu
[14] Shahih: HR. Ahmad (VI/19), at-Tirmidzi (no. 2349), al-Hâkim (I/34, 35), ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabîr (XVIII/786, 787), dan selainnya dari Fadhâlah bin ‘Ubaid al-Anshâri Radhiyallahu anhu.

Doa Agar Diterima Amal Ibadah Dan Taubat (Doa Nabi Ibrahim)

Doa Agar Diterima Amal Ibadah Dan Taubat (Doa Nabi Ibrahim)

رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ، وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

Robbanaa taqobbal minnaa, innaka antas-sami’ul ‘aliim. Wa tub ‘alainaa, innaka antat-tawwaabur-rohiim.

“Ya Tuhan kami, terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (Al Baqarah [2]: 127 dan 128). ([1])

_____________________________

([1]) Ini adalah doa Nabi Ibrahim dan Nabi Isma’il ketika meninggikan pondasi Ka’bah. Ibnu Katsir dalam tafsirnya membawakan riwayat dari Wuhaib bin Al-Ward ketika membaca ayat ini dia menangis lalu berkata:

يَا خَلِيلَ الرَّحْمَنِ، تَرْفَعُ قَوَائِمَ بَيْتِ الرَّحْمَنِ وَأَنْتَ مُشْفق أَنْ لَا يَتَقَبَّلَ مِنْكَ

“wahai kekasih Ar-Rahman, engkau membangun pondasi-pondasi rumah Ar-Rahman sedangkan engkau khawatir tidak diterima darimu.”

Dan juga beliau menyebutkan firman Allah subhanahu wa ta’ala yang lain yang menjelaskan tentang keadaan orang-orang yang beriman yang ikhlas ketika melakukan amalan baik hati-hati mereka khawatir tidak diterima amalan mereka,

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَىٰ رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ

“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” QS. Al-Mu’minun: 60 (lihat: Tafsir Ibnu Katsir 1/427)

Menyia-nyiakan Waktu Lebih Berbahaya Dari Kematian

Menyia-nyiakan Waktu Lebih Berbahaya Dari Kematian 

Waktu sangatlah berharga. Begitu berharganya waktu, menyia-nyiakannya adalah bentuk puncak kerugian, bahkan lebih berbahaya dari kematian.

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata,

إضاعةُ الوقت أشدُّ من الموت ؛ لأنَّ إضاعة الوقت تقطعك عن الله والدار الآخرة، والموتُ يقطعك عن الدنيا وأهلها

“Menyia-nyiakan waktu lebih berbahaya dari kematian, karena menyia-nyiakan waktu akan memutuskanmu dari Allah dan negeri akhirat, sedangkan kematian hanya memutuskan dirimu dari dunia dan penduduknya”. [Al-Fawaid hal 44]

Apabila waktu di sia-siakan terus-menerus maka untuk apa ia hidup? Waktunya tidak bermanfaat baik untuk dirinya dan orang lain. Waktu hanya digunakan untuk bermain-main dan bersenda gurau saja?

Begitu Berharganya Waktu

Ketika Allah bersumpah dengan salah satu makhluk-Nya dalam Al-Quran, hal ini menunjukkan makhluk tersebut memiliki keistimewaan. Allah bersumpah dengan waktu dalam Al-Quran dalam beberapa ayat. Misalnya “wal-ashri” (demi masa), “wad-dhuha” (demi waktu dhuha), “wal-lail” (demi waktu malam) dan lain-lainnya. Waktu memang sangat berharga dan harus dipergunakan dengan sebaik mungkin untuk hal-hal yang bermanfaat.

Manusia pun sepakat bahwa waktu itu berharga. Misalnya orang barat mengatakan “time is money”. Pepatah Arab juga menyebutkan waku itu penting:

اَلْوَقْتُ أَنْفَاسٌ لَا تَعُوْدُ

“Waktu adalah nafas yang tidak mungkin akan kembali.”

Orang sukses dunia-akhirat akan sangat menyesal jika waktunya terbuang percuma tanpa manfaat dan faidah. Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata,

ﻣَﺎ ﻧَﺪِﻣْﺖُ ﻋَﻠَﻰ ﺷَﻲْﺀٍ ﻧَﺪَﻣِﻲ ﻋَﻠَﻰ ﻳَﻮْﻡٍ ﻏَﺮَﺑَﺖْ ﴰَﺴْﻪُ ﻧَﻘَﺺَ ﻓِﻴْﻪِ ﺃَﺟَﻠِﻲ ﻭَﱂَ ْﻳَﺰِﺩْ ﻓِﻴْﻪِ ﻋَﻤَﻠِﻲ

“Tiada yang pernah kusesali selain keadaan ketika matahari tenggelam, ajalku berkurang, namun amalanku tidak bertambah.” (Lihat Miftahul Afkar)

Mereka juga pelit dengan waktu mereka, Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,

أَدْرَكْتُ أَقْوَامًا كَانَ أَحَدُهُمْ أَشَحَّ عَلَى عُمْرِهِ مِنْهُ عَلَى دِرْهَمِهِ

“Aku menjumpai beberapa kaum, salah satu dari mereka lebih pelit terhadap umurnya (waktunya) dari pada dirham (harta) mereka”(Al-‘Umru was Syaib no. 85)

Sibukkan diri dengan hal positif dan bermanfaat

Perhatikan perkataan emas yang dinukil oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berikut,

وَنَفْسُكَ إِنْ أَشْغَلَتْهَا بِالحَقِّ وَإِلاَّ اشْتَغَلَتْكَ بِالبَاطِلِ

“Jika dirimu tidak disibukkan dengan hal-hal yang baik, PASTI akan disibukkan dengan hal-hal yang batil” (Al Jawabul Kaafi hal 156)

Ini adalah kaidah dalam kehidupan. Apabila waktu kita tidak diisi dengan kegiatan positif, pasti diisi oleh kegiatan negatif. Paling minimal diisi dengan hal yang sia-sia dan tidak bermanfaat. Buat program, rencana serta target hidup ke depan agar hari-hari kita selalu terisi oleh hal-hal dan kegiatan yang positif.

Hendaknya kita perhatikan dan kita atur dengan baik, waktu dan umur yang telah Allah berikan kepada kita. Mayoritas manusia banyak lalai dan menyia-nyiakan waktu.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

“Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang” (HR. Bukhari no. 6412)

Demikian semoga bermanfaat.

Makanan Majikan Dan Makanan Pembantu

Makanan Majikan Dan Makanan Pembantu 

Alhamdulillāh
Washshalātu wassalāmu ‘alā rasūlillāh, wa ‘alā ālihi wa ash hābihi ajma’in.
Saudaraku yang mencintai Sunnah dan dicintai oleh Alloh, banyak diantara kita yang belum tau bahwa pelayan atau pembantu dirumah kita memiliki hak yang sama dengan kita perihal makanan yang dimakan. Seringkali kita dengar bahwa majikan makan di meja makan, sementara pembantu makan di dapur. Begitupula makanan, makanan majikan dan makanan pembantu berbeda, sang majikan makan ayam goreng, pembantu makannya tempe dibalut tepung ayam goreng. Benarkah ini? Bagaimana adab yang diajarkan Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam? Beliau bersabda:

إِذَا أَتَى أَحَدَكُمْ خَادِمُهُ بِطَعَامِهِ فَإِنْ لَمْ يُجْلِسْهُ مَعَهُ فَلْيُنَاوِلْهُ لُقْمَةً أَوْ لُقْمَتَيْنِ، أَوْ أَكْلَةً أَوْ أَكْلَتَيْنِ، فَإِنَّهُ وَلِيَ حَرَّهُ وَعِلَاجَهُ

“Apabila pelayan seseorang di antara kalian datang menyuguhkan makanan, lalu ia tidak mau mempersilakan pelayan untuk makan bersamanya, maka hendaklah ia memberikan kepadanya sesuap atau dua suap makanan, sepiring atau dua piring makanan, karena sesungguhnya pelayanlah yang memasak dan yang menghidangkannya” (HR Bukhori no 5066, Muslim no 3150)

Bagitulah saudaraku, tempat boleh beda, tapi makanannya tetap sama..

Wallohu A’lam

Fenomena Kekerasan Disekolah

Fenomena Kekerasan Disekolah 

Bullying (perundungan) menjadi sorot perhatian banyak masyarakat beberapa pekan terakhir. Pasalnya, beberapa peristiwa yang terjadi membuat kita bergeleng-geleng kepala karena heran dan geram. Bagaimana mungkin seorang anak sekolah dasar tega menusuk temannya dengan tusuk sate? Bagaimana mungkin seorang anak sekolah menengah pertama tega menyiksa temannya karena alasan sepele? Ditambah berita tentang seorang anak terjun dari lantai atas sekolah karena cekcok dengan temannya. Dan semua itu terjadi di lembaga-lembaga pendidikan.

Sebenarnya, apa atau siapa yang salah? Sebelum lebih jauh menyalahkan banyak pihak, mari kita simak bagaimana Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama menyatakan tentang kondisi zaman secara umum dalam sabdanya,

لا يأتي عليكم عامٌ ولا يومٌ إلَّا والذي بعده شرٌّ منْهُ ، حتى تَلْقَوْا ربَّكم

Tidaklah datang suatu masa di antara kalian yang kondisi masa tersebut lebih buruk dari sebelumnya. Sampai kalian berjumpa dengan Rabb kalian.” (Shahih Al-Jami’, no. 7576)

Tentu saja ini tidak berlaku secara mutlak. Hanya saja, memang kenyataannya dari masa ke masa berita-berita keburukan seolah menjadi hal yang biasa kita dengar, bahkan dilakukan oleh sekelompok orang yang sebelumnya kita tidak terbiasa mendengar kejahatan bisa berasal dari tangan mereka. Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu menjelaskan,

وهذا هو الواقع، فكلما تقدم الزمان، وتأخر عهد النبوة؛ قل العلم، وكثر الجهل، كما هو الحال اليوم في القرن الخامس عشر، والرابع عشر الماضي، فإن العلم قد قل كثيرًا، والجهل قد انتشر في غالب البلدان، فقل أن تجد بلدًا فيها العلماء الذين يكفون لحاجة البلاد، ويشار إليهم بالعلم، والفضل، والاستقامة، فالمصيبة عظيمة. 

Inilah yang terjadi. Semakin ke sini dan semakin jauh dengan masa kenabian, maka ilmu semakin sedikit dan merebaklah kebodohan. Sebagaimana terjadi di abad 14 dan 15 Hijriah yang menunjukkan betapa ahli ilmu semakin sedikit dan kebodohan kian menyebar di seantero negeri. Jarang sekali kau temui negeri yang ulama di dalamnya mencukupi kebutuhan negeri tersebut, yang menjadi rujukan ilmu, keutamaan, dan keteguhan. Sungguh musibah ini begitu berat.” (binbaz.org)

Namun, akankah kita diam saja dengan peristiwa ini? Tentu saja tidak. Bagaimana pun, agama Islam tidak pernah membenarkan perilaku bullying sama sekali. Baik verbal, fisik, sosial, dan emosional. Sebagaimana dalam beberapa dalil berikut ini.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama melarang dari menyakiti dan mencela sesama (verbal and physical bullying)

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama secara tegas melarang seorang muslim mencela. Sebagaimana dalam sabda beliau,

سِبابُ المُسْلِمِ فُسُوقٌ، وقِتالُهُ كُفْرٌ

Mencela sesama muslim adalah bentuk kefasikan dan memeranginya adalah bentuk kekufuran.” (HR. Bukhari no. 6044)

Setiap pembicaraan yang mengarah kepada terjatuhnya kehormatan seorang muslim tanpa haknya atau perbuatan yang menjadikan seorang muslim tersakiti, maka keduanya merupakan bentuk keharaman yang secara tegas dilarang di dalam Islam.

Suatu ketika, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah ditertawakan karena betisnya yang kecil. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama pun menghardik orang-orang yang tertawa sembari mengatakan,

والَّذي نَفْسي بيَدِه لَهُما أثقَلُ في المِيزانِ مِن أُحدٍ

Demi Allah, jika kedua kakinya diletakkan di timbangan hari kiamat, niscaya lebih berat dari gunung Uhud.” (HR. Al-Hakim no. 5479)

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihiwasallama melarang umatnya dari menjatuhkan kehormatan (social bullying)

Dalam beberapa hadis, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama melarang umatnya dari melakukan perbuatan yang berpotensi menjatuhkan kehormatan seorang muslim. Seperti teguran beliau dari perbuatan ghibah,

إنْ كانَ فيه ما تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وإنْ لَمْ يَكُنْ فيه فقَدْ بَهَتَّهُ

Jika memang benar apa yang kalian katakan tentangnya, maka hal tersebut adalah ghibah. Dan jika tidak benar, maka kalian telah berdusta atasnya.” (HR. Muslim no. 2589)

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama juga melarang keras umatnya dari gemar membuat desas-desus atau namimah. Sebagaimana dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallama,

لا يَدْخُلُ الجَنَّةَ نَمَّامٌ

Para pengadu domba tidak akan masuk surga.” (HR. Muslim no. 105)

Sikap kita sebagai orang tua

Lantas, bagaimana sikap kita sebagai orang tua agar anak kita terhindar dari kejahatan bullying atau bahkan agar anak kita tidak terjatuh ke dalam perilaku yang buruk ini? Ada beberapa nilai yang orang tua harus tanamkan kepada buah hati mereka sejak dini.

Tanamkan tentang empati dan penghormatan

Kepekaan seseorang untuk memahami sekitarnya dan menyikapinya dengan penuh penghormatan adalah sebuah sikap yang harus dimiliki oleh seorang muslim. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda,

مَن لم يَرحَمِ الناسَ لا يَرْحَمْهُ اللهُ

Siapa saja yang tidak menyayangi manusia, maka Allah tidak akan menyayanginya pula.” (HR. At-Tirmidzi no. 1922)

Begitu pun dalam sabda yang lainnya,

ليسَ منَّا من لم يرحَم صغيرَنا ويعرِفْ شرَفَ كبيرِنا

Orang-orang yang tidak menyayangi yang lebih muda atau menghormati yang lebih tua bukanlah termasuk golongan kami.” (Shahih At-Tirmidzi, no. 1920)

Hadis-hadis di atas menunjukkan bahwa Islam sama sekali tidak pernah mengajarkan seseorang untuk ngelamak (tidak sopan) kepada siapapun. Baik kepada yang lebih muda ataupun yang lebih tua. Dan yang terpenting untuk mengajarkan aspek empati ini adalah dengan teladan kedua orang tuanya. Seorang anak akan meniru bagaimana kedua orang tuanya memperlakukan orang-orang terdekatnya. Bagaimana ayahnya bersikap terhadap ibunya, bagaimana ibunya ketika berbincang dengan ayahnya, dan sebagainya.

Tanamkan keberanian

Perlu juga mengajarkan kepada anak-anak kita agar mereka menjadi anak yang berani. Tidak harus dengan melawan bullying yang mereka terima (semoga Allah hindarkan buah hati kita dari segala macam keburukan), namun paling tidak berani mengadukan kepada orang tuanya atau orang-orang yang memiliki hak untuk menyelesaikan masalah adalah sebuah keberanian yang patut untuk terus dipupuk.

Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan,

Banyak manusia yang mengidentikkan keberanian dengan kekuatan. Padahal keduanya jelas berbeda. Berani adalah ketegaran hati dalam menghadapi sesuatu meskipun tidak punya kekuatan untuk membalas.”

وَكَانَ الصّديق رَضِي الله عَنهُ أَشْجَع الْأمة بعد رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم، وَكَانَ عمر وَغَيره أقوى مِنْهُ، وَلَكِن برز على الصَّحَابَة كلهم بثبات قلبه فِي كل موطن من المواطن الَّتِي تزلزل الْجبَال، وَهُوَ فِي ذَلِك ثَابت الْقلب، رابط الجأش، يلوذ بِهِ شجعان الصَّحَابَة وأبطالهم، فيُثَبِّتهم ويشجعهم 

Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu adalah orang yang paling berani setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama, sementara Umar radhiyallahu ‘anhu dan yang lainnya lebih kuat dari Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu. Akan tetapi, para sahabat bersaksi bahwa keteguhan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu dalam setiap kondisi yang bahkan gunung saja runtuh dengannya sementara beliau tetap tidak bergeming, yang membakar keberanian sahabat lainnya.” (Al-Furusiyah, hal. 500)

Maka, didiklah anak kita menjadi anak-anak yang berani. Bukan berani yang sembarangan, melainkan berani menyuarakan kebaikan dan melawan keburukan. Ajarkan mereka tidak takut menghadapi berbagai macam situasi termasuk bullying. Semoga Allah jaga anak-anak kita dari perilaku yang merusak ini.

***