Surat Al Ikhlas Setara Dengan Sepertiga Al Qur'an

Surat Al Ikhlas Setara Dengan Sepertiga Al Qur'an 

Kasih sayang dan rahmat Allah Ta’ala begitu luas. Terkadang Allah berikan keutamaan khusus untuk suatu umat, mengganti pendeknya umur mereka dengan tambahan pahala atas amalan-amalan yang mudah dilakukan. Salah satu contohnya adalah keutamaan membaca surah Al-Ikhlas, di mana pahala yang didapatkan oleh pembacanya setara dan sebanding dengan pahala membaca sepertiga Al-Qur’an.

Yang mengherankan, sebagian dari mereka bukannya menjadikan hal ini sebagai pendorong dan motivasi untuk memperbanyak kebaikan serta bersemangat di dalamnya. Justru semakin malas dan futur dari melakukan kebaikan atau ia hanya takjub saja dengan keutamaan tersebut, namun justru menjauhinya.

Hadis-Hadis yang menunjukkan Al-Ikhlas sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an

Pertama: Dari sahabat Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu, ada seorang lelaki yang mendengar laki-laki lain membaca surah Al-Ikhlas dengan diulang-ulang. Pada keesokan harinya, ia mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan melaporkannya, seakan ia menganggap remeh surah Al-Ikhlas. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda,

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّهَا لَتَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ

“Demi Zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, ia sebanding dengan sepertiga Al-Qur`an.” (HR. Bukhari no. 5013, Abu Dawud no. 1461, Nasa’i no. 995 dan Ahmad no. 11306)

Kedua: Dari sahabat Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَقْرَأَ فِي لَيْلَةٍ ثُلُثَ الْقُرْآنِ؟

“Apakah salah seorang dari kalian tidak mampu untuk membaca sepertiga Al-Qur`an dalam satu malam?“

Maka, para sahabat pun berkata, “Bagaimana caranya kami bisa membaca sepertiga Al-Qur’an?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda,

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ تَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ

“Qulhuwallahu ahad (surah Al-Ikhlas) sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an.” (HR. Muslim no. 811)

Ketiga: Di hadis yang lain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

احْشُدُوا فَإِنِّي سَأَقْرَأُ عَلَيْكُمْ ثُلُثَ الْقُرْآنِ

“Berkumpullah, sungguh aku akan membacakan kepada kalian sepertiga Al-Qur’an.”

Lalu, mereka satu per satu berkumpul. Kemudian, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dan membaca Qulhuwallahu ahad (surah Al-Ikhlas), lalu beliau masuk lagi. Sebagian sahabat pun berbisik kepada sahabat lainnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda,

فإنِّي سأقرأُ علَيكُم ثُلثَ القرآنِ إنِّي لأرَى هذا خبرًا جاءَ منَ السَّماءِ. ثمَّ خرجَ نبيُّ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ فقالَ : إنِّي قلتُ سأقرأُ علَيكُم ثُلثَ القرآنِ ، ألَا وإنَّها تعدِلُ بثُلثِ القرآنِ

“Sungguh aku akan membacakan kepada kalian sepertiga Al-Qur’an. Sungguh aku mendapatkan kabar ini datang dari langit. Kemudian beliau keluar, lalu bersabda, “Sungguh aku berkata, aku akan membacakan kepada kalian sepertiga Al-Qur’an. Ketahuilah, bahwa surah ini sama dengan sepertiga Al-Qur’an.” (HR. Muslim no. 812)

Memahami makna “sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an”

Adapun makna hadis-hadis di atas, untuk memahaminya kita perlu mengetahui, bahwa ada perbedaan besar antara (الجزاء) (al-jaza’), pahala dari sebuah perbuatan dan (الإجزاء) (al-ijza’), kedudukannya sebagai pemenuh kewajiban pada sebuah ibadah.

Al-Jaza’ (pahala) adalah ganjaran yang Allah berikan kepada seorang hamba karena ketaatan yang ia lakukan. Adapun Al-Ijza’ adalah mencukupkan satu hal dari yang lain dan memutuskannya sebagai penggugur atas sebuah kewajiban ibadah.

Dari perbedaan di atas dapat kita pahami, membaca surah Al-Ikhlas memiliki pahala layaknya membaca sepertiga Al-Qur’an, namun bukan berarti mencukupi dari membaca sepertiga Al-Qur’an secara hakiki. Oleh karena itu, jika semisal ada seseorang yang bernazar untuk membaca sepertiga Al-Qur’an, maka membaca Al-Ikhlas tidak mencukupi dan belum menggugurkan kewajiban nazarnya tersebut karena Al-Ikhlas sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an dalam hal pahala dan balasan, bukan dalam hal pencukupan dan pelepasan diri dari kewajiban nazar membaca sepertiga Al-Qur’an.

Begitu pula bagi siapa yang membaca Al-Ikhlas tiga kali di dalam salatnya, maka itu belum menggugurkan kewajiban Al-Fatihah dari dirinya, meskipun ia akan diberikan pahala sebagaimana ia membaca Al-Qur’an sempurna 30 juz (yang mana termasuk juga Al-Fatihah di dalamnya). Sama halnya dengan salat di Masjidil Haram, seseorang yang melaksanakan salat sekali di dalamnya, maka ia akan mendapatkan pahala 100 ribu kali lipat pahala salat di masjid selainnya. Tidak ada yang memahami dan mengatakan, bahwa keutamaan ini menjadikan seseorang tidak perlu salat selama berpuluh-puluh tahun hanya karena ia telah melaksanakan satu salat di Masjidil Haram yang pahalanya setara seratus ribu salat.

Tidak ada satu pun ulama yang menyatakan bahwa kita tidak butuh membaca keseluruhan Al-Qur’an, dan tidak seorang pun dari mereka yang menyatakan bahwa surah Al-Ikhlas ini mencukupi dari keseluruhan Al-Qur’an.

Alasan Al-Ikhlas sebanding dan setara dengan sepertiga Al-Qur’an

Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini menyebutkan:

Allah turunkan Al-Qur’an ke dalam tiga bagian: sepertiganya berkaitan dengan hukum-hukum syariat, sepertiganya lagi berkaitan dengan janj-janji dan dan peringatan, dan sepertiga terakhir berkaitan dengan nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya (tauhid/ tentang Allah Ta’ala). Dan surah Al-Ikhlas yang sedang kita bahas ini sarat akan makna nama-nama Allah serta sifat-sifatnya. Inilah perkataan Abu Al-Abbas bin Suraij yang dihasankan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab Majmu’ Al-Fatawa (17: 103).

Surah Al-Ikhlas turun untuk menjawab permintaan orang musyrikin Makkah yang meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mendeskripsikan Allah Ta’ala. Di dalam sebuah hadis disebutkan,

أنَّ المشرِكينَ قالوا لرسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ : انسِب لَنا ربَّكَ ، فأَنزلَ اللَّهُ تعالى : قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ

“Orang-orang musyrik berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Hai Muhammad, gambarkanlah kepada kami tentang Tuhanmu.’ Maka, Allah menurunkan, ‘Qulhuwallahu Ahad, Allahusshamad.’” (HR. Tirmidzi no. 3364)

Manusia butuh dengan keseluruhan Al-Qur’an

Seorang muslim pasti butuh dan tidak akan pernah terlepas dari  hukum-hukum syariat, serta janji dan peringatan. Ia tidak akan sempurna dalam memahami keduanya, kecuali jika menelaah dan membaca Kitab Al-Qur’an secara sempurna. Tidak mungkin orang yang hanya mencukupkan diri dengan surah Al-Ikhlas saja akan mengetahui kedua hal ini.

Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam kitab Majmu’ Fatawa (17: 131-139) berkata,

“Apa yang terkandung di dalam Al-Qur’an berupa perintah, larangan dan kisah-kisah, maka seluruh manusia membutuhkannya, meskipun tauhid (surah Al-Ikhlas) itu lebih besar dan lebih agung kedudukannya dari semua itu.

Jika seorang manusia butuh untuk mengetahui apa-apa yang diperintahkan kepadanya dan apa-apa yang terlarang baginya dari perbuatan, atau ia butuh akan kisah-kisah, motivasi dan janji serta peringatan-peringatan yang bisa ia jadikan pelajaran, maka hal tersebut tidak bisa digantikan dengan yang lain. Tauhid sekalipun tidak akan bisa menggantikan kedudukannya. Dan kisah-kisah yang ada juga tidak akan bisa menggantikan posisi perintah dan larangan. Begitu pula perintah dan larangan, maka tidak bisa menggantikan posisi kisah-kisah di dalam Al-Qur’an. Semua yang Allah turunkan dari wahyu ini, masing-masing pasti akan bermanfaat bagi manusia dan akan dibutuhkan oleh mereka.

Apabila ada seseorang yang membaca Al-Ikhlas, maka ia akan mendapatkan pahala yang setara dengan membaca sepertiga Al-Qur’an, namun jenis pahalanya berbeda dengan jenis pahala yang akan didapatkannya jika membaca surat-surat yang lainnya. Bahkan, bisa jadi ia akan butuh dengan jenis pahala yang dihasilkan oleh ayat-ayat perintah, ayat-ayat larangan, ataupun ayat-ayat yang menceritakan kisah-kisah. Kesimpulannya, surah Al-Ikhlas tidak akan bisa menghalangi ayat-ayat lain dari Al-Qur’an dan tidak pula menggantikan posisinya.”

Kemudian Syekh juga berkata,

“Pengetahuan yang didapatkan ketika membaca seluruh ayat Al-Qur’an tidak akan bisa didapatkan hanya dengan membaca surat ini saja (Al-Ikhlas). Oleh karenanya, mereka yang membaca seluruh ayat Al-Qur’an lebih utama dari mereka yang hanya membaca surat Al-Ikhlas 3 kali. Karena jenis pahala yang didapatnya bermacam-macam, meskipun orang yang membaca Al-Ikhlas 3 kali mendapatkan pahala yang sama banyaknya dengan mereka yang membaca seluruh ayat Al-Qur’an.”

Wallahu A’lam Bisshowaab.

***

Siksa Batin Bagi Penduduk Neraka

Siksa Batin Bagi Penduduk Neraka 

Tak ada satupun manusia yang ingin masuk ke dalam neraka, dikarenakan pedihnya azab yang disiapkan bagi penghuninya. Berbagai siksaan yang tak terbayangkan, api menyala berlipat-lipat lebih panas dari api dunia. Api yang bisa membakar dada menembus hingga ke dalam hati. Allah berfirman,

نَارُ اللّٰهِ الْمُوْقَدَةُۙ الَّتِيْ تَطَّلِعُ عَلَى الْاَفْـِٕدَةِۗ

“(Yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan, yang (membakar) sampai ke hati.” (QS Al-Humazah: 6-7)

Itu hanyalah sebagian kecil dari bentuk azab fisik yang disiapkan untuk penduduk neraka. Selain itu, mereka akan merasakan azab lain yang tidak kalah dahsyatnya yaitu azab siksaan batin. Di antara bentuknya dengan menyaksikan penghuni surga dengan kenikmatannya.

Banyak orang ketika sedang ditimpa penderitaan, dia akan semakin tersiksa ketika melihat orang lain yang justru dalam kenikmatan, yang dinamakan dengan hasad. Demikianlah perasaan penduduk neraka, semakin tersiksa ketika melihat penduduk surga sedang makan dan minum, sementara mereka kehausan dan kelaparan. Allah berfirman,

ﻭَﻧَﺎﺩَﻯٰ ﺃَﺻْﺤَﺎﺏُ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ ﺃَﺻْﺤَﺎﺏَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﺃَﻥْ ﺃَﻓِﻴﻀُﻮﺍ ﻋَﻠَﻴْﻨَﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ ﺃَﻭْ ﻣِﻤَّﺎ ﺭَﺯَﻗَﻜُﻢُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ۚ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺣَﺮَّﻣَﻬُﻤَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻜَﺎﻓِﺮِﻳﻦَ

Dan penghuni neraka menyeru penghuni surga, “Limpahkanlah kepada kami sedikit air atau makanan yang telah direzekikan Allah kepadamu.” Mereka (penghuni surga) menjawab, “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya itu atas orang-orang kafir.” (QS. Al-A’raf: 50)

Sebaliknya, penduduk surga akan semakin bersyukur menyaksikan itu karena mereka telah dihindarkan dari azab yang begitu pedih di neraka, lalu diberikan kenikmatan yang berlimpah di surga. Sahabat yang dulu saling mengajak kepada kebaikan akan berkumpul kembali, bereuni saling bernostalgia, berterima kasih telah mengajaknya untuk mendatangi majelis taklim, mengajaknya memakai hijab, mengajaknya untuk berhijrah.

Adapun penduduk neraka, akan menyesali perbuatan mereka dahulu. Dakwah telah sampai kepadanya, kawannya telah mengajaknya untuk shalat, mengajaknya untuk berhijab menutup aurat, tetapi semua seruan hidayah itu diabaikan lantas lebih memilih jalan-jalan kesesatan. Allah berfirman,

وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ

Dan mereka berkata, “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Al Mulk: 10)


وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَىٰ يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا ﴿٢٧﴾ يَا وَيْلَتَىٰ لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا ﴿٢٨﴾ لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي ۗ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنْسَانِ خَذُولًا

“Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya (yakni: sangat menyesal), seraya berkata, “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si Fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Quran ketika Al Quran itu telah datang kepadaku.” Dan adalah setan itu tidak mau menolong manusia.” (QS. Al-Furqan: 27-29).

Bolehkah Istri Mencuri Uang Suami?

Bolehkah Istri Mencuri Uang Suami?

Salah satu tanggung jawab utama seorang suami adalah memberikan nafkah yang mencukupi kebutuhan istrinya. Allah berfirman,

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

“Lelaki adalah pemimpin bagi wanita, disebabkan kelebihan yang Allah berikan kepada sebagian manusia (lelaki) di atas sebagian yang lain (wanita) dan disebabkan mereka memberi nafkah dengan hartanya.” (QS. An-Nisa’: 34)

Tanggung jawab ini terus terikat pada suami. Artinya, di dalam harta suami ada hak istri minimal sekadar nafkah yang mencukupinya. Andai saja sang suami pelit lantas tidak ingin menafkahi istrinya maka kewajiban tersebut tetap ada dan tidak akan gugur. Bahkan jika itu benar-benar terjadi, sang istri tidak berdosa jika harus mengambil harta suaminya secara diam-diam sekadar kebutuhannya.

Hindun binti ‘Utbah pernah mengeluhkan hal yang sama kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena suaminya yaitu Abu Sufyan bersikap pelit dan tidak memberi istri serta anak-anaknya nafkah yang mencukupi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,

خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ

“Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya.” (HR. Bukhari no. 5364)

Sekali lagi, hal ini hanya berlaku jika nafkah istri tidak terpenuhi dengan baik. Adapun jika suami mencukupi kebutuhan istri dan anak-anaknya, maka mengambil harta suami dengan diam-diam adalah hal yang terlarang, karena bagaimanapun harta tersebut asalnya adalah milik suami.

Berikutnya, jika dalam harta suami ada hak istri, maka dalam harta istri tidak ada hak suami. Sehingga kebolehan mengambil harta pasangannya secara diam-diam jika darurat tidak berlaku pada suami. Suami tidak berhak menggunakan harta istri tanpa seizin dan kerelaan istrinya.

Mahar yang dulu diberikan untuknya, gaji dan penghasilan yang dia dapatkan ketika ikut bekerja, hadiah pemberian bapaknya atau warisan dari orang tuanya, itu semua adalah murni milik sang istri dan suami tidak berhak mengambil sedikitpun kecuali jika istrinya merelakannya. Disebutkan dalam buku Fatwa Islam,

وأما بخصوص راتب الزوجة العاملة : فإنه من حقها ، وليس للزوج أن يأخذ منه شيئاً إلا بطِيب نفسٍ منها

”Khusus masalah gaji istri yang bekerja, semuanya menjadi haknya. Suami tidak boleh mengambil harta itu sedikitpun, kecuali dengan kerelaan hati istrinya.” (Fatwa Islam, no. 126316)

Semisal suaminya miskin atau sedang kesulitan keuangan, maka istri tidak berkewajiban membantu apalagi menafkahi balik suaminya. Namun istri boleh saja membantu keuangan keluarga jika dia ingin berbuat baik kepada suaminya.

Segera Bertaubat Sebelum Sekarat

Segera Bertaubat Sebelum Sekarat 

عَنِ اْلأَغَرِّ بْنِ يَسَارٍ الْمُزَنِي قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَآايُّهَا النَّاسُ تُوْبُوْا إِلَى اللهِ وَاسْتَغْفِرُوْهُ فَإِنِّي أَتُوْبُ فِي الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ.

Dari Agharr bin Yasar Al Muzani, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,”Hai sekalian manusia! Taubatlah kalian kepada Allah dan mintalah ampun kepadaNya, karena sesungguhnya aku bertaubat kepada Allah dalam sehari sebanyak seratus kali”[1]

Makna Taubat
Asal makna taubat ialah:

الرُّجُوْعُ مِنَ الذَّنْبِ.

(kembali dari kesalahan dan dosa menuju kepada ketaatan). Berasal dari kata:

تَابَ إِلَى اللهِ يَتُوْبُ تَوْباً وَتَوْبَةً وَمَتَاباً بِمَعْنَى أَنَابَ وَرَجَعَ عَنِ المَعْصِيَةِ إِلَى الطَّاعَةِ.

(orang yang bertaubat kepada Allah ialah, orang yang kembali dari perbuatan maksiat menuju perbuatan taat).

التَّوْبَةُ :َاْلإِعْتِرَافُ وَالنَّدَمُ وَاْلإِقْلاَعُ وَالْعَزْمُ عَلَى أَلاَّ يُعَاوِدَ اْلإِنْسَانُ مَا اقْتَرَفَهُ.

(seseorang dikatakan bertaubat, kalau ia mengakui dosa-dosanya, menyesal, berhenti dan berusaha untuk tidak mengulangi perbuatan itu).[2]

Syarah Hadits
Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) di antara ulama tentang wajibnya taubat. Bahkan taubat adalah fardhu ‘ain yang harus dilakukan oleh setiap muslim dan muslimah.

Ibnu Qudamah Al Maqdisi (wafat th. 689 H.) rahimahullah berkata,”Para ulama telah ijma’ tentang wajibnya taubat, karena sesungguhnya dosa-dosa membinasakan manusia dan menjauhkan manusia dari Allah. Maka, wajib segera bertaubat.”[3]

Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk bertaubat, dan perintah ini merupakan perintah wajib yang harus segera dilaksanakan sebelum ajal tiba. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “: …Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung. (An Nur/24 : 31). Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang benar (ikhlas) … (At Tahrim/66 : 8). Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabb-mu dan bertaubat kepadaNya, (jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu, hingga pada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sungguh aku takut, kamu akan ditimpa siksa hari Kiamat.[Hud/11 :3]

Taubat wajib dilakukan dengan segera, tidak boleh ditunda. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Sesungguhnya segera bertaubat kepada Allah dari perbuatan dosa hukumnya adalah wajib dilakukan dengan segera dan tidak boleh ditunda.”[4]

Imam An Nawawi rahimahullah berkata,”Para ulama telah sepakat, bahwa bertaubat dari seluruh perbuatan maksiat adalah wajib; wajib dilakukan dengan segera dan tidak boleh ditunda, apakah itu dosa kecil atau dosa besar.”[5]

Kesalahan dan dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia banyak sekali. Setiap hari, manusia pernah berbuat dosa, baik dosa kecil maupun dosa besar, baik dosa kepada Khaliq (Allah Maha Pencipta) maupun dosa kepada makhlukNya. Setiap anggota tubuh manusia pernah melakukan kesalahan dan dosa. Mata sering melihat yang haram, lidah sering bicara yang tidak benar, berdusta, melaknat, sumpah palsu, menuduh, membicarakan aib sesama muslim (ghibah), mencela, mengejek, menghina, mengadu-domba, memfitnah, dan lain-lain. Telinga sering mendengarkan lagu dan musik yang jelas bahwa hukumnya haram, tangan sering menyentuh perempuan yang bukan mahram, mengambil barang yang bukan miliknya (ghasab), mencuri, memukul, bahkan membunuh, atau melakukan kejahatan lainnya. Kaki pun sering melangkah ke tempat-tempat maksiat dan dosa-dosa lainnya. Dosa dan kesalahan akan berakibat keburukan dan kehinaan bagi pelakunya, baik di dunia maupun di akhirat, bila orang itu tidak segera bertaubat kepada Allah.

Setiap muslim dan muslimah pernah berbuat salah, baik dia sebagai orang awam maupun seorang ustadz, da’i, pendidik, kyai, atau pun ulama. Karena itu, setiap orang tidak boleh lepas dari istighfar (minta ampun kepada Allah) dan selalu bertaubat kepadaNya, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Setiap hari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon ampun kepada Allah sebanyak seratus kali. Bahkan dalam suatu hadits disebutkan, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta ampun kepada Allah seratus kali dalam satu majelisnya.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ إِنْ كُنَّا لَنَعُدُّ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَجْلِسِ الْوَاحِدِ مِائَةَ مَرَّةٍ، رَبِّ اغْفِرْلِي وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ تَوَّابُ الرَّحِيْمُ.

“Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata,”Kami pernah menghitung di satu majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa seratus kali beliau mengucapkan, ‘Ya Rabb-ku, ampunilah aku dan aku bertaubat kepadaMu, sesungguhnya Engkau Maha menerima taubat lagi Maha Penyayang’.”[6]

Jika seorang muslim dan muslimah pernah berbuat dosa-dosa besar atau dosa yang paling besar, maka segeralah bertaubat. Tidak ada kata terlambat dalam masalah taubat, pintu taubat selalu terbuka sampai matahari terbit dari barat.

Dalam sebuah hadits dari Abu Musa ‘Abdullah bin Qais Al Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللهَ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوْبَ مُسِيئُ النَّهَارِ وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوْبَ مُسِيئُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا.

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu membuka tanganNya di waktu malam untuk menerima taubat orang yang melakukan kesalahan di siang hari, dan Allah membuka tanganNya pada siang hari untuk menerima taubat orang yang melakukan kesalahan di malam hari. Begitulah, hingga matahari terbit dari barat“[7]

Hadits ini dan hadits-hadits yang lainnya menunjukkan, bahwasanya Allah Azza wa Jalla senantiasa memberi ampunan di setiap waktu dan menerima taubat setiap saat. Dia selalu mendengar suara istighfar dan mengetahui taubat hambaNya, kapan saja dan dimana saja. Oleh karena itu, jika manusia mengabaikan perkara taubat ini dan lengah dalam menggunakan kesempatan untuk mencapai keselamatan, maka rahmat Allah nan luas itu akan berbalik menjadi malapetaka, kesedihan dan kepedihan di padang mahsyar. Hal ini tak ubahnya seseorang yang sedang kehausan, padahal di hadapannya ada air bersih, namun ia tidak dapat menjamahnya, hingga datanglah maut menjemput sesudah merasakan penderitaan haus tersebut. Begitulah gambaran orang-orang kafir dan orang-orang yang durhaka. Pintu rahmat sebenarnya terbuka lebar, tetapi mereka enggan memasukinya. Jalan keselamatan sudah tersedia, namun mereka tetap berjalan di jalan kesesatan.

Dan apabila tanda-tanda Kiamat besar telah tampak, yakni matahari sudah terbit dari barat. Kematian sudah di ambang pintu, yakni nyawa sudah berada di tenggorokan, maka taubat tidak lagi diterima. Wal’iyadzubillah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

هَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا أَنْ تَأْتِيَهُمُ الْمَلَائِكَةُ أَوْ يَأْتِيَ رَبُّكَ أَوْ يَأْتِيَ بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ ۗ يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لَا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا ۗ قُلِ انْتَظِرُوا إِنَّا مُنْتَظِرُونَ

“Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka), atau datangnya siksa Rabb-mu atau kedatangan beberapa ayat Rabb-mu. Pada hari datangnya beberapa ayat Rabb-mu, maka iman seseorang sudah tidak lagi berguna, yang sebelumnya itu tidak pernah beriman atau selama dalam imannya itu dia tidak pernah melakukan kebajikan. Katakanlah: “Tunggullah, sesungguhnya Kami akan menunggu”. [Al An’am/6:158]

Dalam surat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّىٰ إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآنَ وَلَا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ ۚ أُولَٰئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

“Taubat itu bukanlah bagi orang-orang yang berbuat kemaksiyatan, sehingga apabila kematian telah datang kepada seseorang di antara mereka lalu ia berkata: “Sungguh sekarang ini aku taubat” dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati dalam keadaan kafir. Bagi mereka Kami sediakan siksa yang pedih“. [An Nisa/4:18].


Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ.

“Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba, selama (ruh) belum sampai di tenggorokan“[8]

Syarat-Syarat Taubat
Para ulama menjelaskan syarat-syarat taubat yang diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai berikut:

الإِقْلاَعُ (al iqla’u), orang yang berbuat dosa harus berhenti dari perbuatan dosa dan maksiat yang selama ini ia pernah lakukan.
النَّدَمُ (an nadamu), dia harus menyesali perbuatan dosanya itu.
اَلْعَزْمُ (al ‘azmu), dia harus mempunyai tekad yang bulat untuk tidak mengulangi perbuatan itu.
Jika perbuatan dosanya itu ada hubungannya dengan orang lain, maka di samping tiga syarat di atas, ditambah satu syarat lagi, yaitu harus ada pernyataan bebas dari hak kawan yang dirugikan itu. Jika yang dirugikan itu hartanya, maka hartanya itu harus dikembalikan. Jika berupa tuduhan jahat, maka ia harus meminta maaf, dan jika berupa ghibah atau umpatan, maka ia harus bertaubat kepada Allah dan tidak perlu minta maaf kepada orang yang diumpat.[9]
Di samping syarat-syarat di atas, dianjurkan pula bagi orang yang bertaubat untuk melakukan shalat dua raka’at yang dinamakan Shalat Taubat, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا مِنْ رَجُلٍ يُذْنِبُ ذَنْباً ثُمَّ يَقُوْمُ فَيَتَطَهَّرُ ثُمَّ يُصَلِّى ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللهَ إِلاَّ غَفَرَ اللهُ لَهُ ثُمَّ قَرَأَ هَذَهِ الآيَةَ (وَالَّذِيْنَ إِذَا فَعَلُوْا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوْا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوْا اللهَ فَاسَتَغَفَرُوْا لِذُنُوْبِهِمْ.

“Jika seorang hamba berbuat dosa kemudian ia pergi bersuci (berwudhu’), lalu ia shalat (dua raka’at), lalu ia mohon ampun kepada Allah (dari dosa tersebut), niscaya Allah akan ampunkan dosanya“.

Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini:

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Dan orang-orang yang apabila mengejakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat kepada Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu sedang mereka mengetahui“.[Ali Imran/3:135].”[10]

Tingkatan Manusia yang Bertaubat Kepada Allah[11]
Tingkatan Pertama : Yaitu orang yang istiqamah dalam taubatnya hingga akhir hayatnya. Ia tidak berkeinginan untuk mengulangi lagi dosanya dan ia berusaha membereskan semua urusannya yang ia pernah keliru (salah). Tetapi ada sedikit dosa-dosa kecil yang terkadang masih ia lakukan, dan memang semua manusia tidak bisa lepas dari dosa-dosa kecil ini, namun ia selalu bersegera untuk beristighfar dan berbuat kebajikan, ia termasuk orang sabiqun bil khairat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

… وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللهِ …

“Di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah ..” [Fathir/35: 32]

Taubatnya dikatakan taubat nashuha, yakni taubat yang benar dan ikhlas. Nafsu yang demikian dinamakan nafsu muthmainnah.

Tingkatan Kedua : Yaitu orang yang menempuh jalannya orang-orang yang istiqamah dalam semua perkara ketaatan dan menjauhkan semua dosa-dosa besar, tetapi ia terkena musibah, yaitu sering melakukan dosa-dosa kecil tanpa sengaja. Setiap ia melakukan dosa-dosa itu, ia mencela dirinya sendiri dan menyesali perbuatannya. Orang-orang ini akan mendapakan janji kebaikan dari Allah Subhanahu w Ta’ala. Allah Azza wa Jalla berfirman :

الَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ إِلَّا اللَّمَمَ ۚ إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ

“(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Rabb-mu Maha Luas ampunanNya…” [An Najm/53:32].

Dan nafsu yang demikian dinamakan nafsu lawwamah.

وَلآأُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ

“Dan aku bersumpah dengan nafsu lawwamah (jiwa yang amat menyesali dirinya sendiri)“. [Al Qiyamah/75: 2].

Tingkatan Ketiga : Orang yang bertaubat dan istiqamah dalam taubatnya sampai satu waktu, kemudian suatu saat ia mengerjakan lagi sebagian dari dosa-dosa besar karena ia dikalahkan oleh syahwatnya. Kendati demikian ia masih tetap menjaga perbuatan-perbuatan yang baik dan masih tetap taat kepada Allah. Ia selalu menyiapkan dirinya untuk bertaubat dan berkeinginan agar Allah mengampuni dosa-dosanya. Keadaan orang ini sebagaimana yang Allah firmankan:

وَآخَرُونَ اعْتَرَفُوا بِذُنُوبِهِمْ خَلَطُوا عَمَلًا صَالِحًا وَآخَرَ سَيِّئًا عَسَى اللَّهُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampuradukkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang“. [At Taubah/9:102].

Nafsu inilah yang disebut nafsu mas-ulah

Tingkatan ketiga ini berbahaya, karena bisa jadi ia menunda taubatnya dan mengakhirkannya. Bahkan ada kemungkinan, sebelum ia berkesempatan untuk bertaubat, Malaikat Maut telah diperintah Allah k untuk mencabut ruhnya, sedangkan amal-amal manusia dihisab menurut akhir kehidupan manusia, menjelang mati.

Tingkatan Keempat : Yaitu orang yang bertaubat, tetapi taubatnya hanya sementara waktu saja, kemudian ia kembali lagi melakukan dosa-dosa dan maksiat, tidak peduli terhadap perintah-perintah dan larangan-larangan Allah, serta tidak ada rasa menyesal terhadap dosa-dosanya. Nafsu sudah menguasai kehidupannya serta selalu menyuruh kepada perbuatan-perbuatan yang jelek. Ia termasuk orang yang terus-menerus dalam perbuatan dosa. Bahkan ia sudah sangat benci kepada orang-orang yang berbuat baik, dan malah menjauhinya. Nafsu yang demikian ini dinamakan nafsul ammarah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي ۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabb-ku. Sesungguhnya Rabb-ku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang“. [Yusuf/12:53].

Tingkatan keempat ini sangat berbahaya, dan bila ia mati dalam keadaan demikian, maka ia termasuk su’ul khatimah (akhir kehidupan yang jelek).

Janji Allah Kepada Orang yang Bertaubat dan Istiqamah Dalam Taubatnya

  1. Taubat menghapuskan dosa-dosa, seolah-olah ia tidak berdosa.
    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَهُ.

“Orang yang bertaubat dari dosa seolah-olah ia tidak berdosa“.[12]

Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَٰئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Kecuali orang-orang yang bertaubat beriman dan beramal shalih, maka Allah akan ganti kejahatan mereka dengan kebajikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Al Furqan/25:70].

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَيَتَمَنَّيَنَّ أَقْوَامٌ لَوْ أَكْثَرُوْا مِنَ السَّيْئَاتِ الَّذِيْنَ بَدَّلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ.

“Sesungguhnya ada beberapa kaum bila mereka banyak berbuat kesalahan-kesalahan, mereka bercita-cita menjadi orang-orang yang Allah Azza wa Jalla mengganti kesalahan-kesalahan mereka dengan kebajikan“[13]

  1. Allah berjanji menerima taubat mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَأْخُذُ الصَّدَقَاتِ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

“Tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hambaNya dan menerima zakat, dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” [At Taubah/9:104]

Juga firmanNya:

وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَىٰ

“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih, kemudian tetap (istiqamah) di jalan yang benar“.[Thaha/20:82].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ تَابَ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا تَابَ اللهُ عَلَيْهِ.


“Barangsiapa taubat sebelum matahari terbit dari barat, maka Allah akan menerima taubatnya“.[14]

  1. Orang yang istiqamah dalam taubatnya adalah sebaik-baik manusia.
    Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ.

“Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat“[15]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَوْ أَنَّ الْعِبَادَ لَمْ يُذْنِبُوْا، لَخَلَقَ اللهُ خَلْقًا يُذْنِبُوْنَ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُوْنَ، ثُمَّ يَغْفِرُ لَهُمْ وَهُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

“Seandainya hamba-hamba Allah tidak berbuat dosa, niscaya Allah akan menciptakan makhluk yang berbuat dosa kemudian mereka istighfar (minta ampun kepada Allah), kemudian Allah mengampuni dosa mereka dan Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang“[16]

Terapi Mujarab Agar Bisa Istiqamah Dalam Taubat dan Tidak Terus Menerus Berbuat Dosa dan Maksiat
Setiap penyakit ada obatnya dan setiap penyakit ada ahli yang dapat menangani untuk menyembuhkannya. Obat penyakit-penyakit badan dan anggota tubuh manusia bisa diserahkan kepada dokter, tetapi penyakit hati hanya bisa diobati dengan kembali kepada agama yang benar.

Hati yang lalai merupakan pokok segala kesalahan. Dan penyakit hati ini lebih banyak dari penyakit badan, karena orang tersebut tidak merasa bahwa dirinya sedang sakit. Akibat yang ditimbulkan dari penyakit ini, seolah-olah tidak dapat tampak di dunia. Oleh karena itu, obat yang mujarab bagi penyakit ini, sesudah ia kembali ke agama yang benar ialah:

Mengingat ayat-ayat Allah Azza wa Jalla yang menakutkan dan mengerikan tentang siksa yang pedih bagi orang yang berbuat dosa dan maksiat. Bacalah juz ‘Amma beserta artinya, dan sebaiknya hafalkanlah.
Bacalah hikayat para nabi ‘alaihimush shalatu was salam bersama ummatnya dan para salafush shalih, dan musibah-musibah yang menimpa mereka beserta ummatnya disebabkan dosa yang mereka lakukan.
Ingatlah, bahwa setiap dosa dan maksiat berakibat buruk di dunia maupun akhirat.
Ingat dan perhatikanlah satu per satu ayat-ayat Al Qur`an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengisahkan tentang siksa akibat perbuatan dosa, seperti dosa minum khamr, dosa riba, dosa zina, dosa khianat, dosa ghibah, dosa membunuh, dan lain-lain.
Bacalah istighfar dan sayyidul istighfar setiap hari.
Sayyidul istighfar, do’a memohon ampun kepada Allah


اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْلِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ.

“Ya Allah, Engkau adalah Rabb-ku, tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) kecuali Engkau, Engkau-lah yang menciptakanku. Aku adalah hambaMu. Aku akan setia pada perjanjianku denganMu semampuku. Aku berlindung kepadaMu dari kejelekan (apa) yang telah kuperbuat. Aku mengakui nikmatMu (yang diberikan) kepadaku, dan aku mengakui dosaku. Oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau“[17]

Do’a memohon ampunan dan rahmat Allah

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

“Ya Rabb kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tin-dakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir“.[Ali Imran/3: 147].

رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi“.[Al A’raf/7 :23].

Fiqhul Hadits
Pelajaran yang dapat diambil dari hadits dalam pembahasan ini ialah:

Setiap manusia pernah berbuat dosa dan kesalahan.
Kita wajib bertaubat dan meninggalkan semua sifat yang tercela.
Bertaubat wajib dengan segera, tidak boleh ditunda.
Beristighfar dan bertaubat itu hendaknya dilakukan dengan sungguh-sungguh dan berusaha mengadakan ishlah (perbaikan).
Pintu taubat masih tetap terbuka siang dan malam.
Allah Azza wa Jalla tidak akan menerima taubat, apabila ruh sudah berada di tenggorokan, dan apabila matahari telah terbit dari barat (hari Kiamat).
Nabi Muhammad n setiap hari beristighfar dan bertaubat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala cinta kepada orang-orang yang bertaubat. Allah Azza wa Jalla berfirman.


إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

“… Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” [Al Baqarah/2:222].

Wallahu a’lamu bish shawab.

Maraji`:

Tafsir Ibnu Katsir, Cet. Darus Salam.
Shahih Bukhari dan syarahnya Fathul Bari, Cet. Darul Fikr.
Shahih Muslim, dan Syarah Muslim Lil Imam An Nawawi.
Sunan Abu Daud.
Jami’ At Tirmidzi.
Sunan An Nasa-i.
Sunan Ibnu Majah.
Musnad Ahmad.
Al Mu’jamul Kabir, oleh Ath Thabrani.
Riyadhush Shalihin, oleh Imam An Nawawi.
Mukhtashar Minhajul Qashidin, oleh Ibnu Qudamah Al Maqdisi, tahqiq Syaikh ‘Ali Hasan.
Madarijus Salikin, oleh Ibnul Qayyim, Cet. Darul Hadits, Kairo.
Shahih Jami’ush Shaghir, oleh Imam Al Albani.
Silsilah Ahadits Ash Shahihah, oleh Imam Al Albani.
Shahih Al Wabilish Shayyib Minal Kalimith Thayyib, oleh Ibnul Qayyim, tahqiq dan takhrij Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilali.
Mu’jamul Wasith, dan kitab lainnya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]


Footnote
[1] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 2702 (42), Syarah Muslim, oleh Imam An Nawawi (XVII/24-25). Diriwayatkan juga oleh Ahmad (IV/211), Abu Dawud (no. 1515), Al Baghawi (no. 1288) dan Ath Thabrani dan Al Mu’jamul Kabir (no. 883).
[2] Lihat Fat-hul Bari (XI/103), Al Mu’jamul Wasith, Bab Taa-ba (I/90).
[3] Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 322, tahqiq Syaikh ‘Ali Hasan
[4] Madarijus Salikin (I/297), Cet. Darul Hadits, Kairo.
[5] Syarah Shahih Muslim (XVII/59).
[6] HR At Tirmidzi )no. 3434), Abu Dawud (no. 1516), Ibnu Majah (no. 3814). Lihat Shahih Sunan At Tirmidzi (III/153 no. 2731), lafazh ini milik Abu Dawud.
[7] HR Muslim (no. 2759).
[8] Hadits shahih riwayat At Tirmidzi (no. 3537), Al Hakim (IV/257), Ibnu Majah (no. 4253). Lafazh hadits ini menurut Imam At Tirmidzi
[9] Lihat Riyadhush Shalihin, Bab Taubat (hlm. 24-25) dan Shahih Al Wabilush Shayyib (hlm. 272-273).
[10] Hadits hasan riwayat At Tirmidzi (no. 406), Ahmad (I/10), Abu Dawud (no. 1521), Ibnu Majah (no. 1395), Abu Dawud Ath Thayalisi (no. 1 dan 2) dan Abu Ya’la (no. 12 dan 15). Lihat Tafsir Ibnu Katsir (I/438), Cet. Darus Salam.
[11] Lihat Mukhtashar Minhajul Qashidin (hlm. 335-336), oleh Ibnu Qudamah Al Maqdisi, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid.
[12] HR Ibnu Majah (no. 4250), dari Ibnu Mas’ud z . Lihat Shahih Jami’ush Shaghir (no. 3008).
[13] Hadits hasan riwayat Al Hakim (IV/252), dari sahabat Abu Hurairah. Lihat Shahih Jami’ush Shaghir (no. 5359), dari sahabat Abu Hurairah.
[14] Hadits shahih riwayat Muslim (no. 2703), dari sahabat Abu Hurairah
[15] Hadits hasan riwayat Ahmad (III/198), At Tirmidzi (no. 2499), Ibnu Majah (no. 4251) dan Al Hakim (IV/244). Lihat Shahih Jami’ush Shaghir (no. 4515), dari sahabat Anas.
[16] Hadits shahih riwayat Al Hakim (IV/246), dari Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al Khaththab. Lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah (no. 967-970).
[17] HR Al Bukhari (no. 6306, 6323), Ahmad (IV /122-125) dan An Nasa-i (VIII/279-280).