Sehatnya Qolbu Lurusnya Amal

Sehatnya Qolbu Lurusnya Amal 

Kebagusan amalan anggota badan seorang hamba tergantung pada kebagusan kalbunya. Apabila kalbunya salim (sehat), tidak ada di dalamnya melainkan kecintaan kepada Allah dan kecintaan kepada apa yang dicintai-Nya, takut kepada-Nya, takut terjatuh pada apa yang dibenci oleh-Nya; akan baguslah seluruh amalan anggota badannya. Akan tumbuh pula pada dirinya perasaan untuk menghindarkan diri dari segala perkara yang haram dan syubhat.

Namun, apabila kalbunya rusak, dikuasai oleh hawa nafsunya, dan mencari apa yang diinginkan hawa nafsunya meski dalam perkara yang Allah subhanahu wa ta’ala benci; akan rusaklah seluruh amalan anggota badannya. Selain itu, akan menyeret pula kepada segala bentuk kemaksiatan dan syubhat, sesuai dengan kadar penguasaan hawa nafsu terhadap kalbunya.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda,

أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ، صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ، فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

“Ketahuilah, sesungguhnya dalam jasad ada segumpal darah. Jika ia baik, seluruh jasad akan baik pula. Jika ia rusak, seluruh jasad akan rusak. Ketahuilah bahwa itu adalah kalbu.” (HR. al-Bukhari no. 52 dan Muslim no. 4070)

Apabila hamba memiliki qalbun salim (kalbu yang sehat), akan muncul darinya amal-amal yang saleh dan kesungguhan dalam beramal guna mencapai kebahagiaan di kehidupan akhirat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَنۡ أَرَادَ ٱلۡأٓخِرَةَ وَسَعَىٰ لَهَا سَعۡيَهَا وَهُوَ مُؤۡمِنٌ فَأُوْلَٰٓئِكَ كَانَ سَعۡيُهُم مَّشۡكُورًا

“Dan barang siapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (al-Isra: 19)

Dengan demikian, untuk mendorong dan menumbuhkan amalan-amalan saleh, setiap hamba wajib menjaga kalbunya agar tetap salim (sehat) dan terhindar dari penyakit-penyakit yang merusaknya.

Dalam kitab ad-Da`u wad Dawa` (hlm. 138) Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

“Tidak sempurna keselamatan kalbu seorang hamba melainkan setelah selamat dari lima perkara:

  • syirik yang menentang tauhid,
  • bid’ah yang menyelisihi As-Sunnah,
  • syahwat yang menyelisihi perintah,
  • kelalaian yang menyelisihi zikir, dan
  • hawa nafsu yang menyelisihi ikhlas.”

Hamba yang memiliki qalbun salim akan selalu mengutamakan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia, yang mana Allah subhanahu wa ta’ala telah mempersiapkan tempatnya di surga. Berbeda halnya dengan orang yang mengutamakan kehidupan dunia yang akan membawanya kepada neraka Jahim.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَإِذَا جَآءَتِ ٱلطَّآمَّةُ ٱلۡكُبۡرَىٰ ٣٤ يَوۡمَ يَتَذَكَّرُ ٱلۡإِنسَٰنُ مَا سَعَىٰ ٣٥ وَبُرِّزَتِ ٱلۡجَحِيمُ لِمَن يَرَىٰ ٣٦ فَأَمَّا مَن طَغَىٰ ٣٧ وَءَاثَرَ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا ٣٨ فَإِنَّ ٱلۡجَحِيمَ هِيَ ٱلۡمَأۡوَىٰ ٣٩ وَأَمَّا مَنۡ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ وَنَهَى ٱلنَّفۡسَ عَنِ ٱلۡهَوَىٰ ٤٠ فَإِنَّ ٱلۡجَنَّةَ هِيَ ٱلۡمَأۡوَىٰ ٤١

“Maka apabila hari kiamat telah datang. Pada hari ketika manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya. Dan diperlihatkan neraka dengan jelas kepada setiap orang yang melihat. Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya. Adapun orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya, dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (an-Nazi’at: 34—41)

Wallahu a’lam bish-shawab.

Mau Sampai Kapan Bergosip?

Mau Sampai Kapan Bergosip?

Ghibah (menggunjing) termasuk dosa besar, namun sedikit yang mau menyadari hal ini.

Sudah dijelaskan sebelumnya mengenai “Ghibah itu Apa?” Sekarang kita akan melihat dalil yang menunjukkan bahwa ghibah tergolong dosa dan perbuatan haram, bahkan termasuk dosa besar.

Kata seorang ulama tafsir, Masruq, “Ghibah adalah jika engkau membicarakan sesuatu yang jelek pada seseorang. Itu disebut mengghibah atau menggunjingnya. Jika yang dibicarakan adalah sesuatu yang tidak benar ada padanya, maka itu berarti menfitnah (menuduh tanpa bukti).” Demikian pula dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri. (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 26: 167).

Ghibah yang terjadi bisa cuma sekedar dengan isyarat. Ada seorang wanita yang menemui ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Tatkala wanita itu hendak keluar, ‘Aisyah berisyarat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangannya untuk menunjukkan bahwa wanita tersebut pendek. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,

قَدِ اغْتَبْتِيهَا

Engkau telah mengghibahnya.” (HR. Ahmad 6: 136. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)

Dosa ghibah sudah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala berikut ini,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12)

Asy Syaukani rahimahullah dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Allah Ta’ala memisalkan ghibah (menggunjing orang lain) dengan memakan bangkai seseorang. Karena bangkai sama sekali tidak mengetahui siapa yang memakan dagingnya. Ini sama halnya dengan orang yang hidup juga tidak mengetahui siapa yang menggunjing dirinya. Demikianlah keterangan dari Az Zujaj.” (Fathul Qadir, 5: 87)

Asy Syaukani rahimahullah kembali menjelaskan, “Dalam ayat di atas terkandung isyarat bahwa kehormatan manusia itu sebagaimana dagingnya. Jika daging manusia saja diharamkan untuk dimakan, begitu pula dengan kehormatannya dilarang untuk dilanggar. Ayat ini menjelaskan agar setiap muslim menjauhi perbuatan ghibah. Ayat ini menjelaskan bahwa ghibah adalah perbuatan yang teramat jelek. Begitu tercelanya pula orang yang melakukan ghibah.” (Idem)

Ibnu Jarir Ath Thobari berkata, “Allah mengharamkan mengghibahi seseorang ketika hidup sebagaimana Allah mengharamkan memakan daging saudaramu ketika ia telah mati.” (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 26: 168).

Qatadah rahimahullah berkata, “Sebagaimana engkau tidak suka jika mendapati saudarimu dalam keadaan mayit penuh ulat. Engkau tidak suka untuk memakan bangkai semacam itu. Maka sudah sepantasnya engkau tidak mengghibahinya ketika ia masih dalam keadaan hidup.” (Lihat Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 26: 169).

Ghibah termasuk dosa karena di akhir ayat disebutkan Allah Maha Menerima Taubat. Artinya, apa yang disebutkan dalam ayat termasuk dalam dosa karena berarti dituntut bertaubat. Imam Nawawi juga menyebutkan bahwa ghibah termasuk perbuatan yang diharamkan, lihat Syarh Shahih Muslim, 16: 129.

Dalam Kunuz Riyadhis Sholihin (18: 164) disebutkan, “Para ulama sepakat akan haramnya ghibah dan ghibah termasuk dosa besar.”

Wallahu a’lam. Moga Allah menjauhkan dari setiap dosa besar termasuk pula perbuatan ghibah. Semoga Allah memberi taufik untuk menjaga lisan ini supaya senantiasa berkata yang baik.

Referensi:

Fathul Qadir, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad Asy Syaukani, terbitan Dar Ibni Hazm, cetakan ketiga, tahun 1426 H.

Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an (Tafsir Ath Thobari), Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thobari, terbitan Dar Ibni Hazm, cetakan pertama, tahun 1423 H.

Kunuz Riyadhis Sholihin, Rois Al Fariq Al ‘Ilmi: Prof. Dr. Hamad bin Nashir bin ‘Abdirrahman Al ‘Ammar, terbitan Dar Kunuz Isybiliya, cetakan pertama, tahun 1430 H.

Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ibni Hazm, cetakan pertama, tahun 1433 H.

Jangan Buat Setan Tertawa

Jangan Buat Setan Tertawa 

Perkara yang dianggap sepele, yang sudah menjadi kebiasaan kebayakan orang, padahal merupakan sebuah kekeliruan yang perlu diluruskan, adalah bersuara ketika menguap. Sepertinya sepele, tapi tunggu dulu sobat.
Disebutkan dalam sebuah hadits bahwa setan itu tertawa bila mendengar seorang bersuara “haah” ketika menguap. Apalagi kalau sampai teriak ?!

Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعُطَاسَ وَيَكْرَهُ التَّثَاؤُبَ فَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَحَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ سَمِعَهُ أَنْ يُشَمِّتَهُ وَأَمَّا التَّثَاؤُبُ فَإِنَّمَا هُوَ مِنْ الشَّيْطَانِ فَلْيَرُدَّهُ مَا اسْتَطَاعَ فَإِذَا قَالَ هَا ضَحِكَ مِنْهُ الشَّيْطَانُ

Sesungguhnya Allah menyukai bersin dan membenci menguap. Oleh karena itu bila salah seorang dari kalian bersin lantas dia memuji Allah, maka wajib atas setiap muslim yang mendengarnya untuk ber-tasymit kepadanya (mengucapkan “yarhamukallah”). Adapun menguap, maka dia dari setan, bila seorang menguap hendaklah dia menahan semampunya. Bila seorang menguap sampai keluar ucapan ‘haaah’, setan akan menertawainya.” (HR. Al-Bukhari no. 6223 dan Muslim no. 2994)

Inilah diantara adab yang perlu diperhatikan ketika menguap. Yaitu menahan semampunya, bila tidak mampu maka menutup mulut dengan tangan, kemudian adab selanjutnya adalah menahan suara ketika menguap.

Membuat musuh bahagia tentu terlarang dalam Islam. Yang diperintahkan oleh Islam adalah memasukkan kebahagiaan ke dalam hati seorang mukmin. Karena orang yang mukmin adalah saudara kita. Mafhum mukhalafah-nya adalah bila memasukkan kebahagiaan ke dalam hati seorang mukmin; yang mana seorang mukmin itu saudara itu diperintahkan, maka memasukkan kebahagiaan ke dalam hati musuh orang-orang yang beriman tentu terlarang.

Bila seorang membuat setan tertawa karena keisengannya mengeluarkan suara ketika menguap, berarti ia telah membuat setan bahagia. Karena tertawa merupakan ekspresi bahagia atau ridho. Ini jelas-jelas terlarang, terlebih setan adalah musuh yang senyata-nyatanya.

Secara tegas Allah ta’ala berfirman,

وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

..dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168)

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا ۚ إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ

” Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak pengikutnya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir: 6)

Ada yang menarik dari penjelasan salah seorang ulama yang bernama Ibnu Bathol rahimahullah mengenai makna hadits yang kami sebutkan di atas. Beliau mengatakan,

إضافة التثاؤب إلى الشيطان بمعنى إضافة الرضا والإرادة

“Penyandaran perbuatan menguap kepada setan maksudnya adalah penisbatan pada keridhoan dan keinginan setan” (dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, saat mensyarh hadits ini)

Bila menguap itu sendiri sudah termasuk perbuatan yang mengundang ridho setan, lalu bagaimana lagi dengan seorang yang menguap plus dibarengi suara sekuat tenaga ?! Yang secara jelas Nabi shallallahu’alaihi wasallam menegaskan dalam sabda beliau, ” Bila seorang menguap sampai keluar ucapan ‘haaah’, setan akan menertawainya.” ?!

Ini baru ucapan “haah” saja sudah membuat setan tertawa, sekedar desiran suara ringan yang keluar tatkala menguap. Bagaimana lagi bila yang diucapkan adalah ucapan dengan intonasi suara yang lebih kencang dan nadanya lebih panjang. Tentu lebih girang lagi setan dibuatnya.

Maka dari itu mulai saat ini mari kita ubah kebiasaan kurang baik tersebut. Yaitu berusaha menahan suara ketika menguap. Jangan sampai kita menjadi penyebab setan tertawa. Dan juga berusaha melestarikan adab-adab lainnya yang diajarkan Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam ketika menguap.

Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat. 

Larangan Mencela Seorang Muslim Yang Sudah Bertaubat

Larangan Mencela Seorang Muslim Yang Sudah Bertaubat 

Terkadang ada saudara kita yang melakukan dosa atau maksiat, kemudian menjadi bahan perbincangan atau ghibah. Padahal bisa jadi pelaku dosa tersebut sudah bertaubat dari dosa tersebut. Mengenai hal ini, mari kita perhatikan nasihat dari beberapa ulama, yaitu orang yang menjelek-jelekkan saudaranya yang sudah bertaubat dari dosa, bisa jadi dia akan melakukan dosa tersebut. [1]

Misalnya ada teman kita yang ketahuan selingkuh atau berzina, maka kita pun heboh membicarakannya bahkan mencela serta terlalu banyak berkomentar dengan menerka-nerka saja. Hal ini sebaiknya dihindari, sikap muslim adalah diam, menasehati dengan cara empat mata, dan berharap kebaikan pada saudaranya terlebih ia sudah menyesal dan mengaku salah.

Syaikh Al-Mubarakfuri menjelaskan, bisa jadi ia terjerumus dalam dosa yang sama karena ada faktor kagum terhadap dirinya sendiri, sombong dan mensucikan diri. Seolah dia berkata kamu kok bisa terjerumus dalam maksiat/dosa itu, lihatlah aku, sulit terjerumus dalam dosa itu. Tentu ini bentuk kesombongan yang nyata dan sangat merendahkan orang lain. Beliau berkata,

ﻳُﺠَﺎﺯَﻯ ﺑِﺴَﻠْﺐِ ﺍﻟﺘَّﻮْﻓِﻴﻖِ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺮْﺗَﻜِﺐَ ﻣَﺎ ﻋَﻴَّﺮَ ﺃَﺧَﺎﻩُ ﺑِﻪِ ﻭَﺫَﺍﻙَ ﺇِﺫَﺍ ﺻَﺤِﺒَﻪُ ﺇِﻋْﺠَﺎﺑُﻪُ ﺑِﻨَﻔْﺴِﻪِ ﻟِﺴَﻼﻣَﺘِﻪِ ﻣِﻤَّﺎ ﻋَﻴَّﺮَ ﺑِﻪِ ﺃَﺧَﺎﻩُ

“Dibalas dengan memberikannya jalan hingga ia akan melakukan maksiat yang ia cela yang dilakukan oleh saudaranya. Hal tersebut karena ia sombong/kagum dengan dirinya sendiri karena ia merasa selamat dari dosa tersebut.” [2]

Demikian juga Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa menjelek-jelekkan saudaranya yang telah melakukan dosa, maka bisa jadi ia akan melakukan dosa tersebut.

ﻭَﻛُﻞُّ ﻣَﻌْﺼِﻴَﺔٍ ﻋُﻴِّﺮَﺕْ ﺑِﻬَﺎ ﺃَﺧَﺎﻙَ ﻓَﻬِﻲَ ﺇِﻟَﻴْﻚَ ﻳَﺤْﺘَﻤِﻞُ ﺃَﻥْ ﻳُﺮِﻳْﺪَ ﺑِﻪِ ﺃَﻧَّﻬَﺎ ﺻَﺎﺋِﺮَﺓٌ ﺇِﻟَﻴْﻚَ ﻭَﻻَ ﺑُﺪَّ ﺃَﻥْ ﺗَﻌْﻤَﻠَﻬَﺎ

“Setiap maksiat yang dijelek-jelekkan pada saudaramu, maka itu akan kembali padamu. Maksudnya, engkau bisa dipastikan melakukan dosa tersebut.” [3]

Beliau melanjutkan penjelasan bahwa dosa mencela saudaranya yang telah melakukan dosa itu lebih besar dari dosa itu yang dilakukan oleh saudaranya. Beliau berkata,

ﺃﻥ ﺗﻌﻴﻴﺮﻙ ﻷﺧﻴﻚ ﺑﺬﻧﺒﻪ ﺃﻋﻈﻢ ﺇﺛﻤﺎ ﻣﻦ ﺫﻧﺒﻪ ﻭﺃﺷﺪ ﻣﻦ ﻣﻌﺼﻴﺘﻪ ﻟﻤﺎ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﺻﻮﻟﺔ ﺍﻟﻄﺎﻋﺔ ﻭﺗﺰﻛﻴﺔ ﺍﻟﻨﻔﺲ

“Engkau mencela saudaramu yang melakukan dosa, ini lebih besar dosanya daripada dosa yang dilakukan  saudaramu dan maksiat yabg lebih besar, karena menghilangkan ketaatan dan merasa dirinya suci.” [4]

Para ulama sudah mengingatkan mengenai hal ini, terlebih mereka adalah orang yang sangat berhati-hati dan takut kepada Allah. Seorang ulama Ibrahim An-Nakha’i berkata,

” إني لأرى الشيء أكرهه، فما يمنعني أن أتكلّم فيه إلا مخافة أن أُبتلى بمثله”

“Aku melihat sesuatu yang aku tidak suka, tidak ada yang menahanku untuk berkomentar dan membicarakannya kecuali karena aku khawatir aku yang akan ditimpakan masalahnya dikemudian hari.” [5]

Hasan Al Basri berkata,

كانوا يقولون من رمي أخاه بذنب قد تاب إلى الله منه لم يمت حتى يبتليه الله به

“Para sahabat dan tabi’in memiliki konsep, barang siapa yang mencela saudaranya, karena dosa-dosanya, sedangkan saudaranya itu sudah bertaubat kepada Allāh, maka si pencela tidak akan meninggal dunia kecuali dia akan mengalami dosa saudaranya tersebut.” [6]

Semoga kita bisa menjaga lisan kita karena lisan sangat berbahaya jika tidak terkontrol.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﺇِﻥَّ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞَ ﻟَﻴَﺘَﻜَﻠَّﻢُ ﺑِﺎﻟْﻜَﻠِﻤَﺔِ ﻟَﺎ ﻳَﺮَﻯ ﺑِﻬَﺎ ﺑَﺄْﺳًﺎ ﻳَﻬْﻮِﻱ ﺑِﻬَﺎ ﺳَﺒْﻌِﻴﻦَ ﺧَﺮِﻳﻔًﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ

“Sesungguhnya ada seseorang yang berbicara dengan satu kalimat, ia tidak menganggapnya berbahaya; dengan sebab satu kalimat itu ia terjungkal selama tujuh puluh tahun di dalam neraka.” [7]

Jika kita bisa menjaga lisan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjamin surga kepada kita. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﻣَﻦْ ﻳَﻀْﻤَﻦْ ﻟِﻲ ﻣَﺎ ﺑَﻴْﻦَ ﻟَﺤْﻴَﻴْﻪِ ﻭَﻣَﺎ ﺑَﻴْﻦَ ﺭِﺟْﻠَﻴْﻪِ ﺃَﺿْﻤَﻦْ ﻟَﻪُ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ

Barang siapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua rahangnya dan apa yang ada di antara dua kakinya, niscaya aku menjamin surga baginya.” [8]

Demikian semoga bermanfaat

Catatan kaki:

[1] Terdapat hadits yang redaksinya mirip seperti pernyataan ini, akan tetapi hadits ini dinilai dhaif/lemah bahkan maudhu’/palsu oleh beberapa ulama
Yaitu hadits,


ﻣَﻦْ ﻋَﻴَّﺮَ ﺃَﺧَﺎﻩُ ﺑِﺬَﻧْﺐٍ ﻟَﻢْ ﻳَﻤُﺖْ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﻌْﻤَﻠَﻪُ


“ Siapa yang menjelek-jelekkan saudaranya karena suatu dosa, maka ia tidak akan mati kecuali mengamalkan dosa tersebut. ” (HR. Tirmidzi no. 2505. Syaikh Al-Albani berkata bahwa hadits ini maudhu’)

[2] Tuhfaful Ahwadzi 7/173
[3] Madarijus Salikin 1: 176
[4] Madarijus Salikin 1:177/178
[5] HR. Ibnu Abid Dunya dalam kitab Ash-Shamt
[6] Idem
[7] HR. At-Tirmidzi, Hasan Shahih
[8] HR. Bukhari

Shalat Jum'at

 

Shalat Jum'at 

·        Allah mensyari'atkan bagi umat islam beberapa perkumpulan untuk menguatkan hubungan dan menjalin keakraban di atara mereka, ada pertemuan desa, yaitu shalat lima waktu, ada pertemuan kota, yaitu shalat jum'at dan dua hari raya, dan ada pertemuan internasional, di waktu haji di mekah, inilah pertemuan umat islam, pertemuan kecil, sedang, dan besar.

·        Keutamaan hari Jum'at:

Dari Abu Hurairah ra bahwasanya nabi saw bersabda: ( sebaik-baik hari dimana matahari terbit adalah hari jum'at, di hari itu Adam diciptakan, dan pada hari itu dimasukkan ke surga, dan pada hari itu dikeluarkan darinya, dan tidak terjadi hari kiamat kecuali pada hari juma't) (HR. Muslim)([1]).

·        Hukum shalat jum'at: Shalat juma'at dua rakaat, dan wajib atas semua umat islam yang laki-laki, baligh, berakal, merdeka, bermukim di suatu tempat yang dicakup dengan satu nama, dan tidak wajib shalat jum'at atas wanita, orang sakit, anak kecil, orang musafir, hamba sahaya, apabila di antara mereka ada yang ikut shalat jum'at, maka boleh, dan orang musafir apabila singgah di suatu tempat dan ia mendengar adzan, maka ia wajib shalat jum'at.

·        Waktu shalat jum'at: Waktu shalat jum'at yang paling utama adalah: setelah tergelincirnya matahari hingga akhir waktu shalat dzuhur, dan boleh dilakukan sebelum tergelincir matahari.

·        Yang lebih baik antara adzan pertama untuk shalat jum'at dan adzan kedua ada tenggang waktu yang cukup bagi umat islam terutama yang jauh, orang yang tidur dan lalai untuk bersiap-siap untuk shalat dengan melaksanakan adab-adabnya, dan sunnah-sunnahnya.

·        Shalat juma't wajib dilaksanakan pada waktunya, dan dihadiri oleh jamaah tidak kurang dari dua orang atau tiga dari penduduk suatu daerah, dan didahului oleh dua khutbah yang isinya mengandung pujian kepada Allah, dzikir, syukur, menganjurkan melakukan ketaatan kepada Allah dan rasulnya saw, serta wasiat agar bertakwa kepada Allah swt.

·        Shalat jum'at menggantikan shalat dhuhur, maka siapa yang telah shalah jum'at maka ia tidak boleh shalat dhuhur setelahnya, dan wajib memelihara shalat jum'at, siapa yang meninggalkannya sebanyak tiga kali karena meremehkannya maka Allah akan menutup hatinya.

·        Keutamaan mandi dan segera pergi untuk shalat jum'at:

1-     dari Abu Hurairah ra bahwasanya rasulullah saw bersabda: «siapa yang mandi pada hari jum'at, mandi junub, kemudian pergi maka seakan-akan ia berkurban unta, dan barangsiapa yang pergi pada jam kedua maka seakan-akan ia berkurban seekor sapi, dan siapa yang pergi pada jam ketiga, maka seakan-akan ia berkurban seekor kambing bertanduk, dan siapa yang pergi pada jam keempat maka seakan-akan ia berkurban seekor ayam, dan siapa yang pergi pada jam kelima, maka seakan-akan ia berkurban telur, dan apabila imam telah keluar maka malaikat hadir untuk mendengarkan khutbah.» (Muttafaq alaih)([2]).

2-     Dari Aus bin Aus as-Tsaqafi ra berkata: aku mendengar rasulullah saw bersabda: «barangsiapa yang memandikan pada hari jum'at dan mandi, kemudian pergi pagi-pagi, dan berjalan kaki tidak naik kendaraan, dan dekat kepada imam, mendengarkan dan tidak lalai, maka dalam setiap langkah ia mendapat pahala beramal satu tahun, pahala puasa dan qiyamullail» (HR. Abu Daud, dan Ibnu Majah)([3]).

·        seorang muslim bisa tahu kelima jam dengan membagi waktu antara terbitnya matahari hingga datangnya imam menjadi lima bagian, dengan demikian diketahui lama setiap jam.

·        Waktu yang dianjurkan pergi untuk shalat jum'at mulai sejak terbitnya matahari, demikian pula mandi, adapun waktu wajib pergi untuk shalat jum'at adalah pada adzan kedua sewaktu imam masuk masjid.

·        Orang yang wajib shalat jum'at tidak boleh melakukan perjalanan pada hari itu setelah adzan kedua kecuali darurat, seperti takut ketinggalan rombongan, atau kendaraan seperti mobil, kapal, atau pesawat terbang.

Allah SWT berfirman:

( Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.) (QS. Al-Jumu'ah: 9).

·        Barangsiapa yang mendapatkan satu rakaat bersama imam pada shalat jum'at, maka ia harus menambah satu rakaat untuk menyempurnakan shalat jum'at, dan jika mendapatkan kurang dari satu rakaat, maka ia niat shalat dhuhur dan shalat empat rakaat.

·        Makmum disunnahkan pergi pagi-pagi untuk shalat jum'at, dua hari raya, dan shalat istisqa', adapun imam, maka pada shalat jum'at, dan istisqa' pada waktu khutbah, dan pada shalat hari raya ia datang ketika tiba waktu shalat.

·        Imam disunnahkan berkhutbah pendek tanpa teks, dan jika ia berkhutbah membawa teks maka dipegang di tangan kanannya, dan boleh baginya bersandar pada tongkat, atau burus, atau dinding mimbar dengan tangan kirnya kalau perlu.

·        Bagi yang bisa bahasa arab disunnah khutbah jum'at dengan bahasa arab, jika diterjemahkan untuk jamaah karena mereka tidak mengerti bahasa arab, itu lebih baik, dan kalau tidak bisa, maka berkhutbah dengan bahasa mereka, adapun shalat, maka tidak sah kecuali dengan bahasa arab.

·        Apabila orang musafir melewati suatu kota yang di dalamnya didirikan shalat jum'at, dan ia mendengar adzan, lalu ia berniat ingin istirahat di kota tersebut, maka ia wajib shalat jum'at, dan jika ia menjadi imam dan khatib bagi mereka, maka shalatnya dan shalat mereka sah.

·        Sifat Khatib:

·        Dari Jabir bin Abdillah t berkata: apabila rasulullah khutbah, mata beliau memerah, suaranya keras, amarahnya tinggi, sehingga seakan-akan beliau adalah panglima perang, beliau berkata: semoga Allah memberkati pagi dan soremu. (HR. Muslim)([4]).

·        Disunnahkan imam khutbah di atas mimbar yang bertangga tiga, apabila masuk masjid, ia naik mimbar lalu menghadap kepada jamaah dan mengucapkan salam kepada mereka, kemudian duduk hingga mu'adzzin adzan, kemudian khutbah yang pertama sambil berdiri bertolak kepada tongkat atau busur jika perlu, kemudian duduk, kemudian khutbah yang kedua juga berdiri.

 

·        Sifat Khutbah:

·        Suatu kali membuka khutbah dengan khutbah hajah, dan di waktu lain membuka khutbah dengan lainnya, adapun teks khutbah hajah:

إن الحمد لله نحمده ونستعينه، ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد ان لا إله الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله

Lalu mengatakanAmma ba'du

فإن خير الحديث كتاب الله، وخير الهدى هدى محمد، وشر الأمور محدثاتها، وكل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في النار. رواه أبو داود والنسائي وابن ماجه.

·        Tema Khutbah:

Khutbah-khutbah nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya mengandung penjelasan tentang tauhid dan keimanan, menyebutkan sifat-sifat Allah ,dasar-dasar keimanan, menyebutkan nikmat-nikmat Allah yang menjadikan makhluknya cinta kepadanya, dan hari-harinya yang membuat mereka takut kepada adzabnya, perintah berdzikir dan bersyukur kepadanya, mencela dunia, menyebut kematian, surga, neraka, mendorong orang taat kepada Allah dan rasulnya, dan melarang mereka berbuat maksiat dsb.

Maka khatib menyebutkan tentang keagungan Allah, nama-namanya, sifat-sifatnya, nikmat-nikmatnya yang membuat makhluknya cinta kepadanya, menyuruh taat kepada Allah, bersyukur kepadanya, mengintatnya, yang membuat mereka mencintai Allah, sehingga mereka setelah shalat jum'at, mereka cinta kepada Allah dan Allah mencintai mereka, hati mereka dipenuhi keimanan dan takut kepada Allah, dan hati dan anggota badan mereka tergerak untuk berdzikir, taat, dan beribadah kepada Allah.

·        disunnahkan imam memendekkan khutbah dan memanjangkan shalat sesuai dengan hadits.

Dari Jabir bin Samurah t berkata: aku shalat bersama rasulullah r, maka shalat beliau sedang, dan khutbahnya sedang. (HR. Muslim)([5]).

·        Disunnahkan bagi khatib membaca ayat al-Qur'an dalam khutbahnya, dan sekali-kali berkhutbah dengan surat (Qaaf).

·        Dianjurkan bagi orang-orang mukmin menghadap kepada imam dengan wajah mereka apabila imam telah berada di atas mimbar untuk khutbah, karena hal itu akan lebih konsentrasi, khatib lebih semangat, dan jauh dari tidur.

·        Sifat Sunnah Jum'at:

·        Setelah shalat jum'at disunnahkan shalat dua rakaat di rumahnya, dan terkadang shalat empat rakaat dengan dua kali salam, adapun jika ia shalat di masjid, maka shalat empat rakaat dengan dua salam, dan tidak ada shalat qabliyah sebelum shalat jum'at.

·        Berbicara di waktu khatib sedang berkhutbah merusak pahala dan berdosa, maka tidak boleh berbicara ketika khatib sedang khutbah kecuali imam, dan orang yang diajak bicara oleh imam untuk suatu maslahat, menjawab salam, dan menjawab orang yang bersin. Boleh berbicara sebelum khutbah dan setelahnya jika ada keperluan, dan haram melangkahi pudak orang pada hari jum'at ketika imam sedang khutbah, dan makruh ihtiba' pada hari jum'at ketika imam sedang khutbah.

·        Apabila syarat-syaratnya cukup maka mendirikan shalat jum'at di suatu kota tidak disyaratkan mendapat izin pemimpin, maka shalat jum'at didirikah baik pemimpin mengizinkan atau tidak, adapun mendirikan beberapa shalat jum'at di suatu kota, maka tidak boleh kecuali ada keperluan dan darurat setelah mendapat izin pemerintah, dan shalat jum'at didirikan di kota-kota dan desa, sedang di luar kampong tidak wajib.

·        Siapa yang masuk masjid ketika imam sedang khutbah maka ia tidak duduk hingga shalat dua rakaat singkat, dan siapa yang mengantuk di dalam masjid, maka sunnah berpindah dari tempatnya.

·        Mandi pada hari jum'at sunnah mu'akkadah, dan siapa yang badannya bau yang mengganggu malaikat dan manusia, maka ia wajib mandi, berdasarkansabda rasulullah r: mandi pada hari jum'at wajib atas setiap orang yang sudah baligh. (Muttafaq alaih)([6]).

·        Setelah mandi pada hari jum'at disunnahkan membersihkan diri, memakai parfum, dan memakai pakaian yang terbagus, lalu segera pergi ke masjid di waktu pagi, mendekat kepada imam, dan shalat sedapat mungkin, memperbanyak doa, dan membaca al-Qur'an.

·        Yang berkhutbah adalah imam, dan boleh satu orang khutbah, dan orang lain menjadi imam sahalat jum'at kalau ada udzur.

·        Pada malam jum'at dan siangnya disunnahkan membaca surat al-Kahfi, dan barangsiapa yang membaca surat al-Kahfi pada hari jum'at, maka memancar cahaya darinya antara dua jum'at.

·        Pada malam dan siang hari jum'at disunnahkan bagi setiap muslim memperbanyak shalawat kepada nabi Muhammad Saw.

Dari Abu Hurairah r.a.bahwasanya rasulullah  bersabda: siapa yang bershalawat kepadaku satu kali, maka Allah bershalawat kepadanya sepuluh kali. (HR. Muslim)([7]).

·        Disunnahkan bagi imam pada rakaat pertama shalat subuh hari jum'at membaca surat as-Sajdah, dan pada rakaat kedua membaca surat al-Insan.

·        Tidak disunnahkan bagi imam maupun makmum mengangkat tangan ketika berdoa pada waktu khutbah, kecuali apabila imam minta hujan, maka imam dan makmum mengangkat tangannya, adapun mengucapkan amin atas doa dengan suara pelan, maka itu disyari'atkan.

·        Disunnahkan bagi imam berdoa dalam khutbahnya, yang lebih utama mendoakan islam dan umat islam, agar mereka mendapat penjagaan, pertolongan, dan kedekatan di antara hati mereka, dsb, pada waktu berdoa, imam memberi isyarat dengan jari telunjuknya, dan tidak mengangkat kedua tangannya.

·        Waktu dikabulkannya doa:

·        Waktu dikabulkannya doa diharapkan pada saat terakhir di siang hari jum'at setelah asar, pada waktu itu disunnahkan banyak berdzikir dan berdoa, dan doa pada waktu ini sangat mungkin dikabulkan, waktunya hanya sebentar. Dari Abu Hurairah bahwasanya rasulullah  berbicara tentang hari jum'at, beliau berkata: pada hari jum'at ada satu saat tidak bertepatan seorang muslim sedang berdiri shalat memohon sesuatu kepada Allah, kecuali Allah memberi permintaannya.» beliau memberi isyarat dengan tangannya menandakan waktunya hanya sebentar. (Muttafaq alaih).

·        Siapa yang ketinggalan shalat jum'at maka ia mengqadha'nya dengan shalat dhuhur empat rakaat, jika ia ada halangan maka ia tidak berdosa, dan jika tidak ada halangan, ia berdosa; karena ia mengabaikan shalat jum'at.

Dari Abi al-Ja'ad berkata: rasulullah bersabda: «siapa yang meninggalkan tiga kali shalat jum'at karena mengabaikannya, maka Allah menutup hatinya» (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)([8]).

·        Apabila hari raya jatuh pada hari jum'at, maka yang telah shalat ied tidak wajib shalat jum'at, dan mereka shalat dhuhur, kecuali imam, maka ia tetap wajib, demikian pula yang tidak shalat ied, dan jika orang yang telah shalat ied shalat jum'at, maka tidak wajib lagi shalat dhuhur.

·        Shalat yang paling utama di sisi Allah adalah shalat subuh berjamaah pada hari jum'at.



([1]) Shahih Muslim no (854)

([2]) Shahih Bukhari no (881), Shahih Muslim no (850).

([3]) Sunan Abu Daud no (345), Sunan Ibnu Majah no (1087)

([4]) Shahih Muslim no (867)

([5]) Shahih Muslim no (866)

([6]) Shahih Bukhari no (858), Shahih Muslim no (846)

([7]) Shahih Muslim no (408)

([8]) Sunan Abi Daud no (1052), Tirmidzi no (414).

 

Mukjizat Perang Badar

       

Mukjizat Perang Badar

       Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulallah. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah dengan benar melainkan Allah semata yang tidak ada sekutu bagiNya, dan aku juga bersaksai bahwa Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam adalah seorang hamba dan utusanNya. Amma ba'du:

     Perang Badar merupakan pertempuran Islam yang mampu menjadi pemisah antara yang hak dan yang batil, didalamnya tersimpan banyak mukjizat serta karomah yang agung, diantara mukjizat dan karomah yang bisa kita ambil dari al-Qur'an dan Hadits yaitu:

 

Pertama: Kaum musyrikin dijadikan mampu mendengar ucapan serta panggilan Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam sedang mereka sudah menjadi mayat didalam sumur.

       Hal itu berdasarkan sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Thalhah radhiyallahu 'anhu, beliau bercerita:

"Bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam menyuruh pada saat perang Badar dua puluh empat orang dari para pembesar Quraisy, supaya dilempar kedalam sumur yang berada disekitar Badar, yang sangat kotor dan menjijikan.

      Dan kebiasaan beliau jika terjadi peperangan, beliau selalu istirahat terlebih dahulu disuatu tempat, pada tanah kosong selama tiga hari, dan manakala pada peperangan Badar, pada hari ketiganya beliau menyuruh hewan tunggangannya untuk berjalan, ontanya menuruti perintah beliau kemudian berjalan sembari diikuti oleh para sahabat disamping kiri kanannya.

      Para sahabat mengatakan: "Kami mengira beliau hanya ingin menunaikan hajatnya". Sampai akhirnya tiba ditepi mulut sumur yang terkumpul didalamnya bangkai orang kafir, kemudian beliau memanggil dengan nama-nama mereka dan nama ayahnya, wahai fulan bin fulan, wahai fulan bin fulan. Lalu beliau berkata:

 

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « أَيَسُرُّكُمْ أَنَّكُمْ أَطَعْتُمْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَإِنَّا قَدْ وَجَدْنَا مَا وَعَدَنَا رَبُّنَا حَقًّا فَهَلْ وَجَدْتُمْ مَا وَعَدَ رَبُّكُمْ حَقًّا. فَقَالَ عُمَرُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا تُكَلِّمُ مِنْ أَجْسَادٍ لَا أَرْوَاحَ لَهَا .فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ لِمَا أَقُولُ مِنْهُمْ .

قَالَ قَتَادَةُ: أَحْيَاهُمْ اللَّهُ حَتَّى أَسْمَعَهُمْ قَوْلَهُ تَوْبِيخًا وَتَصْغِيرًا وَنَقِيمَةً وَحَسْرَةً وَنَدَمًا » [أخرجه البخاري و مسلم]

 

"Tidakkah kalian lebih senang jika mau mentaati Allah dan RasulNya, sungguh kami telah mendapati apa yang telah dijanjikan oleh Rabb kami dengan benar, apakah kalian juga telah memperoleh apa yang telah dijanjikan oleh Rabb kalian dengan benar?

        Maka Umar bertanya kepada Rasulallah: "Ya Rasulallah, apakah anda berbicara kepada jasad yang sudah tidak ada nyawanya? Rasulallah shalallahu 'alaihi wa sallam menjawab: "Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada ditanganNya. Tidaklah mereka lebih mendengar dari pada kalian apa yang aku katakan pada mereka".

       Berkata Qotadah: "Allah menghidupkan mereka pada saat itu sehingga mereka mampu mendengar ucapan Rasulallah, dalam rangka mencela, merendahkan, sebagai hukuman, dan menjadikan mereka merasa merugi".  HR Bukhari no: 2979. Muslim no: 2875.

 

Kedua: Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam telah menentukan tempat dan nama orang kafir yang akan mati pada peperangan itu.

       Dijelaskan dalam sebuah hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: "Umar pernah mengatakan kepada kami tentang ahli Badar, sambil bercerita:

"Sesungguhnya Rasulallah shalallahu 'alaihi wa sallam memperlihatkan kepada kami tempat kematian ahli Badar kemarin, seraya berkata: "Ini adalah tempat kematiannya si fulan esok, insya Allah".

      Umar mengatakan: "Demi Dzat yang mengutusnya dengan kebenaran, tidak ada satu pun yang meleset dari tempat yang ditunjukan oleh Rasulallah shallahu 'alaihi wa sallam". Kemudian jasad mereka, kafir Quraisy dilempar satu persatu ke dalam sumur, kemudian Rasulallah pergi ke tepi sumur tersebut". HR Muslim no: 2873.

 

Ketiga: Turunnya hujan atas mereka sesuai dengan kadar yang mereka butuhkan tanpa ditambahi dan dikurangi.

      Diriwayatkkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, dari Ali radhiyallahu 'anhu yang menceritakan pada malam harinya tatkala esoknya terjadi perang Badar: "Pada malam itu, turun kepada kami hujan rintik-rintik, kemudian ada diantara kami yang berteduh dibawah pohon dan ada pula yang menggunakan tamengnya, berlindung dari air hujan, dan ketika itu Rasulallah shalallahu 'alaihi wa sallam bermalam sambil berdo'a kepada Rabbnya". HR Ahmad 2/260 no: 948.

 

        Imam Ibnu Qoyim menjelaskan: "Allah azza wa jalla menurunkan hujan pada malam itu satu kali hujan, sedang untuk kaum musyrikin maka Allah menurunkan hujan yang sangat deras sekali sehingga mereka tidak mampu untuk maju ke depan, adapun hujan yang menimpa kaum muslimin tidak begitu deras, sehingga hujan tersebut membersihkan serta menghilangkan godaan dan bisikan setan, menguatkan serta mengeraskan tanah, meneguhkan kaki dan membuka jalan". [1]

       Sedangkan Syaikh Muhamamd Rasyid Ridho beliau mengatakan: "Kalau sekiranya tidak ada hujan ini, tentu kaum muslimin tidak memungkinkan untuk bertempur, dikarenakan kebanyakan dari mereka berjalan kaki dan tidak ada yang naik kendaraan kecuali seorang, yaitu Miqdad –sebagaimana telah lewat penjelasannya- sedangkan tanah yang mereka pijak pada saat itu datar membakar telapak kaki atau setidaknya tidak mampu untuk berdiri terlalu lama diatasnya". [2]

 

Keempat: Allah ta'ala mengabulkan do'a NabiNya, atas perlakuan buruk yang dulu dilakukan oleh kafir Quraisy di Makkah, lalu mereka akhirnya terbunuh bersama para saudaranya diBadar.

     Hal itu sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits dari Abdullah radhiyallahu 'anhu, beliau bercerita:

"Tatkala Rasulallah shalallahu 'alaihi wa sallam sedangkan berdiri mengerjakan sholat disamping Ka'bah, sedang sekumpulan orang Quraisy berada disekitarnya sedang bermajelis, tiba-tiba ada diantara mereka yang menyeletuk: "Tidakkah kalian melihat pada perbuatan orang yang pura-pura ini. siapakah yang mau pergi ke kandang ontanya keluarga Fulan lalu mengambil tempat makan ontanya lalu ambil kotorannya, kemudian bawa kesini, sehingga jika dia sedang bersujud kamu letakan kotoran tersebut diatas pundaknya? Maka mereka mengutus orang yang tercela dikalangan mereka, dan manakala Rasulallah shalallahu 'alaihi wa sallam sedang bersujud, cepat-cepat dia taruh kotoran onta tersebut diatas pundaknya,  maka hal itu menjadikan Rasulallah shalallahu 'alaihi wa sallam terus dalam kondisi sujudnya. Sedangkan kejadian itu menjadi bahwan tertawaan mereka, hingga akhirnya mereka puas tertawa, lalu ada seseorang yang mengabarkan hal tersebut kepada Fathimah radhiyallahu 'anha, sedang ia pada waktu itu masih gadis kecil. Mendengar itu segera dirinya berlari ketempat ayahnya, adapun Nabi waktu itu masih dalam kondisi sujudnya, lalu Fathimah membersihkan kotoran onta itu dari pundak ayahnya, kemudian Fathimah mendatangi orang Quraisy tersebut sambil mencelanya, manakala Rasulallah shalallahu 'alaihi wa sallam telah selesai melakukan sholatnya beliau berdo'a:

 

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « اللَّهُمَّ عَلَيْكَ بِقُرَيْشٍ اللَّهُمَّ عَلَيْكَ بِقُرَيْشٍ اللَّهُمَّ عَلَيْكَ بِقُرَيْشٍ ثُمَّ سَمَّى اللَّهُمَّ عَلَيْكَ بِعَمْرِو بْنِ هِشَامٍ وَعُتْبَةَ بْنِ رَبِيعَةَ وَشَيْبَةَ بْنِ رَبِيعَةَ وَالْوَلِيدِ بْنِ عُتْبَةَ وَأُمَيَّةَ بْنِ خَلَفٍ وَعُقْبَةَ بْنِ أَبِي مُعَيْطٍ وَعُمَارَةَ بْنِ الْوَلِيدِ , قَالَ عَبْدُ اللَّهِ: فَوَاللَّهِ لَقَدْ رَأَيْتُهُمْ صَرْعَى يَوْمَ بَدْرٍ ثُمَّ سُحِبُوا إِلَى الْقَلِيبِ قَلِيبِ بَدْرٍ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُتْبِعَ أَصْحَابُ الْقَلِيبِ لَعْنَةً » [أخرجه البخاري و مسلم]

 

"Ya Allah, binasakanlah Quraisy, sebanyak tiga kali, lalu setelah itu beliau menyebut nama-namanya: "Ya Allah, binasakanlah Amr bin Hisyam, dan Utbah bin Rabi'ah, Syaibah bin Rabi'ah, Walid bin Utbah, Umayyah bin Khalaf, Uqbah bin Abi Mu'ith dan Umarah bin Walid".

       Abdullah melanjutkan: "Demi Allah, sungguh aku melihat mereka semua mati terkapar pada peperangan Badar, kemudian mereka diseret lalu dicemplungkan ke dalam sumur diBadar, kemudian Rasulallah shalallahu 'alaihi wa sallam berkata pada mereka: "Dan sertakan bagi para penghuni sumur ini laknat dari Allah". HR Bukhari no: 520, Muslim no: 1794.

 

Kelima: Turunnya pertolongan dari para Malaikat dengan menawan musuh untuk sebagian kaum muslimin.

      Disebutkan dalam sebuah hadits, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dari Ali radhiyallahu 'anhu, beliau mengkisahkan:

"Ada seorang Anshar yang datang sambil menawan Abbas bin Abdul Muthalib, maka Al-Abbas mengatakan: "Ya Rasulallah, demi Allah bukan orang ini yang menawanku tadi, orang yang menawanku tadi seseorang yang rambutnya terikat dan berwajah ganteng, menaiki kuda yang sedikit berwarna hitam keputih-putihan, sedang sekarang aku tidak melihat diantara kaum ini". orang Anshar tadi berkata: "Ya Rasulallah, aku yang menawanya tadi". Rasulallah menyergah: "Diam, sungguh Allah ta'ala yang menolongmu dengan perantara malaikat yang mulia". Ali menambahkan: "Maka kami ketika itu menawan dari keluarga Bani Abdil Muthalib al-Abbas, Aqil, dan Naufal bin Harits". HR Ahmad 2/260-261 no: 948.

 

          Dalam riwayat lain yang dikeluarkan oleh Bukhari dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, beliau berkata: "Bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam pada perang Badar bersabda:

 

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « هَذَا جِبْرِيلُ آخِذٌ بِرَأْسِ فَرَسِهِ عَلَيْهِ أَدَاةُ الْحَرْبِ » [أخرجه البخاري و مسلم]

 

"Ini adalah Jibril yang menaiki kudanya, sambil membawa senjata untuk perang". Dalam salah satu redaksi disebutkan: "Dan diwajahnya terkena debu". ". HR Bukhari no: 3995.

 

Keenam: Allah menurunkan rasa kantuk pada mereka.

      Hal itu, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ta'ala:

 

﴿ إِذۡ يُغَشِّيكُمُ ٱلنُّعَاسَ أَمَنَةٗ مِّنۡهُ ١١ ﴾ [ الأنفال: 11]

 

"(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya".  (QS al-Anfaal: 11).

 

         Diriwayatkan oleh Abu Ya'ala dalam musnadnya, dari Abu Thalhah radhiyallahu 'anhu, beliau bercerita: "Pada perang Badar, pedang yang berada ditanganku terjatuh, manakala kami semua ditimpa rasa kantuk, kemudian Allah menurunkan ayat:

 

﴿ إِذۡ يُغَشِّيكُمُ ٱلنُّعَاسَ أَمَنَةٗ مِّنۡهُ ١١ ﴾ [ الأنفال: 11]

 

"(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya".  (QS al-Anfaal: 11). HR Abu Ya'ala 3/19 no: 428.

 

         Al-Hafidh Ibnu Katsir mengatakan: "Allah ta'ala mengingatkan pada mereka akan nikmat yang mereka rasakan yaitu manakala diturunkan rasa kantuk atas mereka, sebagai penentram hati dari rasa takut yang dirasakan oleh mereka ketika melihat jumlah pasukan musuh yang begitu besar, sedang jumlah mereka sangat sedikit..". [3]

 

Ketujuh: Bahwasanya Allah ta'ala memperlihatkan kepada penglihatan mereka jumlah musuh lebih sedikit dari sesungguhnya. Dengan tujuan supaya menguatkan hati mereka untuk bertempur, serta memotivasi untuk berani berperang menghadapi musuh.

Hal itu sebagaimana digambarkan oleh Allah melalui firmanNya:

 

﴿ وَإِذۡ يُرِيكُمُوهُمۡ إِذِ ٱلۡتَقَيۡتُمۡ فِيٓ أَعۡيُنِكُمۡ قَلِيلٗا وَيُقَلِّلُكُمۡ فِيٓ أَعۡيُنِهِمۡ لِيَقۡضِيَ ٱللَّهُ أَمۡرٗا كَانَ مَفۡعُولٗاۗ وَإِلَى ٱللَّهِ تُرۡجَعُ ٱلۡأُمُورُ ٤٤ ﴾ [ الأنفال: 44]

 

"Dan ketika Allah menampakkan mereka kepada kamu sekalian, ketika kamu berjumpa dengan mereka berjumlah sedikit pada penglihatan matamu dan kamu ditampakkan-Nya berjumlah sedikit pada penglihatan mata mereka, karena Allah hendak melakukan suatu urusan yang mesti dilaksanakan. dan hanyalah kepada Allahlah dikembalikan segala urusan".  (QS al-Anfaal: 44).

 

       Berkata Ibnu Jarir dalam tafsirnya: "Allah ta'ala memperlihatkan kepada NabiNya dalam mimpi jumlah kaum musyrikin yang sedikit, dan Allah memperlihatkan pada pandangan kaum mukminin tatkala bertempur jumlah musuh yang sedikit, sedangkan jumlah mereka sejatinya sangat banyak, sehingga kaum mukminin beranggapan jumlah musuh sedikit, jadi tidak susah-susah mempersiapkan diri secara penuh, dan hal tersebut menjadi penyemangat kaum mukminin untuk melibas mereka". [4]

 

Kedelapan: Kekhususan bagi Abu Bakar dan Ali untuk mendapat karamah dari Allah azza wa jalla.

        Disebutkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, dari Ali radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: "Dikatakan kepada Ali dan Abu Bakar pada perang Badar, bersama salah seorang diantara kalian berdua Jibril, yang satunya bersama Mika'il, sedang Israfil malaikat yang agung juga ikut berperang, atau beliau berkata: 'Ikut dalam barisan perang". HR Ahmad 2/411 no: 1257.

 

       Akhirnya kita ucapkan segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga beliau dan para sahabatnya. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



[1] . Zaadul Ma'ad 3/175.

[2] . Tafsir al-Manar 9/509-510.

[3] . Tafsir Ibnu Katsir 2/291.

[4] . Tafsir Ibnu Jarir 6/259.