Nilai Plus Kaum Adam

Nilai Plus Kaum Adam

Jenggot adalah suatu fitrah manusia dan yang namanya fitrah adalah suatu hal yang tidak mungkin dibenci atau tidak disukai manusia. Apabila manusia di zaman ini ada yang membenci jenggot, menganggapnya jelek, kotor atau anggapan jelek lainnya, maka mereka keluar dari fitrahnya. Di zaman ini bisa jadi banyak orang yang berubah bahkan rusak fitrahnya karena pengaruh zaman dan tersebarnya gaya hidup melalui internet dan smartphone. Tersebar gaya hidup atau film yang orang tersebut berjenggot tapi kasar, jelek dan kotor, sedangkan orang-orang hebat adalah orang yang bersih dagunya karena telah dipotong jenggotnya. Padahal di zaman dahulu, orang-orang hebat mulai dari raja, kesatria dan ilmuan, mereka memiliki jenggot yang lebat dan terlihat gagah berwibawa.

Jenggot adalah fitrahnya manusia, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَشْرٌ مِنْ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكُ وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ وَقَصُّ الْأَظْفَارِ..

“Sepuluh perkara yang termasuk fithrah: Memotong kumis, memelihara jenggot, bersiwak, memasukkan air ke dalam hidung, memotong kuku….” (HR. Muslim)

Seorang ulama menyebutkan bahwa jenggot adalah perhiasan bagi laki-laki, artinya jika laki-laki memiliki jenggot, maka ia lebih terlihat jantan, terlihat gagah dan lebih maskulin.

Al-Gazali berkata,

فإن اللحية زينة الرجال …وبها يتميز الرجال عن النساء

“Sesungguhnya jenggot adalah perhiasan para lelaki… dengan jenggot akan terbedakan antara laki-laki dan wanita” (Ihyaa ‘Uluumid-Diin 2/257)

Karena jenggot adalah perhiasan laki-laki dan menunjukkan kegagahan dan tanda maskulin laki-laki. Ada beberapa orang shalih di zaman dahulu yang sangat ingin memiliki jenggot. Kaum Anshar sangat meninginkan pemimpim mereka memiliki jenggot agar terlihat lebih jantan. Mereka berkata,

نعم السيد قيس لبطولته وشهامته، ولكن لا لحية له، فوالله لو كانت اللحية تشترى بالدراهم، لاشترينا له لحية

“Memang Sayyid Kami Qais terkenal dengan kepahlawanan dan kedermawanannya, akan tetapi ia tidak memiliki jenggot. Demi Allah, seandainya jenggot itu bisa dibeli dengan dirham, maka kami akan belikan ia jenggot.” (Lihat Istii’aab 3/1292)

Al-Gazali berkata,

وقال شريح القاضي : وَدِدْتُ أَنَّ لِي لَحْيَةً وَلَوْ بَعَشْرَةِ آلاَفٍ

“Syuraih Al-Qadhi berkata, ‘Aku sangat ingin memiliki jenggot, meskipun harus membayar sepuluh ribu (dinar/dirham)’.” (Ihyaa ‘Uluumid -Diin 2/257)

Catatan:

Adapun menyandarkan ini dengan kandungan sebuah hadits,

سبحان من زين وجوه الرجال باللحى

“Maha Suci (Allah) yang menghiasi wajah laki-laki dengan jenggot”

Maka hadits ini maudhu’ (palsu), sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ad-Dha’ifah wal Maudhu’ah no. 6023

Jenggot merupakan sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan kita untuk memelihara jenggot. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

انْهَكُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى

Potonglah kumis dan peliharalah jenggot.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits digunakan kata perintah (fi’il ‘amr), maka dalam Ilmu ushul di ada kaidah,

الأمر يفيد الوجوب

“Kata perintah (fi’il ‘amr) menunjukkan hukum (asalnya) wajib”

Menurut pendapat terkuat bahwa laki-laki wajib memelihara jenggotnya (membiarkan tumbuh), bahkan memotongnya adalah sebuah larangan (ada juga pendapat boleh dipotong jika sudah melebihi satu genggam). Memotong jenggot adalah kebiasaan orang-orang musyrik dan Majusi, sebagaimana Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam,

خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ

“Selisihilah orang-orang musyrik, peliharalah jenggot dan potonglah kumis.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Beliau juga bersabda,

جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ

Potonglah kumis dan biarkanlah jenggot, selisihilah orang-orang Majusi (penyembah matahari).” (HR. Muslim)

Menyerupai orang-orang kafir akan mendapat ancaman sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barangsiapa yang menyerupai sebuah kaum maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud, Shahih)

Demikian semoga bermanfaat.

Beramal Karena Allah Ta'ala, Bukan Karena Manusia

Beramal Karena Allah Ta'ala, Bukan Karena Manusia 

Ketika seorang muslim selamat dari Syirik Akbar yaitu menyekutukan Allah Ta’ala, sehingga dia tidak menyembah tuhan lainnya. Syaitan tidak akan membiarkannya begitu saja, Syaitan akan mendatanginya dan mengganggu niatnya dalam beribadah, sehingga melakukan Syirik Ashgar, seperti Riya dan Sum’ah.

Riya, yaitu beribadah karena ingin dilihat oleh orang-orang bahwa dia melakukan ibadah tersebut. Sehingga niatnya tidak lagi tulus ingin mendapatkan ridha Allah Ta’ala namun ingin menerima pujian atau pengakuan dari manusia.

Dan Sum’ah yaitu beribadah karena ingin didengar sehingga mendapatkan pujian atau pengakuan, contoh: Sengaja mengangkat suara ketika mengaji karena ingin didengar orang-orang bahwa suaranya bagus.

Dua keadaan di atas sungguh merugikan, bahwa ibadah yang mereka kerjakan tidak mendapatkan pahala dari Allah Ta’ala, justru mendapatkan dosa dibalik keinginan mereka mendapatkan pujian.

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

“Allah Ta’ala berfirman ; “Aku sangat tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa beramal dengan suatu amalan, dia menyekutukan selain Aku bersama-Ku pada amalan itu, Aku tinggalkan dia dan sekutunya” (HR Muslim)

Allah Ta’ala berfirman:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabb-nya” [Al-Kahfi/18 : 110]

Dan orang-orang yang beribadah karena riya dan sum’ah ini berpotensi dapat meninggalkan ibadah yang dilakukannya jika tidak mendapatkan apa yang dia mau dari pujian, atau justru mendapatkan cercaan, seperti orang yang berderma ingin dicap sebagai dermawan.

Oleh karena itu, kerjakanlah amal ibadah karena dia adalah perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, bukan dengan niat lain untuk ini atau itu.

Karena sesungguhnya kita semua yang membutuhkan pahala dari ibadah tersebut di akhirat, sedangkan keuntungan duniawi hanyalah fana.

Simak ucapan berikut:

“يراك الناس ويرون عملك بعينين: عين الرضا وعين السخط؛ فإذا رضوا عنك مدحوك، وإذا سخطوا عليك عابوك. فلا تسع لمدحهم، ولا تشق لذمهم. واعمل لله، فقد أفلح من تولاه”.

“Orang-orang melihatmu dan amalanmu dengan 2 mata: Mata Senang dan Mata Benci. Ketika mereka senang, maka akan memujimu, ketika tidak suka maka akan menjelekkanmu. Untuk itu jangan berusaha untuk mendapatkan pujian mereka, dan jaga pusing dengan cacian mereka. Beramal lah karena Allah Ta’ala, sungguh akan beruntung orang yang ditolong oleh Allah Ta’ala.

Semoga Allah Ta’ala menerima amal shalih kita dan menjauhkan kita dari jeleknya Riya dan Sum’ah.

Pengertian Taubat Nasuha

Pengertian Taubat Nasuha 

Di antara perintah Allah Ta’ala kepada hamba-Nya adalah perintah untuk taubat. Taubat ini adalah jalan yang ditunjukkan oleh Allah Ta’ala sebagai sarana agar para hamba-Nya memperbaiki diri atas dosa, maksiat, dan kesalahan yang telah mereka perbuat. Allah Ta’ala berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (QS. At-Tahrim [66]: 8).

Oleh karena itu, taubat merupakan ibadah yang sangat agung dan memiliki banyak keutamaan. [1] Lalu, apa maksud taubat nasuha sebagaimana yang Allah Ta’ala perintahkan dalam ayat di atas?

Makna Pertama: Taubat yang Murni (Ikhlas) dan Jujur

Secara bahasa, ??? (na-sha-kha) artinya sesuatu yang bersih atau murni (tidak bercampur dengan sesuatu yang lain). Sesuatu disebut (??????) (an-naashikh), jika sesuatu tersebut tidak bercampur atau tidak terkontaminasi dengan sesuatu yang lain, misalnya madu murni atau sejenisnya. Di antara turunan kata ??? adalah  ???????(an-nashiihah). (Lihat Lisaanul ‘Arab, 2/615-617).

Berdasarkan makna bahasa ini, taubat disebut dengan taubat nasuha jika pelaku taubat tersebut memurnikan, ikhlas (hanya semata-mata untuk Allah), dan jujur dalam taubatnya. Dia mencurahkan segala daya dan kekuatannya untuk menyesali dosa-dosa yang telah diperbuat dengan taubat yang benar (jujur).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menjelaskan ayat di atas,

Yaitu taubat yang jujur, yang didasari atas tekad yang kuat, yang menghapus kejelekan-kejelekan di masa silam, yang menghimpun dan mengentaskan pelakunya dari kehinaan” (Tafsir Al-Qur’anul ‘Adzim, 4/191).

Ketika menjelaskan ayat di atas, penulis kitab Tafsir Jalalain berkata,

Taubat yang jujur, yaitu dia tidak kembali (melakukan) dosa dan tidak bermaksud mengulanginya.” (Tafsir Jalalain, 1/753).

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

An-nush-khu dalam taubat, ibadah, dan nasihat artinya memurnikan perkara-perkara tersebut dari semua kotoran, kekurangan, dan kerusakan. Seseorang melaksanakannya dalam bentuk yang paling sempurna.” (Madaarijus Saalikiin, 1/309-310).

Taubat nasuha ini akan terasa pengaruhnya bagi pelakunya, yaitu orang lain kemudian mendoakan kebaikan untuknya.

Al-Alusi rahimahullah berkata,

Taubat nasuha boleh juga dimaknai dengan taubat yang mendatangkan doa dari manusia. Artinya, manusia mendoakannya untuk bertaubat, sehingga tampaklah pengaruh taubat tersebut bagi pelakunya. Pelakunya pun mencurahkan kesungguhan dan tekad untuk melaksanakan konsekuensi dari taubatnya.“ (Ruuhul Ma’aani, 28/158).

Terdapat beberapa syarat agar taubat nasuha diterima, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama rahimahumullah. [2]

Makna Ke dua: Taubat yang Memperbaiki Kerusakan dalam Agama akibat Perbuatan Maksiat

Penulis ‘Umdatul Qari menjelaskan,

Adapun makna asal dari ‘nashihah’ diambil dari seseorang yang menjahit pakaiannya, ketika dia menyulam pakaiannya dengan jarum.” (‘Umdatul Qari Syarh Shahih Bukhari, 1/321)

Beliau rahimahullah kemudian melanjutkan,

(Dari kata nashihah tersebut) muncullah istilah ‘taubat nasuha’. Seakan-akan dosa (maksiat) telah merobek agama (seseorang), dan taubatlah yang menjahit kembali (robekan tersebut).” (‘Umdatul Qari Syarh Shahih Bukhari, 1/321).

Al-Qurthubi rahimahullah berkata,

Dikatakan, (taubat nasuha) diambil dari kata ‘an-nashahah’, yaitu ‘jahitan’. Berdasarkan asal kata tersebut, terdapat dua sisi (makna) dari taubat nasuha. Pertama, karena taubat tersebut telah memperbaiki ketaatan dan menguatkannya. Sebagaimana jahitan yang memperbaiki pakaian dan menguatkannya.” (Al-Jami’ li Ahkaamil Qur’an, 18/199).

Berdasarkan makna secara bahasa di atas, maka pelaku taubat nasuha telah menyempurnakan taubatnya dan memperkuat taubatnya dengan melaksanakan berbagai macam amal ketaatan. Hal ini sebagaimana jahitan yang menyempurnakan (memperbaiki) pakaian, menguatkan, dan merapikannya.

Al-Alusi rahimahullah berkata,

Disebut dengan taubat nasuha, yaitu taubat yang memperbaiki robekan (lubang) dalam agamamu dan memperbaiki keburukanmu.” (Ruuhul Ma’aani, 28/157-158).

Abu Ishaq rahimahullah berkata,

Taubat nasuha adalah taubat yang mencapai puncak kesempurnaan (yang dilaksanakan semaksimal mungkin, pen.). Taubat ini (sejenis dengan) pekerjaan menjahit. Seakan-akan maksiat telah merobek (agama), dan taubatlah yang menambal (menjahit atau memperbaikinya).” (‘Umdatul Qari Syarh Shahih Bukhari, 22/280).

Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan sisi yang lain istilah taubat nasuha sesuai dengan makna bahasa di atas. Beliau rahimahullah berkata,

Sisi yang ke dua, karena taubat nasuha mengumpulkan antara pelakunya dengan wali-wali Allah, dan merekatkannya. Hal ini sebagaimana jahitan yang merekatkan pakaian dan menyambung antara sisi (kain) yang satu dengan sisi lainnya.” (Al-Jami’ li Ahkaamil Qur’an, 18/199).

Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk dalam hamba-hambaNya yang gemar untuk bertaubat. [3]

***

Selesai disusun menjelang maghrib, Sint-Jobskade Rotterdam NL, 11 Rajab 1436

Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya

___

Catatan kaki:

[Disarikan dari kitab At-Taubah, fii Dhau’il Qur’anil Kariim, Dr. Amaal binti Shalih Naashir, Daar Andalus Khadhra’,cetakan pertama, tahun 1419, hal. 145-147; dengan beberapa penambahan dari referensi lainnya.

Tidak Boleh Memandang Keatas Ketika Sholat

Tidak Boleh Memandang Keatas Ketika Sholat 

Salah satu larangan yang tidak boleh dilakukan saat shalat adalah memandang ke atas (ke langit-langit) saat sedang shalat. Larangan ini berlaku juga saat sedang berdoa, menurut pendapat paling kuat.

وَعَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوامٌ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي الصَّلاَةِ أَوْ لاَ تَرْجِعُ إِلَيْهِم». رَوَاهُ مُسْلمٌ.

Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah orang-orang yang memandang ke atas (ke langit-langit) saat shalat berhenti atau pandangan itu tidak kembali kepada mereka.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 428]

Faedah hadits

  1. Hadits ini dijadikan dalil diharamkannya mengangkat pandangan ke langit-langit (memandang ke atas) ketika shalat. Larangan seperti dalam hadits hanya ditemukan pada larangan haram.
  2. Larangan ini berlaku ketika berdiri, bangkit dari rukuk (iktidal), atau di keadaan yang lain di dalam shalat.
  3. Larangan ini juga berlaku ketika berdoa dalam shalat.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ رَفْعِهِمْ أَبْصَارَهُمْ عِنْدَ الدُّعَاءِ فِى الصَّلاَةِ إِلَى السَّمَاءِ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ

Hendaklah orang-orang yang memandang ke atas saat berdoa dalam shalat berhenti atau pandangan mereka akan dirampas.” (HR. Muslim, no. 429)

  1. Walaupun demikian, memandang ke langit-langit saat shalat tidaklah membatalkan shalat. Inilah pendapat yang lebih kuat.
  2. Memandang ke langit-langit menandakan tidak khusyuknya orang yang shalat. Memandang seperti ini berarti menjauh dari kiblat. Karena kiblat itu di hadapan orang yang shalat, bukan dengan memandang ke atas. Alasan lainnya, memandang ke atas tidak menunjukkan keadaan orang yang shalat, ia seperti dalam keadaan tidak shalat (berada di luar shalat).
  3. Yang diperintahkan dalam shalat adalah memandang ke tempat sujud, baik ketika menjadi imam, makmum, atau shalat sendirian. Inilah pendapat jumhur ulama. Yang berbeda dalam hal ini adalah ulama Malikiyah yang memerintahkan melihat ke depan, bukan ke tempat sujud. Namun, yang lebih tepat adalah memandang ke tempat sujud sebagaimana praktik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang dikecualikan dalam hal ini adalah keadaan saat tahiyat, pandangan orang yang shalat menghadap ke jari telunjuk (yang jadi isyarat saat tahiyat). Cara ini berdasarkan hadits dari ‘Abdullah bin Az-Zubair ketika menerangkan tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana disebutkan, “Pandangan beliau tidak melebihi isyarat beliau.” (HR. Abu Daud, no. 990; An-Nasai, 3:39; Ahmad, 26:25; Ibnu Khuzaimah, no. 718,719. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan mengatakan bahwa hadits ini sahih).
  4. Mengenai hukum memandang ke atas (ke langit) saat berdoa di luar shalat, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama menyatakan hukumnya makruh, sebagian ulama menyatakan boleh. Yang berpendapat bolehnya di antaranya adalah Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani. Menurut beliau, langit itu adalah kiblatnya doa, sebagaimana Kabah itu menjadi kiblat shalat. Namun, Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan menguatkan pendapat yang menyatakan terlarang menghadapkan pandangan ke atas saat berdoa di luar shalat. Yang tepat, kiblat doa sama dengan kiblatnya shalat karena tiga alasan: (a) pendapat yang menyatakan bahwa mengangkat pandangan ke langit saat berdoa tidaklah memiliki dalil pendukung yang kuat, termasuk tidak didukung contoh dari para salaf terdahulu; (b) yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdoa adalah menghadap kiblat sebagaimana doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat shalat istisqa’ (minta hujan); (c) kiblat adalah arah dihadapkannya pandangan (wajah), dilakukan ketika berdzikir, berdoa, dan menyembelih; arah kiblat bukanlah dengan pandangan atau tangan yang diangkat.

Referensi:

Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan ketiga, Tahun 1431 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 

Keutamaan Berdoa Sebelum Berhubungan Suami Istri

Keutamaan Berdoa Sebelum Berhubungan Suami Istri 

Dari ‘Ibnu Abbaas Radhiyallahu ‘anhuma ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang dari kalian (suami) ketika ingin mengumpuli istrinya, ia membaca do’a:

Dengan (menyebut) nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rizki[1] yang Engkau anugerahkan kepada kami. Kemudian jika Allah menakdirkan (lahirnya) anak dari hubungan intim tersebut, maka setan tidak akan bisa mencelakakan anak tersebut selamanya.”[2]

Hadist yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan membaca dzikir/doa ini sebelum berhubungan suami istri, karena selain mendapat pahala dari Allah Azza wa Jalla ini merupakan sebab selamatnya seorang bayi dari bahaya dan keburukan setan.[3]

Faidah Penting dalam Hadits
Iblis dan bala tentaranya selalu berusaha menanamkan benih-benih keburukan kepada manusia sejak baru lahir dan sebelum mengenal nafsu, indahnya dunia dan godaan-godaan duniawi lainnya, apalagi setelah dia mengenal semua godaan tersebut.[4] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tangisan seorang bayi ketika (baru) dilahirkan adalah tusukan (godaan untuk menyesatkan) dari setan.”[5]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya, ‘Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan hanif (suci dan cenderung kepada kebenaran), kemudian setan mendatangi mereka dan memalingkan mereka dari agama mereka (Islam)’.”[6]

Agungnya petunjuk Allah Azza wa Jalla dan rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mensyariatkan dzikir dan doa untuk kebaikan agama manusia dan perlindungan dari keburukan tipu daya setan.

Arti sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “… setan tidak akan bisa mencelakakan anak tersebut selamanya”; setan tidak akan bisa menyesatkan dan mencelakakan anak tersebut dalam diri dan agamanya, tapi bukan berarti ini menunjukkan bahwa anak tersebut terlindungi dan terjaga dari perbuatan dosa.[7]

Termasuk keburukan yang terjadi akibat tidak menyebut nama Allah Azza wa Jalla sebelum berhubungan intim adalah ikut sertanya setan dalam hubungan intim tersebut, sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Ibnu Hajar, asy-Syaukani dan as-Sa’di[8]. Na’udzu billah min dzalik.

Imam Ibnu Hajar Rahimahullah dan al-Munawi Rahimahullah menjelaskan bahwa dzikir dan doa ini diucapkan ketika hendak berhubungan suami-istri dan bukan ketika sudah dimulai hubungan intim.[9]

Anjuran membaca dzikir dan doa ini pula berlaku bagi pasangan suami-istri yang diperkirakan secara medis tidak punya keturunan, karena permohonan dalam doa atau dikir ini bersifat umum dan tidak terbatas pada keturunan atau anak saja.[10] (Disusun oleh Abdullah bin Taslim al-Buthoni)

———

[1] Termasuk anak dan lainnya, lihat kitab Faidhul Qadir, 5/306.

[2] HSR. al-Bukhari, no. 6025 dan Muslim, no. 1434.

[3] Lihat keterangan Imam an-Nawawi dalam Syarhu Shahih Muslim, 5/10 dan 13/185.

[4] Lihat kitab Ahkamul Maulud fis Sunnatil Muthahharah, hlm.23.

[5] HSR. Muslim, no. 2367.

[6] HSR. Muslim, no. 2865.

[7] Lihat kitab Fathul Bari, 9/229 dan Faidhul Qadir (5/306).

[8] Lihat kitab Fathul Bari, 9/229; Faidhul Qadir 3/346 dan Tafsir as-Sa’di, hlm.461.

[9] Lihat kitab Fathul Bari, 9/228 dan Faidhul Qadir, 5/306.

[10] Lihat kitab Faidhul Qadir, 5/306.

Sifat Malu, Warisan Para Nabi Terdahulu

Sifat Malu, Warisan Para Nabi Terdahulu 

Dalam kitab Al-Arba’in An-Nawawiyah, pada hadis ke-20, disebutkan :

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ عُقْبَةَ بْنِ عَمْرٍو الأَنْصَارِي البَدْرِي رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ، رَوَاهُ البُخَارِيْ

Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr Al-Anshari Al-Badri radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya di antara ungkapan yang telah dikenal oleh manusia dari ucapan kenabian terdahulu ialah: Jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesuka hatimu” (HR. Bukhari)

Hadis tersebut terdapat di dalam kitab Shahih Al-Bukhari (Fat-hul Bari – 6/515), dan terdapat pula di dalam kitab Sunan Abu DawudSunan Ibnu MajahMusnad Ahmad, dan selainnya. Derajat hadis tersebut sahih, sebagaimana dinyatakan oleh Al-Albani rahimahullah (Ash-Shahihah – 684).

***

Berbicara tentang akhlak para Nabi memang selalu mengundang decak kagum luar biasa. Baik tingkah laku maupun tutur kata semuanya dihiasi dengan akhlak yang memesona. Maka sudah selayaknya bagi kita selaku umat Muslim untuk meneladani mereka, terutama dalam akhlak yang begitu melekat pada sosok mereka. Salah satu sifat yang menghiasi diri para Nabi adalah malu, sebagaimana yang disinggung di dalam hadis di atas. Pada artikel singkat ini, penulis akan mengutip beberapa pelajaran yang terkandung dalam hadis di atas.

Biografi Singkat Uqbah bin ‘Amir

Uqbah bin ‘Amr bin Tsa’labah Al-Anshari Al-Badri adalah salah satu di antara sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sahabat yang memiliki kunyah Abu Mas’ud ini termasuk sahabat yang sering meriwayatkan hadis. Abu Mas’ud yang tergolong ulama di antara para sahabat ini mengikuti baiat Aqabah di kala masih muda. Ia tidak mengikuti perang Badar, akan tetapi pernah turun ke sumur Badar hingga dikenal dengan Al-Badri. Ketika Ali bin Abi Thalib ingin beranjak menemui Muawiyah, Ali mengangkat Abu Mas’ud untuk menjadi penggantinya di Kufah. Abu Mas’ud wafat sekitar tahun 40 H di Kufah.

Malu, Warisan Para Nabi

Malu adalah akhlak yang diwariskan oleh para nabi secara turun-temurun. Tidak ada seorang nabi pun yang diutus melainkan memiliki sifat malu. Hal ini telah dikenal luas oleh manusia.

Malu adalah satu di antara akhlak yang diperintahkan oleh setiap nabi. Ia tidak pernah terhapus dari syariat sejak dahulu. Tak pernah sekalipun absen ataupun vakum barang sejenak dari teladan para nabi tiap generasi.

Ibnu Rajab rahimahullah berkata di dalam Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (1/497), “Sabda Nabi, ‘Sesungguhnya di antara ungkapan yang telah dikenal oleh manusia dari ucapan kenabian terdahulu’ mengisyaratkan bahwa sifat malu merupakan warisan yang telah terdapat sejak zaman nabi-nabi terdahulu. Manusia dari generasi ke generasi selanjutnya senantiasa saling mewarisi akhlak terpuji ini. Hal ini jelas menunjukkan bahwa kenabian terdahulu telah membawa perkataan ini, dan terus menyebar di kalangan manusia hingga akhirnya sampai pada generasi pertama umat Islam ini”.

Malu, Fitrah Manusia

Malu merupakan fitrah manusia. Bahkan secara khusus, sifat malu telah menghiasi jiwa kaum Arab sejak masa Jahiliyah. Salah satu contohnya adalah kisah Abu Sufyan ketika masih berstatus kafir. Ketika itu, Abu Sufyan ditanya oleh Heraklius perihal Rasulullah. Ia malu untuk berdusta sehingga rasa malu tersebut membuatnya menceritakan sosok Rasulullah yang sebenarnya. Abu Sufyan bertutur,

لَوْلَا الْحَيَاءُ مِنْ أَنْ يَأْثِرُوا عَلَيَّ كَذِبًا لَكَذَبْت

Jika bukan karena rasa malu atas tudingan dusta yang akan mereka lontarkan kepadaku, niscaya aku pasti akan berdusta” (HR. Bukhari)

Sifat malu telah mendarah daging di kalangan bangsa Arab. Hal itu tergambar jelas dari ungkapan Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu kepada salah seorang pemuda dari kaum Bani Jusyam yang tengah kabur dari medan peperangan. Abu Musa berkisah,

فَلَمَّا رَآنِي وَلَّى عَنِّي ذَاهِبًا فَاتَّبَعْتُهُ وَجَعَلْتُ أَقُولُ لَهُ أَلَا تَسْتَحْيِي أَلَسْتَ عَرَبِيًّا أَلَا تَثْبُتُ فَكَفَّ

أَلَا تَسْتَحْيِي أَلَسْتَ عَرَبِيًّا أَلَا تَثْبُتُ فَكَفَّ

“Ketika ia melihatku, ia pun berlari dariku. Aku pun mengejarnya. Aku lantas berteriak kepadanya, ‘Tidakkah engkau malu lari dariku? Bukankah engkau pemuda Arab? Berhenti dan bertarunglah denganku!” Akhirnya tak lama kemudian ia pun berhenti. (HR. Muslim)

Kisah-kisah di atas menggambarkan betapa pentingnya sifat malu. Ia adalah fitrah manusia yang salim.

Berbuatlah Sesuka Hatimu, Jika Tak Malu

Sebagian ulama bersilang pendapat mengenai makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesuka hatimu”.

Pertama, ucapan ini mengandung makna ancaman. Maksud dari ungkapan tersebut adalah, “Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesuka hatimu! Allah akan membalasmu atas apa yang pernah engkau kerjakan!”. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,

اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Berbuatlah apa yang kalian kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kalian kerjakan”(QS. Fushshilat: 40)

Kedua, ungkapan tersebut bukanlah ancaman, melainkan bermakna kabar atau informasi. Maksudnya, jika seseorang tidak memiliki rasa malu, maka ia akan berbuat apa yang ia mau. Karena pencegah dari perbuatan keji nan mungkar adalah rasa malu. Jika seseorang tidak memelihara bunga malu di taman hatinya, maka ia akan terjerumus ke dalam lumbung maksiat dan dosa. Hal ini seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار

Siapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempatnya di neraka” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ketiga, ada juga sebagian ulama yang berpendapat bahwa hadis tersebut dimaknai secara zahirnya. Maksudnya, jika seseorang menilai suatu perbuatan tidak membuatnya malu, baik itu menurut pandangan Allah ataupun manusia, baik memang sebuah ketaatan atau perangai yang baik, dan segala akhlak yang tidak bertentangan dengan kemaksiatan, maka silakan baginya melakukan hal itu sesuka hatinya.

Malu, Akhlak Terpuji

Setelah mengetahui bahwa malu adalah warisan para nabi terdahulu, maka tidak pelak lagi bahwa malu merupakan sifat yang terpuji dan sudah selayaknya terpatri dalam jiwa muslim sejati. Ada banyak hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengisahkan tentang indahnya akhlak ini. Di antara keistimewaan sifat malu ialah malu dapat menghadirkan kebaikan di dalam jiwa seorang insan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertutur kata tentang sifat ini,

الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ

Sifat malu itu tidaklah mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan” (HR. Bukhari dan Muslim)

Iman seorang hamba tidak akan sempurna sampai cahaya malu terpancar dari relung hatinya, lantas menyinari tiap sudut sanubari. Karena sifat malu juga bagian dari keimanan seseorang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ketika menjelaskan tentang cabang-cabang keimanan,

وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَان

Sifat malu adalah satu di antara cabang-cabang keimanan” (HR. Bukhari dan Muslim)

Inilah akhlak yang terpuji. Sifat malu yang menghalangi manusia dari menelusuri jalan-jalan kemaksiatan, menyelewengkan insan hingga berpaling dari jalan kebaikan.

Inilah akhlak yang terpuji. Sifat malu yang bagaikan tameng, mencegah manusia dari buruknya dan rendahnya akhlak tercela, serta tingkah laku yang dipandang hina dari kacamata fitrah manusia.

Inilah akhlak yang terpuji. Sifat malu yang menjadi pembeda antara insan dan hewan. Indikasi kecintaan Allah kepada manusia. Dengannya Allah menjaga manusia dari segala macam sifat yang memalukan.

Akhir kata, semoga Allah menganugerahi kita semua rasa malu di dalam diri-diri kita, sehingga dengan sifat malu tersebut kita terhalangi dari jalan-jalan menuju api neraka.

Daftar Pustaka
  1. Abdulmuhsin Al-Abbad Al-Badr. 1424. Fat-hu Al-Qawiyy Al-Matin fi Syarh al-Arba’in wa Tatimm al-Khamsin (Cetakan ke-1). Kairo – Mesir : Dar Ibn ‘Affan.
  2. Muhammad bin Ahmad Adz-Dzahabi. Siyar A’lam an-Nubala. Maktabah Syamilah.
  3. Muhammad Nashirudin Al-Albani. As Silsilah Al Ahadits Ash-Shahihah. Maktabah Syamilah.
  4. Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Bahjah an-Nazhirin Syarh Riyadh ash-Shalihin (Jilid ke-3, cetakan ke-2). Damam – Arab Saudi: Dar Ibn al-Jauzy.