Antara Cuaca Panas Dan Neraka

Antara Cuaca Panas Dan Neraka 

Dari Abdullah bin Umar dan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhuma dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, ‘Jika panas menyengat, tundalah shalat hingga udara dingin, karena panas yang menyengat merupakan bagian dari tumpahan Neraka Jahannam.

Makna Global
Ruh shalat dan intinya adalah kekhusyu’an dan ketundukan hati di dalam shalat. Karena itulah orang yang shalat dianjurkan memasuki shalat dengan melepaskan diri dari segala kesibukan dan mencari sarana yang dapat membantu kekhusuyu’an hati di dalamnya.

Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih mengutamakan penundaan shalat Zhuhur hingga udara menjadi lebih dingin ketika hari terik menyengat, agar orang yang shalat tidak terganggu kekhusuannya karena udara yang panas. Yang demikian ini untuk mendatangkan kemudahan dan keluwesan bagi orang-orang yang keluar dari rumah untuk shalat di masjid dibawah sengatan sinar matahari.

Atas dasar makna-makna yang agung seperti inilah disyariatkan penundaan shalat Zhuhur dari awal waktunya. Hadits ini menjadi pengkhusus bagi hadits-hadits yang menyebutkan keutamaan shalat di awal waktu.

Kesimpulan Hadits

  1. Sunat menunda shalat Zhuhur ketika panas menyengat hingga udara menjadi lebih dingin dan panas berkurang. Menurut para Ulama, penundaan ini tidak mempunyai batasan waktu dalam syari’at. Ah-Shan’any menjelaskan bahwa yang lebih benar penggunaan dalil untuk mejelaskan batasannya ialah hadits yang ditakhrij Asy-Syaikhany dari hadits Abu Dzar, dia berkata : “Kami dalam perjalanan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu mu’adzin hendak adzan untuk shalat Zhuhur. Maka beliau bersabda, “Tunggulah hingga udara menjadi lebih dingin”.. Muadzin hendak adzan lagi, lalu belaiu bersabda, “Tunggulah hingga udara menjadi lebih dingin lagi”. Hingga kami melihat bayangan di dinding. Ini merupakan petunjuk batasan menunda hingga dingin, yaitu ketika dinding sudah memunculkan bayangan atau lainnya.

  1. Hikmah dalam hal ini ialah agar orang yang shalat dapat tenang hatinya dan tidak gusar karena terganggu oleh panas matahari yang menyengat.
  2. Hukum berlaku karena alasannya. Jika dirasakan panas di suatu wilayah, maka berlakulah fadhilah penundaan shalat Zhuhur. Adapun wilayah-wilayah yang dingin, berarti kehilangan alasan, sehingga tidak dianjurkan menunda pelaksanaan shalat Zhuhur.
  3. Zhahir hadits ini dan hikmah yang dapat dipahami dari pendundaan ini, bahwa hukum ini bersifat umum bagi orang yang hendak shalat jama’ah di masjid dan orang yang mengerjakannya sedirian di rumah, karena mereka semua merasakan kegundahan karena panas.
  4. Disyariatkan kepada orang yang shalat untuk menjauhi segala hal yang menyibukkan dan menggangu

Faidah
Syaikh kami, Abdurrahman bin Nashir bin Sa’dy berkata ketika membicarakan hadits ini, “Tidak ada penafian antara hal ini dengan sebab-sebab yang dirasakan, yang semuanya termasuk sebab panas dan dingin, seperti yang berlaku dalam shalat gerhana dan lain sebagainya”.

Manusia harus mengukuhkan sebab-sebab yang tidak tampak seperti yang disebutkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mempercayainya serta menetapkan sebab-sebab yang tampak dan dirasakan. Siapa yang mendustakan salah satu di antara keduanya, berarti dia salah.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالظَّهَائِرِ فَسَجَدْنَا عَلَى ثِيَابِنَا اتِّقَاءَ الْحَرِّ

“Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, ‘Kami pernah shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat zhuhur di tengah terik yang menyengat. kami sujud beralaskan pakaian kami untuk menghindari panasnya pasir. ”.

Makna Global
Kebiasaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah shalat Zhuhur bersama shahabat pada hari-hari yang terik, sementara panasnya tanah masih sangat terasa, sehingga membuat orang-orang yang shalat tidak kuat menempelkan kening di tanah. Karena itu mereka menggelar kain mereka lalu sujud di atasnya, agar dapat melindungi kening dari panasnya tanah.
Kesimpulan Hadits

  1. Waktu shalat Zhuhur yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat pada hari-hari yang panas ialah setelah panas matahari berkurang, namun bekasnya masih tetap terasakan di tanah.
  2. Diperbolehkan sujud di atas alas berupa kain atau lainnya jika dibutuhkan, karena panas, dingin, benda-benda yang tajam dan lain sebagainya. Para ulama merinci alas untuk sujud. Jika alas itu tidak dipakai orang yang shalat, seperti sajadah, maka diperbolehkan meskipun bukan keperluan yang mendesak dan juga tidak dimakruhkan. Jika berkaitan dengan hal-hal yang dikenakannya, seperti kain yang biasa diselimutkan ke badan, maka hukumnya makruh.

Lalu bagaimana cara mengkompromikan dua hadits ini ?

Zhahir kedua hadits diatas saling bertentangan. Karena itulah para ulama berusaha mengkompromikan keduanya. Pendapat yang paling baik tentang masalah ini seperti yang dinyatakan jumhur, bahwa yang afdhal ketika panas yang menyengat ialah menunda waktunya seperti yang disebutkan dalam hadits Anas, bahwa mereka menundanya hingga dingin. Tapi panasnya tanah masih tetap, karena proses dinginnya tanah lebih lama, sehingga perlu sujud di atas alas.

Yang dimaksudkan menunda waktu pelaksanaan hingga dingin seperti yang dituntut di sini bukan menunda waktu hingga tanah menjadi dingin, tapi maksudnya panasnya sinar matahari hingga agak dingin, begitu pula badan manusia.


Awas, Ada Riya' Dalam Ibadahmu

Awas, Ada Riya' Dalam Ibadahmu 

Dalam beribadah, terkadang muncul perasaan ingin dipuji orang lain. Apalagi ibadah tersebut dilakukan di tempat umum yang banyak dilihat orang lain. Memang pujian manusia terdengar manis di telinga, tetapi hal ini dapat membawa kerugian bagi kita semua. Hal ini merupakan riya’ yang tersembunyi pada hati. Apa itu riya’? Dan apa saja bahayanya? Mari simak penjelasan singkat mengenai riya’ berikut ini.

Definisi Riya

Riya’ merupakan keinginan hati untuk dipuji saat melakukan ibadah maupun amal salih, sehingga pelaku riya’ tersebut cenderung memperbagus ibadahnya. Para ulama mendefinisikan riya’ sebagai berikut,

أن يُظهِرَ الإنسانُ العَمَلَ الصَّالحَ للآخَرِينَ، أو يُحَسِّنَه عِندَهم؛ لِيَمدَحوه، ويَعظُمَ في أنفُسِهم

Riya’ adalah menampakkan amalan shalih kepada orang lain atau memperbagusnya di hadapan orang lain, agar mendapatkan pujian atau agar dianggap agung oleh orang lain.” (Lihat Al-Muwafaqat karya Asy-Syatibi [2/353], Ar-Ri’ayah karya Ibnu Abil Izz [hal. 55])

Bahaya dari Riya

Terdapat beberapa bahaya dari riya’ yang disebutkan baik di Al-Qur’an maupun berbagai sumber As-Sunnah, diantaranya sebagai berikut:

1. Riya’ membatalkan pahala amal salih

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا ۖ لَا يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadikan ia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan, dan Allah tidak memberi petunujuk kepada orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 264)

Perumpamaan hati pada ayat tersebut menunjukkan bahwa orang yang berbuat riya’ tidak akan mendapatkan apa-apa. Amal ibadah yang dilakukan lewat saja dari hati mereka. Tidak ada kebaikan maupun pahala yang didapatkan, bahkan mereka mendapatkan dosa darinya. Hal ini sangat disayangkan sekali karena ibadah yang dilakukan terhapus pahalanya, hanya memberikan lelah.

2. Riya’ termasuk kesyirikan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِيْ مِنَ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ ، قَالَ قُلْنَا بَلَى ، فَقَالَ : الشِّرْكُ الْخَفِيُّ أَنْ يَقُوْمَ الرَّجُلُ يُصَلِّيْ فَيُزَيِّنُ صَلاَتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ

Maukah aku kabarkan kepada kalian sesuatu yang lebih tersembunyi di sisiku atas kalian daripada Masih ad Dajjal?” Dia berkata, “Kami mau.” Maka Rasulullah berkata, yaitu syirkul khafi; yaitu seseorang salat, lalu ia menghiasi (memperindah) salatnya, karena ada orang yang memperhatikan salatnya.” (HR Ibnu Majah, no. 4204, dari hadits Abu Sa’id al-Khudri, hadits ini hasan-Shahih Ibnu Majah, no. 3389)

Kesyirikan yang dimaksud adalah kesyirikan tersembunyi atau disebut sebagai syirik khafi.

3. Amal salih yang disertai riya’ akan hilang pengaruh baiknya

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ ﴿٤﴾ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ﴿٥﴾الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ﴿٦﴾وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ

Maka celakalah bagi orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya’ dan mencegah (menolong dengan) barang yang berguna.” (QS. Al-Ma’uun: 4-7)

Dalam ayat tersebut, orang yang salat dengan riya’ tidak akan memiliki pengaruh positif dalam hati mereka. Mereka hanya mengerjakan salat dari apa yang tampak saja. Hati mereka tidak digunakan untuk mengharap pahala dari Allah, tetapi mereka hanya mengharapkan ucapan semu dari manusia. Maka merugilah orang-orang yang melakukan riya’.

Riya’ yang Menempel pada Ibadah

Berdasarkan fatwa dari Syaikh Ibnu Utsaimin hafizhahullah pada Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin, (2/29, 30), terdapat tiga macam menempelnya riya’ dengan ibadah:

1. Asal tujuan dalam ibadahnya agar dilihat oleh orang

Pada kasus ini, riya’ membatalkan ibadahnya.

2. Bersama dalam ibadah, terdapat riya’ disela-selanya

  • Apabila kondisi awal tidak terkait dengan kondisi akhir, maka riya’ mempengaruhi pada kondisi yang dilekatinya. Sebagai contoh membaca Al-Qur’an. Pada sepuluh ayat awal, orang tersebut tidak ada riya’. Tetapi pada ayat selanjutnya, orang tersebut melakukan riya’. Maka riya’ hanya mempengaruhi amalan pada bacaan setelah sepuluh ayat pertama.
  • Apabila kondisi awal terkait dengan kondisi akhir, maka riya’ dapat membatalkan ibadahnya. Sebagai contoh salat, puasa. Apabila orang tersebut menyadarinya dan segera mengkoreksi niatnya, maka riya’ tersebut tidak memberikan pengaruh. Tetapi apabila orang tersebut menikmati dan tidak ingin menolak riya’, maka ibadah tersebut batal.

3 . Munculnya riya’ setelah beribadah

Hal ini tidak mempengaruhi ibadahnya karena telah sempurna ibadah yang sudah dilakukan. Bukan termasuk riya’ seseorang senang dengan melakukan amal salih karena hal tersebut merupakan bukti atas keimanannya. Dari Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ وَسَاءَتْهُ سَيِّئَتُهُ فَهُوَ مُؤْمِنٌ

Siapa yang merasa bahagia dengan ibadah yang dia kerjakan, dan merasa sedih karena maksiat yang dia lakukan, maka itulah mukmin”. (HR. Ahmad 115, Turmudzi 2318, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)

Penutup

Betapa bahayanya ibadah apabila dimasuki riya’ karena dapat menghapus nilai dari ibadah tersebut. Jangan sampai kita menjadi orang yang merugi karenanya. Semoga dengan bertambanya ilmu tentang riya’, kita dapat semakin berhati-hati dalam menjaga niat pada ibadah kita.

Wallahu a’lam. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

Referensi:

1. Majmu’ Fatawa Syeikh Ibnu Utsaimin, (2/29, 30) yang diambil dari https://islamqa.info/id/answers/9359/masuknya-riya-dalam-ibadah

2. Ustadz Ammi Nur Baits, 2016, “Kapan Riya bisa Membatalkan Ibadah?”, diakses dari https://konsultasisyariah.com/26441-kapan-riya-bisa-membatalkan-ibadah.html

3. Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, diakses dari https://almanhaj.or.id/11969-bahaya-riya-2.html

4. stadz Yulian Purnama, S. Kom., 2022, “Perbedaan Pamer, Riya, Ujub, dan Sombong”, diakses dari https://konsultasisyariah.com/41003-perbedaan-pamer-riya-ujub-dan-sombong.html.

2 Kantuk Yang Berbeda

Dua Kantuk Yang Berbeda 

والنعاس في الحرب، وعند الخوف دليل على الأمن، وهو من الله.

وفي الصلاة، ومجالس الذكر والعلم من الشيطان

Ibnul Qoyyim mengatakan, “Rasa kantuk ketika perang dan kondisi takut itu tanda ketenangan hati. Itulah rasa kantuk yang berasal dari Allah. Sedangkan rasa kantuk ketika sholat, di majelis dzikir dan ketika pengajian itu berasal dari setan” (Zadul Ma’ad 3/182)

Nukilan di atas menunjukkan bahwa anggapan bahwa rasa kantuk ketika pengajian adalah bagian ketenangan hati yang Allah turunkan adalah anggapan yang tidak benar.

Contoh Ibadah Karena Dunia

Contoh Ibadah Karena Dunia 

Berbicara tentang niat yang ikhlas berarti membahas suatu amalan hati yang paling berat untuk dilakukan seorang manusia, karena besarnya dominasi ambisi nafsu manusia yang sangat bertentangan dengan keikhlasan dalam niat, kecuali bagi orang-orang beriman yang diberi kemudahan oleh Allah Ta’ala dalam semua kebaikan.

Imam Sahl bin Abdullah at-Tustari berkata: “Tidak ada sesuatupun yang paling berat bagi nafsu manusia melebihi keikhlasan karena pada keikhlasan tidak ada bagian untuk nafsu”1.

Semakna dengan ucapan di atas, Imam Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri berkata: “Tidaklah aku berusaha memperbaiki sesuatu (dalam diriku) yang lebih sulit bagiku daripada (memperbaiki) niatku (supaya ikhlas)”2.

Imam Ibnul Qayyim menggambarkan hal ini dalam ucapan beliau: “Adapun kesyirikan (penyimpangan) dalam niat dan keinginan (manusia) maka itu (ibaratnya seperti) lautan (luas) yang tidak bertepi dan sangat sedikit orang yang selamat dari penyimpangan tersebut. Maka barangsiapa yang menginginkan dengan amal kebaikannya selain wajah Allah, meniatkan sesuatu selain untuk mendekatkan diri kepada-Nya, atau selain mencari pahala dari-Nya maka sungguh dia telah berbuat syirik dalam niat dan keinginannya. Ikhlas adalah dengan seorang hamba mengikhlaskan untuk Allah (semata) semua ucapan, perbuatan, keinginan dan niatnya”3.

Keinginan/niat duniawi pada amal kebaikan
Termasuk penyimpangan niat yang banyak menimpa manusia dan menodai kesucian ibadah mereka, selain perbuatan riya’, adalah terselipnya niat dan keinginan duniawi pada amal ibadah yang dikerjakan manusia. Penyimpangan ini penting untuk diketahui, karena sering menimpa seorang yang berbuat amal kebaikan tapi dia tidak menyadari terselipnya niat tersebut, padahal ini termasuk bentuk kesyirikan yang bisa menodai bahkan merusak amal kebaikan seorang hamba.

Allah Ta’ala berfirman:

{مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}

“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Merekalah orang-orang yang di akhirat (kelak) tidak akan memperoleh (balasan) kecuali neraka dan lenyaplah apa (amal kebaikan) yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka lakukan” (QS Huud: 15-16).

Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa amal shaleh yang dilakukan dengan niat duniawi adalah termasuk perbuatan syirik yang bisa merusak kesempurnaan tauhid yang semestinya dijaga dan perbuatan ini bisa menggugurkan amal kebaikan. Bahkan perbuatan ini lebih buruk dari perbuatan riya’ (memperlihatkan amal shaleh untuk mendapatkan pujian dan sanjungan), karena seorang yang menginginkan dunia dengan amal shaleh yang dilakukannya, terkadang keinginannya itu menguasai niatnya dalam meyoritas amal shaleh yang dilakukannya. Ini berbeda dengan perbuatan riya’, karena riya’ biasanya hanya terjadi pada amal tertentu dan bukan pada mayoritas amal, itupun tidak terus-menerus. Meskipun demikian, orang yang yang beriman tentu harus mewaspadai semua keburukan tersebut4.

Oleh karena itu, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab dalam kitab at-Tauhid mencantumkan sebuah bab khusus tentang masalah penting ini, yaitu bab: Termasuk (perbuatan) syirik adalah jika seseorang menginginkan dunia dengan amal (shaleh yang dilakukan)nya5.

Syaikh Shalih bin ‘Abdil ‘Aziz Alu asy-Syaikh berkata: “Termasuk syirik kecil adalah seorang yang menginginkan (balasan di) dunia dengan amal-amal ketaatan (yang dilakukan)nya dan tidak menghendaki (balasan di) akhirat…Orang-orang yang menginginkan kehidupan dunia secara asal, menjadi tujuan (utama) dan (sumber) penggerak (diri mereka) adalah orang-orang kafir. Oleh karena itu, ayat ini (firman Allah Ta’ala di atas) turun berkenaan dengan orang-orang kafir. Akan tetapi, lafazh ayat ini mencakup semua orang (kafir maupun mukmin) yang menginginkan kehidupan (balasan) duniawi dengan amal shaleh (yang dilakukan)nya”6.

Makna dan perbedaannya dengan riya’
‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu’anhu berkata tentang makna ayat di atas: “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia”, artinya balasan duniawi, “dan perhiasannya”, artinya harta. “Niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna”, artinya: Kami akan sempurnakan bagi mereka balasan amal perbuatan mereka (di dunia) berupa kesehatan dan kegembiraan dengan harta, keluarga dan keturunan”7.

Semakna dengan ucapan di atas, Imam Qatadah bin Di’amah al-Bashri berkata: “Barangsiapa yang menjadikan dunia (sebagai) target (utama), niat dan ambisinya, maka Allah akan membalas kebaikan-kebaikannya (dengan balasan) di dunia, kemudian di akhirat (kelak) dia tidak memiliki kebaikan untuk diberikan balasan. Adapun orang yang beriman, maka kebaikan-kebaikannya akan mendapat balasan di dunia dan memperoleh pahala di akhirat (kelak)”8.

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin mengisyaratkan makna lain dari perbuatan ini, yaitu seorang yang mengamalkan ketaatan kepada Allah Ta’ala bukan karena riya’ atau pujian, niatnya ikhlas kerena Allah Ta’ala, akan tetapi dia menginginkan suatu balasan duniawi, misalnya harta, kedudukan duniawi, kesehatan pada dirinya, keluarganya atau keturunannya, dan yang semacamnya. Maka dengan amal kebaikannya dia menginginkan manfaat duniawi dan melalaikan/melupakan balasan akhirat9.

Adapun perbedaan antara perbuatan ini dengan perbuatan riya’, maka perbuatan ini lebih luas dan lebih umum dibanding perbuatan riya’, bahkan riya’ adalah salah satu bentuk keinginan duniawi dalam beramal shaleh10.

Perbuatan riya’ bertujuan untuk mendapatkan pujian dan sanjungan dengan amal shaleh, sedangkan perbuatan ini tidak bertujuan untuk mendapat pujian, tapi ingin mendapatkan balasan duniawi dengan amal shaleh, seperti harta, kedudukan, kesehatan fisik dan lain-lain11.

Dalil-dalil yang menunjukkan tercela dan buruknya perbuatan ini
Allah Ta’ala berfirman:

{مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}

“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Merekalah orang-orang yang di akhirat (kelak) tidak akan memperoleh (balasan) kecuali neraka dan lenyaplah apa (amal kebaikan) yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka lakukan” (QS Huud: 15-16).

Ayat yang mulia ini dibatasi kemutlakannya dengan firman Allah Ta’ala dalam ayat lain12:

{مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا}

“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa (balasan dunia) yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami inginkan, kemudian Kami jadikan baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir” (QS al-Israa’: 18).

Maka kesimpulan makna kedua ayat ini adalah: orang yang menginginkan balasan duniawi dengan amal shaleh yang dilakukannya, maka Allah Ta’ala akan memberikan balasan duniawi yang diinginkannya jika Allah Ta’ala menghendaki, dan terkadang dia tidak mendapatkan balasan duniawi yang diinginkannya karena Allah Ta’ala tidak menghendakinya13.

Oleh sebab itu, semakin jelaslah keburukan dan kehinaan perbuatan ini di dunia dan akhirat, karena keinginan orang yang melakukannya untuk mendapat balasan duniawi terkadang terpenuhi dan terkadang tidak terpenuhi, semua tergantung dari kehendak Allah Ta’ala. Inilah balasan bagi mereka di dunia, dan di akhirat kelak mereka tidak mendapatkan balasan kebaikan sedikitpun, bahkan mereka akan mendapatkan azab neraka Jahannam dalam keadaan hina dan tercela.

Benarlah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang bersabda: “Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuannya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niatnya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya)“14.

Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda tentang buruknya perbuatan ini: “Binasalah (orang yang menjadi) budak (harta berupa) emas, celakalah (orang yang menjadi) budak (harta berupa) perak, binasalah budak (harta berupa) pakaian indah, kalau dia mendapatkan harta tersebut maka dia akan ridha (senang), tapi kalau dia tidak mendapatkannya maka dia akan murka. Celakalah dia tersungkur wajahnya (merugi serta gagal usahanya), dan jika dia tertusuk duri (bencana akibat perbuatannya) maka dia tidak akan lepas darinya”15.

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keburukan dan kehinaan perbuatan ini, karena orang yang melakukannya berarti dia menjadikan dirinya sebagai budak harta, karena harta menjadi puncak kecintaan dan keinginannya dalam setiap perbuatannya, sehingga kalau dia mendapatkannya maka dia akan ridha (senang), tapi kalau tidak maka dia akan murka.

Kemudian Rasulullah menggabarkan keadaannya yang buruk bahwa orang tersebut jika ditimpa keburukan atau bencana akibat perbuatannya maka dia tidak bisa terlepas darinya dan dia tidak akan beruntung selamanya16. Maka dengan perbuatan buruk ini dia tidak mendapatkan keinginannya dan dia pun tidak bisa lepas dari keburukan yang menimpanya. Inilah keadaan orang yang menjadi budak harta17, na’uudzu billahi min dzaalik.

Beberapa bentuk dan contoh keinginan duniawi pada amal kebaikan

Syaikh ‘Abdur Rahman bin Hasan Alu asy-Syaikh rahimahullah menukil keterangan Imam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab18 rahimahullah tentang bentuk-bentuk amal shaleh yang dikerjakan dengan keinginan untuk mendapatkan balasan duniawi, sebagai berikut:

Amal shaleh yang dikerjakan oleh banyak orang dengan mengharapkan wajah Allah (ikhlas), berupa sedekah, shalat, (menyambung) silaturahim, berbuat baik kepada orang lain, tidak menzhalimi orang lain, dan lain-lain, yang dilakukan atau ditinggalkan seseorang ikhlas karena Allah, akan tetapi dia tidak menginginkan pahala di akhirat, dia hanya menginginkan balasan (duniawi) dari Allah, dengan (Allah Ta’ala) menjaga hartanya dan mengembangkannya, atau memelihara istri dan anggota keluarganya, atau melanggengkan limpahan nikmat/kekayaan bagi keluarganya. Tidak ada niatnya untuk meraih Surga dan menyelamatkan diri dari (siksa) Neraka. Maka orang seperti ini akan diberikan balasan amal perbuatannya di dunia dan tidak ada bagian (balasan kebaikan) untuknya di akhirat (kelak). Bentuk inilah yang disebutkan oleh (Shahabat yang mulia) Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhu.
Ini lebih besar dan lebih menakutkan dari bentuk yang pertama, dan inilah yang disebutkan oleh Imam Mujahid tentang (makna) ayat di atas dan sebab turunnya, yaitu seorang yang mengerjakan amal shaleh dengan niat untuk riya’ (memamerkannya) kepada orang lain, bukan untuk mencari pahala akhirat.
Seorang yang mengerjakan amal shaleh dengan tujuan (untuk mendapatkan) harta, seperti orang yang berhaji untuk memperoleh harta, berhijrah untuk mendapatkan (balasan) duniawi atau untuk menikahi seorang wanita, atau berjihad untuk mendapatkan ganimah (harta rampasan perang). Bentuk ini juga disebutkan (oleh sebagian dari ulama salaf) ketika menafsirkan ayat ini. (Contoh lainnya) seperti seorang yang menuntut ilmu karena (keberadaan) madrasah milik keluarganya, usaha mereka, atau kedudukan mereka, atau seorang yang mempelajari al-Qur-an dan kontinyu melaksanakan shalat fardhu karena tugasnya di mesjid, sebagaimana ini sering terjadi.
Seorang yang mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan niat ikhlas karena Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya, akan tetapi dia pernah melakukan perbuatan kufur yang menjadikannya keluar dari agama Islam. Seperti orang-orang Yahudi dan Nashrani jika mereka beribadah kepada Allah, bersedekah, atau berpuasa dengan mengharapkan wajah Allah dan (balasan) di negeri Akhirat, juga seperti kebanyakan dari kaum muslimin yang pernah melakukan kekafiran atau kesyirikan besar yang mengeluarkan mereka dari agama Islam secara keseluruhan, meskipun mereka melakukan ketaatan kepada Allah dengan ikhlas mengharapkan ganjaran pahala dari-Nya di negeri Akhirat, akan tetapi mereka pernah melakukan perbuatan (kufur atau syirik) yang mengeluarkan mereka dari agama Islam dan ini menjadikan semua amal perbuatan mereka tidak diterima (oleh Allah Ta’ala). Bentuk ini juga disebutkan dalam penafsiran ayat ini dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu dan selain beliau.
Lebih lanjut, Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin menyebutkan beberapa contoh keinginan duniawi dengan amal shaleh yaitu:

Orang yang menginginkan harta, misalnya orang yang melakukan adzan (di masjid) untuk mendapatkan upah/gaji (sebagai muadzdzin), atau orang yang berhaji untuk mendapatkan harta.
Orang yang menginginkan kedudukan, misalnya orang yang belajar untuk mendapatkan ijazah sehingga kedudukannya semakin tinggi.
Orang yang menginginkan hilangnya gangguan, penyakit dan keburukan dari dirinya, misalnya orang yang beribadah kepada Allah supaya Allah memberikan baginya balasan di dunia berupa kecintaan manusia kepadanya (sehingga mereka tidak menyakitinya), dihilangkan keburukan dari dirinya, dan lain-lain.
Orang yang beribadah kepada Allah dengan tujuan untuk memalingkan wajah manusia kepadanya (menjadikan mereka kagum kepadanya) dengan mencintai dan menghormatinya. Dan masih banyak contoh-contoh yang lain19.
Beberapa syubhat (kerancuan) dan jawabannya
Berdasarkan pemaparan di atas, kita menetapkan bahwa hukum asal dalam ibadah dan amal shaleh adalah tidak boleh ada niat/keinginan dunia padanya20.

Akan tetapi, dalam masalah ini ada beberapa syubhat/kerancuan yang timbul karena kesalahpahaman atau hawa nafsu, di antaranya:

A. Pendapat yang mengatakan bolehnya meniatkan balasan duniawi dengan amal-amal shaleh. Pendapat ini berargumentasi dengan beberapa hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menyebutkan balasan duniawi pada beberapa amal shaleh. Misalnya sabda beliau shallallahu’alaihi wasallam: “Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaknya dia menyambung (hubungan baik dengan) kerabatnya”21.

Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang membunuh orang kafir (di medan jihad) dan dia mempunyai bukti (atas pembunuhan tersebut) maka dia (yang berhak) mendapatkan harta yang ada pada orang kafir tersebut”22.

Bagaimana cara mendudukkan hadits-hadits ini dan yang semakna dengannya? Karena tidak mungkin Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam justru menjelaskan dan tidak mengingkari perbuatan yang jelas-jelas tercela dalam agama.

Syaikh Shaleh bin ‘Abdil ‘Aziz Alu asy-Syaikh telah menjelaskan dan memerinci hal ini, beliau berkata: “Amal-amal shaleh yang dilakukan oleh seorang hamba dengan menghadirkan (keinginan mendapatkan) balasan duniawi ada dua macam:

Amal yang dilakukannya itu dengan menghadirkan dan menginginkan balasan duniawi, serta tidak menginginkan balasan di akhirat, (padahal) amal tersebut tidak dianjurkan dalam syariat dengan menyebutkan balasan duniawi, seperti shalat, puasa dan amal-amal ketaatan lainnya, maka amal seperti ini tidak boleh diniatkan untuk (balasan) duniawi. Kalau dia menginginkan (balasan) duniawi dengan amal seperti ini maka (berarti) dia telah berbuat syirik dengan kesyirikan seperti yang telah dijelaskan di atas.
Amal-amal yang dijelaskan dalam syariat akan mendatangkan balasan di dunia dan dianjurkan dalam Islam dengan menyebutkan balasannya di dunia. Seperti shilaturahim (menyambung hubungan baik dengan kerabat), berbakti kepada orang tua dan yang semisalnya. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam telah bersabda: “Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaknya dia menyambung (hubungan baik dengan) kerabatnya”23.
Amal-amal seperti ini, ketika seorang hamba yang melakukannya dia menghadirkan (menginginkan) balasan duniawi tersebut, (meskipun) dia ikhlas kerena Allah (tapi) dia tidak menghadirkan (menginginkan) balasan akhirat, maka dia masuk dalam ancaman (buruknya perbuatan ini) dan ini termasuk jenis syirik yang disebutkan di atas. Akan tetapi jika dia menghadirkan (menginginkan) balasan duniawi dan balasan akhirat (secara) bersamaan, (yaitu dengan) dia mengharapkan balasan di sisi Allah di akhirat (nanti), menginginkan surga dan takut (dengan siksa) neraka, tapi dia (juga) menghadirkan balasan duniawi dalam amal ini, maka (yang seperti) ini tidak mengapa (tidak berdosa), karena syariat Islam tidaklah memotivasi (untuk) mengerjakan amal tersebut dengan menyebutkan balasan duniawi kecuali untuk mendorong (kita).

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam: “Barangsiapa yang membunuh orang kafir (di medan jihad) dan dia mempunyai bukti (atas pembunuhan tersebut) maka dia (yang berhak) mendapatkan harta yang ada pada orang kafir tersebut”24.

Maka barangsiapa yang membunuh orang kafir di (medan) jihad untuk mendapatkan harta yang ada pada orang kafir tersebut, akan tetapi tujuan (utamanya) berjihad adalah mengharapkan balasan di sisi Allah Ta’ala dan semata-mata mencari wajah-Nya, meskipun keinginannya (terhadap balasan duniawi) ini sebagai tambahan motivasi baginya. (Ringkasnya), keinginan orang ini tidak terbatas pada balasan duniawi ini, karena hatinya juga terikat dengan (balasan) akhirat, maka perbuatan seperti ini tidak mengapa (tidak berdosa) dan tidak termasuk jenis (perbuatan syirik) yang pertama25.

B. Menyebutkan manfaat-manfaat duniawi ketika menjelaskan beberapa hikmah dan faidah amal-amal ibadah. Misalnya, di antara faidah shalat adalah untuk olah raga dan melatih otot, demikian juga puasa, di antara faidahnya adalah mengurangi kelebihan cairan dalam tubuh, mengatur jadwal makan (diet), menyehatkan lambung dan saluran pencernaan. Apakah ini diperbolehkan?

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin menjawab pertanyaan ini dalam ucapan beliau: “Semestinya kita tidak boleh menjadikan (menyebutkan) manfaat-manfaat duniawi sebagai asal (yang utama). Karena Allah tidak menyebutkan hal-hal tersebut dalam al-Qur-an, tetapi yang Allah sebutkan (dalam al-Qur-an) adalah bahwa shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar (buruk), juga tentang puasa adalah sebab untuk (meraih) takwa kepada-Nya. Maka faidah-faidah agama dalam ibadah inilah (yang dijadikan) asal (yang utama), sedangkan faidah-faidah duniawi (dijadikan) nomor kedua (sekunder). Oleh karena itu, ketika kita menjelaskan hal ini di depan orang-orang awam, maka (hendaknya) kita menyampaikan kepada mereka segi-segi (faidah dan hikmah) yang berhubungan dengan agama. (Terkecuali) tatkala kita menjelaskan hal ini di depan orang yang tidak merasa puas kecuali dengan sesuatu (faidah) yang bersifat duniawi maka (kita boleh) menjelaskan kepadanya segi-segi (faidah dan hikmah) yang berhubungan dengan agama dan dunia (sekaligus). Penjelasan yang kita sampaikan (hendaknya) disesuaikan dengan kondisi (orang yang ada di hadapan kita)”26.

C. Menuntut ilmu agama di universitas-universitas Islam negeri yang kurikulumnya berdasarkan manhaj Ahlus sunnah wal jama’ah, seperti universitas-universitas di Arab Saudi, kemudian setelah lulus akan mendapatkan ijazah dan gelar, baik itu Lc (Licence), MA (Master of arts) ataupun Dr (doktor), apakah ini diperbolehkan dan tidak termasuk melakukan amal shaleh dengan keinginan duniawi?

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin menjawab pertanyaan ini dengan perincian sebagai berikut:

Kalau niat dan keinginan orang yang belajar di universitas-universitas tersebut hanya untuk mendapatkan gelar tersebut dan tidak ada niat untuk agama, maka jelas ini termasuk perbuatan buruk yang dijelaskan di atas.

Kalau niatnya untuk agama dan akhirat, akan tapi dia menjadikan gelar tersebut hanya sebagai sarana untuk memudahkan dia diterima dan mendapat pengakuan masyarakat, sehingga dengan itu dia lebih mudah mendakwahi dan mengajak mereka ke jalan Allah, karena di jaman sekarang kebanyakan orang sangat memperhitungkan gelar resmi, maka ini diperbolehkan dan niat ini adalah niat yang benar27.

Cara untuk menyelamatkan diri dari keburukan besar ini

Semua kebaikan ada di tangan Allah Ta’ala, tidak ada seorangpun yang mampu melakukan kebaikan kecuali dengan pertolongan-Nya dan tidak ada yang bisa menyelamatkannya dari keburukan kecuali Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman:

{وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلا كَاشِفَ لَهُ إِلا هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلا رَادَّ لِفَضْلِهِ. يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ}

“Jika Allah menimpakan suatu keburukan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Yuunus: 107).

Khususnya yang berhubungan dengan pemurnian tauhid dan ibadah kepada Allah Ta’ala maka manusia tidak akan mungkin meraihnya tanpa pertolongan-Nya. Renungkanlah makna firman-Nya:

{إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}

“Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan” (QS al-Faatihah:5).

Oleh karena itu, tekun berdoa kepada Allah Ta’ala dengan sungguh-sungguh untuk memohon taufik-Nya dalam memurnikan tauhid dan menjauhi perbuatan syirik dalam segala bentuk dan jenisnya, ini termasuk sebab terbesar untuk meraih penjagaan dari-Nya dari keburukan besar ini.

Di antara doa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada kita yang berhubungan dengan penjagaan dari perbuatan syirik adalah doa:

« اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ »

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan-Mu yang aku ketahui, dan aku memohon ampun kepada-Mu dari apa yang tidak aku ketahui (sadari)”28.

Kemudian termasuk sebab yang paling penting untuk memudahkan kita meraih keikhlasan dalam ibadah dan terhindar dari keburukan syirik dalam segala bentuknya adalah berusaha keras dan berjuang menundukkan hawa nafsu dan keinginannya yang buruk. Inilah sifat penghuni surga yang dipuji oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya:

{وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى}

“Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya (Allah Ta’ala) dan menahan diri dari (memperturutkan) keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (mereka)’ (QS an-Naazi’aat: 40-41).

Keinginan hawa nafsu yang paling penting dan paling sulit untuk ditundukkan, kecuali bagi orang-orang yang dimudahkan oleh Allah Ta’ala, adalah kecintaan dan ambisi mengejar dunia yang berlebihan serta keinginan untuk selalu mendapatkan pujian dan sanjungan. Inilah dua penyakit hati terbesar yang merupakan penghalang utama untuk meraih keikhlasan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.

Imam Ibnul Qayyim berkata: “Tidak akan berkumpul (bertemu) keikhlasan dalam hati dengan keinginan (untuk mendapat) pujian dan sanjungan serta kerakuasan terhadap (harta benda duniawi) yang ada di tangan manusia, kecuali seperti berkumpulnya air dan api (tidak mungkin berkumpul selamanya)… Maka jika terbersit dalam dirimu (keinginan) untuk meraih keikhlasan, yang pertama kali hadapilah (sifat) rakus terhadap dunia dan penggallah sifat buruk ini dengan pisau ‘putus asa’ (dengan balasan duniawi yang ada di tangan manusia). Lalu hadapilah (keinginan untuk mendapat) pujian dan sanjungan, bersikap zuhudlah (tidak butuh) terhadap semua itu…Kalau kamu sudah bisa melawan sifat rakus terhadap dunia dan bersikap zuhud terhadap pujian dan sanjungan manusia maka (meraih) ikhlas akan menjadi mudah bagimu”29.

Lebih lanjut, Imam Ibnul Qayyim menjelaskan cara untuk menghilangkan dua pernyakit buruk penghalang keikhlasan tersebut, beliau berkata: “Adapun (cara untuk) membunuh (sifat) rakus (terhadap balasan duniawi yang ada di tangan manusia, itu akan dimudahkan bagimu dengan kamu memahami secara yakin bahwa tidak ada sesuatupun yang diinginkan oleh (manusia) kecuali di tangan Allah semata perbendaharaannya, tidak ada yang memiliki/menguasainya selan Dia Subhanahu Wa Ta’ala dan tidak ada yang dapat memberikannya kepada hamba kecuali Dia Subhanahu Wa Ta’ala semata. Adapun (berskap) zuhud terhadap pujian dan sanjungan, itu akan dimudahkan bagimu dengan kamu memahami (secara yakin) bahwa tidak ada satupun yang pujiannya bermanfaat serta mendatangkan kebaikan dan celaannya mencelakakan dan mendatangkan keburukan kecuali Allah satu-satunya”30.

Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua yang membacanya dan menjadi sebab taufik dari Allah Ta’ala bagi kita untuk memurnikan tauhid dan penghambaan diri kepada-Nya serta penjagaan dari segala bentuk kesyirikan yang besar maupun kecil.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

1 Dinukil oleh Imam Ibnu Rajab dalam kitab “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (hal. 17).

2 Dinukil oleh Syaikh Bakr Abu Zaid dalam kitab “Hilyatu thaalibil ‘ilmi” (hal. 11).

3 Kitab “ al-Jawaabul kaafi” (hal. 94).

4 Lihat kitab “Fathul Majiid” (hal. 451).

5 Ibid.

6 Kitab “at-Tamhiid lisyarhi kitaabit tauhiid” (hal. 404-405).

7 Dinukil oleh Syaikh ‘Abdur Rahman bin Hasan Alu asy-Syaikh dalam kitab “Fathul Majiid” (hal. 451).

8 Dinukil oleh Imam Ibnu Jarir ath-Thabari dalam tafsir beliau (15/264).

9 Kitab “al-Qaulul mufiid ‘ala kitaabit tauhiid” (2/242).

10 Lihat kitab “at-Tamhiid lisyarhi kitaabit tauhiid” (hal. 404).

11 Lihat kitab “Taisiirul ‘Aziizil Hamiid” (hal. 473) dan “Fathul Majiid” (hal. 451).

12 Lihat keterangan Syaikh Bin Baz pada catatan kaki kitab “Fathul Majiid” (hal. 452).

13 Lihat kitab “Fathul Majiid” (hal. 452).

14 HR Ibnu Majah (no. 4105), Ahmad (5/183), ad-Daarimi (no. 229), Ibnu Hibban (no. 680) dan lain-lain dengan sanad yang shahih, dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-Bushiri dan syaikh al-Albani.

15 HSR al-Bukhari (no. 2730), dari Abu Hurairah .

16 Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam “Igaatsatul lahfaan” (2/149).

17 Lihat keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam “Majmuu’ul fataawa” (10/180).

18 Dalam kitab “Fathul Majiid” (hal. 453-454).

19 Kitab “al-Qaulul mufiid ‘ala kitaabit tauhiid” (2/243).

20 Lihat keterangan Syaikh al-‘Utsaimin dalam kitab “al-Qaulul mufiid ‘ala kitaabit tauhiid” (2/245).

21 HSR al-Bukhari (no. 1961) dan Muslim (no. 2557).

22 HSR al-Bukhari (no. 2973) dan Muslim (no. 1751).

23 HSR al-Bukhari (no. 1961) dan Muslim (no. 2557).

24 HSR al-Bukhari (no. 2973) dan Muslim (no. 1751).

25 Kitab “at-Tamhiid lisyarhi kitaabit tauhiid” (hal. 406-407).

26 Kitab “al-Qaulul mufiid ‘ala kitaabit tauhiid” (2/245).

27 Lihat kitab “al-Qaulul mufiid” (2/244) dan “al-‘Ilmu” (hal. 21).

28 HR al-Bukhari dalam “al-Adabul mufrad” (no. 716) dan Abu Ya’la (no. 60), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.

29 Kitab “al-Fawa-id” (hal. 150).

30 Kitab “al-Fawa-id” (hal. 150).

Gunakan Hartamu Untuk Kebaikan

Gunakan Hartamu Untuk Kebaikan 

Agama Islam yang sempurna telah mengatur dan menjelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh kaum muslimin untuk menyelenggarakan semua urusan dalam hidup mereka, untuk kemaslahatan dan kebaikan mereka dalam urusan dunia maupun agama.

Allah Ta’ala berfirman,

{وَنزلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ}

“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri” (QS an-Nahl:89).

Dan ketika sahabat yang mulia, Salman al-Farisy ditanya oleh seorang musyrik: Sungguhkah nabi kalian (nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai (masalah) adab buang air besar? Salman menjawab: “Benar, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami menghadap ke kiblat ketika buang air besar atau ketika buang air kecil…[1].

Tidak terkecuali dalam hal ini, masalah yang berhubungan dengan mengatur dan membelanjakan rizki/penghasilan, semua telah diatur dalam al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih.

Misalnya, tentang keutamaan menginfakkan harta untuk kebutuhan keluarga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

«إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ»

“Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampaipun makanan yang kamu berikan kepada istrimu”[2].

Kewajiban Mengatur Pembelanjaan Harta

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

«لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ»

“Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya”[3].

Hadits yang agung ini menunjukkan kewajiban mengatur pembelanjaan harta dengan menggunakannya untuk hal-hal yang baik dan diridhai oleh Allah, karena pada hari kiamat nanti manusia akan dimintai pertanggungjawaban tentang harta yang mereka belanjakan sewaktu di dunia[4].

Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai bagi kalian tiga perkara…(di antaranya) idho’atul maal (menyia-nyiakan harta)[5].

Arti “idho’atul maal” (menyia-nyiakan harta) adalah menggunakannya untuk selain ketaatan kepada Allah Ta’ala, atau membelanjakannya secara boros dan berlebihan[6].

Antara Pemborosan dan Penghematan yang Berlebihan

Sebaik-baik cara mengatur pembelanjaan harta adalah dengan mengikuti petunjuk Allah Ta’ala, sebagaimana dalam firman-Nya:

{وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا}

“Dan (hamba-hamba Allah yang beriman adalah) orang-orang yang apabila mereka membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan mereka) di tengah-tengah antara yang demikian” (QS al-Furqaan:67).

Artinya: mereka tidak mubazir (berlebihan) dalam membelanjakan harta sehingga melebihi kebutuhan, dan (bersamaan dengan itu) mereka juga tidak kikir terhadap keluarga mereka sehingga kurang dalam (menunaikan) hak-hak mereka dan tidak mencukupi (keperluan) mereka, tetapi mereka (bersikap) adil (seimbang) dan moderat (dalam pengeluaran), dan sebaik-baik perkara adalah yang moderat (pertengahan)[7].

Juga dalam firman-Nya,

{وَلا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا}

“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenngu pada lehermu (terlalu kikir) dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya (terlalu boros), karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal” (QS al-Israa’:29).

Imam asy-Syaukani ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata: “Arti ayat ini: larangan bagi manusia untuk menahan (hartanya secara berlebihan) sehingga mempersulit dirinya sendiri dan keluarganya, dan larangan berlebihan dalam berinfak (membelanjakan harta) sampai melebihi kebutuhan, sehingga menjadikannnya musrif (berlebih-lebihan/mubazir). Maka ayat ini (berisi) larangan dari sikap ifrath (melampaui batas) dan tafrith (terlalu longgar), yang ini melahirkan kesimpulan disyariatkannya bersikap moderat, yaitu (sikap) adil (seimbang) yang dianjurkan oleh Allah”[8].

Waspadai Fitnah (Kerusakan) Harta!

Perlu diwaspadai dalam hal yang berhubungan dengan pembelanjaan harta, fitnah (kerusakan) yang ditimbulkan dari kecintaan yang berlebihan terhadap harta tersebut, sebagaimana yang telah diingatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau,

«إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةٌ، وَفِتْنَةَ أُمَّتِي الْمَالُ»

“Sesungguhnya pada setiap umat (kaum) ada fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah (pada) umatku adalah harta”.[9]

Maksudnya: menyibukkan diri dengan harta secara berlebihan adalah fitnah (yang merusak agama seseorang) karena harta dapat melalaikan pikiran manusia dari melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan membuatnya lupa kepada akhirat, sebagaimana firman-Nya,

{إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ}

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu merupakan fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar” (QS at-Tagaabun:15)[10].

Kerusakan lain yang ditimbulkan dari kecintaan yang berlebihan terhadap harta adalah sifat tamak/rakus dan ambisi untuk mengejar dunia, karena secara tabiat asal nafsu manusia tidak akan pernah merasa puas/cukup dengan harta dan kemewahan dunia yang dimilikinya, bagaimanapun berlimpahnya[11], kecuali orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah Ta’ala.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan hal ini dalam sabda beliau: “Seandainya seorang manusia memiliki dua lembah (yang penuh berisi) harta/emas maka dia pasti akan menginginkan lembah (harta) yang ketiga”[12].

Sifat rakus inilah yang akan terus memacunya untuk mengejar harta dan mengumpulkannya siang dan malam, dengan mengorbankan apapun untuk tujuan tersebut. Sehingga tenaga dan pikirannya akan terus terkuras untuk mengejar ambisi tersebut, dan ini merupakan kerusakan sekaligus siksaan besar bagi dirinya di dunia.

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Orang yang mencintai dunia/harta (secara berlebihan) tidak akan lepas dari tiga (kerusakan dan penderitaan): Kekalutan (pikiran) yang tidak pernah hilang, keletihan yang berkepanjangan dan penyesalan yang tiada akhirnya[13].

Dalam hal ini, salah seorang ulama salaf berkata, “Barangsiapa yang mencintai dunia/harta (secara berlebihan) maka hendaknya dia mempersiapkan dirinya untuk menanggung berbagai macam penderitaan”[14].

Zuhud dalam Masalah Harta

Zuhud dalam harta dan dunia bukanlah dengan meninggalkannya, juga bukan dengan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah Ta’ala. Akan tetapi zuhud dalam harta adalah dengan menggunakan harta tersebut sesuai dengan petunjuk Allah Ta’ala, tanpa adanya keterikatan hati dan kecintaan yang berlebihan kepada harta tersebut. Atau dengan kata lain, zuhud dalam harta adalah tidak menggantungkan angan-angan yang panjang pada harta yang dimiliki, dengan segera menggunakannya untuk hal-hal yang diridhai oleh Allah Ta’ala.

Inilah arti zuhud yang sesungguhnya, sebagaimana ucapan imam Ahmad bin Hambal ketika beliau ditanya: Apakah makna zuhud di dunia (yang sebenarnya)? Beliau berkata: “(Maknanya adalah) tidak panjang angan-angan, (yaitu) seorang yang ketika dia (berada) di waktu pagi dia berkata: Aku (khawatir) tidak akan (bisa mencapai) waktu sore lagi”[15].

Salah seorang ulama salaf berkata: “Zuhud di dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal, dan juga bukan dengan menyia-nyiakan harta. Akan tetapi zuhud di dunia adalah dengan kamu lebih yakin dengan (balasan kebaikan) di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu, dan jika kamu ditimpa suatu musibah (kehilangan sesuatu yang dicintai) maka kamu lebih mengharapkan pahala dan simpanan (kebaikannya diakhirat kelak) daripada jika sesuatu yang hilang itu tetap ada padamu”[16].

Jangan Lupa Menyisihkan Sebagian Harta untuk Sedekah

Allah Ta’ala berfirman,

{وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ}

“Dan apa saja yang kamu nafkahkan (sedekahkan), maka Allah akan menggantinya, dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya” (QS Sabaa’:39).

Makna firman-Nya “Allah akan menggantinya” yaitu dengan keberkahan harta di dunia dan pahala yang besar di akhirat[17].

Dan dalam hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

«مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ»

“Tidaklah sedekah itu mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya) kecuali kemuliaan, serta tidaklah seseorang merendahkan diri di (hadapan) Allah kecuali Dia akan meninggikan (derajat)nya”[18].

Arti “tidak berkurangnya harta dengan sedekah” adalah dengan tambahan keberkahan yang Allah Ta’ala jadikan pada harta dan terhindarnya harta dari hal-hal yang akan merusaknya di dunia, juga dengan didapatkannya pahala dan tambahan kebaikan yang berlipat ganda di sisi Allah Ta’ala di akhirat kelak, meskipun harta tersebut berkurang secara kasat mata”[19].

Maka keutamaan besar ini jangan sampai diabaikan oleh keluarga muslim ketika mereka mengatur pembelanjaan harta, dengan cara menyisihkan sebagian dari rizki yang Allah Ta’ala berikan kepada mereka, untuk disedekahkan kepada fakir miskin.

Harta yang disisihkan untuk sedekah tidak mesti besar, meskipun kecil tapi jika dilakukan dengan ikhlas untuk mengharapkan wajah-Nya, maka akan bernilai besar di sisi Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Takutlah kalian (selamatkanlah diri kalian) dari api nereka walaupun dengan (bersedekah dengan) separuh buah kurma”[20].

Dalam hadits lain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah sekali-kali engkau menganggap remeh suatu perbuatan baik (meskipun) kecil, walaupun (perbuatan baik itu) dengan engkau menjumpai saudaramu (sesama muslim) dengan wajah yang ceria”[21].

Dan lebih utama lagi jika sedekah tersebut dijadikan anggaran tetap dan amalan rutin, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal (ibadah) yang paling dicintai Allah Ta’ala adalah amal yang paling kontinyu dikerjakan meskipun sedikit”[22].

Nasehat dan Penutup

Kemudian yang menentukan cukup atau tidaknya anggaran belanja keluarga bukanlah dari banyaknya jumlah anggaran harta yang disediakan, karena berapa pun banyaknya harta yang disediakan untuk pengeluaran, nafsu manusia tidak akan pernah puas dan selalu memuntut lebih.

Oleh karena itu, yang menentukan dalam hal ini adalah justru sifat qana’ah (merasa cukup dan puas dengan rezki yang Allah berikan) yang akan melahirkan rasa ridha dan selalu merasa cukup dalam diri manusia, dan inilah kekayaan yang sebenarnya. Sebagaimana sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya kemewahan dunia (harta), akan tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan (kecukupan) dalam jiwa (hati)”[23].

Sifat qana’ah ini adalah salah satu ciri yang menunjukkan kesempurnaan iman seseorang, karena sifat ini menunjukkan keridhaan orang yang memilikinya terhadap segala ketentuan dan takdir Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan kemanisan (kesempurnaan) iman, orang yang ridha kepada Allah Ta’ala sebagai Rabb-nya dan islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya”[24].

Arti “ridha kepada Allah sebagai Rabb” adalah ridha kepada segala perintah dan larangan-Nya, kepada ketentuan dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan yang tidak diberikan-Nya[25].

Lebih daripada itu, orang yang memiliki sifat qana’ah dialah yang akan meraih kebaikan dan kemuliaan dalam hidupnya di dunia dan di akhirat nanti, meskipun harta yang dimilikinya tidak banyak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki yang secukupnya dan Allah menganugrahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezki yang Allah Ta’ala berikan kepadanya”[26].

Akhirnya kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia menganugerahkan kepada kita semua sifat qana’ah dan semua sifat-sifat baik yang diridhai-Nya, serta memudahkan kita untuk memahami dan mengamalkan petunjuk-Nya dengan baik dan benar, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

[1] HSR Muslim (no. 262).
[2] HSR al-Bukhari (no. 56) dan Muslim (1628).

[3] HR at-Tirmidzi (no. 2417), ad-Daarimi (no. 537), dan Abu Ya’la (no. 7434), dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan al-Albani dalam “as-Shahiihah” (no. 946) karena banyak jalurnya yang saling menguatkan.

[4] Lihat kitab “Bahjatun naazhirin syarhu riyaadhish shaalihin” (1/479).

[5] HSR al-Bukhari (no.1407) dan Muslim (no.593).

[6] Lihat kitab “an-Nihaayah fi gariibil hadits wal atsar” (3/237).

[7] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/433).

[8] Kitab “Fathul Qadiir” (3/318).

[9] HR. Tirmidzi no. 2336, shahih.

[10] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/507).

[11] Lihat keterangan imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Igaatsatul lahfan” (hal. 84 – Mawaaridul amaan).

[12] HSR al-Bukhari (no. 6075) dan Muslim (no. 116).

[13] Kitab “Igaatsatul lahfan” (hal. 83-84, Mawaaridul amaan).

[14] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Igaatsatul lahfan” (hal. 83 – Mawaaridul amaan).

[15] Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (2/384).

[16] Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (2/179).

[17] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (3/713).

[18] HSR Muslim (no. 2588).

[19] Lihat kitab “Syarhu shahihi Muslim” (16/141) dan “Faidhul Qadiir” (5/503).

[20] HSR al-Bukhari (no. 1351) dan Muslim (no. 1016).

[21] HSR Muslim (no. 2626).

[22] HSR al-Bukhari (no. 6099) dan Muslim (no. 783).

[23] HSR al-Bukhari (no. 6081) dan Muslim (no. 120).

[24] HSR Muslim (no. 34).

[25] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 81).

[26] HSR Muslim (no. 1054).