Segeralah Bertaubat Kepada Alloh SWT

Segeralah Bertaubat Kepada Alloh SWT


عَنِ اْلأَغَرِّ بْنِ يَسَارٍ الْمُزَنِي قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَآايُّهَا النَّاسُ تُوْبُوْا إِلَى اللهِ وَاسْتَغْفِرُوْهُ فَإِنِّي أَتُوْبُ فِي الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ.

Dari Agharr bin Yasar Al Muzani, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,”Hai sekalian manusia! Taubatlah kalian kepada Allah dan mintalah ampun kepadaNya, karena sesungguhnya aku bertaubat kepada Allah dalam sehari sebanyak seratus kali”[1]

Makna Taubat
Asal makna taubat ialah:

الرُّجُوْعُ مِنَ الذَّنْبِ.

(kembali dari kesalahan dan dosa menuju kepada ketaatan). Berasal dari kata:

تَابَ إِلَى اللهِ يَتُوْبُ تَوْباً وَتَوْبَةً وَمَتَاباً بِمَعْنَى أَنَابَ وَرَجَعَ عَنِ المَعْصِيَةِ إِلَى الطَّاعَةِ.

(orang yang bertaubat kepada Allah ialah, orang yang kembali dari perbuatan maksiat menuju perbuatan taat).

التَّوْبَةُ :َاْلإِعْتِرَافُ وَالنَّدَمُ وَاْلإِقْلاَعُ وَالْعَزْمُ عَلَى أَلاَّ يُعَاوِدَ اْلإِنْسَانُ مَا اقْتَرَفَهُ.

(seseorang dikatakan bertaubat, kalau ia mengakui dosa-dosanya, menyesal, berhenti dan berusaha untuk tidak mengulangi perbuatan itu).[2]

Syarah Hadits
Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) di antara ulama tentang wajibnya taubat. Bahkan taubat adalah fardhu ‘ain yang harus dilakukan oleh setiap muslim dan muslimah.

Ibnu Qudamah Al Maqdisi (wafat th. 689 H.) rahimahullah berkata,”Para ulama telah ijma’ tentang wajibnya taubat, karena sesungguhnya dosa-dosa membinasakan manusia dan menjauhkan manusia dari Allah. Maka, wajib segera bertaubat.”[3]

Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk bertaubat, dan perintah ini merupakan perintah wajib yang harus segera dilaksanakan sebelum ajal tiba. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “: …Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung. (An Nur/24 : 31). Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang benar (ikhlas) … (At Tahrim/66 : 8). Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabb-mu dan bertaubat kepadaNya, (jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu, hingga pada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sungguh aku takut, kamu akan ditimpa siksa hari Kiamat.[Hud/11 :3]

Taubat wajib dilakukan dengan segera, tidak boleh ditunda. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Sesungguhnya segera bertaubat kepada Allah dari perbuatan dosa hukumnya adalah wajib dilakukan dengan segera dan tidak boleh ditunda.”[4]

Imam An Nawawi rahimahullah berkata,”Para ulama telah sepakat, bahwa bertaubat dari seluruh perbuatan maksiat adalah wajib; wajib dilakukan dengan segera dan tidak boleh ditunda, apakah itu dosa kecil atau dosa besar.”[5]

Kesalahan dan dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia banyak sekali. Setiap hari, manusia pernah berbuat dosa, baik dosa kecil maupun dosa besar, baik dosa kepada Khaliq (Allah Maha Pencipta) maupun dosa kepada makhlukNya. Setiap anggota tubuh manusia pernah melakukan kesalahan dan dosa. Mata sering melihat yang haram, lidah sering bicara yang tidak benar, berdusta, melaknat, sumpah palsu, menuduh, membicarakan aib sesama muslim (ghibah), mencela, mengejek, menghina, mengadu-domba, memfitnah, dan lain-lain. Telinga sering mendengarkan lagu dan musik yang jelas bahwa hukumnya haram, tangan sering menyentuh perempuan yang bukan mahram, mengambil barang yang bukan miliknya (ghasab), mencuri, memukul, bahkan membunuh, atau melakukan kejahatan lainnya. Kaki pun sering melangkah ke tempat-tempat maksiat dan dosa-dosa lainnya. Dosa dan kesalahan akan berakibat keburukan dan kehinaan bagi pelakunya, baik di dunia maupun di akhirat, bila orang itu tidak segera bertaubat kepada Allah.

Setiap muslim dan muslimah pernah berbuat salah, baik dia sebagai orang awam maupun seorang ustadz, da’i, pendidik, kyai, atau pun ulama. Karena itu, setiap orang tidak boleh lepas dari istighfar (minta ampun kepada Allah) dan selalu bertaubat kepadaNya, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Setiap hari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon ampun kepada Allah sebanyak seratus kali. Bahkan dalam suatu hadits disebutkan, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta ampun kepada Allah seratus kali dalam satu majelisnya.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ إِنْ كُنَّا لَنَعُدُّ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَجْلِسِ الْوَاحِدِ مِائَةَ مَرَّةٍ، رَبِّ اغْفِرْلِي وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ تَوَّابُ الرَّحِيْمُ.

“Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata,”Kami pernah menghitung di satu majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa seratus kali beliau mengucapkan, ‘Ya Rabb-ku, ampunilah aku dan aku bertaubat kepadaMu, sesungguhnya Engkau Maha menerima taubat lagi Maha Penyayang’.”[6]

Jika seorang muslim dan muslimah pernah berbuat dosa-dosa besar atau dosa yang paling besar, maka segeralah bertaubat. Tidak ada kata terlambat dalam masalah taubat, pintu taubat selalu terbuka sampai matahari terbit dari barat.

Dalam sebuah hadits dari Abu Musa ‘Abdullah bin Qais Al Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللهَ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوْبَ مُسِيئُ النَّهَارِ وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوْبَ مُسِيئُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا.

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu membuka tanganNya di waktu malam untuk menerima taubat orang yang melakukan kesalahan di siang hari, dan Allah membuka tanganNya pada siang hari untuk menerima taubat orang yang melakukan kesalahan di malam hari. Begitulah, hingga matahari terbit dari barat“[7]

Hadits ini dan hadits-hadits yang lainnya menunjukkan, bahwasanya Allah Azza wa Jalla senantiasa memberi ampunan di setiap waktu dan menerima taubat setiap saat. Dia selalu mendengar suara istighfar dan mengetahui taubat hambaNya, kapan saja dan dimana saja. Oleh karena itu, jika manusia mengabaikan perkara taubat ini dan lengah dalam menggunakan kesempatan untuk mencapai keselamatan, maka rahmat Allah nan luas itu akan berbalik menjadi malapetaka, kesedihan dan kepedihan di padang mahsyar. Hal ini tak ubahnya seseorang yang sedang kehausan, padahal di hadapannya ada air bersih, namun ia tidak dapat menjamahnya, hingga datanglah maut menjemput sesudah merasakan penderitaan haus tersebut. Begitulah gambaran orang-orang kafir dan orang-orang yang durhaka. Pintu rahmat sebenarnya terbuka lebar, tetapi mereka enggan memasukinya. Jalan keselamatan sudah tersedia, namun mereka tetap berjalan di jalan kesesatan.

Dan apabila tanda-tanda Kiamat besar telah tampak, yakni matahari sudah terbit dari barat. Kematian sudah di ambang pintu, yakni nyawa sudah berada di tenggorokan, maka taubat tidak lagi diterima. Wal’iyadzubillah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

هَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا أَنْ تَأْتِيَهُمُ الْمَلَائِكَةُ أَوْ يَأْتِيَ رَبُّكَ أَوْ يَأْتِيَ بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ ۗ يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لَا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا ۗ قُلِ انْتَظِرُوا إِنَّا مُنْتَظِرُونَ

“Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka), atau datangnya siksa Rabb-mu atau kedatangan beberapa ayat Rabb-mu. Pada hari datangnya beberapa ayat Rabb-mu, maka iman seseorang sudah tidak lagi berguna, yang sebelumnya itu tidak pernah beriman atau selama dalam imannya itu dia tidak pernah melakukan kebajikan. Katakanlah: “Tunggullah, sesungguhnya Kami akan menunggu”. [Al An’am/6:158]

Dalam surat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّىٰ إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآنَ وَلَا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ ۚ أُولَٰئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

“Taubat itu bukanlah bagi orang-orang yang berbuat kemaksiyatan, sehingga apabila kematian telah datang kepada seseorang di antara mereka lalu ia berkata: “Sungguh sekarang ini aku taubat” dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati dalam keadaan kafir. Bagi mereka Kami sediakan siksa yang pedih“. [An Nisa/4:18].


Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ.

“Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba, selama (ruh) belum sampai di tenggorokan“[8]

Syarat-Syarat Taubat
Para ulama menjelaskan syarat-syarat taubat yang diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai berikut:

الإِقْلاَعُ (al iqla’u), orang yang berbuat dosa harus berhenti dari perbuatan dosa dan maksiat yang selama ini ia pernah lakukan.
النَّدَمُ (an nadamu), dia harus menyesali perbuatan dosanya itu.
اَلْعَزْمُ (al ‘azmu), dia harus mempunyai tekad yang bulat untuk tidak mengulangi perbuatan itu.
Jika perbuatan dosanya itu ada hubungannya dengan orang lain, maka di samping tiga syarat di atas, ditambah satu syarat lagi, yaitu harus ada pernyataan bebas dari hak kawan yang dirugikan itu. Jika yang dirugikan itu hartanya, maka hartanya itu harus dikembalikan. Jika berupa tuduhan jahat, maka ia harus meminta maaf, dan jika berupa ghibah atau umpatan, maka ia harus bertaubat kepada Allah dan tidak perlu minta maaf kepada orang yang diumpat.[9]
Di samping syarat-syarat di atas, dianjurkan pula bagi orang yang bertaubat untuk melakukan shalat dua raka’at yang dinamakan Shalat Taubat, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا مِنْ رَجُلٍ يُذْنِبُ ذَنْباً ثُمَّ يَقُوْمُ فَيَتَطَهَّرُ ثُمَّ يُصَلِّى ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللهَ إِلاَّ غَفَرَ اللهُ لَهُ ثُمَّ قَرَأَ هَذَهِ الآيَةَ (وَالَّذِيْنَ إِذَا فَعَلُوْا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوْا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوْا اللهَ فَاسَتَغَفَرُوْا لِذُنُوْبِهِمْ.

“Jika seorang hamba berbuat dosa kemudian ia pergi bersuci (berwudhu’), lalu ia shalat (dua raka’at), lalu ia mohon ampun kepada Allah (dari dosa tersebut), niscaya Allah akan ampunkan dosanya“.

Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini:

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Dan orang-orang yang apabila mengejakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat kepada Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu sedang mereka mengetahui“.[Ali Imran/3:135].”[10]

Tingkatan Manusia yang Bertaubat Kepada Allah[11]
Tingkatan Pertama : Yaitu orang yang istiqamah dalam taubatnya hingga akhir hayatnya. Ia tidak berkeinginan untuk mengulangi lagi dosanya dan ia berusaha membereskan semua urusannya yang ia pernah keliru (salah). Tetapi ada sedikit dosa-dosa kecil yang terkadang masih ia lakukan, dan memang semua manusia tidak bisa lepas dari dosa-dosa kecil ini, namun ia selalu bersegera untuk beristighfar dan berbuat kebajikan, ia termasuk orang sabiqun bil khairat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

… وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللهِ …

“Di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah ..” [Fathir/35: 32]

Taubatnya dikatakan taubat nashuha, yakni taubat yang benar dan ikhlas. Nafsu yang demikian dinamakan nafsu muthmainnah.

Tingkatan Kedua : Yaitu orang yang menempuh jalannya orang-orang yang istiqamah dalam semua perkara ketaatan dan menjauhkan semua dosa-dosa besar, tetapi ia terkena musibah, yaitu sering melakukan dosa-dosa kecil tanpa sengaja. Setiap ia melakukan dosa-dosa itu, ia mencela dirinya sendiri dan menyesali perbuatannya. Orang-orang ini akan mendapakan janji kebaikan dari Allah Subhanahu w Ta’ala. Allah Azza wa Jalla berfirman :

الَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ إِلَّا اللَّمَمَ ۚ إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ

“(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Rabb-mu Maha Luas ampunanNya…” [An Najm/53:32].

Dan nafsu yang demikian dinamakan nafsu lawwamah.

وَلآأُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ

“Dan aku bersumpah dengan nafsu lawwamah (jiwa yang amat menyesali dirinya sendiri)“. [Al Qiyamah/75: 2].

Tingkatan Ketiga : Orang yang bertaubat dan istiqamah dalam taubatnya sampai satu waktu, kemudian suatu saat ia mengerjakan lagi sebagian dari dosa-dosa besar karena ia dikalahkan oleh syahwatnya. Kendati demikian ia masih tetap menjaga perbuatan-perbuatan yang baik dan masih tetap taat kepada Allah. Ia selalu menyiapkan dirinya untuk bertaubat dan berkeinginan agar Allah mengampuni dosa-dosanya. Keadaan orang ini sebagaimana yang Allah firmankan:

وَآخَرُونَ اعْتَرَفُوا بِذُنُوبِهِمْ خَلَطُوا عَمَلًا صَالِحًا وَآخَرَ سَيِّئًا عَسَى اللَّهُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampuradukkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang“. [At Taubah/9:102].

Nafsu inilah yang disebut nafsu mas-ulah

Tingkatan ketiga ini berbahaya, karena bisa jadi ia menunda taubatnya dan mengakhirkannya. Bahkan ada kemungkinan, sebelum ia berkesempatan untuk bertaubat, Malaikat Maut telah diperintah Allah k untuk mencabut ruhnya, sedangkan amal-amal manusia dihisab menurut akhir kehidupan manusia, menjelang mati.

Tingkatan Keempat : Yaitu orang yang bertaubat, tetapi taubatnya hanya sementara waktu saja, kemudian ia kembali lagi melakukan dosa-dosa dan maksiat, tidak peduli terhadap perintah-perintah dan larangan-larangan Allah, serta tidak ada rasa menyesal terhadap dosa-dosanya. Nafsu sudah menguasai kehidupannya serta selalu menyuruh kepada perbuatan-perbuatan yang jelek. Ia termasuk orang yang terus-menerus dalam perbuatan dosa. Bahkan ia sudah sangat benci kepada orang-orang yang berbuat baik, dan malah menjauhinya. Nafsu yang demikian ini dinamakan nafsul ammarah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي ۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabb-ku. Sesungguhnya Rabb-ku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang“. [Yusuf/12:53].

Tingkatan keempat ini sangat berbahaya, dan bila ia mati dalam keadaan demikian, maka ia termasuk su’ul khatimah (akhir kehidupan yang jelek).

Janji Allah Kepada Orang yang Bertaubat dan Istiqamah Dalam Taubatnya

  1. Taubat menghapuskan dosa-dosa, seolah-olah ia tidak berdosa.
    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَهُ.

“Orang yang bertaubat dari dosa seolah-olah ia tidak berdosa“.[12]

Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَٰئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Kecuali orang-orang yang bertaubat beriman dan beramal shalih, maka Allah akan ganti kejahatan mereka dengan kebajikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Al Furqan/25:70].

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَيَتَمَنَّيَنَّ أَقْوَامٌ لَوْ أَكْثَرُوْا مِنَ السَّيْئَاتِ الَّذِيْنَ بَدَّلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ.

“Sesungguhnya ada beberapa kaum bila mereka banyak berbuat kesalahan-kesalahan, mereka bercita-cita menjadi orang-orang yang Allah Azza wa Jalla mengganti kesalahan-kesalahan mereka dengan kebajikan“[13]

  1. Allah berjanji menerima taubat mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَأْخُذُ الصَّدَقَاتِ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

“Tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hambaNya dan menerima zakat, dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” [At Taubah/9:104]

Juga firmanNya:

وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَىٰ

“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih, kemudian tetap (istiqamah) di jalan yang benar“.[Thaha/20:82].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ تَابَ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا تَابَ اللهُ عَلَيْهِ.


“Barangsiapa taubat sebelum matahari terbit dari barat, maka Allah akan menerima taubatnya“.[14]

  1. Orang yang istiqamah dalam taubatnya adalah sebaik-baik manusia.
    Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ.

“Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat“[15]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَوْ أَنَّ الْعِبَادَ لَمْ يُذْنِبُوْا، لَخَلَقَ اللهُ خَلْقًا يُذْنِبُوْنَ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُوْنَ، ثُمَّ يَغْفِرُ لَهُمْ وَهُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

“Seandainya hamba-hamba Allah tidak berbuat dosa, niscaya Allah akan menciptakan makhluk yang berbuat dosa kemudian mereka istighfar (minta ampun kepada Allah), kemudian Allah mengampuni dosa mereka dan Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang“[16]

Terapi Mujarab Agar Bisa Istiqamah Dalam Taubat dan Tidak Terus Menerus Berbuat Dosa dan Maksiat
Setiap penyakit ada obatnya dan setiap penyakit ada ahli yang dapat menangani untuk menyembuhkannya. Obat penyakit-penyakit badan dan anggota tubuh manusia bisa diserahkan kepada dokter, tetapi penyakit hati hanya bisa diobati dengan kembali kepada agama yang benar.

Hati yang lalai merupakan pokok segala kesalahan. Dan penyakit hati ini lebih banyak dari penyakit badan, karena orang tersebut tidak merasa bahwa dirinya sedang sakit. Akibat yang ditimbulkan dari penyakit ini, seolah-olah tidak dapat tampak di dunia. Oleh karena itu, obat yang mujarab bagi penyakit ini, sesudah ia kembali ke agama yang benar ialah:

Mengingat ayat-ayat Allah Azza wa Jalla yang menakutkan dan mengerikan tentang siksa yang pedih bagi orang yang berbuat dosa dan maksiat. Bacalah juz ‘Amma beserta artinya, dan sebaiknya hafalkanlah.
Bacalah hikayat para nabi ‘alaihimush shalatu was salam bersama ummatnya dan para salafush shalih, dan musibah-musibah yang menimpa mereka beserta ummatnya disebabkan dosa yang mereka lakukan.
Ingatlah, bahwa setiap dosa dan maksiat berakibat buruk di dunia maupun akhirat.
Ingat dan perhatikanlah satu per satu ayat-ayat Al Qur`an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengisahkan tentang siksa akibat perbuatan dosa, seperti dosa minum khamr, dosa riba, dosa zina, dosa khianat, dosa ghibah, dosa membunuh, dan lain-lain.
Bacalah istighfar dan sayyidul istighfar setiap hari.
Sayyidul istighfar, do’a memohon ampun kepada Allah


اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْلِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ.

“Ya Allah, Engkau adalah Rabb-ku, tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) kecuali Engkau, Engkau-lah yang menciptakanku. Aku adalah hambaMu. Aku akan setia pada perjanjianku denganMu semampuku. Aku berlindung kepadaMu dari kejelekan (apa) yang telah kuperbuat. Aku mengakui nikmatMu (yang diberikan) kepadaku, dan aku mengakui dosaku. Oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau“[17]

Do’a memohon ampunan dan rahmat Allah

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

“Ya Rabb kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tin-dakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir“.[Ali Imran/3: 147].

رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi“.[Al A’raf/7 :23].

Fiqhul Hadits
Pelajaran yang dapat diambil dari hadits dalam pembahasan ini ialah:

Setiap manusia pernah berbuat dosa dan kesalahan.
Kita wajib bertaubat dan meninggalkan semua sifat yang tercela.
Bertaubat wajib dengan segera, tidak boleh ditunda.
Beristighfar dan bertaubat itu hendaknya dilakukan dengan sungguh-sungguh dan berusaha mengadakan ishlah (perbaikan).
Pintu taubat masih tetap terbuka siang dan malam.
Allah Azza wa Jalla tidak akan menerima taubat, apabila ruh sudah berada di tenggorokan, dan apabila matahari telah terbit dari barat (hari Kiamat).
Nabi Muhammad n setiap hari beristighfar dan bertaubat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala cinta kepada orang-orang yang bertaubat. Allah Azza wa Jalla berfirman.


إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

“… Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” [Al Baqarah/2:222].

Wallahu a’lamu bish shawab.

Maraji`:

Tafsir Ibnu Katsir, Cet. Darus Salam.
Shahih Bukhari dan syarahnya Fathul Bari, Cet. Darul Fikr.
Shahih Muslim, dan Syarah Muslim Lil Imam An Nawawi.
Sunan Abu Daud.
Jami’ At Tirmidzi.
Sunan An Nasa-i.
Sunan Ibnu Majah.
Musnad Ahmad.
Al Mu’jamul Kabir, oleh Ath Thabrani.
Riyadhush Shalihin, oleh Imam An Nawawi.
Mukhtashar Minhajul Qashidin, oleh Ibnu Qudamah Al Maqdisi, tahqiq Syaikh ‘Ali Hasan.
Madarijus Salikin, oleh Ibnul Qayyim, Cet. Darul Hadits, Kairo.
Shahih Jami’ush Shaghir, oleh Imam Al Albani.
Silsilah Ahadits Ash Shahihah, oleh Imam Al Albani.
Shahih Al Wabilish Shayyib Minal Kalimith Thayyib, oleh Ibnul Qayyim, tahqiq dan takhrij Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilali.
Mu’jamul Wasith, dan kitab lainnya.


Footnote
[1] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 2702 (42), Syarah Muslim, oleh Imam An Nawawi (XVII/24-25). Diriwayatkan juga oleh Ahmad (IV/211), Abu Dawud (no. 1515), Al Baghawi (no. 1288) dan Ath Thabrani dan Al Mu’jamul Kabir (no. 883).
[2] Lihat Fat-hul Bari (XI/103), Al Mu’jamul Wasith, Bab Taa-ba (I/90).
[3] Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 322, tahqiq Syaikh ‘Ali Hasan
[4] Madarijus Salikin (I/297), Cet. Darul Hadits, Kairo.
[5] Syarah Shahih Muslim (XVII/59).
[6] HR At Tirmidzi )no. 3434), Abu Dawud (no. 1516), Ibnu Majah (no. 3814). Lihat Shahih Sunan At Tirmidzi (III/153 no. 2731), lafazh ini milik Abu Dawud.
[7] HR Muslim (no. 2759).
[8] Hadits shahih riwayat At Tirmidzi (no. 3537), Al Hakim (IV/257), Ibnu Majah (no. 4253). Lafazh hadits ini menurut Imam At Tirmidzi
[9] Lihat Riyadhush Shalihin, Bab Taubat (hlm. 24-25) dan Shahih Al Wabilush Shayyib (hlm. 272-273).
[10] Hadits hasan riwayat At Tirmidzi (no. 406), Ahmad (I/10), Abu Dawud (no. 1521), Ibnu Majah (no. 1395), Abu Dawud Ath Thayalisi (no. 1 dan 2) dan Abu Ya’la (no. 12 dan 15). Lihat Tafsir Ibnu Katsir (I/438), Cet. Darus Salam.
[11] Lihat Mukhtashar Minhajul Qashidin (hlm. 335-336), oleh Ibnu Qudamah Al Maqdisi, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid.
[12] HR Ibnu Majah (no. 4250), dari Ibnu Mas’ud z . Lihat Shahih Jami’ush Shaghir (no. 3008).
[13] Hadits hasan riwayat Al Hakim (IV/252), dari sahabat Abu Hurairah. Lihat Shahih Jami’ush Shaghir (no. 5359), dari sahabat Abu Hurairah.
[14] Hadits shahih riwayat Muslim (no. 2703), dari sahabat Abu Hurairah
[15] Hadits hasan riwayat Ahmad (III/198), At Tirmidzi (no. 2499), Ibnu Majah (no. 4251) dan Al Hakim (IV/244). Lihat Shahih Jami’ush Shaghir (no. 4515), dari sahabat Anas.
[16] Hadits shahih riwayat Al Hakim (IV/246), dari Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al Khaththab. Lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah (no. 967-970).
[17] HR Al Bukhari (no. 6306, 6323), Ahmad (IV /122-125) dan An Nasa-i (VIII/279-280)

Pertengkaran Antara Suami Istri Pasti Ada

Pertengkaran Antara Suami Istri Pasti Ada

Setiap pasangan suami istri pasti menginginkan kehidupan pernikahan yang tenang, tanpa masalah dan tanpa aral yang melintang. Namun ibarat bahtera yang berlayar di tengah samudera, tak jarang badai itu akan datang menerpa. Tidak ada rumah tangga yang selamat dari berbagai macam problematika, bentuk masalahnya saja yang berbeda-beda.

Rumah tangga yang bahagia pun tidak akan luput dari masalah. Bahkan rumah tangga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun pernah mengalami persoalan, mulai dari perselisihan antara istri, kecemburuan di antara mereka, perihal tambahan nafkah, dan selainnya.

Salah satu pasangan penghuni surga yaitu ‘Ali bin Thalib dan Fathimah radhiyallahu ‘anhuma pun pernah mengalami pertengkaran. Dalam satu riwayat dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi rumah Fatimah radhiyallahu ‘anha, dan beliau tidak melihat Ali di rumah. Beliau pun bertanya: “Di mana anak pamanmu?” Fathimah menjawab “Tadi ada masalah dengan saya, terus dia marah kepadaku, lalu keluar. Siang ini dia tidak tidur di sampingku.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabat tentang keberadaan Ali. “Ya Rasulullah, dia di masjid, sedang tidur.” Datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke masjid, dan ketika itu Ali sedang tidur, sementara baju atasannya jatuh di sampingnya, dan dia terkena debu. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap debu itu, sambil mengatakan,

قُمْ أَبَا تُرَابٍ، قُمْ أَبَا تُرَابٍ

“Bangun, wahai Abu Thurab… bangun, wahai Abu Thurab…” (HR. Bukhari 441 dan Muslim 2409)

Tentu keluarga kita tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan keluarga Ali dan Fathimah, jika beliau berdua saja pernah bertengkar apalagi kita bersama pasangan kita. Namun satu hal yang bisa kita contoh adalah bagaimana mereka menyikapi pertengkaran tersebut. Pertengkaran yang terjadi di antara mereka tetap dalam bingkai aturan syariat, tidak saling menzhalimi, tetap menjaga hak pasangannya. Kemudian mereka berusaha mencari solusi dan menyelesaikan permasalahan mereka.

Pertengkaran antara suami istri adalah sasaran empuk syaithan untuk menghembus api perselisihan tersebut semakin membesar. Jika masing-masing pihak tidak memahami aturan syariat, maka yang akan terjadi hanyalah kezhaliman, caci maki, KDRT, hingga berujung pada perpisahan. Itulah misi utama syaithan.

Oleh karena itu, jika sampai terjadi perselihan maka sadarilah terlebih dahulu bahwa hal itu adalah hal lumrah, agar tidak tidak putus asa dengan mengira kita adalah pasangan yang tidak cocok. Setelah itu, segera bangun komunikasi yang baik bersama pasangan hingga menemukan solusi atas perselisihan tersebut. Saling memahami dan memaklumi tabiat pasangan juga sering kali menjadi kunci sederhana mengatasi masalah-masalah tersebut.

Perbedaan Tipis Antara Motivasi Dan Pamer Ibadah

Perbedaan Tipis Antara Motivasi Dan Pamer Ibadah 

Salah satu fenomena yang mulai menjangkiti kaum muslimin di zaman sekarang ini adalah dengan gampangnya memberitahukan ibadah yang dia lakukan kepada orang lain. Berbagai sarana media sosial sangat memudahkan untuk meng-update aktivitas ibadah yang sedang dilakukannya, dari sedekah yang dikeluarkan, bacaan Al-Quran yang diindah-indahkan, kegiatan umroh yang dijalani, majelis ilmu yang dihadiri, dan lain sebagainya.

Sebenarnya tak ada masalah jika satu ibadah tertentu diketahui oleh orang lain. Yang menjadi masalah adalah jika niatnya untuk pamer agar orang lain memujinya. Inilah yang disebut riya’, melakukan suatu amalan agar orang lain bisa melihatnya kemudian memuji dirinya. Padahal riya’ akan menghapus dan membatalkan amalan shalih. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadikan ia bersih (tidak bertanah).” (QS Al-Baqarah: 264)

Pelaku riya’ memamerkan amalnya agar dipuji, disanjung dan mendapatkan kedudukan di hati manusia. Akibatnya dia tidak akan mendapat ganjaran kebaikan dari Allah, sayangnya manusia pun belum tentu memujinya. Allah berfirman dalam hadits qudsi,

أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ ، مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيْهِ مَعِيْ غَيْرِيْ ، تَرَكْتُهُ وَ شِرْكَهُ

“Aku adalah sekutu yang Maha Cukup, sangat menolak perbuatan syirik. Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang dicampuri dengan perbuatan syirik kepadaKu, maka Aku tinggalkan dia dan (Aku tidak terima) amal kesyirikannya.” (HR Muslim, no. 2985)

Akan tetapi, jika ada maslahat tertentu, seperti dalam rangka memotivasi dan akan mendorong orang lain serta sahabat-sahabatnya untuk melakukan ibadah yang sama, maka hukum menampakkannya boleh. Allah berfirman,

إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ

”Jika kalian menampakkan sedekah (kalian), maka itu baik sekali. Dan jika kalian menyembunyikannya dan kalian berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagi kalian.” (QS Al-Baqarah : 271)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Di dalam ayat ini terdapat petunjuk bahwa menyembunyikan sedekah lebih utama daripada menampakkannya, karena lebih jauh dari riya’. Kecuali jika ada maslahat yang kuat, yaitu orang-orang mengikutinya, maka menampakannya lebih utama jika ditinjau dari sudut pandang ini dan hukum asalnya adalah menyembunyikan lebih utama.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/701)

Oleh karena itu, pertama-tama tanyakan kepada hati kecil kita sebelum kita memposting dan memberitahukan amalan kita kepada orang lain,
“Ini benar motivasi atau jangan-jangan pamer?”
“Benarkah hati ini sudah ikhlas? Jangan-jangan karena ingin pamer.”

Saudaraku, sesungguhnya ikhlas itu berat, sementara kita tidak yakin amalan kita diterima. Ada yang lebih penting dari ibadah itu sendiri, yaitu bagaimana agar ibadah itu diterima oleh Allah. Para Nabi saja dengan kerendahan hati mereka, masih berdoa mengharap amalnya diterima.

Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang mana merupakan seutama-utama Nabi, ketika melakukan seutama-utama ibadah yaitu membangun Ka’bah, ditemani oleh anaknya yang shalih dan juga Nabi yaitu Nabi Ismail ‘alaihissalam, ditambah ibadah itu atas perintah langsung dari Allah, bersamaan dengan itu beliau tetap khawatir Allah tidak menerima ibadahnya, beliau berdoa,

ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﺗَﻘَﺒَّﻞْ ﻣِﻨَّﺎ ﺇِﻧَّﻚَ ﺃَﻧْﺖَ ﺍﻟﺴَّﻤِﻴﻊُ ﺍﻟْﻌَﻠِﻴﻢُ

“Ya Allah, terimalah amal kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 127)

Lantas kita, yang amalannya belum tentu ikhlas, dilakukan oleh diri kita yang serba kurang, lalu kita pamerkan ke orang lain?! Siapa yang menjamin amalan kita akan diterima oleh Allah?!

DOA ORANG TERZALIMI

DOA ORANG TERZALIMI

Para pembaca yang Budiman, berikut kami sajikan Pembahasan Doa Orang yang Terzalimi, di bawah ini pembahasannya :


الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن سار على نهجه واستنّ بسنته إلى يوم الدين, أما بعد

Ma’asyirol muslimin para pembaca yang semoga dirahmati Allah subhanahu wata’ala.

Dzulmun atau yang biasa kita kenal dengan kata zalim merupakan lawan dari kata adil yang diartikan secara bahasa adalah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya, dan secara istilah adalah melakukan sesuatu yang keluar dari koridor kebenaran, baik karena kurang atau melebihi batas.

Ciri Orang yang Zalim

Islam melarang perbuatan zalim baik terhadap diri sendiri, orang lain, bahkan terhadap Rabb pencipta alam semesta Allah ‘azza wa jalla, disebutkan dalam hadits qudsi yang diriwayatkan imam Muslim

قَالَ الله تبارك وتعالى : يا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلى نَفْسِي وَجَعَلْتُه بَينَكُمْ مُحَرَّماً فَلَا تَظَالمُوا

Artinya : Allah tabaaraka wa ta’ala berfirman : “wahai hamba-hambaKu sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman atas diriKu, dan Aku jadikan kezaliman diharamkan diantara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.”

Hadits ini menjelaskan bahwa Allah ‘azza wajalla mengharamkan perbuatan zalim antara seorang hamba dengan hamba yang lainnya, bahkan terhadap Allah ‘azza wajalla kita lebih diharamkan untuk berbuat zalim kepadaNya yaitu dengan berbuat syirik kepadaNya dan ini adalah kezaliman yang sangat besar, sebagaimana Allah subhanahu wata’ala berfirman :

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Artinya : “sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang sangat besar”
(Q.S.Luqman : 13)

Ketika Allah ‘azza wajalla mengharamkan perbuatan zalim antara seorang hamba dengan yang lainnya, dengan tujuan agar tercipta saling menghormati dan saling menghargai diantara sesama tanpa mengenal status dan kedudukan seseorang, akan tetapi jika kezaliman itu muncul dari seorang hamba, maka hilanglah semua sikap tersebut dan akibatnya bagi orang yang berbuat zalim akan mendapatkan balasan di dunia maupun di akhirat.

Balasan Bagi Orang yang Zalim

Contoh balasan di akhirat adalah akan diqishash pada hari kiamat, disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa rosulullah shallallahu  ‘alaihi wasallam pernah bertanya :

أَتَدْرُونَ مَا المُفْلِسُ؟ قَالُوا: اَلْمُفْلِسُ فِيْنَا مَنْ لَيْسَ لَهُ دِرْهَمَ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ: إِنَّ المُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ، وَيَأْتِي وَقَدْ شَتَمَ هَذَا، وَقَذَفَ هَذَا، وَأَكَلَ مَالَ هَذَا، وَسَفَكَ دَمَ هَذَا، وَضَرَبَ هَذَا، فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يَقْضِيَ مَا عَلَيْهِ، أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ، ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ

Artinya : “Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut?”.
Para sahabat menjawab, “Orang yang bangkrut menurut kami adalah orang yang tidak memiliki uang dirham maupun harta benda”.
Nabi bersabda, “Sesungguhnya orang yang bangkrut dikalangan ummatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala sholat, puasa, dan zakat, tapi ia juga datang membawa dosa berupa perbuatan mencela, menuduh, memakan harta, menumpahkan darah, dan memukul orang lain. Kelak kebaikan-kebaikannya akan diberikan kepada orang yang terzalimi. Apabila amalan kebaikannya sudah habis diberikan, sementara belum selesai pembalasan tindak kedzalimannya, maka diambillah dosa-dosa orang yang terzalimi itu, lalu diberikan kepadanya, kemudian diapun dicampakkan kedalam neraka”.
(H.R. Muslim)

Dan contoh balasan di dunia adalah dijauhkan dari hidayah Allah ‘azza wajalla, Allah subhanahu wata’ala berfirman :

إِنَّ الله لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِيْنَ

Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim”
(Q.S.al-Maidah :51)

Sungguh masih banyak lagi contoh balasan bagi orang-orang yang berbuat zalim yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadits rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi dua contoh tersebut sudah cukup menggambarkan kepada kita kalau kita benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir betapa besarnya balasan bagi orang-orang yang berbuat zalim, sehingga kita takut dan menjauhi perbuatan tersebut.

Doa Orang yang Sedang di Zalim Mustajab

Kalau sekiranya kita secara sengaja ataupun tidak pernah berbuat zalim terhadap orang lain seperti memfitnah, menggunjing, mengadu domba ataupun yang lainnya, maka solusinya adalah segeralah meminta ampun kepada Allah ‘azza wajalla lalu meminta maaf kepada orang yang pernah kita zalimi, karena doa orang yang terzalimi mustajab, yaitu dikabulkan oleh Allah ‘azza wajalla, rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الله حِجَابٌ

Artinya : ”Dan berhati-hatilah terhadap doa orang yang terzalimi, karena tidak ada penghalang antara doanya dengan Allah”.
(H.R. Bukhori dan Muslim)

Beruntunglah kita kalau sekiranya orang yang terzalimi tersebut hanya berdoa memohon kebaikan bagi dirinya atau bahkan memohon kebaikan untuk orang yang menzaliminya, yaitu berupa hidayah, akan tetapi jika ia memohon keburukan untuk kita, maka terancamlah kita dengan doa tersebut, naudzubillah min dzalik, dan hanya kepada Allah kita memohon pertolongan.

Maka sebagai langkah bijak dan mengikhlaskan segala yang pernah terjadi bagi orang yang pernah dizalimi adalah dengan mendoakan kebaikan untuk orang yang pernah menzaliminya bukan mendoakan keburukan, karena dengan mendoakan kebaikan, maka kebaikan tersebut tidak hanya akan diperoleh bagi orang yang berbuat zalim tapi juga akan diperoleh bagi orang yang dizaliminya.

Oleh karena itu marilah kita memohon kepada Allah ‘azza wajalla agar kita termasuk orang-orang yang senantiasa berbuat kebaikan dan senantiasa menjauhi segala bentuk keburukan termasuk didalamnya perbuatan zalim

وَصَلَّى الله عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأّصْحَابِه أّجْمَعِيْنَ

Tak Kunjung Punya Momongan Tak Perlu Cari Kambing Hitam

Tak Kunjung Punya Momongan Tak Perlu Cari Kambing Hitam 

Yaa Allah

Kepada siapa lagi hamba mengadu

Sudah sangat lama tidak terdengar rengekan

Rengekan yang memecah kesunyian rumah tua

Sudah sangat lama tidak ada tangisan

Tangisan yang berbalas tawa

Yaa Allah

Apakah sanadku akan terputus

Apakah gen DNA-ku akan lenyap di peristirahatan terakhir

Apakah jejakku dimaka bumi akan tak berekas

Apakah hembusan napasku akan tak tersambung

Yaa Allah

Hamba berharap ada yang membuat tumah tua ini gaduh

Hamba berharap ada yang diceritakan ketika berkumpul bersama teman

Hamba berharap ada yang bisa sekedar memapah sayang ketika hamba menua

Hamba berharap ada yang selalu mendoakan sebagai amal jariyah

Hamba berharap ada yang yang memanggil hamba dari surga kelak

Yaa Allah

Jika harta mampu, maka kan kuberikan semua walaupun bersisa selongsongan

Jika tahta bisa, maka kerahkan seluruh pasukanku

Dan Jika polularitas berguna, maka kulepas jubah kebesaranku

Tetapi hanya Engkau Rabb semesta Alam yang mampu dan Bisa

Kepada-Mu lah hamba mengadu dan meminta

Kegalauan dua insan

Sang suami akan resah, apakah ia yang mandul atau istrinya yag tidak bisa memberikannya anak. Ia khawatir kelak tidak akan punya generasi penerus, meneruskan perjuangannya dan meneruskan kerajaan keturunannya. Sang suami khawatir tidak ada kelak yang akan menjadi kebanggaannya, khawatir tidak ada yang membuatnya semakin bersemangat mencari nafkah dan segera pulang melepas lelah dengan senyum ceria buah hati.

Sang istri lebih galau lagi, ia sangat khwatir bahwa ialah yang tidak mampu memberikan suaminya keturunan. Kemana ia harus tumpahkan kebutuhan mencurahkan kelembutan dan kasih sayang yang memang menjadi kodrat wanita. Kemana jiwa hanif keibuannya harus dicurahkan. Wanita benar-benar bisa merasa remuk redam hatinya jika tidak mampu memberikan keturunan bagi suaminya.

Merupakan salah satu ujian terberat para nabi dan mereka tetap bersabar

Lama tidak dikaruniai buah hati juga di alami oleh para nabi, tetapi mereka tetap bersabar, berdoa dan berusaha.

Ini dia bapak para nabi khalilullah Ibrahim alaihissalam bersama istrinya Sarah, sangat lama tidak dikaruniai anak, sampai mereka berdua berumur tua dan rambut beruban. Sehingga Sarah menghibur suaminya dengan menghadiahkan budak perempuannya yaitu Hajar kepada suaminya.

Al-Quran menceritakan ketika malaikat datang untuk memberi mereka berdua kabar gembira,

فَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةً قَالُوا لَا تَخَفْ

وَبَشَّرُوهُ بِغُلَامٍ عَلِيمٍْ

فَأَقْبَلَتِ امْرَأَتُهُ فِي صَرَّةٍ فَصَكَّتْ وَجْهَهَا وَقَالَتْ عَجُوزٌ عَقِيمٌْ

قَالُوا كَذَلِكَ قَالَ رَبُّكِ إِنَّهُ هُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ

“(Tetapi mereka tidak mau makan), karena itu Ibrahim merasa takut terhadap mereka. Mereka berkata: “Janganlah kamu takut”, dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishak).” Kemudian isterinya datang memekik lalu menepuk mukanya sendiri seraya berkata: ” (Aku adalah) seorang perempuan tua yang mandul.” Mereka berkata: “Demikianlah Tuhanmu memfirmankan” Sesungguhnya Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” [Adz-Dzariyat: 28-30]

Al-Qurthubi rahimahullah berkata,

وكان بين البشارة والولادة سنة،

وكانت سارة لم تلد قبل ذلك فولدت وهي بنت تسع وتسعين سنة،

وإبراهيم يومئذ ابن مائة سنة

“Jarak antara kabar gembira dgn kelahiran Ishaq adlh setahun. Adapun sebelum itu Sarah tdk pernah melahirkan, kemudian ia melahirkan ketika berusia 99 tahun, sedang Ibrahim berusia 100 tahun” [Al-Jami’ Liahkamil Qur’an 17/47, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, Koiro, cet.ke-2, 1384 H, Asy-syamilah]

Dari kisah nabi Ibrahim alaihissalam kita dapat mengambil pelajaran:

1. Nabi Ibrahim alaihissalam tidak kemudian membenci Istrinya Sarah karena tidak bisa memberikannya keturunan bahkan tetap setia terhadap Sarah. Demikian juga para suami hendaknya seperti ini.

2. Sarah tahu diri bahwa ia tidak bisa memberikan keturunan dan berusaha menghibur hati suaminya dengan memberikan budak wanitanya yaitu Hajar kepada suaminya. Demikian juga para istri yang terbukti mandul, hendaknya melakukan sebagaimana yang dilakukan Sarah.

Kemudian Nabi Zakaria alaihissalam berdoa setelah lama tidak diberikan keturunan,

وَزَكَرِيَّا إِذْ نَادَى رَبَّهُ رَبِّ لَا تَذَرْنِي فَرْداً وَأَنتَ خَيْرُ الْوَارِثِينَْ

فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَى وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ

“Dan (ingatlah kisah) Zakaria, tatkala ia menyeru Tuhannya: “Ya Tuhanku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah Waris Yang Paling Baik. Maka Kami memperkenankan do’anya, dan Kami anugerahkan kepada nya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung.” [Al-Anbiya’ :89-90]

Di ayat yang lain,

يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلَامٍ اسْمُهُ يَحْيَى

لَمْ نَجْعَل لَّهُ مِن قَبْلُ سَمِيّاًْ

قَالَ رَبِّ أَنَّى يَكُونُ لِي غُلَامٌ وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِراً وَقَدْ بَلَغْتُ مِنَ الْكِبَرِ عِتِيّاًْ

قَالَ كَذَلِكَ قَالَ رَبُّكَ هُوَ عَلَيَّ هَيِّنٌ وَقَدْ خَلَقْتُكَ مِن قَبْلُ وَلَمْ تَكُ شَيْئاً

Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia. Zakaria berkata: “Ya Rabb-ku, bagaimana akan ada anak bagiku, padahal isteriku adalah seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai umur yang sangat tua”. Rabb berfirman: “Demikianlah”. Rabb berfirman: “Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan sesunguhnya telah Aku ciptakan kamu sebelum itu, padahal kamu (di waktu itu) belum ada sama sekali”. [Maryam: 7-9]

Begitu juga dengan nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lama tidak dikaruniai anak sejak diutus menjadi Rasul dari sekian banyak istri beliau. Tentu saja beliau akan sangat senang jika ada anak laki-lakinya yang akan dididik sejak kecil dan meneruskan perjuangan beliau. Sedangkan anak beliau yaitu Ibrahim lahir dari budak beliau dan segera diambil oleh Allah ketika berumur 1 tahun lebih, yaitu disaat-saat imut, lucu dan sangat disayangi.

Keimanan terhadap takdir yang sangat menghibur

Belum juga mendapatkan buah hati setalah sekian tahun lamanya berumah tangga. Maka ini adalah takdir dan kehendak Allah. Allah Ta’ala berfirman,

لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ

يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثاً وَيَهَبُ لِمَن يَشَاءُ الذُّكُورَْ أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَاناً

وَإِنَاثاً وَيَجْعَلُ مَن يَشَاءُ عَقِيماً إِنَّهُ عَلِيمٌ قَدِيرٌ

“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki. Atau Dia menganugrahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendakiNya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia dikehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Mahakuasa.” [Asy-Syura : 49-50]

Dan semua takdir Allah pasti baik dan pasti menghendaki kebaikan kepada hambanya. Karena Allah sangat sayang terhadap hambanya, Allah menginginkan kebaikan terhadap hambanya, akan tetapi terkadang hambanya yang ber-su’udzon kepada Allah.

Bukhori dan Muslim meriwayatkan dalam kitab shohih keduanya dari Umar bin Khatthab radhiallohu ‘anhu,

قدم على النبي صلى الله عليه وسلم سبي،

فإذا امرأة من السبي قد تحلب ثديها تسقي،

إذا وجدت صبياً في السبي أخذته، فألصقته ببطنها وأرضعته،

فقال لنا النبي صلى الله عليه وسلم: (أترون هذه طارحة ولدها في النار). قلنا: لا،

وهي تقدر على أن لا تطرحه، فقال: (لله أرحم بعباده من هذه بولدها

“Didatangkan tawanan kehadapan Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam, ketika itu ada seorang wanita yang payudaranya basah karena sedang masa menyusui, lalu ia mendapati seorang bayi diantara tawanan, maka iapun mangambilnya dan menempelkannya di perutnya lalu menyusuinya. Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam pun berkata kepada kami : “Menurut kalian apakah wanita ini akan melempar anaknya ke dalam api?”, kamipun menjawab : “tidak, dan ia mampu untuk tidak melemparnya”, maka Rosululloh sholllallohu alaihi wa sallam pun bersabda : “Sesungguhnya Alloh lebih sayang terhadap hamba-Nya melebihi wanita ini terhadap anaknya.” [muttafaqun ‘alaih]

Tertundanya memiliki anak Diantara hikmahnya tertundanya memiliki anak:

1. Bisa lebih fokus menuntut ilmu
2. Bisa lebih fokus terhadap pekerjaan
3. Bisa lebih fokus untuk berdakwah
4. Bisa lebih fokus untuk berbakti kepada orang tua

Silahkan bandingan dengan mereka yang sudah mempunyai anak, maka terkadang kesibukan dengannya bisa sampai menghalangi berbakti kepada orang tua dan berbagai urusan yang lain.

Saling mendukung dan tidak saling menyalahkan

Bukanlah tindakan yang bijak jika keduanya sama-sama mencari kambing hitam, apalagi sampai bercerai. Lebih-lebih sang suami menyalahkan istri karena tidak bisa memberi keturunan. Pada studi epidemiologi kasus, kesulitan hamil sepertiga karena wanita, sepertiga pada laki-laki dan sepertiga gabungan keduanya. Dengan adanya ilmu kedokteran modern sekarang, maka dapat diketahui siapakah yang bermasalah sistem reproduksinya sehingga menyebabkan mandul atau infertil. Hendaknya keduanya sama-sama mendukung dan memeriksakan diri, sehingga bisa diberikan terapi yang sesuai dengan diagnosa.

Pemeriksaan yang dilakukan kepada suami:

1. Pemeriksaan fisik , psikis dan riwayat penyakit
2. analisis sperma untuk mengetahui kualitas dan kuantitas sperma
3. Pemeriksaan hormon.

Sedangkan pemeriksaan kepada istri berupa:

1. Pemeriksaan fisik , psikis dan riwayat penyakit
2. normalnya proses ovulasi dengan memeriksa darah dan hormon
3. mencari penghalang di rahim dengan salah satu berikut:-USG untuk mengetahui tumor, kitsa atau kanker

Histerosalpingografi (HSG) yaitu dengan memasukan cairan khusus ke rahim melalui vagina. Cairan akan tampak pada foto rontgen. Jika terdapat sumbatan maka pergerakan cairan akan terhenti.

Laparoskopi yaitu menggunakan alat untuk melihat keadaan bagian dalam rongga perut, melihat kondisi ovarium, saluran tuba dan rahim.

Mengetahui dan mencari informasi mengenai infertilitas dan masalah reproduksi

Secara kedokteran infertilitas adalah menurunnya atau hilangnya kemampuan menghasilkan keturunan. Primary terjadi pada pasien yang tidak pernah hamil. Secondary pada pasien yang sebelumnya pernah hamil. [Kamus Kedokteran Dorland hal 1096, Edisi 29, EGC, Jakarta]

Infertilitas yaitu Tidak hamil setelah 12 bulan melakukan hubungan intim secara rutin (1-3 kali seminggu) dan bebas kontrasepsi bila perempuan berumur kurang dari 34 tahun.

Jadi jangan terburu-buru menilai mandul. jika jarang bertemu dan sering berpisah kemudian selang-seling memakai hormon kontrasepsi, maka belum bisa didiagnosa infertilitas alias mandul.

Penyebab terhalangnya kehamilan

Secara ringkas sebab tidak terjadinya kehamilan pada point-point berikut:

1. Harus ada sel telur yang berasal dari indung telur atau ovarium.
2. Sel telur harus bergerak menuju rahim melalui saluran tuba dan tidak tersumbat
3. Dalam perjalanan ini, sel sperma dari laki laki harus mampu mencapai dan membuahi sel telur.
4. Telur yang sudah dibuahi kemudian harus menempel pada dinding rahim bagian dalam. Bukan di luar rahim

Sebab-sebab infertilitas

Sebabnya multifaktor melibatkan fisik dan psikis, umur, lama infertilitas, emosi, lingkungan, cara dan frekuensi hubungan seksual, kondisi sosial dan ekonomi, kondisi reproduksi wanita, meliputi cervix, uterus, dan sel telur, kondisi reproduksi pria, yaitu kualitas sperma dan seksualitas.

Bisa juga akibat komplikasi penyakit seperti penyakit genetik, kencing manis, penyakit kelenjar gondok, kelainan hormon, dan obesitas.

Sebab secara khusus pada wanita:

1. Endometriosis

Yaitu jaringan endometrium [tempat menempelnya sel telur yang sudah dibuahi] tidak berada dibagian lapisan dalam rahim tetapi berada dibagian lain. Gejala umumnya adalah nyeri yang sangat pada daerah panggul terutama pada saat haid dan berhubungan intim.

2. kelainan antibodi antisperma

Ada wanita yang sperma suaminya dianggap sebagai benda asing yang harus dimusnahkan oleh antibodi tubuhnya. akibatnya antibodi tersebut menghancurkan sperma yang masuk sehingga pembuahan gagal terjadi.

3. Infeksi Panggul

Infeksi panggul adalah suatu kumpulan penyakit pada saluran reproduksi wanita bagian atas, meliputi radang pada rahim, saluran telur, indung telur, atau dinding dalam panggul.

4. Mioma Uteri

Mioma uteri adalah tumor atau pembesaran jaringan otot yang ada di rahim. yang sering menimbulkan infertilitas adalah mioma uteri yang terletak di lapisan dalam (lapisan endometrium). Mioma uteri biasanya tidak bergejala.

5. Polip

Polip adalah suatu jaringan yang membesar dan menjulur dan dapat menjulur keluar ke vagina. Polip menyebabkan pertemuan sperma-sel telur dan lingkungan uterus terganggu, sehingga bakal janin akan susah tumbuh.

6. Kista

Kista adalah suatu kantong tertutup yang dilapisi oleh selaput (membran) yang tumbuh tidak normal di rongga maupun struktur tubuh manusia. Bisa terjadi pada rahim dan penyebabnya tidak seimbangnya hormon yang mempengaruhi reproduksi wanita.

7. Saluran Tuba yang Tersumbat

dapatmenyebabkan sperma tidak bisa bertemu dengan sel telur sehingga pembuahan tidak terjadi alias tidak terjadi kehamilan.

Sebab secara khusus pada laki-laki:

1. pretesticular yaitu Gangguan di daerah sebelum testis

Gangguan bagian otak, yaitu hipofisis yang mengatur hormon FSH dan LH yang kemudian mempengaruhi testis dalam menghasilkan hormon testosteron.

2. testicular yaitu Gangguan di daerah testis

Bisa karena trauma pukulan, gangguan fisik, atau infeksi.

3. posttesticular yaitu Gangguan di daerah setelah testis

Terjadi di saluran sperma sehingga sperma tidak dapat disalurkan dengan lancar, biasanya karena salurannya buntu.

Doa Untuk Mereka Yang Tertindas

Doa Untuk Mereka Yang Tertindas 

Kita telah menyaksikan, sebagian negara yang penduduknya mayoritas umat Islam telah dijajah oleh kaum kuffar, negara dan penduduknya berantakan, disana-sini dibantai oleh orang Yahudi dan Nasrani. Begitulah yang terjadi di Negeri Palestina. Sudah puluhan tahun mereka dijajah oleh bangsa Yahudi laknatullahu ‘alaihi. Negara Afganistan, Bosnia, Irak dan negara timur lainnya, yang sebelumnya menjadi hidangan orang Sovyet, lalu dilanjutkan oleh orang Amerika.

Peristiwa yang sama, sebelumnya juga melanda kaum Muslimin di Philipina dan sebagian pulau di Indonesia. Musibah beruntun yang menyedihkan ini, tidak lain karena ulah umat Islam sendiri, yang tidak mau berpegang teguh dengan dinul Islam yang kokoh, sebagaimana Allah telah menerangkan dalam surat Hud/11 : 117 dan Al Isra.17 : 16.

وَمَاكَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ

“Dan Rabb-mu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zhalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan“.[Hud/11 : 117]

وَإِذَآ أَرَدْنَآ أَن نُّهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا

“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (suatu mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya“. [Al Isra/17 : 16].

Melihat situasai yang seperti ini, sebagian kelompok yang menamakan dirinya mujahid versi baru, memunculkan gagasan baru untuk melampiaskan apa yang menjadi keinginannya dengan membuat berbagai doktrin dan melakukan berbagai macam tindakan, diantaranya:

Jihad yang berarti perang melawan orang kafir pada zaman sekarang hukumnya fardlu ‘ain untuk seluruh dunia, tidak perlu izin orang tua ataupun Amirul Mukminin.
Mereka menilai, negara-negara di dunia pada zaman sekarang ini masih merupakan daulah kuffar, belum ada Daulah Islamiyah; karena itu, wajib berperang untuk menegakkan Daulah Islamiyah.
Mengkafirkan pemimpin secara mutlak yang tidak menerapkan hukum Islam, dan mengajak umat harus keluar dari pemimpin yang zhalim.
Menghina dan melecehkan para ulama salaf yang tidak ikut melancarkan peperangan seperti yang mereka kehendaki. Mereka menyebut ulama Salaf dengan julukan ulama duduk, ulama haid dan nifas, dan tukang buruh pemerintah thaghut. Naudzu billahi min dzalik.
Melihat saudaranya yang dibantai, mereka meluapkan kemarahan dengan melakukan peledakan, merusak kantor dan bangunan milik orang kafir, membakar gereja; bahkan semboyan yang mereka gaungkan, bahwa “membunuh orang Amerika adalah tanda keimanan dan tauhid”. Mereka juga melakukan berbagai unjuk rasa di kantor dubes dan lainnya.
Mengangkat imam sementara yang dianggap mampu menyelesaikan sengketa umat untuk menjadi khalifah pada masa depan.
Menjauhkan umat dari pemahaman Salaf, karena ulama Salaf tidak mendukung keinginan mereka.
Mereka meremehkan da’wah tauhid ; mereka pusatkan tauhid hakimiyah, mengajak umat untuk mendirikan Daulah Islamiyah.
Itulah impian mereka, yang jika kita amati, pemikiran tersebut tidak lepas dari fikrah Khawarij, sebagaimana yang disimpulkan oleh Syaikh Shalih Fauzan; bahwa prinsip Khawarij ada tiga. Pertama, mengkafirkan orang Islam. Kedua, tidak taat kepada waliyul ‘amri. Ketiga, menghalalkan darah kaum muslimin. Oleh karena itu, siapapun yang mempunyai keyakinan seperti ini dinamakan Khawarij, walaupun ia tidak mengatakan dan tidak mengamalkan. Lihat Al Ijabah Al Muhimmah Fil Masyakilil Mulimmah, Shalih Fauzan Ali Fauzan, hlm. 9.

Mereka ingin mendorong kaum Muslimin agar tidak taat kepada waliyul amri. Mereka membuat opini-opini terlebih dahulu, bahwa negara yang sedang mereka tempati adalah negara kafir dengan membuat definisi yang seakan ilmiah, meskipun dengan mencatut perkataan para ulama secara sepenggal-sepenggal.

Dalam menyikapi keberadaan ummat Islam yang tertindas, ulama Salaf memiliki penyikapan yang berbeda dengan fikrah mereka. Ulama Salaf tetap melancarkan jihad, namun sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan di dalam Al Qur`an dan Sunnah, serta sesuai dengan pemahaman Salaful Ummah. Antara lain:

Pertama : Bagi Yang Diserang Oleh Musuh, Maka Hukum Jihad Bagi Mereka Menjadi Fardhu ‘Ain.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, “Jika musuh hendak menyerang kaum Muslimin, maka wajib atas seluruh kaum Muslimin yang menjadi target serangan untuk melawan. Dan wajib atas kaum Muslimin lainnya untuk menolong kaum Muslimin yang diserang.” [Lihat Majmu’ Fatawa, XIV/464].

Jadi, ketika daerah kaum Muslimin diserang, maka hukum jihad bagi penduduk yang diserang menjadi fardhu ‘ain, kecuali orang yang memiliki udzur. Dan termasuk jihad yang fardhu ‘ain pula, jika seseorang atau suatu kaum diperintahkan oleh Amirul Mukminin, sebagaimana disebutkan dalam surat At Taubah ayat 38 dan hadist Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:

وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا

“Jika kamu diperintah keluar untuk jihad, maka keluarlah untuk berjihad“. [HR Bukhari, no. 2848, bersumber dari Ibn Abbas Radhiyallahu ‘anhu].

Dalil di atas menunjukkan, bahwa jihad melawan orang kafir bukan fardlu ‘ain, kecuali dalam kondisikondisi tertentu. Penyusun kitab Al Mughni menyebutkan, bahwasanya jihad menjadi fardlu ‘ain dalam tiga keadaan, yaitu: Pertama. Ketika dua pasukan sedang bertempur, maka diharamkan bagi orang yang sedang berada dalam medan tempur untuk melarikan diri. Kedua. Ketika musuh menyerang suatu negara. Ketiga. Ketika diperintahkan oleh imam.

Ini juga sebagai bantahan kepada mujahid hizbi yang mengatakan bahwa jihad pada zaman sekarang adalah fardhu ‘ain untuk semua negara, dan kaum muslimin tidak perlu izin orang tua, suami ataupun waliyul ‘amri sebagaimana pendapat Dr. Abdullah Azzam dalam bukunya yang berjudul Untukmu Umat Islam, diterjemahkan oleh Abu Ayyob Al Anshori, hlm. 36-40. Untuk bantahannya, silahkan membaca Majalah Al Furqon, Edisi 9 Th IV, hlm. 12-16.

Pendapat serupa juga terdapat dalam buku Komando Al Qaidah Atas Perang Salib yang disembunyikan alamat penerbitnya, yang isinya, secara garis besar menjelaskan adanya prinsip yang menghalalkan darah semua orang kafir dengan semboyannya “membunuh orang Amerika adalah inti keamanan dan tauhid”. Untuk bantahannya, silahkan membaca Majalah Al Furqon edisi yang sama, hlm. 18-19.

Kedua : Sikap Umat Islam Yang Tinggal Di Negeri Yang Aman.
Mengenai umat Islam yang tinggal di negeri yang aman ketika melihat umat Islam di negara lain dibantai oleh musuh, hendaknya memperhatikan beberapa perkara di bawah ini:

  1. Berjihad (Dalam Arti Perang) Melawan Orang Kafir Di Negeri Kaum Muslimin Lainnya Bisa Dilakukan, Bila Terpenuhi Syaratnya. Karena Termasuk Yang Hukumnya Fardhu Kifayah.
    Bagi yang berperang harus memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya: Mendapat izin dari waliyul ‘amr, orang tua dan memiliki fisik yang kuat.

Dalil yang menunjukkan harus ada izin dari waliyul ‘amr, ialah sebagaimana tercantum di dalam Surat At Taubah ayat 28-29 dan hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari di atas.

Sedangkan dalil yang menunjukkan harus mendapatkan izin orang tua, yaitu riwayat dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia minta izin untuk ikut berjihad. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya :

أَحَيٌّ وَالِدَاكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ

“Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Dia menjawab,”Ya (masih hidup),” lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,”Berjihadlah (dengan berbuat baik) Kepada keduanya“.[HR Ibn Hibban dalam Shahih-nya].

Menuurt Ibnu Quddamah : “Jihad harus ada izin dari orang tua, karena berbuat baik kepada kedua orang tua hukumnya fardhu ‘ain, sedangkan jihad harbi (thalab) hukumnya fardhu kifayah. Dan fardhhu ‘ain harus didahulukan daripada fardhu kifayah”. Lihat Al Mughni (9/170).

Adapun persyaratan harus kuat, Syaikh Shalih Fauzan berkata: ”Di antara syarat berjihad, hendaknya orang Islam memiliki kekuatan mampu melawan orang kafir, mereka benar-benar kuat dan mempunyai fasilitas yang siap untuk menyerang. Jika mempunyai fasilitas, tetapi tidak mempunyai kekuatan, maka tidak wajib. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat berada di Mekkah sebelum hijrah, tidak disyariatkan berjihad dengan pedang, karena mereka belum mampu”. Lihat kitab Al Fatawa Asy Syar’iah Fil Qadhaya Al Ashriyah, hlm. 162.

  1. Umat Islam Wajib Membantu Saudaranya Dengan Segala Macam Bantuan.
    Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, jika musuh hendak menyerang kaum muslimin, maka wajib atas seluruh kaum muslimin yang menjadi target serangan untuk melawan dan wajib atas kaum muslimin lainnya untuk menolong kaum muslimin yang diserang, sebagaimana firman Allah Subhanhu wa Ta’ala :

وَإِنِ اسْتَنصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلَّا عَلَىٰ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُم مِّيثَاقٌ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

“Jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka”. [Al Anfal : 72].

Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar menolong kaum muslimin. Kewajiban ini disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Lihat Majmu’ Fatawa, XIV/464.

Ketika terjadi penyerangan Sovyet atas Afghanistan, Mufti Kerajaan Saudi Arabia Ibn Baz rahimahullah menyatakan, jihad bagi orang Afganistan adalah jihad yang disyariatkan untuk melawan kaum kuffar, maka saudaranya yang sedang bertempur melawan musuh wajib dibantu dan ditolong dengan berbagai macam pertolongan. Adapun bagi Saudara kita di Afganistan, hukumnya fardhu ‘ain untuk membela agamanya, saudaranya dan negerinya. Adapun selain (yang berada) di Afghanistan hukumnya fardhu kifayah, sebagaimana disebutkan di dalam surat At Taubah ayat 140, Al Maidah ayat 35. Lihat Majmu’ Fatawa Maqalat Mutanawi’ah Ibn Baz, 5/151.

Fatwa ini membantah tuduhan mujahid hizbi yang menghina ulama Salaf, bahwa seolah ulama Salaf diam tidak berbuat apa-apa ketika saudaranya dibantai oleh musuh-musuh Allah. Ketauhilah, ulama Salaf tidak takut mati, akan tetapi takut bila berjihad menyelisihi Sunnah NabiNya. Karena jihad termasuk ibadah, maka harus berdasarkan dalil. Ini berbeda dengan mujahid hizbi yang membolehkan jihad dengan segala macam cara, yang akhirnya fatal pula akibatnya dan merugikan kaum muslimin sendiri.

Salah satu bentuk bantuan yang bisa diberikan oleh seluruh kaum muslimin adalah mendo’akan kaum muslimin agar diberikan kemenangan dan ketabahan dalam berjihad. Sebagaimana dicontohkan oleh para ulama, yang mendo’akan para mujahidin.

  1. Umat Islam Dilarang Membunuh Orang Kafir Yang Mendapat Jaminan Keamanan
    Sekalipun umat Islam tertindas di negeri orang kafir, tetapi umat Islam di negara lain tidak boleh balas dendam kepada orang kafir yang tinggal di negerinya, sebab bisa jadi akan membangkitkan dendam orang kafir kepada orang Islam minoritas di negeri lain. Abdullah bin Amr Radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

“Barangsiapa yang membunuh orang yang telah mengadakan perjanjian damai, tidaklah dia mencium bau Surga, dan sesungguhnya baunya akan dijumpai selama perjalanan empat puluh tahun“. [HR Bukhari, 2930]

Dari Amr bin Abasah Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda:

مَنْ كَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قَوْمٍ عَهْدٌ فَلَا يَشُدُّ عُقْدَةً وَلَا يَحُلُّهَا حَتَّى يَنْقَضِيَ أَمَدُهَا أَوْ يَنْبِذَ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ فَرَجَعَ مُعَاوِيَةُ

“Barangsiapa mengadakan perjanjian dengan suatu kaum, maka tidak boleh mengikat perjanjiannya sehingga tidak boleh lepas, dan tidak boleh melepaskannya sehingga usai masanya, atau sama-sama melepaskannya“. [HR Abu Dawud, 2378. Lihat Ash Shahih, oleh Al Albani, 6480]

Sebaliknya, orang Islam diperbolehkan berbuat baik dan berbuat adil kepada orang kafir dalam suatu negeri, yang mereka tidak memusuhi Islam dan pemeluknya, berdasarkan firman Allah dalam surat Al Mumtahanah ayat 8-9, yang artinya : “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orangorang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang- orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim”. [Mumtahanah : 8-9]

Mufti Kerajaan Saudi Arabia Ibn Baz berkata: “Dilarang membunuh orang kafir yang dijamin aman tinggal di negerinya yang aman. Demikian juga dilarang membunuh wisatawan dan tamu negara yang tinggal di Negara Islam”. Lihat kitab Kaifa Nualiju Waqiana Al Alim, hlm. 182-183.

Adapun tentang alasan bolehnya melanggar perjanjian dengan orang musyrik, sebagaimana kisah Abu Bashir Radhiyallahu ‘anhu yang menyerang kafilah(rombongan orang) orang musyrik, hal ini dijelaskan oleh Ibnul Qayyim Al Jauzi, bahwa perjanjian yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan orang musyrik, tidaklah sama dengan peristiwa Abi Bashir dan kawan kawannya bersama mereka. Maksudnya, bila terdapat perjanjian antara sebagian kerajaan kaum muslimin dan sebagian kafir dzimmi dari orang Nasrani, boleh untuk kerajaan kaum muslimin yang lain menyerang mereka dan merampas hartanya, jika antara mereka tidak ada perjanjian. Lihat Zadul Ma’ad (3/309).

  1. Dilarang Menggunakan Bom Bunuh Diri Untuk Membantai Musuh.
    Membunuh orang kafir dengan mengorbankan dirinya karena akan membunuh jumlah yang banyak dari orang kafir, hukumnya haram.

Syaikh Ibn Baz ditanya : Bagaimana hukum orang yang mengorbankan dirinya bertujuan untuk membunuh kelompok orang Yahudi?

Beliau (Syaikh) menjawab: Sudah saya jelaskan berulang kali, bahwa perbuatan ini dilarang, karena temasuk bunuh diri. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman : وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ (Dan janganlah kamu membunuh dirimu) An Nisa`: 29.

Tsabit bin Adh Dhahaq Radhiyallahu ‘anhu berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ فِي الدُّنْيَا عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Dan barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu di dunia ini, maka dia akan disiksa besok pada hari Kiamat“. [HR Muslim, 5587]

Kaum Muslimin hendaknya berusaha menasihati mereka. Dan bila disyariatkan jihad, hendaknya berjihad bersama pemimpin kaum Muslimin. Jika terbunuh -Alhamdulillah-. Adapun membunuh diri dengan alasan akan (dapat) membunuh orang kafir dengan jumlah yang banyak; demikian ini adalah salah, hukumnya haram. Demikian juga orang yang menikam dirinya, hukumnya adalah haram. Lihat kitab Al Fatawa Ashriyah Fi Qadhaya Ashriyah, hlm. 166.

Ketiga : Umat Islam Dilarang Menganiaya Masyarakat Dengan Alasan Karena Mereka Berbuat Maksiat.
Ingkar mungkar tidak harus merusak anggota badan atau harta benda, apalagi mereka beragama Islam, karena negeri yang di dalamnya dikumandangkan adzan termasuk Daulah Islamiyah, wajib dilindungi jiwa, harta dan kehormatannya. Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ إِذَا غَزَا قَوْمًا لَمْ يُغِرْ حَتَّى يُصْبِحَ فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا أَمْسَكَ وَإِنْ لَمْ يَسْمَعْ أَذَانًا أَغَارَ بَعْدَ مَا يُصْبِحُ

“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila akan menyerang suatu kaum, tidaklah Beliau menyerang sehingga datang waktu Subuh. Jika Beliau mendengar adzan, maka Beliau menahan diri. Dan jika tidak mendengar adzan, maka Beliau mulai menyerang setelah waktu Subuh“. [HR Bukhari, 2725]

Imam Nawawi berkata: ”Hadist ini menunjukkan bahwa adzan, menahan serangan kaum muslimin kepada penduduk negeri tersebut. Karena adzan menjadi bukti, bahwa negeri itu adalah negeri Islam”. Lihat Syarah Shahih Muslim, 4/84.

Al Imam Al Qurthubi berkata: ”Adzan adalah tanda yang membedakan antara Darul Islam dan darul kufur”. Lihat Tafsir Al Qurthubi (6/225).

Fatwa ulama Salaf ini membantah hizbiyyin yang menghalalkan darah kaum Muslimin dengan alasan karena mereka berbuat maksiat dan pemimpinnya tidak berhukum dengan hukum Islam. Lihat sikap Imam Ahmad ketika dipenjara oleh pemimpin yang zhalim, karena dipaksa harus mengatakan Al Qur’an itu makhluk. Imam Ahmad bersabar, tidak menyerah dan tidak mengajak umat keluar dari jamaah.


Adapun untuk menghadapi bermacam kemungkaran yang melanda suatu negeri, baik berupa kemusyrikan, bid’an dan kezhaliman, maka Ibnul Qayyim berkata: ”Adapun jihad melawan bermacam bentuk kezhaliman, bid’ah dan kemungkaran, ada tiga cara. Dengan kekuatan bila mampu. Jika tidak mampu, berpindah dengan lisan. Jika tidak mampu, maka jihad dengan hatinya”. Lihad Zadul Ma’ad (3/11).

Yang dikatakan Ibnul Qayyim ini berdasarkan hadits, bahwa Abu Sa’id Al Khudzri Radhiyallahu ‘anhu mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

“Barangsiapa melihat kemungkaran, hendaklah merubah dengan tangannya. Maka jika tidak mampu, hendaknya merubah dengan lisannya. Dan jika tidak mampu, hendaknya merubah dengan hatinya. Yang demikian itu selemah-lemahnya iman“. [HR Muslim, 70]

Ketahuilah, bahwa mengingkari kemungkaran, hukumnya wajib bagi setiap orang Islam sesuai kemampuannya masing-masing. Bagi yang memiliki kekusaan dan kekuatan atau pihak yang bertanggung jawab, hendaknya merubah dengan kekuasaannya. Bagi yang memiliki ilmu dinul Islam yang cukup, hendaknya merubah dengan lisannya berupa nasihat. Bagi setiap muslim yang tidak memiliki dua perkara di atas, wajib mengingkari dengan hati, membenci dan berharap agar kemungkaran tersebut segera lenyap. Untuk lebih jelasnya. [Lihat Zadul Ma’ad (3/11)].

Dalil hadits dan keterangan ulama Salaf ini telah dilanggar oleh mujahid yang hanya mengandalkan emosi dan jalan pikirannya saja, sehingga apa yang diperkirakan dapat menyelesaikan perkara, tetapi sebaliknya, justru menambah kemungkaran musuh. Apa yang dilancarkan oleh Usamah bin Laden dan kawan-kawannya, tidaklah membuat musuh Allah menjadi takut, tetapi sebaliknya, bahkan menambah kehancuran sebagian besar kaum muslimin.

Mufti Kerajaan Saudi Arabia Ibn Baz berkata: ”Orang yang berbuat maksiat tidak boleh dibunuh, dan mereka tidak boleh pula diserang; tetapi harus dikembalikan kepada hukum Islam, karena kita wajib menghukumi dengan syariat Islam. Tetapi, jika tidak ada hakim yang menghukumi mereka dengan syariat Islam, maka mereka cukup dinasihati. Dan dinasihati juga waliyul ’amri, tentunya dengan cara yang baik. Hendaknya mereka diarahkan kepada kebaikan dan saling tolong-menolong, sehingga mereka berhukum dengan syariat Allah. Adapun orang yang memerintah dan melarang, lalu memukul atau membunuh pelaku maksiat (itu) tidak boleh, tetapi hendaknya bekerjasama dengan pihak yang berwajib dengan cara yang lembut. [Lihat kitab Kaifa Nualiju Waqiana Al Alim, hlm. 182]

Fatwa ini membantah mujahid yang hanya bermodal berani, sehingga merajam orang yang zina, membantai orang yang berjudi, membakar rumah pemabuk, merusak gereja dan bangunan lainnya, yang akhirnya pemerintah harus mengganti kerugiannya.

Keempat : Umat Islam Dilarang Menggulingkan Pemimpin Islam, Walau Pemimpin Itu Belum Menerapkan Hukum Islam.
Diantara syubhat mujahid hizbi yang terpendam di dalam hatinya, mereka memiliki prinsip ”bila negara tidak ditegakkan syariat Islam, dia adalah negara kafir, wajib diperangi”. Dengan prinsip inilah mereka berupaya menggulingkan pemimpin dan mengajak rakyat agar keluar dari barisan mereka sampai berdirinya Khilafah Islamiyah. Mereka membunuh pejabat dan menculiknya. Aksi demontrasi, kudeta, peledakan-peledakan, pembajakan pesawat, orasi mengungkapkan kezaliman pemimpin lewat mimbar-mimbar dan media massa mereka gencarkan sampai tujuan dapat tercapai. Perbuatan demikian ini semua, hukumnya haram. Silahkan membaca kitab Al Fatawa Syar’iyah Fil Qadhaya Al Ashriyah, Al Ajwibah Al Muhimmah Fil Masyakilil Mulimmah, kitab Kaifa Nualiju Waqina Al Alim, dan kitab-kitab manhaj dakwah lainnya.

Adapun cara menghadapi pemimpin yang zhalim, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyuruh utusanNya, yaitu Nabi Musa Alaihissallam agar mendatangi Fir’aun dan menasihati dengan lemah lembut. Lihat surat An Naziat ayat 17-18 dan Thaha ayat 44. Jika Fir’aun sebagai kampiun manusia yang berbuat kemusyrikan hingga menyatakan dirinya sebagai tuhan dinasihati dengan lembut, tentunya pemimpin yang beriman lebih berhak untuk dinasihati dengancara yang lemah lembut pula.

Iyadh bin Ghanim berkata,”Wahai, Hisyam bin Hakam! Sungguh kami telah mendengar apa yang kamu dengar, dan kami melihat apa yang kamu lihat. Bukankah kamu mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,’Barangsiapa ingin menasihati pemimpin dalam suatu perkara, janganlah membongkar kesalahannya., Hendaknya mendatangi dan menasihatinya dengan baik. Jika diterima, itulah manfaatnya. Jika tidak, dia telah menunaikan kewajibannya’.” [HR Imam Ahmad, 1/403 dan As Sunnah oleh Ibn Abi Ashim, 2/521]

Prinsip ini harus kita pegang, karena bila pemimpin difitnah, maka bahayanya lebih besar daripada maslahahnya, baik dari sisi keamanan, ekonomi, kenyamanan ibadah dan kelancaran dakwah.

Adapun istilah ”Daulah Islamiyah”, bahwa tegaknya Daulah Islamiyah tidaklah harus berbentuk Khilafah Islamiyah, kendati sebaiknya meski demikian. Dan alhamdulillah, para ulama sunnah, walaupun mereka hidup tanpa khilafah, dakwah mereka tetap berjalan dan bermanfaat bagi umat.

Ad Dasuqi berkata,”Sesungguhnya negeri Islam tidaklah berubah menjadi negara kafir (darul harbi) karena penguasaan dipimpin oleh orang kafir, tetapi hingga putus penegakan syi’ar-syi’ar Islam di dalamnya.” [Lihat Hasiyah Dasuqi (2/188)].

Al Kasani berkata,”Tidak ada khilaf di antara para sahabat kami (mazhab Hanafi), bahwasanya darul kufur berubah menjadi Darul Islam dengan nampaknya hukum Islam padanya. Mereka berselisih dengan sebab apa (sehingga) Darul Islam berubah menjadi darul kufur? Abu Hanifah berkata, Darul Islam tidak berubah menjadi darul kufur, kecuali dengan tiga syarat :

  1. Dominannya hukum-hukum kafir padanya.
  2. Bersambungnya dengan darul kufur.
  3. Di dalam negeri tersebut tidak tersisa seorang muslim, dan seorang dzimmi yang merasa aman dengan jaminan keamanan dari kaum Muslimin. Abu Yusus dan Muhamad berkata, Darul Islam berubah menjadi darul kufur disebabkan karena dominannya hukum-hukum kufur padanya. Lihat Badai’ Shani’ (7/130).

Kelima. Umat Islam Hendaknya Berjihad (Dalam Arti Luas) Melawan Musuh.
Ketauhilah, bahwa yang dinamakan musuh bukan hanya orang kafir. Hawa nafsu, setan, orang munafik, orang kafir, orang musyrik, ahli bid’ah dan orang maksiat pun musuh bagi mujahid. Karena itu para ulama –misalnya- Ibnul Qayyim Al Jauzi membagi jihad ada empat macam. (Yaitu): Pertama, jihad melawan hawa nafsu, dan ini hukumnya fardhu ’ain. Maka harus dilawan dengan menuntut ilmu din (agama), beramal, berdakwah dan bersabar, sebagaimana disebutkan di dalam surat Al Ashr. Kedua, jihad melawan setan. Ketauhilah, setan menyerang manusia dengan dua cara. Jika seseorang itu malas beribadah dan sedikit ilmu din, dia diserang dengan digalakkan syahwatnya senang kepada maksiat. Tetapi jika orang tersebut ahli ibadah, maka dimasukilah ia dengan perbuatan syubhat, agar merasa kurang puas dengan hanya mengikuti Sunnah, sehingga mereka harus menambah tata cara ibadah. Adapun cara jihad melawan setan ini, yaitu dengan kesabaran ketika bangkit syahwatnya, dan dengan meyakini cukupnya dalil Sunnah bila ingin menambahinya, sebagaimana Allah menjelaskan, bahwa kemenangan diperoleh dengan dua cara; yakin dan sabar. Lihat surat Al Anbiya` ayat 73. Ketiga, yaitu berjihad melawan orang kafir dan orang munafik, sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Demikian beberapa pemikiran yang berkaitan dengan problematika yang menimpa kaum Muslimin. Hendaklah kita mengambil pelajaran dari setiap peristiwa, kemudian menjadikannya sebagai bekal dalam berdakwah mengajak manusia kepada kalimat thayyibah, la ilaha illallah. Kalimat inilah yang didakwahkan oleh para rasul, sejak Nabi Nuh Alaihissallam hingga Rasul terakhir, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu a’lam.