Orang Yang Diinginkan Kebaikan Oleh Alloh

Orang Yang Diinginkan Kebaikan Oleh Alloh 

Di antara manusia ada orang-orang yang Allah inginkan kebaikan padanya. Kita berharap mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang diinginkan oleh Allah untuk mendapatkan kebaikan tersebut. Tentunya kita tidak ingin kita termasuk orang yang Allah kehendaki keburukan ada pada diri kita. Lalu siapakah orang-orang yang Allah inginkan kebaikan bagi mereka? Berikut ciri-cirinya:

1. Dijadikan ia senantiasa beramal sholih sebelum kematian menjelang

Disebutkan dalam hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan lainnya[1], bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Apabila Allah menginginkan kebaikan kepada seorang hamba, Allah jadikan ia beramal.” Lalu para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud dijadikan dia beramal?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dibukakan untuknya amalan shalih sebelum meninggalnya sehingga orang-orang yang berada di sekitarnya ridha kepadanya.”

2. Dipercepat sanksinya di dunia

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Apabila Allah menginginkan kebaikan kepada hamba-Nya, Allah akan segerakan sanksi untuknya di dunia. Dan apabila Allah menginginkan keburukan kepada hamba-Nya, Allah akan menahan adzab baginya akibat dosanya (di dunia), sampai Allah membalasnya (dengan sempurna) pada hari Kiamat.” (HR. At-Tirmidzi dan Al Hakim dari Anas bin Malik)[2]

Namun kita tidak diperkenankan untuk meminta kepada Allah agar dipercepat sanksi kita di dunia, karena kita belum tentu mampu menghadapinya.

3. Diberikan cobaan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan, Allah akan memberinya musibah.” (HR. Al-Bukhari).

Cobaan pasti akan menerpa kehidupan mukmin, karena itu merupakan janji Allah. Allah berfirman,

Sungguh, Kami akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikan kabar gembira bagi orang-orang yang bersabar” (QS. Al Baqarah: 155).

Bersabarlah ketika kita mendapatkan cobaan, karena cobaan itu untuk menggugurkan dosa atau mengangkat derajat.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Senantiasa ujian itu menerpa mukmin atau mukminah pada jasadnya, harta dan anaknya sampai ia bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak mempunyai dosa.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Albani).

4. Dijadikan faham terhadap agama Islam

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan padanya, Allah akan faqihkan ia dalam masalah agama (ini).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Kefaqihan adalah pemahaman yang Allah berikan kepada seorang hamba. Pemahaman yang lurus tentang Al-Qur’an dan hadits didasari dengan kebeningan hati dan aqidah yang shahih. Karena hati yang dipenuhi oleh hawa nafsu tidak akan dapat memahami Al-Qur’an dan hadits dengan benar.

5. Diberikan kesabaran

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Tidaklah seseorang diberikan sesuatu yang lebih baik dan lebih luas dari kesabaran.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Kesabaran dalam keimanan bagaikan kepala untuk badan. Badan tak akan hidup tanpa kepala, demikian pula iman tak akan hidup tanpa kesabaran. Untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya amat dibutuhkan kesabaran. Karena iblis dan balatentaranya tak pernah diam dari menyesatkan manusia dari jalan Allah. Allah berfirman,

Tidaklah diberikan (sifat-sifat yang terpuji ini) kecuali orang-orang yang sabar, dan tidaklah diberikannya kecuali orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS. Fushshilat: 35).

Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang Engkau inginkan kebaikan, beri kami kesabaran untuk menjalankan perintah-Mu dan menjauhi larangan-Mu, beri kami kesabaran dalam menghadapi musibah yang menerpa, beri kami kefaqihan dalam agama dan bukakan untuk kami pintu amal shalih sebelum wafat kami.

***

___

[1]. Dishahihkan oleh Syaikh Al-AlBani dalam shahih Jami’ no 304.

[2]. Dishahihkan oleh Syaikh Al- AlBani dalam shahih Jami’ no 308.

Nasihat Untuk Para Pencari Kerja

Nasihat Untuk Para Pencari Kerja 

Rezeki merupakan salah satu ketetapan yang setiap manusia memiliki jatahnya masing-masing. Bahkan, telah Allah tetapkan sebelum ia lahir di dunia. Dan tidak ada satu pun rezeki yang Allah tetapkan untuk mereka, melainkan semua akan ditunaikan, tidak lebih dan tidak kurang dari apa yang sudah menjadi bagian dari takdirnya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda,

أنَّ خَلْقَ أحَدِكُمْ يُجْمَعُ في بَطْنِ أُمِّهِ أرْبَعِينَ يَوْمًا أوْ أرْبَعِينَ لَيْلَةً، ثُمَّ يَكونُ عَلَقَةً مِثْلَهُ، ثُمَّ يَكونُ مُضْغَةً مِثْلَهُ، ثُمَّ يُبْعَثُ إلَيْهِ المَلَكُ فيُؤْذَنُ بأَرْبَعِ كَلِماتٍ، فَيَكْتُبُ: ِزْقَهُ، وأَجَلَهُ، وعَمَلَهُ، وشَقِيٌّ أمْ سَعِيدٌ، ثُمَّ يَنْفُخُ فيه الرُّوحَ، فإنَّ أحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بعَمَلِ أهْلِ الجَنَّةِ حتَّى لا يَكونُ بيْنَها وبيْنَهُ إلَّا ذِراعٌ، فَيَسْبِقُ عليه الكِتابُ، فَيَعْمَلُ بعَمَلِ أهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُ النَّارَ، وإنَّ أحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بعَمَلِ أهْلِ النَّارِ، حتَّى ما يَكونُ بيْنَها وبيْنَهُ إلَّا ذِراعٌ، فَيَسْبِقُ عليه الكِتابُ، فَيَعْمَلُ عَمَلَ أهْلِ الجَنَّةِ فَيَدْخُلُها.

Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya selama 40 hari berwujud nuthfah (mani), kemudian menjadi ‘alaqah (gumpalan darah) selama itu juga, kemudian menjadi mudghah (gumpalan daging) selama itu juga. Kemudian diutus seorang malaikat, lalu dia meniupkan roh kepadanya, dan dia (malaikat tadi) diperintah untuk menulis 4 kalimat (perkara): tentang rezekinya, amalannya, ajalnya, dan (apakah) dia termasuk orang yang sengsara atau bahagia.

Demi Allah, Zat yang tidak ada sesembahan yang hak selain Dia, sesungguhnya salah seorang dari kalian, benar-benar beramal dengan amalan penduduk jannah (surga) sehingga jarak antara dia dengan jannah itu tinggal sehasta. Namun, dia didahului oleh al-kitab (catatan takdirnya) sehingga dia beramal dengan amalan penduduk neraka, maka dia pun masuk ke dalamnya. Dan sungguh, salah seorang dari kalian beramal dengan amalan penduduk neraka hingga jarak antara dia dengan neraka tinggal satu hasta. Namun, dia didahului oleh catatan takdir, sehingga dia pun beramal dengan amalan penduduk jannah, maka dia masuk ke dalamnya.” (HR. Bukhari no. 7454)

Hadis ini mengajarkan kepada kita bahwa rezeki adalah jatah dari Allah ‘Azza Wajalla yang akan tetap menjadi bagian bagi seorang hamba, mudah atau sulit jalannya. Namun, di zaman ini seringkali sebagian kita diuji oleh Allah ‘Azza Wajalla dengan kesulitan mencari nafkah atau pekerjaan untuk menghidupi keluarga dan bahkan untuk menghidupi diri mereka sendiri. Sebagian tetap kukuh dan sebagian yang lain berguguran dari jalan Allah dengan sebab jalan ini.

Lantas, bagaimana sikap yang baik dari seorang muslim yang hendaknya dipupuk ketika mencari pekerjaan? Berikut ulasannya.

Bertawakal yang benar kepada Allah ‘Azza Wajalla

Sebagian kita menyangka bahwa tawakal adalah diam tanpa berusaha. Sebagian yang lain sama sekali tidak melibatkan keyakinan bahwa Allah yang menjamin rezeki mereka. Maka, seorang muslim yang baik berada di tengah-tengah di antara keduanya. Yaitu, tetap berusaha mencari rezeki dan meyakini itu semua hanyalah perantara. Sementara pemberi rezeki mereka yang sesungguhnya adalah Allah ‘Azza Wajalla. Sebagaimana digambarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama,

لو توكلتم على اللهِ حقَّ توكُّلِه لرزقكم كما تُرْزَقُ الطيرُ تَغْدُوا خِماصًا وتَرُوحُ بِطانًا

Seandainya kalian benar-benar bertawakal kepada Allah, maka Allah akan berikan kalian rezeki sebagaimana seekor burung diberi rezeki. Mereka beterbangan di waktu pagi dalam kondisi perut kosong dan kembali dalam keadaan kenyang.

Tawakal juga merupakan identitas keimanan seorang muslim. Sebagaimana disebutkan oleh Allah ‘Azza Wajalla dalam firman-Nya,

وَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗوَكَفٰى بِاللّٰهِ وَكِيْلًا

Bertawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah sebagai pemelihara.” (QS. Al-Ahzab: 3)

Siapa saja di antara kita yang tengah mencari pekerjaan, maka hendaknya ia menyerahkan urusannya kepada Allah semata. Bukan kepada kemampuan dirinya, ijazahnya, kenalannya, dan lain-lain. Dan siapa saja yang benar-benar bersandar kepada Allah, maka Allah yang akan menjaminnya. Sebagaimana dalam firman-Nya,

وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗ ۗاِنَّ اللّٰهَ بَالِغُ اَمْرِهٖۗ قَدْ جَعَلَ اللّٰهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا

Dan menganugerahkan kepadanya rezeki dari arah yang tidak dia duga. Siapa saja yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allahlah yang menuntaskan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah membuat ketentuan bagi setiap sesuatu.” (QS. At-Thalaq: 3)

Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy rahimahullahu menjelaskan,

في أمر دينه ودنياه، بأن يعتمد على الله في جلب ما ينفعه ودفع ما يضره، ويثق به في تسهيل ذلك {فَهُوَ حَسْبُهُ} أي: كافيه الأمر الذي توكل عليه به، وإذا كان الأمر في كفالة الغني القوي [العزيز] الرحيم، فهو أقرب إلى العبد من كل شيء

Yakni, hendaknya seorang muslim bertawakal kepada Allah dalam urusan agama dan dunianya. Yaitu, bersandar hanya kepada-Nya dalam mencari sesuatu yang bermanfaat baginya dan menghindar dari segala sesuatu yang membahayakannya. Serta yakin akan Allah mudahkan semuanya. Dengan demikian, maka Allah ‘Azza Wajalla akan mencukupinya. Jika Zat yang Mahakaya dan kuat menjamin kebutuhan seorang hamba, maka hal tersebut (pengabulannya) akan lebih dekat dengan seorang hamba dibandingkan segala sesuatu.” (Tafsir As-Sa’diy, hal. 869)

Tidaklah salah ketika seseorang mencari pekerjaan dengan menghubungi orang-orang terdekatnya. Hanya saja, hendaknya ia menjadikan Allah ‘Azza Wajalla sebagai tempat bersandar yang pertama sebelum yang lainnya.

Meningkatkan ketakwaan kepada Allah ‘Azza Wajalla

Di antara faktor yang mendekatkan seseorang dengan pertolongan Allah adalah dengan ketakwaan. Sebagaimana firman Allah ‘Azza Wajalla,

فَاِذَا بَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَاَمْسِكُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ اَوْ فَارِقُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ وَّاَشْهِدُوْا ذَوَيْ عَدْلٍ مِّنْكُمْ وَاَقِيْمُوا الشَّهَادَةَ لِلّٰهِ ۗذٰلِكُمْ يُوْعَظُ بِهٖ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ ەۗ وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا ۙ وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗ ۗاِنَّ اللّٰهَ بَالِغُ اَمْرِهٖۗ قَدْ جَعَلَ اللّٰهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا

Apabila mereka telah mendekati akhir idahnya, rujuklah dengan mereka secara baik atau caraikanlah mereka secara baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil dari kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Yang demikian itu dinasihatkan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Siapa saja yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya dan menganugerahkan kepadanya rezeki dari arah yang tidak dia duga. Siapa saja yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allahlah yang menuntaskan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah membuat ketentuan bagi setiap sesuatu.” (QS. At-Thalaq: 2-3)

Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullahu menjelaskan,

فكل من اتقى الله تعالى، ولازم مرضاة الله في جميع أحواله، فإن الله يثيبه في الدنيا والآخرة. ومن جملة ثوابه أن يجعل له فرجًا ومخرجًا من كل شدة ومشقة، وكما أن من اتقى الله جعل له فرجًا ومخرجًا، فمن لم يتق الله، وقع في الشدائد والآصار والأغلال، التي لا يقدر على التخلص منها والخروج من تبعتها

“Setiap orang yang bertakwa kepada Allah ‘Azza Wajalla dan melakukan amalan-amalan yang mendatangkan rida Allah dalam setiap keadaannya, maka Allah yang akan membalasnya, baik di dunia maupun di akhirat. Di antara bentuk balasan Allah adalah kemudahan atau jalan atas setiap masalah yang menderanya. Sebaliknya, orang-orang yang tidak bertakwa kepada Allah, maka ia akan tetap dalam kubangan masalah yang tidak akan mungkin orang-orang yang memperturutkan hawa nafsunya bisa keluar dari masalah-masalah tersebut.” (Tafsir As-Sa’diy, hal. 869)

Di antara bentuk amalan ketaatan yang bisa menjadi sebab terbukanya pintu rezeki adalah memperbanyak istigfar dan menyambung tali persaudaraan yang terputus. Terakhir, semoga dua solusi sederhana ini menjadi bekal bagi siapapun yang kini tengah berjuang mencari lapangan pekerjaan. Yang dengannya, semoga Allah Ta’ala berikan jalan keluar yang baik dan berikan keteguhan untuk tetap menempuh rida Allah ‘‘Azzza Wajalla di dalam mencari rezeki.

***

Keutamaan Silaturahmi

Keutamaan Silaturahmi 

Bahasan berikut akan mengangkat perihal keutamaan menyambung silaturahmi. Lalu akan ditambahkan dengan pemahaman yang selama ini keliru tentang makna ‘silaturahmi’. Karena salah kaprah, akhirnya jadi salah paham dengan hadits yang menyatakan bahwa silaturahmi akan memperpanjang umur. Lebih baik kita simak saja ulasan singkat berikut. Moga bermanfaat.

Dari Abu Ayyub Al Anshori, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang amalan yang dapat memasukkan ke dalam surga, lantas Rasul menjawab,

تَعْبُدُ اللَّهَ لاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا ، وَتُقِيمُ الصَّلاَةَ ، وَتُؤْتِى الزَّكَاةَ ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ

“Sembahlah Allah, janganlah berbuat syirik pada-Nya, dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan jalinlah tali silaturahmi (dengan orang tua dan kerabat).” (HR. Bukhari no. 5983)

Dari Abu Bakroh, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللَّهُ تَعَالَى لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِى الدُّنْيَا – مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِى الآخِرَةِ – مِثْلُ الْبَغْىِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ

“Tidak ada dosa yang lebih pantas untuk disegerakan balasannya bagi para pelakunya [di dunia ini] -berikut dosa yang disimpan untuknya [di akhirat]- daripada perbuatan melampaui batas (kezhaliman) dan memutus silaturahmi (dengan orang tua dan kerabat)” (HR. Abu Daud no. 4902, Tirmidzi no. 2511, dan Ibnu Majah no. 4211, shahih)

Abdullah bin ’Amr berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ ، وَلَكِنِ الْوَاصِلُ الَّذِى إِذَا قَطَعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا

”Seorang yang menyambung silahturahmi bukanlah seorang yang membalas kebaikan seorang dengan kebaikan semisal. Akan tetapi seorang yang menyambung silahturahmi adalah orang yang berusaha kembali menyambung silaturahmi setelah sebelumnya diputuskan oleh pihak lain.” (HR. Bukhari no. 5991)

Abu Hurairah berkata, “Seorang pria mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya punya keluarga yang jika saya berusaha menyambung silaturrahmi dengan mereka, mereka berusaha memutuskannya, dan jika saya berbuat baik pada mereka, mereka balik berbuat jelek kepadaku, dan mereka bersikap acuh tak acuh padahal saya bermurah hati pada mereka”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kalau memang halnya seperti yang engkau katakan, (maka) seolah- olah engkau memberi mereka makan dengan bara api dan pertolongan Allah akan senantiasa mengiringimu selama keadaanmu seperti itu.” (HR. Muslim no. 2558)

Abdurrahman ibnu ‘Auf berkata bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: أَنا الرَّحْمنُ، وَأَنا خَلَقْتُ الرَّحِمَ، وَاشْتَقَقْتُ لَهَا مِنِ اسْمِي، فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ، وَمَنْ قَطَعَهَا بتَتُّهُ

“Allah ’azza wa jalla berfirman: Aku adalah Ar Rahman. Aku menciptakan rahim dan Aku mengambilnya dari nama-Ku. Siapa yang menyambungnya, niscaya Aku akan menjaga haknya. Dan siapa yang memutusnya, niscaya Aku akan memutus dirinya.” (HR. Ahmad 1/194, shahih lighoirihi).

Dari Abu Hurairah, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Siapa yang suka dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah dia menyambung silaturrahmi.” (HR. Bukhari no. 5985 dan Muslim no. 2557)

Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,

مَنِ اتَّقَى رَبَّهُ، وَوَصَلَ رَحِمَهُ، نُسّىءَ فِي أَجَلِه وَثَرَى مَالَهُ، وَأَحَبَّهُ أَهْلُهُ

“Siapa yang bertakwa kepada Rabb-nya dan menyambung silaturrahmi niscaya umurnya akan diperpanjang dan hartanya akan diperbanyak serta keluarganya akan mencintainya.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 58, hasan)

Memang terjadi salah kaprah mengenai istilah silaturahmi di tengah-tengah kita sebagaimana yang dimaksudkan dalam hadits-hadits di atas. Yang tepat, menyambung silaturahmi adalah istilah khusus untuk berkunjung kepada orang tua, saudara atau kerabat. Jadi bukanlah istilah umum untuk mengunjungi orang sholeh, teman atau tetangga. Sehingga yang dimaksud silaturahmi akan memperpanjang umur adalah untuk maksud berkunjung kepada orang tua dan kerabat. Ibnu Hajar dalam Al Fath menjelaskan, “Silaturahmi dimaksudkan untuk kerabat, yaitu yang punya hubungan nasab, baik saling mewarisi ataukah tidak, begitu pula masih ada hubungan mahrom ataukah tidak.” Itulah makna yang tepat.

Wallahu waliyyut taufiq.

Pada Hari Kiamat, Istrimu bisa Menjadi Musuhmu

Pada Hari Kiamat, Istrimu bisa Menjadi Musuhmu

Dalam berumah tangga, seorang suami memiliki kewajiban-kewajiban yang harus dia tunaikan kepada istrinya. Kewajiban tersebut tidak hanya berkaitan dengan nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), sebagaimana yang disangka oleh sebagian (atau banyak) suami. Akan tetapi, terdapat kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.

Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullahu Ta’ala berkata, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.” (Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain, hal. 10)

Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim [66]: 6)

Begitu pula pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu, setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama kurang lebih dua puluh hari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya,

ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ، فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ

“Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari no. 631, 7246, dan Muslim no. 674)

Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَعَلِّمُوهُمْ

“Ajarkanlah mereka”; berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis. Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya perkara shalat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan perkara-perkara agama yang lainnya.

Juga mengajarkan kepada istri tentang haidh dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini. Seorang suami hendaknya bisa mengajarkan dan memberi tahu istrinya, apakah ini darah haidh, ataukah darah istihadhah (darah penyakit), sehingga istri mengetahui kapan shalat dan kapan tidak shalat.

Sedangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَمُرُوهُمْ

“Perintahkanlah mereka”; ini lebih berkaitan dengan praktek (pengamalan) di dunia nyata. Karena tidak semua istri yang sudah diajarkan secara teoritis kemudian mengamalkannya. Sehingga menjadi kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya.

Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata,

“Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga shalatnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا

“Dan perintahkanlah kepada istrimu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaaha [20]: 132)” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz, hal. 356)

Peran suami adalah sebagai pendidik dalam keluarganya. Fungsi sebagai pendidik dalam keluarga ini tidaklah bisa berjalan sebagaimana mestinya kalau suami suka atau hobi “keluyuran” ke luar rumah, meninggalkan anak dan istri tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Misalnya, suami yang hobi naik gunung sampai berhari-hari, traveling (hanya sekedar jalan-jalan tanpa ada keperluan khusus), atau hobi-hobi yang lain sehingga suami banyak meninggalkan anak dan istri di rumah dan tidak mengawasi mereka secara langsung.

Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan,

فَأَقِيمُوا فِيهِمْ

“Tinggallah di tengah-tengah mereka.”

Jika suami tidak mampu mengajarkan perkara agama kepada istri

Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang (misalnya, ustadz atau ustadzah) yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya. Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri (misalnya, apakah darah yang keluar adalah darah haidh ataukah bukan), maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya.

Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi hafidzhahullahu Ta’ala berkata,

“Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengijinkan istri untuk menghadiri majelis ilmu. Karena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahriim [66]: 6)

Istri termasuk dalam cakupan kata “ahlun” (dalam ayat di atas). Sehingga suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus dengan bekal ilmu dan ma’rifat (pengetahuan), sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.” (Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz, hal. 356).