Jika Talak Ditangan Wanita

Jika Talak Ditangan Wanita 

Dalam kehidupan berumah tangga, merupakan hal yang lumrah jika kehidupan pasangan suami istri terkadang dibumbui dengan percekcokan atau pertengkaran. Namun yang menjadi masalah jika pertengkaran tersebut menjadi hal yang begitu sering terjadi, hingga sebagian istri memiliki karakter begitu mudah meminta cerai saat sedang emosi. Dirinya mudah dikendalikan oleh perasaannya sehingga dari lisannya meluncur kata-kata pisah tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Berbeda dengan lelaki yang karakternya cenderung lebih bisa mengendalikan diri.

Inilah indahnya Islam dan betapa hikmahnya syariat Islam yang meletakkan hak talak atau cerai di tangan suami. Sebab perempuan yang begitu mudah dikuasai oleh perasaan, sekalinya emosi dan marah gampang saja dia meminta pisah. Seandainya talak ada di tangan istri, niscaya di luar sana banyak keluarga yang baru saja menikah tak lama kemudian mereka berpisah.

Lantas bagaimana jika dalam suatu keadaan, suaminya ikut dikuasai oleh amarah saat bertengkar hebat dengan istrinya sehingga dia merespon permintaan istrinya dan benar-benar mentalaknya? Perlu diketahui bahwa talak tidak terhitung jika diucapkan dalam keadaan akal tertutup seperti gila, tidak sadar, atau dalam keadaan mabuk. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

ﻻَ ﻃَﻼَﻕَ ﻭَﻻَ ﻋِﺘَﺎﻕَ ﻓِﻲْ ﺇِﻏْﻼَﻕٍ

“Tidak ada Talak dan membebaskan budak dalam keadaan (hati/akal) tertutup.” (HR. Abu Daud no. 2193, hasan)

Salah satu makna “tertutup akal” adalah ketika seseorang di puncak kemarahannya, sehingga membuatnya hilang akal dan tidak sadar dengan keadaan. Syaikh Abdul Aziz Bin Baz menjelaskan,

ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻄﻼﻕ ﺍﻟﻤﺬﻛﻮﺭ ﻭﻗﻊ ﻣﻨﻚ ﻓﻲ ﺣﺎﻟﺔ ﺷﺪﺓ ﺍﻟﻐﻀﺐ ﻭﻏﻴﺒﺔ ﺍﻟﺸﻌﻮﺭ ، ﻭﺃﻧﻚ ﻟﻢ ﺗﺪﺭﻙ ﻧﻔﺴﻚ،.. ﻓﺈﻧﻪ ﻻ ﻳﻘﻊ ﺍﻟﻄﻼﻕ

“Apabila talak sebagaimana yang terjadi pada engkau yaitu dalam keadaan puncak kemarahan, hilangnya kesadaran sampai ia tidak mengenali dirinya, maka tidak jatuh talak.” (Fatawa At-Talaq, hal. 19)

Namun keadaan seperti itu sangat jarang terjadi, karena umumnya laki-laki masih bisa mengontrol emosinya. Marah yang dia rasakan biasanya tidak sampai pada tahap menghilangkan akal. Maka dalam keadaan demikian, talak tetap terhitung. Oleh karena itu, para lelaki hendaknya berusaha tetap tenang, jika muncul marah dalam dirinya hendaknya dia segera padamkan agar tidak semakin membesar yang berujung pada kata talak.

Selain itu, laki-laki juga mesti memahami bahwa talak tidak hanya jatuh ketika dia mengucapkannya dengan serius. Bahkan dalam keadaan bercanda atau main-main, kata talak yang dia ucapkan tetap teranggap dan terhitung. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ وَالرَّجْعَةُ

“Tiga perkara yang serius dan bercandanya sama-sama dianggap serius: (1) nikah, (2) talak, dan (3) rujuk.” (HR. Abu Daud no. 2194, At Tirmidzi no. 1184, dan Ibnu Majah no. 2039, hasan)

Oleh karena itu, jangan sekali-kali menjadikan talak sebagai bahan candaan atau senda gurau. Sekalinya terucap dari lisan maka kalimat tersebut tidak bisa ditarik kembali.

Kiat Agar Terlindung Dari Sihir

Kiat Agar Terlindung Dari Sihir 

Sihir adalah sebuah kata yang kerap akrab di telinga kita. Siapa yang tidak tahu tentang sihir, bahkan sekarang sihir telah menjadi suatu hiburan, wallahul musta’an. Padahal jika kita mau menela’ah lebih dalam apa itu sihir, pasti akan kita dapati bahaya yang sangat besar, terutama bahaya terhadap aqidah seorang muslim.

Apa Itu Sihir?

Sihir secara bahasa digunakan untuk segala sesuatu hal yang sebabnya samar, lembut dan tidak jelas. Adapun secara istilah, dikarenakan sihir memiliki berbagai macam bentuk dan caranya berbeda-beda, maka tidak ada definisi yang lengkap mencakup makna sihir. Di dalam kitab Adhwa-ul Bayan (4: 444) dijelaskan, “Ketahuilah, sesungguhnya sihir itu secara istilah tidak mungkin di definisikan dengan satu definisi yang lengkap mencakup semua jenis sihir dan mencegah yang bukan termasuk bagian sihir untuk masuk ke dalam bagian dari definisi tersebut, dikarenakan jenisnya yang banyak dan berbeda-beda yang masuk ke dalam istilah sihir. Tidak akan terwujud titik kesamaan di antara jenis sihir yang bisa mencakup semua macam jenis dan mencegah hal-hal yang termasuk sihir untuk masuk ke dalam definisi sihir. Dan ‘ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan istilah tersebut, dengan perbedaan yang sangat mencolok.”

Bahaya Sihir

Sesuatu yang dimiliki oleh setiap muslim di dunia ini lebih mahal dibanding apa pun adalah agamanya. Orang yang berakal pasti menjaga agamanya dan tidak akan pernah ridha dengan perbuatan yang dapat merusak atau melemahkan atau mengotori aqidahnya. Melakukan sihir dan pergi untuk meminta tukang sihir untuk melakukan sihir dapat membahayakan aqidah, bahkan meminta tukang sihir untuk melakukan sihir menjadi salah satu penyebab batalnya Islam seseorang.

Maka tukang sihir dan orang yang pergi ke tukang sihir untuk minta disihirkan, keduanya dihukumi sama. Dan sihir merupakan suatu keharaman dalam semua ajaran Rasul. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana pun ia datang.” (QS. Thaha: 69) Barangsiapa yang telah melakukan sihir, maka ia telah terjerumus dalam kesyirikan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Dan barangsiapa yang melakukan sihir, maka ia telah Syirik.” (Diriwatkan An-Nasa-i). Disebutkan dalam Fathul Majid (231), “Ini adalah dalil tegas bahwa tukang sihir adalah Musyrik.”

Kiat Agar Terlindung dari Sihir

Di bawah ini ada beberapa hal yang dapat melindungi dan menjaga kita dari pengaruh sihir

1.      Menjaga Shalat Shubuh

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang mendirikan shalat shubuh, maka ia berada di dalam jaminan perlindungan Allah” (HR. Muslim). Barangsiapa yang menjaga shalat shubuhnya, maka ia akan mendapat perlindungan dari Allah atas gangguan setan-setan yang ingin melakukan sihir

2.      Membaca Surah Al-Baqarah di Dalam Rumah

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Bacalah Surah Al-Baqarah! Karena sesungguhnya mengambilnya (membacanya) adalah barakah dan meninggalkannya adalah penyesalan (kerugian), dan sihir tidak akan mampu menghadapinya” (HR. Muslim)

3.      Menjaga Bacaan Mu’awwidzatain (Surah Al-Falaq dan An-Nas) pada Waktu Shubuh dan Petang

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang membacanya tiga kali pada waktu shubuh dan pada waktu petang, maka tidak ada yang bisa membahayakannya sesuatu apa pun.” (HR. Abu Dawud)

4.      Membaca Ayat Kursi

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Apabila engkau mendatangi tempat tidur (di malam hari), bacalah Ayat Kursi, niscaya Allah akan senantiasa menjagamu dan setan tidak akan mendekatimu hingga waktu pagi” (HR. Al-Bukhari)

5.      Membaca Dua Ayat Terakhir dari Surah Al-Baqarah

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang membaca dua ayat terakhir dari surah Al-Baqarah di malam hari, maka keduanya telah mencukupinya.” (Muttafaqun ‘alaih)

6.      Memakan Tujuh Buah Kurma ‘Ajwah

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang memakan tujuh buah kurma ‘Ajwah di pagi hari, maka tidak ada yang bisa membahayakannya pada hari itu, baik racun dan sihir.” (Muttafaqun ‘alaih)

Sungguh begitu besar bahaya sihir bagi seorang muslim. Sihir tidak hanya membahayakan jiwa seseorang, namun dapat merusak aqidah seseorang. Sehingga bisa menjadi salah satu sebab batalnya keislaman seorang muslim. Semoga Allah senantiasa menjaga kita semua dari pengaruh buruk sihir dan para tukang sihir

Rujukan: Banyak mengambil faedah dari kitab Ba’i-u Diinihi karya Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Muhammad Al-Qasam

Mengejek Orang Yang Berbuat Dosa

Mengejek Orang Yang Berbuat Dosa 

Jangan merasa diri bisa selamat dari dosa sehingga meremehkan orang lain yang berbuat dosa. Dan meremehkannya pun dalam rangka sombong, “Kamu kok bisa terjerumus dalam zina seperti itu? Aku jelas tak mungkin.”

Dari Mu’adz bin Jabal, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ

Siapa yang menjelek-jelekkan saudaranya karena suatu dosa, maka ia tidak akan mati kecuali mengamalkan dosa tersebut.” (HR. Tirmidzi no. 2505. Syaikh Al-Albani berkata bahwa hadits ini maudhu’). Imam Ahmad menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah dosa yang telah ditaubati.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

وَكُلُّ مَعْصِيَةٍ عُيِّرَتْ بِهَا أَخَاكَ فَهِيَ إِلَيْكَ يَحْتَمِلُ أَنْ يُرِيْدَ بِهِ أَنَّهَا صَائِرَةٌ إِلَيْكَ وَلاَ بُدَّ أَنْ تَعْمَلَهَا

“Setiap maksiat yang dijelek-jelekkan pada saudaramu, maka itu akan kembali padamu. Maksudnya, engkau bisa dipastikan melakukan dosa tersebut.” (Madarijus Salikin, 1: 176)

Hadits di atas bukan maknanya adalah dilarang mengingkari kemungkaran. Ta’yir (menjelek-jelekkan) yang disebutkan dalam hadits berbeda dengan mengingkari kemungkaran. Karena menjelek-jelekkan mengandung kesombongan (meremehkan orang lain) dan merasa diri telah bersih dari dosa. Sedangkan mengingkari kemungkaran dilakukan lillahi Ta’ala, ikhlas karena Allah, bukan karena kesombongan. Lihat Al-‘Urf Asy-Syadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi oleh Muhammad Anwar Syah Ibnu Mu’azhom Syah Al-Kasymiri.

Bedakan antara menasihati dengan menjelek-jelekkan. Menasihat berarti ingin orang lain jadi baik. Kalau menjelek-jelekkan ada unsur kesombongan dan merasa diri lebih baik dari orang lain.

Jangan sombong, sampai merasa bersih dari dosa atau tidak akan terjerumus pada dosa yang dilakukan saudaranya.

Semoga Allah memberikan hidayah demi hidayah.

Nikmat Waktu Dalam Pandangan Seorang Muslim

Nikmat Waktu Dalam Pandangan Seorang Muslim 

Jika orang-orang barat mengatakan bahwa ‘Time is Money’ atau ‘Waktu adalah Uang’, maka bagi seorang muslim, waktu lebih mulia dan lebih berharga dari itu. Bagi seorang muslim “waktu adalah pahala”, waktu adalah rezeki yang Allah limpahkan kepada kita, waktu adalah kesempatan yang Allah berikan kepada seorang hamba untuk membekali dirinya dengan ketaatan. Dan seorang hamba tidak akan menyadari betapa berharganya waktu yang ia miliki dan betapa agungnya nikmat waktu tersebut, kecuali jika ia telah benar-benar mengetahui terlebih dahulu hakikat waktu dan kedudukannya di dalam kehidupan ini.

Dalam artikel kali ini, mari lebih mengenal hakikat waktu yang telah Allah berikan kepada kita ini, sehingga kita semua semakin bersemangat di dalam memanfaatkannya dan memaksimalkannya.

Hakikat waktu bagi seorang muslim

Berbicara tentang hakikat “waktu”, maka sejatinya ia adalah umur manusia dan masa hidupnya. Tahun demi tahun, bulan demi bulan, hari demi hari, semuanya merupakan modal investasi yang Allah Ta’ala berikan kepada hamba-Nya di kehidupan dunia ini. Mengapa demikian? Karena tidaklah satu hari berlalu dari kehidupan kita, kecuali umur kita pun ikut berkurang.

Ibnul Qayyim rahimahullah pernah mengatakan tentang hakikat waktu ini,

“Waktu seseorang hakikatnya adalah umur kehidupannya. Dan itu akan menjadi modal serta kesempatan untuk meraih kehidupan abadinya dalam kebahagiaan abadi, atau menjadi sebab keberadaannya yang menyedihkan dalam siksa yang pedih.

Dan waktu berlalu seperti awan. Jika waktunya tersebut dia habiskan untuk Allah dan di sisi Allah, maka itulah (hakikat) kehidupan yang sebenarnya. Dan jika untuk selain itu, maka tidak dihitung sebagai bagian dari hidupnya, sekalipun dia menjalani kehidupannya seperti hewan ternak (hanya makan, minum, dan tidur saja).

Dan jika dia habiskan waktunya untuk melakukan sesuatu yang sia-sia dan melalaikan serta dipenuhi dengan harapan-harapan palsu, dan cara terbaik yang bisa dia lakukan untuk melewatinya hanyalah dengan tidur dan bermalas-malasan saja, maka matinya orang tersebut lebih baik dari pada hidupnya.” (Al-Jawab Al-Kafi)

Ketahuilah, bahwa waktu kosong dan senggang yang sering kita rasakan, pada kenyataannya adalah kesempatan yang bisa saja diisi dengan kebaikan ataupun keburukan. Disadari ataupun tidak, tidak ada satu momen pun yang berlalu dalam hidup kita, kecuali pasti ada aktifitas dan kesibukan yang kita kerjakan. Maka dari itu, berusahalah untuk menjadikan waktu yang kita miliki sebagai tabungan dan investasi amal kebaikan yang akan menjadi bekal kita ketika bertemu dengan Allah Ta’ala.

Waktu: Nikmat yang harus dipertanggungjawabkan

Umur yang Allah Ta’ala berikan kepada kita, siang dan malam yang silih berganti datang kepada kita, nyawa yang terkandung dalam badan kita, semua itu sejatinya adalah salah satu nikmat terbesar yang Allah berikan kepada kita. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَسَخَّرَ لَكُمُ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ دَائِبَيْنِ وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ * وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لا تُحْصُوهَا

Dan Dia telah menundukkan matahari dan bulan bagimu yang terus-menerus beredar (dalam orbitnya), dan telah menundukkan malam dan siang bagimu. Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. (QS. Ibrahim: 33-34)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ خِلْفَةً لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يَذَّكَّرَ أَوْ أَرَادَ شُكُورًا

Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau yang ingin bersyukur.” (QS. Al-Furqan: 62)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

نِعْمَتانِ مَغْبُونٌ فِيهِما كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ والفَراغُ

“Dua kenikmatan yang kebanyakan manusia tertipu pada keduanya: kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari no. 6412)

Layaknya kenikmatan lainnya yang wajib disyukuri dan dipertanggungjawabkan oleh seorang hamba, nikmat waktu dan umur juga harus disyukuri dan akan Allah mintai pertanggungjawabannya di akhirat nanti. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

لا تَزولُ قَدَمَا عبدٍ حتى يُسأَلَ عن عُمُرِه فيمَ أفناهُ؟ وعن عِلمِه فيمَ فَعَلَ فيه؟ وعن مالِهِ من أين اكتسَبَهُ؟ وفيم أنفَقَهُ؟ وعن جِسمِه فيمَ أبلاهُ

“Dua kaki seorang hamba tidak akan bergerak (pada hari kiamat) sehingga dia ditanya tentang umurnya, kemana dihabiskan; tentang ilmunya, apakah yang telah dilakukan dengannya; tentang hartanya, dari mana ia peroleh dan kemana ia belanjakan; dan tentang badannya, untuk apa digunakan.” (HR. Tirmidzi no. 2417, Ad-Darimi no. 537, dan Abu Ya’la no. 7434)

Waktu adalah pahala bagi seorang muslim

Dalam agama Islam, waktu memiliki kedudukan yang sangat penting dan tidak dibiarkan berlalu begitu saja. Tidaklah seorang hamba melewati sebuah hari, jam demi jam, menit demi menit, kecuali di dalamnya terdapat peluang untuk mendapatkan pahala dari Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala telah mengatur waktu seorang muslim dengan sedemikian rupa. Dari ia bangun tidur di pagi hari hingga ia tidur kembali, ada ibadah dan amal saleh yang bisa diamalkan dan dipraktikkan setiap detiknya. Saat seorang hamba bangun tidur, lalu mengambil air wudu dan melaksanakan salat dua rakaat, maka ia mendapatkan pahala yang lebih baik dari dunia dan seisinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا

“Dua rakaat fajar (salat sunah qabliyah subuh) lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (HR. Muslim no. 725)

Jika keutamaan salat sunah fajar saja demikian besarnya, lalu bagaimana dengan keutamaan salat Subuh itu sendiri?!

Saat matahari telah beranjak naik, seorang ayah keluar untuk mencari nafkah bagi keluarganya, maka ini juga bernilai pahala baginya apabila diniatkan ikhlas mengharap rida Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِى أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ

“Satu dinar yang engkau keluarkan di jalan Allah, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk memerdekakan seorang budak, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk satu orang miskin, dibandingkan dengan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu, maka pahalanya lebih besar (dari amalan kebaikan yang disebutkan tadi).” (HR. Muslim no. 995)

Di siang hari saat ia makan siang, lalu bersyukur kepada Allah Ta’ala atas nikmat yang telah diberikan kepadanya, maka ini juga bernilai pahala baginya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

الطاعمُ الشَّاكرُ بمنزلةِ الصائمِ الصابرِ

“Orang makan yang bersyukur, kedudukannya seperti halnya orang berpuasa yang bersabar.” (HR. At-Tirmidzi no. 2486, Ibnu Majah no. 1764, dan Ahmad no. 7793)

Belum lagi salat lima waktu yang dikerjakannya, zikir-zikir yang dilantunkannya, perbuatan baik dan budi pekerti mulia yang menghiasi dirinya, semua itu jika dijalankan dengan niat menaati Allah dan Rasulnya, maka juga dinilai sebagai ibadah oleh Allah Taala.

Jangan menunda-nunda dalam beramal!

Seorang mukmin harus memanfaatkan seluruh waktu dan umur yang dimilikinya untuk melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Tidak menunggu esok hari untuk melakukan sebuah ketaatan dan amal saleh. Allah Ta’ala juga memerintahkan kita untuk memaksimalkan waktu yang kita miliki dan tidak menunda-nunda dalam berbuat baik. Allah Ta’ala berfirman,

فَإِذَا فَرَغْتَ فَٱنصَبْ

“Maka, apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.”  (QS. Al-Insyirah: 7)

Lihatlah juga bagaimana para pendahulu kita di dalam mengatur dan memaksimalkan waktu yang mereka miliki. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengatakan,

مَا نَدِمْتُ عَلَى شَيْئٍ نَدْمِي عَلَى يَوْمٍ غَرَبَتْ شَمْسُهُ نَقَصَ فِيْهِ أَجَلِيْ وَلَمْ يَزِدْ فِيْهِ عَمَلِيْ

“Aku tidak pernah memiliki penyesalan yang demikian mendalam dibandingkan dengan penyesalanku akan berlalunya satu hari yang amalku tidak bertambah pada hari itu, padahal ajalku semakin berkurang.” (Qimah Az-Zaman ‘Inda Al-Ulama, hal. 47)

Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya “Madariju As-Salikin” menyebutkan perkataan Imam Asy-Syafi’i rahimahullah,

صحبتُ الصُّوفيّة، فما انتفعتُ منهم إلّا بكلمتين. سمعتهم يقولون:‌‌ الوقت سَيفٌ، فإن قطعتَه وإلّا قطَعَك. ونفسك إن لم تَشْغَلْها بالحقِّ شَغَلَتْك بالباطل

“Aku berteman dengan kaum sufi. Namun, aku tidak mendapatkan manfaat darinya, kecuali dua kata yang aku dengar darinya. Mereka mengatakan, ‘Waktu adalah pedang. Oleh karena itu, kamu harus menggunakannya dan memanfaatkannya. Jika tidak, maka ia yang justru akan memotong kamu dan dirimu. Dan jiwamu, jika kamu tidak sibukkan untuk kebaikan, maka ia justru yang akan disibukkan untuk kebatilan.” (Madariju As-Salikin, 3:546)

Wallahu A’lam bis-shawab.

***

Manakah yang lebih utama, berangkat umrah atau sedekah ?

Manakah yang lebih utama, berangkat umrah atau sedekah ?

Alhamdulillah, was-shalatu was-salam ‘ala rasulillah, wa‘ala alihi washahbihi. Amma ba’du.

Jika yang dimaksud dengan sedekah itu adalah sedekah wajib, maka sedekah tentunya lebih utama dibandingkan umrah.

Jika yang dimaksud adalah sedekah yang sunah, maka pada asalnya haji dan umrah lebih utama dibandingkan sedekah. Karena haji dan umrah adalah ibadah yang mencakup menginfakkan harta dan juga amal (badan), seperti tawaf, sa’i, zikir, salat, dan talbiyah.

Akan tetapi, jika terdapat sekelompok orang yang butuh untuk dinafkahi, atau ada kerabat yang membutuhkan, dan ada uzur untuk menggabungkan infak dengan haji dan umrah, maka infak lebih utama pada kondisi ini.

Dalam kitab Kanzul Daqa’iq, Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata, umrah lebih utama dibandingkan sedekah.

Dalam kitab Mawahibul Jalil, Imam Malik rahimahullah ditanya manakah yang lebih dia sukai, haji atau sedekah? Maka, beliau menjawab haji, kecuali pada saat musim kelaparan (kondisi sulit, pent).

Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Al-Iktiyarat berkata, “Adapun jika terdapat kerabat dalam kondisi sulit (membutuhkan infak, pent), sedekah kepadanya lebih utama. Begitu pula jika ada sekelempok orang yang butuh untuk dinafkahinya. Adapun jika dalam kondisi selain itu, maka haji lebih utama, karena di dalamnya ada ibadah badan dan harta. Begitu pula dengan berkurban dan akikah lebih baik dibandingkan sedekah.

Asy-Syaukani rahimahullah dalam Nailul Authar berkata, dalam penjelasan hadis,

أي الأعمال أفضل؟ فذكر الإيمان، ثم الجهاد، ثم الحج) رواه البخاري ومسلم)

Amalan apa yang paling afdal? Nabi menjawab, ‘Iman, kemudian jihad, kemudian haji.’” (HR. Bukhari dan Muslim)

“Hadis ini adalah hujah bahwa umrah lebih utama dibandingkan sedekah.” (Al-Fatawa, no. 14214)

Coba, perhatikanlah kondisi umat saat ini. Kita akan melihat banyak orang yang butuh diberi bantuan, berapa banyak kaum muslimin di timur dan barat tidak mendapatkan makan dan minum serta tempat tinggal hari ini. Maka, dalam kondisi ini, infak (sedekah) kepada mereka lebih utama dibandingkan infak harta dalam rangka haji dan umrah.

Allahu a’lam.

***

Jangan lupa ucapkan terima kasih, di tambah dengan Do'a


Jangan lupa ucapkan terima kasih, di tambah dengan Do'a

Terima Kasih Yah!

Dalam situs web Kompasiana disebutkan:

Terima kasih terdiri atas dua kata, tetapi satu makna. Terima berarti kita mendapatkan sesuatu yang bernilai baik bagi kita. Sebagai ungkapan rasa syukur kita kasih atau memberikan sesuatu terhadap orang yang sudah memberi kita.

Seorang penulis buku motivasi berkata:

  • Setiap kali Anda berterima kasih kepada orang lain atas apa pun yang dia katakan atau lakukan, harga dirinya akan semakin bertambah. Dia lebih menyukai dan menghormati diri sendiri. Dia merasa lebih bahagia. Dia lalu menjadi terbuka untuk melakukan lebih banyak hal yang membuat Anda senang, sehingga membuat Anda berterima kasih padanya lagi. (Master Your Time, Master Your Life, Brian Tracy, hlm. 189)

Balas Budi Orang Lain

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ

Tidak dikatakan bersyukur kepada Allah bagi siapa yang tidak tahu berterima kasih kepada manusia.” (HR. Abu Daud, no. 4811 dan Tirmidzi, no. 1954. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Balas budi tersebut mulai dari yang sedikit.

Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ

Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad, 4/278. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 667).

Ucapkan Jazakallah Khairan

Dalam Islam sebenarnya diajarkan lebih lagi, bukan hanya mengucapkan terima kasih, bahkan mendoakan agar orang yang berbuat baik dibalas dengan kebaikan.

Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرُوفٌ، فَقَالَ لِفَاعِلهِ : جَزَاكَ اللهُ خَيْراً ، فَقَدْ أَبْلَغَ فِي الثَّنَاءِ

Barangsiapa yang diperlakukan baik, lalu ia mengatakan kepada pelakunya, ‘Jazakallahu khairan (artinya: Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan)’, maka sungguh ia telah sangat menyanjungnya.” (HR. Tirmidzi. Ia berkata bahwa hadits ini hasan sahih) [HR. Tirmidzi, no. 2035 dan An-Nasai dalam ‘Amal Al-Yaum wa Al-Lailah, 180; juga dari jalur Ibnu As-Sunni dalam ‘Amal Al-Yaum wa Al-Lailah, no. 275; Ath-Thabrani dalam Ash-Shaghir, 2:148. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih, perawinya tsiqqah).

Dari Jabir bin Abdillah Al Anshary radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرْوُفٌ فَلْيُجْزِئْهُ، فَإِنْ لَمْ يُجْزِئْهُ فَلْيُثْنِ عَلَيْهِ؛ فَإِنَّهُ إِذَا أَثْنَى عَلَيْهِ فَقَدْ شَكَرَهُ، وَإِنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ، وَمَنْ تَحَلَّى بَمَا لَمْ يُعْطَ، فَكَأَنَّمَا لَبِسَ ثَوْبَيْ زُوْرٍ

Siapa yang memperoleh kebaikan dari orang lain, hendaknya dia membalasnya. Jika tidak menemukan sesuatu untuk membalasnya, hendaklah dia memuji orang tersebut, karena jika dia memujinya maka dia telah mensyukurinya. Jika dia menyembunyikannya, berarti dia telah mengingkari kebaikannya. Seorang yang berhias terhadap suatu (kebaikan) yang tidak dia kerjakan atau miliki, seakan-akan ia memakai dua helai pakaian kepalsuan.” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 215, disahihkan oleh Syaikh Al-Albani).

Dalam Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah (5:322) disebutkan bahwa ‘Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu berkata,

لو يعلم أحدكم ما له في قوله لأخيه : جزاك الله خيرا ، لأَكثَرَ منها بعضكم لبعض

“Seandainya salah seorang di antara kalian tahu akan baiknya doa “Jazakallahu khoiron (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan) tentu ia akan terus mendoakan satu dan lainnya.”

Dalam Syarh Riyadhis Sholihin, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah pernah mengatakan, “Membalas jasa orang lain tergantung pada keadaannya. Bentuk balas budi kadang ada yang dengan memberi yang semisal atau lebih dari itu. Bentuk lainnya bisa pula dengan mendoakannya dan tidak suka bila dibalas dengan materi. Karena ada orang yang terpandang yang memiliki harta melimpah dan punya kedudukan yang mulia ketika ia memberi hadiah lalu dibalas dengan semisal, ia menganggap itu merendahkannya. Yang ia inginkan adalah doa, maka doakanlah ia. Terus doakan sampai yakin telah membalasnya. Di antara bentuk doanya adalah mengucapkan jazakallah khoiron (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan). Karena kalau didoakan dengan kebaikan, itu sudah menjadi kebahagiaan di dunia dan akhirat.”

Semoga Allah senantiasa memberikan keberkahan bagi kita semua.