Perbandingan Antara Dunia Dengan Akhirat

Perbandingan Antara Dunia Dengan Akhirat 

Secara fithrah manusia mencintai dunia, karena memang Allâh Azza wa Jalla telah menjadikan berbagai kesenangan dunia itu indah di mata manusia. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَاۤءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْاَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗوَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الْمَاٰبِ 

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allâh-lah tempat kembali yang baik (surga). [Ali-‘Imrân/3:14]

Dunia itu hijau dan manis, maka hendaklah manusia berhati-hati dengan dunia. Jangan sampai kesenangan dunia mnejerumuskan ke dalam kemaksiatan dan melalaikan dari ketaatan kepada Sang Pencipta.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ

Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda, “Sesungguhnya dunia itu manis lagi hijau, dan sesungguhnya Allâh menjadikan kamu sebagai khalifah di dunia ini, lalu Dia akan melihat bagaimana kamu berbuat. Maka jagalah dirimu dari (keburukan) dunia, dan jagalah dirimu dari (keburukan) wanita, karena sesungguhnya penyimpangan pertama kali pada Bani Isrâil terjadi berkaitan dengan wanita. [HR Muslim, no. 2742].

Maksud “dunia itu manis lagi hijau” adalah keindahan dan kenikmatan dunia itu seperti buah-buahan yang berwarna hijau dan manis, karena jiwa manusia berusaha untuk mendapatkannya. Atau maksudnya adalah dunia itu segera sirna, seperti sesuatu yang berwarna hijau dan manis juga akan segera rusak.

Maksud “sesungguhnya Allâh menjadikan kamu sebagai khalifah di dunia ini”, yaitu Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kamu sebagai pengganti generasi-generasi sebelum kamu, lalu Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan melihat apakah kamu melakukan ketaatan atau bermaksiat kepada-Nya dan mengikuti syahwat kamu.

Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam “maka jagalah dirimu dari (keburukan) dunia, dan jagalah dirimu dari (keburukan) wanita”, yaitu jangan sampai kamu terpedaya dengan dunia dan wanita. Kata wanita dalam hadits ini mencakup semua wanita, termasuk istri dan lainnya. Wanita yang paling banyak menyebabkan fitnah (keburukan) adalah istri, karena fitnahnya terus-menerus dan mayoritas manusia terpedaya dengan para istri.

Oleh karena itu jangan sampai kita terpedaya dengan dunia dan melupakan akhirat. Karena seandainya manusia hidup puluhan tahun di dunia ini, dengan berbagai kenikmatan yang dimiliki, sesungguhnya semua itu kecil dibandingkan kenikmatan akhirat.

Dunia Sangat Sedikit Dibandingkan Akhirat
Banyak orang terpedaya dengan keindahan dunia, sehingga melupakan amal untuk akhirat. Padahal sesungguhnya dunia itu sangat kecil dibandingkan akhirat. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَا لَكُمْ اِذَا قِيْلَ لَكُمُ انْفِرُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ اثَّاقَلْتُمْ اِلَى الْاَرْضِۗ اَرَضِيْتُمْ بِالْحَيٰوةِ الدُّنْيَا مِنَ الْاٰخِرَةِۚ فَمَا مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا فِى الْاٰخِرَةِ اِلَّا قَلِيْلٌ

Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu, “Berangkatlah (untuk berperang) di jalan Allâh” kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. [at-Taubah/9:38]


Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :

بَلْ تُؤْثِرُوْنَ الْحَيٰوةَ الدُّنْيَاۖ ١٦ وَالْاٰخِرَةُ خَيْرٌ وَّاَبْقٰىۗ 

Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi, sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. [al-A’la/87:16-17].

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membuat perbandingan antara dunia dan akhirat. Perbandingan antara keduanya bagaikan seseorang yang mencelupkan jarinya ke dalam lautan, maka dunia bagaikan setetes air yang melekat pada jari-jarinya itu. Al-Mustaurid bin Syaddad Radhiyallahu anhu berkata:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  : وَاللَّهِ مَا الدُّنْيَا فِى الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ – وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ – فِى الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Demi Allâh, tidaklah dunia dibandingkan akhirat melainkan seperti salah seorang dari kamu yang mencelupkan jari tangannya ini –perawi bernama Yahya menunjuk jari telunjuk- ke lautan, lalu hendaklah dia perhatikan apa yang didapat pada jari tangannya”. [HR Muslim, no. 2858]

Dunia Sangat Remeh Di Sisi Allâh Subhanahu wa Ta’ala
Demikian juga dunia ini sangat remeh di sisi Allâh Azza wa Jalla , maka jangan sampai orang Mukmin memandang besar dan agung terhadap dunia yang remeh dan hina di sisi Allâh Azza wa Jalla . Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak memberikan gambaran tentang remehnya dunia di sisi Allâh Azza wa Jalla , antara lain di dalam hadits berikut ini:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِالسُّوقِ دَاخِلاً مِنْ بَعْضِ الْعَالِيَةِ وَالنَّاسُ كَنَفَتَهُ فَمَرَّ بِجَدْىٍ أَسَكَّ مَيِّتٍ فَتَنَاوَلَهُ فَأَخَذَ بِأُذُنِهِ ثُمَّ قَالَ « أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنَّ هَذَا لَهُ بِدِرْهَمٍ ». فَقَالُوا مَا نُحِبُّ أَنَّهُ لَنَا بِشَىْءٍ وَمَا نَصْنَعُ بِهِ قَالَ « أَتُحِبُّونَ أَنَّهُ لَكُمْ ». قَالُوا وَاللَّهِ لَوْ كَانَ حَيًّا كَانَ عَيْبًا فِيهِ لأَنَّهُ أَسَكُّ فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ فَقَالَ « فَوَاللَّهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ ».

Dari Jabir bin Abdillâh, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati sebuah pasar. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk dari ‘Aliyah (nama tempat, Pen.) dan para sahabat berada di sekelilingnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapati bangkai seekor kambing yang kecil telinganya, lantas beliau angkat batang telinga bangkai kambing tersebut seraya berkata: “Siapakah di antara kalian yang mau membeli kambing ini dengan satu dirham?” Para sahabat menjawab: “Kami tidak suka sama sekali, apa yang bisa kami perbuat dari seekor bangkai kambing?” Rasûlullâh n bersabda lagi: “Bagaimana jika kambing itu untuk kalian?” Para sahabat menjawab: “Demi Allâh, apabila kambing itu masih hidup kami tetap tidak mau karena dia telah cacat, yaitu telinganya kecil, bagaimana lagi jika sudah menjadi bangkai!” Rasûlullâh akhirnya bersabda: “Demi Allâh, dunia itu lebih hina di sisi Allâh daripada seekor bangkai kambing ini bagi kalian”. [HR Muslim, no. 2957]

Di dalam hadits lain disebutkan:

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ كَانَتْ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ

Dari Sahl bin Sa’ad, dia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seandainya dunia di sisi Allâh sebanding dengan satu sayap nyamuk, niscaya Allâh tidak akan memberikan minum seteguk air kepada orang kafir”. [HR  Tirmidzi, no. 2320 dan ini lafazhnya; juga Ibnu Majah, no. 4110; Syaikh al-Albani menyatakan shahîh lighairihi. Lihat Shahîh at-Targhib wat–Targhib, no. 3240].


Akhir Perjalanan Dunia
Dunia yang begitu rendah di sisi Allâh Azza wa Jalla juga segera sirna. Dan yang ada setelahnya adalah akhirat. Di akhirat ada dua pilihan, tidak ada yang ketiga: siksaan yang pedih atau ampunan dan ridha Allâh. Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan hakikat ini :

اِعْلَمُوْٓا اَنَّمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ وَّزِيْنَةٌ وَّتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى الْاَمْوَالِ وَالْاَوْلَادِۗ كَمَثَلِ غَيْثٍ اَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهٗ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرٰىهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًاۗ وَفِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيْدٌۙ وَّمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانٌ ۗوَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ

Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di ahirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allâh serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu.  [al-Hadîd/57:20].

Jadikan Akhirat Sebagai Pusat Perhatian
Kalau kita sudah mengetahui hakikat perbandingan dunia dengan akhirat, maka seharusnya kita lebih mementingkan akhirat daripada dunia. Jangan sampai hanya mengejar kesenangan dunia sehingga mengabaikan bekal untuk akhirat. Jangan sampai dengan alasan sibuk kerja, sibuk urusan keluarga dan anak-anak, kemudian melalaikan shalat berjamaah di masjid, membaca al-Qur`ân, mempelajari ilmu agama, dan ibadah lainnya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa menjadikan akhirat sebagai tujuan adalah cara yang terbaik dalam meniti jalan hidup ini. Karena Allâh Azza wa Jalla akan memberikan berbagai kemudahan bagi orang yang berbuat demikian, sebagaimana disebutkan di dalam hadits berikut ini :

عن أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهَ  قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَتْ الْآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ وَمَنْ كَانَتْ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهُ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنْ الدُّنْيَا إِلَّا مَا قُدِّرَ لَهُ

Dari Anas bin Malik, ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa akhirat menjadi tujuannya (niatnya), niscaya Allâh akan menjadikan kekayaannya di dalam hatinya, Dia akan mengumpulkan segala urusannya yang tercerai-berai, dan dunia datang kepadanya dalam keadaan hina. Dan barangsiapa dunia menjadi tujuannya (niatnya), niscaya Allâh akan menjadikan kefakiran berada di depan matanya, Dia akan mencerai-beraikan segala urusannya yang menyatu, dan tidak datang kepadanya dari dunia kecuali sekadar yang telah ditakdirkan baginya”. [HR Tirmidzi, no. 2465. Syaikh al-Albani menyatakan shahîh lighairihi. Lihat Shahîh at-Targhib wat–Targhib, no. 3169]

Semoga Allâh selalu memberikan taufiq kepada kita di dalam kebenaran. Al-hamdulillâhi Rabbil– ‘alamin.

Jika Doa Tidak Dikabulkan

Jika Doa Tidak Dikabulkan 

Mungkin ada di antara kita yang telah banyak menengadahkan tangannya untuk berdoa kepada Allah dengan sungguh-sungguh tetapi ternyata Allah subhanahu wa ta’ala tidak atau belum mengabulkan doanya. Padahal semua sebab-sebab dikabulkan doa telah dilakukannya, seperti:

  1. Ikhlas dan tidak berbuat syirik.
  2. Memulai dengan pujian dan salawat.
  3. Dengan sungguh-sungguh dan tidak lalai.
  4. Yakin akan dikabulkan oleh Allah.
  5. Memilih waktu dan tempat mustajab.
  6. Meninggalkan makanan, minuman dan pakaian haram.
  7. Meninggalkan maksiat dan bertaubat.
  8. Mengerjakan ketaatan dan bertawasul dengan nama-nama Allah, dan lain-lain.

Dia berkata, “Ada apa gerangan? Mengapa ini bisa terjadi? Bukankah Allah Maha Kuasa dan mengabulkan doa-doa hamba yang berdoa kepada-Nya? Apakah Allah tidak sayang kepadaku? Bukankah Allah mengatakan:

{ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ}

Berdoalah kepada-Ku, Aku akan mengabulkannya untuk kalian.’ (QS Ghafir: 60).”

Sabarlah wahai Saudaraku sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ أَحَدٍ يَدْعُو بِدُعَاءٍ إِلاَّ آتَاهُ اللَّهُ مَا سَأَلَ أَوْ كَفَّ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهُ، مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ.

Tidak ada seorang pun yang berdoa dengan sebuah doa kecuali Allah akan mengabulkan apa yang dimintanya atau memalingkannya dari keburukan yang semisalnya, selama dia tidak berdoa yang mengandung dosa atau pemutusan silaturahmi.”1

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ ، وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ ، إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ : إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ ، وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الآخِرَةِ ، وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا قَالُوا : إِذًا نُكْثِرُ ، قَالَ : اللَّهُ أَكْثَرُ.

Tidak ada seorang muslim pun yang berdoa dengan sebuah doa yang tidak terkandung di dalamnya dosa dan pemutusan silaturahmi, kecuali Allah akan memberikannya salah satu dari ketiga hal berikut: Allah akan mengabulkannya dengan segera, mengakhirkan untuknya di akhirat atau memalingkannya dari keburukan yang semisalnya.

Para sahabat berkata, “Kalau begitu kami akan memperbanyak doa kami.” Beliau berkata, “Allah lebih banyak lagi.”2

Dari kedua hadits di atas kita dapat memahami bahwa seseorang yang telah benar-benar melaksanakan sebab-sebab dikabulkannya doa, insya Allah doanya akan dikabulkan oleh Allah. Jika tidak dikabulkan, maka akan diakhirkan atau diberikan kebaikan oleh Allah di hari kiamat atau Allah akan sengaja tidak mengabulkan doanya di dunia agar dia terhindar dari akibat buruk apabila doa tersebut dikabulkan dan Allah memalingkannya kepada sesuatu yang lebih baik dari apa yang dia minta.

Pada hadits kedua, kita dapat melihat semangat para sahabat dalam beribadah, mereka mengatakan, “Kalau begitu kami akan memperbanyak doa kami.” Itulah yang seharusnya kita lakukan kepada Allah, yaitu memperbanyak doa kepada Allah.

Adapun perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Allah lebih banyak lagi”, para ulama menyebutkan beberapa makna dari perkataan tersebut, di antaranya:

  1. Allah akan lebih banyak mengabulkannya daripada banyaknya doa yang kalian minta.
  2. Allah akan lebih banyak memberikan karunia dan keutamaan daripada doa yang kalian minta.
  3. Allah tidak akan lemah dengan banyaknya permintaan kalian dan lain-lain.

Dengan melihat kedua hadist di atas dengan lafaz yang berbeda, maka tentu kita akan bertambah yakin bahwa Allah Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Mengetahui seluruh hikmah dan Maha Sayang kepada hamba-hambanya.

Mudah-mudahan kita bisa terus bersabar menghadapi kehidupan di dunia ini dan mensyukuri seluruh apa yang Allah berikan kepada kita serta bisa selalu berbaik sangka kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Di dalam hadits qudsi Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan

(( أنا عندَ ظنِّ عبدي بي ، فليظنَّ بي ما شاء ))

Aku berdasarkan prasangka hamba-Ku terhadap-Ku. Oleh karena itu, berprasangkalah terhadap-Ku sesuka hatinya.”3

Dan di dalam riwayat lain terdapat tambahan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

(( فلا تظنُّوا بالله إلا خيراً ))

Janganlah kalian berprasangka kepada Allah kecuali dengan prasangka yang baik.”4

Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat. Amin.

***

Daftar Pustaka

  1. Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam. Ibnu Rajab Al-Hanbali.
  2. Tuhfatul-Ahwadzi Bisyarhi Jami’ At-Tirmidzi. Al-Mubarakfuri.
  3. Dan lain-lain sebagian besar tercantum di footnotes.

Catatan kaki

1 HR At-Tirmidzi no. 3381. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani.

2 HR Ahmad 11133 dari Abu Said Al-Khudri. Sanad-nya dinyatakan jayyid oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dkk.

3 HR Al-Bukhari no. 7405 dan Muslim no. 2675.

4 HR Ibnu Abid-Dunya dalam ‘Kitab Husni Dzhanni Billah’ no. 84.

Jangan Terima Tamu Laki-laki Ketika Suami Tidak Dirumah

Jangan Terima Tamu Laki-laki Ketika Suami Tidak Dirumah 

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Rumah keluarga adalah rumah kemuliaan dan kehormatan. Allah perintahkan kedua suami istri saling menjaganya. Terutama istri, yang secara khusus Allah perintahkan agar menjaga amanah di rumah suaminya. Karena istri adalah rabbatul bait (ratu di rumah suaminya), yang bertugas menjaga rumah suaminya.

Diantara ciri wanita shalihah, Allah sebutkan dalam al-Quran,

فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ

Sebab itu wanita yang salehah, adalah yang taat kepada Allah dan menjaga diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka. (QS. an-Nisa: 34).

Dan upaya wanita menjaga kehormatan dirinya, harta suaminya, dan rumahnya, merupakan hak suami yang menjadi kewajiban istri.

Jabir Radhiyallahu ‘anhu menceritakan, dalam haji wada’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan pesan dalam khutbahnya,

فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ ، فَإِنَّكُم أَخَذتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ ، وَاستَحلَلتُم فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ ، وَلَكُم عَلَيهِنَّ أَلَّا يُوطِئنَ فُرُشَكُم أَحَدًا تَكرَهُونَهُ ، فَإِن فَعَلنَ ذَلك فَاضرِبُوهُنَّ ضَربًا غَيرَ مُبَرِّحٍ ، وَلَهُنَّ عَلَيكُم رِزقُهُنَّ وَكِسوَتُهُنَّ بِالمَعرُوفِ

Bertaqwalah kepada Allah terkait hak istri-istri kalian. Kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah, dan kalian halal berhubungan dengan mereka karena Allah halalkan melalui akad. Hak kalian yang menjadi kewajiban mereka, mereka tidak boleh memasukkan lelaki di rumah. Jika mereka melanggarnya, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Sementara mereka punya hak disediakan makanan dan pakaian dengan cara yang wajar, yang menjadi kewajiban kalian. (HR. Muslim 1218).

Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyah,

من حقّ الزّوج على زوجته ألاّ تأذن في بيته لأحد إلاّ بإذنه ، لما ورد عن أبي هريرة رضي الله تعالى عنه أنّ رسول اللّه صلى الله عليه وسلم قال : ( لَا يَحِلُّ لِلْمَرأَةِ أَن تَصُومَ وَزَوجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذنِهِ ، وَلَاْ تَأْذَن فِي بَيتِهِ إِلاّ بِإِذنِهِ ) رواه البخاري ( 4899 ) ومسلم ( 1026 ) .

Hak suami yang menjadi kewajiban istrinya, dia tidak boleh mengizinkan seorangpun masuk rumah, kecuali dengan izin suaminya. Berdasarkan hadis dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tidak halal bagi wanita untuk puasa sunah, sementara suaminya ada di rumah, kecuali dengan izin suaminya. Dan istri tidak boleh mengizinkan orang lain masuk ke rumahnya kecuali dengan izin suaminya.” (HR. Bukhari 4899 & Muslim 1026).

ونقل ابن حجر عن النّوويّ قوله : “في هذا الحديث إشارة إلى أنّه لا يُفتات على الزّوج بالإذن في بيته إلاّ بإذنه ، وهو محمول على ما لا تعلم رضا الزّوج به ، أمّا لو علمت رضا الزّوج بذلك فلا حرج عليها

Ibnu Hajar menukil keterangan dari an-Nawawi mengenai hadis ini,

Bahwa dalam hadis ini terdapat isyarat, bahwa istri tidak boleh memutuskan sendiri dalam memberi izin masuk rumah, kecuali dengan izin suami. Dan ini dipahami untuk kasus yang dia tidak tahu apakah suami ridha ataukah tidak. Namun jika dia yakin suami ridha dengan keputusannya, tidak menjadi masalah baginya. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 30/125).

Sebagai contoh, tamu yang tidak perlu izin dari suami, tamu dari kerabat suami atau kerabat istri. Mereka bisa dipersilahkan masuk, selama masih mahram dengan istri.

Untuk tamu asing,

Ketika datang tamu asing, bukan keluarga suami maupun istri, sementara suami tidak ada di rumah, istri tidak boleh mengizinkan masuk tamu itu.

Jika tamu menyampaikan salam, istri cukup menjawab salamnya dengan pelan dari dalam tanpa membukakan pintu.

Jika tamu menyadari  ada penghuni di dalam, dan dia minta izin masuk, cukup sampaikan bahwa suami tidak di rumah dan tidak boleh diizinkan masuk.

Semoga Allah menjaga keluarga kaum muslimin.

Ayah-Bunda, Anakmu Bukanlah Robot

Ayah-Bunda, Anakmu Bukanlah Robot 

Sebelum melangkah ke dalam rimba pendidikan, orang tua haruslah berbekal kompas dan peta yang akurat agar mencapai tujuan yang tepat. Salah melangkah dan tidak terarah justru perangkap akan menjerat dan pendidikan akan kiamat. Ditambah lagi godaan dunia semakin memikat sehingga niat awal menjadi berkarat dan orientasi tidak lagi akhirat.Maka kurikulum pendidikan samawi menjadi kebutuhan yang sangat untuk membangun generasi berkaraktersahabat.

KARAKTERISTIK PENDIDIKAN  YANG PERLU DIPEDOMANI ORANG TUA DALAM MENDIDIK ANAK:

  • Hendaknya orang tua memulai mendidik dari umum ke khusus, dimulai dari perkara yang paling urgen yaitu pendidikan imaniyyah.

عن جندب بن عبد الله رضي الله عنه يقول: كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَنَحْنُ فِتْيَانٌ حَزَاوِرَةٌ (أي قَارَبْنَا الْبُلُوْغَ) فَتَعَلَّمْنَا الإِيْمَانَ قَبْلَ أَنْ نَتَعَلَّمَ الْقُرْآنَ، ثُمَّ تَعَلَّمْنَا الْقُرْآنَ فَازْدَدْنَا إِيْمَاناً (رواه ابن ماجه).

Dari Jundub bin Abdillah a\ ia berkata, “Kami bersama Nabi n\ tatkala mendekati masa baligh. Kami mempelajari iman sebelum al-Qur’an, kemudian barulah kami mempelajari al-Qur’an sehingga bertambahlah keimanan kami.” (HR. Ibnu Majah)

عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: كُنتُ خَلفَ النَّبيِّ صلى الله عليه وسلم يومًافقال: يا غُلامُ ! إني أُعَلِّمُكَ كَلِماتٍ، احفَظِ اللهَ يَحفَظكَ

Dari Ibnu Abbas d\ia berkata, “Aku pernah berada di belakang Nabi n\pada suatu hari, Beliau berkata,‘Nak, aku akan ajarkan suatu kata yaitu jagalah Allah niscaya Allah akan menjagamu…’” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi dan lainnya)

عن عبدالله بن عُمر رضي الله عنهما قال: لَقَدْ عِشنَا بُرْهَةً مِنْ دَهرِنَا، وَإِنَّ أَحَدَنَا لَيُؤْتَى الإِيْمَانُ قَبْلَ الْقُرْآنَ، وَتَنْـزِلُ السُّورةُ عَلىَ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم فَنَتَعَلَّمُ حَلاَلَهَا وَحَرَامَهَا, وَمَا يَنْبَغِي أَنْ يُوْقَفَ عِنْدَهُ مِنْهَا, كَمَا تَتَعَلَّمُوْنَ أَنْتُمُ الْيَوْمَ الْقُرْآنَ, وَلَقَدْ رَأَيْتُ الْيَوْمَ رِجَالاً يُؤتَى أَحَدُهُمْ الْقُرْآنَ قَبْلَ الإِيْمَانِ, فَيَقْرَأُ مَا بَيْنَ فَاتِحَتِهِ إلى خَاتِمَتِهِ, مَا يَدْرِي مَا آمُرُهُ، وَلاَ زَاجِرُهُ, وَلاَ مَا يَنْبَغِي أَنْ يُوْقَفَ عِنْدَهُ مِنْهُ, وَيَنْثُرُه نثرَ الدَّقَلِ

Dari Abdillah Ibnu Umar d\ia berkata, “Sungguh kami pernah hidup beberapa waktu, dimana salah seorang kami diberikan pelajaran keimanan sebelum al-Qur’an dan tatkala ada surat yang diturunkan kepada Muhammad n\ kami langsung mempelajari halal haramnya dan batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar sebagaimana kalian hari ini mempelajari al-Qur’an. Sungguh, aku melihat di masa ini orang-orang yang diajari al-Qur’an sebelum diajarkan keimanan.Ia membaca antara al-Fatihah sampai akhir al-Qur’an namun ia tidak mengetahui apa perintah dan larangan serta batasan yang tidak boleh dilanggardan mereka membacanya seperti kurma kering yang rusak (membaca dengan cepat tanpa menadaburinya).” (Dikeluarkan oleh Ibnu Mandah dalam “al-Iman” 207, al-Hakim 1/35, al-Baihaqi dalam “as-Sunan al-Kubra” 3/120 dan dishahihkan oleh Ibnu Mandah dan al-Hakim)

Berkata Syaikh Abu Yazid al-Jazair v\, “Perkataan sahabat,‘Kami mempelajari iman sebelum al-Qur’an,’memiliki beberapa makna:

  1. Mereka mempelajari iman secara global, terutama iman yang bersifat fardhu ‘ain sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah v\.
  2. Mereka mengimani Allah dan Rasul-Nya serta keshahihan apa yang dibawa dari Islam dan iman, sehingga hati mereka menjadi tenang (dalam keimanan) sebelum membaca al-Qur’an. Demikian pula mereka tidak hanya mempelajari lafazh al-Qur’an, namun halal haram, perintah dan larangan serta batasan yang tidak boleh dilanggar.
  3. Mereka mempelajari keimanan tentang al-Qur’an lebih dulu. 

Lantas, bagaimana cara mengajarkan iman ini? Bisa dengan dua cara:

  • Tafakur ayat-ayat Allahal-mar’iyyah (yang terlihat).
  • Tafakur pada ayat-ayat pertama yang turun kepada para sahabat yang telah membentuk iman yang kokoh seperti gunung di dada mereka. (Al-Iman qabla al-Qur’an, Syaikh ‘Isham Ibnu Shalih al-‘Uwaid)

Berkata Dzu an-Nun al-Mishri v\:

مَرَرْتُ بِأَرْضِ مِصْرَ، فَرَأَيْتُ الصِّبْيَانَ يَرْمُوْنَ رَجُلاً بِالْحِجارةِ، فَقُلْتُ لَهُمْ: مَا تُرِيْدُوْنَ مِنْهَ ؟فَقَالُوا: يَزْعُمُ أَنَّهُ يَرَى اللهَ عزَّ وجلَّ … “

            “Aku pernah melewati negeri Mesir.Aku melihat anak-anak kecil melempar seseorang denganbatu. Aku bertanya kepada mereka,‘Apa mau kalian terhadapnya?!’Mereka berkata,‘Ia mengaku melihatAllahw\.’” (‘Uqala’ al-Majanin, Dharrab hal. 14)

Berkata Abu Hurairah a\ kepada para pengajar kuttab,

يا مُعلِّم الكُتَّابِ، اِجْمَعْ لي غِلمَانَكَ، فَيَجْمَعُهُمْ، فَيَقُوْلُ: قُلْ لَهُمْ: فَلْيَنْصِتُوا، أَيّ بَنِي أَخِي، أفْهِمُوا مَا أَقُوْلُ لَكُمْ، أَمَا يُدْرِكُنَّ أحدٌ مِنْكُم عِيْسَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّهُ شابٌ وَضِيْءٌ أَحْمَرُ، فَلْيَقْرَأْ عَلَيْهِ مِنْ أَبِي هُرَيْرَة السَّلامَ.فَلاَ يَمُرُّ عَلىَ مُعَلِّمِ كُتَّابٍ إلا قَالَ لِغِلْمَانِهِ مِثْلَ ذَلِكَ.

“Wahai Pengajar kuttab, kumpulkan di hadapan saya murid-muridmu!”Makamereka dikumpulkan.Abu Hurairah berkata kepada mereka, “Katakan kepada mereka untuk diam!”Maka mereka didiamkan.Beliau berkata, “Wahai anak saudaraku, pahami yang aku akan katakan! Siapa saja diantara kalian yang menjumpai Isa bin Maryam maka ketahuilah, bahwa ia adalah seorang pemuda tampan berkulit merah.Sampaikan salam Abu Hurairah kepadanya.”Maka tidaklah beliau melewati para pengajar kuttab melainkan ia berkata seperti itu kepada anak didik mereka.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 19368)

  • Hendaknya orang tua menyerahkan pendidikan anaknya kepadapendidik rabbani.

Berkata ‘Utbah Ibnu Abi Sufyan v\ kepada pendidik anaknya:

لِيَكُنْ أَوَّلُ مَا تَبْدَأُ بِهِ مِنْ إِصْلاَحِكَ بَنِيَّ إِصْلاَحَكَ نَفْسَكَ، فَإِنَّ أَعْيُنَهُمْ مَعْقُوْدَةٌ بِعَيْنِكَ، فَالْحَسَنُ عِنْدَهُمْ مَا اسْتَحْسَنْتَ، وَالْقَبِيْحُ عِنْدَهُمْ مَا اسْتَقْبَحْتَ.عَلِّمْهُمْ كِتَابَ اللهِ، وَلاَ تُكْرِهُهُمْ عَلَيْهِ فيَمَلُّوْهُ، وَلاَ تَتْرُكُهُمْ مِنْهُ فَيَهْجُرُوْهُ. ثُمَّ رَوَّهُمْ مِنَ الشَّعْرِ أَعَفَّهُ، وَمِنَ الْحَدِيْثِ أَشْرَفَهُ. وَلاَ تُخْرِجُهُمْ مِنْ عِلْمٍ إِلىَ غَيْرِهِ حَتَّى يُحْكِمُوْهُ، فَإِنَّ ازْدِحَامَ الْكَلاَمِ فِي السَّمْعِ مَضَلَّةٌ لِلْفَهْمِ

“Hendaknya perbaikan pertama pada diri anak saya adalah perbaikan dirimu sendiri, karena pandangannya tertuju kepadamu. Yang baik menurut mereka adalah apa yang engkau perbuat dan yang jelek bagi mereka adalah apa yang engkau tinggalkan. Ajari mereka Kitabullah dan jangan dipaksa sehingga ia menjadi bosan serta jangan engkau tinggalkan mereka tidak mempelajari Kitabullah sehingga mereka meninggalkannya.Kemudianajarkan syair yang menjaga ‘iffah, haditsyang paling pentingserta jangan engkau pindahkan ia ke ilmu lain sampai dia mahir terlebih dahulu, karena banyaknya perkataan dalam pendengaran berakibat besar membuat tidak paham.” (Dikeluarkan oleh Abu Utsman al-Jahizh dalam “al-Bayan wa at-Tabyin” 2/35-36 dan Ibnu Abi ad-Dunya dalam “al-‘Iyal” 1/470)

Para salaf tidaklah menyerahkan anak-anak mereka kecuali kepada pengajar yang baik akhlaknya dan terpenuhi syarat-syarat kedewasaan, diantaranya ia terkenal dengan istiqamah dan ‘afaf (menjaga diri), kredibilitas yang tinggi disertai pengetahuan dan pengalaman mereka yang mendalam tentang al-Qur’an dan ilmu-ilmunya. Fuqaha muslimin telah menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi para pengajar kuttab.Al-Qabisi menyebutkan diantara syaratnya, hendaknya pengajar adalah orang yang lembut tidak kasar, bukan orang yang suka cemberut maupun marah, tidak menyulitkan, bisa menemani anak dan mampu mengajarkan adab kepada anak-anak untuk kemaslahatan mereka. (Adab al-Mu’alimin hal. 47)

Sebagian lagi mensyaratkan bagi pengajar, hendaknya ia adalah ahli shalah wal ‘amanah wal ‘iffah, hafal al-Qur’an, tulisannya bagus, bisa berhitung dan lebih baik adalah yang sudah menikah. Mereka tidak menganjurkan yang membujang untuk membuka kuttab, kecuali setelah ia menjadi Syaikh Kabir(Guru Besar) yang terkenal dengan agama dan kebaikannya serta ahli dalam mengajar. (Ma’alim al-Qurbahfi Ahkam al-Husbah hal. 260)

  • Hendaknya orang tuamenitikberatkan pada pendidikan akhlak dan tingkah laku.

Berkata Makhlad Ibnu al-Husain v\ kepada Abdullah Ibnu al-Mubarak v\, “Kita lebih banyak butuh kepada adab dibandingkanbanyaknya hadits.” (Al-Jami’, al-Khatib al-Baghdadi 1/80)

Berkata Abdullah Ibnul Mubarak v\, “Aku mempelajari adab selama tiga puluh tahun dan aku mempelajari ilmu dua puluh tahun.Mereka (para sahabat) mempelajari adab terlebih dahulu baru kemudian belajar ilmu.” (Tartib al-Madarikwa Taqrib al-Masalik3/39)

  • Memprioritaskan menghafal al-Qur’an sebelum yang lainnya.

قال شيخ الإسلام ابن تيمية – رحمه الله -: (وَأَمَّا طَلَبُ حِفْظِ الْقُرْآنِ فَهُوَ مُقَدَّمٌ عَلىَ كَثِيْرٍ مِمَّا تُسَمِّيْهِ النَّاسُ عِلْماً وَهُوَ إِمَّا بَاطِلٌ أَوْ قَلِيْلُ النَّفْعِ. وَهُوَ أَيْضاً مَقَدَّمٌ فِي التَّعَلُّمِ فِي حَقِّ مَنْ يُرِيْدُ أَنْ يَتَعَلَّمَ عِلْمَ الدِّيْنِ مِنَ الأصُوُلِ وَالْفُرُوْعِ، فَإِنَّ الْمَشْرُوْعَ فِي حَقِّ مِثْلِ هَذَا فِي هَذِهِ الأَوْقَاتِ أَنْ يَبْدَأَ بِحِفْظِ الْقُرْآنِ فَإِنَّهُ أَصْلُ عُلُوْمِ الدِّيْنِ).

Berkata SyaikhulIslam Ibnu Taimiyyah v\, “Adapun mempelajari hafalan al-Qur’an lebih didahulukan daripada pelajaran yang disebut orang sebagai ilmu, baik itu yang batil ataupun yang sedikit manfaatnya.Ini juga lebih diprioritaskan bagi orang yang ingin mempelajari ilmu agama, baik ushul maupun furu’nya, makahendaknya orang-orang seperti ini pada zaman sekarang memulai dengan menghafal al-Qur’an, karena itu adalah fondasi agama.” (Majmu’ al-Fatawa12/35)

Berkata Ibnu Abdil Barr v\, “Awal dari ilmu adalah menghafal Kitabullahw\ dan memahaminya serta semua ilmu alat untuk memahaminya maka wajib mempelajarinya, namun aku tidak mengatakan itu hukumnya fardhu, tetapi itu adalah syarat wajib bagi yang ingin menjadi seorang alim, faqih dan kokoh di atas ilmu.” (Jami’Bayanal-‘IlmiwaFadhlihi 2/1129)

  • PendidikanSalaf memperhatikan karakter dan bakat anak didik.

IbnulQayyim v\ berkata:

( وَمِمَّا يَنْبَغِي أَنْ يُعْتَمَدَ حَالُ الصَّبِي ، وَمَا هُوَ مُسْتَعِدٌّ لَهُ مِنَ الأَعْمَالِ، وَمُهَيَّأٌ لَهُ مِنْهَا، فَيَعْلَمُ أنَّهُ مَخْلُوْقٌ لِذَلِكَ الْعَمَلِ فَلاَ يُحَمِّلُهُ عَلىَ غَيْرِهِ ، فَإِنَّهُ إِنْ حَمَّلَهُ عَلىَ غَيْرِ مَا هُوَ مُسْتَعِدٌ لَهُ لَمْ يُفِلحْ فِيْهِ ، وَفَاتَهُ مَا هُوَ مُهَيَّأٌ لَهُ ، فَإِذَا رَآهُ حَسَنَ الْفَهْمِ، صَحِيْحَ الإِدْرَاكِ، جَيِّدَ الْحِفْظِ وَاعِياً ، فَهِذِهِ مِنْ عَلاَمَاتِ قَبُوْلِهِ وَتَهَيُّؤِهِ لِلْعِلْمِ(

“Hendaknya yang dijadikan pegangan adalah keadaan sang anak dan apa yang menjadi bakatnya serta kesiapannya diciptakan untuk pekerjaan tersebut, jangan diarahkan kepada hal lainnyayang bukan bakatnya.Sebabia tidak akan pernah beruntung dan akan terluputsesuatu yang menjadi bakatnya. Apabila orang tua melihatnya bagus pemahamannya, jitu pikirannya, hafalannya kuat, brilian maka ini adalah tanda ia(dapat) menerima dan berbakat mempelajari ilmu.” (Tuhfah al-Maududfi Ahkam al-Mauludhal. 243-244)

Ibnul Qayyimv\ berkata dalam kesempatan lain, “Apabila (orang tua/pendidik) melihat anak lebih siap mempelajari keperwiraan dan sarana penunjangnya seperti; berkuda, memanah, menombak dan ia tidak memiliki bakat (mendalami) ilmu serta tak ada minatnya maka hendaknya diarahkan kepada sarana-sarana tersebut dan dilatih, karena itu akan lebih bermanfaat bagi kaum muslimin.” (At-Tarbiyah al-Badaniyyahwa ar-Riyadhiyyah fi at-Turatshal. 77)

  • Bersabardengan kekurangan pada diri anak serta tidak membebani di luar kemampuannya.

Anak bukanlah miniatur orang dewasa.Mereka bukanlah robot yang harus dipaksa memahami semua ilmu dalam sekejap. Merekatetap butuh bermain dan berinteraksi, karena itu adalah bagian dari proses pembelajaran. Kekurangannya dari satu sisi adalah kelebihannya dari sisi yang lain. Maka janganlah mereka dijadikan objek menjaga “nama baik dan harga diri orang tua”, karena kita hanya berusaha,sedangkan hasilnya tetap di tangan Allah q\.

Dalam Thabaqat asy-Syafi’iyyah dikisahkan, bahwa ar-Rabi’ Ibnu Sulaiman v\ adalah seorang yang lamban pemahamannya. Al-Imam asy-Syafi’iv\ mengulangi (menjelaskan) satu masalah sampai empat puluh kali, namun ia tidak paham-paham. (!!)Maka Rabi’ berdiri dari majelisnya dengan tertunduk malu.Imam asy-Syafi’i pun memanggilnya dan mengajaknya menyendiri, kemudian mengulangi penjelasan tersebut sampai Rabi’paham. Imam asy-Syafi’i berkata, “Seandainya aku mampu untuk menyuapimu ilmu maka aku akan lakukan….” (Thabaqat asy-Syafi’iyyah 2/134)

Wallahu a’lam.


Kutipan,

Ibnul Qayyim v\ berkata dalam kesempatan lain, “Apabila (orang tua/pendidik) melihat anak lebih siap mempelajari keperwiraan dan sarana penunjangnya seperti; berkuda, memanah, menombak dan ia tidak memiliki bakat (mendalami) ilmu serta tak ada minatnya maka hendaknya diarahkan kepada sarana-sarana tersebut dan dilatih, karena itu akan lebih bermanfaat bagi kaum muslimin.”

Subhanallah Wa bihamdih Yang Luar Biasa

Subhanallah Wa bihamdih Yang Luar Biasa 

Kalimat subhanallah wa bihamdih sangat luar biasa keutamaannya. Berikut bahasan lanjutan dari Kitab Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi.

Kitab Al-Adzkar, Bab Keutamaan Dzikir dan Dorongan untuk Berdzikir

(Hadits no. 1412) Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku,

ألاَ أُخْبِرُكَ بِأَحَبِّ الكَلاَمِ إِلَى اللهِ ؟ إنَّ أَحَبَّ الكَلاَمِ إِلَى اللهِ : سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ

‘Maukah aku beritahukan kepadamu perkataan yang paling dicintai oleh Allah? Sesungguhnya perkataan yang paling dicintai oleh Allah adalah, ‘SUBHANALLAH WA BIHAMDIH’ (Maha Suci Allah dan dengan memuji-Nya).” (HR. Muslim, no. 2731)

(Hadits no. 1413) Dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الطُّهُورُ شَطْرُ الإيمانِ ، وَالحَمْدُ للهِ تَمْلأُ المِيزَانَ ، وَسُبْحَانَ اللهِ وَالحَمْدُ للهِ تَمْلآنِ – أَوْ تَمْلأُ – مَا بَيْنَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ

Bersuci itu setengah keimanan, ALHAMDULILLAH itu memenuhi mizan (timbangan amal), dan SUBHANALLAH WALHAMDULILLAH, keduanya memenuhi—atau memenuhi—ruang antara langit-langit dan bumi.” (HR. Muslim, no. 223)

Penjelasan:

Dua hadits di atas menunjukkan keutamaan kalimat subhanallah wa bihamdih, juga kalimat dzikir subhanallah wal hamdulillah. Kalimat subhanallah berisi penyucian Allah dari sifat tercela. Sedangkan alhamdulillah berisi pujian sekaligus penetapan bahwa Allah memiliki nama dan sifat yang sempurna.

Faedah dari dua hadits di atas:

1- Kalimat yang paling dicintai oleh Allah adalah kalimat subhanallah wa bihamdih.

2- Kalimat subhanallah wa bihamdih berisi penyucian sifat-sifat jelek bagi Allah dan pujian bagi-Nya karena Allah memang pantas untuk dipuji.

3- Bersuci itu setengah keimanan.

4- Hadits ini menunjukkan keutamaan wudhu dalam Islam karena menurut pendapat kebanyakan ulama, thuhur yang dimaksud dalam hadits adalah bersuci dengan air untuk menghilangkan hadats. Sedangkan iman yang dimaksudkan dalam hadits adalah shalat seperti yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 143, “Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.” Yang dimaksudkan dalam ayat adalah Allah tidak menyia-nyiakan shalat mereka ketika sebelumnya menghadap Baitul Maqdis. (Lihat Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:7.)

5- Wudhu adalah syarat sah shalat. Sehingga disebut sebagai separuh iman walaupun bukan separuh iman secara hakiki.

6- Bacaan alhamdulillah akan memenuhi timbangan amalan. Subhanallah walhamdulillah akan memenuhi ruang antara langit dan bumi.

7- Subhanallah itu akan memenuhi separuh timbangan, sedangkan alhamdulillah akan menyempurnakannya hingga penuh. Karena kalimat alhamdulillah berarti kita menetapkan segala puji untuk Allah. Sedangkan ucapan subhanallah adalah menyucikan Allah dari kekurangan, aib dan cacat. Penetapan itu lebih menunjukkan kesempurnaan dibanding peniadaan. Karenanya kalimat subhanallah tidak disebut sendirian, namun diiringi dengan penetapan kesempurnaan bagi Allah sehingga kadang digandengkan dengan alhamdulillah. (Lihat Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:17-18.)

8- Seorang muslim wajib meyakini adanya mizan (timbangan) yang akan menimbang amalan pada hari kiamat.

9- Hadits ini menunjukkan keutamaan berdzikir dan besarnya pahala dzikir.

Referensi:

  1. Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:447-448; 1:69-70.
  2. Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Ibnu Rajab Al-Hambali. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. 2:7-18.