Kurangi Sindir Menyindir Di Dunia Maya Dakwah

Kurangi Sindir Menyindir Di Dunia Maya 

Dakwah adalah tugas yang sangat mulia dan perlu kita ingat “Dakwah adalah mengajak kebaikan dan menginginkan kebaikan kepada saudaranya”

Dakwah membuat dekat bukan membuat lari serta mempermudah bukan mempersulit [1]

Dakwah juga hukum asalnya dengan lemah lembut dan menjadi sumber kebaikan [2]

-Kadang kita temui dakwah dengan gaya menyindir
Misalnya:
“Pakaiannya kok ketat sekali, gak sekalian telanjang aja?”
“Lho laki-laki kok gak shalat di masjid, atau lagi menstruasi ya?”

-Tidak bijaksana kalau menyindir LANGSUNG KE INDIVIDU tersebut, karena ini bisa jadi membuatnya lari

Jadi jika ada saudaramu jatuh ke sumur, apakah kita akan menolong atau mencelanya? Tentu menolongnya kan

-Berdakwah dengan gaya menyindir, bisa dilakukan jika:

1. Bahasanya  secara umum tidak menyindir individu atau kelompok tertentu
2. Gaya bahasa tidak terlalu keras bahkan kasar sekali
3. Tidak dilakukan sering-sering karena hukum asal dakwah lemah lembut

Misalnya:
“Jangan bicara agama tinggi-tinggi tapi shalat subuh tidak berjamaah di masjid alias ketiduran”

“Pas dipanggil bos, cepet sekali respon, pas Allah panggil lewat adzan, pura-pura tidak dengar”

-Memang dalam berdakwah, selain memberikan kabar gembira, perlu juga menyampaikan peringatan dan ancaman-ancaman sebagaimana  dalam Al-Quran dan Sunnah, inilah tujuan diutusnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam, menyampaikan kabar gembira dan peringatan [3]

Tentunya menyampaikan peringatan tetap dengan cara yang baik pula, melihat waktu, kondisi serta orangnya

-Dakwah juga tegas pada kondisi dan melihat orangnya
Misalnya:

-Orang badui yang kencing di masjid, para sahabat siap-siap memarahi dan “menghabisi”, tetapi diperlakukan lembut oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam

-Usamah, seorang sahabat, beliau adalah kesayangan Rasulullah dan orang dekat beliau, tetapi beliau dimarahi “habis-habisan” bahkan “disindir”

Usamah membunuh orang yang tiba-tiba mengucapkan “Laa ilaha illallah” ketika dia sudah tidak berdaya di medan perang

Ia mengira bahwa orang itu mengucapkannya hanya “alasan dan ngeles” karena takut dibunuh saja, akhirnya dibunuh oleh Usamah

Mengetahui hal ini Rasulullah marah besar kepada Usamah dan “menyindir”

“Wahai Usamah, apakah engkau sudah membelah dadanya, sehingga engkau tahu isi hatinya?”

Beliau terus mengulangi kalimat ini. Sampai-sampai Usamah berandai kalau saja dia baru masuk Islam (sehingga dimaklumi oleh Rasulullah) [4]

-Semoga kita bisa lebih bijak lagi dalam berdakwah, kami khawatir:
TERLALU BANYAK GAYA BERDAKWAH DENGAN SINDIRIN, SEOLAH-OLAH MENUNJUKKAN KESOMBONGAN DIA DALAM BERDAKWAH, SEOLAH-OLAH DIA SUDAH SUCI SAJA

Semoga kita dihindari dari hal ini.

@Laboratorium RS Manambai, Sumbawa Besar – Sabalong Samalewa

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel http://www.muslimafiyah.com

Footnote:[1] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan,

ﻳَﺴِّﺮُﻭﺍ ﻭَﻟَﺎ ﺗُﻌَﺴِّﺮُﻭﺍ ﻭَﺑَﺸِّﺮُﻭﺍ ﻭَﻟَﺎ ﺗُﻨَﻔِّﺮُﻭﺍ

“Mudahkan dan jangan mempersulit, berikan kabar gembira dan jangan membuat manusia lari” (HR. Bukhari, Kitabul ‘Ilmu no.69)[2] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ

“Sesungguhnya kelembutan tidaklah berada pada sesuatu melainkan akan membuatnya lebih bagus, dan tidak akan tercabut sesuatu darinya kecuali akan membuatnya jelek.”[HR. Muslim] [3] Allah Ta’ala berfirman,

ﺭُّﺳُﻼً ﻣُّﺒَﺸِّﺮِﻳﻦَ ﻭَﻣُﻨﺬِﺭِﻳﻦَ ﻟِﺌَﻼَّ ﻳَﻜُﻮﻥَ ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﺣُﺠَّﺔُُ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟﺮُّﺳُﻞِ
ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﺰِﻳﺰًﺍ ﺣَﻜِﻴﻤًﺎ

“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada lagi alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu ” (QS. An Nisaa’ 165).[4] Silahkan baca kisahnya dalam hadits:

ﻋﻦ ﺃﺳﺎﻣﺔ ﻗﺎﻝ ﺑﻌﺜﻨﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻲ ﺳﺮﻳﺔ ﻓﺼﺒﺤﻨﺎ ﺍﻟﺤﺮﻗﺎﺕ ﻣﻦ ﺟﻬﻴﻨﺔ ﻓﺄﺩﺭﻛﺖ ﺭﺟﻼ ﻓﻘﺎﻝ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻄﻌﻨﺘﻪ ﻓﻮﻗﻊ ﻓﻲ ﻧﻔﺴﻲ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﻓﺬﻛﺮﺗﻪ ﻟﻠﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﻗﺎﻝ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻗﺘﻠﺘﻪ ﻗﺎﻝ ﻗﻠﺖ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻧﻤﺎ ﻗﺎﻟﻬﺎ ﺧﻮﻓﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻼﺡ ﻗﺎﻝ ﺃﻓﻼ ﺷﻘﻘﺖ ﻋﻦ ﻗﻠﺒﻪ ﺣﺘﻰ ﺗﻌﻠﻢ ﺃﻗﺎﻟﻬﺎ ﺃﻡ ﻻ ﻓﻤﺎ ﺯﺍﻝ ﻳﻜﺮﺭﻫﺎ ﻋﻠﻲ ﺣﺘﻰ ﺗﻤﻨﻴﺖ ﺃﻧﻲ ﺃﺳﻠﻤﺖ ﻳﻮﻣﺌﺬ

Dari Usamah bin Zaid ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus kami bersama pasukan kecil maka kamipun menyerang beberapa dusun dari qobilah Juhainah, maka akupun berhadapan dengan seseorang (tatkala dia telah kalah dan akan aku bunuh) dia mengucapkan la ilaha illallah, akupun tetap menikamnya.
Namun setelah itu aku merasa tidak enak akan hal itu maka akupun menceritakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apakah ia mengucapkan la ilha illallah lantas engkau tetap
membunuhnya??”.
Aku berkata, “Ya Rasulullah, dia mengucapkannya hanya karena takut pedangku!”,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
“Mengapa engkau tidak membelah hatinya hingga engkau tahu bahwa dia mengucapkannya karena takut atau tidak!?”.
Berkata Usamah, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terus mengulang-ngulang perkataannya kepadaku itu hingga aku berangan-angan seandainya aku baru masuk Islam saat itu” (HR Muslim 1/96).

Tetaplah Membaca Al-Qur’an Terbata-Bata

Tetaplah Membaca Al-Qur’an Terbata-Bata

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا ، قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : (( الَّذِي يَقْرَأُ القُرْآنَ وَهُوَ مَاهِرٌ بِهِ مَعَ السَّفَرَةِ الكِرَامِ البَرَرَةِ ، وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أجْرَانِ )) متفقٌ عَلَيْهِ .

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang membaca Al-Qur’an dan ia mahir membacanya, maka ia bersama para malaikat yang mulia (bersih dari maksiat) dan taat dalam kebaikan. Sedangkan orang yang membaca Al-Qur’an dengan terbata-bata dan merasa kesulitan ketika membacanya, maka baginya dua pahala.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 4937 dan Muslim, no. 798]

Faedah hadits

  1. Mahir membaca Al-Qur’an adalah benar dalam membaca dan menerapkan tajwidnya.
  2. Hadits ini memotivasi kita untuk menghafalkan Al-Qur’an dan memantapkannya (hingga mutqin). Hadits ini menunjukkan kedudukan yang tinggi bagi orang yang melakukan seperti itu.
  3. Hadits ini menunjukkan keutamaan orang yang mahir dalam Al-Qur’an.
  4. Hadits ini menunjukkan pahala yang berlipat bagi orang yang terbata-bata dalam membaca Al-Qur’an karnea sebab usaha keras dia. Karena “ats-tsawaabu ‘ala qadrin nashob”.

Dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ لَكِ مِنَ الأَجْرِ عَلَى قَدْرِ نَصَبِكِ وَنَفَقَتِكِ

“Sesungguhnya pahala untukmu tergantung pada besarnya kerja kerasmu dan biaya yang kau keluarkan.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 1:644. Hadits ini sahih sesuai syarat shahihain)

Dalam kaedah yang dibawakan oleh As-Suyuthi dalam Al-Asybah wa An-Nazhair (hlm. 320) disebutkan,

مَا كَانَ أَكْثَرُ فِعْلاً كَانَ أَكْثَرُ فَضْلاً

“Amalan yang lebih banyak pengorbanan, lebih banyak keutamaan.”

Referensi:

  • Al-Asybah wa An-Nazhair min Qawa’id wa Furu’ Asy-Syafi’iyyah. Cetakan kelima, tahun 1432 H. Al-Imam Jalal Ad-Din ‘Abdurrahman As-Suyuthi. Penerbit Dar As-Salam.
  • Al-Bahr Al-Muhith Ats-Tsajaj Syarh Shahih Al-Imam Muslim bin Al-Hajjaj. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Muhammad bin Asy-Syaikh Al-‘Allamah ‘Ali bin Adam bin Musa Al-Itiyubia Al-Wallawi. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 16:304.
  • Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:205.
  • Nuzhah Al-Muttaqin Syarh Riyadh Ash-Shalihin min Kalaam Sayyid Al-Mursalim. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Dr. Musthafa Al-Bugha, dkk. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. hlm. 394-395.

Kecanduan Bermain Game Itu Akan Memusnahkan Waktu Dan Keberkahan Hidup

Kecanduan Bermain Game Itu Akan Memusnahkan Waktu Dan Keberkahan Hidup 

Orang yang berpikiran maju dan produktif akan paham bahwa kecanduan bermain game itu akan memusnahkan waktu mereka. Semua orang sudah tahu bahwa bermain game adalah suatu hal yang tidak baik. Orang tua tidak suka apabila anaknya kecanduan main game. Para guru dan pendidik pun selalu memperingatkan generasi muda akan kecanduan game. Berikut beberapa efek negatif kecanduan game, misalnya:

  1. Lama-kelamaan akan menyebabkan kecanduan sehingga akan melalaikan dari tugas dan kewajibannya
  2. Melakukan hal yang sia-sia dan tidak bermanfaat
  3. Menghabiskan waktu di depan permainan game
  4. Menjadi tertutup dan terbatas komunikasi dengan dunia nyata karena terlalu fokus dengan game
  5. Ada beberapa madharat game pada umumnya semisal memperlihatkan aurat, lagu dan musik serta ungkapan dan kalimat yang dilarang syariat atau hal-hal yang memperlihatkan sesuatu yang tasyabbuh (menyerupai) orang kafir dan fasik

Kecanduan game itu benar-benar melakukan hal yang sia-sia

Kita dianjurkan agar mengisi waktu kita dengan hal-hal yang positif dan bermanfaat, apabila tidak, maka kita pasti akan mengisi waktu kita dengan hal-hal yang sia-sia atau bahkan hal yang negatif.

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah menyebutkan sebuah kaidah emas,

وَنَفْسُكَ إِنْ أَشْغَلَتْهَا بِالحَقِّ وَإِلاَّ اشْتَغَلَتْكَ بِالبَاطِلِ

“Jika dirimu tidak disibukkan dengan hal-hal yang baik, PASTI akan disibukkan dengan hal-hal yang batil” (Al Jawabul Kaafi hal. 156)

Termasuk kebaikan bagi seorang muslim adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat bagi dirinya baik dunia maupun akhirat, sedangkan bermain game umumnya tidak bermanfaat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مِنْ حُسْنِ إِسْلامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ

“Di antara tanda kebaikan dalam islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya. (HR. Ahmad dan Tirmidzi )

Kecanduan game berarti tidak menghargai waktu yang sangat berharga

Allah Ta’ala bersumpah dalam Al-Quran dengan menggunakan waktu beberapa kali dan beberapa surat Al-Quran. Misalnya “wal-ashri” (demi masa), “wad-dhuha” (demi waktu dhuha), “wal-lail” (demi waktu malam) dan lain-lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa waktu ini sangat penting dan kita harus menyadari betul hal ini, sedangkan manusia secara umum lalai akan hal ini. Perhatikan hadits berikut,

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang” (HR. Bukhari no. 6412)

Pepatah Arab yang menggambarkan pentingnya waktu,

اَلْوَقْتُ أَنْفَاسٌ لَا تَعُوْدُ

Waktu adalah nafas yang tidak mungkin akan kembali.

Orang sukses dunia-akhirat akan sangat menyesal jika waktunya terbuang percuma tanpa manfaat dan faidah. Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata,

ﻣَﺎ ﻧَﺪِﻣْﺖُ ﻋَﻠَﻰ ﺷَﻲْﺀٍ ﻧَﺪَﻣِﻲ ﻋَﻠَﻰ ﻳَﻮْﻡٍ ﻏَﺮَﺑَﺖْ ﴰَﺴْﻪُ ﻧَﻘَﺺَ ﻓِﻴْﻪِ ﺃَﺟَﻠِﻲ ﻭَﱂَ ْﻳَﺰِﺩْ ﻓِﻴْﻪِ ﻋَﻤَﻠِﻲ

Tiada yang pernah kusesali selain keadaan ketika matahari tenggelam, ajalku berkurang, namun amalanku tidak bertambah.” (Lihat Miftahul Afkar)

Mereka juga pelit dengan waktu mereka, Hasan Al-Bashri rahimahullah berkat,

أَدْرَكْتُ أَقْوَامًا كَانَ أَحَدُهُمْ أَشَحَّ عَلَى عُمْرِهِ مِنْهُ عَلَى دِرْهَمِهِ

“Aku menjumpai beberapa kaum, salah satu dari mereka lebih pelit terhadap umurnya (waktunya) dari pada dirham (harta) mereka” (Al-‘Umru was Syaib no. 85)

Hendaknya kita mengisi waktu kita dengan hal-hal yang positif dan bermanfaat, tugas kita sangat banyak sedangkan waktu ini sangat sedikit, tidak layak bagi seorang muslim menghabiskan waktu yang sangat berharga dengan bermain game yang tidak bermanfaat.

Demikian semoga bermanfaat.

Riba, Dosa Besar Yang Menghancurkan

Riba,  Dosa Besar Yang Menghancurkan 

Riba merupakan perbuatan dosa besar dengan ijma’ Ulama, berdasarkan al-Qurân, as-Sunnah. Dalil dari al-Qurân di antaranya adalah firman Allâh Azza wa Jalla :

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Allâh menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. [al-Baqarah/2:275]

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang umatnya dari riba dan memberitakan bahwa riba termasuk tujuh perbuatan yang menghancurkan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau bersabda, “Jauhilah tujuh (dosa) yang membinasakan!” Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasûlullâh! Apakah itu?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Syirik kepada Allâh, sihir, membunuh jiwa yang Allâh haramkan kecuali dengan haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, berpaling dari perang yang berkecamuk, menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina”. [HR. al-Bukhâri, no. 3456; Muslim, no. 2669]

Para Ulama sepakat bahwa riba adalah haram dan termasuk dosa besar.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Kaum Muslimin telah sepakat akan haramnya riba. Riba itu termasuk kabâir (dosa-dosa besar). Ada yang mengatakan bahwa riba diharamkan dalam semua syari’at (Nabi-Nabi), di antara yang menyatakannya adalah al-Mawardi”[1].

Syaikhul Islam oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Melakukan riba hukumnya haram  berdasarkan al-Qur`ân, as-Sunnah, dan ijma’.”[2]

Makna dan Macam-Macam Riba
Secara lughah (bahasa) riba artinya tambahan, sedangkan menurut istilah syara’ (agama), para fuqahâ’ (ahli fiqih) memberikan ta’rîf (difinisi) yang berbeda-beda kalimatnya, namun maknanya berdekatan.

al-Hanafiyyah menyatakan riba adalah kelebihan yang tidak ada penggantinya (imbalannya) menurut standar syar’i, yang disyaratkan untuk salah satu dari dua orang yang melakukan akad penukaran (harta)[3]. Syâfi’iyyah menyatakan riba adalah akad untuk mendapatkan ganti tertentu yang tidak diketahui persamaannya  menurut standar syar’i (agama Islam) pada waktu perjanjian, atau dengan menunda penyerahan kedua barang yang ditukar, atau salah satunya[4].

Hanabilah menyatakan riba adalah perbedaan kelebihan di dalam perkara-perkara, mengakhirkan di dalam perkara-perkara, pada perkara-perkara khusus yang yang ada keterangan larangan riba dari syara’ (agama Islam), dengan nash (keterangan tegas) di dalam sebagiannya, dan qiyas pada yang lainnya[5].

Definisi riba ini akan lebih jelas jika kita mengetahui macam-macam riba, sebagai berikut:

  1. Riba an-Nasî’ah (riba karena mengakhirkan tempo)
    Yaitu: tambahan nilai hutang sebagai imbalan dari tempo yang diundurkan. Dinamakan riba an-nasî‘ah (mengakhirkan), karena tambahan ini sebagai imbalan dari tempo hutang yang diundurkan. Hutang tersebut bisa karena penjualan barang atau hutang (uang).

Riba ini juga disebut riba al-Qur’an, karena diharamkan di dalam Al-Qur’an.

Allâh berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ﴿٢٧٨﴾ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allâh dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allâh dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.  [al-Baqarah/2: 278-279]

Ayat ini merupakan nash yang tegas bahwa yang menjadi hak orang yang berpiutang adalah pokok hartanya saja, tanpa tambahan. Dan tambahan dari pokok harta itu disebut riba[6].

Jika tambahan itu atas kemauan dan inisiatif orang yang berhutang ketika dia hendak melunasi hutangnya, tanpa disyaratkan maka sebagian ahli fiqih membolehkan. Namun orang yang berhati-hati tidak mau menerima tambahan tersebut karena khawatir itu termasuk pintu-pintu riba, wallahu a’lam[7].

Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan larangan ini dalam khutbah wada’ dan hadits-hadits lainnya. Sehingga kaum Muslimin bersepakat tentang keharaman riba an-nasîah ini.

Riba ini juga disebut riba al-jahiliyyah, karena riba ini yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah.


Riba ini juga disebut riba jali (nyata) sebagaimana dikatakan oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab I’lâmul Muwaqqi’in, 2/154[8].

Riba ini juga disebut dengan riba dain/duyun (riba pada hutang), karena terjadi pada hutang piutang.

Imam Ahmad rahimahullah ditanya tentang riba yang tidak diragukan (keharamannya-pen), dia menjawab, “Riba itu adalah seseorang memiliki piutang, lalu dia berkata kepada orang yang berhutang, “Engkau bayar (sekarang) atau (pembayarannya ditunda tapi dengan) memberi tambahan (riba)?” Jika dia tidak membayar, maka orang yang berhutang memberikan tambahan harta (saat pembayaran), dan pemilik piutang memberikan tambahan tempo[9].

Imam Ibnul ‘Arabi al-Mâliki rahimahullah berkata, “Orang-orang jahiliyyah dahulu biasa berniaga dan melakukan riba. Riba di kalangan mereka telah terkenal.  Yaitu seseorang menjual kepada orang lain dengan hutang. Jika waktu pembayaran telah tiba, orang yang memberi hutang berkata, “Engkau membayar atau memberi riba (tambahan)?” Yaitu: Engkau memberikan tambahan hartaku, dan aku bersabar dengan waktu yang lain. Maka Allâh Azza wa Jalla mengharamkan riba, yaitu tambahan (di dalam hutang seperti di atas-pen)[10].

Dengan penjelasan di atas kita mengetahui bahwa riba jahiliyyah yang dilarang dengan keras oleh Allâh dan RasulNya adalah tambahan nilai hutang sebagai imbalan dari tambahan tempo yang diberikan, sementara tambahan tempo itu sendiri disebabkan ketidakmampuannya membayar hutang pada waktunya. Jika demikian, maka tambahan uang yang disyaratkan sejak awal terjadinya akad hutang-piutang, walaupun tidak jatuh tempo, yang dilakukan oleh bank, BMT, koperasi, dan lainnya, di zaman ini, adalah riba yang lebih buruk dari riba jahiliyyah, walaupun mereka menyebut dengan istilah bunga.

  1. Riba al-Fadhl (riba karena kelebihan).
    Yaitu riba dengan sebab adanya kelebihan pada barang-barang riba yang sejenis, saat ditukarkan.

Riba ini juga disebut riba an-naqd (kontan) sebagai kebalikan dari riba an-nasî‘ah. Juga dinamakan riba khafi (samar) sebagai kebalikan riba jali (nyata)[11].

Barang-barang riba ada enam menurut nash hadits, seperti di bawah ini:

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ

Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu , dia berkata:  Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Emas dengan emas, perak dengan perak, burr (jenis gandum) dengan burr, sya’ir (jenis gandum) dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, harus sama (timbangannya), serah terima di tempat (tangan dengan tangan). Barangsiapa menambah atau minta tambah berarti dia melakukan riba, yang mengambil dan yang memberi dalam hal ini adalah hukumnya sama.” [HR. Muslim, no. 4148]

Bahaya Riba Di Dunia
Berbagai bahaya riba mengancam para pelakunya di dunia sebelum di akhirat, antara lain:

  1. Laknat bagi pelaku riba.

عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.

Dari Jabir Radhiyallahu anhu , dia berkata, “ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat  pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya dan dua saksinya”, dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mereka itu sama.” [HR. Muslim, no. 4177]

  1. Perang dari Allâh Azza wa Jalla dan RasulNya.
    Barangsiapa nekat melakukan riba, padahal larangan sudah sampai kepadanya, maka hendaklah dia bersiap mendapatkan serangan peperangan dari Allâh dan RasulNya. Siapa yang akan menang melawan Allâh? Allâh Azza wa Jalla berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ﴿٢٧٨﴾ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allâh dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allâh dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [Al-Baqarah/2: 278-279]

Bahaya Riba Di Akhirat
Selain bahaya di dunia, maka riba juga mengakibatkan bahaya mengerikan di akhirat, antara lain:

  1. Bangkit dari kubur dirasuki setan.
    Ini telah diberitakan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam al-Qur’ân dan dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya :


عَنْ عَوْفِ بن مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :”إِيَّايَ وَالذُّنُوبَ الَّتِي لا تُغْفَرُ: الْغُلُولُ، فَمَنْ غَلَّ شَيْئًا أَتَى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَآكِلُ الرِّبَا فَمَنْ أَكَلَ الرِّبَا بُعِثَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَجْنُونًا يَتَخَبَّطُ”, ثُمَّ قَرَأَ: “الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ”

Dari ‘Auf bin Malik, dia berkata:  Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jauhilah dosa-dosa yang tidak terampuni: ghulul (mengambil harta rampasan perang sebelum dibagi; khianat; korupsi). Barangsiapa melakukan ghulul terhadap sesuatu barang, dia akan membawanya pada hari kiamat. Dan pemakan riba. Barangsiapa memakan riba akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan gila, berjalan sempoyongan.”

Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca, اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila”. (al-Baqarah/2:275) [HR. Thabrani di dalam Mu’jamul Kabîr, no. 14537; al-Khatib dalam at-Târîkh. Dihasankan oleh syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahîhah, no. 3313 dan Shahîh at-Targhîb, no. 1862]

  1. Akan berenang di sungai darah.

عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ رَجُلَيْنِ أَتَيَانِى ، فَأَخْرَجَانِى إِلَى أَرْضٍ مُقَدَّسَةٍ ، فَانْطَلَقْنَا حَتَّى أَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ مِنْ دَمٍ فِيهِ رَجُلٌ قَائِمٌ ، وَعَلَى وَسَطِ النَّهْرِ رَجُلٌ بَيْنَ يَدَيْهِ حِجَارَةٌ ، فَأَقْبَلَ الرَّجُلُ الَّذِى فِى النَّهَرِ فَإِذَا أَرَادَ الرَّجُلُ أَنْ يَخْرُجَ رَمَى الرَّجُلُ بِحَجَرٍ فِى فِيهِ فَرَدَّهُ حَيْثُ كَانَ ، فَجَعَلَ كُلَّمَا جَاءَ لِيَخْرُجَ رَمَى فِى فِيهِ بِحَجَرٍ ، فَيَرْجِعُ كَمَا كَانَ ، فَقُلْتُ مَا هَذَا فَقَالَ الَّذِى رَأَيْتَهُ فِى النَّهَرِ آكِلُ الرِّبَا

Dari Samurah bin Jundub, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tadi malam aku bermimpi ada dua laki-laki yang mendatangiku, keduanya membawaku ke kota yang disucikan.  Kami berangkat sehingga kami mendatangi sungai darah. Di dalam sungai itu ada seorang laki-laki yang berdiri.  Dan di pinggir sungai ada seorang laki-laki yang di depannya terdapat batu-batu. Laki-laki yang di sungai itu mendekat, jika dia hendak keluar, laki-laki yang di pinggir sungai itu melemparkan batu ke dalam mulutnya sehingga dia kembali ke tempat semula. Setiap kali laki-laki yang di sungai itu datang hendak keluar, laki-laki yang di pinggir sungai itu melemparkan batu ke dalam mulutnya sehingga dia kembali ke tempat semula. Aku bertanya, “Apa ini?” Dia menjawab, “Orang yang engkau lihat di dalam sungai itu adalah pemakan riba’”.  [HR. al-Bukhâri]

  1. Nekat melakukan riba padahal sudah sampai larangan, diancam dengan neraka.
    Allah berfirman :

فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allâh. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. [al-Baqarah/2:275]

Inilah berbagai ancaman mengerikan bagi pelaku riba. Alangkah baiknya mereka bertaubat sebelum terlambat. Sesungguhnya nikmat maksiat hanya sesaat, namun akan membawa celaka di dunia dan di akhirat. Hanya Allâh Azza wa Jalla tempat memohon pertolongan.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XVIII/1436H/2014M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]


Footnote
[1] al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab, 9/391
[2] Majmû’ al-Fatâwâ, 29/391
[3] al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 22/50
[4] al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 22/50
[5] al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 22/50
[6] Lihat Taudhîhul Ahkâm min Bulûghil Marâm, 4/6, karya Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam
[7] Lihat Fathul Bâri pada syarh hadits no: 3814
[8] al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 22/57
[9] ‘I’lâmul Muwaqqi’in
[10] Ahkâmul Qur’an, 1/241, karya Ibnul ‘Arabi
[11] al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 22/58.

Mau Pohon Kurma Di Surga ?

Mau Pohon Kurma Di Surga ?

Ada bacaan dzikir yang ringan yang menjadi tanaman di surga. Apa itu?

وَعَنْ جَابِرٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( مَنْ قَالَ : سُبْحَانَ اللهِ وَبِحمْدِهِ ، غُرِسَتْ لَهُ نَخْلَةٌ فِي الجَنَّةِ )) . رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ، وَقَالَ : (( حَدِيْثٌ حَسَنٌ )).

Diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengucapkan, ‘SUBHANALLOH WA BIHAMDIH’ (Mahasuci Allah dan dengan memuji-Nya), maka ditanamkan untuknya satu pohon kurma di surga.” (HR. Tirmidzi, ia mengatakan bahwa hadits ini hasan) [HR. Tirmidzi, no. 3464. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly menyatakan bahwa hadits ini shahih dengan syawahidnya, yaitu penguatnya]

Hadits #1440

وَعَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : (( لَقِيْتُ إبْرَاهِيمَ لَيلَةَ أُسْرِيَ بِي ، فَقَالَ : يَا مُحَمّدُ أَقْرِىءْ أُمَّتَكَ مِنِّي السَّلاَمَ ، وَأَخْبِرْهُمْ أنَّ الجَنَّةَ طَيَّبَةُ التُّرْبَةِ ، عَذْبَةُ الماءِ ، وأنَّهَا قِيعَانٌ وأنَّ غِرَاسَهَا : سُبْحَانَ اللهِ ، والحَمْدُ للهِ ، وَلاَ إلهَ إِلاَّ اللهُ ، واللهُ أكْبَرُ )) . رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ ، وَقَالَ : (( حَدِيْثٌ حَسَنٌ )) .

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Aku bertemu Ibrahim pada malam aku diperjalankan (Isra’ Mi’raj). Ibrahim berkata, ‘Wahai Muhammad, bacakan salam dariku untuk umatmu dan kabarkan kepada mereka bahwa surga itu tanahnya harum, airnya segar, tanahnya luas/ lapang, dan tanamannya adalah ‘SUBHANALLOH WALHAMDULILLAH WA LAA ILAHA ILLALLOH WALLOHU AKBAR’ (Mahasuci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Allah, dan Allah Mahabesar).’” (HR. Tirmidzi, ia mengatakan bahwa hadits ini hasan) [HR. Tirmidzi, no. 3462. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly menyatakan bahwa hadits ini hasan dengan syawahidnya, yaitu penguatnya]

Faedah Hadits

  1. Berdzikir kepada Allah sebab masuk surga.
  2. Semakin banyak seseorang berdzikir kepada Allah, semakin banyak ia menanam tanaman di surga.
  3. Sifat surga adalah tanahnya harum, airnya segar, sedangkan tanamannya adalah kalimat thoyyibah yaitu dzikrullah.
  4. Hadits ini mendorong kita untuk memperbanyak dzikir agar semakin banyak tanaman di surga.
  5. Adanya mukjizat isra’ mi’raj.
  6. Keutamaan umat Islam sampai Nabi Ibrahim pun menyampaikan salam untuk umat ini.

Referensi:

Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:462-463.

Amalan Yang Sia-sia

Amalan Yang Sia-sia 

Karena tidak ikhlas, membuat amalan kita tidak langgeng. Kadang jadi malas di tengah jalan gara-gara ketika beramal hanya ingin raih pujian. Kadang karena tidak ikhlas, kita pun sulit istiqomah. Bahkan kita pun mudah dilupakan ketika jasad kita telah berada di alam barzakh karena kurang ikhlas dalam karya dan usaha kita. Ikhlas itu begitu penting bagi kita. Sesuatu yang dilakukan ikhlas karena Allah, pasti akan terus langgeng.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

وما لا يكون له لا ينفع ولا يدوم

“Segala sesuatu yang tidak didasari ikhlas karena Allah, pasti tidak bermanfaat dan tidak akan kekal.”  (Dar-ut Ta’arudh Al ‘Aql wan Naql, 2: 188).

Para ulama juga memiliki istilah lain,

ما كان لله يبقى

“Segala sesuatu yang didasari ikhlas karena Allah, pasti akan langgeng.”

Ada juga perkataan dari Imam Malik,

وذكر العلماء أن الإمام ابن أبي ذئب معاصر الإمام مالك وبلديه – قد صنف موطأ أكبر من موطأ مالك حتى قيل لمالك : ما الفائدة في تصنيفك ؟ فقال : ما كان لله بقي ( من ” الرسالة المستطرفة ” ص 9 )

Para ulama menyebutkan bahwa Imam Ibnu Abi Dzi’bi yang semasa dan senegeri dengan Imam Malik pernah menulis kitab yang lebih besar dari Muwatho’. Karena demikian, Imam Malik pernah ditanya, “Apa faedahnya engkau menulis kitab yang sama seperti itu?” Jawaban beliau, “Sesuatu yang ikhlas karena Allah, pasti akan lebih langgeng.” (Ar Risalah Al Mustathrofah, hal. 9. Dinukil dari Muwatho’ Imam Malik, 3: 521).

Cobalah direnungkan wahai saudaraku, betapa banyak yang belajar Islam, namun hasilnya kosong blong. Karena semuanya tidak didasari ikhlas. Padahal ikhlas dalam belajar harus memenuhi empat hal berikut:

1-      Belajarnya untuk menghilangkan kebodohan pada diri sendiri

2-      Belajarnya untuk menghilangkan kebodohan pada orang lain

3-      Belajarnya untuk menghidupkan dan menjaga ilmu

4-      Belajarnya untuk mengamalkan ilmu

Demikian keterangan dari guru kami, Syaikh Sholih Al ‘Ushoimi dalam Ta’zhimul ‘Ilmi. Bagaimana dikatakan ikhlas, jika sebagian orang hanya sibuk belajar Islam untuk saling berbantah-bantahan atau ingin menjatuhkan lainnya. Belajar seperti ini bukanlah maksud dari belajar yang ikhlas. Belajar yang ikhlas tentu saja akan berbuah nasehat yang ikhlas. Nasehat yang ikhlas adalah menginginkan orang lain jadi baik.

Betapa banyak da’i yang dakwahnya tidak ikhlas, sehingga dakwahnya pun sulit langgeng dan bekasnya pun tidak ada pada hati umat. Coba lihat Imam Nawawi, meskipun umurnya singkat, namun ilmunya terus kekal dan langgeng. Karya beliau yang begitu masyhur seperti Hadits Arba’in An NawawiyahRiyadhus Sholihin dan Syarh Shahih Muslim. Bahkan kita dapati beliau punya karya dalam berbagai bidang ilmu. Itu semua dilakukan beliau karena hanya ingin meraih ridho Allah, bukan ingin disebut orang paling cerdas, bukan ingin pula meraih gelar mentereng atau ingin mendapat balasan dunia semata. Jadi, ikhlas itu begitu penting bagi setiap muslim yang bisa membuat ia terus istiqomah dalam berkarya dan beramal. Begitu pula karena ikhlas, meskipun kita sudah di liang lahat, karya-karya kita akan terus dikenang. Apalagi jika yang kita tinggalkan adalah warisan ilmu agama.

Semoga Allah memberi taufik pada kita agar setiap langkah kita bertujuan untuk menggapai ridho-Nya.