Sibuk Memikirkan Aib Sendiri

Sibuk Memikirkan Aib Sendiri 

Segala puji bagi Allah, Rabb yang telah menunjuki jalan pada bersihnya hati. Sungguh beruntung orang yang mau mensucikan hatinya. Sungguh merugi orang yang mengotori hatinya. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Mengapa diri ini selalu menyibukkan diri dengan membicarakan aib orang lain, sedangkan ‘aib besar yang ada di depan mata tidak diperhatikan. Akhirnya diri ini pun sibuk menggunjing, membicarakan ‘aib saudaranya padahal ia tidak suka dibicarakan. Jika dibanding-bandingkan diri kita dan orang yang digunjing, boleh jadi dia lebih mulia di sisi Allah. Demikianlah hati ini seringkali tersibukkan dengan hal yang sia-sia. Semut di seberang lautan seakan nampak, namun gajah di pelupuk mata seakan-akan tak nampak, artinya aib yang ada di diri kita sendiri jarang kita perhatikan.

Daftar Isi tutup

  1. ‘Aibmu Sendiri yang Lebih Seharusnya Engkau Perhatikan
  2. Anggap Diri Kita Lebih Rendah Dari Orang Lain
  3. Mengapa Sibuk Membicarakan ‘Aib Orang Lain?
    ‘Aibmu Sendiri yang Lebih Seharusnya Engkau Perhatikan
    Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

يبصر أحدكم القذاة في أعين أخيه، وينسى الجذل- أو الجذع – في عين نفسه

“Salah seorang dari kalian dapat melihat kotoran kecil di mata saudaranya tetapi dia lupa akan kayu besar yang ada di matanya.” [Semut di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tak nampak, pen].[1]

Wejangan Abu Hurairah ini amat bagus. Yang seharusnya kita pikirkan adalah ‘aib kita sendiri yang begitu banyak. Tidak perlu kita bercapek-capek memikirkan ‘aib orang lain, atau bahkan menceritakan ‘aib saudara kita di hadapan orang lain. ‘Aib kita, kitalah yang lebih tahu. Adapun ‘aib orang lain, sungguh kita tidak mengetahui seluk beluk hati mereka.

Anggap Diri Kita Lebih Rendah Dari Orang Lain
‘Abdullah Al Muzani mengatakan,

إن عرض لك إبليس بأن لك فضلاً على أحد من أهل الإسلام فانظر، فإن كان أكبر منك فقل قد سبقني هذا بالإيمان والعمل الصالح فهو خير مني، وإن كان أصغر منك فقل قد سبقت هذا بالمعاصي والذنوب واستوجبت العقوبة فهو خير مني، فإنك لا ترى أحداً من أهل الإسلام إلا أكبر منك أو أصغر منك.

“Jika iblis memberikan was-was kepadamu bahwa engkau lebih mulia dari muslim lainnya, maka perhatikanlah. Jika ada orang lain yang lebih tua darimu, maka seharusnya engkau katakan, “Orang tersebut telah lebih dahulu beriman dan beramal sholih dariku, maka ia lebih baik dariku.” Jika ada orang lainnya yang lebih muda darimu, maka seharusnya engkau katakan, “Aku telah lebih dulu bermaksiat dan berlumuran dosa serta lebih pantas mendapatkan siksa dibanding dirinya, maka ia sebenarnya lebih baik dariku.” Demikianlah sikap yang seharusnya engkau perhatikan ketika engkau melihat yang lebih tua atau yang lebih muda darimu.”[2]

Mengapa Sibuk Membicarakan ‘Aib Orang Lain?
Jika kita memperhatikan nasehat-nasehat di atas, maka sungguh kita pasti tak akan ingin menggunjing orang lain karena ‘aib kita sendiri terlalu banyak. Itulah yang kita tahu.

Menceritakan ‘aib orang lain tanpa ada hajat sama sekali, inilah yang disebut dengan ghibah. Karena ghibah artinya membicarakan ‘aib orang lain sedangkan ia tidak ada di saat pembicaraan. ‘Aib yang dibicarakan tersebut, ia tidak suka diketahui oleh orang lain.

Keterangan tentang ghibah dijelaskan dalam hadits berikut,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ

Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya, “Tahukah kamu, apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu tentang dirinya, maka berarti kamu telah menggibahnya (menggunjingnya). Namun apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah menfitnahnya (menuduh tanpa bukti).”[3] Ghibah dan menfitnah (menuduh tanpa bukti) sama dua keharaman. Namun untuk ghibah dibolehkan jika ada tujuan yang syar’i yaitu dibolehkan dalam enam keadaan sebagaimana dijelaskan oleh Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullah. Enam keadaan yang dibolehkan menyebutkan ‘aib orang lain adalah sebagai berikut:

Mengadu tindak kezholiman kepada penguasa atau pada pihak yang berwenang. Semisal mengatakan, “Si Ahmad telah menzholimiku.”
Meminta tolong agar dihilangkan dari suatu perbuatan mungkar dan untuk membuat orang yang berbuat mungkar tersebut kembali pada jalan yang benar. Semisal meminta pada orang yang mampu menghilangkan suatu kemungkaran, “Si Rahmat telah melakukan tindakan kemungkaran semacam ini, tolonglah kami agar lepas dari tindakannya.”
Meminta fatwa pada seorang mufti seperti seorang bertanya mufti, “Saudara kandungku telah menzholimiku demikian dan demikian. Bagaimana caranya aku lepas dari kezholiman yang ia lakukan.”
Mengingatkan kaum muslimin terhadap suatu kejelekan seperti mengungkap jeleknya hafalan seorang perowi hadits.
Membicarakan orang yang terang-terangan berbuat maksiat dan bid’ah terhadap maksiat atau bid’ah yang ia lakukan, bukan pada masalah lainnya.
Menyebut orang lain dengan sebutan yang ia sudah ma’ruf dengannya seperti menyebutnya si buta. Namun jika ada ucapan yang bagus, itu lebih baik.[4]
Adapun dosa ghibah dijelaskan dalam firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12)

Kata Ibnu Katsir rahimahullah, “Ghibah diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama). Dan tidak ada pengecualian dalam hal ini kecuali jika benar-benar jelas maslahatnya.”[5]

Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Allah Ta’ala memisalkan ghibah (menggunjing orang lain) dengan memakan bangkai seseorang. Karena bangkai sama sekali tidak tahu siapa yang memakan dagingnya. Ini sama halnya dengan orang yang hidup juga tidak mengetahui siapa yang menggunjing dirinya. Demikianlah keterangan dari Az Zujaj.”[6]

Asy Syaukani rahimahullah kembali menjelaskan, “Dalam ayat di atas terkandung isyarat bahwa kehormatan manusia itu sebagaimana dagingnya. Jika daging manusia saja diharamkan untuk dimakan, begitu pula dengan kehormatannya dilarang untuk dilanggar. Ayat ini menjelaskan agar seseorang menjauhi perbuatan ghibah. Ayat ini menjelaskan bahwa ghibah adalah perbuatan yang teramat jelek. Begitu tercelanya pula orang yang melakukan ghibah.”[7]

Jika kita sudah tahu demikian tercelanya membicarakan ‘aib saudara kita –tanpa ada maslahat-, maka sudah semestinya kita menjauhkan diri dari perbuatan tersebut. ‘Aib kita sebenarnya lebih banyak karena itulah yang kita ketahui. Dibanding ‘aib orang lain, sungguh kita tidak mengetahui seluk beluk dirinya.

Nasehat ini adalah nasehat untuk diri sendiri karena asalnya nasehat adalah memang demikian. Ya Allah, tunjukkanlah pada kami jalan untuk selalu memperbaiki jiwa ini. Amin Yaa Samii’um Mujiib.

Sore hari menjelang berbuka, 5 Ramadhan 1431 H (15 Agustus 2010)

Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal


[1] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 592. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih.

[2] Hilyatul Awliya’, Abu Nu’aim Al Ashbahani, Mawqi’ Al Waroq, 1/310.

[3] HR. Muslim no. 2589, Bab Diharamkannya Ghibah.

[4] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392, 16/124-125.

[5] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muassasah Qurthubah, 13/160.

[6] Fathul Qodir, Muhammad bin ‘Ali, Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir, 7/17.

[7] Idem.

Pintu-pintu Kebaikan Dan Kewajiban Menjaga Lisan

Pintu-pintu Kebaikan Dan Kewajiban Menjaga Lisan 

عَنْ  مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ؛ قَالَ : قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ! أَخْبِرْنِـيْ بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِـيْ الْـجَنَّةَ ، وَيُبَاعِدُنِـيْ مِنَ النَّارِ. قَالَ : «لَقَدْ سَأَلْتَ  عَنْ عَظِيْمٍ ، وَإِنَّهُ لَيَسِيْرٌ عَلَى مَنْ يَسَّرَهُ اللهُ تَعَالَـى عَلَيْهِ : تَعْبُدُ اللهَ لاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا ، وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ ، وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ ، وَتَصُوْمُ رَمَضَانَ ، وَتَحُجُّ الْبَيْتَ». ثُمَّ قَالَ : «أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَـى أَبْوَابِ الْـخَيْرِ ؟ الصَّوْمُ جُنَّةٌ ، وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْـخَطِيْئَةَ كَمَـا يُطْفِئُ الْـمَـاءُ النَّارَ ، وَصَلاَةُ الرَّجُلِ فِـيْ جَوْفِ اللَّيْلِ» ، ثُمَّ تَلاَ : تَتَجَافَـى جُنُوْبُهُمْ عَنِ الْـمَضَاجِعِ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّـا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ  فَلاَ تَعْلَمُ نَفْسٌ مَآ أُخْفِيَ لَــهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَآءً بِـمَـا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ  [السجدة : ١٦-١٧]. ثُمَّ قَالَ : «أَلاَ أُخْبِرُكَ بِرَأْسِ اْلأَمْرِ ، وَعَمُوْدِهِ ، وَذِرْوَةِ سَنَامِهِ ؟» قُلْتُ : بَلَـى يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ : «رَأْسُ اْلأَمْرِ اْلإِسْلاَمُ ، وَعَمُوْدُهُ الصَّلاَةُ ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْـجِهَادُ». ثُمَّ قَالَ : «أَلاَ أُخْبِرُكَ بِمِلاَكِ ذَلِكَ كُلِّهِ ؟». قُلْتُ : بَلَـى يَا رَسُوْلَ اللهِ. فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ ، ثُمَّ قَالَ : «كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا». قُلْتُ : يَا نَبِيَّ اللهِ ! وَإِنَّا لَـمُؤَاخَذُوْنَ بِـمَـا نَتَكَلَّمُ بِهِ ؟ فَقَالَ : «ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ ! وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِـى النَّارِ عَلَـى وُجُوْهِهِمْ – أَوْقَالَ : عَلَـى مَنَاخِرِهِمْ – إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ». رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَقَالَ : حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ

Dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Wahai Rasulullâh! Jelaskan kepadaku amal perbuatan yang memasukkanku ke surga dan menjauhkanku dari neraka?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, engkau telah bertanya tentang sesuatu yang besar, namun itu mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah Azza wa Jalla di dalamnya, yaitu: engkau beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, melaksanakan shalat, membayar zakat, berpuasa Ramadhan, dan haji ke Baitullah.” Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah engkau aku tunjukkan pintu-pintu kebaikan? Puasa adalah perisai, sedekah memadamkan kesalahan sebagaimana air memadamkan api, dan shalat seseorang di tengah malam.” Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah Azza wa Jalla , “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, mereka berdoa kepada Rabb-nya dengan rasa takut dan penuh harap, dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Maka, tidak seorang pun mengetahui apa  yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan hati sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan.” (as-Sajdah/32:16-17). Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah engkau aku jelaskan tentang pokok segala perkara, tiang-tiang, dan puncaknya?” Aku berkata, “Mau, wahai Rasulullâh.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pokok segala perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad.” Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah engkau aku jelaskan mengenai hal yang menjaga itu semua?” Aku menjawab, “Mau, wahai Rasulullâh.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang lidahnya kemudian bersabda, “Jagalah ini (lidah).” Aku berkata, “Wahai Nabiyullâh, apakah kita akan disiksa karena apa yang kita katakan?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mudah-mudahan Allah Azza wa Jalla menyayangi ibumu, wahai Mu’adz! bukanlah manusia terjungkir di neraka di atas wajah mereka -atau beliau bersabda: di atas hidung mereka-  melainkan dengan sebab lisan mereka.” [Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi. Beliau mengatakan, “Hadits ini hasan shahîh.”]

TAKHRIJ HADITS.
Hadits ini shahîh dengan seluruh jalannya, diriwayatkan oleh:

Ahmad 5/230, 236, 237, 245
At-Tirmidzi no. 2616
An-Nasâ-i dalam As-Sunanul Kubra no. 11330
Ibnu Mâjah no. 3973
‘Abdurrazzâq dalam Al-Mushannaf  no. 20303
Ibnu Abi Syaibah dalam Kitâbul Imân no. 1, 2
Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra 9/20
Ath-Thabrâni dalam Al-Mu’jamul Kabîr 20/no. 200, 291, 294, 304, 305
Al-Hâkim 2/412-413
Ibnu Hibbân no. 214-At-Ta’lîqâtul Hisân
SYARAH HADITS.
AMAL SHALIH SEBAGAI SEBAB MASUK SURGA
Perkataan Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu, “Wahai Rasulullâh! Jelaskan kepadaku amal perbuatan yang memasukkanku ke surga dan menjauhkanku dari neraka?”

Dalam riwayat Imam Ahmad tentang hadits Mu`âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu disebutkan bahwa ia berkata,

يَا رَسُوْلَ اللهِ! إِنِّـيْ أُرِيْدُ أَنْ أَسْأَلَكَ عَنْ كَلِمَةٍ قَدْ أَمْرَضَتْنِيْ وَ أَسْقَمَتْنِيْ وَأَحْرَقَتْنِيْ. قَالَ : «سَلْ عَمَّـا شِئْتَ» قَالَ : أَخْبِرْنِـيْ بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِـي الْـجَنَّةَ لاَ أَسْأَلُكَ غَيْرَهُ

Wahai Rasulullâh! Aku ingin bertanya kepadamu tentang satu kalimat yang telah membuatku sakit, menderita, dan sedih.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tanyakan apa saja yang engkau kehendaki.” Mu’âdz bin Jabal z berkata, “Jelaskan kepadaku tentang satu perbuatan yang memasukkanku ke surga dan aku tidak bertanya kepadamu selain pertanyaan ini?

Ini menunjukkan kuatnya perhatian dan kepedulian Mu`âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu terhadap amal-amal shaleh, dan di dalamnya terdapat dalil bahwa amal-amal menjadi penyebab seseorang masuk ke surga, seperti difirmankan Allah Azza wa Jalla.

وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِي أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal perbuatan yang telah kamu kerjakan.” [az-Zukhruf/43:72]

Adapun sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,

لَنْ يَدْخُلَ الْـجَنَّةَ أَحَدٌ مِنْكُمْ بِعَمَلِهِ

Salah seorang dari kalian tidak akan masuk surga karena amalnya.[1]

Maksudnya, wallâhu a`lam, bahwa amal itu sendiri tidak membuat seseorang berhak atas surga jika Allah Azza wa Jalla tidak menjadikan amalnya dengan karunia dan rahmatnya sebagai penyebab dirinya masuk surga. Amal merupakan rahmat Allah Azza wa Jalla dan karunianya kepada hamba-Nya. Jadi, surga dan penyebab-penyebabnya, semua berasal dari karunia dan rahmat Allah Azza wa Jalla .

PERKARA YANG BESAR
Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Sungguh, engkau bertanya tentang sesuatu yang besar.”

Masuk surga dan selamat dari neraka adalah sesuatu yang sangat agung, karena ia adalah kesuksesan yang hakiki. Allah Azza wa Jalla berfirman:

فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ

Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan  [Ali Imrân/3:185]

Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada seseorang, “Apa yang engkau ucapkan jika engkau shalat?” Orang tersebut menjawab, “Aku meminta surga kepada Allah Azza wa Jalla dan berlindung kepada-Nya dari neraka. Aku tidak mampu melakukan sebaik seruanmu dan seruan Muadz Radhiyallahu anhu.” Orang itu mengisyaratkan betapa banyaknya doa dan usaha beliau dan Muadz Radhiyallahu anhu dalam meminta. Kemudian Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Di seputar itulah seruan kami.” Dalam riwayat lain, “Tidaklah seruanku dan seruan Mu`adz Radhiyallahu anhu melainkan kami meminta surga kepada Allah Azza wa Jalla dan berlindung kepada-Nya dari neraka”[2]

Selamat dari neraka jahannam adalah perkara yang besar karena manusia yang paling ringan siksanya di neraka ialah seseorang yang diletakkan batu panas di bawah kedua mata kakinya lalu otaknya mendidih karenanya. Karena itulah Allah Azza wa Jalla mengutus para rasul kepada hamba-hamba-Nya agar mereka menjadi sebab keselamatan manusia dari neraka dan sukses mendapat surga. Oleh karena itu, para nabi mampu memikul beban berat yang tidak dapat dipikul oleh gunung-gunung yang kokoh.[3]

HIDAYAH TAUFIQ HANYA MILIK ALLAH AZZA WA JALLA
Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Namun itu mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah Azza wa Jalla di dalamnya.”

Sabda beliau ini merupakan isyarat bahwa hidayah taufik seluruhnya berada di tangan Allah Azza wa Jalla . Siapa saja yang diberi kemudahan oleh Allah Azza wa Jalla untuk memperoleh hidayah, maka ia mendapatkan petunjuk dan siapa saja yang tidak diberikan kemudahan oleh Allah Azza wa Jalla untuk memperoleh hidayah, maka ia tidak memperoleh petunjuk. Allah Azza wa Jalla berfirman,

فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَاتَّقَىٰ﴿٥﴾وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَىٰ﴿٦﴾فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ﴿٧﴾وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَىٰ﴿٨﴾وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَىٰ﴿٩﴾فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَىٰ

Maka barangsiapa memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga), maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan). Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak perlu pertolongan Allah) serta mendustakan (pahala) yang terbaik, maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kesukaran (kesengsaraan).” [al-Lail/92:5-10]

Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اِعْمَلُوْا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِـمَـا خُلِقَ لَهُ ، أَمَّا أَهْلُ السَّعَادَةِ ؛ فَيُيَسَّرُوْنَ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ ، وَأَمَّا أَهْلُ الشَّقَاوَةِ ؛ فَيُيَسَّرُوْنَ لِعَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ

Beramallah kalian! Karena segala hal dipermudah kepada apa yang diciptakan untuknya. Adapun orang-orang yang bahagia, mereka dipermudah kepada amal perbuatan orang-orang bahagia dan sedang orang-orang celaka dipermudah kepada amal perbuatan orang-orang celaka.

Kemudian Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat di atas.[4]


Allah Azza wa Jalla mengabarkan tentang Nabi Mûsa Alaihissallam yang berkata dalam doanya.

قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي﴿٢٥﴾وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي

Wahai Rabb-ku, lapangkanlah dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku  [Thâhâ/20:25-26]

RUKUN ISLAM
Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Engkau beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, melaksanakan shalat, membayar zakat, berpuasa Ramadhan, dan haji ke Baitullâh.”

Jawaban Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menunjukkan bahwa mengerjakan kewajiban-kewajiban agama adalah sebagai sebab masuk surga. Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam hadits ini rukun Islam yang lima.

PINTU-PINTU KEBAIKAN
Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Maukah engkau aku tunjukkan pintu-pintu kebaikan?”

Karena, masuk surga dan dijauhkan dari neraka itu disebabkan mengerjakan kewajiban-kewajiban Islam, maka setelah itu Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan ibadah-ibadah sunnah yang merupakan pintu-pintu kebaikan. Sebab, wali-wali Allah Azza wa Jalla yang paling mulia adalah al-muqarrabûn, yaitu orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla dengan mengerjakan ibadah-ibadah sunnah setelah mengerjakan ibadah-ibadah wajib.

  1. PUASA
    Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Puasa adalah perisai.”
    Sabda di atas diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari banyak jalur. Sabda tersebut diriwayatkan dalam Shahîhul-Bukhâri dan Shahîh Muslim dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Puasa adalah perisai selagi tidak dirobek, yakni dirobek dengan perkataan jelek dan lain sebagainya. Oleh karena itu, Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلصَّوْمُ جُنَّةٌ ، فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ فَلاَ يَجْهَلْ ، إِنِ امْرُؤٌ سَابَّهُ فَلْيَقُلْ : إِنِّـي امْرُؤٌ صَائِمٌ

Puasa adalah perisai, karenanya, pada hari puasa salah seorang dari kalian maka ia tidak  boleh berkata jelek, membodohkan. Dan jika ia dihina seseorang maka hendaklah ia berkata, ‘Aku orang yang  berpuasa.’[5]

Ibnul Munkadir rahimahullah berkata, “Jika orang berpuasa melakukan ghibah (menggunjing orang lain), maka puasanya menjadi robek. Jika ia  beristighfar, ia menambalnya.”[6]

Perisai ialah sesuatu yang digunakan oleh seorang hamba sebagai tameng seperti perisai yang melindunginya dari pukulan ketika berperang. Puasa juga demikian, ia melindungi pelakunya dari berbagai kemaksiatan di dunia, seperti difirmankan Allah Azza wa Jalla,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. [al-Baqarah/2:183]

Jika puasa merupakan perisai dari kemaksiatan-kemaksiatan bagi seorang hamba di dunia, maka puasa merupakan perisai baginya dari neraka. Jika seseorang tidak mempunyai perisai dari kemaksiatan-kemaksiatan di dunia, ia tidak mempunyai perisai dari neraka di akhirat.[7]

Seorang Muslim disyari’atkan melakukan puasa yang wajib di bulan Ramadhan kemudian dianjurkan melakukan puasa-puasa sunnah, di antaranya:

Puasa hari ‘Asyura (tanggal 10 Muharram)
Puasa hari ‘Arafah bagi selain jama’ah haji.
Puasa hari Senin dan Kamis.
Puasa tiga hari di setiap bulan.
Puasa Nabi Dawud.
Puasa enam hari di bulan Syawwal.
Puasa di bulan Sya’ban.

  1. SEDEKAH [8]
    Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Sedekah memadamkan kesalahan sebagaimana air memadamkan api.”

Sabda beliau ini diriwayatkan juga dari jalur-jalur periwayatan lainnya. Diriwayatkan dari Ka’ab bin ‘Ujrah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

اَلصَّوْمُ جُنَّةٌ حَصِيْنٌ ، وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْـخَطِيْئَةَ كَمَـا يُطْفِئُ الْـمَـاءُ النَّارَ

Puasa adalah perisai yang kokoh dan sedekah memadamkan kesalahan sebagaimana air memadamkan api.[9]

Allah Azza wa Jalla berfirman,

إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ ۖ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۚ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِنْ سَيِّئَاتِكُمْ 

Jika kamu menampakkan sedekah-sedekah kamu maka itu baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu dan Allah akan menghapus sebagian kesalahan-kesalahanmu…” [al-Baqarah/2:271]

Firman Allah Azza wa Jalla ini menunjukkan bahwa sedekah menghapus kesalahan-kesalahan, baik sedekah yang tampak atau sedekah secara rahasia, selama dilakukan ikhlas semata-mata karena Allah Azza wa Jalla .

  1. SHALAT MALAM
    Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Dan shalat seseorang di tengah malam.”

Maksudnya, shalat juga menghapuskan kesalahan sebagaimana halnya sedekah.

Di sabdanya tersebut, Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan waktu terbaik melaksanakan shalat Tahajjud di malam hari, yaitu tengah malam. Diriwayatkan dari Abu ‘Umâmah Radhiyallahu anhu,

قِيْلَِ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ! أَيُّ الدُّعَاءِ أَسْمَعُ ؟ قَالَ : «جَوْفُ اللَّيْلِ الْآخِرِ ، وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْـمَكْتُوْبَاتِ»

Dikatakan, ‘Wahai Rasulullâh! Doa apakah yang paling didengar?’ Beliau menjawab, ‘Di tengah malam terakhir dan setelah shalat-shalat wajib.’[10]

Ada yang mengatakan bahwa jika tengah malam dimutlakkan, maka yang dimaksud ialah pertengahan malam. Jika dikatakan, “Tengah malam terakhir.” Maka yang dimaksud adalah tengah malam kedua, yaitu 1/3 malam terakhir Waktu itulah saat turunnya Allah Azza wa Jalla ke langit dunia.

Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

Shalat terbaik setelah shalat wajib adalah shalat malam (qiyâmul lail).[11]

Qiyâmul lail juga menghapuskan kesalahan-kesalahan karena qiyâmul lail adalah shalat sunnah terbaik. Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيلِ فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِيْنَ قَبْلَكُمْ ، وَإِنَّ قِيَامَ اللَّيْلِ قُرْبَةٌ إِلَـى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ، وَمَنْهَاةٌ عَنِ اْلإِثْمِ ، وَتُكَفِّرُ السَّيِّئَاتِ ، وَمَطْرَدَةٌ  لِلدَّاءِ عَنِ الْـجَسَدِ

Hendaklah kalian mengerjakan qiyâmul lail, karena qiyâmul lail adalah kebiasaan orang-orang shalih sebelum kalian, ibadah pendekat kepada Allah Azza wa Jalla , pencegah dari dosa, penghapus kesalahan-kesalahan, dan pengusir penyakit dari badan.[12]

Perkataan Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu , “Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah Azza wa Jalla , “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, mereka berdoa kepada Rabb-nya dengan rasa takut dan penuh harap, dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Maka tidak seorang pun mengetahui apa  yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan hati sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan.” [as-Sajdah/32:16-17]

Maksudnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kedua ayat di atas setelah menyebutkan shalat malam untuk menjelaskan keutamaan shalat malam. Karena, Allah Azza wa Jalla memuji orang-orang yang bangun di tengah malam ketika manusia sedang tidur, ia melakukan shalat malam dan berdoa kepada Allah Azza wa Jalla .

Pujian ini mencakup orang yang tidak tidur sampai fajar terbit kemudian mengerjakan shalat Shubuh, terutama ketika itu rasa kantuk ingin tidur begitu kuat. Oleh karena itu, muadzdzin disyariatkan membaca, “Ash-shalâtu khairun minan naûm (shalat lebih baik daripada tidur) di adzan Shubuhnya.”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang orang-orang yang menunggu shalat ‘Isyâ,

إِنَّكُمْ لَنْ تَزَالُوْا فِـيْ صَلاَةٍ مَا انْتَظَرُوْا الصَّلاَةَ

Sesungguhnya kalian selalu dalam shalat selama kalian menunggu shalat. [13]

POKOK SEGALA PERKARA, TIANG-TIANGNYA, DAN PUNCAKNYA
Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Maukah engkau aku jelaskan tentang pokok segala perkara, tiang-tiangnya, dan puncaknya?” Aku berkata, “Mau, wahai Rasulullâh.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pokok segala perkara adalah Islam, tiang-tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad.”

Pada hadits di atas, Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tiga hal: pokok segala sesuatu, tiangnya, dan puncaknya.

Adapun pokok segala perkara dan yang dimaksud dengan perkara dalam hadits di atas ialah agama yang dibawa oleh Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yaitu Islam. Perkara tersebut diriwayat lain ditafsirkan dengan dua kalimat syahadat. Jadi, barangsiapa tidak mengakui keduanya lahir-batin, ia tidak termasuk bagian dari Islam.[14]

Kedudukan dua kalimat syahadat dalam agama Islam ialah seperti kedudukan kepala bagi seluruh anggota tubuh. Apabila kepala telah putus, maka tidak ada kehidupan bagi manusia setelahnya. Demikian pula tidak ada agama bagi orang yang tidak menetapkan dua kalimat syahadat.[15]

Tiang agama yang menjadikan agama Islam tegak ialah shalat, sebagaimana tenda tegak di atas tiang-tiangnya. Demikian pula agama seorang hamba tidak akan tegak tanpa shalat.

Sedang puncak perkara ialah jihad. Ini menunjukkan bahwa jihad adalah amal perbuatan terbaik setelah ibadah-ibadah wajib, seperti dikatakan Imam Ahmad rahimahullah dan  para Ulama lainnya.[16]

Kedudukan jihad adalah kedudukan yang paling tinggi dalam Islam, karena dengan jihad kalimat Allah Azza wa Jalla menjadi yang paling tinggi, agama Islam menang di atas seluruh agama, dan melenyapkan pelaku kebatilan dari kalangan munafik, Yahudi, dan Nasrani.[17]

Dari Abu Dzar Radhiyallahu anhu berkata,


يَا رَسُوْلَ اللهِ ! أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ ؟  قَالَ : إِيْمَـانٌ بِاللهِ وَجِهَادٌ فِـيْ سَبِيْلِ اللهِ

“Wahai Rasulullâh! Amal apakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah Azza wa Jalla dan berjihad di jalan-Nya.”[18]

Dan hadits-hadits yang semakna dengannya sangat banyak.

KEWAJIBAN MENJAGA LISAN
Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Maukah engkau aku jelaskan tentang sesuatu yang dapat menjaga itu semua?” Aku menjawab, “Mau, wahai Rasulullâh.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang lidahnya kemudian bersabda, “Jagalah ini (lidah)…” sampai akhir hadits

Ini menunjukkan bahwa menjaga lisan, berhati-hati dalam berbicara, dan memenjarakannya merupakan inti seluruh kebaikan. Barangsiapa mampu mengendalikan lidahnya, maka ia menguasai perkaranya dan mengendalikannya.[19]

Yang dimaksud dengan hasil lidah ialah balasan dan hukuman atas perkataan yang diharamkan. Pada dasarnya, manusia menanam berbagai kebaikan dan kesalahan dengan perkataan dan perbuatannya, kemudian pada  hari Kiamat ia menuai apa yang ia telah tanam. Barangsiapa menanam kebaikan, baik berupa perkataan ataupun perbuatan, ia menuai kemuliaan. Dan barangsiapa menanam keburukan, baik berupa perkataan dan perbuatan, kelak ia menuai penyesalan.

Zhahir hadits Mu’âdz di atas menunjukkan bahwa sesuatu yang paling banyak memasukkan manusia ke neraka ialah berkata dengan lidah. Di antara hal yang termasuk perbuatan maksiat berupa perkataan ialah syirik, yang merupakan dosa paling besar di sisi Allah Azza wa Jalla . Kemudian, berkata tentang Allah Azza wa Jalla tanpa atas dasar ilmu; dan dosa seperti ini juga setara dengan syirik. Kemudian persaksian palsu yang merupakan dosa besar. Termasuk di dalamnya sihir, menuduh orang baik-baik melakukan zina, dan dosa-dosa besar lainnya seperti berbohong, menggunjing, mengadu domba, dan seluruh kemaksiatan yang berbentuk tindakan yang pada umumnya didukung perkataan.[20]

Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ اْلأَجْوَفَانِ : الْفَمُ وَالْفَرْجُ

Yang paling banyak memasukkan manusia ke neraka ialah dua hal: yaitu mulut dan kemaluan.[21]

Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيْهَـا يَزِلُّ بِهَا فِـي النَّارِ أَبْعَدُ مِمَّـا بَيْنَ الْـمَشْرِقِ وَالْـمَغْرِبِ

Sesungguhnya seseorang mengatakan suatu ucapan yang  tidak ia perhatikan isinya, menyebabkan ia terjerumus ke neraka lebih jauh daripada antara timur dan  barat.[22]

Al-Hasan rahimahullah berkata, “Lidah adalah komandan tubuh. Jika lidah berbuat dosa kepada organ tubuh, maka organ tubuh menjadi berdosa. Jika lidah menahan diri, organ tubuh menahan diri.”[23]

Yûnus bin ‘Ubaid rahimahullah berkata, “Aku tidak melihat seseorang di mana lidahnya berada di atas kebaikan, melainkan aku melihatnya sebagai kebaikan di seluruh organ tubuhnya.”[24]

FAWAA-ID HADITS

Tingginya cita-cita dan kemauan dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu dimana ia tidak bertanya kepada Rasulullâh tentang dunia, tetapi bertanya tentang akhirat.
Menetapkan adanya surga dan neraka, dan mengimani keduanya termasuk rukun iman.
Bahwa amal shalih itu memasukkan ke surga dan menjauhkan dari neraka karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan hal ini.
Masuk surga dan dijauhkan dari neraka adalah perkara yang besar, dan tujuan hidup seorang Mukmin adalah surga.
Hidayah taufik hanyalah milik Allah Azza wa Jalla .
Meskipun perkara tersebut agung (berat) tetapi hal itu mudah bagi orang yang diberikan kemudahan oleh Allah Azza wa Jalla .
Sudah selayaknya bagi manusia untuk memohon kemudahan kepada Allah Azza wa Jalla dalam masalah agama dan dunianya karena orang yang tidak diberi kemudahan oleh Allah Azza wa Jalla maka segala sesuatu menjadi sulit baginya.
Hadits ini menyebutkan tentang rukun Islam yang lima.
Kewajiban yang paling besar adalah beribadah kepada Allah Azza wa Jalla , yaitu mentauhidkan Allah Azza wa Jalla dan menjauhkan segala macam perbuatan syirik.
Puasa adalah perisai dari perbuatan dosa di dunia dan perisai dari api neraka di akhirat. Karena itu haram bagi manusia melakukan perbuatan dosa dan maksiat pada saat berpuasa. Ini menunjukkan keutamaan puasa.
Shadaqah itu menghapuskan kesalahan, dan ini menunjukkan keutamaan serta anjuran untuk bersedekah, dan sedekah menghapuskan kesalahan sebagaimana air memadamkan api.
Bertahap dalam memberikan pelajaran kepada manusia, dengan memulai dari perkara yang paling penting kemudian yang penting dan seterusnya.
Keutamaan mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla dengan melakukan ibadah-ibadah sunnah sesudah yang wajib.
Keutamaan orang yang bangun di tengah malam untuk shalat malam (Tahajjud dan Witir), berdo’a, dan bermunajat kepada Allah Azza wa Jalla dengan rasa harap dan cemas serta mohon ampunan kepada Allah Azza wa Jalla di waktu sahur.
Hendaklah seseorang berdo’a kepada Allah Azza wa Jalla dengan rasa harap dan cemas.
Pokok segala urusan, yaitu urusan dunia dan akhirat adalah Islam.
Shalat adalah tiang agama, dan bangunan tidak menjadi tegak kecuali dengannya. Dan hadits ini menunjukkan pentingnya masalah shalat.
Keutamaan dan anjuran untuk berjihad. Jihad adalah puncak agama Islam karena dengan jihadlah kalimat Allah Azza wa Jalla menjadi tegak dan tinggi.
Bahwa kunci dari semua perkara di atas ialah menjaga lisan.
Bahayanya lisan jika tidak dijaga karena bisa jadi dengan satu kalimat yang dimurkai Allah Azza wa Jalla , menyebabkan seseorang masuk neraka.
Di antara penduduk neraka, ada yang diseret di atas wajah mereka. Wal’iyâdzu billâh. Nas-alullâha as-salâmah wal ‘âfiyah.
MARAJI’

Al-Qurân dan terjemahnya. Shahîhul-Bukhâri. Shahîh Muslim. Musnad Imam Ah Sunan Abu Dâwud. Sunan at-Tirmidzi. Sunan an-Nasâ-i. Sunan Ibnu Mâjah. Shahîh Ibnu Hibbân (At-Ta’lîqâtul Hisân.) Hilyatul Auliyâ, karya Abu Nu’aim.
Kitâbush Shamt, karya Ibnu Abid Dunya.
Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhîm Bâjis.
Qawâ’id wa Fawâ-id minal ‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nâzhim Muhammad Sulthân.
Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIII/1430H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]


Footnote
[1] Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 5673 dan Muslim no. 2816 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[2] Shahîh: HR. Ahmad 3/474, Abu Dâwud no. 792, Ibnu Mâjah no. 910, 3847 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[3] Qawâ’id wa Fawâ-id hlm. 256
[4] Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 1362, Muslim no. 2647, Ahmad 1/82, Abu Dâwud no. 4694, at-Tirmidzi no. 2136, Ibnu Mâjah no. 78, dan Ibnu Hibbân no. 334, 335- At-Ta’lîqâtul Hisân dari ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu.
[5] Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 1894 dan Muslim no. 1151, dan Ibnu Hibbân no. 3416, 3427 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[6] Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/139
[7] Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/139
[8] Tentang sedekah dan berbagai keutamaannya, silakan lihat buku penulis SEDEKAH sebagai bukti keimanan dan penghapus dosa, cet. II Pustaka at-Taqwa-Bogor.
[9] Shahîh: HR. Ahmad 3/321, 399, at-Tirmidzi no. 614, ath-Thabrâni dalam Al-Mu’jamul Kabîr 19/212, dan Ibnu Hibbân no. 1720-At-Ta’lîqâtul Hisân.
[10] Hasan dengan berbagai penguatnya, HR. at-Tirmidzi no. 3499, an-Nasâ-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 108
[11] Shahîh: HR. Muslim no. 1163 (202) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu .
[12] Hasan: HR. at-Tirmidzi no. 3549 dari Bilâl bin Rabâh Radhiyallahu anhu .
[13] Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 572, Muslim no. 640, Ahmad 3/267, Ibnu Hibbân no. 1537 dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu .
[14] Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/145
[15] Qawâ’id wa Fawâ-id hlm. 259
[16] Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/146
[17] Lihat Al-Qawâ’id wa Fawâ-id hlm. 259
[18] Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 2518, Muslim no. 84, Ahmad 5/150, an-Nasâ-i 6/19, dan Ibnu Hibbân no. 152
[19] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/146
[20] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/147
[21] Shahîh: HR. Ahmad 2/291, 392, 442, at-Tirmidzi no. 2004, Ibnu Mâjah no. 4246, al-Hâkim 4/324, dan Ibnu Hibbân no. 476-At-Ta’lîqâtul Hisân dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu .
[22] Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 6477, 6478, Muslim no. 2988, at-Tirmidzi no. 2314, dan Ibnu Hibbân no. 5676, 5677- At-Ta’lîqâtul Hisân dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu .
[23] Kitâbush Shamt no. 59 karya Ibnu Abid Dunya.
[24] Kitâbush Shamt no. 60, 653 karya Ibnu Abid Dunya.


Sedekah Yang Paling Utama

Sedekah Yang Paling Utama 

Diriwayatkan dari sahabat Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اليَدُ العُلْيَا خَيْرٌ مِنَ اليَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ، وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ

Tangan yang di atas (yaitu tangan orang yang memberi, pent.) itu lebih baik daripada tangan yang di bawah (yaitu yang diberi, pent.). Mulailah untuk orang-orang yang menjadi tanggunganmu. Dan sedekah yang paling baik adalah dari orang yang sudah cukup (untuk mencukupi kebutuhan dirinya). Barangsiapa yang berusaha memelihara dirinya, maka Allah akan memeliharanya. Dan barangsiapa yang berusaha mencukupkan dirinya, maka Allah akan mencukupkannya.” (HR. Bukhari no. 1427 dan Muslim no. 1034. Lafaz hadis ini milik Bukhari.)

Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

أَنَّهُ قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: جُهْدُ الْمُقِلِّ، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ

Ada orang yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling utama?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Sedekahnya orang yang tidak punya, dan dahulukan bersedekah kepada orang yang menjadi tanggunganmu.’” (HR. Ahmad 14: 324, Abu Dawud no. 1677, Ibnu Khuzaimah no. 2444, Ibnu Hibban no. 3335, dan Al-Hakim 1: 414; dengan sanad yang sahih)

Penjelasan teks hadis

Pada hadis di atas, yang dimaksud dengan,

بِمَنْ تَعُولُ

“orang-orang yang menjadi tanggunganmu”

adalah anggota keluarga yang kita berkewajiban untuk memberikan nafkah kepada mereka.

Sedangkan yang dimaksud dengan,

عَنْ ظَهْرِ غِنًى

“dari orang yang sudah cukup (untuk kebutuhan dirinya)”

adalah harta yang disedekahkan itu tidak dia butuhkan untuk memberi nafkah kepada keluarganya, dia juga tidak membutuhkannya untuk membayar utangnya.

“Barangsiapa yang berusaha memelihara dirinya, maka Allah akan memeliharanya”, maksudnya adalah siapa saja yang memelihara dan menjaga kehormatan dirinya (dari perbuatan-perbuatan haram) dan menjauhi perbuatan meminta-minta, maka Allah Ta’ala akan memberikan taufik kepadanya untuk tidak bergantung kepada apa yang dimiliki oleh orang lain dan memudahkan segala urusan dan kebutuhannya.

“Dan barangsiapa yang berusaha mencukupkan dirinya, maka Allah akan mencukupkannya”, maksudnya adalah siapa saja yang merasa cukup terhadap apa yang dia miliki, baik sedikit ataupun banyak, tidak bersifat tamak, dan menampakkan bahwa dia sudah berkecukupan, maka Allah Ta’ala akan memberikan rezeki kepadanya sehingga dia tidak merasa butuh kepada orang lain. Bahkan, dia berusaha untuk mencukupi dan membantu kebutuhan dan hajat orang lain.

Adapun yang dimaksud dengan lafaz yang terdapat pada hadis kedua,

جُهْدُ الْمُقِلِّ

“orang yang tidak punya”,

adalah orang yang hanya memiliki harta yang sedikit.

Hal ini tidaklah bertentangan dengan hadis sebelumnya yang menunjukkan bahwa sedekah yang utama adalah yang berasal dari orang yang sudah cukup untuk kebutuhan dirinya. Karena memang berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kondisi kesabaran seseorang ketika sedang berada dalam kesulitan dan juga ketika merasa cukup dengan harta yang dia miliki. Misalnya, seseorang yang memiliki sedikit harta kemudian bersedekah, maka itu lebih utama daripada orang yang bersedekah dalam kondisi memiliki banyak harta. Contoh lain, ketika ada orang yang memiliki banyak harta, lalu bersedekah dengan 1000 dinar, maka hal itu tidak bisa disamakan dengan orang yang bersedekah dengan satu dinar yang itu berasal dari kelebihan harta yang telah dipakai untuk mencukupi kebutuhan dirinya. Oleh karena itu, ketika seseorang sebetulnya membutuhkan harta, namun dia dermawan dan rajin sedekah, maka hal itu menunjukkan bahwa dia sangat menginginkan balasan dan pahala dari Allah Ta’ala.

Kandungan hadis

Kandungan pertama, hadis-hadis di atas menunjukkan tentang keutamaan sedekah dan motivasi untuk menyedekahkan dan menginfakkan harta.

Kandungan kedua, hadis di atas menunjukkan bahwa hendaknya seseorang itu mendahulukan nafkah untuk anggota keluarganya yang memang wajib dia nafkahi, sebelum bersedekah sunah kepada yang lainnya.

Hal ini juga ditunjukkan oleh hadis yang lain dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالصَّدَقَةِ، فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، عِنْدِي دِينَارٌ، فَقَالَ: تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى نَفْسِكَ، قَالَ: عِنْدِي آخَرُ، قَالَ: تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى وَلَدِكَ، قَالَ: عِنْدِي آخَرُ، قَالَ: تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى زَوْجَتِكَ – أَوْ قَالَ: زَوْجِكَ -، قَالَ: عِنْدِي آخَرُ، قَالَ: تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى خَادِمِكَ، قَالَ: عِنْدِي آخَرُ، قَالَ: أَنْتَ أَبْصَرُ

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk bersedekah. Kemudian seorang laki-laki berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku memiliki uang satu dinar.’ Kemudian beliau bersabda, ‘Sedekahkan kepada dirimu.’ Ia berkata, ‘Aku memiliki yang lain.’ Beliau bersabda, ‘Sedekahkan kepada anakmu.’ Ia berkata, ‘Aku memiliki yang lain.’ Beliau bersabda, ‘Sedekahkan kepada istrimu.’ Ia berkata, ‘Aku memiliki yang lain.’ Beliau bersabda, ‘Sedekahkan kepada pembantumu.’ Ia berkata, ‘Aku memiliki yang lain.’ Beliau bersabda, ‘Engkau lebih tahu.’” (HR. Abu Dawud no. 1691, dinilai hasan oleh Al-Albani)

Nafkah yang dia berikan kepada keluarga yang memang wajib dia nafkahi tersebut itu senilai dengan sedekah. Orang yang memberi nafkah akan mendapatkan pahala ketika dia meniatkan dari dalam hatinya dengan niat ibadah.

Kandungan ketiga, hadis di atas menunjukkan bahwa sedekah yang paling afdal adalah yang berasal dari kelebihan (sisa) harta setelah dia mencukupi kebutuhan dirinya dan orang-orang yang wajib dia nafkahi, kemudian dia berikan kelebihan harta tersebut kepada kerabatnya yang lebih jauh. Allah Ta’ala berfirman,

وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ

“Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, ‘Yang lebih dari keperluan.’” (QS. Al-Baqarah: 219)

Yang dimaksud dengan,

الْعَفْوَ

adalah harta yang lebih dari kebutuhan (keperluan). Sebagaimana dikatakan oleh sejumlah ulama salaf. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1: 373)

Kandungan keempat, hadis ini menunjukkan dianjurkannya merasa tidak butuh dengan apa yang dimiliki oleh orang lain, sehingga dia tidak meminta-minta kepada orang lain, baik secara terang-terangan atau dengan isyarat-isyarat. Akan tetapi, dia yakin dan percaya kepada Rabbnya dan bertawakal kepada-Nya. Dan di antara doa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah,

اللهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى، وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى

ALLOOHUMMA INNII AS-ALUKAL HUDAA WATTUQOO WAL ‘AFAAFA WALGHINAA” (Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu petunjuk (al-huda), ketakwaan, terhindar dari perbuatan yang haram, dan selalu merasa cukup (tidak meminta-minta).” (HR. Muslim no. 2721)

Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat.

Wallahu Ta’ala a’lam.

***

Bertaqwa Kepada Alloh Dan Akhlaq Yang Terpuji

Bertaqwa Kepada Alloh Dan Akhlaq Yang Terpuji 

عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ جُنْدُبِ بْنِ جُنَادَةَ وَ أَبِيْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ  رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَـا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : «اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْـحَسَنَةَ تَمْحُهَا ، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ». رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ ، وَقَالَ : حَدِيْثٌ حَسَنٌ. وَفِي بَعْضِ النُّسَخِ : حَسَنٌ صَحِيْحٌ

Dari Abu Dzar Jundub bin Junâdah dan Abu Abdirrahman Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhuma ,  dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Betakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada. Dan ikutilah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapusnya. Dan pergaulilah sesama manusia dengan akhlak mulia.” HR. At-Tirmidzi dan beliau berkata, “Ini adalah Hadits hasan,” dan di sebagian naskah disebutkan, “Hadits ini hasan shahîh.”

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini hasan. Diriwayatkan oleh : Ahmad (V/153, 158, 177), at-Tirmidzi (no. 1987), ad-Darimi (II/323), dan al-Hâkim (I/54) dari seorang shahabat Rasulullah yang bernama Abu Dzar al-Ghifâri Radhiyallahu anhu. Diriwayatkan juga oleh Ahmad (V/236); ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (XX/296, 297, 298) dan dalam al-Mu’jamush Shaghîr (I/192), dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ‘ (IV/418, no. 6058) dari Shahabat Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu. Hadits ini dihukumi hasan oleh Imam at-Tirmidzi, an-Nawawi dalam al–Arba’în dan Riyâdush Shâlihîn, dan Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shâghîr no. 97.

SYARAH HADITS
Dalam hadits ini ada tiga pembahasan:

Bertakwa kepada Allah Ta’ala.
Mengiringi perbuatan jelek dengan kebaikan.
Bergaul sesama manusia dengan akhlak yang mulia.
BERTAQWA KEPADA ALLAH AZZA WA JALLA 
Definisi Takwa
Menurut bahasa, takwa berarti menjaga diri atau berhati-hati. Dikatakan:

” اِتَّقَيْتُ الشَّيْءَ وَتَقَيْتُهُ أَتَّقِيْهِ وَأَتْقِيْهِ تُقًى وَتَقِيَّةً وَتِقَاءً ”

Artinya: aku menjaga diri dari sesuatu atau aku berhati-hati terhadapnya.

Allah Ta’ala berfirman,

هُوَ أَهْلُ التَّقْوَىٰ وَأَهْلُ الْمَغْفِرَةِ

“…Dialah (Allah) yang patut (kita)  bertakwa kepada-Nya dan Dia-lah yang berhak memberi ampunan.” [Al-Muddatstsir/74: 56]

Maksud ayat di atas adalah hanya Allah Azza wa Jalla sajalah yang berhak untuk ditakuti siksa-Nya dan hanya Allah Azza wa Jalla sajalah yang berhak untuk diperlakukan dengan apa yang mendatangkan ampunan-Nya.[1]

Inti takwa ialah seorang hamba meletakkan pelindung antara dirinya dengan sesuatu yang ia takutkan dan khawatirkan. Jadi, takwa seseorang kepada Rabb-nya ialah ia meletakkan antara dirinya dan apa yang ia takutkan dari Rabb-nya berupa kemarahan dan hukuman-Nya, sebuah pelindung yang melindungi dirinya dari itu semua yang dia takutkan itu. Pelindung tersebut ialah mengerjakan ketaatan dan menjauhi larangan.[2]

Allah Azza wa Jalla berfirman,

اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ

 “…Bertakwalah kalian kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya….” [Ali ‘Imrân/3:102]

‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, “Hendaklah Allah Azza wa Jalla itu ditaati dan tidak dimaksiati, diingat dan tidak dilupakan, serta disyukuri dan tidak diingkari.”[3]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hakikat takwa ialah melakukan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla dilandasi keimanan dan mengharap pahala-Nya karena ada perintah dan larangan sehingga seseorang melakukan perintah Allah Azza wa Jalla dengan mengimani Dzat yang memerintah dan membenarkan janji-Nya, dan ia meninggalkan apa yang Allah larang baginya dengan mengimani Dzat yang melarangnya dan takut terhadap ancaman-Nya.

Sebagaimana dikatakan Thalq bin Habib rahimahullah : ‘Apabila terjadi fitnah, padamkanlah fitnah itu dengan takwa.’ Orang-orang bertanya, ‘Apakah takwa itu?’ Ia menjawab, ‘Takwa adalah engkau melakukan ketaatan kepada Allah berdasarkan cahaya[4] dari Allah karena mengharap pahala dari-Nya, dan engkau meninggalkan segala bentuk kemaksiatan kepada-Nya berdasarkan cahaya dari-Nya karena takut terhadap siksa-Nya.’

Ini adalah sebaik-baik definisi bagi kalimat takwa. Sebab, seluruh amal mesti memiliki permulaan dan tujuan akhir. Suatu amal tidak dikatakan sebagai ketaatan dan qurbah (amalan yang mendekatkan diri kepada Allah) sampai ia bersumber dari keimanan. Dengan demikian, yang menjadi pendorong ia melakukan suatu amal adalah keimanan semata, bukan adat (kebiasaan), hawa nafsu, mengharap pujian dan kedudukan, dan lainnya. Amal tersebut harus diawali dengan keimanan, sedang tujuan akhirnya adalah mengharap pahala dari Allah dan keridhaan-Nya, inilah yang disebut dengan al-ihtisâb (mengharapkan pahala).

Karena itulah, dua pokok ini sering disebutkan secara  bergandengan, seperti dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْـمَـانًا وَاحْتِسَابًا…

“Barangsiapa puasa di bulan Ramadhan atas dasar keimanan dan mengharap pahala…”

مَن قَامَ لَيْلَةَ الْقَدَرِ إِيْـمَـانًا وَاحْتِسَابًا…

“Barangsiapa menghidupkan malam Lailatul Qadar atas dasar keimanan dan mengharap pahala…”

Dan hadits-hadits yang semisalnya.

Perkataannya (maksudnya Thalq bin Habîb-red), ‘Berdasarkan cahaya dari Allah,’ sebagai isyarat pada pokok yang pertama, yaitu keimanan yang menjadi awal (permulaan) dari amal sekaligus pendorongnya.

Sedang perkataannya, ‘Karena mengharap pahala dari Allah Azza wa Jalla ,’ sebagai isyarat pada pokok yang kedua, yaitu al-ihtisâb sebagai tujuan akhirnya, dimana karenanyalah amal tersebut diwujudkan dan dimaksudkan.”[5]

Wasiat Takwa Adalah Wasiat Yang Paling Agung
Takwa adalah wasiat Allah Azza wa Jalla untuk generasi terdahulu dan yang terakhir. Allah Azza wa Jalla berfirman,

وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ

“… Dan sungguh, Kami telah memerintahkan kepada orang yang diberi kitab suci sebelummu dan (juga) kepadamu agar bertakwa kepada Allah…” [an-Nisâ’/4: 131]

Takwa adalah wasiat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah pada haji Wada’ di hari penyembelihan hewan kurban, beliau berwasiat kepada manusia agar mereka bertakwa kepada Allah dan mendengar serta taat kepada pemimpin mereka.[6]

Takwa adalah wasiat para generasi Salaf. Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu berkata dalam khutbahnya, “Amma ba’du. Aku wasiatkan kepada kalian, hendaklah kalian bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla , menyanjung-Nya dengan sesuatu yang layak diterima-Nya, memadukan keinginan dengan takut, dan menghimpun permintaan mendesak dengan permintaan, karena Allah Ta’ala menyanjung Nabi Zakariya dan keluarganya dengan berfirman, ‘Sungguh, mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan, dan mereka berdo’a kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.’ [al-Anbiyâ’/21: 90]”[7]

‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu menulis surat kepada anaknya, ‘Abdullah, “Amma ba’du. Aku berwasiat kepadamu, hendaklah engkau bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla , karena barangsiapa bertakwa kepada-Nya, Dia akan melindunginya. Barangsiapa bersyukur kepada-Nya, Dia menambahkan nikmat-Nya kepadanya. Jadikanlah takwa di kedua pelupuk matamu dan hatimu.”[8]

Dan dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a,

اَللَّـهُمَّ إِنِّيْ أَسْـأَلُكَ الْهُدَى ، وَالتُّـقَى ، وَالْعَفَافَ ، وَالْغِنَى .

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, kesucian (dijauhkan dari hal-hal yang tidak baik), dan kecukupan.”[9]

Penyandaran Kata Takwa Dan Maknanya
Apabila kata takwa digandengkan dengan nama Allah Subhanahu wa Ta’ala , seperti dalam firmanNya,

وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

 “… Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu akan dikumpulkan (kembali).” (al Mâ-idah/5: 96) maka maksudnya ialah takutlah kepada kemurkaan dan kemarahan-Nya karena itu adalah hal paling besar yang harus ditakuti. Hukuman dari Allah di dunia dan akhirat ada karena kemurkaan dan kemarahan-Nya.

Terkadang kata takwa digandengkan dengan hukuman Allah Azza wa Jalla dan tempat hukuman tersebut, seperti Neraka atau waktunya seperti hari Kiamat, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ

 “Dan periharalah dirimu dari api Neraka, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” [Ali ‘Imrân/3: 131][10]

وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ

“Dan takutlah pada hari (ketika) kamu semua dikembalikan kepada Allah…” [al-Baqarah/2: 281]

Bertakwa Kepada Allah Azza wa Jalla Di Saat Sendirian Maupun Ramai
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada.” Maksudnya ialah bertakwalah kepada-Nya di saat sepi maupun ramai, atau ketika dilihat manusia maupun tidak dilihat manusia.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan dalam do’anya,

أَسْـأَلُكَ خَشْيَتَكَ فِى الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ…

“Aku memohon kepada-Mu rasa takut kepada-Mu di kala sendirian dan disaksikan orang lain.”[11]

Makna ini diisyaratkan Al-Qur-an, yaitu firman Allah Ta’ala,

وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

 “… Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” [an-Nisâ’/4: 1]

Imam asy-Syâfi’i rahimahullah berkata, “Sesuatu yang paling berharga ada tiga : dermawan meskipun miskin, wara’ (takwa) pada saat sendirian, dan berkata benar di depan orang yang diharapkan dan ditakuti.”[12]

Sulaiman at-Taimi rahimahullah berkata, “Jika seseorang mengerjakan dosa pada saat sendirian, maka pada pagi harinya kehinaan terlihat padanya.”[13]

Orang yang bahagia ialah orang yang memperbaiki diri saat ia sendirian, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala  memperbaiki kondisi dirinya ketika bersama manusia. Barangsiapa mencari pujian manusia dengan kemurkaan Allah Azza wa Jalla , maka orang yang memujinya akan menjadi penghina baginya.

Kesimpulannya, bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla dikala sendirian adalah pertanda kesempurnaan iman dan mempunyai pengaruh positif, yaitu Allah Azza wa Jalla membuat orang tersebut disanjung oleh orang-orang beriman.

Kiat-Kiat Untuk Meraih Takwa

Menuntut ilmu syar’i.[14]
Melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla dan menjauhkan larangan-Nya. Perintah yang paling besar adalah tauhid (mentauhidkan Allah) dan larangan yang paling besar adalah syirik (mempersekutukan Allah).
Bergaul dengan orang-orang yang shalih.
Selalu merasa diawasi oleh Allah Azza wa Jalla .
Keutamaan-Keutamaan Takwa
Banyak sekali nash-nash dari al-Qur-an dan As-Sunnah yang menjelaskan tentang keutamaan-keutamaan takwa, di antaranya sebagai berikut:

Surga diwariskan bagi orang-orang yang bertakwa [Maryam/19: 63].
Takwa sebagai sebab seorang hamba dicintai oleh Allah [Ali ‘Imrân/3: 76].
Dibukakannya keberkahan dari langit dan bumi bagi orang yang bertakwa [al-A’râf/7: 96]
Allah Ta’ala bersama orang-orang yang bertakwa [an-Nahl/16: 128].
Dimudahkannya urusan di dunia dan akhirat serta dimudahkan rizkinya bagi orang yang bertakwa [ath-Thalâq/65: 4]
Takwa adalah sebaik-baik bekal seorang hamba di dunia dan di akhirat [al-Baqarah/2:197]
Kesudahan yang baik di dunia dan akhirat adalah bagi orang-orang yang bertakwa [al-A’râf/7: 128]. Dan yang lainnya.[15]

Ciri-Ciri Orang Yang Bertakwa:
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Rabb-mu dan mendapatkan Surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosanya itu, sedang mereka mengetahui. Balasan bagi mereka ialah ampunan dan Rabb mereka dan Surga-Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan (itulah) sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang beramal.” [Ali ‘Imrân/3:133-136]

MENGIRINGI KESALAHAN DENGAN PERBUATAN BAIK        
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Iringilah kesalahan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapus kesalahan tersebut.”

Seorang hamba diperintahkan bertakwa di kala sendirian dan ramai, namun meskipun demikian, ia pasti terkadang lalai dalam  bertakwa, misalnya ia tidak mengerjakan sebagian hal-hal yang diperintahkan atau mengerjakan sebagian hal-hal yang dilarang. Oleh karena itu, ia diperintahkan mengerjakan perbuatan yang menghapus kesalahan tersebut. Yaitu mengiringinya dengan perbuatan baik.

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ ۚ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ

 “Dan laksanakanlah shalat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. [Hûd/11: 114]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَذْنَبَ عَبْدٌ ذَنْبًا ، فَقَالَ : رَبِّ إِنِّيْ عَمِلْتُ ذَنْبًا ، فَاغْفِرْ لِيْ ، فَقَالَ اللهُ : «عَلِمَ عَبْدِيْ أَنَّهُ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ ، وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ ، قَدْ غَفَرْتُ لِعَبْدِيْ» ، ثُمَّ إِذَا أَذْنَبَ ذَنْبًا آخَرَ إِلَى أَنْ قَالَ فِى الرَّابِعَةِ : «فَلْيَعْمَلْ مَا شَاءَ».

“Apabila seorang hamba mengerjakan dosa, kemudian ia berkata, ‘Rabb-ku, aku telah mengerjakan dosa maka ampunilah aku.’ Allah Ta’ala berfirman, ‘Hamba-Ku mengetahui bahwa ia mempunyai Rabb yang bisa menganmpuni dosa dan menghukum karena dosa. Sungguh, Aku telah mengampuni hamba-Ku tersebut.’ Kemudian hamba itu mengerjakan dosa yang lain hingga pada kali keempat, Allah Ta’ala berfirman, ‘Silakan ia berbuat apa saja yang ia inginkan.’”[16]

Maksudnya, selagi hamba tersebut dalam kondisi seperti itu ketika ia mengerjakan dosa, yaitu setiap kali ia mengerjakan dosa, ia beristighfar dari dosa tersebut.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَا لَا ذَنْبَ لَهُ.

“Orang yang bertobat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosanya.”[17]

Ditanyakan kepada al-Hasan rahimahullah , “Kenapa salah seorang dari kita tidak malu kepada Rabb-nya? Ia beristighfar atas dosa-dosanya, kemudian berbuat dosa lagi lalu beristighfar lagi, kemudian berbuat dosa lagi?” Al-Hasan berkata, “Setan ingin sekali mengalahkan kalian dengan dosa-dosa tersebut. Oleh karena itu, kalian jangan bosan beristighfar.”[18]

Maknanya, bahwa manusia pasti mengerjakan perbuatan dosa yang telah ditakdirkan baginya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

كُتِبَ عَلَى بَنِيْ آدَمَ حَظُّهُ مِنَ الزِّنَى ، فَهُوَ مُدْرِكٌ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ….

“Telah ditetapkan bagi manusia bagiannya dari zina, ia pasti menemuinya, tidak bisa dihindari….”[19]

Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan jalan keluar bagi seorang hamba dari perbuatan dosa yang dilakukannya, dan menghapuskannya dengan tobat dan istighfar. Jika ia melakukan hal, itu maka ia telah terbebas dari kejelekan dosa, tetapi jika ia terus-menerus melakukan dosa maka ia akan binasa.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِارْحَمُوا تُرْحَمُوْا ، وَاغْفِرُوا يُغْفَرْ لَكُمْ ، وَيْلٌ  ِلأَقْمَاعِ الْقَوْلِ ، وَيْلٌ لِلْمُصِرِّيْنَ الَّذِيْنَ يَصِرُّوْنَ عَلَى مَا فَعَلُوْا وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ

“Hendaklah kalian menyayangi, niscaya kalian akan disayangi, maafkanlah niscaya kalian dimaafkan, celakalah bagi aqmâ’ul qaul (orang yang mendengarkan perkataan namun tidak mengamalkannya), dan celak bagi orang yang terus-menerus melakukan dosa padahal dia mengetahuinya.”[20]

Tafsir dari aqmâ’ul qaul ialah orang yang kedua telinganya seperti corong; jika ia mendengar hikmah atau pelajaran yang baik dan itu semua masuk ke telinganya lalu keluar dari telinganya yang lain. Ia tidak bisa mengambil manfaat apa pun dari apa yang telah didengarnya.[21]

Makna Dari Perbuatan Baik Yang Mengiringi Kesalahan
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Iringilah kesalahan dengan kebaikan.”

Bisa jadi yang dimaksud dengan kebaikan dalam hadits di atas ialah tobat dari kesalahan tersebut. Seperti firman Allah Ta’ala,

إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِنْ قَرِيبٍ فَأُولَٰئِكَ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ

“Sesungguhnya bertobat kepada Allah itu hanya pantas bagi mereka yang melakukan kejahatan karena tidak mengerti, kemudian segera bertobat. Mereka itulah yang diterima Allah tobatnya…” [an-Nisâ’/4: 17]

Ayat di atas menunjukkan bahwa barangsiapa bertobat kepada Allah dengan tobat nasuha dan syarat-syarat tobatnya lengkap, Allah Azza wa Jalla pasti menerima tobatnya sebagaimana keislaman orang kafir dapat dipastikan diterima jika ia masuk Islam dengan keislaman yang benar. Ini pendapat jumhur ulama.

Atau bisa jadi yang dimaksud dengan kebaikan pada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Iringilah kesalahan dengan kebaikan, “ ialah kebaikan yang lebih umum daripada tobat seperti terlihat dalam firman Allah Ta’ala,

إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ

 “…Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan…” [Hud/11: 114]

Diriwayatkan dari Abu HurairahRadhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

«أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ ؟» قَالُوْا : بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ ، قَالَ : «إِسْبَاغُ الْوُضُوْءِ عَلَى الْمَكَارِهِ ، وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْـمَسَاجِدِ ، وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ ةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ ، فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ ، فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ».

“Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang menghapus kesalahan-kesalahan dan meninggikat derajat-derajat?” Para Shahabat berkata, “Mau, wahai Rasulullah.” Nabi bersabda, “Menyempurnakan wudhu’ pada saat-saat sulit (misalnya pada saat cuaca sangat dingin dll.), banyak melangkah ke masjid-masjid, dan menunggu shalat setelah shalat. Itulah ribath (menunggu di pos penjagaan dengan melaksanakan ketaatan-ketaatan yang disyari’atkan), itulah ribath.”[22]

Hadits-hadits yang semakna dengan ini sangat banyak.[23]

Dosa-Dosa Kecil Bisa Dihapus Dengan Melakukan Amal Shalih Disertai Menjauhi Dosa-Dosa Besar.
Sebagian ulama mengatakan bahwa amal shalih hanya menghapuskan dosa-dosa kecil. Ini pendapat yang diriwayatkan dari ‘Atha’ rahimahullah dan selainnya dari generasi Salaf.

Kaum Muslimin bersepakat bahwa tobat adalah wajib, dan kewajiban-kewajiban itu tidak boleh dilakukan kecuali dengan niat dan kemauan, maka jika seandainya dosa-dosa besar itu bisa diampuni dengan wudhu’, shalat, dan pelaksanaan rukun Islam lainnya, maka tobat tidak dibutuhkan lagi, dan ini jelas bathil menurut ijma’ (kesepakatan). Juga, apabila dosa-dosa besar dapat dihapuskan dengan melaksanakan kewajiban, maka tidak ada satu dosa pun bagi oarang yang melakukan berbagai kewajiban syari’at yang akan memasukkannya ke dalam Neraka. Ini menyerupai pendapat Murjiah, dan ini jelas bathil.[24]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ ، وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ لِـمَـا بَيْنَهُنَّ مَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ

“Shalat lima waktu, Jum’at ke Jum’at, dan Ramadhan ke Ramadhan adalah penghapus dosa-dosa diantara keduanya selagi dosa-dosa besar dijauhi.”[25]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنِ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ صَلَاةٌ مَكْتُوْبَةٌ ، فَيُحْسِنُ وُضُوْءَهَا وَخُشُوْعَهَا وَرُكُوْعَهَا ؛ إِلَّا كَانَتْ كَفَّارَةً لِـمَـا قَبْلَهَا مِنَ الذُّنُوْبِ ؛ مَا لَـمْ يُؤْتِ كَبِيْرَةً ، وَذَلِكَ الدَّهْرَ كُلَّهُ.

“Jika waktu shalat fardhu tiba pada seorang Muslim, kemudian ia menyempurnakan wudhu’, khusyu’, dan ruku’nya, maka shalat wajib tersebut adalah penghapus dosa-dosa sebelum shalat wajib tersebut selagi dosa besar tidak dikerjakan. Itu selama setahun penuh.”[26]

Hadits di atas menunjukkan  bahwa dosa-dosa besar tidak bisa dihapus dengan kewajiban-kewajiban seperti di hadits tersebut. Akan tetapi dosa besar akan diampuni bila pelakunya bertobat kepada Allah Ta’ala dengan tobat yang nasuh (ikhas, jujur, dan benar).

Dosa-Dosa Besar Hanya Bisa Dihapuskan Dengan Tobat Nasuha
Jumhur ulama berpendapat bahwa dosa-dosa besar tidak bisa dihapus tanpa dengan tobat karena tobat perintah wajib kepada hamba-hamba Allah, dan ini pendapat yang paling benar di antara dua pandapat para ulama. Allah Azza wa Jalla berfirman,

وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Dan  barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.” [al-Hujuraat/49: 11]

Diantara dalil yang menunjukkan bahwa dosa-dosa besar tidak bisa diampuni tanpa tobat atau hukuman karenanya ialah hadits ‘Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Kami berada di samping Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beliau bersabda,

تُبَايِعُوْنِيْ عَلَى أَنْ لَا تُشْرِكُوْا بِاللهِ شَيْئًا ، وَلَا تَزْنُوْا ،وَلَا تَسْرِقُوْا ، وَلاَ تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْـحَقِّ، فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللهِ. وَمَنْ أَصَابَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ  فَعُوْقِبَ بِهِ ، فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ. وَمَنْ أَصَابَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَسَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ ، فَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ. إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ.

“Berbaitlah kepadaku untuk tidak mempersekutukan Allah dengan suatu apa pun, dan tidak berzina, tidak mencuri, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar. Barangsiapa diantara kalian menepati (bai’at), pahalanya ada pada Allah. Dan barangsiapa mengerjakan salah satu dari perbuatan-perbuatan tersebut kemudian ia dihukum karenanya, maka itu penghapus dosa baginya. Barangsiapa mengerjakan salah satu dari perbuatan-perbuatan tersebut kemudian Allah merahasiakannya baginya, maka ia terserah kepada Allah; jika Dia berkehendak maka Dia memaafkannya dan jika Dia berkehendak maka Dia mengadzabnya.”[27]

Ini menunjukkan bahwa hudûd (hukuman syar’i) adalah penghapus dosa.

Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Yang paling benar dalam masalah ini – wallâhu a’alam– yaitu masalah penghapusan dosa-dosa besar dengan amal-amal ialah: jika yang dimaksudkan bahwa dosa-dosa besar dapat dihapus dengan mengerjakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dosa-dosa kecil dapat dihapus dengan menjauhi dosa-dosa besar, maka itu batil. Namun jika yang dimaksud bahwa dosa-dosa besar ditimbang dengan amal-amal pada hari Kiamat kemudian dosa-dosa besar dihapus dengan amal-amal yang mengalahkannya hingga amal-amal tersebut habis dan tidak tersisa pahala bagi pelakunya, maka itu bisa saja terjadi.”[28]


Bertobat Dari Dosa-Dosa Kecil
Seorang Muslim sudah selayaknya bertobat dari dosa-dosa kecil, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla, yang maknanya :  Katakanlah kepada laki-laki yang beriman:”Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.Katakanlah kepada wanita yang beriman:”Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka.Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. [an-Nûr: 30-31]

Orang yang berbuat baik adalah orang yang selalu bertobat dari dosa besar dan dosa-dosa kecil dan ia selalu beramal kebajikan yang dapat menghapuskan dosa-dosanya. Jika dosa-dosa kecil yang terus menerus dikerjakan berubah menjadi dosa-dosa besar, maka muhsinûn (orang-orang yang berbuat baik) harus menjauhi sikap terus menerus mengerjakan dosa kecil agar mereka bisa menjauhi dosa-dosa besar. Sebagaimana dikatakan: tidak ada dosa kecil jika terus menerus dikerjakan dan tidak ada dosa  besar jika pelakunya beristighfar.

AKHLAK YANG BAIK TERMASUK SIFAT TAKWA
Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan bergaullah sesama manusia dengan akhlak yang baik.”

Berakhlak baik termasuk sifat takwa dan takwa tidak sempurna kecuali dengannya. Beliau menjelaskan hal ini karena ada sebagian orang yang menduga bahwa takwa ialah melaksanakan hak Allah tanpa melaksanakan hak hamba-hamba-Nya. Allah Azza wa Jalla mengkategorikan akhlak yang baik terhadap manusia sebagai bagian dari penguat ketakwaan.

Orang yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَكْمَلُ الْـمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ.

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada isterinya.”[29]

Apa Yang Dimaksud Dengan Akhlak  Yang Baik?
Sebagian ulama mengatakan bahwa akhlak yang baik itu berupa menahan gangguan, menahan amarah, memberi bantuan, bersabar terhadap gangguan orang lain, wajah yang berseri, tidak mengganggu orang lain, dan berkorban dalam bentuk memberi bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan. Demikian pula dengan amar ma’ruf nahi munkar serta mengembalikan barang-barang yang dizhalimi tanpa melewati batas.[30]

Kiat Meraih Akhlak Yang Baik
Akhlak yang dikatakan alami (bawaan) artinya bahwa sejak awal seseorang telah dianugerahi akhlak yang baik tersebut. Dan adapula yang tadinya seseorang tidak berakhlak baik, namun ia berusaha membiasakan dirinya berakhlak baik hingga benar-benar memilikinya.[31]

Akhlak seorang hamba akan menjadi baik jika ia mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena beliaulah orang yang mewujudkan kedudukan ini dan sebagai teladannya. Allah Ta’ala berfirman,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” [al-Ahzâb/33: 21]

Setiap muslim wajib mempelajari jalan hidup beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari semua sisi kehidupannya, bagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berakhlak terhadap Rabbnya? Bagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berakhlak terhadap kaum Muslimin? Bagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bergaul dengan keluarganya? Bagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bergaul dengan para Shahabatnya? Dan bagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bergaul dengan manusia dan lainnya?

Diantara sebab untuk meraih akhlak yang baik ialah dengan duduk dan bergaul bersama orang yang memiliki akhlak yang baik lagi bertakwa dan suci. Karena seseorang akan terpengaruh dengan teman bergaulnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُـخَالِلُ

“Seseorang dilihat dari agama temannya, maka hendaklah salah seorang di antara kalian melihat dengan siapa ia berteman.”[32]

Demikian juga ia wajib menjauhkan dirinya dari teman-teman yang buruk lagi jahat yang tidak berakhlak dengan akhlak yang terpuji yang diserukan agama Islam yang lurus ini.[33]

FAWAID HADITS

Semangatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengarahkan umatnya kepada setiap kebaikan.
Wajib bagi seseorang untuk memenuhi hak Allah dengan bertakwa kepada-Nya.
Wajibnya bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla dimana pun seseorang berada. Yaitu dengan cara melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi seluruh larangan-Nya, baik saat bersama orang lain maupun ketika sendirian.
Wasiat takwa adalah wasiat yang paling agung.
Wajib seseorang memenuhi hak dirinya dengan bertobat dan berbuat kebajikan.
Sesungguhnya kebaikan menghapuskan kesalahan.
Dosa-dosa kecil dapat dihapus dengan melakukan amal-amal yang wajib dan sunnah sesuai dengan syari’at Islam (ikhlas dan ittiba’).
Dosa-dosa besar hanya bisa dihapus dengan tobat yang nasuh (ikhlas, jujur, dan benar).
Anjuran bergaul bersama manusia dengan akhlak yang baik.
Akhlak yang baik termasuk dari kesempurnaan iman dan sifat orang-orang  yang bertakwa, serta termasuk puncak dari agama Islam yang lurus.
Akhlak yang baik termasuk asas dari peradaban hidup manusia, sebagai sebab bersatunya umat, tersebarnya rasa cinta, dicintai Allah Ta’ala, dan diangkatnya derajat pada hari Kiamat.
Diantara kesempurnaan takwa ialah membenci pelaku maksiat dan menjauhkan diri dari bermajlis dan bergaul dengan mereka apabila tidak mau diajak kepada kebaikan atau tidak mau berhenti dari kemungkaran.
MARAJI’

Al-Qur-an dan terjemahnya.
Kutubus Sab’ah.
Shahîh Ibni Hibbân dengan At-Ta’liqâtul Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibbân.
Sunan ad-Darimi.
Mustadrak al-Hâkim.
Al-Mu’jamul Kabîr, karya ath-Thabrani.
Al-Mu’jamush Shaghîr, karya ath-Thabrani.
Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqiq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrahim Bâ
Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah.
Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr.
Qawâ’id wa Fawâ-id minal ‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nazhim Muhammad Sulthâ
Al-Wâfi fii Syarhil ‘Arba’în an-Nawawiyyah,, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
Syarhul ‘Arba’în an-Nawawiyyah,, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.
Fawâ-idut Taqwa minal Qur-ânil Karîm karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, cet. I Mu-assasah Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, th. 1428 H.
At-Taqwa al-Ghâyatul Mansyûdah wad Durratul Mafqûdah karya Syaikh Ahmad Farid, cet. I Darush Shuma’i, th. 1414 H.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]


Footnote
[1] Lihat Lisânul ‘Arab (XV/378), karya Ibnul Manzhûr.
[2] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/398).
[3] Atsar shahîh: Diriwayatkan oleh ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Kabîr (no. 8502), al-Hâkim (II/294), Ibnu Jarîr dalam Tafsîr ath-Thabari (III/375-376), dan Ibnu Katsîr dalam Tafsîrnya (II/87).
[4] Iman dan  ilmu yang benar dari al-Qur-an dan Sunnah yang shahih berdasarkan pemahaman Salafush Shalih.
[5]Risalah Tabûkiyyah (hal. 15-17). Dinukil dari at-Taqwa al-Ghâyatul Mansyûdah (hal. 11).
[6] Shahîh: Ahmad (V/251), at-Tirmidzi (no. 616), dan Ibnu Hibbân (no. 4544) dari Abu Umâmah Radhiyallahu anhu.
[7] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/406).
[8] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/406).
[9] Shahih: HR. Muslim (no. 2721), at-Tirmidzi (no. 3489), Ibnu Mâjah (no. 3832), dan Ahmad (I/416, 437) dari ‘Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu.
[10] Lihat Qawâ’id wa Fâwâ-id (hal. 160).
[11] Shahih: HR. an-Nasâ-i (III/54-55), Ibnu Hibbân (no. 1971) dan selainnya dari Ammâr bin Yâsir z  .
[12]  Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/408).
[13]  Jâmi’ul ‘Ulûm wal (I/411).
[14] Baca buku penulis “Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga”
[15] Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id (hal. 161) dan Fawâ-id Taqwa minal Qur-ânil Karîm karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn
[16] Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 7507) dan Muslim (no. 2758) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[17] Hasan: HR. Ibnu Mâjah (no. 4250) dari ‘Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu.

[18] Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/415).
[19]  Shahîh: HR. Al-Bukhâri (no. 6243) dan Muslim (no. 2657 (20)) dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu.
[20] Shahîh: HR. Ahmad (II/165), al-Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad (no. 380), ‘Abd bin Humaid dalam al-Muntakhab (no. 320) dan selainnya dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu.
[21] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/416).
[22] Shahîh: HR. Muslim (no. 251).
[23] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/416-424) dan Qawâ’id wa Fawâ-id (hal. 163-164).
[24] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/425-426).
[25] Shahîh: HR. Muslim (no. 233).
[26] Shahih: HR. Muslim (no. 228).
[27] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 18) dan Muslim (no. 1709) lafazh ini milik Muslim.
[28] Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/438).
[29] Shahih lighairihi: HR. Ahmad (II/250 dan 472), at-Tirmidzi (no. 1162) dan Ibnu Hibbân (no. 1311—al-Mawârid), dari Abu Hurairah z. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 284).
[30] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/454-458).
[31] Lihat Syarh al-Arba’în an-Nawâwiyyah (hal. 221) karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.
[32] Hasan: HR. Abu Dawud (no. 4833), at-Tirmidzi (no. 2378), Ahmad (II/303), dan al-Hâkim (IV/171). Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 928).
[33] Lihat Qawâ’id wa Fawaid.

Tujuh Dampak Harta Haram

Tujuh Dampak Harta Haram 

Ternyata harta haram punya dampak jelek yang luar biasa.

Kita diperintahkan untuk memakan yang halal dan menjauhi yang haram sebagaimana dalam doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

Ya Allah cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.” (HR. Tirmidzi, no. 3563; Ahmad, 1:153; dan Al-Hakim, 1:538. Hadits ini dinilai hasan menurut At-Tirmidzi. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaliy menyetujui hasannya hadits ini sebagaimana dalam Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 2:509-510).

Dan ingat rezeki yang halal walau sedikit itu pasti lebih berkah. Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim bin Taimiyyah Al-Harrani (661-728 H) rahimahullah pernah berkata,

وَالْقَلِيلُ مِنْ الْحَلَالِ يُبَارَكُ فِيهِ وَالْحَرَامُ الْكَثِيرُ يَذْهَبُ وَيَمْحَقُهُ اللَّهُ تَعَالَى

Sedikit dari yang halal itu lebih bawa berkah di dalamnya. Sedangkan yang haram yang jumlahnya banyak hanya cepat hilang dan Allah akan menghancurkannya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 28:646)

Dalam mencari rezeki, kebanyakan kita mencarinya asalkan dapat, namun tidak peduli halal dan haramnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh-jauh hari sudah mengatakan,

لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ

Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli dari mana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).

Akhirnya ada yang jadi budak dunia. Pokoknya dunia diperoleh tanpa pernah peduli aturan. Inilah mereka yang disebut dalam hadits,

تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ ، إِنْ أُعْطِىَ رَضِىَ ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ

Celakalah wahai budak dinar, dirham, qothifah (pakaian yang memiliki beludru), khomishoh (pakaian berwarna hitam dan ada bintik-bintik merah). Jika ia diberi, maka ia rida. Jika ia tidak diberi, maka ia tidak rida.” (HR. Bukhari, no. 2886, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).

Lantas Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

وَهَذَا هُوَ عَبْدُ هَذِهِ الْأُمُورِ فَلَوْ طَلَبَهَا مِنْ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ إذَا أَعْطَاهُ إيَّاهَا رَضِيَ ؛ وَإِذَا مَنَعَهُ إيَّاهَا سَخِطَ وَإِنَّمَا عَبْدُ اللَّهِ مَنْ يُرْضِيهِ مَا يُرْضِي اللَّهَ ؛ وَيُسْخِطُهُ مَا يُسْخِطُ اللَّهَ ؛ وَيُحِبُّ مَا أَحَبَّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَيُبْغِضُ مَا أَبْغَضَهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ

“Inilah yang namanya budak harta-harta tadi. Jika ia memintanya dari Allah dan Allah memberinya, ia pun rida. Namun ketika Allah tidak memberinya, ia pun murka. ‘Abdullah (hamba Allah) adalah orang yang rida terhadap apa yang Allah ridai, dan ia murka terhadap apa yang Allah murkai, cinta terhadap apa yang Allah dan Rasul-nya cintai serta benci terhadap apa yang Allah dan Rasul-Nya benci.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:190)

Ada pula yang masih peka hatinya namun kurang mendalami halal dan haram. Yang kedua ini disuruh untuk belajar muamalah terkait hal halal dan haram.

‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan,

مَنْ اتَّجَرَ قَبْلَ أَنْ يَتَفَقَّهَ ارْتَطَمَ فِي الرِّبَا ثُمَّ ارْتَطَمَ ثُمَّ ارْتَطَمَ

“Barangsiapa yang berdagang namun belum memahami ilmu agama, maka dia pasti akan terjerumus dalam riba, kemudian dia akan terjerumus ke dalamnya dan terus menerus terjerumus.”

‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan,

لَا يَتَّجِرْ فِي سُوقِنَا إلَّا مَنْ فَقِهَ أَكْلَ الرِّبَا

“Janganlah seseorang berdagang di pasar kami sampai dia paham betul mengenai seluk beluk riba.” (Lihat Mughni Al-Muhtaj, 6:310)

Kalau halal-haram tidak diperhatikan, dampak jeleknya begitu luar biasa. Kali ini kita akan lihat apa saja dampak dari harta haram.

Pertama: Memakan harta haram berarti mendurhakai Allah dan mengikuti langkah setan.

Dalam surah Al-Baqarah disebutkan,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168)

Disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Badai’ Al-Fawaid (3:381-385), ada beberapa langkah setan dalam menyesatkan manusia, jika langkah pertama tidak bisa, maka akan beralih pada langkah selanjutnya dan seterusnya:

Langkah pertama: Diajak pada kekafiran, kesyirikan, serta memusuhi Allah dan Rasul-Nya.

Langkah kedua: Diajak pada amalan yang tidak ada tuntunan (bidah).

Langkah ketiga: Diajak pada dosa besar (al-kabair).

Langkah keempat: Diajak dalam dosa kecil (ash-shaghair).

Langkah kelima: Disibukkan dengan perkara mubah (yang sifatnya boleh, tidak ada pahala dan tidak ada sanksi di dalamnya) hingga berlebihan.

Langkah keenam: Disibukkan dalam amalan yang kurang afdal, padahal ada amalan yang lebih afdal.

Kedua: Akan membuat kurang semangat dalam beramal saleh

Dalam ayat disebutkan,

يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang thayyib (yang baik), dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mu’minun: 51). Yang dimaksud dengan makan yang thayyib di sini adalah makan yang halal sebagaimana disebutkan oleh Sa’id bin Jubair dan Adh-Dhahak. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir, 5:462.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala pada ayat ini memerintahkan para rasul ‘alaihimush sholaatu was salaam untuk memakan makanan yang halal dan beramal saleh. Penyandingan dua perintah ini adalah isyarat bahwa makanan halal adalah yang menyemangati melakukan amal saleh.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:462).

Ketiga: Memakan harta haram adalah kebiasaan buruk orang Yahudi.

Sebagaimana disebutkan dalam ayat,

وَتَرَىٰ كَثِيرًا مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

لَوْلَا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الْإِثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُونَ

Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu. Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.” (QS. Al-Maidah: 62-63)

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa rabbaniyyun adalah para ulama yang menjadi pelayan melayani rakyatnya. Sedangkan ahbar hanyalah sebagai ulama. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 3:429.

Ayat berikut membicarakan kebiasaan Yahudi yang memakan riba,

فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرً, وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An-Nisaa’: 160-161)

Ibnu Katsir mengatakan bahwa Allah telah melarang riba pada kaum Yahudi, namun mereka menerjangnya dan mereka memakan riba tersebut. Mereka pun melakukan pengelabuan untuk bisa menerjang riba. Itulah yang dilakukan mereka memakan harta manusia dengan cara yang batil. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 3:273).

Siapa yang mengambil riba bahkan melakukan tipu daya dan akal-akalan supaya riba itu menjadi halal, berarti ia telah mengikuti jejak kaum Yahudi. Dan inilah yang sudah diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ  . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ  وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ

Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?” (HR. Bukhari, no. 7319)

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ

Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim, no. 2669).

Ibnu Taimiyah menjelaskan, tidak diragukan lagi bahwa umat Islam ada yang kelak akan mengikuti jejak Yahudi dan Nashrani dalam sebagian perkara. Lihat Majmu’ah Al-Fatawa, 27: 286.

Keempat: Badan yang tumbuh dari harta yang haram akan berhak disentuh api neraka.

Yang pernah dinasihati oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Ka’ab,

يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ

Wahai Ka’ab bin ‘Ujroh, sesungguhnya daging badan yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram akan berhak dibakar dalam api neraka.” (HR. Tirmidzi, no. 614. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Kelima: Doa sulit dikabulkan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّباً، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ المُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ المُرْسَلِيْنَ فَقَالَ {يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا} وَقَالَ تَعَالَى {يَا أَيُّهَا الذِّيْنَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ} ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌوَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لَه

Sesungguhnya Allah Ta’ala itu baik (thayyib), tidak menerima kecuali yang baik (thayyib). Dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kaum mukminin seperti apa yang diperintahkan kepada para Rasul. Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih.’ (QS. Al-Mu’minun: 51). Dan Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepadamu.’ (QS. Al-Baqarah: 172). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan seseorang yang lama bepergian; rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan kedua tangannya ke langit, lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, wahai Rabbku.’ Padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia dikenyangkan dari yang haram, bagaimana mungkin doanya bisa terkabul.” (HR. Muslim, no. 1015)

Empat sebab terkabulnya doa sudah ada pada orang ini yaitu:

  1. Keadaan dalam perjalanan jauh (safar).
  2. Meminta dalam keadaan sangat butuh (genting).
  3. Menengadahkan tangan ke langit.
  4. Memanggil Allah dengan panggilan “Yaa Rabbii” (wahai Rabb-ku) atau memuji Allah dengan menyebut nama dan sifat-Nya, misalnya: “Yaa Dzal Jalaali wal Ikraam” (wahai Rabb yang memiliki keagungan dan kemuliaan), “Yaa Mujiibas Saa’iliin” (wahai Rabb yang Mengabulkan doa orang yang meminta kepada-Mu), dan lain-lain.

Namun dikarenakan harta haram membuat doanya sulit terkabul.

Keenam: Harta haram membuat kaum muslimin jadi mundur dan hina

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ

Jika kalian berjual beli dengan cara ‘inah (salah satu transaksi riba), mengikuti ekor sapi (maksudnya: sibuk dengan peternakan), ridha dengan bercocok tanam (maksudnya: sibuk dengan pertanian) dan meninggalkan jihad (yang saat itu fardhu ‘ain), maka Allah akan menguasakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabutnya dari kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Daud, no. 3462. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih. Lihat ‘Aunul Ma’bud, 9:242).

Ketujuh: Karena harta haram banyak musibah dan bencana terjadi

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا ظَهَرَ الزِّناَ وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ

Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.” (HR. Al-Hakim. Beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Imam Adz-Dzahabi mengatakan, hadits ini shahih. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan lighairi sebagaimana disebut dalam Shahih At-Targhib wa Tarhib, no. 1859).

Semoga Allah mengaruniakan kepada kita rezeki yang halal.

Tulisan ini dikembangkan dari bahasan “Harta Haram Muamalat Kontemporer” karya Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, M.A.

Sebab-sebab Kerasnya Hati

Sebab-sebab Kerasnya Hati 

Sesuatu  ada tentunya dengan adanya sebab. Mengenal sebab merupakan satu perkara penting dalam mengobati dan menerapi satu penyakit. Berapa banyak dokter atau tabib yang gagal memberikan obat yang pas karena tidak mengetahui sebab penyakit tersebut.

Kalbu atau hati yang keras  adalah penyakit berbahaya yang terjadi tentunya dengan sebab-sebab tingkah laku pemiliknya. Diantara sebab-sebab kerasnya kalbu adalah:

1. Ketergantungan Kalbu kepada Dunia serta Melupakan Akhirat

Kalau kalbu sudah keterlaluan mencintai dunia melebihi akhirat, maka kalbu tergantung terhadapnya, sehingga lambat laun keimanan menjadi lemah dan akhirnya merasa berat untuk menjalankan ibadah.

2. Lalai

Lalai pada asalnya adalah lupa yang terjadi karena tidak sadar. Allah ta’ala jelaskan hal ini dalam firmanNya:

ٱقْتَرَبَ لِلنَّاسِ حِسَابُهُمْ وَهُمْ فِى غَفْلَةٍ مُّعْرِضُونَ

“Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya).” (QS. Al-Anbiya’ :1).

Imam asy-Syaukani menjelaskan pengertian Ghaflah (lalai) dalam ayat ini dengan menyatakan: “Pengertiannya mereka berada dalam kelalaian oleh dunia dan berpaling dari akherat, tidak bersiap-siap dengan kewajiban mereka berupa iman kepada Allah dan melaksanakan kewajiban serta menjauhi semua larangan”
(Fathu al-Qadir 3/566).

Sebab ini memiliki pengaruh langsung dalam mengerasnya kalbu. Sehingga imam ibnu al-Qayyim rahimahullahu menyatakan: “semakin kuat sifat lalai dalam kalbu semakin membuatnya keras”
(al-Waabil ash-Shaib hal 99).

Lalai merupakan penyakit yang berbahaya apabila telah menjalar di dalam kalbu dan bersarang di dalam jiwa. Karena akan berakibat anggota badan saling mendukung untuk menutup pintu hidayah, sehingga kalbu akhirnya menjadi keras dan terkunci.

Allah berfirman,

أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ طَبَعَ ٱللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَسَمْعِهِمْ وَأَبْصَٰرِهِمْ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْغَٰفِلُونَ

Mereka itulah orang-orang yang kalbu, pendengaran dan penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah, dan mereka itu lah orang-orang yang lalai” (QS. An-Nahl :108)

“Dalam ayat diatas Allah memberitahukan, bahwa orang yang lalai adalah mereka yang memiliki kalbu keras membatu, tidak mau lembut dan lunak, tidak mempan dengan berbagai nasehat. Kalbu yang keras bagaikan batu atau bahkan lebih keras lagi, karena mereka punya mata, namun tak mampu melihat kebenaran dan hakikat setiap perkara”.

Karena itulah imam al-Alusi menyatakan: Kerasnya kalbu (qaswah al-Qalbu) adalah sumber keburukan dan ia bersumber dari panjangnya kelalaian terhadap Allah .”
(Ruuh al-Ma’ani 27/181).

3. Kawan yang buruk

Ini juga salah satu sebab terbesar yang mempengaruhi kerasnya kalbu dan jauhnya seseorang dari Allah. Orang yang hidupnya di tengah-tengah manusia yang banyak berkubang dalam kemaksiatan dan kemungkaran tentulah akan terpengaruh. Sebab teman yang buruk akan berusaha menjauhkannya dari keistiqamahan dan menghalanginya dari mengingat Allah ta’ala, sholat dan berakhlak mulia.
Oleh karena itu didapatkan dalam al-Qur`an perintah Allah kepada Rasul-Nya untuk bergaul dengan orang-orang shalih, sebagaimana firmanNya,

وَٱصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِٱلْغَدَوٰةِ وَٱلْعَشِىِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُۥ ۖ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُۥ عَن ذِكْرِنَا وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ وَكَانَ أَمْرُهُۥ فُرُطًا

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.”
(QS al-kahfi:28)

4. Terbiasa dengan Kemaksiatan dan Kemungkaran

Dosa merupakan penghalang seseorang untuk sampai kepada Allah. Ia merupakan pembegal perjalanan dan membalikkan arah perjalanan yang lurus.

Kemaksiatan meskipun kecil, terkadang memicu terjadinya bentuk kemaksiatan lain yang lebih besar dari yang pertama. Maka melemahlah kebesaran dan keagungan Allah di dalam kalbu, dan melemah pula jalannya kalbu menuju Allah dan kampung akhirat sehingga menjadi terhalang dan bahkan terhenti tak mampu lagi bergerak. Lihatlah keterangan rasulullah dalam sabdanya:

إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ وَهُوَ الرَّانُ الَّذِي ذَكَرَ اللَّهُ  كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Seorang hamba apabila berbuat dosa kana kalbunya diwarnai dengan titik hitam. Apabila ia menginggalkannya dan beristighfar serta bertaubat maka kalbunya dibersihkan dan bila mengulang maka ditambahkan padanya (titik hitam) hingga mendominasi kalbunya. Inilah dia Raan yang Allah jelaskan dalam firmanNya,
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.”
(QS al-Muthafifin :14).

5. Berpaling dari Mengingat Allah, Kematian, Sakaratul Maut, Kubur dan Kedasyatannya

Sehingga seluruh perkara akhirat baik berupa adzab, nikmat, timbangan amal, mahsyar, shirath, Surga dan Neraka, semua telah hilang dari ingatan dan kalbunya. Demikianlah akibat lalainya manusia dari mengingat Allah karena kesibukan yang menenggelamkan mereka dalam urusan dan kenikmatan dunia yang fana ini.

Memang tidak dipungkiri membicarakan permasalahan dan urusan dunia adalah perkara mubah, namun tenggelam dan menghabiskan waktunya hanya untuk urusan tersebut menjadikan kalbu keras, karena hilangnya kalbu dari zikir kepadaNya. Oleh karena itulah hati ini telah mati sebelum kematian tubuh. Rasululloh pernah bersabda :

مَثَلُ الَّذِي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لَا يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ

“Perumpamaan irang yang berzikir kepada Allah dan yang tidak berzikir seperti perumpamaan orang yang hidup dan mayat (yang mati).”
(Muttafaqun ‘alaihi)

Demikianlah beberapa sebab kerasnya hati agar kita semua dapat menghindarinya.

Semoga bermanfaat.
Wabillahi taufiq.