Bersabar Dari Musibah Kehilangan Anak

Bersabar Dari Musibah Kehilangan Anak 

Tidak sedikit dari kaum muslimin yang Allah berikan cobaan berupa kehilangan anak, entah itu di usia balita, dewasa, atau bahkan saat masih berupa janin. Hal ini sangatlah tidak mengherankan, terutama di zaman sekarang yang sudah memasuki akhir zaman. Salah satu tandanya adalah banyak terjadi kematian mendadak sebagaimana disebutkan di dalam hadis,

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ، رَفَعَهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : مِنِ اقْتِرَابِ السَّاعَةِ أَنْ يُرَى الْهِلالُ قِبَلا ، فَيُقَالُ : لِلَيْلَتَيْنِ ، وَأَنْ تُتَّخَذَ الْمَسَاجِدَ طُرُقًا ، وَأَنْ يَظْهَرَ مَوْتُ الْفُجَاءَةِ

Dari Anas bin Mâlik, dia meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Di antara dekatnya hari kiamat, hilal akan terlihat nyata sehingga dikatakan ‘ini tanggal dua’, masjid-masjid dijadikan tempat melintas saja (tanpa mengerjakan salat), dan munculnya (banyaknya) kematian mendadak”. (HR Thabarani dalam Al-Mu’jamush Shaghîr 2/261, no. 1132. Dihasankan oleh Syekh Al-Albâni dalam Shahîh Al-Jâmi‘  2/1.026, no. 5899)

Apakah kematian mendadak itu tanda su’ul khotimah?

Kematian mendadak bukanlah tanda khusnul khatimah maupun su’ul khatimah, karena kematian mendadak bisa menimpa seorang muslim ataupun kafir. Akan tetapi, kematian mendadak merupakan bentuk kemurkaan Allah bagi orang kafir atau orang yang selalu berada dalam maksiat. Adapun orang mukmin, yang selalu mempersiapkan diri dengan iman yang sahih dan amalan yang saleh, maka kematian mendadak merupakan keringanan baginya.

عَنْ عَائِشَةَ ، قَالَتْ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَقُولُ : مَوْتُ الْفُجَاءَةِ تَخْفِيفٌ عَلَى الْمُؤْمِنِ ، وَأَخْذَةُ أَسَفٍ عَلَى الْكَافِرِ

Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Aku mendengar Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Kematian mendadak adalah keringanan terhadap seorang mukmin, dan siksaan yang membawa penyesalan terhadap orang kafir.’” (HR. Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, no. 6.781)

Mukmin yang dimaksud dalam hadis adalah mukmin yang telah mempersiapkan diri menghadapi kematian dan selalu memperhatikannya. Adapun orang yang mengaku muslim, namun banyak berbuat kemaksiatan dan dosa, maka kematian mendadak bukanlah ‘keringanan’ baginya. Hal ini karena ia tidak sempat bertobat dan mempersiapkan diri untuk akhirat.

Pahala bersabar di atas musibah

Tidak diragukan lagi musibah yang datang menghampiri kita, kesusahan yang kita rasakan, serta kesempitan yang kita hadapi, di dalamnya terkandung kebaikan yang sangat besar. Apalagi ketika kita bisa bersabar dan introspeksi diri setelah mendapatkan musibah tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ ۝ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ ۝ أُوْلَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

“Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un’ (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 155-157)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَلَنَجْزِيَنَّ الَّذِينَ صَبَرُوا أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.“ (QS. An-Nahl: 96)

Di dalam sebuah hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ { إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ } اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا إِلَّا أَجَرَهُ اللَّهُ فِي مُصِيبَتِهِ وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا

“Tidak ada seorang muslim yang tertimpa musibah kemudian dia berdoa, ‘Kami adalah milik Allah dan kepada Allah kami kembali. Ya Allah, berilah pahala atas musibah saya dan berilah ganti yang lebih baik daripada musibah ini’, kecuali Allah akan memberi pahala dalam musibahnya dan memberi ganti yang lebih baik daripada musibah tersebut. (HR. Muslim no. 1526)

Setelah menyebutkan hadis ini, Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha menceritakan bahwa ketika beliau ditimpa musibah dengan wafatnya sang suami, beliau membaca doa tersebut. Kemudian Allah Ta’ala mengganti kesedihan dan musibah tersebut dengan yang lebih baik, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian datang meminang Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha. Sungguh benar ucapan Nabi dan wahyu yang diturunkan kepadanya.

Bahkan, bisa jadi kesabaran kita atas musibah yang menimpa merupakan sebab diri kita dimasukkan ke dalam surga. Allah Ta’ala berfirman,

وَالْمَلَائِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِم مِّن كُلِّ بَابٍ سَلَامٌ عَلَيْكُم بِمَا صَبَرْتُمْ ۚ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ

“Sedang para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu, (sambil mengucapkan), ‘Selamat sejahtera atasmu karena kesabaranmu.’ Maka, alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS. Ar-Ra’d: 23-24)

Keutamaan khusus ditinggal anak yang belum dewasa

Bagi orang tua yang ditinggal wafat oleh anaknya dan belum dewasa, maka ada keutamaan khusus untuknya.

Yang pertama, Allah akan membangunkan rumah di surga baginya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا مَاتَ وَلَدُ العَبْدِ قَالَ اللَّهُ لِمَلَائِكَتِهِ: قَبَضْتُمْ وَلَدَ عَبْدِي، فَيَقُولُونَ: نَعَمْ، فَيَقُولُ: قَبَضْتُمْ ثَمَرَةَ فُؤَادِهِ، فَيَقُولُونَ: نَعَمْ، فَيَقُولُ: مَاذَا قَالَ عَبْدِي؟ فَيَقُولُونَ: حَمِدَكَ وَاسْتَرْجَعَ، فَيَقُولُ اللَّهُ: ابْنُوا لِعَبْدِي بَيْتًا فِي الجَنَّةِ، وَسَمُّوهُ بَيْتَ الحَمْدِ “

“Jika anak seorang hamba meninggal, Allah berfirman kepada para malaikat-Nya, ‘Kalian telah mencabut anak hamba-Ku.’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ (Allah Ta’ala) berfirman, ‘Kalian telah mencabut buah hatinya.’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ (Allah Ta’ala) bertanya, ‘Apa yang dikatakan hamba-Ku.’ Mereka menjawab, ‘Dia memuji-Mu dan mengucapkan istirja’.’ Allah berkata, ‘Bangunlah untuk hamba-Ku satu rumah di surga, dan berilah nama dengan Baitulhamd’.” (HR. Tirmidzi no.1021 dan Ahmad dalam Al-Musnad no. 19725. Dihasankan oleh Syekh Albani dan beliau mengatakan, “Hadis ini dengan penggabungan jalan-jalannya adalah hasan untuk kondisi minimalnya.”)

Yang kedua, anak yang meninggal di usia balita akan menunggu kedua orangtuanya di pintu surga.

Di dalam sebuah hadis dikisahkan,

أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَهُ ابْنٌ لَهُ فَقَالَ لَهُ أَتُحِبُّهُ فَقَالَ أَحَبَّكَ اللَّهُ كَمَا أُحِبُّهُ فَمَاتَ فَفَقَدَهُ فَسَأَلَ عَنْهُ فَقَالَ مَا يَسُرُّكَ أَنْ لَا تَأْتِيَ بَابًا مِنْ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ إِلَّا وَجَدْتَهُ عِنْدَهُ يَسْعَى يَفْتَحُ لَكَ

“Seseorang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa anaknya. Beliau bertanya kepadanya, ‘Apakah Engkau mencintainya?’ Ia menjawab, ‘Kiranya Allah mencintaimu sebagaimana aku mencintainya.’ Kemudian hari anak itu meninggal dan ia pun merasa kehilangan. Lantas ia bertanya tentang keadaan anaknya kepada beliau. Lalu beliau bersabda, ‘Tidaklah Engkau ingin mendatangi pintu surga, kecuali telah Engkau dapatkan anakmu membukanya untukmu.’” (HR. Nasa’i no. 1869)

Yang ketiga, anak tersebut akan menarik orang tuanya ke dalam surga.

Di dalam sebuah hadis disebutkan,

عَنْ أَبِي حَسَّانَ، قَالَ: قُلتُ لأَبِي هُرَيْرَةَ: إنَّه قدْ مَاتَ لِيَ ابْنَانِ، فَما أَنْتَ مُحَدِّثِي عن رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ بحَدِيثٍ تُطَيِّبُ به أَنْفُسَنَا عن مَوْتَانَا؟ قالَ: قالَ: نَعَمْ، صِغَارُهُمْ دَعَامِيصُ الجَنَّةِ يَتَلَقَّى أَحَدُهُمْ أَبَاهُ، أَوْ قالَ أَبَوَيْهِ، فَيَأْخُذُ بثَوْبِهِ، أَوْ قالَ بيَدِهِ، كما آخُذُ أَنَا بصَنِفَةِ ثَوْبِكَ هذا، فلا يَتَنَاهَى، أَوْ قالَ فلا يَنْتَهِي، حتَّى يُدْخِلَهُ اللَّهُ وَأَبَاهُ الجَنَّةَ

Dari Abu Hassan radhiyallahu ’anhu, ia berkata, ‘Saya memberitahu Abu Hurairah, bahwa dua orang anakku telah meninggal dunia. Adakah berita (hadis) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam yang dapat Engkau sampaikan kepadaku yang dapat menyenangkan hati kami berkenaan dengan anak kami yang meninggal itu?’ Abu Hurairah menjawab, ‘Ada! Anak-anak kecil (yang meninggal) menjadi kanak-kanak surga, ditemuinya kedua ibu bapaknya, lalu dipegangnya pakaian ibu bapaknya – sebagaimana saya memegang tepi pakaian ini – dan tidak berhenti (memegang pakaian) sampai Allah memasukkannya dan kedua ibu bapaknya ke dalam surga.’” (HR. Muslim no. 2635)

Dari makna ketiga hadis di atas dapat disimpulkan, bahwa ditinggal anak di usia balita merupakan salah satu sebab masuknya orang tua ke dalam surga. Di dalam riwayat yang lain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,

مَا مِنْ النَّاسِ مِنْ مُسْلِمٍ يُتَوَفَّى لَهُ ثَلاَثٌ لَمْ يَبْلُغُوا الْحِنْثَ إِلاَّ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ بِفَضْلِ رَحْمَتِهِ إِيَّاهُمْ

“Tidaklah seorang muslim pun yang ditinggal wafat oleh tiga orang anaknya yang belum balig, kecuali akan Allah masukkan dia ke dalam surga karena limpahan rahmat-Nya kepada mereka.” (HR. Bukhari no. 1171)

Sungguh Allah Ta’ala Mahaadil. Tidaklah Ia mengambil suatu rezeki dan kenikmatan dari seseorang, kecuali akan digantikan dengan yang lebih baik, dengan syarat kita bersabar, rida, dan ikhlas dengan semua takdir yang telah Allah tetapkan.

Wallahu A’lam bisshowaab.

Akibat Berbuat Maksiat

Akibat Berbuat Maksiat 

Barangsiapa yang menaati perintah Allah maka akan meraih kemenangan di dunia dan akhirat. Akan tetapi apabila melanggar perintah Allah maka akan masuk ke kelompok orang yang merugi di dunia akhirat. Maka diri manusia itu sendirilah yang menyebabkan dia sengasara ataupun bahagia. Allah berfirman :

{إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ}

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan mereka sendiri.” (QS.Al-Ra’d :11).

Makna firman di atas adalah Allah tidak akan mengubah dan mengganti keadaan seseorang, masyarakat atau umat yang diberi cobaan, musibah, dan kesulitan, sehingga mereka mencoba mengubah keadaan diri mereka sendiri, yang diliputi kemaksiatan, penyimpangan, dan dosa. Dengan kata lain, perubahan dari Allah hanya terjadi setelah adanya perubahan dari manusia itu sendiri dengan meninggalkan kemaksiatan.

Dosa, kedzaliman, keberpalingan kita dari perintah Allah, kesibukan dengan dunia dan kenikmatan yang fana, serta kelalaian akan kematian dan dahsyatnya alam kubur; semua itu dapat membuat hati kita mengeras seperti batu, tidak bisa tersentuh dan mengambil pelajaran dari apa yang ada di sekitar berupa ayat-ayat, peristiwa, dan peringatan. Ia telah menjelma menjadi jiwa yang mati dan tak memiliki ruh.

Suatu ketika, Ibrahim bin Adham pernah ditanya : “Mengapa kita selalu berdoa, namun doa itu tidak pernah dikabulkan? Padahal Allah telah berfirman:

{ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ}

“Berdo’alah kalian kepadaKu, Aku akan mengabulkannya untuk kalian.” (QS.Ghafir:60).

Dan inilah beberapa jawaban beliau,

  1. Kalian telah mengetahui hak Allah, tapi tidak menunaikannya.
  2. Kalian membaca Al-Qur’an, namun tidak mengamalkan batasan-batasannya.
  3. Kalian mengatakan mencintai Rasulullah, namun kalian tidak mengamalkan Sunnah beliau.
  4. Kalian mengatakan takut kematian, namun kalian tidak menyiapkan diri untuk itu.
  5. Allah berfirman,

 {إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا}

“Sesungguhnya setan adalah musuh bagi kalian, maka jadikanlah ia sebagai musuh.” (QS.Fathir:6), namun kalian justru menyepakati untuk berbuat maksiat.

  1. Kalian mengatakan takut neraka, namun kalian justru memasukkan diri kalian sendiri ke dalamnya.
  2. Kalian mengatakan bahwa mencintai surga, namun kalian tidak bekerja meraihnya.
  3. Dan jika kalian bangun dari pembaringan kalian, kalian melemparkan aib-aib kalian ke belakang punggung kalian, untuk kemudian menunggangi aib-aib orang lain, sehingga kalian membuat Rabb kalian murka.

Hal-hal yang disebutkan di atas adalah perkara yang menyebabkan kematian hati dan penyebab yang mengantarkan seseorang ke dalam keterpurukan, akibat jauhnya ia dari Islam dan tuntunannya serta dampak maksiat yang dilakukannya.

Berikut ini, beberapa dampak perbuatan maksiat dan dosa sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam Al-Jawab Al-Kafy:

  1. Pelaku maksiat akan terhalang dari ilmu, karena ilmu adalah cahaya dan kemaksiatan akan memadamkannya.
  2. Pelaku maksiat akan menemukan rasa takut dan cemas saat berinteraksi dengan sesama manusia.
  3. Tercabutnya pandangan buruk terhadap maksiat dari hatinya, hingga menganggapnya sebagai suatu yang biasa, bahkan terang-terangan.
  4. Maksiat akan mewariskan kehinaan dan kerendahan.
  5. Tidak akan menemukan manisnya iman, ketaatan dan ibadah kepada Allah.
  6. Maksiat akan menyemaikan maksiat yang lain.
  7. Allah akan meninggalkannya berkubang dengan hawa nafsu dan setannya. Ia pun terhalangi untuk “bersahabat” dengan malaikat serta mendapatkan doa mereka.
  8. Kemaksiatan akan mematikan mata hati.
  9. Kemaksiatan akan membakar keberkahan usia.
  10. Kemaksiatan akan mengelamkan wajah, menggelapkan hati, dan mengurangi rezeki.

Betapa butuhnya kita untuk bertaubat dengan jujur dan didasari aqidah yang bersih. Maka demi Allah, tidak ada keselamatan bagi kita kecuali dengan merasakan pengawasaan Allah, baik dalam kesendirian maupun tidak.

Tidak ada keselamatan bagi kita kecuali dengan kembali kepada-Nya, karena hanya Dialah yang memiliki rahmat yang sangat luas, menerima taubat hamba-Nya, serta mengajak mereka untuk tidak berputus asa dari rahmat-Nya.

{وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ}

Dan bertaubatlah kalian semua kepada Allah, wahai orang-orang beriman agar kalian beruntung.” (QS.An-Nur:31)

“Wahai sekalian manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah sebelum kematian menjemput kalian. Bersegerahlah untuk melakukan amalan-amalan shalih sebelum kalian tersibukkan. Sambunglah hubungan antara kalian dengan Tuhan kalian dengan banyak mengingat-Nya dan banyak bersedekah dalam kesendirian dan keramaian, niscaya kalian akan dikaruniai rezeki, akan ditolong dan dikuatkan.”

Semoga kita selalu tersadarkan dan merasa takut kepada Allah, agar hati kita tenang dan senantiasa merasakan manisnya iman, hingga meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.

——

[Sumber: Buku Betapa Singkatnya Dunia Ini!, Penulis Zainuddin, ‘Amir Al-Zaibary Muhammad Ihsan, Penerbit Sukses Publishing, Bekasi, 2011, Cetakan ke-1, dengan beberapa perubahan redaksi seperlunya].

Cara Berbakti Terbaik Kepada Orang Tua

Cara Berbakti Terbaik Kepada Orang Tua

Tidak diragukan lagi bahwasanya berbakti kepada orang tua adalah amalan yang sangat besar nilainya dalam Islam. Allah telah menggandengkan antara hak-Nya dan hak orang tua di dalam Al-Quran. Allah berfirman,

وَاعْبُدُوا اللّٰهَ وَلَا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـًٔا وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا

“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua.” (QS. An-Nisa’: 36)

Kebaikan-kebaikan mereka yang sangat luas tak akan pernah bisa kita balas. Rasa capek dan lelah yang dialaminya sejak mengandung, melahirkan, dan membesarkan anak-anaknya semakin menekankan pentingnya seorang anak untuk memberikan bakti maksimalnya kepada orang tuanya.

Terlebih lagi jika orang tua kita sudah berusia lanjut, di mana biasanya kondisi tubuh mereka mulai lemah, cara berpikirnya sudah tidak seperti ketika masih muda dahulu. Andai saja seorang anak mengetahui betapa besar ganjaran dan keutamaan berbakti kepada kedua orang tua, niscaya ia akan mencurahkan segenap daya dan kekuatannya untuk berbakti kepada kedua orang tuanya hingga akhir hayatnya, bahkan setelah mereka wafat.

Di antara bentuk bakti terbaik seorang anak kepada orang tuanya di usia lanjutnya adalah membantu menyibukkan mereka dengan ibadah dan beramal shalih. Orang yang sudah berusia senja sesungguhnya lebih dekat dengan kematian lantaran telah menghabiskan jatah usianya.

Ingatkan mereka untuk lebih memperhatikan amalan-amalan wajib, sebab ibadah-ibadah yang bersifat fardhu ‘ain merupakan kewajiban yang bersifat individual yang harus ditegakkan sendiri-sendiri. Ajarkan berbagai amalan-amalan sunnah yang ringan namun berpahala besar, seperti berdzikir dan membaca shalawat. Ajak menghadiri majelis ilmu, ajak untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial yang bermanfaat, dan seterusnya.

Selain membantu mereka menghabiskan masa-masa kehidupannya dengan kebaikan, kita sendiri pun insya Allah akan menuai berbagai kebaikan dan keutamaan sebab amalan birrul walidain tersebut. Betapa celaka seorang anak yang masih menjumpai orang tuanya tetapi dia luput dengan pintu surga yang satu ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam haditsnya,

رَغِمَ أنْفُ، ثُمَّ رَغِمَ أنْفُ، ثُمَّ رَغِمَ أنْفُ، قيلَ: مَنْ؟ يا رَسولَ اللهِ، قالَ: مَن أدْرَكَ أبَوَيْهِ عِنْدَ الكِبَرِ -أحَدَهُما أوْ كِلَيْهِما- فَلَمْ يَدْخُلِ الجَنَّةَ

“Celakalah, kemudian celakalah, kemudian celakalah.” Ditanya, “Siapa, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang mendapati orang tuanya di kala tuanya, baik salah satu atau keduanya, lalu ia tidak dapat masuk surga (karena sebab kedurhakaannya).” (HR. Muslim no. 2551).

Tanda Mencintai Sesama Mukmin

Tanda Mencintai Sesama Mukmin 

Sudahkah kita mencintai sesama mukmin dengan benar?

Tanda mencintai sesama mukmin nampak pada hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berikut ini, di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman (dengan iman sempurna) sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45)

Mencintai bisa jadi berkaitan dengan urusan diin (agama), bisa jadi berkaitan dengan urusan dunia. Rinciannya sebagai berikut.

1- Sangat suka jika dirinya mendapatkan kenikmatan dalam hal agama, maka wajib baginya mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya mendapatkan hal itu. Jika kecintaan seperti itu tidak ada, maka imannya berarti dinafikan sebagaimana disebutkan dalam hadits.

Jika seseorang suka melakukan perkara wajib ataukah sunnah, maka ia suka saudaranya pun bisa melakukan semisal itu. Begitu pula dalam hal meninggalkan yang haram. Jika ia suka dirinya meninggalkan yang haram, maka ia suka pada suadaranya demikian. Jika ia tidak menyukai saudaranya seperti itu, maka ternafikan kesempurnaan iman yang wajib.

Termasuk dalam hal pertama ini adalah suka saudaranya mendapatkan hidayah, memahami akidah, dijauhkan dari kebid’ahan, seperti itu dihukumi wajib karena ia suka jika ia sendiri mendapatkannya.

2- Sangat suka jika dirinya memperoleh dunia, maka ia suka saudaranya mendapatkan hal itu pula. Namun untuk kecintaan kedua ini dihukumi sunnah. Misalnya, suka jika saudaranya diberi keluasan rezeki sebagaimana ia pun suka dirinya demikian, maka dihukumi sunnah. Begitu juga suka saudaranya mendapatkan harta, kedudukan, dan kenikmatan dunia lainnya, hal seperti ini dihukumi sunnah.

Kesimpulannya, mencintai orang mukmin sebagaimana ia mencintai untuk dirinya sendiri jika berkaitan dengan hal dunia, dihukumi sunnah. Sedangkan jika berkaitan dengan hal agama, dihukumi wajib mencintai saudaranya semisal yang kita peroleh.

Semoga Allah memberikan kita taufik untuk mencintai saudara kita yang beriman sebagaimana kita suka mendapatkan hal yang sama.

Referensi:

Syarh Al Arba’in An Nawawiyyah, Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh, terbitan Darul ‘Ashimah, cetakan kedua, tahun 1433 H.

Menambahkan Nama Suami Setelah Menikah

Menambahkan Nama Suami Setelah Menikah 

Sebagian wanita kaum muslimin ada yang menambahkan nama suami di belakang namanya setelah menikah. Hal ini tidak diperkenankan oleh syariat karena ada beberapa pertimbangan:

Bisa jadi manusia yang tidak tahu mengira bahwa nama akhir laki-laki itu (suaminya) adalah ayahnya sedangkan Islam sangat menjaga nasab dan mencegah sebisa mungkin tertukarnya nasab. Sebagaimana kaidah:

سد الذرائع

“Menutup berbagai jalan ke arah keburukan”

Bisa jadi generasi sekarang tahu bahwa itu nama suaminya, akan tetapi generasi-generasi selanjutknya akan tertukar. Apabila ini adalah kebiasaan dan adat non-muslim yang menjadi ciri khas mereka, hendaknya kita tidak ikut-ikutan. Hendaknya jadi renungan kepada para wanita:

“Ayah kalian lebih berhak ditaruh namanya di belakang nama kalian daripada suami kalian”

Inilah ajaran dalam Islam yaitu menisbatkan anak kepada ayah dan kakek-kakeknya yang sah.

Berikut beberapa fatwa terkait hal ini.

1. Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah

ﺍﻟﺴﺆﺍﻝ :3 ﻗﺪ ﺷﺎﻉ ﻓﻲ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﺒﻠﺪﺍﻥ ﻧﺴﺒﺔ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﺔ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺰﻭﺍﺝ ﺇﻟﻰ ﺍﺳﻢ ﺯﻭﺟﻬﺎ ﺃﻭ ﻟﻘﺒﻪ، ﻓﻤﺜﻼ ﺗﺰﻭﺟﺖ ﺯﻳﻨﺐ ﺯﻳﺪﺍ، ﻓﻬﻞ ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻬﺎ ﺃﻥ ﺗﻜﺘﺐ : ‏( ﺯﻳﻨﺐ ﺯﻳﺪ ‏) ، ﺃﻡ ﻫﻲ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﻀﺎﺭﺓ ﺍﻟﻐﺮﺑﻴﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﻳﺠﺐ ﺍﺟﺘﻨﺎﺑﻬﺎ ﻭﺍﻟﺤﺬﺭ ﻣﻨﻬﺎ؟

Telah menyebar di sebagian negara, seorang wanita muslimah setelah menikah menisbatkan namanya dengan nama suaminya atau laqabnya (gelar suaminya). Misalnya: Zainab menikah dengan Zaid, Apakah boleh baginya menuliskan namanya: Zainab Zaid? Ataukah hal tersebut merupakan budaya Barat yang harus dijauhi dan berhati-hati ?

ﺍﻟﺠﻮﺍﺏ :3 ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻧﺴﺒﺔ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﺇﻟﻰ ﻏﻴﺮ ﺃﺑﻴﻪ، ﻗﺎﻝ ﺗﻌﺎﻟﻰ : } ﺍﺩْﻋُﻮﻫُﻢْ ﻟِﺂﺑَﺎﺋِﻬِﻢْ ﻫُﻮَ ﺃَﻗْﺴَﻂُ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪِ { ‏( ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻷﺣﺰﺍﺏ ﺍﻵﻳﺔ 5 ‏) ﻭﻗﺪ ﺟﺎﺀ ﺍﻟﻮﻋﻴﺪ ﺍﻟﺸﺪﻳﺪ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺍﻧﺘﺴﺐ ﺇﻟﻰ ﻏﻴﺮ ﺃﺑﻴﻪ . ﻭﻋﻠﻰ ﻫﺬﺍ ﻓﻼ ﻳﺠﻮﺯ ﻧﺴﺒﺔ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﺇﻟﻰ ﺯﻭﺟﻬﺎ ﻛﻤﺎ ﺟﺮﺕ ﺍﻟﻌﺎﺩﺓ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻜﻔﺎﺭ، ﻭﻣﻦ ﺗﺸﺒﻪ ﺑﻬﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ .
ﻭﺑﺎﻟﻠﻪ ﺍﻟﺘﻮﻓﻴﻖ، ﻭﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻧﺒﻴﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﻭﺁﻟﻪ ﻭﺻﺤﺒﻪ ﻭﺳﻠﻢ .
‏( ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺭﻗﻢ : 20 ، ﺍﻟﺼﻔﺤﺔ ﺭﻗﻢ : 379 ‏)

Jawaban:
Tidak boleh bagi seseorang menisbatkan dirinya kepada selain ayahnya. Allah berfirman,

ﺍﺩْﻋُﻮﻫُﻢْ ﻟِﺂﺑَﺎﺋِﻬِﻢْ ﻫُﻮَ ﺃَﻗْﺴَﻂُ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪِ

Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka. Itulah yang lebih adil di sisi Allah” (QS al-Ahzab: 5).

Sungguh terdapat ancaman yang keras bagi orang yang menisbatkan kepada selain ayahnya. Oleh karena itu, tidak boleh bagi seorang wanita menisbatkan dirinya kepada suaminya, sebagaimana kebiasaan pada kaum kuffar dan kaum muslimin yang menyerupai mereka (Fatwa no. 18147).

2. Syaikh Ali Firkous menjelaskan tidak boleh wanita dipanggil (namanya atau nama lengkapnya) dengan (tambahan) selain nama bapaknya, beliau berkata:

ﻓﻼ ﻳﺠﻮﺯُ ﻣﻦ ﺣﻴﺚ ﺍﻟﻨﺴﺐُ ﺃﻥ ﻳُﻨْﺴَﺐَ ﺍﻟﻤﺮﺀُ ﺇﻟﻰ ﻏﻴﺮ ﻧﺴﺒﻪ ﺍﻷﺻﻠﻲ ﺃﻭ ﻳُﺪَّﻋَﻰ ﺇﻟﻰ ﻏﻴﺮ ﺃﺑﻴﻪ

Tidak boleh dalam hal nasab, seseorang menisbatkan kepada selain nasabnya yang asli atau dipanggil dengan selain nama ayahnya.

Beliau menjelaskan bahwa apa yang berlaku secara adat maka berlaku secara syariat karena sudah merupakan hal yang ma’ruf (diketahui luas). Beliau berkata:

ﻭﻛﺎﻧﺖ ﻣﻌﺮﻭﻓﺔ ﻣﻌﻬﻮﺩﺓ – ‏« ﻓﺈﻥّ ﻣﺎ ﻳﺠﺮﻱ ﺑﺎﻟﻌﺮﻑ ﻳﺠﺮﻱ ﺑﺎﻟﺸﺮﻉ ‏»

“(Menambahkan nama di belakang) adalah suatu hal yang telah ma’ruf dan jelas dan berlaku kaidah apa yang berlaku secara adat maka berlaku secara syariat” (Fatwa Al-Mar’ah 555).

Demikian semoga bermanfaat.

Kemaksiatan Dan Dampak Negatifnya

Kemaksiatan Dan Dampak Negatifnya 

Perbuatan dosa dan maksiat memberi pengaruh yang besar serta efek yang sangat berbahaya bagi masyarakat dan individu. Allah telah menerangkan dengan sejelas-jelasnya pengaruh perbuatan ini sejak perbuatan maksiat dilakukan pertama kali.

Marilah kita mengambil beberapa nash Al Qur’an dan hadits, serta atsar (riwayat) ulama’ Salaf yang menyebutkan pengaruh-pengaruh ini. Allah berfirman,

وَعَصَى ءَادَمُ رَبَّهُ فَغَوَى . ثُمَّ اجْتَبَاهُ رَبُّهُ فَتَابَ عَلَيْهِ وَهَدَى . قَالَ اهْبِطَا مِنْهَا جَمِيعًا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى . وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى . قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنتُ بَصِيرًا . قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ ءَايَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنسَى . وَكَذَلِكَ نَجْزِي مَنْ أَسْرَفَ وَلَمْ يُؤْمِن بِئَايَاتِ رَبِّهِ وَلَعَذَابُ اْلأَخِرَةِ أَشَدُّ وَأَبْقَى

Dan Adam pun mendurhakai Rabb-nya, maka ia sesat. Kemudian Rabb-nya (Adam) memilihnya, maka Dia menerima taubatnya dan memberi Adam petunjuk. Allah berfirman, “Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk dariKu, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjukKu, ia tidak akan seat dan ia tidak akan celaka. Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. Berkatalah ia:”Ya, Rabb-ku, mengapa Engkau menghimpun aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya seorang yang bisa melihat”. Allah berfirman:”Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari inipun kamu dilupakan”. Dan demikanlah Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya terhadap ayat-ayat Rabb-nya. Dan sesungguhnya adzab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal [Thaha/20 :121-127].

Ayat ini menyebutkan beberapa efek negatif yang ditimbulkan karena perbuatan maksiat. Allah menjelaskan dalam ayat ini, bahwa akibat (yang ditimbulkan karena) perbuatan maksiat adalah ghay (kesesatan) yang merupakan sebuah kerusakan. Seakan-akan Allah berfirman “Barangsiapa mendurhakai Allah, maka Allah akan merusak kehidupannya di dunia.” Makna seperti ini juga disebutkan dalam ayat-ayat berikut. FirmanNya:

فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى

Lalu barangsiapa yang mengikuti petunjukKu, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka. [Thaha/20 : 123].

Konsekwensinya, orang yang tidak mengikuti petunjuk Allah, maka ia akan sesat dan sengsara. Dan ayat-ayat berikut ini menjelaskan lebih gamblang.

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا

Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit. [Thaha/20:124].

Maksudnya, dia akan mendapatkan kesengsaraan dan kesusahan. Dalam tafsirnya (3/164), Ibnu Katsir berkata: “Di dunia, dia tidak akan mendapatkan ketenangan dan ketenteraman. Hatinya gelisah yang diakibatkan kesesatannya. Meskipun dhahirnya nampak begitu enak, bisa mengenakan pakaian yang ia kehendaki, bisa mengkonsumsi jenis makanan apa saja yang ia inginkan, dan bisa tinggal dimana saja yang ia kehendaki; selama ia belum sampai kepada keyakinan dan petunjuk, maka hatinya akan senantiasa gelisah, bingung, ragu dan masih terus saja ragu. Inilah bagian dari kehidupan yang sempit”.

Alangkah seringnya kita melihat dan mendengar berita tentang orang yang memiliki harta yang sangat banyak, mati bunuh diri dengan terjun dari tempat-tempat yang tinggi (atau gedung-gedung). Apa yang menyebabkan mereka melakukan itu? (Sudah puaskah mereka menikmati harta kekayaannya, pent)? Pasti, penyebabnya adalah sempitnya kehidupan yang menderanya akibat berpaling dari dzikrullah. Kalau orang-orang yang berpaling dari dzikrullah itu tidak bertaubat, maka akibatnya mereka akan dikumpulkan pada hari kiamat di padang Mahsyar dalam keadaan buta. Allah berfirman.

وَمَنْ كَانَ فِي هَذِهِ أَعْمَى فَهُوَ فِي اْلأَخِرَةِ أَعْمَى وَأَضَلُّ سَبِيلاً

Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar). [Al Isra/17:72].

Dan dia akan dibiarkan di dalam neraka. Allah berfirman.

قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنتُ بَصِيرًا . قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ ءَايَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَى

Berkatalah ia: “Ya, Rabb-ku. Mengapa Engkau mengumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya seorang yang dapat melihat?” Allah berfirman: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu(pula) pada hari inipun kamu dilupakan.” [Thaha/20 :125- 126].

Kata “dilupakan” dalam ayat di atas, maksudnya adalah ia dibiarkan di dalam neraka sebagai balasan yang setimpal. Jadi balasan itu sejenis dengan perbuatannya. (Dia melupakan syari’at  Allah di dunia, maka Allah melupakan dia di dalam nerakaNya, pent).

Perhatikanlah pula pengaruh dan efek dari perbuatan maksiat dalam firman Allah.

وَإِذْ قُلْتُمْ يَا مُوسَى لَن نَّصْبِرَ عَلَى طَعَامٍ وَاحِدٍ فَادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُخْرِجْ لَنَا مِمَّا تُنبِتُ اْلأَرْضُ مِن بَقْلِهَا وَ قِثَّآئِهَا وَفُومِهَا وَعَدَسِهَا وَبَصَلِهَا قَالَ أَتَسْتَبْدِلُونَ الَّذِي هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ اهْبِطُوا مِصْرًا فَإِنَّ لَكُم مَّا سَأَلْتُمْ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ وَالْمَسْكَنَةُ وَبَآءُوا بِغَضَبٍ مِّنَ اللَّهِ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِئَايَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ الْحَقِّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ

Dan (ingatlah), ketika kamu (Bani Israil) berkata: “Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Rabb-mu, agar Dia mengeluarkan bagi kami, apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu: sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya”. Musa berkata: “Maukah kamu mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang baik? Pergilah kamu ke suatu kota, pastilah kamu memperoleh apa yang kamu minta”. Lalu ditimpakan kenistaan dan kehinaan kepada mereka, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas. [Al Baqarah/2 : 61].

Ayat ini memuat beberapa akibat (yang ditimbulkan karena perbuatan) maksiat. Diantaranya:

Pertama : Allah telah menetapkan kehidupan yang rendah buat mereka, karena mereka menghendaki hal itu. Maka terwujudlah yang mereka minta. Mereka menukar madu dan salwa (sejenis burung puyuh, pent) (ini merupakan sesuatu yang lebih berharga) dengan sayur-mayur, mentimun, bawang putih, kacang adas dan bawang merah (sesuatu yang lebih rendah).

Kedua : Ditimpakan kepada mereka kehinaan. Bukan itu saja, bahkan kepada mereka ditimpakan maskanah. Yaitu kefakiran dan kehinaan. Allah telah menetapkan hal itu bagi mereka.

Ketiga : Mereka akan kembali kepada Allah dengan menanggung kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Renungkanlah firman Allah:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah (Rasulullah) takut akan ditimpa musibah atau ditimpa adzab yang pedih. [An Nur/24:63].


Maksud menyelisihi perintah Rasulullah, adalah menyeleweng dari perintahnya. Akibat yang (ditimbulkan) dari fitnah (musibah), yaitu meliputi kemurtadan, kematian, kegoncangan, kesusahan, penguasa yang zhalim dan tertutupnya hati, kemudian setelah itu (akan mendapat adzab yang pedih).

Ada seorang laki-laki datang kepada Zubair bin Bikar. Dia berkata kepada Zubair: “Wahai, Abu Abdillah. Dari manakah saya memulai berihram?” Zubair menjawab: “Dari Dzul Hulaifah (nama tempat), dari tempat mulai berihramnya Rasulullah.” Orang tadi berkata: “Saya ingin berihram dari masjid.” Abu Abdillah berkata: “Janganlah anda melakukannya”. Orang tadi berkata: “Saya ingin berihram dari masjid, dari dekat kubur itu.” Abu Abdillah berkata: “Janganlah anda melakukannya, saya khawatir akan terjadi fitnah (musibah) pada dirimu.” Orang tadi berkata lagi: “Fitnah (musibah) macam apa? Saya hanya menambah beberapa mil saja?” Abu Abdillah berkata: “Fitnah manakah yang lebih besar dari pada pendapatmu (yang menganggap bahwa) engkau telah mencapai keutamaan yang telah ditinggalkan Rasulullah? Saya pernah mendengar Allah berfirman:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahNya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih. [Thaha/20:63].

Diantara pengaruh lainnya karena perbuatan maksiat juga, yaitu ditenggelamkan. Allah menceritakan apa yang Allah lakukan terhadap kaum Nuh Alaihissallam :

مِّمَّا خَطِيئَاتِهِمْ أُغْرِقُوا فَأُدْخِلُوا نَارًا فَلَمْ يَجِدُوا لَهُم مِّن دُونِ اللهِ أَنصَارًا

Disebabkan kesalahan-kesalahan mereka, mereka ditenggelamkan lalu dimasukkan ke neraka, maka mereka tidak mendapat penolong-penolong bagi mereka selain dari Allah. [Nuh/71:25].

Diantara pengaruh yang ditimbulkan karena perbuatan maksiat juga, yaitu kehancuran total. Allah berfirman.

وَإِذَآ أَرَدْنَآ أَن نُّهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا

Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (untuk mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan di dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya [Al Isra’/17:16].

Dan (masih ada lagi akibat negatif lainnya, pent), kitab Allah penuh dengan penyebutan pengaruh-pengaruh ini.

Begitu juga Sunnah, banyak menyebutkan akibat-akibat yang ditimbulkan karena perbuatan maksiat. Saya kira cukup dengan menyebutkan dua contoh saja, (yaitu) hadits yang menyebutkan kerendahan dan kehinaan.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Aku diutus (Allah) sebelum hari kiamat dengan membawa pedang, sampai hanya Allah yang disembah, tidak ada sekutu bagiNya. Dan rizqiku telah dijadikan di bawah bayangan tombakku. Dan dijadikan kerendahan dan kehinaan bagi orang yang menyelisihi perintahku. Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan kaum itu.[1]

Allah telah menetapkan kerendahan dan kehinaan bagi orang yang menyelisihi perintah Allah dan RasulNya. Siapa yang ingin mengetahui tafsir yang sebenarnya dari hadits ini, hendaklah ia melihat kenyataan, maka dia akan mendapatkan apa yang telah diberitakan Rasulullah n . Orang-orang muslim pada saat ini telah terhina. Di segala penjuru dunia, mereka dikuasai oleh musuh-musuh. Bukan itu saja, bahkan musuh-musuh itu melakukan pembunuhan dan penyiksaan terhadap mereka, padahal musuh-musuh itu mengetahui bahwa umat Islam itu tidak sedikit. Akan tetapi, (keadaan) umat Islam seperti apa yang telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.


غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ [2]

Buih, seperti buih air bah.[3]

Hadits lain yang memperkuat hadits ini, adalah hadits yang kedua berikut ini.

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ

Jika kalian jual beli dengan cara ‘inah, dan kalian memegangi ekor sapi, kalian rela dengan bercocok tanam dan kalian meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian. Allah tidak akan menghilangkan kehinaan itu sampai kalian kembali kepada dien kalian.[4]

Dan kata “hina” yang disebutkan dalam hadits ini sama dengan kata “hina” yang terdapat pada hadits sebelumnya. Pendek kata, umat Islam pada masa kita sekarang ini telah terpecah-pecah, maka mereka menjadi berkelompok-kelompok dan bercerai-berai Wala haula wala quwwata illa billah.

Jika seseorang telah menjadi hina dalam pandangan Allah, maka tidak ada yang bisa memuliakannya, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.

وَمَن يُهِنِ اللهُ فَمَالَهُ مِن مُّكْرِمٍ

Dan barangsiapa yang dihinakan Allah, maka tidak seorangpun yang memuliakannya. [Al Haj/22:18].

Meskipun nampaknya dia diagungkan oleh manusia, karena manusia masih membutuhkannya atau takut kepada kejahatannya, namun hakikatnya dia adalah orang yang paling hina dalam hati-hati manusia tersebut.[5]

Adapun atsar (riwayat) ulama’ Salaf (yang menyebutkan pengaruh perbuatan maksiat), Ibnu Al Jauzi berkata dalam kitab Talbisul Iblis (227): Dari Abu Abdillah bin Al Jalla’, dia berkata: “Aku sedang melihat seorang anak Nashrani yang tampan wajahnya, lalu lewat di depan saya Abu Abdillah Al Balkha, dia berkata,“Kenapa berhenti?” Saya menjawab,”Wahai, paman. Tidak kah anda melihat bentuk ini? Bagaimana ia bisa disiksa dengan api?” Lalu dia menepukkan kedua tangannya di bahuku sambil berkata: “Sungguh kamu akan menanggung akibatnya.” Al-Jalla’ berkata: “Sayapun menanggung risikonya empat puluh tahun kemudian. Saya lupa (hapalan) Qur’an”

Terakhir, hendaklah setiap diri kita mengetahui, bahwasanya pengaruh perbuatan maksiat itu tidak hanya terbatas pada pelaku itu sendiri, akan tetapi pengaruhnya akan menular kepada anak-anak. Mereka akan merasakan efek negatif, sebagaimana juga perbuatan taat akan menularkan pengaruh positif pada anak-anak. Dua hal ini telah ditetapkankan dalam Kitabullah. Allah berfirman,

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. [An Nisa’/4:9].

Ini adalah pengaruh negatifnya. Adapun pengaruh positifnya, Allah berfirman:

وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلاَمَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَن يَبْلُغَآ أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِن رَّبِّكَ

Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shalih, maka Rabb-mu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanan itu, sebagai rahmat dari Rabb-mu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. [Al Kahfi/18:82].


Allah telah menjaga harta benda milik dua orang anak yatim dikarenakan keshalihan kedua orangtua mereka. Pengaruh amalan shalih menjadi jelas dan menular kepada anak keturunan.

Diantara efek negatif perbuatan dosa lainnya, yaitu hilangnya anggapan dosa itu jelek. Orang yang gemar melakukan perbuatan maksiat, berarti sama dengan menorehkan titik hitam di dalam hatinya, sampai akhirnya tertutup dengan titik-titik itu akibat dosanya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Imam Tirmidzi dengan sanad yang jayyid (bagus), dari Abu Shalih dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا أَذْنَبَ ذَنْبًا نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فَإِنْ تَابَ وَنَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ صُقِلَ قَلْبُهُ وَإِنْ زَادَ زَادَتْ حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ فَذَلِكَ الرَّانُ الَّذِي ذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي الْقُرْآنِ كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Sesungguhnya seorang mukmin, jika melakukan satu perbuatan dosa, maka ditorehkan di hatinya satu titik hitam. Jika ia bertaubat, berhenti dan minta ampun, maka hatinya akan dibuat mengkilat (lagi). Jika semakin sering berbuat dosa, maka titik-titik itu akan bertambah sampai menutupi hatinya. Itulah raan yang disebutkan Allah dalam Al Qur’an.

كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka. [Al Muthaffifin/83:14].[6]

Pemilik hati seperti ini, tidak akan bisa membedakan antara yang baik dan buruk dalam pandangan Allah dan RasulNya, kecuali sesuatu yang dianggap baik atau buruk oleh hawa nafsunya. Tolok ukurnya bukan lagi firman Allah atau sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia tidak menganggap jelek perbuatan maksiat yang dinyatakan jelek oleh Allah dan RasulNya, sehingga ia tidak merasa malu melakukan perbuatan maksiat di hadapan khalayak. Ia melakukan perbuatan maksiat dengan terang-terangan, bahkan dengan bangga ia menceritakan perbuatan maksiatnya yang tidak diketahui oleh orang lain. Orang-orang seperti ini termasuk golongan orang-orang yang tidak mendapatkan ampunan dari Allah, terhalangi dari pintu taubat baginya, bahkan biasanya tertutup. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنْ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ

Setiap umatku akan dimaafkan, kecuali mujahirin (pelaku maksiat dengan terang-terangan). Dan termasuk dalam mujaharah (berbuat maksiat dengan terang-terangan), (yaitu) seseorang melakukan satu perbuatan pada malam hari, kemudian dia memasuki waktu pagi dan Allah menutupi perbuatannya itu, lalu ia mengatakan “Wahai, fulan. Semalam aku melakuan ini dan itu” Dia tidur semalam dan Allah menutupi perbuatannya, lalu ketika memasuki waktu pagi dia membuka tabir Allah. [HR Bukhari Muslim][7]

Diantara efek negatif yang lain, yaitu melemahkan hati. Ini merupakan akibat yang paling mengkhawatirkan atas seorang hamba. Dosa akan melemahkan keinginan hati, keingian berbuat maksiat semakin menguat, sementara keinginan untuk bertaubat sedikit demi sedikit semakin melemah. Sampai akhirnya, keinginan untuk bertaubat hilang sama sekali. Kalau seandainya, hati seseorang mati separuh saja, maka dia tidak akan bisa bertaubat, (apalagi kalau mati total). Akibatnya, dia akan sering melakukan istighfar atau taubat dusta, sementara hatinya tertambat dengan perbuatan maksiat, dan dia tetap berazam untuk melakukannya ketika kondisi memungkinkan. Inilah penyakit hati yang paling berat dan paling dekat kepada kehancuran[8]. Dan masih banyak lagi efek negatif yang diakibatkan karena perbuatan maksiat.[9]

Terakhir sekali, hendaklah setiap diri kita mengetahui, bahwasanya perbuatan maksiat terlihat pada wajah dan ucapan para pelaku. Tidak ada satu rahasiapun yang disembunyikan, melainkan Allah akan memasang bungkusnya. Jika baik, maka baik pula (tutupnya). Dan jika jelek, maka jelek pula tutupnya. Oleh karena itu, Allah berfirman kepada NabiNya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

وَلَوْ نَشَآءُ لأَرَيْنَاكَهُمْ فَلَعَرَفْتَهُم بِسِيمَاهُمْ وَلَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ وَاللهُ يَعْلَمُ أَعْمَالَكُمْ

Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami perlihatkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kamu. [Muhammad/47:30].

أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ أَن لَّن يُخْرِجَ اللهُ أَضْغَانَهُمْ

Atau apakah orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya mengira bahwa Allah tidak akan menampakkan kedengkian mereka. [Muhammad/47:29].

Dan diriwayatkan dari Amirul Mukminin Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Tidaklah seseorang itu menyembunyikan satu rahasiapun, kecuali Allah nampakkan pada rona wajahnya dan ucapan lisannya”.

Sebagian Salaf mengatakan: “Demi, Allah. Sungguh saya bisa mengetahui perbuatan maksiat saya dari perangai isteri saya dan mogoknya tunggangan saya”.

Waakhiru da’wanaa alhamdulillah Rabbil ‘alamin.

(Diterjemahkan dari majalah Al Ashalah, Edisi tanggal 15 Dzulhijjah 1416 H, halaman 60-64, dengan tambahan catatan kaki dan sedikit tambahan dari kitab Ad Da’ Wad Dawa’)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VIII/1425H/2004M.  Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]


Footnote
[1] HR Imam Ahmad dengan sanad jayyid (baik). Lihat Ad Da’ Wad Dawa’, karya Ibnul Qayyim rahimahullah, tahqiq Syaikh Ali Hasan Al Halabi, hlm. 93
[2] HR Ahmad
[3] Terjemahan lengkapnya “Hampir-hampir umat-umat (orang-orang kafir) bersekongkol untuk mengerubuti kalian, sebagaimana orang yang telah siap menyantap makanan yang ada di nampan (piring besar).” Ditanyakan kepada Beliau,”Wahai, Rasulullah. Apakah karena jumlah kami sedikit?” Rasulullah menjawab,”Tidak! Akan tatapi kalian seperti buih yang dibawa oleh banjir. Rasa takut dicabut dari hati-hati musuh terhadap kalian, dan akan diletakkan di dalam hati kalian al wahn” Mereka bertanya,”Apakah al wahn itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,”Cinta dunia dan benci kematian.”
[4] HR Abu Dawud
[5] Lihat Ad Da’ Wad Dawa’ , karya Ibnul Qayyim rahimahullah, tahqiq Syaikh Ali Hasan Al Halabi hafizhahullah, hlm. 93.
[6] Lihat Ad Da’ Wad Dawa’, karya Ibnul Qayyim rahimahullah, tahqiq Syaikh Ali Hasan Al Halaby hafizhahullah, hlm. 83.
[7] Lihat Ad Da’ Wad Dawa’, karya Ibnul Qayyim rahimahullah, tahqiq Syaikh Ali Hasan Al Halabi hafizhahullah, hlm. 92.
[8] Lihat Ad Da’ Wad Dawa’, karya Ibnul Qayyim rahimahullah, tahqiq Syaikh Ali Hasan Al Halabi hafizhahullah, hlm. 91.
[9] Bagi yang ingin mengetahui secara lebih luas, kami persilahkan membaca kitab Ad Da’ Wad Dawa’, karya Ibnul Qayyim rahimahullah.

10 Nasehat Ibnul Qoyyim Untuk Bersabar

10 Nasehat Ibnul Qoyyim Untuk Bersabar 

Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi dan Rasul paling mulia. Amma ba’du.

Berikut ini sepuluh nasihat Ibnul Qayyim rahimahullah untuk menggapai kesabaran diri agar tidak terjerumus dalam perbuatan maksiat:

Pertama, hendaknya hamba menyadari betapa buruk, hina dan rendah perbuatan maksiat. Dan hendaknya dia memahami bahwa Allah mengharamkannya serta melarangnya dalam rangka menjaga hamba dari terjerumus dalam perkara-perkara yang keji dan rendah sebagaimana penjagaan seorang ayah yang sangat sayang kepada anaknya demi menjaga anaknya agar tidak terkena sesuatu yang membahayakannya.

Kedua, merasa malu kepada Allah… Karena sesungguhnya apabila seorang hamba menyadari pandangan Allah yang selalu mengawasi dirinya dan menyadari betapa tinggi kedudukan Allah di matanya. Dan apabila dia menyadari bahwa perbuatannya dilihat dan didengar Allah tentu saja dia akan merasa malu apabila dia melakukan hal-hal yang dapat membuat murka Rabbnya… Rasa malu itu akan menyebabkan terbukanya mata hati yang akan membuat Anda bisa melihat seolah-olah Anda sedang berada di hadapan Allah…

Ketiga, senantiasa menjaga nikmat Allah yang dilimpahkan kepadamu dan mengingat-ingat perbuatan baik-Nya kepadamu.

Apabila engkau berlimpah nikmat

maka jagalah, karena maksiat

akan membuat nikmat hilang dan lenyap

Barang siapa yang tidak mau bersyukur dengan nikmat yang diberikan Allah kepadanya maka dia akan disiksa dengan nikmat itu sendiri.

Keempat, merasa takut kepada Allah dan khawatir tertimpa hukuman-Nya.

Kelima, mencintai Allah… karena seorang kekasih tentu akan menaati sosok yang dikasihinya… Sesungguhnya maksiat itu muncul diakibatkan oleh lemahnya rasa cinta.

Keenam, menjaga kemuliaan dan kesucian diri serta memelihara kehormatan dan kebaikannya… Sebab perkara-perkara inilah yang akan bisa membuat dirinya merasa mulia dan rela meninggalkan berbagai perbuatan maksiat…

Ketujuh, memiliki kekuatan ilmu tentang betapa buruknya dampak perbuatan maksiat serta jeleknya akibat yang ditimbulkannya dan juga bahaya yang timbul sesudahnya yaitu berupa muramnya wajah, kegelapan hati, sempitnya hati dan gundah gulana yang menyelimuti diri… karena dosa-dosa itu akan membuat hati menjadi mati…

Kedelapan, memupus buaian angan-angan yang tidak berguna. Dan hendaknya setiap insan menyadari bahwa dia tidak akan tinggal selamanya di alam dunia. Dan mestinya dia sadar kalau dirinya hanyalah sebagaimana tamu yang singgah di sana, dia akan segera berpindah darinya. Sehingga tidak ada sesuatu pun yang akan mendorong dirinya untuk semakin menambah berat tanggungan dosanya, karena dosa-dosa itu jelas akan membahayakan dirinya dan sama sekali tidak akan memberikan manfaat apa-apa.

Kesembilan, hendaknya menjauhi sikap berlebihan dalam hal makan, minum dan berpakaian. Karena sesungguhnya besarnya dorongan untuk berbuat maksiat hanyalah muncul dari akibat berlebihan dalam perkara-perkara tadi. Dan di antara sebab terbesar yang menimbulkan bahaya bagi diri seorang hamba adalah… waktu senggang dan lapang yang dia miliki… karena jiwa manusia itu tidak akan pernah mau duduk diam tanpa kegiatan… sehingga apabila dia tidak disibukkan dengan hal-hal yang bermanfaat maka tentulah dia akan disibukkan dengan hal-hal yang berbahaya baginya.

Kesepuluh, sebab terakhir adalah sebab yang merangkum sebab-sebab di atas… yaitu kekokohan pohon keimanan yang tertanam kuat di dalam hati… Maka kesabaran hamba untuk menahan diri dari perbuatan maksiat itu sangat tergantung dengan kekuatan imannya. Setiap kali imannya kokoh maka kesabarannya pun akan kuat… dan apabila imannya melemah maka sabarnya pun melemah… Dan barang siapa yang menyangka bahwa dia akan sanggup meninggalkan berbagai macam penyimpangan dan perbuatan maksiat tanpa dibekali keimanan yang kokoh maka sungguh dia telah keliru.

***

Kita Hanya Menyampaikan, Bukan Mengubah Paksa Orang' Lain

Kita Hanya Menyampaikan, Bukan Mengubah Paksa Orang' Lain 

Tugas kita hanyalah menyampaikan
Sebagaimana firman Allah,

وَمَا عَلَيْنَا إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ

“Dan kewajiban kami tidak lain HANYALAH MENYAMPAIKAN (perintah Allah) dengan jelas.” (QS. Yasin: 17)

Syaikh Abdurrahman As-Sa’diy menjelaskan bahwa tugas kita hanya menyampaikan, apabila diterima maka alhamdulillah, apabila ditolak, maka sudah bukan kewajiban kita (mengubah paksa). Beliau berkata,

وإنما وظيفتنا -التي هي البلاغ المبين- قمنا بها، وبيناها لكم، فإن اهتديتم، فهو حظكم وتوفيقكم، وإن ضللتم، فليس لنا من الأمر شيء.

“Tugas kami hanyalah menyampaikan dengan ilmu yang jelas, kami lakukan dan kami jelaskan bagi kalian. Apabila kalian mendapat hidayah, maka itulah keberuntungan dan taufik bagi kalian. Apabila kalian tetap tersesat, maka tidak ada kewajiban bagi kami lagi (mengubah paksa).” [Lihat Tafsir As-Sa’diy]

Menyampaikan dengan ilmu ilmiah
dan cara yang lembut dan hikmah
Inilah yang disebut dengan “hidayah al-irsyad wal bayan”
Semua bisa memberikan hidayah ini dengan ilmu, sebagaimana firman Allah pada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar MEMBERI HIDAYAH/petunjuk kepada jalan yang lurus” (Asy-Syuuraa: 52).

Adapun memberikan mengubah orang lain
Maka ini hak khusus Allah
Yaitu memberikan “Hidayah at-taufiq”
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa memberikan hidayah ini
Sebagaimana firman Allah,

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Sesungguhnya engkau (Muhammad) TIDAK akan dapat MEMBERI HIDAYAH (petunjuk) kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. (Al Qashash/28 : 56)

Berdakwah itu sederhana
Apabila diterima Alhamdulillah
Apabila ditolak, jangan dipaksa menerima
Jangan dimusuhi tetapi didoakan
Karena ia masih saudara kita se-Islam

Demikian semoga bermanfaat.