Dahsyatnya Peran Seorang Wanita

Dahsyatnya Peran Seorang Wanita 

Di balik kelemahan tubuhnya, sejatinya wanita memiliki potensi besar terhadap suami dan anak-anaknya. Karena itulah dikatakan: “Seorang pria bergantung agama istrinya karena cinta membuatnya mengikutinya. Cinta memaksakannya untuk menjadi serasi dengannya sehingga dia tiada menemukan jalan untuk menyelisihinya, dan tiada pula menemukan jalan untuk membantah ataupun merasakan beban berat.” (Adab ad-Dunya wa ad-Din, hlm. 129 )

Oleh karena itu, agar suami beruntung dunia akhirat haruslah ia mengutamakan wanita shalihah. Karena wanita yang beriman dan bertakwa juga memiiki pengaruh hebat dalam membuat rumah tangga bahagia dan selamat. Istilah mudahnya, seorang pria jangan hanya terpesona penampakan lahiriyah semata. Cinta saja tak cukup untuk membina utuhnya pernikahan, namun butuh kebaikan agama, akhlak, dan hati yang bersih.

Dikatakan dalam sebuah syair: “Cinta bukan karena keindahan dan yang tampak di mata, tetapi karena yang menyatukan hati dan jiwa.” (Raudhatul Muhibbin [terjemah], Ibnul Qoyyim al-Jauziyah, hlm. 51)

Aktsam bin Shaifi berkata kepada putranya: “Wahai anakku, janganlah kecantikan wanita membuat kalian melupakan kejelasan nasab keturunan, sesungguhnya menikahi istri yang mulia adalah tangga menuju kemuliaan.” (Adab ad-Dunya wa ad-Din, hlm. 132)

Sungguh tepat nasehat tersebut agar suami tetap memilih wanita-wanita yang memiliki kemuliaan agama, karena sang suami sendiri dan juga anak-anaknya yang akan merasakan manfaatnya. Suami akan merasa bahagia dengan ketaatan istri, terjaga anak-anaknya karena istri mendidiknya dengan syari’at Islam, rumah tangga tenang karena di dalamnya tegak hukum-hukum agama dan berbagai manfaat lain yang hanya akan dirasakan pasutri ketika menjadikan pernikahan sebagai ibadah. Inilah nikmat dari Allah ‘Azza wa Jalla ketika memilki istri shalihah yang selalu memotivasi, mengarahkan, dan mendukung suami dan anak-anaknya dalam kebaikan. Sebagaimana pepatah yang masyhur, “Buah itu jatuh tidak akan jauh dari pohonnya”.

Demikian pula kaidah secara umum bahwa ketika istri atau ibu itu baik dan taat pada agama maka insya Allah anak-anaknya juga taat, demikian pula biasanya suami juga menjadi seorang yang shalih, karena kebaikan atau keshalihan seorang istri akan mengimbas atau menginspirasi suami dan anak untuk mengikuti jejak langkahnya. Istri bertakwa akan menghadirkan aura surgawi, memberi kesejukan jiwa serta menarik orang-orang di sekelilingnya dengan hidayah, dengan taufik Allah ‘Azza wa Jalla.

Simak dialog mempesona seorang ayah yang shalih dengan anak-anaknya :

Abul Aswad ad-Dua’li berkata kepada anak-anaknya : “Aku telah berbuat yang terbaik untuk kalian pada masa kecil dan masa dewasa kalian, begitu pula ketika kalian belum lahir. Anak-anaknya berkata :” Bagaimana ayah berbuat yang terbaik untuk kami ketika kami belum lahir ?” Dia menjawab : “Aku memilihkan kalian seorang ibu yang tidak akan pernah kalian cela.” (Adab ad-Dunya wa ad-Din, hlm.132)

Ar-Rayyasyi melantunkan syair: ”Awal kebaikanku kepada kalian adalah pilihanku atas ibu yang baik asal-usulnya lagi tampak kemuliaannya.” (Adab ad-Dunya wa ad-Din, hlm. 132)

Demikianlah, dahsyatnya pengaruh wanita shalihah, wanita yang membersamainya untuk menyempurnakan separuh agamanya, wanita yang mengajak ke surga bersama. Berapa banyak pria yang tenggelam kehidupan akhiratnya karena wanita yang buruk akhlaknya. Serta berapa banyak wanita shalihah yang dengan taufik Allah ‘Azza wa Jalla mampu mengubah karakter suami menjadi dekat kepada agama . Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ رَزَقَهُ اللهُ امْرَأَةً صَالِحَةً فَقَدْ أَعَانَهُ اللهُ عَلَى شَطْرِ دِيْنِهِ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي الشَّطْرِ الثَّانِى

Barangsiapa yang dikaruniai oleh Allah dengan wanita (istri) yang shalihah, maka sungguh Allah telah membantunya untuk melaksanakan separuh agamanya. Maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam menjaga separuhnya lagi.” (HR. Ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Ausath : 976 dan al-Hakim dalam al-Mustadrak II / 16 dan di-shahih-kan olehnya, juga disetujui oleh adz-Dzahabi)

Wallahu a’lam.

Referensi :

1). Majalah Al-Mawadah edisi I Tahun ke 1, 1428 H

2). Kesalahan Dalam Mendidik Anak ( terjemah), Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, Pustaka At-Tibyan, Solo, tanpa tahun.

Wanita Yang Tidak Mencium Bau Wangi Surga

Wanita Yang Tidak Mencium Bau Wangi Surga 

Kenikmatan abadi yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pula terbersit di kalbu seseorang terus menjadi dambaan puncak setiap insan beriman. Itulah surga….!

Namun, ada wanita yang diancam oleh penetap syariat akan terhalang dari mencium wangi surga, berarti dia tidak masuk ke dalamnya. Betapa celaka dia!

Apa gerangan yang diperbuatnya di dunia ini hingga memeroleh vonis memilukan tersebut?

Berpakaian Tetapi Telanjang

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah radhiallahu ‘anhu bersabda,

صِنْفَان مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَم أَرَهُمَا …. )الْحَدِيثَ، وَفِيهِ: ( وَنسَاءٌ كَاسيَاتٌ عَاريَاتٌ مُميلاَتٌ مَائلاَتٌ، رُؤُوْسُهُنُّ كَأَسِنَمَةِ الْبُخْتِ الْمَائلَةِ، لاَ يَدْحُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجدْنَ رِيْحَهَا وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ منْ مَسِيْرَةِ كَذَا وَكَذَا.

“Ada dua golongan penghuni neraka yang aku belum melihat keduanya…” (hadits ini masih berlanjut dan di dalamnya ada lafadz:) “… dan para perempuan yang berpakaian tetapi telanjang, memiringkan lagi miring. Kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium wangi surga. Padahal wangi surga bisa tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 5547)

Apa perbuatan para perempuan di atas?

Mereka itu adalah ‘perempuan-perempuan yang berpakaian tetapi telanjang’, . كَاسيَاتٌ عَاريَاتٌ

Kalimat ini memiliki beberapa makna.

  1. Mereka berpakaian dengan nikmat Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi telanjang dari mensyukuri nikmat tersebut (tidak mau bersyukur).
  2. Mereka mengenakan pakaian, tetapi telanjang (enggan) dari melakukan keba ikan, enggan memberikan perhatian terhadap akhirat mereka, dan enggan mementingkan ketaatan.
  3. Mereka membuka suatu bagian dari tubuh mereka (di hadapan lelaki ajnabi) karena ingin menampakkan keindahannya. Mereka yang berbuat seperti ini dikatakan berpakaian tetapi hakikatnya telanjang.
  4. Mereka memakai pakaian yang tipis sehingga menampakkan apa yang ada di balik pakaian tersebut. Mereka berpakaian, tetapi secara makna mereka telanjang.

Para perempuan ini berjalan dengan gaya angkuh seraya menggerak-gerakkan pundak mereka. Mereka menyisiri rambut mereka dengan model miring persis seperti gaya sisiran perempuan “nakal”.

Rambut mereka tampak besar karena dililiti dengan balutan atau yang semisalnya sebagai hiasan, sehingga seperti punuk unta yang miring.

Adapula yang mengatakan bahwa mereka mengikat rambut mereka tinggi di atas kepala. Mereka adalah perempuan yang jauh dari menaati Allah subhanahu wa ta’ala, jauh dari menjaga kemaluan, dan hal selainnya yang harus mereka jaga. Mereka mengajarkan perilaku mereka yang tercela kepada perempuan lain. (al-Minhaj, 13/336 dan 17/188)

Perempuan, menurut aturan Islam yang agung, diperintah untuk menutup auratnya dengan sempurna di hadapan lelaki yang bukan mahramnya. Sempurna dalam artian tidak boleh menampakkan bagian tubuhnya yang tidak diperkenankan terlihat oleh selain lelaki dari kalangan mahramnya.

Yang dituntut dari menutup aurat tersebut tidaklah ‘asal menutup’, tetapi terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi sehingga dikatakan aurat telah tertutup sesuai yang dimaukan syariat.

Di antaranya, pakaian penutup tersebut harus panjang menutupi seluruh tubuh, tidak boleh pakaian pendek sehingga menampakkan sebagian tubuh, tidak sempit sehingga membentuk lekuk-lekuk tubuh, tidak tipis sehingga menggambarkan apa yang ada di balik pakaian tersebut, tidak dihiasi dengan bermacam-macam hiasan, dan lain sebagainya.

Syarat-syarat inilah yang tidak dipenuhi oleh para perempuan yang disebutkan dalam hadits di atas. Mereka memang mengenakan pakaian yang menempel pada tubuh, tetapi hakikatnya telanjang karena pakaian yang semestinya dipakai untuk menutup aurat mereka di hadapan ajnabi justru tidak menutup aurat sama sekali.

Meminta Cerai Tanpa Alasan Yang Benar

Maula (bekas budak yang dimerdekakan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Tsauban radhiallahu ‘anhu, menyampaikan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

.أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلاَقًا مِنْ غَيْرِ مَا بَأْسٍ، فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ

“Perempuan (istri) mana saja yang meminta cerai dari suaminya tanpa alasan yang diperkenankan, haram baginya mencium wangi surga.” (HR. Abu Dawud no. 2226, at-Tirmidzi no. 1187, dan selain keduanya. Dinyatakan sahih al-Imam al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)

Perbuatan berikutnya yang menyebabkan seorang perempuan tidak akan mencium wangi surga adalah minta cerai kepada suami tanpa alasan yang diperkenankan.

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Berita yang datang yang berisi tarhib (menakut-nakuti atau mengancam) istri yang minta cerai dari suaminya dimaknai dalam keadaan si istri meminta cerai tanpa ada sebab yang menuntut hal tersebut. (Fathul Bari, 9/314)

Si istri meminta cerai padahal dia tidak berada dalam suatu kesempitan atau kesulitan berat yang memaksanya untuk “minta pisah”. (Tuhfah al-Ahwazi, kitab ath-Thalaq, bab Ma Ja’a fi al-Mukhtali’at)

Dengan demikian, seorang istri tidak sepantasnya bermudah-mudah meminta cerai dari suaminya, karena adanya ancaman dalam hadits di atas.

Kalaupun dia terpaksa menuntut cerai atau meminta khulu’, hendaknya sudah terkumpul sebab-sebabnya sebagaimana yang diisyaratkan dalam surah al-Baqarah,

فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَا فِيمَا ٱفۡتَدَتۡ بِهِۦۗ

“Jika kalian khawatir keduanya (suami-istri) tidak dapat menegakkan hukum-hukum Allah, tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya….” (Al-Baqarah: 229)

Maknanya, kekhawatiran suami-istri apabila keduanya mempertahankan pernikahan niscaya keduanya tidak dapat menegakkan hudud/batasan-batasan yang ditetapkan Allah subhanahu wa ta’ala.

Adapun apabila tidak ada kebutuhan untuk minta cerai atau minta khulu, dibenci melakukannya. Bahkan, haram menurut sebagian ulama, berdasarkan hadits di atas. (al-Mulakhkhash al-Fiqhi, 2/320, Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan rahimahullah)

Menyerupai Lelaki

Dari Abdullah Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثٌ لاَ يَدْخُلُوْنَ الْجَنةَ وَلاَ يَنْظُرُ اللهُ إلَيْهمْ يَوْمَ الْقيَامَةالْعَاقُّ وَالدَيْهِ، وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ الْمُتَشَبِّهَةُ .بِالرِّجَالِ، وَالدَّيُّوثُ

“Ada tiga golongan yang tidak akan masuk surga dan Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan melihat mereka pada hari kiamat kelak:

(1) anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya,

(2) wanita yang berperilaku seperti lelaki yang menyerupai kaum lelaki, dan

(3) dayyuts (kepala keluarga yang tidak memiliki kecemburuan terhadap keluarganya dengan membiarkan kemungkaran di tengah-tengah mereka). (HR. an-Nasa’i, kata al-Imam al-Hakim rahimahullah, “Shahihul isnad,” dan disepakati oleh adz-Dzahabi rahimahullah. Kata al-Imam al-Albani rahimahullah, “Hadits ini sebagaimana yang dikatakan keduanya, insya Allah.” Lihat catatan kaki Jilbab al- Mar’ah al-Muslimah, hlm. 145)

Suka Mengadu Domba

Dari Hudzaifah Ibnul Yaman radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

.لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ

“Tidak akan masuk surga orang yang suka namimah.” (HR. al-Bukhari no. 6056 dan Muslim no. 287)

Namimah adalah salah satu penyakit lisan. Definisinya ialah menukil ucapan seseorang untuk disampaikan kepada orang lain dengan maksud merusak hubungan di antara mereka. (al-Minhaj, 2/295)

Mengadu domba, demikian sebutan yang biasa kita katakan terhadap perbuatan orang yang suka namimah. Walau dalam hadits tidak disebutkan perempuan sebagai pelakunya secara khusus, tetapi kenyataannya perbuatan namimah banyak dilakukan oleh kaum hawa, sebagaimana mereka jatuh dalam penyakit lisan lainnya, seperti ghibah, mencela, melaknat, dan berdusta. Kita mohon keselamatan dan penjagaan dari berbuat dosa kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Akan tetapi, yang sangat disesalkan, meski namimah termasuk dosa besar, banyak wanita yang menganggapnya remeh. Padahal namimah bukan dosa yang biasa-biasa saja. Allah subhanahu wa ta’ala mencela orang yang memiliki sifat suka namimah dan melarang mendengarkan ucapannya,

وَلَا تُطِعۡ كُلَّ حَلَّافٖ مَّهِينٍ ١٠  هَمَّازٖ مَّشَّآءِۢ بِنَمِيمٖ ١١

“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang ke sana kemari berbuat namimah.” (Al- Qalam: 1011)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebutkan bahwa namimah merupakan salah satu dosa yang menjadi sebab seseorang diazab dalam kuburnya, sebagaimana dalam Shahihain yang disampaikan lewat sahabat yang mulia, Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma.

Ancaman Tidak Masuk Surga

Sebagian salaf mengatakan bahwa dalil yang berisi ancaman seperti dalam hadits di atas, ‘tidak akan mencium wangi surga atau tidak akan masuk surga’, dipahami sebagaimana adanya tanpa perlu dimaknai yang lain. Sebab, hal ini lebih mengena dalam hal memberikan peringatan. (Nashihati lin Nisa’, karya Ummu Abdillah bintu Syaikh Muqbil rahimahullah, hlm. 34)

Jadi, karena ancaman yang sangat keras, orang akan berpikir panjang untuk melakukan perbuatan tersebut.

Adapula yang memaknai ancaman tersebut sebagaimana berikut.

  1. Orang yang menghalalkan yang haram dalam keadaan dia tahu itu sebenarnya haram menurut hukum Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi dia tidak peduli. Dia kafir murtad dari Islam karena telah mengingkari dan mendustakan nash.

Dengan kekafirannya tersebut, dia kekal selamanya dalam neraka, tidak mungkin masuk surga.

  1. Dia tidak masuk surga dari awal bersama orang-orang yang selamat.

Akan tetapi, dia harus mempertanggungjawabkan dosanya terlebih dahulu dengan beroleh azab neraka sesuai kadar dosanya. (al- Minhaj, 17/189)

Yang jelas, sebagai hamba yang taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tidak sepantasnya meremehkan perbuatan dosa, walau sekecil apapun; apalagi dosa yang diancam ‘tidak akan masuk surga’ bagi pelakunya.

Masuk surga adalah cita-cita tertinggi bagi seorang mukmin. Oleh karena itu, jangan sampai kita gagal meraihnya. Wallahul musta’an.

Yang Paling Mulia Yang Paling Bertakwa

Yang Paling Mulia Yang Paling Bertakwa 

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Mungkin ada yang menyangka bahwa yang paling mulia adalah yang kaya harta, dari golongan konglomerat, yang cantik rupawan, yang punya jabatan tinggi, berasal dari keturunan Arab atau bangsawan. Namun, Allah sendiri menegaskan yang paling mulia adalah yang paling bertakwa.

Ayat yang patut jadi renungan saat ini adalah firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat: 13)

Ath Thobari rahimahullah berkata, “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian –wahai manusia- adalah yang paling tinggi takwanya pada Allah, yaitu dengan menunaikan berbagai kewajiban dan menjauhi maksiat. Bukanlah yang paling mulia dilihat dari rumahnya yang megah atau berasal dari keturunan yang mulia.” (Tafsir Ath Thobari, 21:386)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,  “Sesungguhnya kalian bisa mulia dengan takwa dan bukan dilihat dari keturunan kalian” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 13: 169)

Sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

كرم الدنيا الغنى، وكرم الآخرة التقوى.

Mulianya seseorang di dunia adalah karena kaya. Namun muliany seseorang di akhirat karena takwanya.” Demikian dinukil dalam tafsir Al Baghowi. (Ma’alimut Tanzil, 7: 348)

Kata Al Alusi, ayat ini berisi larangan untuk saling berbangga dengan keturunan. Al Alusi rahimahulah berkata, “Sesungguhnya yang paling mulia dan paling tinggi derajatnya di antara kalian di sisi Allah di dunia maupun di akhirat adalah yang paling bertakwa. Jika kalian ingin saling berbangga, saling berbanggalah dengan takwa (kalian).” (Ruhul Ma’ani, 19: 290)

Dalam tafsir Al Bahr Al Muhith (10: 116) disebutkan, “Sesungguhnya Allah menjadikan kalian sebagaimana yang disebutkan dalam ayat (yaitu ada yang berasal dari non Arab dan ada yang Arab). Hal ini bertujuan supaya kalian saling mengenal satu dan lainnya walau beda keturunan. Janganlah kalian mengklaim berasal dari keturunan yang lain. Jangan pula kalian berbangga dengan mulianya nasab bapak atau kakek kalian. Salinglah mengklaim siapa yang paling mulia dengan takwa.”

Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani rahimahullah berkata, “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa. Yang bertakwa itulah yang berhak menyandang kemuliaan, yaitu lebih mulia dari orang yang tidak memiliki sifat takwa. Dialah yang paling mulia dan tinggi kedudukannya (di sisi Allah). Jadi, klaim kalian dengan saling berbangga pada nasab kalian yang mulia, maka itu bukan menunjukkan kemuliaan. Hal itu tidak menunjukkan seseorang lebih mulia dan memiliki kedudukan utama (di sisi Allah).” (Fathul Qodir, 7: 20)

Dalam tafsir Al Jalalain (528) disebutkan, “Janganlah kalian saling berbangga dengan tingginya nasab kalian. Seharusnya kalian saling berbangga manakah di antara kalian yang paling bertakwa.”

Syaikh As Sa’di rahimahullah berkata, “Allah menjadikan kalian berbeda bangsa dan suku (ada yang Arab dan ada yang non Arab) supaya kalian saling mengenal dan mengetahui nasab satu dan lainnya. Namun kemuliaan diukur dari takwa. Itulah yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah, yang rajin melakukan ketaatan dan menjauhi maksiat. Standar kemuliaan (di sisi Allah) bukan dilihat dari kekerabatan dan kaum, bukan pula dilihat dari sisi nasab yang mulia. Allah pun Maha Mengetahui dan Maha Mengenal. Allah benar-benar tahu siapa yang bertakwa  secara lahir dan batin, atau yang bertakwa secara lahiriyah saja, namun tidak secara batin. Allah pun akan membalasnya sesuai realita yang ada.” (Taisir Al Karimir Rahman, 802)

Banyak hadits pula yang menyebutkan hal di atas, yaitu semulia-mulia manusia adalah yang paling bertakwa.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَىُّ النَّاسِ أَكْرَمُ قَالَ « أَكْرَمُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاهُمْ » . قَالُوا لَيْسَ عَنْ هَذَا نَسْأَلُكَ . قَالَ « فَأَكْرَمُ النَّاسِ يُوسُفُ نَبِىُّ اللَّهِ ابْنُ نَبِىِّ اللَّهِ ابْنِ نَبِىِّ اللَّهِ ابْنِ خَلِيلِ اللَّهِ » . قَالُوا لَيْسَ عَنْ هَذَا نَسْأَلُكَ . قَالَ « فَعَنْ مَعَادِنِ الْعَرَبِ تَسْأَلُونِى » . قَالُوا نَعَمْ . قَالَ « فَخِيَارُكُمْ فِى الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُكُمْ فِى الإِسْلاَمِ إِذَا فَقِهُوا »

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Siapakah orang yang paling mulia?” “Yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara mereka”, jawab Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang tersebut berkata, “Bukan itu yang kami tanyakan”. “Manusia yang paling mulia adalah Yusuf, nabi Allah, anak dari Nabi Allah, anak dari nabi Allah, anak dari kekasih-Nya”, jawab beliau. Orang tersebut berkata lagi, “Bukan itu yang kami tanyakan”. “Apa dari keturunan Arab?”, tanya beliau. Mereka menjawab, “Iya betul”. Beliau bersabada, “Yang terbaik di antara kalian di masa jahiliyah adalah yang terbaik dalam Islam jika dia itu fakih (paham agama).” (HR. Bukhari no. 4689)

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ ».

Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada rupa dan harta kalian. Namun yang Allah lihat adalah hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564)

عَنْ أَبِى ذَرٍّ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ لَهُ « انْظُرْ فَإِنَّكَ لَيْسَ بِخَيْرٍ مِنْ أَحْمَرَ وَلاَ أَسْوَدَ إِلاَّ أَنْ تَفْضُلَهُ بِتَقْوَى »

Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Lihatlah, engkau tidaklah akan baik dari orang yang berkulit merah atau berkulit hitam sampai engkau mengungguli mereka dengan takwa.” (HR. Ahmad, 5: 158. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih dilihat dari sanad lain)

Bukan kulit putih membuat kita mulia, bukan pula karena kita keturunan darah biru, keturunan Arab, atau anak konglomerat. Yang membuat kita mulia adalah karena takwa. Semoga pelajaran tentang ayat yang mulia ini bermanfaat dan bisa kita renungkan serta realisasikan. Wallahu waliyyut taufiq.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

@ Sabic Lab Riyadh KSA, 27 Dzulqo’dah 1432 H (25/10/2011)

Referensi:

  1. Fathul Qodir, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, sumber kitab: Mawqi’ Tafasir.
  2. Ma’alimut Tanzil, Abu Muhammad Al Husain bin Mas’ud Al Baghowi, terbitan Dar Thoyyibah, cetakan keempat, tahun 1417 H
  3. Ruhul Ma’ani fii Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim was Sab’il Matsanii, Mahmud bin ‘Abdullah Al Husaini Al Alusi, sumber kitab: Mawqi’ Tafasir.
  4. Tafsir Al Bahr Al Muhith, Abu Hayan Muhammad bin Yusuf bin ‘Ali bin Yusuf bin Hayyan, sumber kitab: Mawqi’ Tafasir.
  5. Tafsir Al Jalalain, Jalaluddin Al Mahalli dan Jalaluddin As Suyuthi, terbitan Darus Salam, cetakan kedua, 1422 H.
  6. Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Abul Fida’ Ismail bin Katsir Ad Dimasyqi, terbitan Muassasah Qurthubah.
  7. Tafsir Ath Thobari Jaami’ul Bayan ‘an Ta’wil Ayil Qur’an, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thobari, terbitan Dar Hijr.
  8. Taisir Al Karimir Rahman fii Tafsir Kalamil Mannan, ‘Abdurrahman bin Naashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1420 H.

Manusia Yang Gagal

Manusia Yang Gagal 

Salah satu yang sangat indah dalam agama kita yang merupakan bagian terdepan dari ketaqwaan adalah Tawakal kepada Allah, menggantungkan diri hanya kepada Allah adalah hal yang disepakati oleh setiap muslim. Bahkan setiap manusia sangat membutuhkan tempat untuk bergantung dan mengharap.

Setiap muslim harus meyakini bahwa hanya Allah lah yang dapat mendatangkan kebaikan dan keburukan. Orang-orang musyrikin di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  pun tahu bahwa hanya Allah lah yang dapat mendatangkan kebaikan dan keburukan, namun mereka memohon dan berharap kepada selain Allah karena hawa nafsu mereka untuk mempertahankan kesalahan nenek moyang mereka.

Allah berfirman:

قُلْ أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ

“Katakanlah (hai Muhammad kepada orang-orang musyrik) : “terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemadhoratan kepadaku, apakah berhala-berhala itu dapat menghilangkan kemadhorotan itu ?, atau jika Allah menghendaki untuk melimpahkan suatu rahmat kepadaku apakah mereka mampu menahan rahmatNya ?”, katakanlah : “cukuplah Allah bagiku, hanya kepada-Nya lah orang orang yang berserah diri bertawakkal.” [QS. Az zumar: 38]

Al-Imam Muqatil berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada mereka (sesuai yang diperintahkan Allah) namun mereka orang-orang musyrik terdiam, tidak menjawab karena mereka tidak meyakini bahwa tempat mereka meminta dan berharap mampu melakukan hal tersebut.”

Dari pertanyaan Allah ini, sangat jelas bisa dipahami bahwa jika kita mengakui tempat kita meminta dan mengharap tersebut tidak mampu melawan kekuasaan Allah maka kenapa mesti kita menyeru dan mengharap pada mereka? Kenapa kita tidak berharap, memohon dan bergantung hanya kepada Allah yang Mahakuasa atas segala sesuatu!? Kenapa kita tidak langsung bermunajat kepada Allah dan berdoa kepada-Nya padahal Dia telah memerintahkan kita untuk berhubungan langsung kepada-Nya?. Allah berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”.” (Al-Mukmin: 60)

Jawabannya: Tentu bisikan syaithanlah yang membuat kita berpaling dari Dzat yang Mahaagung, yang Mahapemurah, yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang.

Sayangnya diantara kaum muslimin ada juga yang mengikuti jejak orang-orang musyrik, dengan mengharap dan berdoa kepada selain Allah, seperti penunggu gunung, penunggu tempat-tempat angker, penunggu pohon-pohon dan lautan. Na’udzubillah. Inilah inti dari kesyirikan orang-orang musyrik di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana yang bisa kita pahami dari Firman Allah di Surat az-Zumar; 38.

Semisal dengan ini, juga perbuatan sebagaian orang yang memakai gelang untuk menolak bala, menolak penyakit dan gangguan jin, memakai jimat dengan segala macam modelnya.
Mari kita perhatikan bagaimana kerasnya peringatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada orang-orang yang berbuat seperti ini.

Imron bin Husain menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat seorang laki-laki memakai gelang yang terbuat dari kuningan, kemudian beliau bertanya : “Apakah itu ?”, orang tersebut  menjawab : “gelang penangkal penyakit,” lalu Nabi bersabda : “lepaskan gelang itu, karena sesungguhnya ia tidak akan menambah kecuali kelemahan pada dirimu, dan jika kamu mati sedangkan gelang ini masih ada pada tubuhmu maka kamu tidak akan beruntung selama lamanya.” (HR. Ahmad)

Tergambar dalam benak orang-orang yang memakai penangkal maupun jimat, bahwa jimat mereka mendatangkan manfaat dan membendung kemudharatan. Akan tetapi jika mereka ditanya seperti pertanyaan Allah di Surat Az-Zumar; 38, mereka akan terdiam atau mereka akan menjawab: “tentu saja, jika Allah berkehendak lain, jimat dan penangkal tersebut tidak akan bermanfaat.” Lantas buat apa kita memakai jimat jika manfaat dan mudarat itu hanya tergantung pada kehendak Allah ?
Bukankah itu hanya menambah beban untuk kita, membuat kita berpaling kepada selain Allah ?

Sungguh benar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa penangkal dan jimat hanya akan menambah kelemahan pada diri seseorang. Padahal Allah dan Rasul-Nya telah banyak mengajarkan kita cara berdoa langsung kepada Allah untuk melindungi kita, dan Allah adalah sebaik-baik pelindung.
Berdoa, berharap dan bergantung hanya kepada Allah adalah sebab yang paling manjur, sebab yang dihalalkan dan disyariatkan, sedangkan jimat dan penangkal adalah sebab yang diharamkan bahkan digolongkan sebagai perbuatan menyekutukan Allah sebagaimana yang dilakukan oleh kaum musyrik di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Sangat jelas dari hadits di atas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan sahabat yang memakai penangkal untuk melepaskannya dan mengatakan bahwa jika ia masih memakainya sampai meninggal dan tidak bertaubat kepada Allah, maka ia tidak akan beruntung selama-lamanya.
Artinya ia akan mendapat kerugian selama-lamanya, yaitu kerugian dicampakkan dalam neraka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

من تعلق تميمة فقد أشرك

“Barang siapa yang memakai penangkal maka ia telah melakukan kesyirikan.” (HR. Ahmad)

Diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad dan al-Hakim dari sahabat Uqbah bin Amir al-Juhani beliau berkata: “Pernah datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam serombongan orang, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaiat sembilan orang diantara mereka masuk dalam agama Islam, dan menahan satu orang. Para sahabat bertanya: wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mengapa engkau membaiat 9 orang dan tidak membaiat yang satu? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: ia memakai penangkal. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memasukkan tangan beliau dan memotong penangkal tersebut, kemudian beliau bersabda:
“Barang siapa yang memakai penangkal maka ia telah melakukan kesyirikan.”

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Hudzaifah bahwa ia melihat seorang laki-laki yang ditangannya ada benang untuk mengobati sakit panas, maka dia putuskan benang itu seraya membaca firman Allah:

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا وَهُمْ مُشْرِكُونَ

“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sesembahan sesembahan lain ).” (QS. Yusuf, 106).

Dari ayat dan hadits di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa memakai jimat dalam bentuk apapun, merupakan perbuatan syirik (menyekutukan) Allah.

Pemimpin Cerminan Rakyat

Pemimpin Cerminan Rakyat

Belum ada ceritanya, dan tidak akan pernah ada ceritanya, dimana seekor singa menjadi pemimpin gerombolan tikus; atau sebaliknya, seekor tikus menjadi pemimpin kawanan singa. Karena secara umum, pemimpin merupakan cerminan kualitas mayoritas dari yang dipimpinnya. Kami katakan secara umum, karena ada pengecualian pada kasus – kasus tertentu.

Allâh -‘Azza wa Jalla- berfirman :

وَكَذَٰلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang – orang yang zhalim itu menjadi pemimpin bagi sebahagian yang lainnya disebabkan apa yang mereka kerjakan (dari dosa – dosa).”_ QS. Al-An’âm : 129.

Ketika ditanya tentang makna ayat yang mulia tersebut, Al-Imâm Al-A’masiy -Rahimahullâh- berkata : “Aku mendengar mereka (Para Salaf) berkata : ‘Jika manusia sudah rusak, maka mereka akan dipimpin oleh orang – orang jahat mereka.”‘__ Ad-Durru Al-Mantsûr : 3/358.

Al-Imâm Ath-Thabrâniy -Rahimahullâh- meriwayatkan tentang Al-Imâm Al-Hasan Al-Bashry -Rahimahullâh- bahwa Beliau mendengar seorang laki-laki mendoakan keburukan untuk Al-Hajjâj Ibnu Yusuf Ats-Tsaqafiy, lantas Beliau berkata :

“Janganlah Engkau lakukan itu! Kalian diberikan pemimpin seperti ini karena (kesalahan) diri – diri Kalian sendiri. Kami khawatir, jika Al-Hajjâj digulingkan atau meninggal, maka monyet dan babi yang akan menjadi penguasa Kalian, sebagaimana telah diriwayatkan bahwa pemimpin Kalian adalah buah dari amalan Kalian, dan Kalian akan dipimpin oleh orang yang seperti Kalian.” __ Kasyfu Al-Khafâ : 1/148.

Beliau -Rahimahullâh- juga berkata terkait kasus Al-Hajjâj Ibnu Yusuf Ats-Tsaqafiy : “Al-Hajjâj adalah hukuman dari Allâh -‘Azza wa Jalla- bagi Kalian yang belum pernah ada sebelumnya. Janganlah Kalian merespon hukuman Allâh -‘Azza wa Jalla- ini dengan pedang! Namun sambutlah hukuman ini dengan bertaubat kepada Allâh -‘Azza wa Jalla- dan tunduk kepada-Nya! Bertaubatlah Kalian, niscaya Kalian akan terpelihara darinya!” __ Thabaqât Ibnu Sa’ad : 7/164.

Al-Imâm Ibnul Qayyim -Rahimahullâh- berkata : “Ada sebagian dari Para Nabi Bani Isra’il menyaksikan apa yang diperbuat oleh raja Bukhtanashar, lantas iapun berkata (kepada Allâh -‘Azza wa Jalla-) : ‘Karena perbutan tangan-tangan Kami ini, Engkau berikan kekuasaan kepada seorang yang tidak mengenal-Mu dan tidak menyayangi Kami.”‘ __ Ad-Dâ’ wad Dawâ : 75.

Beliau -Rahimahullâh- juga berkata :

“Renungilah hikmah Allâh -‘Azza wa Jalla- yang telah memilih para raja, penguasa dan pelindung umat manusia berdasarkan perbuatan rakyatnya, bahkan seakan perbuatan rakyat tergambar dalam prilaku pemimpin dan penguasa mereka.

Jika rakyat istiqamah dan lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun jika rakyat berbuat zhalim, maka penguasa mereka juga akan berbuat zalim pula. Jika menyebar tindakan penipuan di tengah – tengah rakyat, maka demikian pula pemimpin mereka. Jika rakyat bakhil dan tidak menunaikan hak – hak Allâh -‘Azza wa Jalla- yang ada pada mereka, maka para pemimpin juga akan bakhil dan tidak menunaikan hak – hak rakyat yang ada pada mereka. Jika dalam bermuamalah, rakyat mengambil sesuatu yang bukan haknya dari orang – orang lemah, maka pemimpin mereka juga akan mengambil sesuatu yang bukan haknya dari rakyatnya serta akan membebani mereka dengan berbagai beban tugas yang berat. Semua yang diambil oleh rakyat dari orang – orang lemah maka akan diambil paksa oleh para pemimpin dari mereka. Jadi (karakter) para penguasa itu tampak jelas pada prilaku rakyatnya.

Jelas bukan hikmah ilahiyah, mengangkat penguasa bagi orang jahat dan buruk perangainya kecuali dari orang yang sama dengan mereka.

Ketika masa – masa awal Islam berisi generasi terbaik, maka demikian pula pemimpin – pemimpin kala itu. Ketika rakyat mulai rusak, maka pemimpin mereka juga mulai rusak.

Jelas tidak sejalan dengan hikmah Allâh -‘Azza wa Jalla-, (jika) pada zaman ini Kita dipimpin oleh pemimpin yang seperti Mu’âwiyah dan ‘Umar Ibmu ‘Abdil ‘Aziiz -Rahimahullâh-, apalagi dipimpin oleh pemimpin sekelas Abu Bakar -Radhiyallâhu ‘Anhu- dan Umar -Radhiyallâhu ‘Anhu-. Akan tetapi pemimpin Kita itu sesuai dengan kondisi Kita. Begitu pula pemimpin orang – orang sebelum Kita sesuai dengan kondisi rakyat pada saat itu. Masing – masing dari kedua hal tersebut merupakan sebab akibat dan tuntunan hikmah Allâh -‘Azza wa Jalla-.

Orang yang punya kecerdasan, apabila merenungkan masalah ini, maka dia akan menemukan bahwa hikmah ilahiyah itu senantiasa berjalan seiring dengan qadha’ dan qadar, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, begitulah pula dalam masalah penciptaan dan perintah agama. Jangan sampai Anda menduga dan menyangka bahwa ada diantara qadha dan taqdir Allâh -‘Azza wa Jalla- yang tidak mengandung hikmah. Bahkan semua qadha dan qadar-Nya itu terjadi sesuai dengan hikmah dan kebenaran yang paling sempurna. Tetapi, karena keterbatasan dan kelemahan akal manusia, sehingga mereka tidak sanggup memahaminya, sebagaimana mata kelelawar karena lemahnya ia tidak sanggup melihat sinar matahari. Akal – akal yang lemah ini, apabila berjumpa dengan kebatilan, akan menerima dan menyebarkannya, sebagaimana kelelawar yang terbang dan pergi saat kegelapan malam telah datang. _ Miftâh Dâris Sa’âdah : 1/253.

Dari Hudzaifah -Radhiyallâhu ‘Anhu-, Rasûlullâh -Shallallâhu ‘Alaihi Wassalam- bersabda :

يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمِانِ إِنْسِ قَالَ : قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ – يَارَسُوْلَ اللهِ- إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ؟ قَالَ: «تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ ، وَإِنْ ضَرَبَ ظَهْرَكَ، وَأَخَذَ مَالَكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِع

“Nanti sepeninggalanku, akan ada pemimpin – pemimpin yang tidak mengambil petunjuk dari petunjukku, tidak pula mengambil teladan dari sunnahku. Nanti akan ada di tengah – tengah mereka orang – orang yang berhati setan berbadan manusia.”

Aku (Hudzaifah- berkata : “Wahai Rasûlullâh, apa yang harus aku lakukan jika aku mendapatkan zaman seperti itu?”

Beliau -Shallallâhu ‘Alaihi Wassalam- bersabda : “Dengarlah dan ta’atlah kepada pemimpinmu, walaupun mereka memukul punggungmu dan mengambil hartamu.Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka. _ HR. Muslim : 1847.

Persahabatan Yang Sampai Ke Surga Selamanya

Persahabatan Yang Sampai Ke Surga Selamanya 

Sungguh bersahabat dengan orang-orang yang saleh adalah nikmat yang sangat besar. Maka dari itu, sudah sepantasnya kita memahami hadits tentang sahabat berikut ini. Umar bin Khattab berkata,

ما أعطي العبد بعد الإسلام نعمة خيراً من أخ صالح فإذا وجد أحدكم وداً من أخيه فليتمسك به

“Tidaklah seseorang diberikan kenikmatan setelah Islam, yang lebih baik daripada kenikmatan memiliki saudara (semuslim) yang saleh. Apabila engkau dapati salah seorang sahabat yang saleh maka pegang lah erat-erat.” [Quutul Qulub 2/17]

Sangat banyak keuntungan memiliki sahabat yang saleh diantaranya:

  1. Sahabat yang saleh akan selalu membenarkan dan menasehati kita apabila salah. Inilah sahabat yang sesungguhnya, bukan hanya sahabat saat bersenang-senang saja atau sahabat yang memuji karena basa-basi saja. Sebuah ungkapan arab berbunyi:ﺻﺪﻳﻘﻚ ﻣﻦ ﺻﺪﻗﻚ ﻻ ﻣﻦ ﺻﺪﻗﻚ“Shadiqaka man shadaqaka laa man shaddaqaka”“Sahabat sejati-mu adalah yang senantiasa jujur (kalau salah diingatkan), bukan yang senantiasa membenarkanmu”
  2. Sahabat yang saleh juga akan selalu mendoakan shahabatnya karena apabila ia mendoakan sahabatnya, sedangkan sahabatnya tidak mengetaui, maka malaikat juga meng-amin-kan doa tersebut sambil mendoakan bagi yang berdoa tadi, artinya orang yang mendoakan juga mendapatkan apa yang ia doakan kepada saudaranya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ“Sesungguhnya doa seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah doa yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang akan mendoakan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan doanya. Tatkala dia mendoakan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata: Aamiin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi.” (HR. Muslim, no. 2733)
  3. Sifat seseorang dan kesalehan itu “menular”, dengan berkumpul bersama orang saleh, maka kita juga akan menjadi saleh dengan izin Allah.Perhatikan hadits berikut:عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “مَثَلُ الجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ، كَحَامِلِ المِسْكِ وَنَافِخِ الكِيرِ، فَحَامِلُ المِسْكِ: إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الكِيرِ: إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً “Perumpamaan kawan yang baik dan kawan yang buruk seperti seorang penjual minyak wangi dan seorang peniup alat untuk menyalakan api (pandai besi). Adapun penjual minyak wangi, mungkin dia akan memberikan hadiah kepadamu, atau engkau membeli darinya, atau engkau  mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, mungkin dia akan membakar  pakaianmu, atau engkau mendapatkan bau yang buruk”.[HR. Bukhari dan Muslim]

Dari semua keutamaan memiliki sahabat yang saleh, ada keutamaan yang juga merupakan kenikmatan besar, yaitu persahabatan orang yang saleh akan berlanjut sampai surga dan akan kekal selamanya. Tentu ini kenikmatan yang sangat besar, karena antara sahabat dekat pasti tidak ingin berpisah dengan sahabat lainnya. Persahabatan sementara di dunia kemudian dipisahkan dengan kematian begitu saja, tentu bukan akhir yang indah.

Salah satu dalil bahwa akan ada persahabatan di hari kiamat akan berlanjut bahwa orang yang saling mencintai (termasuk para sahabat) akan dikumpulkan bersama di hari kiamat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ

“Setiap orang akan dikumpulkan bersama orang yang ia cintai.’” (HR. Bukhari, no. 6170; Muslim, no. 2640)

Untuk memfasilitasi hal ini, Allah Ta’ala memberikan keutaamaan kepada seseorang untuk memberikan syafaat kepada sahabatnya yang lain, agar mereka bisa sama-sama masuk surga dan berkumpul kembali.

Hasan Al- Bashri berkata,

استكثروا من الأصدقاء المؤمنين فإن لهم شفاعة يوم القيامة

”Perbanyaklah berteman dengan orang-orang yang beriman. Karena mereka memiliki syafaat pada hari klamat.” (Ma’alimut Tanzil 4/268)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang syafaat antara sahabat di hari kiamat,

حتى إذا خلص المؤمنون من النار، فوالذي نفسي بيده، ما منكم من أحد بأشد مناشدة لله في استقصاء الحق من المؤمنين لله يوم القيامة لإخوانهم الذين في النار، يقولون: ربنا كانوا يصومون معنا ويصلون ويحجون، فيقال لهم: أخرجوا من عرفتم، فتحرم صورهم على النار، فيخرجون خلقا كثيرا قد أخذت النار إلى نصف ساقيه، وإلى ركبتيه، ثم يقولون: ربنا ما بقي فيها أحد ممن أمرتنا به، فيقول: ارجعوا فمن وجدتم في قلبه مثقال دينار من خير فأخرجوه، فيخرجون خلقا كثيرا، ثم يقولون: ربنا لم نذر فيها أحدا ممن أمرتنا…

“Setelah orang-orang mukmin itu dibebaskan dari neraka, demi Allah, Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kalian begitu gigih dalam memohon kepada Allah untuk memperjuangkan hak untuk saudara-saudaranya yang berada di dalam neraka pada hari kiamat. Mereka memohon: Wahai Tuhan kami, mereka itu (yang tinggal di neraka) pernah berpuasa bersama kami, shalat, dan juga haji.

Dijawab: ”Keluarkan (dari neraka) orang-orang yang kalian kenal.” Hingga wajah mereka diharamkan untuk dibakar oleh api neraka.

Para mukminin inipun MENGELUARKAN BANYAK SAUDARANYA yang telah dibakar di neraka, ada yang dibakar sampai betisnya dan ada yang sampai lututnya.

Kemudian orang mukmin itu lapor kepada Allah, ”Ya Tuhan kami, orang yang Engkau perintahkan untuk dientaskan dari neraka, sudah tidak tersisa.”

Allah berfirman, ”Kembali lagi, keluarkanlah yang masih memiliki iman seberat dinar.”

Maka dikeluarkanlah orang mukmin banyak sekali yang disiksa di neraka. Kemudian mereka melapor, ”Wahai Tuhan kami, kami tidak meninggalkan seorangpun orang yang Engkau perintahkan untuk dientas…” (HR. Muslim no. 183).

Demikian semoga bermanfaat.

Ini Dia Muadzinnya Syaitan

Ini Dia Muadzinnya Syaitan 

Cuma karena mendengar musik, ada seorang perawi hadits ditinggalkan riwayatnya.

Diceritakan oleh Imam Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam An-Nubala’ (5: 184) bahwa Al-Minhal bin ‘Amr Al-Asadi yang meninggal tahun 110-an Hijriyah diceritakan sebagai berikut.

“Syu’bah meninggalkan periwayatan dari Al-Minhal cuma karena ia mendengar alat musik di rumahnya.”

Versi lainnya, Syu’bah pernah mendatangi rumah Al-Minhal lalu ia mendengar suara at-tunbur (sejenis alat musik) di dalam rumahnya. Syu’bah pun langsung pulang dan tidak bertanya lagi tentang hadits pada Al-Minhal. (Disebutkan dalam Adh-Dhu’afa’, 4: 237)

IBRAH …

Coba renungkan segitu bahayanya musik sampai membuat riwayat hadits tertolak.

Keadaan kita saat ini sudah terbiasa mendengarnya. Ada yang tidak disengaja dan berlalu begitu saja. Namun kadang kita menikmatinya dengan kesengajaan. Bahkan di gadget atau telepon genggam, kita pun enak menikmatinya.

Siapakah yang lebih hati-hati menjaga hati, mereka para ulama ataukah kita?

Ya Allah lindungilah pendengaran kami dari hal yang sia-sia. Jadikanlah pendengaran kami lebih senang untuk mendengar Kalam-Mu.

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ سَمْعِى وَمِنْ شَرِّ بَصَرِى وَمِنْ شَرِّ لِسَانِى وَمِنْ شَرِّ قَلْبِى وَمِنْ شَرِّ مَنِيِّى

“Allahumma inni a’udzu bika min syarri sam’ii, wa min syarri basharii, wa min syarri lisanii, wa min syarri qalbii, wa min syarri maniyyi”

(artinya: Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari kejelakan pada pendengaranku, dari kejelakan pada penglihatanku, dari kejelekan pada lisanku, dari kejelekan pada hatiku, serta dari kejelakan pada mani atau kemaluanku). (HR. An-Nasa’i, no. 5446; Abu Daud, no. 1551; Tirmidzi, no. 3492. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Merasa Diawasi Alloh

Merasa Diawasi Alloh 

Muraqabah, sebuah kata yang asing bagi kita karena memang bukan berasal dari bahasa kita. Kata ini berasal dari bahasa Arab.

Lantas apa gerangan makna kata ini hingga kita bisa menjawab pertanyaan pada judul di atas?

Muraqabah memiliki dua sisi:

  1. Engkau selalu menghadirkan perasaan diawasi oleh Allah subhanahu wa ta’alaengkau selalu mawas diri, memerhatikan dirimu yang engkau sadar dirimu senantiasa diawasi oleh-Nya.
  2. Engkau percaya bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengawasimu, sebagaimana firman-Nya,

          وَكَانَ ٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ رَّقِيبٗا ٥٢

“Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu.” (al-Ahzab: 52)

Dengan muraqabah ini, engkau yakin bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui segala tindak tandukmu, apakah itu ucapanmu, perbuatanmu, ataupun keyakinan yang tersembunyi dalam kalbumu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱلۡعَزِيزِ ٱلرَّحِيمِ ٢١٧ ٱلَّذِي يَرَىٰكَ حِينَ تَقُومُ ٢١٨  وَتَقَلُّبَكَ فِي ٱلسَّٰجِدِينَ ٢١٩

“Bertawakallah engkau kepada Dzat Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang. Yang Dia melihatmu ketika engkau berdiri (melakukan ibadah). Dan Dia melihat gerak-gerikmu di antara orang-orang yang sujud.” (asy-Syu’ara: 217—219)

Allah subhanahu wa ta’ala melihat apa yang engkau lakukan di tengah malam yang gulita saat tidak ada seorang pun melihat dirimu. Saat engkau berdiri untuk ibadah kepada-Nya, Dia tahu. Saat engkau sujud, Dia pun tahu.

Dengan muraqabah, engkau yakin Allah subhanahu wa ta’ala mendengar semua yang terucap oleh lisanmu. Karena itu, engkau jaga lisanmu agar tidak berucap kecuali kebenaran atau diam, sebagaimana bimbingan agung sang Rasul yang agung shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ الْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata baik atau hendaknya dia diam.”

Dengan muraqabah, engkau jaga pandangan matamu agar tidak melihat sesuatu yang diharamkan walau sembunyi-sembunyi. Sebab, engkau yakin dengan firman-Nya,

يَعۡلَمُ خَآئِنَةَ ٱلۡأَعۡيُنِ وَمَا تُخۡفِي ٱلصُّدُورُ ١٩

“Dia mengetahui pandangan mata yang khianat dan apa yang tersimpan dalam dada.” (Ghafir: 19)

Dengan muraqabahengkau selalu memerhatikan kalbumu. Adakah di dalamnya penyakit yang harus dibasmi seperti syirik, riya, penyimpangan, iri dengki, benci, amarah, loyal kepada orang kafir, dan semisalnya, yang tidak Allah subhanahu wa ta’ala ridhai?

Engkau selalu memerhatikan kalbumu dan berusaha memperbaikinya. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ وَنَعۡلَمُ مَا تُوَسۡوِسُ بِهِۦ نَفۡسُهُۥۖ

“Sungguh Kami telah menciptakan manusia dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan oleh jiwanya.” (Qaf: 16)

Bagaimana pun rapatnya engkau menyimpannya, di sudut hatimu yang paling dalam, Allah subhanahu wa ta’ala pasti mengetahuinya. Jangankan yang ada di kalbu, semua yang di bumi dan di langit, tidak ada yang tersembunyi bagi Allah subhanahu wa ta’ala.

Dia Yang Mahaagung berfirman,

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَخۡفَىٰ عَلَيۡهِ شَيۡءٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فِي ٱلسَّمَآءِ ٥

“Sesungguhnya bagi Allah, tidak ada sesuatu pun di bumi dan tidak pula di langit yang tersembunyi bagi-Nya.” (Ali Imran: 5)

Segala sesuatu yang di bumi dan di langit itu ada yang dirinci-Nya sebagaimana dalam ayat berikut,

وَعِندَهُۥ مَفَاتِحُ ٱلۡغَيۡبِ لَا يَعۡلَمُهَآ إِلَّا هُوَۚ وَيَعۡلَمُ مَا فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِۚ وَمَا تَسۡقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعۡلَمُهَا وَلَا حَبَّةٖ فِي ظُلُمَٰتِ ٱلۡأَرۡضِ وَلَا رَطۡبٖ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَٰبٖ مُّبِينٖ ٥٩

“Di sisi-Nyalah kunci-kunci perbendaharaan yang gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia. Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan. Tidak ada selembar daun pun yang jatuh kecuali Dia mengetahuinya, tidak pula biji dalam kegelapan bumi, tidak pula yang basah dan tidak pula yang kering melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (al-An’am: 59)

Apabila demikian keluasan ilmu Allah subhanahu wa ta’ala, hendaklah setiap mukmin senantiasa merasa diawasi oleh Allah subhanahu wa ta’ala . Dia takut kepada-Nya di saat sendirian, sebagaimana halnya takut kepada-Nya saat terang-terangan.

Allah subhanahu wa ta’ala tidak pernah gaib dari hamba-hamba-Nya. Dia senantiasa bersama mereka di mana pun mereka berada. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَهُوَ مَعَكُمۡ أَيۡنَ مَا كُنتُمۡۚ

“Dan Dia bersama kalian di mana saja kalian berada.” (al-Hadid: 4)

Allah subhanahu wa ta’ala bersama kita tentu bukan maknanya Dia di bumi, satu tempat dengan kita. Tidak sama sekali! Ini pemahaman yang sesat dan batil. Mahasuci Dia!

Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala di atas segala sesuatu, sebagaimana disebutkan dalam banyak firman-Nya, di antaranya,

ٱلرَّحۡمَٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ ٥

“Ar-Rahman beristiwa (tinggi) di atas Arsy.” (Thaha: 5)

وَهُوَ ٱلۡقَاهِرُ فَوۡقَ عِبَادِهِۦۚ

“Dia Maha Memaksa di atas hamba-hamba-Nya.” (al-An’am: 18)

وَهُوَ ٱلۡعَلِيُّ ٱلۡعَظِيمُ ٢٥٥

“Dia Mahatinggi lagi Mahaagung.” (al-Baqarah: 255)

Allah subhanahu wa ta’ala tinggi dalam kedekatan-Nya dan dekat dalam ketinggian-Nya. Dzat Allah subhanahu wa ta’ala di atas sana, di atas seluruh makhluk-Nya, namun Dia senantiasa bersama para hamba-Nya karena ilmu-Nya meliputi mereka. Demikian pula pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, kekuasaan-Nya, kehendak-Nya, pengaturan-Nya, dan selainnya. Tidak ada yang lepas dari-Nya subhanahu wa ta’ala.

Barang siapa memiliki muraqabah ini, niscaya dia dapat beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan ihsan. Apa ihsan itu?

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang ihsan, beliau menjawab,

أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

“Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak bisa merasa melihat-Nya, (yakinlah) bahwa Dia melihatmu.”

Al-Ihsan adalah derajat yang paling tinggi dalam dienul Islam, setelah derajat al-islam (amaliah zahir) dan aliman (amaliah batin).

Maka dari itu, beribadahlah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan derajat ihsan, seakanakan engkau melihat dan menyaksikan-Nya dengan mata kepala. Inilah ibadah karena berharap dan rindu kepada Dzat yang diibadahi (ibadah raghbah).

Jika tidak bisa demikian, turunlah kepada derajat yang kedua, yaitu meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta’ala melihatmu dalam ibadahmu. Inilah ibadah karena takut kepada Dzat yang diibadahi (ibadah rahbah).

Dengan muraqabah, seorang hamba akan berupaya menjadi pribadi yang senantiasa bertakwa kepada Rabbnya, menjalankan semua yang diperintahkan karena berharap pahala dari-Nya dan menjauhi semua yang dilarang karena takut akan siksa dan azab-Nya. Dia bersegera menyambut seruan kebaikan dan meninggalkan ajakan kepada keburukan.

Kalau pun terjatuh dalam kejelekan, sebagai layaknya anak Adam, dia segera bangkit menengadahkan kedua tangannya memohon ampun kepada Rabbnya, bertobat dengan sebenarnya (taubatan nashuha), beristighfar, dan memperbanyak kebaikan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuntunkan,

وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا

“Ikutkanlah (susullah) keburukan dengan (perbuatan) kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskan keburukan.”

Setelah penjelasan ini, sudahkah kita memahami apa itu muraqabah dan sudahkah kita memilikinya?

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Sederhanakan Urusan Duniamu

Sederhanakan Urusan Duniamu 

Hidup di dunia ibarat musafir dan dia akan kembali ke negeri sejatinya yakni kampung akhirat. Sebagaimana orang yang menyewa sebuah rumah, tentunya ia akan berpikir ulang ketika akan memperbagus rumah tersebut dengan biaya yang tak sedikit. Atau membeli perabotan yang banyak yang memenuhinya.

Di sinilah mukmin yang cerdas akan menyederhanakan kehidupan dunianya dalam perkara-perkara yang tidak terlalu urgen. Sebatas hal-hal bermanfaat untuk kehidupan dunia yang semua itu dilakukan untuk menopang kehidupan akhirat. Sesuatu yang wajar-wajar saja dan tidak berlebihan agar semua yang dimilikinya terasa lebih nikmat, atau sesuatu yang dilakukannya benar-benar bermanfaat untuk tubuhnya, menguatkan hatinya, dan menambah iman dan takwanya pada Allah Ta’ala.

Untaian-untaian kata di bawah ini semoga semakin menambah semangat kita untuk menata ulang pola pikir bahwa dunia ini akan fana dan sirna karena dia adalah sebuah episode yang akan berakhir.

Orang yang mengejar akhirat maka dia akan menganggap dunia begitu remeh dan hatinya tidak akan galau hanya karena masalah dunia.

Hidup Tak Akan Galau

Ibnul Qayyim Al Jauziyah rahimahullah berkata: kegelisahan, kesusahan, dan kesedihan datang dari dua hal: pertama, menginginkan dan berambisi terhadap dunia; kedua, kurangnya melakukan amal kebaikan dan ketaatan (Uddatus Shabirin, hlm 258).

Orang yang orientasi hidupnya mengejar dunia dengan segala kenikmatannya tanpa menyisakan ruang hatinya untuk meraih kebahagiaan akhirat maka dia akan merugi, dunia belum tentu teraih sedangkan target akhirat bisa lepas.

Karena itu kejarlah akhirat niscaya dunia akan mendatangi kita. Saat dunia menari-nari dengan segala pesonanya yang memikat saat itulah hati terus risau karena semakin hati condong pada dunia maka kehidupan akhirat kian jauh untuk diraih.

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Adapun cara menguasai hati yang dikuasai oleh syahwat, perlu dinasehati dengan baik agar menyederhanakan urusan dunia dan meningkatkan urusan akhiratnya” (Ighasatul Lahfan Min Masha’idisy Syaitan, I:450)

Unggulilah dalam Urusan Akhirat

Menyederhanakan urusan dunia akan melapangkan hati sehingga dia tak akan sibuk meraih dunia secara berlebihan sehingga waktunya terforsir untuk mengejarnya. Karena obsesi puncaknya adalah kebahagiaan akhirat maka tatkala orang lain mengunggulinya dalam masalah harta, jabatan, anak, dan berbagai ragam kenikmatan dunia, maka dia tetap tawadhu’ dan tak gelisah. Sebaliknya justru semangatnya semakin membara untuk mengunggulinya dalam perkara ketakwaan dan ketaatan pada Allah Ta’ala. Hasan Al Bashri rahimahullah berkata: “Apabila engkau melihat seseorang mengunggulimu dalam hal dunia, maka unggulilah dia dalam hal akhirat” (Lathaif Al Ma’arif Ibnu Rajab Al Hanbali, hlm 428).

Sungguh hati ini sangat berkesan ketika melihat sosok mukminah yang Allah Ta’ala lapangkan rejekinya namun dari sisi penampilan begitu sederhana nyaris tak terlihat bahwa dia sosok kaya raya. Perabotannya juga tak beda dengan orang berkelas. Ditambah juga keunggulannya adalah dia justru mencurahkan waktunya, hidupnya, dan kakinya untuk mengejar kemuliaan akhirat. Bukan berarti dia meremehkan dunia namun dia memperioritaskan hidupnya untuk sesuatu yang abadi .

Demikian pula para umahat mukminin dan para shahabiyah mereka lebih fokus membaguskan iman, giat menuntut ilmu, beramal saleh meskipun kata-kata kehidupan mereka serba sederhana lagi bersahaja. Gebyar kemilau dunia tak menyurutkan langkanya untuk mencari kebahagiaan yang pasti yaitu negeri akhirat.

Hendaklah kalian menjauhi lebih-lebihan makan, bicara dan tidur, karena itu menjadi sebab hilangnya kenikmatan dunia dan akhirat. Saatnya hidup mulia dengan segala dilupakan nikamat dari Allah Ta’ala, menggunakannya untuk mencari akhirat dan menilai orang lain dengan kacamata akhirat, ketaqwaannya dan kesalehannya, bukan dengan standar dunia yang lebih mengagungkan materi, dengan menyediakan kehidupan dunia niscaya ia akan lebih siap mengumpulkan bekal menuju masa depannya dan hisabnya akan Akan lebih ringan dan mudah biidznillah.

Allah Ta’ala berfirman:

Kemudian kamu pasti ditanya pada hari itu tentang semua kenikmatan” (QS. At Takatsur: 8 ).

Semoga Allah memberi taufik.

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Referensi

1. 12 Kiat Ngalap Berkah, Muhammad Arifin bin Badri, Pustaka Darul Ilmi, Bogor 2009

2. Majalah Al – Furqon edisi 10 Th 10 Jumadil Ula 1432.

Inilah Rezeki Yang Terbaik

Inilah Rezeki Yang Terbaik 

Biasanya yang melalaikan shalat itu disebabkan sibuk dengan harta, kerajaan, kekuasaan dan sibuk berdagang. Jika keadaannya demikian, maka ia akan dikumpulkan bersama Qorun, Fir’aun, Haman, dan Ubay bin Kholaf.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menceritakan tentang shalat pada suatu hari di mana beliau bersabda,

مَنْ حَافَظَ عَلَيْهَا كَانَتْ لَهُ نُوراً وَبُرْهَاناً وَنَجَاةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ نُورٌ وَلاَ بُرْهَانٌ وَلاَ نَجَاةٌ وَكَانَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ قَارُونَ وَفِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَأُبَىِّ بْنِ خَلَفٍ

Siapa yang menjaga shalat, maka ia akan mendapatkan cahaya, petunjuk, keselamatan pada hari kiamat. Siapa yang tidak menjaganya, maka ia tidak mendapatkan cahaya, petunjuk, dan keselamatan kelak. Nantinya di hari kiamat, ia akan dikumpulkan bersama Qorun, Fir’aun, Haman, dan Ubay bin Kholaf.” (HR. Ahmad 2: 169. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Disebutkan empat orang di atas karena mereka adalah para pembesar orang kafir.

Ada faedah yang mengagumkan dari hadits di atas. Orang yang meninggalkan shalat biasa sibuk dengan harta, kerajaan, kekuasaan, dan berdagang.

Siapa yang sibuk dengan harta sehingga melalaikan shalatnya, maka ia akan dikumpulkan bersama Qorun.

Siapa yang sibuk dengan kerajaannya sehingga melalaikan shalatnya, maka ia akan dikumpulkan bersama Fir’aun.

Siapa yang sibuk dengan kekuasaan sehingga melalaikan shalat, maka ia akan dikumpulkan bersama Haman (menterinya Fir’aun).

Siapa yang sibuk dengan berdagang sehingga melalaikan shalat, maka ia akan dikumpulkan bersama Ubay bin Kholaf[1].

Semoga Allah memperbaiki iman kita dan terus memudahkan kita menjaga shalat lima waktu.

Referensi:

Ash Shalah wa Hukmu Tarikiha, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, terbitan Dar Al Imam Ahmad, cetakan pertama, tahun 1426 H, hal. 37-38.

Disusun saat Allah menurunkan nikmat hujan 13 Rabi’ul Awwal 1435 H @ Pesantren Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul.

Oleh -akhukum fillah- Muhammad Abduh Tuasikal


[1] Ubay bin Kholaf adalah seorang tokoh atau pembesar Quraisy yang kaya raya, yang selalu aktif mengejek dan menghina Muhammad dengan kekayaannya.

Sampai-sampai surat Al Infithar yang membicarakan tentang orang yang mendustakan hari kiamat, yang dimaksud adalah Ubay bin Khalaf sebagaimana kata ‘Ikrimah. Lihat Zaadul Masiir, 9: 47.

Wanita Ujian Terbesar Kaum Laki laki

Wanita Ujian Terbesar Kaum Laki laki 

Termasuk dari rahmat-Nya, Allah  menciptakan hamparan dunia begitu indah lengkap dengan keragaman muatannya. Menganugerahkan kepada manusia berbagai kekayaan penuh pesona. Anak, istri, harta, tahta, dan dunia seluruhnya begitu menyejukkan mata. Allah berfirman,

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآب

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali ‘Imran: 14)

Ayat di atas menjelaskan bahwa mencintai wanita dan dunia adalah fitrah manusia. Seorang laki-laki tidak dilarang mencintai wanita selama aplikasi cintanya tidak melanggar syariat. Seorang manusia tidak dilarang mencintai dunia selama kecintaannya tidak mennjerumuskan kepada maksiat. Namun sadarkah, sejatinya di balik keindahan itu semua adalah fitnah (ujian) untuk manusia?

Para ulama menjelaskan, tatkala Allah menjadikan dunia terlihat indah di mata manusia, ditambah dengan berbagai aksesorisnya yang memikat, mulailah jiwa dan hati condong kepadanya. Dari sini manusia terbagi menjadi dua kubu sesuai dengan pilihannya. Sebagian orang menjadikan seluruh anugerah tesebut sebagai tujuan hidupnya. Seluruh pikiran dan tenaga dikerahkan demi meraihnya, hal itu sampai memalingkan mereka dari ibadah. Akhirnya mereka tidak peduli bagaimana cara mendapatkannya dan untuk apa kegunaannya. Ini adalah golongan orang-orang yang kelak menerima azab yang pedih. Sedangkan golongan yang kedua adalah orang-orang yang sadar bahwa tujuan penciptaan dunia ini adalah untuk menguji manusia, sehingga mereka menjadikannya sarana untuk mencari bekal akhirat. Inilah golongan yang selamat dari fitnah, merekalah yang mendapat rahmat Allah[1].

Wanita, Ujian Terbesar Kaum Laki-laki

Di antara pesan agung yang bisa kita petik dari ayat di atas bahwa wanita, dunia, dan seisinya adalah fitnah (ujian) bagi manusia. Akan tetapi di antara fitnah-fitnah tersebut yang paling besar dan paling dahsyat adalah fitnah wanita. Oleh karena itu Allah menyebut pada urutan yang pertama sebelum menyebut anak-anak, harta, dst. Oleh karena itu pula Imam Ibnu Hajar mengatakan, “Allah menyebut wanita pada urutan yang pertama sebelum menyebut yang lainnya. Ini memberikan sinyal bahwa fitnah wanita adalah induk dari segala fitnah.”

Ungkapan Imam Ibnu Hajar ini selaras dengan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan dari Usamah Bin Zaid. Beliau bersabda,

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

Aku tidak meninggalkan satu fitnah pun yang lebih membahayakan para lelaki selain fitnah wanita.” (HR. Bukhari: 5096 dan  Muslim: 2740)

Hadis ini tidak berlebihan. Karena fakta memang telah membuktikan. Meskipun wanita diciptakan dengan kondisi akal yang lemah, namun betapa banyak lelaki yang cerdas, kuat gagah perkasa, dibuat lemah tunduk di bawahnya. Meskipun para wanita diciptakan dengan keterbatasannya, namun betapa banyak para penguasa jatuh tersungkur dalam jeratnya. Meskipun wanita dicipta dengan keterbatasan agama, namun betapa banyak ahli ibadah yang dibuat lalai dari Tuhannya.

Tidak sedikit seorang miliader kaya raya nekad berbuat korupsi demi istri tercinta. Tidak jarang darah tertumpah, pedang terhunus, karena wanita. Betapa banyak orang waras dengan akal yang sempurna menjadi gila gara-gara wanita. Bahkan sering kita jumpai seorang laki-laki rela bunuh diri demi wanita. Atau yang lebih parah dari itu semua entah berapa orang mukmin yang mendadak berubah menjadi kafir gara-gara wanita. Pantaslah jika rasulullah mengatakan fitnah wanita adalah fitnah yang luar biasa.

Bahkan betapa umat terdahulu hancur binasa juga gara-gara wanita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  mengabarkan dalam sabdanya,

إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خضرة، وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا، فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّــقُوا الدُّنْــيَا وَاتَقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِـي إِسْرَائِـيلَ كَانَتْ فِي النِسَاءِ

Sesungguhnya dunia ini begitu manis nan hijau. Dan Allah mempercayakan kalian untuk mengurusinya, Allah ingin melihat bagaimana perbuatan kalian. Karenanya jauhilah fitnah dunia dan jauhilah fitnah wanita, sebab sesungguhnya fitnah pertama kali di kalangan Bani Israil adalah masalah wanita” (H.R. Muslim: 2742)

Apa Kata Ahli Ilmu?

Semenjak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan umatnya dari bahaya fitnah wanita, para ulama juga tidak henti-hentinya mengingatkan umat ini dari ancaman tersebut. Banyak untaian nasihat mereka yang telah diabadikan di dalam literatur-literatur mereka.

Yusuf Bin Asbath mengatakan, “Seandainya aku mendapat amanah untuk menjaga baitulmal, saya optimis bisa melaksanakannya. Namun jiwaku tidak akan merasa aman jika dipercaya untuk berduaan dengan seorang wanita sekalipun dari kalangan negro, meski sesaat saja.”[2]

Sufyan Ats-Tsauri mengatakan, “Silakan kau suruh aku menjaga rumah mewah penuh harta melimpah, namun jangan kau suruh aku menjaga wanita yang tidak halal bagiku meskipun berupa budak yang hitam legam.”[3]

Said bin Musayyib mengatakan[4], “Tidak ada yang saya takutkan melebihi ketakutanku terhadap wanita”. Kita lihat betapa beliau sangat takut dengan fitnah wanita, padahal usia beliau saat itu sudah menginjak umur 84 tahun. Tidak hanya itu, penglihatan beliau juga sudah rabun, itu pun yang bisa dipergunakan hanya tinggal satu mata. Namun demikian beliau masih tidak merasa aman dari fitnah wanita.

Bertakwalah Wahai Kaum Pria..

Bahaya fitnah wanita bukan sekadar teori untuk diketahui, akan tetapi yang lebih urgen adalah mengambil langkah preventif untuk menghindar dan antisipasi. Cukuplah firman Allah dan sabda nabi serta perkataan ulama di atas menjadi bahan pertimbangan bagi kita untuk coba menantang fitnah tersebut, apa lagi mencicipi.

Sabar dan takwa kepada Allah serta menjaga hak-hak-Nya, itulah cara untuk membebaskan diri dari fitnah ini. Dengan bekal takwa, seorang laki-laki mampu menahan pandangannya, menahan hasrat jiwanya. Dengan bekal takwa pula Allah akan memberikan penjagaan kepada hamba-Nya.

Allah telah membuktikan penjagaan-Nya kepada nabi Yusuf  ‘alaihis salam dari fitnah Zulaikha lantaran beliau bertakwa, menjaga hak-hak Allah Ta’ala[5].

وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلَا أَنْ رَأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ

Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata Dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu Termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.” (QS. Yusuf: 24)

Sadarlah Wahai Kaum Hawa..

Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk mendiskreditkan para wanita yang begitu ringkih dan lemah. Apa lagi sampai menuduh mereka makhluk yang menjadi sumber petaka, jahat dan keji. Tidak sama sekali…

Akan tetapi penulis hanya ingin berkongsi ilmu serta mengingatkan, bahwa di balik kelemahan wanita tersimpan potensi yang sangat luar biasa untuk menggoda serta membinasakan laki-laki yang kuat perkasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan kepada para wanita di zaman beliau,

مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرجل الحازم من إحداكن

Aku tidak melihat ada manusia yang kurang akal dan agamanya, namun mampu meluluhkan nalar lelaki perkasa selain kalian

Seandainya pun Anda tidak memiliki kecantikan, kedudukan, dan kesempatan seperti apa yang dimiliki Zulaikha, akan tetapi Anda harus tahu barangkali tidak ada lelaki saat ini yang mampu menahan fitnah wanita seperti Yusuf.

Jika demikian halnya, hendaklah setiap wanita berusaha menjaga diri. Jangan sampai ia menyebabkan para lelaki berpaling dari Allah atau menyebabkan mereka bermaksiat kepada Allah. Baik itu suaminya, orang tuanya, saudaranya, ataupun orang lain.

Sungguh maha adil Allah, ketika Allah memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada para wanita untuk menjadi fitnah terbesar di dunia, Allah juga memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada mereka untuk menjadi perhiasan termahal dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الدنيا متاع، وخير متاع الدنيا المرأة الصالحة

“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim: 1467)

Kisah Fitnah Dalam Sejarah..

Sebagai penutup, berikut kita simak beberapa kisah klasik yang sempat mengubah sejarah akibat fitnah wanita.Di antaranya adalah kisah nabi Adam dan Hawa yang sudah tidak asing bagi kita. Ketika Iblis merasa putus asa lantaran tidak bisa menggoda Adam

Kisah Shalih sang muazin[6]. Dikisahkan ada seorang pemuda bernama Shalih sang Muazin. Suatu ketika saat  ia menaiki menara untuk mengumandangkan azan, ia melihat seorang gadis nasrani yang  rumahnya berada di sisi masjid.

Ternyata peristiwa itu membuat sang pemuda jatuh hati dan terfitnah. Ia pun mendatangi rumahnya dan mengetuk pintunya.

“Siapa?” Tanya sang gadis.

“Saya Shalih tukang adzan.”

Sang gadis pun membukakan pintu untuknya. Tatkala sudah masuk ke dalam rumah, sang pemuda berusaha memeluknya.

“Apa-apaan ini..! Kalian ini orang yang diberi amanat..!” teriak sang gadis mengingatkan.

“Kau ingin saya bunuh atau melayani keinginanku?” jawab pemuda.

“Saya tidak sudi. Saya tidak mau melayanimu kecuali jika kamu meninggalkan agamamu..!”

Pemuda tersebut mengatakan, “Aku telah berlepas diri dari agamaku dan dari ajaran Muhammad.”

Sang pemuda semakin mendekat. Sang pemuda mulai tersungkur bertekuk lutut dalam pelukan  jerat-jerat asmara. Saat itulah sang gadis menyuruhnya untuk memakan daging babi dan menengguk minuman keras. Sang pemuda menurut bagai kerbau yang dicocok hidungnya. Ketika sang pemuda sedang dalam keadaan mabuk berat, ia disuruh untuk naik loteng. Akhirnya sang pemuda jatuh dan mati dalam keadaan kafir. Wal’iyyadzubillah.

Ibnul Jauzi mengatakan, “Waspadalah..! –semoga Allah merahmatimu- jangan sampai engkau berani menantang sumber fitnah, sebab orang yang mendekatinya akan jauh dari keselamatan. Jika waspada darinya identik dengan keselamatan, sebaliknya menantangnya identik kebinasaan. Sangat jarang orang yang mendekati fitnah mampu selamat dari jeratnya.”[7]

Daftar Pustaka:

  1. Ibnul Jauzi, Abdur Rahman. (2002). Dzammul Hawa. Libanon: Darul kutub Al ‘Arabiy
  2. Al Bukhari, Muhammad. (1998). Shahih Al Bukhari. Riyadh, KSA: Baitul Afkar Ad Dauliyah
  3. Muslim. (2001). Shahih Muslim. Riyadh, KSA: Maktabatur Rusyd
  4. Ibnu Rajab, Abdur Rahman. (2008). Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam. Beirut; Dar Ibnu Katsir
  5. As Sa’di, Abdurrahman. (2007). Taisir Karimir Rahman. Riyadh, KSA: Maktabatur Rusyd

[1] Lihat penjelasan selengkapnya dalam tafsir As Sa’di, hal. 123-124

[2] Dzammul Hawa, hal. 180

[3] ibid

[4] ibid, hal. 179

[5] Lihat penjelasan ini dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 440

[6] Dzammul Hawa, hal. 409

[7] Dzammul Hawa, hal. 168.

Berbakti Setelah Orang Tua Tiada

Berbakti Setelah Orang Tua Tiada 

Orang tua memiliki jasa yang tidak bisa kita hitung, bahkan dari sebelum kita lahir. Mereka bersusah payah membesarkan kita, memberikan makanan dan tempat tinggal yang layak, juga menyekolahkan kita. Kita tidak mungkin bisa membayar jasa-jasa mereka. Maka sudah sepantasnya, kita sebagai anak untuk senantiasa berbakti kepada kedua orang tua kita. Allah ‘azza wa jalla menyampaikannya dalam firman-Nya,

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak.” (QS. An-Nisa’: 36)

Tidak terlepas dari upaya mereka dalam membesarkan kita, tentu tidak ada orang tua yang sempurna. Mereka tidak luput dari kesalahan maupun kekurangan. Tidaklah pantas bagi kita membalas perbuatan buruk mereka, apalagi durhaka kepada mereka padahal mereka tidak melakukan kesalahan apa-apa. Lantas bagaimana hukum anak yang durhaka kepada kedua orang tua? Kemudian apabila kita terlanjur melakukannya, bagaimana cara kita bertaubat darinya? Simak penjelasannya berikut ini.

Kedudukan Berbakti Kepada Orang Tua

Hak kedua orang tua sangatlah besar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan hal tersebut dalam hadis berikut ini,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu‘anhu, ia berkata: Seorang lelaki datang kepada Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam, lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan perbuatan kebaikanku?” Beliau shallallahu‘alaihi wa sallam menjawab, “Ibumu,” lelaki itu bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau shallallahu‘alaihi wa sallam menjawab, “Ibumu,” Lelaki itu bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau shallallahu‘alaihi wa sallam menjawab, “Ibumu,” Lelaki itu bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Bapakmu.” (HR al-Bukhari no. 5971, Muslim no. 2548)

Dalam hadits tersebut, Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam menyebutkan dua orang yang paling berhak mendapatkan perbuatan baik kita, yaitu kedua orang tua kita. Beliau menyebutkan ibu sebanyak tiga kali, kemudian dilanjutkan bapak satu kali. Hal ini menunjukkan bahwa berbakti kepada ibu lebih utama kedudukannya daripada berbakti kepada ayah. Imam Al-Qurthubi menjelaskan, “Hadits tersebut menunjukkan bahwa kecintaan dan kasih sayang terhadap seorang ibu, harus tiga kali lipat besarnya dibandingkan terhadap seorang ayah. Nabi shalallaahu‘alaihi wasallam menyebutkan kata ibu sebanyak tiga kali, sementara kata ayah hanya satu kali. Bila hal itu sudah kita mengerti, realitas lain bisa menguatkan pengertian tersebut. Karena kesulitan dalam menghadapi masa hamil, kesulitan ketika melahirkan, dan kesulitan pada saat menyusui dan merawat anak, hanya dialami oleh seorang ibu. Ketiga bentuk kehormatan itu hanya dimiliki oleh seorang ibu, seorang ayah tidak memilikinya.” (Lihat Tafsir Al-Qurthubi X : 239. al-Qadhi Iyadh menyatakan bahwa ibu memiliki keutamaan yang lebih besar dibandingkan ayah)

Durhaka kepada Orang Tua Merupakan Dosa Besar

Durhaka kepada orang tua merupakan salah satu dosa besar sebagaimana dari hadits berikut. Dari Abdurrahman bin Abi Bakrah dari ayahnya radhallahu’anhu berkata, Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ؟ قُلْنَا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ ، قَالَ: الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ ، وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْن ، وَكَانَ مُتَّكِئاً فَجَلَسَ فَقَالَ : أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ ، وَشَهَادَةُ الزُّورِ ، أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ ، وَشَهَادَةُ الزُّور فَمَا زَالَ يَقُولُهَا حَتَّى قُلْتُ لَا يَسْكُتُ

Maukah kalian saya beritahu diantara dosa-dosa besar?” Kami menjawab, “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Menyekutukan Allah, dan durhaka kepada kedua orang tua.” Waktu itu dalam kondisi berbaring kemudian duduk seraya bersabda, “Ketahuilah dan perkataan dusta dan persaksian dusta, ketahuilah perkataan dusta dan saksi dusta.” Beliau terus menerus mengatakan itu sampai saya berkata, “Beliau tidak diam.” (HR. Bukhari no. 5976 dan Muslim no. 87)

Bertaubat dari Dosa Durhaka

Di dalam Islam, kita dapat bertaubat dari dosa sebesar apapun, termasuk salah satunya dosa durhaka kepada orang tua. Allah ta’ala berjanji akan menerima taubat, sebagaimana firman-Nya,

وَهُوَ الَّذِي يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَعْفُو عَنِ السَّيِّئَاتِ وَيَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ

Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. As-Syura: 25)

Maka hendaknya kita selalu mawas diri, apakah kita melakukan perbuatan durhaka kepada orang tua kita, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Bertaubatlah kepada Allah, mintalah maaf kepada kedua orang tua kita, dan tetaplah berbuat baik kepada mereka selama tidak mematuhi perintah yang dilarang Allah.

Berbakti Setelah Orang Tua Tiada

Lantas bagaimana cara berbakti kepada orang tua selepas kepergian mereka? Perlu diketahui bahwa perbuatan baik kita tidak tertutup dengan kematian mereka. Berikut cara berbakti kepada orang tua setelah kepergian mereka:

Memperbanyak doa kebaikan untuk mereka

Dan dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ : إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Kalau seseorang meninggal dunia, maka akan terputus amalannya kecuali tiga hal, kecuali shadaqah jariyah (yang terus mengalir), atau ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang mendoakan kebaikan kepadanya.” (HR. Muslim no. 1631)

Sesungguhnya, apa yang orang tua harapkan dari anak mereka adalah doa-doa yang dipanjatkan untuk mereka. Karena Allah akan menerima doa-doa anak mereka walaupun mereka telah tiada.

Melakukan amal shalih mengatasnamakan mereka

Amal shalih yang dilakukan atas nama mereka akan memberikan pahala bagi mereka. Sebagai contoh menunaikan haji atas nama mereka, bersedekah atas nama mereka, serta melunasi hutang mereka.

Memuliakan teman-teman terdekat mereka

Ibnu Dinar meriwayatkan, ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhuma pernah berkata bahwa ada seorang lelaki Badui bertemu dengan Ibnu Umar di tengah perjalanan menuju Makkah. Kemudian ‘Abdullah bin ‘Umar memberi salam dan mengajaknya untuk naik ke atas keledainya serta memberikan sorban yang dipakai di kepalanya. Ibnu Dinar berkata kepada Ibnu Umar, “Semoga Allah memberikan kebaikan kepadamu, sesungguhnya orang itu adalah orang Badui dan sebenarnya ia diberi sedikit saja sudah senang.” ‘Abdullah bin ‘Umar berkata, “Sesungguhnya ayah Badui tersebut adalah kenalan baik (ayahku) Umar bin Al-Khattab. Sedangkan saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَبَرَّ الْبِرِّ صِلَةُ الْوَلَدِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ

Sesungguhnya sebaik-baik bentuk berbakti (berbuat baik) adalah seseorang menyambung hubungan dengan keluarga dari kenalan baik ayahnya.” (HR. Muslim no. 2552)

Penutup

Sungguh, sangat disayangkan apabila kita menyia-nyiakan kedua orang tua kita. Maka dari itu, manfaatkanlah kesempatan yang tidak lama ini untuk berbuat baik kepada mereka. Luangkanlah waktu untuk mereka. Semoga dengan penjelasan singkat ini, kita semakin bersemangat untuk berbakti kepada mereka.

Wallahu a’lam

Penulis: Lisa Almira

Referensi:

  • Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari, “Dosa Durhaka Kepada Orang Tua”, diakses dari https://almanhaj.or.id/4119-dosa-durhaka-kepada-orang-tua.html
  • Hilda Ummu Izzah, 2023, “Ibumu… Kemudian Ibumu… Kemudian Ibumu…”, diakses dari https://muslimah.or.id/1861-ibumu-kemudian-ibumu-kemudian-ibumu.html
  • “Telah Berbuat Jelek Kepada Kedua Orang Tuanya, Dan Dia Menyesal Setelah Keduanya Wafat, Bagaimana Caranya Yang Dilakukannya?”, diakses dari https://islamqa.info/id/answers/232245/telah-berbuat-jelek-kepada-kedua-orang-tuanya-dan-dia-menyesal-setelah-keduanya-wafat-bagaimana-caranya-yang-dilakukannya
  • Muhammad Abduh Tuasikal, 2015, “Cara Berbakti pada Orang Tua Setelah Mereka Tiada”, diakses dari https://rumaysho.com/11752-cara-berbakti-pada-orang-tua-setelah-mereka-tiada.html.

Berhati hatilah Dengan Ketenaran

Berhati hatilah Dengan Ketenaran

Mereka, para ulama salaf benci dengan popularitas.

Kebanyakan orang malah ingin kondang dan tenar. Keinginan ini sering kita temukan pada para artis. Namun orang yang tahu agama pun punya keinginan yang sama. Ketenaran juga selalu dicari-cari oleh seluruh manusia termasuk orang kafir. Akhirnya, berbagai hal yang begitu aneh dilakuin karena ingin tenar dan tersohor. Berbagai rekor MURI pun ingin diraih dan dipecahkan karena satu tujuan yaitu tenar.

Sungguh hal ini sangat berbeda dengan kelakukan ulama salaf yang selalu menyembunyikan diri mereka dan menasehatkan agar kita pun tidak usah mencari ketenaran.

Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Wahai hamba Allah, sembunyikanlah selalu kedudukan muliamu. Jagalah selalu lisanmu. Minta ampunlah terhadap dosa-dosamu, juga dosa yang diperbuat kaum mukminin dan mukminat sebagaimana yang diperintahkan padamu.”

Abu Ayub As Sikhtiyani mengatakan, “Seorang hamba sama sekali tidaklah jujur jika keinginannya hanya ingin mencari ketenaran.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 276.)

Ibnul Mubarok mengatakan bahwa Sufyan Ats Tsauri pernah menulis surat padanya, “Hati-hatilah dengan ketenaran.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 277.)

Daud Ath Tho’i mengatakan, “Menjauhlah engkau dari manusia sebagaimana engkau menjauh dari singa.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 278) Maksudnya, tidak perlu kita mencari-cari ketenaran ketika beramal sholih.

Imam Ahmad mengatakan, “Beruntung sekali orang yang Allah buat ia tidak tenar.” Beliau juga pernah mengatakan, “Aku lebih senang jika aku berada pada tempat yang tidak ada siapa-siapa.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 278)

Dzun Nuun mengatakan, “Tidaklah Allah memberikan keikhlasan pada seorang hamba kecuali ia akan suka berada di jubb (penjara di bawah tanah) sehingga tidak dikenal siapa-siapa.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 278)

Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Rahimahullahu ‘abdan akhmala dzikrohu (Moga-moga Allah merahmati seorang hamba yang tidak ingin dirinya dikenal/tenar)” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 280)

Basyr bin Al Harits Al Hafiy mengatakan, “Aku tidak mengetahui ada seseorang yang ingin tenar kecuali berangsur-angsur agamanya pun akan hilang. Silakan jika ketenaran yang dicari. Orang yang ingin mencari ketenaran sungguh ia kurang bertakwa pada Allah.” Suatu saat juga Basyr mengatakan, “Orang yang tidak mendapatkan kelezatan di akhirat adalah orang yang ingin tenar.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 284)

Ibrohim bin Ad-ham mengatakan, “Tidaklah bertakwa pada Allah orang yang ingin kebaikannya disebut-sebut orang.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 286)

Cobalah lihat bagaimana ulama salaf dahulu tidak ingin dirinya tenar. Al Hasan Al Bashri pernah menceritakan mengenai Ibnul Mubarok. Suatu saat Ibnul Mubarok pernah datang ke tempat sumber air di mana orang-orang banyak yang menggunakannya untuk minum. Tatkala itu orang-orang pun tidak ada yang mengenal siapa Ibnul Mubarok. Orang-orang pun akhirnya saling berdesakan dengan beliau dan saling mendorong untuk mendapatkan air tersebut. Tatkala selesai dari  mendapatkan minuman, Ibnul Mubarok pun mengatakan pada Al Hasan Al Bashri, “Kehidupan memang seperti ini. Inilah yang terjadi jika kita tidak terkenal dan tidak dihormati.” Lihatlah Ibnul Mubarok lebih senang kondisinya tidak tenar dan tidak menganggapnya masalah.

Catatan penting yang perlu diperhatikan:

Imam Al Ghozali mengatakan, “Yang tercela adalah apabila seseorang mencari ketenaran. Namun jika ia tenar karena karunia Allah tanpa ia cari-cari, maka itu tidaklah tercela.”

Lonceng Nasrani, Terompet Yahudi

Lonceng Nasrani, Terompet Yahudi

Dari Abu ‘Umair bin Anas dari bibinya yang termasuk shahabiyah anshor, “Nabi memikirkan bagaimana cara mengumpulkan orang untuk shalat berjamaah. Ada beberapa orang yang memberikan usulan. Yang pertama mengatakan, ‘Kibarkanlah bendera ketika waktu shalat tiba. Jika orang-orang melihat ada bendera yang berkibar maka mereka akan saling memberi tahukan tibanya waktu shalat’. Namun Nabi tidak menyetujuinya. Orang kedua mengusulkan agar memakai teropet. Nabipun tidak setuju, beliau bersabda, ‘Membunyikan terompet adalah perilaku orang-orang Yahudi.’ Orang ketiga mengusulkan agar memakai lonceng. Nabi berkomentar, ‘Itu adalah perilaku Nasrani.’ Setelah kejadian tersebut, Abdullah bin Zaid bin Abdi Robbihi pulang dalam kondisi memikirkan agar yang dipikirkan Nabi. Dalam tidurnya, beliau diajari cara beradzan.” (HR. Abu Daud, shahih)

Hadits di atas adalah di antara sekian banyak hadits yang menunjukkan bahwa menyerupai orang kafir adalah terlarang.

Ketika Nabi tidak senang dengan terompet Yahudi yang ditiup dengan mulut dan lonceng Nasrani yang dibunyikan dengan tangan, beliau beralasan karena itu adalah perilaku orang-orang Yahudi dan Nasrani. Sedangkan alasan yang disebutkan setelah penilaian itu menunjukkan bahwa alasan tersebut adalah illah/motif hukum dari penilaian. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa Nabi melarang semua ciri khas Yahudi dan Nasrani. Padahal menurut sebagian sumber, terompet Yahudi itu diambil dari ajaran Nabi Musa. Di masa Nabi Musa orang-orang dikumpulkan dengan membunyikan terompet.

Sedangkan lonceng orang-orang Nasrani adalah buatan mereka sendiri dan bukan ajaran Nabi Isa. Bahkan mayoritas ajaran Nasrani itu buatan pendeta-pendeta mereka.

Motif hukum di atas menunjukkan bahwa suara lonceng dan terompet itu tetap terlarang di waktu kapan pun dibunyikan bahkan meski dibunyikan di luar waktu shalat. Dengan pertimbangan bahwa dua jenis suara tersebut merupakan simbol Yahudi dan Nasrani karena orang-orang Nasrani membunyikan lonceng dalam berbagai kesempatan, meski di luar waktu ibadah mereka.

Sedangkan simbol agama ini adalah suara adzan yang mengandung pemberitahuan dengan bacaan-bacaan dzikir. Dengannya pintu-pintu langit terbuka, setan lari terkentut-kentut dan rahmat Allah diturunkan.

Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Simbol agama Yahudi dan Nasrani ini telah dipakai oleh banyak umat Islam, baik yang menjadi penguasa ataupun yang bukan.

Sampai-sampai kami menyaksikan pada hari Kamis yang hina ini banyak orang membakar dupa dan membunyikan terompet-terompet kecil.

Bahkan ada seorang penguasa muslim yang membunyikan lonceng pada saat sholat lima waktu. Perbuatan inilah yang dilarang oleh Rasulullah.

Ada juga penguasa yang membunyikan terompet di pagi dan sore hari. Menurut persangkaan orang tersebut dalam rangka menyerupai Dzulqornain. Sedangkan pada selain dua waktu tersebut dia wakilkan kepada yang lain.

Inilah tindakan menyerupai orang Yahudi, Nasrani dan orang non Arab yaitu Persia dan Romawi. Ketika perbuatan-perbuatan semacam ini yaitu berbagai perbuatan yang menyelisihi petunjuk Nabi telah dominan dilakukan oleh para penguasa muslim di bagian timur dunia Islam maka oleh memberikan kesempatan kepada orang Turki yang kafir untuk mengalahkan para raja tersebut padahal Nabi menjanjikan bahwa kaum muslimin nanti akan memerangi orang-orang Turki tersebut. Akhirnya orang-orang Turki tersebut melakukan berbagai aksi kekerasan yang belum pernah terjadi di dunia Islam sekalipun.

Inilah bukti kebenaran sabda Nabi, “Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian.”

Kaum muslimin di masa Nabi dan masa-masa sesudahnya pada saat peran hanya terdiam dan mengingat Allah.

Qois bin Ibad, salah seorang tabiin senior mengatakan, “Mereka, para shahabat menyukai bersuara lirih pada saat berdzikir, ketika perang dan waktu di dekat jenazah.” (Diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad yang shahih). Riwayat-riwayat lain juga menunjukkan bahwa dalam sikon-sikon di atas para shahabat bersikap tenang sedangkan hati mereka dipenuhi nama Allah dan keagungan-Nya. Hal ini sama persis dengan keadaan mereka pada saat sholat. Bersuara keras dalam tiga kondisi di atas merupakan kebiasaan ahli kitab dan non arab yang kafir lalu diteladani banyak kaum muslimin.”

Terdapat dalil lain yang menunjukkan bahwa suara lonceng itu terlarang secara mutlak, pada semua waktu.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْجَرَسُ مَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lonceng adalah seruling setan.” (HR. Muslim, dll)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَصْحَبُ الْمَلَائِكَةُ رُفْقَةً فِيهَا كَلْبٌ وَلَا جَرَسٌ

Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Malaikat tidak akan menyertai rombongan yang membawa lonceng/genta atau anjing.” (HR. Muslim)

Ibnu Hajar mengatakan, “Genta terlarang karena suaranya yang menyerupai suara lonceng orang-orang Nasrani di samping menyerupai bentuknya.”

Bagaimana Dengan Suara Alarm Atau yang Lainnya?

Syaikh Al Albani mengatakan, “Pada zaman ini terdapat berbagai suara buatan dengan beragam tujuan. Ada suara alarm jam untuk membangunkan dari tidur, suara dering panggilan telepon, suara bel yang ada di instansi pemerintah atau asrama. Apakah suara-suara buatan tersebut termasuk dalam hadits-hadits larangan di atas dan hadits-hadits lain yang semakna? Jawabanku, tidak termasuk, karena suara-suara buatan tersebut tidak menyerupai suara lonceng baik dari sisi suara ataupun bentuk.

Namun jawaban di atas tidaklah berlaku untuk suara jam besar berpendulum yang digantungkan di dinding. Suara jam tersebut sangat mirip dengan suara lonceng. Oleh karena itu jam jenis tersebut tidak sepatutnya ada di rumah seorang muslim. Lebih-lebih sebagian jam jenis tersebut memiliki suara yang mirip dengan suara musik sebelum berdetak sebagaimana suara lonceng gereja, semisal jam London yang terkenal dengan nama Big Ban yang diperdengarkan melalui radio London.

Sangat disayangkan seribu sayang jam jenis tadi merambah sampai ke dalam masjid disebabkan ketidaktahuan mereka dengan aturan agama mereka sendiri. Sering sekali kami mendengar seorang imam shalat membaca ayat-ayat yang mencela keras kesyirikan dan trinitas sedangkan suara lonceng gereja terdengar jelas di atas kepala mereka, mengajak dan mengingatkan kepada akidah trinitas sedangkan imam shalat dan jamaahnya tidak menyadari hal ini.” (Lihat Jilbab Mar’ah Muslimah hal 167-169)

Tidak kalah disayangkan ada sebuah pesantren besar di negeri kita yang sejak dulu hingga sekarang menggunakan lonceng sebagai belnya. Demikian pula banyak kaum muslimin terutama generasi mudanya yang pada saat akhir tahun masehi atau acara ulang tahun yang terlarang ramai-ramai membunyikan terompet yang dilarang oleh Nabi.

Jika membunyikan terompet karena adanya sebuah kebutuhan yaitu mengumpulkan orang untuk melaksanakan shalat berjamaah (saja terlarang -ed), maka bagaimanakah juga dalam even yang tidak ada dorongan kebutuhan, bahkan itu adalah dalam rangka memperingati awal tahun masehi.

Halal Meskipun Sedikit Akan Berkah

Halal Meskipun Sedikit Akan Berkah 

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : 

والقليل من الحلال يبارك فيه، والحرام الكثير يذهب ويمحقه الله تعلى

“Sedikit namun dari yang halal akan diberkahi sedangkan yang haram sekalipun banyak akan lenyap dan dicabut keberkahannya oleh Alloh Ta’ala” (Majmu’ AlFatawa 28/646

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang sedekah :

لاَ يَتَصَدَّقُ أَحَدٌ بِتَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ إِلاَّ أَخَذَهَا اللهُ بِيَمِيْنِهِ فَيُرَبِّيْهَا كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ أَوْ قَلُوْصَهُ حَتَّى تَكُوْنَ مِثْلَ الْجَبَلِ أَوْ أَعْظَمَ

“Tidak ada seseorang yang bersedekah walau dengan sebiji kurma yang diperolehnya dari penghasilan yang halal, kecuali Allah mengambilnya dengan tangan kanan-Nya. Lalu Dia mengembangkannya sebagaimana salah seorang dari kalian merawat anak untanya hingga menjadi sebesar gunung atau lebih besar lagi.” (HR. Muslim no. 2340).