Mendahulukan Makan Dari Sholat

Mendahulukan Makan Dari Sholat 

Ketika dikumandangkan adzan, perut sudah keroncongan sejak beberapa jam lalu. Ketika itu pula, makanan telah tersaji. Apa yang harus kita dahulukan? Shalat terlebih dahulu ataukah mendahulukan makan agar kita shalatnya akan lebih khusyu’?

Pembahasan kali ini adalah di antara kiat agar seseorang bisa khusyu’ dalam shalat. Simak selengkapnya.

Dari Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا قُدِّمَ الْعَشَاءُ فَابْدَءُوا بِهِ قَبْلَ أَنْ تُصَلُّوا صَلاَةَ الْمَغْرِبِ ، وَلاَ تَعْجَلُوا عَنْ عَشَائِكُمْ

Apabila makan malam sudah tersaji, maka dahulukanlah makan malam tersebut dari shalat maghrib. Dan janganlah kalian tergesa-gesa dari makan kalian .” (HR. Bukhari no. 672 dan Muslim no. 557)[Bukhari: 15-Kitab Al Jama’ah wal Imamah, 14-Bab Apabila Makanan Telah Dihidangkan dan Shalat Hendak Ditegakkan. Muslim: 6-Kitab Al Masajid, 17-Bab Terlarangnya Mendahulukan Shalat Sedangkan Makan Malam Telah Tersaji dan Ingin Dimakan Pada Saat Itu Juga]

Pelajaran Berharga

Pertama; apabila waktu shalat maghrib telah tiba, sedangkan makanan telah tersaji, maka hendaklah seseorang mendahulukan santap makan -jika pada saat itu dalam kondisi sangat lapar-. Yang lebih utama ketika itu adalah mendahulukan makanan sebelum menunaikan shalat. Hal ini berlaku untuk shalat Maghrib dan juga shalat yang lainnya.

Kedua; apa hikmah di balik ini?

Hikmahnya: Di dalam shalat, seseorang perlu menghadirkan hati yang khusyu’. Sedangkan jika seseorang sangat lapar dan butuh pada makanan, kondisi semacam ini akan membuat ia tidak konsentrasi saat shalat, hatinya tidak tenang, dan pikiran akan melayang ke sana-sini. Kondisi semacam ini berakibat seseorang tidak khusyu’ dalam shalat. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menyantap makanan sebelum menunaikan shalat sehingga hati bisa hadir ketika itu.

Ketiga; hendaklah seseorang ketika shalat selalu menghadirkan hati dan menjauhkan diri dari segala hal yang dapat melalaikan dari mengingat Allah ketika shalat. Hendaklah pula dia menghayati shalat, bacaan dan dzikir-dzikir di dalamnya.

Keempat; mayoritas ulama berpendapat bahwa mendahulukan makanan di sini adalah anjuran (sunnah, bukan wajib) dan inilah pendapat yang rojih (yang lebih kuat). Berbeda dengan pendapat Zhohiriyah (Ibnu Hazm, dkk) yang menganggap bahwa hukum mendahulukan makanan dari shalat di sini adalah wajib.

Kelima; jika waktu shalat wajib sangat sempit, sebentar lagi waktu shalat akan berakhir dan seandainya seseorang mendahulukan makan, waktu shalat akan habis, untuk kondisi semacam ini, ia harus mendahulukan shalat agar shalat tetap dilakukan di waktunya. Inilah pendapat mayoritas ulama.

Adapun para ulama yang mewajibkan khusyu’ dalam shalat, maka mereka berpendapat dalam kondisi semacam ini, santap makan lebih didahulukan daripada shalat (walaupun shalatnya telat hingga keluar waktu). Namun pendapat yang lebih tepat, khusyu’ dalam shalat tidak sampai dihukumi wajib.

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah berpendapat bahwa hukum khusyu’ dalam shalat adalah sunnah mu’akkad (sangat ditekankan).

Keenam; santap makan lebih utama dari shalat dilakukan ketika seseorang sangat butuh pada makan (yaitu ketika sangat lapar). Namun jika kondisi tidak membutuhkan makan (kondisi kenyang) dan makanan telah tersaji, maka shalat wajib atau shalat jama’ah di masjid tetap harus lebih didahulukan.

Oleh karena itu, tidak sepantasnya seseorang mengatur waktu makan atau waktu tidurnya bertepatan dengan waktu shalat. Hal ini dapat membuat seseorang luput dari shalat di waktu utama yaitu di awal waktu.

Ketujuh; hukum mendahulukan shalat dari santap makan di saat kondisi sangat membutuhkan di sini adalah makruh. Namun jika seseorang dalam kondisi tidak butuh makan (kondisi kenyang) dan makanan telah tersaji lalu lebih memilih shalat, maka pada saat ini tidak dihukumi makruh.

Kedelapan; makanan yang telah tersajikan dan kita sangat ingin untuk menyantapnya, kondisi semacam ini adalah salah satu udzur (alasan) bagi seseorang untuk meninggalkan shalat jama’ah.

Ibnu ‘Umar yang sangat getol (sangat semangat) dalam mengikuti sunnah (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap menyantap makan malamnya dan pada saat itu dia mendengar suara imam yang sedang membaca surat pada shalat jama’ah.

Kalau seseorang meninggalkan shalat jama’ah karena ada udzur untuk menyantap makanan, jika ini bukan kebiasaan, maka dia akan mendapatkan ganjaran shalat jama’ah. Namun jika dijadikan kebiasaan, maka semacam ini tidak dianggap udzur sehingga dia tidak mendapatkan pahala shalat jama’ah. Alasannya berdasarkan hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

Jika seseorang dalam keadaan sakit atau bersafar (melakukan perjalanan jauh), maka dia akan dicatat semisal apa yang dia lakukan tatkala mukim (tidak bersafar) atau dalam keadaan sehat.” (HR. Bukhari no. 2996) [Bukhari: 60-Kitab Al Jihad was Sayr, 132-Bab akan dicatat bagi musafir semisal apa yang dia amalkan dalam keadaan dia tidak bersafar (mukim)]. Di sini ada udzur sakit, maka ia dicatat seperti melakukan shalat ketika sehat sebagaimana ia rutin lakukan. Maka begitu pula orang yang ada udzur telat shalat jama’ah karena alasan di atas, maka ia dihitung pula mendapatkan pahala shalat berjama’ah.

Kesembilan; apakah boleh menyantap makanan berat ketika berbuka puasa di bulan Ramadhan atau yang lainnya?

Jawab: sebenarnya tidak mengapa jika seseorang mendahulukan makan. Namun alangkah lebih baik jika dia memakan makanan ringan seperti satu atau beberapa buah kurma, kemudian shalat maghrib, lalu dia menghabiskan makanan lainnya setelah shalat maghrib.

(Pelajaran berharga ini disarikan dari Tawdhihul Ahkam, 1/578-579 dan Fathu Dzil Jalali wal Ikrom bi Syarh Bulughil Marom, 2/480-483)

Alhamdulillahilladzi bi ni’amtihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.

***

Ilmu Lebih Baik daripada Harta

Ilmu Lebih Baik daripada Harta

Kumail bin Ziyad An-Nakha’i berkata bahwa ‘Ali bin Abi Thalib mengambil tangannya lantas berkata:

ِيا كميلُ بن زياد! القلوبُ أوعيةٌ؛ فخيرها أوعاها؛ احفظْ ما أقول لك: الناسُ ثلاثةٌ؛ فعالمٌ ربَّانيٌّ، ومتعلِّمٌ على سبيل نجاةٍ، وهَمَجٌ رِعَاعٌ أتباعُ كلِّ ناعقٍ يميلون مع كلِّ رِيح؛ لم يستضيئوا بنور العلم ولم يلجَئوا إلى ركنٍ وثيقٍ؛


العلمُ خيرٌ من المال: العلمُ يحرِسُك وأنت تحرِسُ المالَ، العلمُ يزكُوْ على الإنفاق–وفي رواية على العمل–والمالُ تنقُصُه النفقةُ، العلمُ حاكمٌ  و المالُ محكومٌ عليه ومحبةُ العلمِ دينٌ يُدان بها، العلمُ يُكسِب العالمَ الطاعةَ في حياته وجميلَ الأُحْدُوْثَةِ بعد موته، وصنيعةُ المال تزول بزواله، مات خُزَّانُ الأموال وهم أحياءٌ، والعلماءُ باقُون ما بقي الدهرُ، أعيانُهم مفقودةٌ، وأمثالهُم في القلوب موجودةٌ.

“Wahai Kumail bin Ziyaad! Ingatlah, hati itu ibarat wadah. Hati yang paling baik adalah yang paling banyak menampung (kebaikan). Ingatlah, apa yang akan aku katakan kepadamu.

Manusia itu ada tiga (golongan): alim rabbani (ulama), penuntut ilmu yang berada di atas jalan keselamatan, dan orang awam yang mengikuti setiap orang yang berteriak (seruan), mereka condong sesuai dengan arah angin (kemanapun diarahkan) , tidak menerangi diri dengan cahaya ilmu, dan tidak berpegangan dengan pegangan yang kuat.”

Ilmu itu lebih baik daripada harta:

– Ilmu itu menjagamu. Sedangkan harta itu dijaga olehmu.

– Ilmu bertambah dengan diamalkan, sedangkan harta berkurang setiap kali diinfakkan (dikeluarkan).

– Ilmu itu menjadi haakim (yang memberikan hukum), sedangkan harta itu menjadi objek hukum (terkena hukum).

– Mencintai orang yang berilmu (ulama) bagian dari agama, cinta yang mendekatkan diri kepada Allah.

– Ilmu menjadikan orang yang memilikinya menjadi seorang yang ditaati semasa hidupnya dan disebut dengan kebaikan setelah matinya.

– Apa yang dihasilkan oleh harta akan hilang bersama kemusnahannya.

– Orang yang menumpuk harta, (nama) mereka mati sedang dalam keadaan hidup (jasadnya), dan para ulama akan tetap ada selamanya; jasad mereka musnah, tapi sifat-sifat teladan mereka hidup di dalam hati-hati manusia.

(Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah Al-Auliya’, 1:79-80; Al-Khathib dalam Al-Faqiih wa Al-Mutafaqqih, 1:49; Asy-Syajari dalam Amaalihi, hlm. 66; Al-Muzani dalam Tahdzib Al-Kamaal, 24:220; An-Nahrawaani dalam Al-Jaliis Ash-Shaalih, 3:331. Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jaami’ Bayaan Al-‘Ilmi, 2:112, “Hadits ini begitu masyhur di kalangan ahli ilmu, tanpa lagi memperhatikan sanadnya karena sudah saking masyhurnya).

40 Alasan “Ilmu Diin (Agama) Lebih Baik Daripada Harta”

Kelebihan ilmu terhadap harta dapat diketahui melalui beberapa sisi yang bertolak belakang sebagai berikut.

  1. Ilmu adalah warisan para nabi, sementara harta adalah warisan para raja dan orang kaya.
  2. Ilmu akan menjaga pemiliknya. Sedangkan, harta itu harus dijaga oleh pemiliknya.
  3. Ilmu kian bertambah dengan diamalkan dan dibagikan, sedangkan harta berkurang setiap kali diinfakkan (dikeluarkan).
  4. Pemilik harta ketika meninggal dunia, harta meninggalkannya. Sementara, ilmu akan ikut ke dalam kubur bersama pemiliknya.
  5. Ilmu mampu menguasai harta, sedangkan harta tidak akan mampu menguasai ilmu.
  6. Harta bisa dimiliki oleh setiap orang, yaitu orang mukmin maupun kafir, orang yang taat maupun durhaka. Sedangkan, ilmu yang bermanfaat hanya dimiliki oleh orang beriman.
  7. Ilmu itu dibutuhkan oleh para raja dan orang-orang di bawahnya. Adapun harta itu dibutuhkan dan dicari oleh orang fakir miskin.
  8. Hati itu jadi mulia, tenang, bersih dengan adanya ilmu. Sehingga memiliki ilmu dianggap sebagai kesempurnaan dan kemuliaan jiwa. Sedangkan harta jika bertambah tidak menjadikan kita mulia, malah muncul sifat-sifat jelek seperti rakus dan kikir. Maka bertambah ilmu membuat kita bertambah derajat di sisi Allah, diri semakin mulia, beda halnya dengan bertambahnya harta.
  9. Harta bisa mengantarkan pada sifat semena-mena, bangga diri, dan sombong. Sedangkan, ilmu mengantarkan pada sifat tawadhu‘ dan menghambakan diri kepada Allah (‘ubudiyah). Maka, harta mengantarkan pada sifat para raja (muluuk) dan ilmu mengantarkan pda sifat para hamba (‘abiid).
  10. Ilmu itu mengantarkan kepada kebahagiaan yang menjadi tujuan penciptaan yaitu menghambakan diri kepada Allah. Hal ini berbeda dengan harta yang malah menghalangi ke tujuan tersebut.
  11. Orang yang kaya ilmu lebih mulia daripada orang yang kaya harta. Kaya harta itu keluar dari hakikat manusia. Seandainya harta itu dipakai dalam semalam, seorang akan menjadi miskin saat itu juga. Hal ini berbeda dengan kaya ilmu, ia tak pernah takut jatuh miskin. Bahkan, ilmu kian hari, kian bertambah. Kaya ilmu itulah sejatinya kaya yang paling tinggi.
  12. Cinta harta menjadikan seseorang budak harta. Sebagaimana disebutkan dalam hadits, “Celakalah budak dinar, celakalah budak dirham.” Sedangkan, cinta ilmu menjadikan seseorang menjadi hamba Allah sejati. Ilmu yang benar tidak akan mengajak seseorang untuk beribadah kepada selain Allah.
  13. Cinta ilmu dan mencari ilmu adalah asal pokok dari segala ketaatan. Sedangkan, cinta harta dan mencari harta adalah asal pokok segala kejelekan.
  14. Orang disebut kaya dengan adanya harta. Sedangkan orang disebut ‘aalim dengan ilmunya. Jika harta hilang pada orang kaya, hilanglah jati diri orang kaya, tak dipandang kaya lagi. Namun, seorang alim selalu dipandang dengan ilmunya, bahkan ilmu kian bertambah dan berlipat ganda ketika dibagikan.
  15. Esensi (jauhar) dari harta sama dengan esensi (jauhar) dari badan. Sedangkan, esensi ilmu sama dengan esensi ruh. Yunus bin Habib berkata: Ilmumu itu dari ruhmu, sedangkan hartamu dari badanmu. Perbedaan antara ilmu dan harta sama dengan perbedaan ruh dan badan.
  16. Seorang ‘aalim ketika sebagian ilmunya ditawarkan untuk diganti dengan dunia, ia tidak rida dengan ilmu yang digantikan tersebut. Sedangkan, orang kaya yang ‘aaqil (cerdas) jika ia melihat keutamaan, kemuliaan, dan kebahagiaan orang berilmu karena ilmu yang dimilikinya, orang kaya ini berharap tergabung padanya antara ilmu dan kekayaan.
  17. Kata Imam Ibnul Qayyim:

ِأن ما أطاع الله أحد قط إلا بالعلم وعامة من يعصيه إنما يعصيه بالمال

“Seseorang itu bisa menaati Allah dengan benar karena ilmu yang ia miliki. Namun, sebaliknya, maksiat itu terjadi umumnya karena harta.” Lihat Miftaah Daar As-Sa’adah (1:414) karya Ibnul Qayyim.

  1. Kata Imam Ibnul Qayyim:

ِأن العالم يدعو الناس إلى الله بعلمه وحاله وجامع المال يدعوهم إلى الدنيا بحاله وماله

“Sesungguhnya ‘aalim itu mengajak manusia kepada Allah dengan ilmu dan keadaannya. Sedangkan, orang yang mengumpulkan harta mengantarkan manusia pada dunia dengan penampilan dan hartanya.” Lihat Miftaah Daar As-Sa’adah (1:415) karya Ibnul Qayyim.

  1. Orang yang kaya harta seringkali ia menyebabkan pemiliknya celaka, sebab harta memang sangat disukai jiwa. Sehingga ketika jiwa seseorang melihat orang lain menguasai apa yang dicintai itu, ia pun akan berusaha membinasakan orang tadi, seperti yang nyata-nyata terjadi. Berbeda dengan kaya ilmu, yang menyebabkan kehidupan sejati bagi pemiliknya juga bagi kehidupan orang lain. Saat seseorang melihat orang yang menguasai ilmu dan senantiasa mencari ilmu, mereka akan mencintai, melayani, dan memuliakannya.
  2. Kenikmatan yang dihasilkan oleh harta kemungkinan hanyalah kenikmatan yang bersifat halusinasi (khayalan) atau kenikmatan ala binatang (bahimah). Si pemilik harta ketika merasa nikmat saat mengumpulkan dan meraih harta, hakikatnya itu hanyalah khayalan atau halusinasi. Sedangkan, apabila pemilik harta merasa nikmat ketika menggunakan harta demi memenuhi syahwatnya, ini namanya kenikmatan ala binatang. Tentu hal tadi berbeda dengan ilmu. Kenikmatan ilmu adalah kenikmatan akal dan rohani, mirip seperti kenikmatan dan kebahagiaan yang dirasakan oleh para malaikat. Itulah kenapa kenikmatan antara harta dan ilmu pada hakikatnya adalah kenikmatan yang bertolak belakang. 
  3. Orang-orang yang berakal (cerdas) dari seluruh umat sepakat membenci sikap tamak dalam menumpuk harta. Mereka semua mencela dan mencemooh sifat buruk ini. Sebaliknya, mereka sepakat mengagungkan sikap tamak ketika mengumpulkan dan meraih ilmu. Mereka menyukai sikap yang terakhir ini, serta memandangnya sebagai suatu kesempurnaan.
  4. Umat manusia sepakat mengagungkan orang yang zuhud dalam harta, tidak menumpuk-numpuk harta, tidak meliriknya, dan tidak menjadikan hatinya budak harta. Mereka juga sepakat mencela orang yang merasa tidak membutuhkan ilmu, tidak mau melirik ilmu, dan tidak gigih mencari ilmu. 
  5. Pemilik harta itu disanjung manakala ia rida melepaskan dan memberi harta miliknya (TAKHLIYYAH), sementara orang yang berilmu dipuji saat menyandang dan memilikinya (TAHLIYYAH). 
  6. Kaya harta itu disertai rasa takut serta rasa sedih. Orang berharta itu sedih sebelum mendapatkannya, serta takut setelah mendapatkannya. Semakin banyak harta yang didapat, semakin kuat dan besar rasa takut pemiliknya. Ini berbeda dengan ilmu. Kaya ilmu itu disertai oleh rasa aman, senang, dan bahagia.
  7. Orang yang kaya harta suatu saat nanti pasti ditinggal oleh hartanya. Dia akan tersiksa dan sakit oleh sebab perpisahan ini. Sementara orang kaya ilmu, ilmu tidak pernah meninggalkannya, juga ia tidak akan tersiksa atau tersakiti. Dengan demikian, kenikmatan harta ialah kenikmatan semu yang pasti berakhir hingga berujung kepada kepedihan, sementara kenikmatan ilmu adalah kenikmatan kekal abadi yang tidak disertai kepedihan. 
  8. Kenikmatan dan kesempurnaan jiwa dengan harta adalah kesempurnaan pinjaman yang harus dikembalikan. Oleh sebab itulah, manakala jiwa berhias diri dengan harta berarti ia telah mengenakan pakaian pinjaman yang harus dikembalikan kepada pemilik aslinya. Sementara keindahan serta kesempurnaan jiwa dengan ilmu, ia adalah keindahan permanen yang tidak akan terlepas dari jiwa.
  9. Kaya harta adalah inti kemiskinan jiwa. Sedangkan, kaya ilmu adalah inti kekayaan jiwa, karena ilmu adalah kekayaan hakiki bagi jiwa.
  10. Orang yang diprioritaskan serta dimuliakan karena hartanya, ia tidak lagi diutamakan dan dimuliakan tatkala hartanya lenyap. Sedangkan, orang yang diprioritaskan dan dimuliakan karena ilmu, ilmu itu justru semakin membuatnya diutamakan dan dimuliakan.
  11. Mengutamakan orang karena harta yang dimilikinya adalah inti celaan baginya, lantaran prioritas ini berarti memanggil dengan menyebut aibnya. Sebab andai bukan karena harta, maka ia pantas diakhirkan dan diperlakukan secara hina. Hal ini berbeda ketika seseorang diutamakan dan dimuliakan karena ilmu. Itulah inti kesempurnaan baginya, karena ia diutamakan oleh sebab sifat pribadinya, bukan karena faktor di luar dirinya. 
  12. Orang yang mencari kesempurnaan lewat kekayaan harta laksana orang yang menyatukan dua hal yang bertolak belakang. Intinya, ia mencari sesuatu yang tidak bisa diperoleh. Berbeda dengan orang kaya ilmu, ia tidak mengalami sedikit pun dari keburukan itu. Bahkan sebaliknya, semakin membagikan ilmu, maka ia pun merasa semakin senang dan berbahagia. Orang berilmu ini tidak merasakan kenikmatan orang-orang kaya dalam hal harta benda, sebagaimana orang kaya tidak merasakan kenikmatan orang berilmu dalam hal pengetahuan dan kebahagiaan jiwa.

Orang berilmu punya faktor-faktor kenikmatan yang lebih besar, lebih kuat, serta lebih langgeng daripada kenikmatan orang kaya. Keletihan dalam mendapatkan, mengumpulkan, dan menjaga ilmu tidak seberapa jika dibandingkan dengan keletihan orang kaya dalam mengumpulkan harta. Sebab mengumpulkan harta itu sendiri merupakan duka cerita di luar duka derita yang dirasakan pencarinya.

  1. Kenikmatan yang diperoleh dari harta dan kekayaan bersifat situasional, yaitu saat harta diperoleh. Kenikmatan ini mungkin lenyap atau berkurang. Buktinya, watak manusia terus mencari kekayaan lain dan tamak di sisi ini. Di selalu berusaha mencari tambahan sehingga merasa selalu kurang. Andai ia memiliki seluruh harta simpanan di bumi, kemiskinan dan ketamakan tetap bersarang dalam dirinya, karena ia termasuk salah satu di antara dua orang rakus yang tidak pernah kenyang, sebab sifat tamak serta sifat serakah ingin menumpuk-numpuk harta tidak pernah lepas dari hatinya. Berbeda dengan orang kaya ilmu dan kaya iman, kenikmatan yang dirasa seiring keberadaan keduanya sama seperti yang dirasakan saat kenikmatan tersebut didapatkan kembali, bahkan lebih nikmat. Pencarian dan kegigihan orang yang berilmu dalam mencari ilmu selalui disertai kenikmatan ilmu yang didapatkan, kebaikan yang diharapkan, dan kebahagiaan diri dalam proses pencariannya.
  2. Orang kaya harta mengharuskan dirinya berbuat baik kepada orang lain, hingga ia dihadapkan pada dua kemungkinan, yaitu menutup pintu kebaikan itu atau membukanya. Jika menutup pintu berbuat baik kepada orang lain, ia dikenal sebagai orang yang jauh dari kebaikan dan manfaat sehingga ia dibenci, dicela, lagi dihina banyak orang sehingga hatinya merasa pedih, duka, dan pilu. Sedangkan, jika ia membuka pintu kebaikan dan berbagai dengan orang lain, tetap saja ia tidak akan mampu melakukannya kepada semua orang. Ia hanya bisa berbuat baik kepada sebagian orang. Cara seperti ini tentu saja akan membuka pintu permusuhan serta celaan orang miskin dan orang yang tidak dibantu. Kekurangan-kekurangan semacam ini tidaklah menimpa orang yang kaya ilmu. Orang yang berilmu bisa membagikan ilmunya kepada semua orang. Ilmu yang telah dibagikan darinya justru tetap utuh dan tidak pernah lenyap. Bahkan, ia seperti berbisnis dengan ilmu yang diberikannya. Seperti orang kaya yang memberikan hartanya kepada orang fakir, lantas harta tersebut dipakai untuk berdagang, sehingga si fakir menjadi orang kaya seperti dirinya.
  3. Mengumpulkan harta itu disertai tiga kesusahan hidup, yaitu: (1) penyakit dan ujian sebelum punya harta, (2) penyakit dan ujian saat mendapat harta itu di mana sulit menjaga dan hati terkait terus pada harta sehingga pada dan sore selalu dirundung duka dan sedih, (3) penyakit dan ujian saat berpisah dengan harta, yaitu bagi seseorang yang hatinya selalu terpaut dengan harta. Hal ini tentu berbeda dengan orang yang kaya ilmu dan iman. Selain terhindar dari berbagai penyakit tadi, ia mampu menjamin semua kenikmatan, kebahagiaan, dan kesenangan pribadi tanpa ada sakit hati. Hanya saja kenikmatan demikian dapat diraih setelah melalui keletihan, kesabaran, dan kesulitan. 
  4. Lengkapnya nikmat kekayaan dapat dirasakan ketika bergaul dengan orang lain, seperti dengan pembantunya, istri, selir, atau para pengikut (followernya). Orang kaya itu akan selalu diusik oleh orang lain sehingga timbul kebencian, permusuhan, timbul rasa marah karena hanya bisa menyenangkan sebagian orang. Itulah alasan keburukan yang ditimbulkan kerabat dan sanak keluarga pada harta berlipat kali dibandingkan dengan keburukan orang yang jauh atau bukan kerabat. Pergaulan seperti ini hanya dialami oleh orang kaya harta. Adapun jika ia tidak memiliki jasa kepada orang lain, orang lain akan menjauhi dirinya agar terhindar dari sisi negatif interaksi dengannya. Penyakit demikian tidak ada dalam orang yang kaya ilmu.
  5. Harta itu hanyalah alat untuk menggapai tujuan untuk kenyang, hilang dahaga, kehangatan, mendapat perlindungan, hingga selamat dari berbagai rasa sakit.  Berbeda dengan kekayaan ilmu, selalu membahagiakan hati, menimbulkan kesenangan dan keceriaan. Ilmu itu tidak lenyap yang membuat orang sedih dan terluka. Bahkan, pemilik kekayaan ilmu LAA KHAUFUN ‘ALAIHIM WA LAA HUM YAHZANUUN, yaitu tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak bersedih hati.
  6. Orang yang kaya harta akan membenci kematian dan perjumpaan dengan Allah. Karena kalau sudah cinta pada harta, ia tidak suka untuk berpisah dan ingin harta tetap bertahan agar ingin terus dinikmati. Berbeda dengan ilmu, ia membuat hamba menginginkan pertemuan dengan Allah dan mendorongnya untuk zuhud terhadap kehidupan yang penuh kesusahan dan fana ini.
  7. Orang yang menumpuk harta, (nama) mereka mati sedang dalam keadaan hidup (jasadnya), dan para ulama akan tetap ada selamanya; jasad mereka musnah, tetapi sifat-sifat teladan mereka hidup di dalam hati-hati manusia.
  8. Ruh itu hidup dengan ilmu seperti halnya raga hidup dengan ruh. Orientasi orang kaya harta adalah menambah kehidupan raga. Sedangkan ilmu adalah kehidupan hati dan rohani.
  9. Hati itu adalah raja bagi tubuh. Sedangkan, ilmu adalah hiasan, bekal, sekaligus harta bagi hati. Ilmu menjadi penopang kerajaan tubuh. Raja harus memiliki persenjataan, prajurit, harta, dan hiasan. Ilmulah yang menjadi tunggangan, senjata, dan keindahannya. Harta itu menjadi hiasan dan keindahan bagi raga tatkala dibelanjakan untuk itu. Ketika seseorang menyimpannya serta tidak membelanjakan harta itu, ia tidak lagi menjadi hiasan atau keindahan, melainkan menjadi kekurangan dan petaka baginya.
  10. Yang dimaksudkan harta yang secukupnya adalah sekadar menegakkan tulang dan menangkal bahaya agar hamba bisa menyiapkan bekal guna meniti perjalanan menuju Rabb. Lebih dari itu, harta justru mengganggu, menghalangi perjalanan menuju Allah, dan menghalangi persiapan membawa bekal ke akhirat. Bahaya harta jauh lebih banyak daripada manfaatnya. Jadi, semakin banyak kekayaan yang dimiliki, hamba semakin lamban tertinggal untuk mempersiapkan diri menghadapi kematian yang menanti. Berbeda dengan ilmu yang bermanfaat, maka semakin bertambahnya ilmu, hamba akan semakin mempersiapkan bekal untuk meniti perjalanan menuju Allah.

Allah jua yang memberi taufik. Kita memohon pertolongan, serta tiada daya dan kekuatan tanpa pertolongan-Nya. Bekal perjalanan menuju Allah adalah ilmu dan amal. Sementara bekal di dunia adalah menumpuk dan menyimpan harta. Siapa yang menginginkan sesuatu, pasti akan bersiap-siap mendapatkan sesuatu itu.

ِوَلَوْ أَرَادُوا الْخُرُوجَ لَأَعَدُّوا لَهُ عُدَّةً وَلَٰكِنْ كَرِهَ اللَّهُ انْبِعَاثَهُمْ فَثَبَّطَهُمْ وَقِيلَ اقْعُدُوا مَعَ الْقَاعِدِينَ

Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka. dan dikatakan kepada mereka: “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu”.” (QS. At-Taubah: 46)

Catatan lain yang sudah disebutkan dalam perkataan ‘Ali bin Abi Thalib:

  1. Ilmu itu menjadi haakim (yang memberikan hukum), sedangkan harta itu menjadi objek hukum (terkena hukum).
  2. Mencintai orang yang berilmu (ulama) bagian dari agama, cinta yang mendekatkan diri kepada Allah.
  3. Ilmu menjadikan orang yang memilikinya menjadi seorang yang ditaati semasa hidupnya dan disebut dengan kebaikan setelah matinya. Apa yang dihasilkan oleh harta akan hilang bersama kemusnahannya.

Semoga Allah karuniakan kita ilmu yang manfaat.

Referensi:

Miftah Daar As-Sa’aadah wa Mansyur Walaayah Ahli Al-‘Ilmi wa Al-Idarah. Cetakan pertama, Tahun 1433 H. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali bin ‘Abdul Hamid Al-Halabiy Al-Atsariy. Penerbit Dar Ibnul Qayyim.

Isteri Yang Taat Suami Dijamin Surga

Isteri Yang Taat Suami Dijamin Surga 

Di antara keutamaan istri yang taat pada suami adalah akan dijamin masuk surga. Ini menunjukkan kewajiban besar istri pada suami adalah mentaati perintahnya.

Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَنْهَا رَاضٍ دَخَلَتِ الْجَنَّةَ

Wanita mana saja yang meninggal dunia lantas suaminya ridha padanya, maka ia akan masuk surga.” (HR. Tirmidzi no. 1161 dan Ibnu Majah no. 1854. Abu Isa Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Yang dimaksudkan dengan hadits di atas adalah jika seorang wanita beriman itu meninggal dunia lantas ia benar-benar memperhatikan kewajiban terhadap suaminya sampai suami tersebut ridha dengannya, maka ia dijamin masuk surga. Bisa juga makna hadits tersebut adalah adanya pengampunan dosa atau Allah meridhainya. (Lihat Nuzhatul Muttaqin karya Prof. Dr. Musthofa Al Bugho, hal. 149).

Begitu pula ada hadits dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِى الْجَنَّةَ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ

Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad 1: 191 dan Ibnu Hibban 9: 471. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dengan ketaatan seorang istri, maka akan langgeng dan terus harmonis hubungan kedua pasangan. Hal ini akan sangat membantu untuk kehidupan dunia dan akhirat.

Islam pun memuji istri yang taat pada suaminya. Bahkan istri yang taat suami itulah yang dianggap wanita terbaik.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ

Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

Sebagian istri saat ini melupakan keutamaan taat pada suami. Sampai-sampai menganggap ia harus lebih daripada suami sehingga dialah yang mesti ditaati karena karirnya lebih tinggi dan titelnya lebih mentereng. Wallahul musta’an.

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Hindari Berlama lama Di Toilet


Hindari Berlama lama Di Toilet 

Duduk berlama-lama di dalam WC memiliki keburukan besar, di antaranya;

Pertama: WC umumnya tidak sepi dari najis dan kotoran. Duduk di sana dapat terkena dengannya, sedangkan seorang muslim diperintahkan untuk menjauhi najis dan membersihkannya.

Kedua: Tempat-tempat buang hajat di datangi setan, sebagaimana dijelaskan Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

إِنَّ هَذِهِ الْحُشُوشَ مُحْتَضَرَة ٌ، فَإِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ الْخَلَاءَ فَلْيَقُلْ : أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ 

“Sesungguhnya tempat buang hajat, didatangi setan. Jika kalian masuk WC, maka ucapkanlah; A’uuzu billahi minal khubutsi wal khabaits (aku berlindung kepada Allah dari setan laki dan perempuan)” [Diriwayatkan oleh Abu Daud, no. 6. Dinyatakan shahih oleh Al-Albany dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 1070]

Tempat buang hajat adalah tempat tinggal setan, karenanya kita diperintahkan untuk berlindung darinya ketika memasukinya.

Al-Khatabi berkata, “Setan mendatangi tempat-tempat seperti itu dan mengintainya unuk menyakiti dan berbuat kerusakan. Karena di tempat itulah biasanya zikir ditinggalkan dan aurat dibuka.”

Baca Juga  Keutamaan Orang Yang Tidak Dilalaikan
Syekh Ibn Jibrin berkata, “Umum diketahui bahwa setan menyukai tempat yang kotor dan najis. Jika manusia tidak berlindung dari setan, maka dia akan mengganggunya, maka mereka mengenainya dengan najis, atau keburukan, yang tampak atau maknawi. Yang tampak terwujud dengan dia terkena najis namun dia tidak mempedulikanya. Adapun maknawi dengan cara menimbulkan keragu-raguan sehingga dia terpenjara oleh bisikan setan yang selalu ada padanya. Karena itu, diperintahkan untuk berlindung dari setan dengan berzikir kepada Allah.” [Syarh Ahadits Umdatul Ahkam, pelajaran kedua]

Syekh Ibnu Utsaimin berkata, “Manfaat isti’azah (doa mohon perlindungan) ini adalah berlindung kepada Allah dari setan laki dan perempuan, karena tempat itu adalah tempat yang kotor, sedangkan tempat yang kotor adalah kediaman makhluk yang kotor, maka dia adalah tempatnya setan. Maka cocok, jika seseorang hendak masuk WC dia membaca A’uuzu billah minal khubutsi wal khaba’itsi, agar dirinya tidak terkena keburukan dan makhluk yang buruk.” (Syarh Al-Muti, 1/83)

Ketiga: Berdiam di dalam WC dalam waktu yang lama tanpa keperluan berarti membuka aurat tanpa alasan. Tidak dibolehkan bagi seseorang membuka auratnya tanpa alasan walaupun dia seorang diri, kecuali jika ada keperluan.

عن معاوية بن حيدة قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ عَوْرَاتُنَا مَا نَأْتِي مِنْهَا وَمَا نَذَرُ ؟.قَالَ: احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلَّا مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ فَقَالَ: الرَّجُلُ يَكُونُ مَعَ الرَّجُلِ . قَالَ: إِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ لَا يَرَاهَا أَحَدٌ فَافْعَلْ  قُلْتُ: وَالرَّجُلُ يَكُونُ خَالِيًا . قَالَ: فَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ يُسْتَحْيَا مِنْهُ

Dari Mu’awiyah bin Haidah, dia berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, apa yang boleh dan yang tidak?” Beliau menjawab, “Jagalah auratmu, kecuali dari isterimu dan budakmu.” Dia berkata, “Jika seorang laki-laki bersama laki-laki.” Dia berkata, “Jika engkau dapat (menjaga), agar tidak ada seorang pun yang melihat auratmu, maka lakukanlah.” Aku berkata, “Jika seseorang sendiri.” Beliau berkata, “Kepada Allah, dia lebih berhak untuk malu.” [HR. Tirmizi, no. 2769, Abu Daud, no. 4017, dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Adab Az-Zafaf, hal. 36]

Baca Juga  Kehidupan Sehari-Hari Yang Islami
Keempat: Para ulama berpandangan makruh duduk berlama-lama di WC jika tanpa keperluan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata, “Jangan berlama-lama di tempat itu tanpa keperluan. Karena berdiam lama di tempat itu adalah makruh. Karena itu adalah tempat keberadaan setan dan tempat disingkapnya aurat.” (Syarhul Umdah, 1/60)

Al-Faqih Ibnu Hajar Al-Haitsai berkata, “Dimakruhkan berdiam lama di tempat buang hajat.” (Tuhfatul Muhtaj, 2/241)

Kewajiban bagi seorang muslim dan selayaknya baginya adalah menjaga dirinya dari keburukan dan najis, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan dan tidak menyendiri di tempat-tempat yang buruk dan najis. Bahkan seandainya perkara tersebut boleh, niscaya dirinya enggan berlama-lama di tempat seperti itu.

Wallahua’lam.

Cara Menjadi Wali Allah

Cara Menjadi Wali Allah

Ketika disebut kata wali, yang terbayang di benak sebagian besar kaum muslimin adalah orang yang memiliki banyak karamah, mulai kemampuan bisa terbang, berjalan di atas air, jum’atan di Masjidil Haram sementara orangnya di indonesia, shalat di atas pelepah pisang, bisa mengobati orang sakit, memahami berbagai bahasa di seluruh dunia, weruh sak durunge winarah (tahu sebelum diberi tahu) dan seambreg anggapan-anggapan sakti lainnya. Atau bisa dsimpulkan, mereka menganggap wali itu sama dengan orang sakti.

Tidak heran, jika ada di antara kiyai fasiq yang berlumuran dengan dosa dan maksiat, namun mereka menyebutnya sebagai wali, karena dia memiliki kesaktian. Sebaliknya, orang yang taat dan ikhlas dalam beribadah, namun karena tidak memiliki kesaktian, status kewaliannya diragukan.

Pemahaman ini, menjadikan sebagain besar kaum muslimin tidak bisa membedakan siapakah wali Allah dan siapakah yang bukan wali Allah (baca: wali setan). Karena bagi mereka standar wali adalah karamah (baca: kesaktian). Tanpa memperhatikan dari mana sumber karamah itu berasal. Akibatnya mereka mensikapi wali-wali Allah sebagai musuh, sebagaimana sikap mereka terhadap setan. Sebaliknya wali-wali setan disikapi sebagaimana orang shaleh layaknya wali Allah, karena dia punya banyak kesaktian.

Pengertian Wali Allah

Secara bahasa kata al-walii berasal dari kata dasar al-walaayah yang artinya cinta dan kedekatan. Lawan kata dari kata al-walaayah adalah al-‘adaawah yang artinya permusuhan. Orang yang taat kepada Allah disebut wali Allah, karena kedekatannya dengan Allah melalui ibadah yang dia lakukan dan ketundukannya untuk berusaha mengikuti semua aturan Sang Pencipta.

Allah ta’ala telah menjalaskan batasan, siapakah wali Allah yang sesungguhnya. Dalam al Qur’an surat Yunus ayat 62-63, Allah telah menjelaskan definisi wali Allah,

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ . الَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ

“Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati – jaminan masuk surga – (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.”

Berdasarkan kriteria yang disebutkan dalam ayat di atas, Imam Abu Ja’far At-Thahawi memberikan sebuah kaidah:

والمؤمنون كلهم أولياء الرحمن، وأكرمهم عند الله أطوعهم وأتبعهم للقرآن

“Setiap mukmin adalah wali Allah. Dan wali yang paling mulia di sisi Allah adalah wali yang paling taat dan paling mengikuti Al Qur’an. (Aqidah Thahawiyah).

ketika menafsirkan ayat ini, Ibn Katsir mengatakan:

يخبر تعالى أن أولياءه هم الذين آمنوا وكانوا يتقون، كما فسرهم ربهم، فكل من كان تقيا كان لله وليا

“Allah mengabarkan bahwa wali-wali-Nya adalah setiap orang yang beriman dan bertaqwa. Sebagaimana yang Allah jelaskan. Sehingga setiap orang yang bertaqwa maka dia adalah wali Allah.” (Tafsir Ibn Katsir, 4/278).

Berdasarkan definisi yang disebutkan pada ayat di atas serta beberapa keterangan ulama, dapat disimpulkan bahwa wali Allah adalah setiap hamba Allah yang beriman kepada-Nya dan melaksanakan konsekwensi imannya dengan melakukan ketaatan kepada-Nya. Kedekatannya dengan Allah sebanding dengan kedaan iman yang ada pada dirinya.

Setiap mukmin, berpeluang untuk bisa menjadi wali Allah. Selama dia berusaha berjuang untuk menjadi mukmin yang taat, mengikuti ajaran Al-Quran dan sunah sebagaimana yang didakwahkan para sahabat.

Sekali lagi kami tekankan bahwa ‘wali Allah’ sama sekali tidak ada hubungannya dengan kesaktian, karamah maupun kejadian-kejadian luar biasa lainnya.

Allahu a’lam.

MAKAN DARI PINGGIR-PINGGIR PIRING

MAKAN DARI PINGGIR-PINGGIR PIRING

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma berkata: “Rasulullah ﷺ bersabda:

“الْبَرَكَةُ تَنْزِلُ فِي وَسَطِ الطَّعَامِ، فَكُلُوْا مِنْ حَافِيَتِهِ وَلاَ تَأْكُلُوْا مِنْ وَسَطِهِ!”

‘Keberkahan tersebut akan turun di tengah-tengah makanan. Maka makanlah dari pinggir-pinggirnya dan JANGAN dari tengahnya!” [1]

Dan dari ‘Abdullah bin Busr [2] radhiyallahu anhu, bahwasanya didatangkan kepada Rasulullah ﷺ sebuah piring, [3] lalu beliau ﷺ bersabda:

“كُلُوْا مِنْ جَوَانِبِهَا، وَدَعُوْا ذِرْوَتَهَا! يُبَارَكْ فِيْهَا.”

“Makanlah dari pinggirannya dan tinggalkanlah (terlebih dahulu) bagian tengahnya [4]. (Niscaya) akan diberkahi padanya.” [5]

Dari dua hadis di atas dan yang semisalnya terdapat petunjuk Nabi ﷺ bagi kaum Muslimin ketika makan, yaitu bahwa memulainya dari pinggir-pinggir piring, agar berkah yang ada di tengah makanan tersebut tetap ada. Dan hendaknya TIDAK memulai makan dari tengah piring hingga selesai makan, yang di pinggirnya terlebih dahulu. Adab ini adalah bersifat umum, baik bagi yang makan sendiri maupun yang makan bersama-sama.

Al- Kiththabi [6] berkata:

“Kemungkinan larangan tesebut (makan dari tengah piring) apabila makan bersama orang lain, karena penampilan makanannya saat itu adalah yang terbaik dan terindah. Apabila tujuan utamanya adalah agar ia memuaskan diri sendiri, maka hal itu akan memberi kesan yang kurang baik bagi teman-temannya, oleh karena meninggalkan adab-adab makan dan muamalah yang buruk. Nnamun apabila ia makan sendiri, maka tidak apa-apa. Wallaahu a’lam. [7]

Yang jelas adalah, bahwa hal tersebut bersifat umum, karena telah ada larangan dari Nabi ﷺ dalam dua hadis di atas dengan memakai kata ganti tunggal dan jamak. Kemungkinan maksudnya adalah menjaga keberkahan makanan tersebut agar tetap selalu ada dalam jangka jangka waktu yang lama. Kemudian bukan ini saja, tapi dalam hal tersebut ada suatu adab yang baik, khususnya ketika makan bersama.

Wallahu a’lam.

Catatan Kaki:

[1]. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (IV/260) Kitaabul Ath’imah bab Maa Jaa-a fii Karaahiyatil Akli min Wasathith Tha’aam, ia berkata: “Hadits ini shahih.” Dengan lafazh darinya. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya (II/1090) Kitaabul Ath’imah bab an-Nahyu ‘Anil Akli min Dzirwatits Tsariid, Imam Ahmad dalam Musnadnya (I/270), ad-Darimi dalam Sunan-nya (II/100) Kitaabul Ath’imah bab an-Nahyu ‘anil Akli Wasathits Tsariid hatta Ya’-kula Jawaanibahu, Ibnu Hibban dalam Shahihnya (VII/333) Kitaabul Ath’imah, Dziktul Ibtidaa-i fil Akli min Jawaanibith Tha’aam. Abu Dawud meriwayatkannya dengan lafal:

“إٍذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا، فَلاَ يَأْكُلْ مِنْ أَعْلَى الصَّحْفَةِ، وَلَكِنْ لِيَأْكُلْ مِنْ أَسْفَلِهَا، فَإِنَّ الْبَرَكَةَ تَنْزِلُ مِنْ أَعْلاَهَا.”

“Jika salah seorang di antara kalian makan, maka janganlah ia makan dari bagian atas piring, tetapi makanlah dari bagian paling bawah darinya, karena keberkahan itu turun dari bagian atasnya.”

Diriwayatkan oleh Abu Dawud (IV/142) Kitaabul Ath’imah bab Maa Jaa-a fil Akli min ‘alash Shahfah.

[2]. Beliau adalah ‘Abdullah bin Busr al-Mazni Abu Shafwan as-Sulami al-Himshi, ia adalah Sahabat Rasulullah j, begitu pula ayahnya, ibunya, saudaranya, ‘Athiyah, dan saudarinya, ash-Shamma’, beliau wafat di Himsh pada tahun 96 H -ada yang berkata 88 H- pada usia 100 tahun, ia di antara para Sahabat yag terakhir wafat di Syam. Lihat Asadul Ghaabah (III/82), al-Kasyif adz-Dzahabi (II/62), al-Ishaabah (II/273), Tahdziibut Tahdziib (V/158).

[3]. Al-Qush’ah adalah bejana yang dipakai makan dan merendam roti di dalam-nya, biasanya dibuat dari kayu. Al-Mu’jamul Wasiith (II/746).

[4]. Yaitu yang teratas karena puncak dari setiap sesuatu adalah atasnya. Lihat an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits wal Aatsaar, Ibnul Atsir (II/159).

[5]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya (IV/143) Kitaabul Ath’imah bab Maa Jaa-a fil Akli min ‘alash Shahfah di dalamnya terdapat kisah latar belakangnya, dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah dalam Sunannya (II/ 1090) Kitaabul Ath’imah bab an-Nahyu ‘anil Akli min Dzirwatits Tsariid, Imam as-Suyuthi menilainya hasan. Al-Jamii’-ush Shagiir (II/96).

[6]. Beliau adalah Hamd bin Muhammad bin Ibrahim bin Khitab al-Busti Abu Sulaiman al-Khithabi, seorang imam, ulama, sastrawan dan memiliki banyak karangan di antaranya: Ma’alimus Sunan fii Syarhi Sunan Abi Dawud, Gha-riibul Hadiits, Syahrul Asma’-ul Husna, al-Ghunyah ‘anil Kalaam wa Ahlahu, beliau wafat tahun 388 H. Lihat Mu’jamul Buldaan (I/415), al-Ansaab (II/ 210), Waafiyaatul A’yaan (II/214), Siyaru A’lamin Nubalaa’ (XVII/23) dan al-Bidaayah (XI/236).

[7]. Ma‘alimus Sunan (IV/124) oleh al-Khithabi, dengan sedikit perubahan.

Pendidikan Agama Sejak Dini

Pendidikan Agama Sejak Dini 

Pendidikan agama sejak dini hendaklah sudah ada di rumah keluarga muslim. Didikan tersebut bukan menunggu dari pengajaran di sekolah atau di taman pembelajaran Al Qur’an (TPA). Namun sejak di rumah, orang tua sepatutnya sudah mendidik anak tentang akidah dan cara beribadah yang benar. Kalau memang orang tua tidak bisa mendidik demikian, hendaklah anak diarahkan ke pre-school atau sekolah yang Islami sehingga ia sudah punya bekal agama sejak kecil. Setiap orang tua tentu sangat menginginkan sekali anak penyejuk mata.

Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah (13: 11) disebutkan, “Bapak dan ibu serta seorang wali dari anak hendaknya sudah mengajarkan sejak dini hal-hal yang diperlukan anak ketika ia baligh nanti. Hendaklah anak sudah diajarkan akidah yang benar mengenai keimanan kepada Allah, malaikat, Al Qur’an, Rasul dan hari akhir. Begitu pula hendaknya anak diajarkan ibadah yang benar. Anak semestinya diarahkan untuk mengerti shalat, puasa, thoharoh (bersuci) dan semacamnya.”

Perintah yang disebutkan di atas adalah pengamalan dari sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini.

Dari Amr bin Syu’aib, dari bapaknya dari kakeknya radhiyallahu ‘anhu, beliau meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ

Perintahkan anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berumur 7 tahun. Pukul mereka jika tidak mengerjakannya ketika mereka berumur 10 tahun. Pisahkanlah tempat-tempat tidur mereka“. (HR. Abu Daud no. 495. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Kembali dilanjutkan dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, “Hendaklah anak juga diperkenalkan haramnya zina dan liwath, juga diterangkan mengenai haramnya mencuri, meminum khomr (miras), haramnya dusta, ghibah dan maksiat semacam itu. Sebagaimana pula diajarkan bahwa jika sudah baligh (dewasa), maka sang anak akan dibebankan berbagai kewajiban. Dan diajarkan pula pada anak kapan ia disebut baligh.” (idem)

Perintah untuk mendidik anak di sini berdasarkan ayat,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At Tahrim: 6). Disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir (7: 321), ‘Ali mengatakan bahwa yang dimaksud ayat ini adalah, “Beritahukanlah adab dan ajarilah keluargamu.”

Di atas telah disebutkan tentang perintah mengajak anak untuk shalat. Di masa para sahabat, mereka juga mendidik anak-anak mereka untuk berpuasa. Mereka sengaja memberikan mainan pada anak-anak supaya sibuk bermain ketika mereka rasakan lapar. Tak tahunya, mereka terus sibuk bermain hingga waktu berbuka (waktu Maghrib) tiba.

Begitu pula dalam rangka mendidik anak, para sahabat dahulu mendahulukan anak-anak untuk menjadi imam ketika mereka telah banyak hafalan Al Qur’an.

Begitu pula Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendidik ‘Umar bin Abi Salamah adab makan yang benar. Beliau berkata pada ‘Umar,

يَا غُلاَمُ سَمِّ اللَّهَ ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ

Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah (bacalah bismillah) ketika makan. Makanlah dengan tangan kananmu. Makanlah yang ada di dekatmu.” (HR. Bukhari no. 5376 dan Muslim no. 2022).

Praktek dari Ibnu ‘Abbas, ia sampai-sampai mengikat kaki muridnya yang masih belia yaitu ‘Ikrimah supaya muridnya tersebut bisa dengan mudah menghafal Al Qur’an dan hadits. Lihat bahasan ini di Fiqh Tarbiyatil Abna’ karya Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, hal. 86-87.

Semoga Allah menganugerahi kepada anak-anak kita sebagai penyejuk mata bagi orang tua. Mudah-mudahkan kita diberi taufik untuk mendidik mereka menjadi generasi yang lebih baik.

Hanya Allah yang memberi hidayah dan kemudahan.

Referensi:

Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, terbitan Kementrian Agama Kuwait, juz ke-13.

Fiqh Tarbiyatil Abna’, Syaikh Muthofa bin Al ‘Adawi, terbitan Dar Ibnu Rojab, cetakan tahun 1423 H.

Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H.

Giat Menuntut Ilmu Syar'i

Giat Menuntut Ilmu Syar'i

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata: “Hendaklah semua wanita mengetahui bahwa dia tidak akan bisa mencapai keshalihan (tidak mungkin menjadi wanita shalihah) kecuali dengan ilmu. Dan yang saya maksud dengan ilmu adalah ilmu syar’i” (Dauratul Mar’ah, hal 7).

Sungguh nasehat berharga agar wanita bersemangat menuntut ilmu syar’i, ilmu agama yang menuntun arah hidupnya menuju keselamatan akhirat. Semakin tekun dan ikhlas belajar agama maka semakin kuat iman dan bagus amalnya. Kualitas ilmu agama yang dipelajarinya terlihat dalam akhlak mulianya. Jadi barometer keshalihan terletak pada faktor agamanya yang membimbingnya untuk selalu dalam ketaatan pada Allah azza wa jalla. Jadi poin utama kesalihan adalah keistiqamahan dalam mencari ilmu agama yang shahih dan berupaya mengamalkannya. Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim” (HR. Ibnu Majah no. 224, shahih).

Ketika wanita terus belajar ilmu syar’i maka terlihat dari pola pikir, sikap tingkah laku dan amalnya selaras dengan syari’at Islam. Hidupnya dilandasi ketakwaan dan ketika menikah maka ia akan bisa bermuamalah dengan pasangannya atas dasar ilmu, menjaga kewajibannya sebagai istri dan ibu serta selalu dalam koridor takwa.

Dan wanita yang intens dan antusias mengejar ilmu syar’i maka dia akan dicintai Allah azza wa jalla, dikasihi suami dan mampu menjadi teladan dalam kebaikan. Dengan bekal ilmu agama yang shahih niscaya hidupnya selalu barakah, rumah tangga stabil, jauh dari berbagai penyimpangan pemahaman dan mampu menjadikan “rumahku surgaku”.

Kebahagiaan hidup bukanlah imajinasi, namun sebuah realita yang indah. Jadi kadar keilmuaan seorang muslimah seharusnya berbanding lurus denga amal shalih yang dilakukannya. Dengan bekal ilmu agama niscaya Allah azza wa jalla memudahkan langkahnya untuk menggapai predikat wanita shalihah. Wanita sholihah bersemangatlah menuntut ilmu ketika dimudahkan menuju majlis ilmu maka lakukanlah dengan ikhlas untuk menghilangkan kebodohan. Tatkala kondisi belum memungkinkan bisa dengan mendengarkan kajian online, membaca buku-buku agama yang shahih, keterbatasan waktu, langkah dan kesibukan mengurus rumah tangga tak menggoyahkan niatnya untuk terus belajar dan berbenah dakam meningkatkan kualitas ilmiahnya dengan bekajar ilmu agama.

Banyak teladan menakjubkan seorang wanita hebat yang mampu menjadi inspirasi muslimah untuk tegar diatas jalan ilmu, seperti Aisyah radhiallahu’aha istri Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam. Az Zuhri berkata: “Seandainya ilmu Aisyah dibandingkan dengan ilmu seluruh wanita, niscaya ilmu Aisyah lebih utama“ (Al Mustadarak Al Hakim pada bab Ma’rifatul Shahabah, IV/11). Demikian pula Asy Syifa’ binti Al-Harist, beliau seorang yang mumpuni dalam ilmu agamanya, gurunya Hafshah binti Umar bin Khatab radhiallahu’anha, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam memuji Asy Syifa’ dengan ilmunya yakni meruqyah, pengobatan dan tekun menimba ilmu dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Ia masuk Islam sebelum hijrah dan ia termasuk wanita yang berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Telah diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah meminta kepada Asy Syifa’ untuk mengajarkan kepada Hafshah radhiallahu’anha tentang menulis dan sebagian ruqyah (pengobatan dengan doa-doa). Asy Syifa’ berkata: “Suatu ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam masuk sedangkan saya berada disamping Hafshah, beliau bersabda :

أَلَا تُعَلِّمِيْنَ هَذِهِ رُقْيَةَ النَّمْلَةِ كَماَ عَلَّمْتِيْهَا الْكِتَا بَةَ

Mengapa tidak engkau ajarkan kepadanya ruqyah sebagaimana engkau ajarkan kepadanya menulis”. (HR. Abu Daud nomor 3887, sanadnya hasan).

Demikianlah sekilas potret sahabiyah yang begitu giat belajar ilmu syar’i dan juga bersemangat mengajarkannya kepada kaum muslimah di masanya. Dan ketika ilmu syar’i itu telah digenggam di hatinya maka akan berbuah amal shalih. Sebaliknya ketika wanita tidak gemar mempelajari ilmu syar’i maka kehidupannya akan penuh masalah dan jauh dari petunjuk Allah azza wa jalla. Berkata Syaikh Mahmud Al Basyir Al Ibrahimiy rahimahullah: “Apabila seorang wanita tidak mengetahui ilmu-ilmu agama, niscaya ia akan menyusahkan suami, merusak anak anak dan membinasakan umat” (Atsar Al- Ibrahimiy, 4/ 49).

Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.

***

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Referensi :
1). Mereka Adalah Para Shahabiyat ( Terjemah), Mahmud Mahdi Al Istanbuli, Musthafa Abu Nashir Asy Syalabi, Abdurrahman Rafat Basyar, At Tibyan, Solo, 2013
2). One Heart, Rumah Tangga Satu Hati Satu Langkah, Zaenal Abidin bin Syamsudin, Pustka Imam Bonjol, Jakarta 2013

Mukmin Bagaikan Pohon Kurma

Mukmin Bagaikan Pohon Kurma
  1. Pohon kurma pasti memiliki akar dan batang, ranting, daun dan buah. Demikian juga keimanan yag ada pada seorang mukmin harus memiliki akar/pokoknya yaitu beriman kepada 6 rukun iman. Cabang/batangnya adalah amal sholeh dan perbuatan yang bisa mendekatkannya kepada Allah subhanawata’ala. Buahnya adalah setiap kebaikan dan kebahagiaan yang dirasakan oleh seorang mukmin di dunia dan akhirat
  2. Pohon kurama tidak akan hidup kecuali terus disiram dan dirawat, jika tidak pohon itu akan menjadi lemah dan mati, begitu juga keimanan yang ada pada diri kaum mu’minin. Kareananya Keimanan seseorang perlu dipelihara keimanan yang ada dalam hatinya, dipelihara dengan wahyu dari Allah ta’ala dan dari perkataan Nabi shallallahu’alaihi wassalam. Tanpa wahyu dari Allah ta’ala manusia seakan-akan mati.
  3. Pohon kurma itu kokoh tidak seperti pohon-pohon lain, akarnya kuat. Begitu pun juga keimanan, jika iya tertananm dalam hati lama kelamaan menjadi kokoh, yang tidak akan bisa diguncangkan oleh apapun, seperti kokohya gunung-gunung. Keimanan bisa bertamabah seperti gunung-gunung, dan bisa berkurang dengan tidak membekas sedikitpun.
  4. Pohon kurma tidak akan tumbuh di setiap tempat, akan tetapi di tempat-tempat tertentu saja. Jika ditanam pada tanah yang bagus maka akan tumbuh kuat dan berbuah dengan hasil yang bagus. Begitu pula dengan keimanan, tidak akan tumbuh menjadi kuat pada setiap hati manusia. Namun akan menjadi kuat, di hati yang Allah lapangkan dadanya kepada iman.
  5. Pohon kurma itu terkandang tumbuh pdanya tanaman2 pengganggu, yang bisa merusak dan menghambat pertumbuhannya. Karenanya perlu di bersihkan dari tanaman-tanaman pengganggu tersebut. Demikian kaum mu’minin dalam kehidupannya dia akan mendapati bermacam-macam hal yang bisa mengganggu keimanannya. Karenanya orang yang beriman harus selalu bersungguh-sungguh membersihkan hatinya dari hal-hal yang bukan bagian dari keimanan, hawa nafsunya, fitnah-fitnah dunia dan hal-hal lain.
  6. Pohon kurma itu seperti yang Allah sebutkan, memberikan buahnya disetiap musim. Begitu juga seorang mukmin, keimanan harus mendatangkan dan membuah kebaikan dan amal sholeh di setiap saatnya, kapan pun dan dimana pun bagi orang-orang yang bersamanya.
  7. Pohon kurma itu pada setiap bagiannya mempunyai keberkahan dan manfaat, maka begitulah seharusnya seorang mu’min, keberadaannya haruslah mendapatkan keberkahan dan manfaat seperti pohon kurma.