Pengertian Taubat Nasuha

Pengertian Taubat Nasuha 

Di antara perintah Allah Ta’ala kepada hamba-Nya adalah perintah untuk taubat. Taubat ini adalah jalan yang ditunjukkan oleh Allah Ta’ala sebagai sarana agar para hamba-Nya memperbaiki diri atas dosa, maksiat, dan kesalahan yang telah mereka perbuat. Allah Ta’ala berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (QS. At-Tahrim [66]: 8).

Oleh karena itu, taubat merupakan ibadah yang sangat agung dan memiliki banyak keutamaan. [1] Lalu, apa maksud taubat nasuha sebagaimana yang Allah Ta’ala perintahkan dalam ayat di atas?

Makna Pertama: Taubat yang Murni (Ikhlas) dan Jujur

Secara bahasa, ??? (na-sha-kha) artinya sesuatu yang bersih atau murni (tidak bercampur dengan sesuatu yang lain). Sesuatu disebut (an-naashikh), jika sesuatu tersebut tidak bercampur atau tidak terkontaminasi dengan sesuatu yang lain, misalnya madu murni atau sejenisnya. Di antara turunan kata  adalah  (an-nashiihah). (Lihat Lisaanul ‘Arab, 2/615-617).

Berdasarkan makna bahasa ini, taubat disebut dengan taubat nasuha jika pelaku taubat tersebut memurnikan, ikhlas (hanya semata-mata untuk Allah), dan jujur dalam taubatnya. Dia mencurahkan segala daya dan kekuatannya untuk menyesali dosa-dosa yang telah diperbuat dengan taubat yang benar (jujur).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menjelaskan ayat di atas,

Yaitu taubat yang jujur, yang didasari atas tekad yang kuat, yang menghapus kejelekan-kejelekan di masa silam, yang menghimpun dan mengentaskan pelakunya dari kehinaan” (Tafsir Al-Qur’anul ‘Adzim, 4/191).

Ketika menjelaskan ayat di atas, penulis kitab Tafsir Jalalain berkata,

Taubat yang jujur, yaitu dia tidak kembali (melakukan) dosa dan tidak bermaksud mengulanginya.” (Tafsir Jalalain, 1/753).

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

An-nush-khu dalam taubat, ibadah, dan nasihat artinya memurnikan perkara-perkara tersebut dari semua kotoran, kekurangan, dan kerusakan. Seseorang melaksanakannya dalam bentuk yang paling sempurna.” (Madaarijus Saalikiin, 1/309-310).

Taubat nasuha ini akan terasa pengaruhnya bagi pelakunya, yaitu orang lain kemudian mendoakan kebaikan untuknya.

Al-Alusi rahimahullah berkata,

Taubat nasuha boleh juga dimaknai dengan taubat yang mendatangkan doa dari manusia. Artinya, manusia mendoakannya untuk bertaubat, sehingga tampaklah pengaruh taubat tersebut bagi pelakunya. Pelakunya pun mencurahkan kesungguhan dan tekad untuk melaksanakan konsekuensi dari taubatnya.“ (Ruuhul Ma’aani, 28/158).

Terdapat beberapa syarat agar taubat nasuha diterima, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama rahimahumullah. [2]

Makna Ke dua: Taubat yang Memperbaiki Kerusakan dalam Agama akibat Perbuatan Maksiat

Penulis ‘Umdatul Qari menjelaskan,

Adapun makna asal dari ‘nashihah’ diambil dari seseorang yang menjahit pakaiannya, ketika dia menyulam pakaiannya dengan jarum.” (‘Umdatul Qari Syarh Shahih Bukhari, 1/321)

Beliau rahimahullah kemudian melanjutkan,

(Dari kata nashihah tersebut) muncullah istilah ‘taubat nasuha’. Seakan-akan dosa (maksiat) telah merobek agama (seseorang), dan taubatlah yang menjahit kembali (robekan tersebut).” (‘Umdatul Qari Syarh Shahih Bukhari, 1/321).

Al-Qurthubi rahimahullah berkata,

Dikatakan, (taubat nasuha) diambil dari kata ‘an-nashahah’, yaitu ‘jahitan’. Berdasarkan asal kata tersebut, terdapat dua sisi (makna) dari taubat nasuha. Pertama, karena taubat tersebut telah memperbaiki ketaatan dan menguatkannya. Sebagaimana jahitan yang memperbaiki pakaian dan menguatkannya.” (Al-Jami’ li Ahkaamil Qur’an, 18/199).

Berdasarkan makna secara bahasa di atas, maka pelaku taubat nasuha telah menyempurnakan taubatnya dan memperkuat taubatnya dengan melaksanakan berbagai macam amal ketaatan. Hal ini sebagaimana jahitan yang menyempurnakan (memperbaiki) pakaian, menguatkan, dan merapikannya.

Al-Alusi rahimahullah berkata,

Disebut dengan taubat nasuha, yaitu taubat yang memperbaiki robekan (lubang) dalam agamamu dan memperbaiki keburukanmu.” (Ruuhul Ma’aani, 28/157-158).

Abu Ishaq rahimahullah berkata,

Taubat nasuha adalah taubat yang mencapai puncak kesempurnaan (yang dilaksanakan semaksimal mungkin, pen.). Taubat ini (sejenis dengan) pekerjaan menjahit. Seakan-akan maksiat telah merobek (agama), dan taubatlah yang menambal (menjahit atau memperbaikinya).” (‘Umdatul Qari Syarh Shahih Bukhari, 22/280).

Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan sisi yang lain istilah taubat nasuha sesuai dengan makna bahasa di atas. Beliau rahimahullah berkata,

Sisi yang ke dua, karena taubat nasuha mengumpulkan antara pelakunya dengan wali-wali Allah, dan merekatkannya. Hal ini sebagaimana jahitan yang merekatkan pakaian dan menyambung antara sisi (kain) yang satu dengan sisi lainnya.” (Al-Jami’ li Ahkaamil Qur’an, 18/199).

Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk dalam hamba-hambaNya yang gemar untuk bertaubat. [3]

***

___

Catatan kaki:

[3] Disarikan dari kitab At-Taubah, fii Dhau’il Qur’anil Kariim, Dr. Amaal binti Shalih Naashir, Daar Andalus Khadhra’,cetakan pertama, tahun 1419, hal. 145-147; dengan beberapa penambahan dari referensi lainnya.

Mata Pencaharian Yang Paling Baik

Mata Pencaharian Yang Paling Baik 

عن رفاعة بن رافع رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم سئل أي الكسب أطيب؟ قال: يا قال : عمل الرجل بيده وكل بيع مبرور ،رواه البزار وصححه الحاكم

Dari Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya:”Apakah pekerjaan yang paling baik/afdhol?” Beliau menjawab:”Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri (hasil jerih payah sendiri), dan setiap jual beli yang mabrur. (Hadits riwayat al-Bazzar dan dishahihkan oleh al-Hakim rahimahumallah)

Takhrij Hadits:

Hadits ini shahih dengan banyaknya jalur periwayatannya. Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah berkata:”Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan dishahihkan oleh al-Hakim”, beliau berkata di dalam kitab beliau at-Talkhish:”Diriwayatkan oleh al-Hakim dan ath-Thabrani, dan di dalam bab ini ada hadits juga dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhum. Hal itu disebutkan oleh Abi Hatim rahimahullah. Ath-Thabrani mengeluarkan (meriwayatkan) di dalam kitab al-Ausath hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma, dan para perawinya La Ba’sa (tidak ada masalah)

Disebutkan di dalam kitab Bulughul Amani:”Diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah dan dikeluarkan oleh as-Suyuthi di dalam Jami’us Shaghir, dan diriwayatkan oleh al-Baihaqi secara Mursal, dan dia berkata:’Inilah yang mahfuzh Wallahu A’lam”.

Al-Haitsami rahimahullah berkata di dalam kitab Majmau’z Zawaid setelah beliau menyebutkan bahwa hadits itu memiliki banyak jalur periwayatannya, maka neliau berkata tentang riwayat Imam ath-Thabrani:”Perawi-perawinya tsiqah (kuat)”. Dan berkata tentang jalurnya Imam Ahmad:”Perawi-perawinya tsiqah (kuat)”.

Kosakata dalam hadits:

الكسب:mencari rizki dan mendapatkannya dengan berusaha dan kerja keras.
أطيب :amalan paling afdhol/utama, paling banyak barokahnya dan paling halal untuk dimakan.
بيع :jual beli, yaitu tukar menukar harta (barang) berdasarkan saling ridha (menerima) dengan tujuan kepemilikan.
مبرور :sesuatu yang tidak tercampuri dengan dosa, dusta, penipuan, sumpah palsu dan lain-lain, akan tetapi yang terkumpul di dalamnya (sesuatu yang mabrur) adalah kejujuran, ketulusan dan keadilan.

Ibnu Qoyyim rahimahullah:”Al-Birru (mabrur) adalah suatu kalimat yang mencakup seluruh macam-macam kebaikan, dan kesempurnaan yang diminta dari seorang hamba, dan lawannya adalah al-Itsmu (dosa) yaitu kalimat yang mencakup segala macam keburukan, kehinaan dan aib.

Pelajaran yang bisa dipetik dari hadits di atas.

1.Hadits di atas menjelaskan salah satu ajaran di dalam Islam yaitu motivasi dan anjuran untuk berusaha, bekerja dan mencari rizki yang baik. Dan juga bahwasanya Islam itu adalah aturan agama dan Negara, sebagaimana Islam memerintahkan ummatnya untuk menunaikan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala (ibadah), maka Islam juga memerintahkan untuk mencari rizki dan untuk berusaha memakmurkan dan mengembangkan bumi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اْلأَرْضَ ذَلُولاً فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِن رِّزْقِهِ {15}

Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan. (QS. Al-Mulk:15)

2.Dalil bahwasanya pekerjaan/mata pencaharian terbaik adalah pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri (usaha sendiri). Di dalam Shahih al-Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ما أكل أحد طعاما قط خيرا من أن يأكل من عمل ده

“Tidak ada satu makanpun yang lebih baik dari pada apa yang dimakan oleh seseorang dari hasil kerjanya sendiri”

3.Dalil bahwasanya perdagangan adalah salah satu mata pencaharian yang paling baik, dengan catatan apabila selamat (terbebas) dari akad-akad yang diharamkan seperti riba, ketidak jelasan, penipuan, penyamaran (menutup-nutupi cacat pada barang dagangan) dan lain-lain yang termasuk dalam kategori memakan/mendapatkan harta orang lain dengan batil.

4.Dalil bahwasanya al-Birru (kebaikan) sebagaimana terdapat dalam Ibadah maka dia juga terdapat dalam Muamalat (interaksi sesama manusia).Maka apabila seorang muslim tulus dalam jual belinya, produksinya, pekerjaannya dan profesinya, maka perbuatan/pekerjaannya ini termasuk al-Birru dan al-Ihsan yang diberikan pahala/balasan di dunia dan akherat.

5.Bahwasanya amalan apapun yang dilakukan oleh setiap muslim yang diniatkan untuk menjaga kehormatan dirinya (tidak meminta-minta), dan untuk mencukupkan dirinya dari (bergantung kepada) apa-apa yang ada di tangan manusia, maka itu termasuk pekerjaan yang baik. Dan setiap manusia diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan apa yang menjadi pekerjaan dan profesinya.

6.Tidak adanya pengkhususan dari Syari’ (Allah) dan penentuan jenis pekerjaan tertentu, adalah dalil bahwa maksud hal itu adalah terwujudnya Iradah Kauniyah/kehendak kauniyah yaitu memakmurkan alam dunia ini, yaitu dengan bekerjanya masing-masing orang atau kelompok dengan suatu pekerjaan yang tidak dilakukan oleh orang atau kelompok lain. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala:

(أَعْطَى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَى) (طـه:50)

”Yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.” (QS. Thaaha: 50)

7.Seorang laki-laki dalam hadits di atas bukanlah maksud (bukan pengkhususan), akan tetapi disebutkan dalam hadits karena kebanyakan seorang laki-laki lah memiliki pekerjaan dan bertanggung jawab dalam menafkahi keluarga.

8. Jual beli mabrur adalah jual beli yang terjadi sesuai dengan konsekuensi syari’at yaitu terpenuhinya syarat, rukun, penyempurna dan tidak adanya penghalang (yang menghalangi sahnya transaksi) dan perusak transaksi. Maka harus terkumpul di dalamnya persyaratan yang telah lalu dan tidak adanya penghalang berupa gharar (ketidak jelasan), unsur judi, riba, penipuan dan penyembunyian cacat barang.

Beda pendapat Ulama

Para ulama telah berbeda pendapat tentang penentuan pekerjaan (mata pencaharian) yang paling afdhol dan paling baik.

Al-Mawardi rahimahullah berkata:”Yang paling baik adalah bercocok tanam (bertani) karena hal itu lebih dekat dengan sikap tawakkal.”

Imam Nawawi rahimahullah berkata:”Sebaik-baik mata pencaharian adalah pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri. Seandainya bertani (bercocok tanam) adalah sebaik-baik pekerjaan maka hal itu dikarenakan apa yang terkandung di dalamnya berupa statusnya sebagai pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri, ada tawakkal, dan di dalamnya ada manfaat yang luas bagi manusia lain, binatang melata dan burung-burung.”

Adapun al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:”Sebaik-baik penghasilan (mata pencaharian) adalah apa yang didapatkan dari harta orang kafir, dengan jalan jihad, karena hal itu adalah pekerjaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan karena di dalamnya terdapat tujuan meninggikan (menegakkan) kalimat Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Dan Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata:”Para ulama berbeda pendapat tentang pekerjaan duniawi yang paling utama. Sebagian mereka mengatakan yang utama adalah bercocok tanam (bertani), sebagian yang lain mengatakan perdagangan, dan sebagian yang lain mengatakan bahwa yang utama adalah pekerjaan seseorang dengan tangan sendiri berupa produksi maupun keahlian yang lain.”

Dan yang paling baik untuk dikatakan dalam pembahasan ini:”Bahwa sesunguhnya pekerjaan yang paling utama adalah sesuatu yang paling cocok dengan kondisinya masing-masing. Dan wajib pada semua bidang pekerjaan adanya ketulusan dan tidak adanya penipuan serta menunaikan kewajiban dari segala segi.”

Ibnu al-Muflih rahimahullah berkata dalam kitabnya “Adabusy Syar’iah” yang ringkasannya:”Dianjurkan (disunahkan) untuk bekerja walaupun telah berkecukupan, sebagaimana dibolehkan mencari pekerjaan yang halal untuk menambah kekayaan, kedudukan, kemewahan, kesenangan dan kelapangan terhadap anggota keluarganya yang disertai dengan selamatnya agama, kehormatan, harga diri dan lepasnya tanggung jawab.”

Dan hal itu (bekerja) adalah wajib bagi orang yang tidak memiliki bahan makanan untuk dirinya dan untuk orang-orang yang nafkahnya berada dalam tanggungannya. Dan didahulukan bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

كفى بالمرء إثما أن يضيع من يقوت. رواه مسلم

“Cukuplah seseorang dikatakan berdosa, ketika menelantarkan siapa yang menjadi tanggungannya (tidak memberinya nafkah).” (HR. Muslim)

Al-Qadhi rahimahullah:”Bekerja yang tidak dimaksudkan untuk bermewah-mewahan, akan tetapi tujuannya hanya sebagai sarana ketaatan (mendekatkan diri) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti menyambung kekerabatan (silaturahim), dan menjaga kehormatan diri untuk tidak meminta-minta, maka yang seperti ini lebih utama. Hal itu karena apa yang terkandung di dalamnya berupa manfaat untuk orang lain dan dirinya sendiri. Dan ia juga lebih utama dari pada ibadah nafilah (sunnah), karena di dalamnya ada manfaat untuk manusia yang lain sedangkan ibadah nafilah manfaatnya hanya dirasakan oleh pelakunya sendiri, dan sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi manusia lainnya.”

Jihad Yang Paling Dasar

Jihad Yang Paling Dasar 

Saudaraku, berjihad melawan hawa nafsu dan syahwat adalah jihad yang paling dasar. Tak mungkin kita dapat menjihadi musuh bila kita tak mampu menjihadi hawa nafsu sendiri.

Oleh karena itu Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

أَفْضَلُ الْجِهَادِ أَنْ يُجَاهَدَ الرَّجُلُ نَفْسَهَ وَ هَوَاهُ

“Jihad yang paling utama adalah seseorang berjihad (berjuang) melawan dirinya dan hawa nafsunya” (Hadits shahih diriwayatkan oleh ibnu Najjar dari Abu Dzarr).

Simaklah faidah indah yang disampaikan oleh ibnu Qayyim ketika menjelaskan surat Al-Ankabut ayat 69,

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا

“Dan orang orang yang berjihad di jalan Kami, Kami akan memberikan kepada mereka hidayah kepada jalan jalan Kami” (Al-Ankabut: 69).

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Dalam ayat ini Allah mengaitkan hidayah dengan jihad. Orang yang paling sempurna hidayahnya adalah yang paling sempurna jihadnya. Jihad yang paling wajib adalah menjihadi diri sendiri, menjihadi hawa nafsu, menjihadi setan, dan menjihadi dunia.

Siapa yang menjihadi empat perkara ini karena Allah, maka Allah akan memberinya hidayah kepada jalan jalan keridhaan-Nya yang akan menyampaikannya ke surga. Siapa yang meninggalkan jihad maka ia akan kehilangan hidayah sejumlah jihad yang ia tinggalkan.

Al-Junaid berkata, “(Maknanya) Dan orang orang yang menjihadi hawa nafsunya di jalan Kami dengan cara bertaubat, Kami akan memberikan kepada mereka hidayah kepada jalan-jalan ikhlas.

Tidak mungkin ia menjihadi musuhnya yang lahiriyah kecuali dengan menjihadi musuhnya yang batin. Barang siapa yang menang melawan musuhnya yang batin, ia akan menang melawan musuhnya yang lahiriyah. Dan siapa yang kalah oleh musuhnya yang batin, ia akan dikalahkan oleh musuhnya yang lahiriyah.”

(Fawaidul Fawaid hal. 177)