Mewaspadai Penyakit Popularitas

Mewaspadai Penyakit Popularitas 

Sebagian orang mungkin sengaja mencari popularitas dan ketenaran. Sebagian manusia memang ada yang sangat cinta dengan ketenaran dan popularitas. Ada yang mencarinya dengan prestasinya dan ilmunya sehingga manfaatnya dirasakan oleh orang banyak dan iapun menjadi terkenal. Ada juga yang mencari ketenaran dengan melakukan hal-hal yang sangat aneh, atau sangat konyol atau sangat ekstrim. Untuk orang seperti ini, tidak perlu terlalu dipedulikan, diberitakan dan disebarkan keanehan dan kekonyolannya.

Oang Arab berkata:

ﺑﺎﻝ ﻓﻲ ﺯﻣﺰﻡ ﻟﻴﺸﺘﻬﺮ

“Dia mengencingi sumur Zam-zam agar terkenal”

Atau

“Stop making stupid people famous”

Perlu diketahui bahwa bimbingan Islam adalah sebaliknya, yaitu hendaknya kita menghindari atau menjauhi sebiasa mungkin untuk menjadi tenar atau populer. Ketenaran ini bisa merampas “Kemerdekaan” diri. Dalam artian kita tidak lagi punya privasi yang lebih, di mana-mana akan diperhatikan orang, di mana-mana akan doa sorot orang dan tingkah laku kita bisa jadi diperbincangkan. Inilah yang disebut berkurangnya atau hilangnya “kemerdekaan diri”.

Bisa juga ketenaran akan perlahan-lahan menyeret kita dalam ketidakikhlasan dalam beramal. Setiap melakukan suatu kebaikan, bisa saja kita terdorong untuk memamerkan dan memperlihatkan amalan kita agar kita semakin terkenal. Padahal perkara ikhlas dan niat ini sangat berat.

Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata,

ما عالجت شيئا أشد علي من نيتي ؛ لأنها تتقلب علي

“Tidaklah aku berusaha untuk mengobati sesuatu yang lebih berat daripada meluruskan niatku, karena niat itu senantiasa berbolak balik”[1]

Mendewakan dan memburu ketenaran, bagaikan semut yang melihat genangan madu, terpukau. Semakin ia meraihnya ke tengah semakin tenggelam dalam genangan madu

Para penuntut ilmu dan orang shalih bisa jadi juga tidak terlepas dari penyakit ini.Asy-Syathibi rahimahullah berkata,

آخر الأشياء نزولا من قلوب الصالحين : حب السلطة والتصدر!

“Hal yang paling terakhir luntur dari hatinya orang-orang shalih: cinta kekuasaan dan cinta eksistensi (popularitas)”[2]

Akan tetapi jika ketenaran itu datang tanpa dicari maka tidak mengapa dan tidak tercela.

Al-Ghazali rahimahullah mengatakan,

“Yang tercela adalah apabila seseorang mencari ketenaran. Namun jika ia tenar karena karunia Allah tanpa ia cari-cari, maka itu tidaklah tercela.”

Hendaknya kita tidak terlalu bangga dengan amal kita, ini yang membuat kita merasa sudah pantas terkenal, padahal amal kita sangat sedikit dan itupun belum tentu diterima.

Allah berfirman,

ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﺆْﺗُﻮﻥَ ﻣَﺎ ﺁﺗَﻮْﺍ ﻭَﻗُﻠُﻮﺑُﻬُﻢْ ﻭَﺟِﻠَﺔٌ

“ Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut.” (QS. Al Mu’minun: 60)

‘Aisyah menjelaskan terkair ayat ini yaitu maksud dari “hati yang takut” adalah khawatir amalannya tidak diterima, beliau mengatakan,

ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ‏( ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﺆْﺗُﻮﻥَ ﻣَﺎ ﺁﺗَﻮْﺍ ﻭَﻗُﻠُﻮﺑُﻬُﻢْ ﻭَﺟِﻠَﺔٌ ‏) ﺃَﻫُﻮَ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﺍﻟَّﺬِﻯ ﻳَﺰْﻧِﻰ ﻭَﻳَﺴْﺮِﻕُ ﻭَﻳَﺸْﺮَﺏُ ﺍﻟْﺨَﻤْﺮَ ﻗَﺎﻝَ ‏« ﻻَ ﻳَﺎ ﺑِﻨْﺖَ ﺃَﺑِﻰ ﺑَﻜْﺮٍ – ﺃَﻭْ ﻳَﺎ ﺑِﻨْﺖَ ﺍﻟﺼِّﺪِّﻳﻖِ – ﻭَﻟَﻜِﻨَّﻪُ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﻳَﺼُﻮﻡُ ﻭَﻳَﺘَﺼَﺪَّﻕُ ﻭَﻳُﺼَﻠِّﻰ ﻭَﻫُﻮَ ﻳَﺨَﺎﻑُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﻳُﺘَﻘَﺒَّﻞَ ﻣِﻨْﻪُ ‏»

“Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksudkan dalam ayat “ Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut”, adalah orang yang berzina, mencuri dan meminum khomr?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab, “ Wahai putri Ash Shidiq (maksudnya Abu Bakr Ash Shidiq, pen)! Yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah seperti itu. Bahkan yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah orang yang yang berpuasa, yang bersedekah dan yang shalat, namun ia khawatir amalannya tidak diterima. ”[3]

Mari lihat contoh seorang tabi’in terbaik yaitu Uwais Al-Qarni yang Umar bin Khattab meminta agar Uwais mendoakan Umar. Uwais Al-Qarni memilih untuk tidak terkenal dan dikenal manusia. Perhatikan kisah berikut,

Apabila kafilah dari Yaman datang, ‘Umar bin Khaththab bertanya kepada mereka: “Adakah di antara kalian Uwais bin ‘Amir?” Sehingga suatu saat ‘Umar mendatangi Uwais dan minta agar Uwais memintakan ampun untuknya, karena Uwais adalah seorang tabi’in yang sangat berbakti kepada ibunya, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa jika Uwais berdo’a, do’anya pasti dikabulkan, maka Uwaispun melakukan apa yang diminta ‘Umar.

Kemudian Umar bertanya kepada Uwais: “Anda mau pergi kemana?”

Uwais menjawab: “Kufah”,

Umar bertanya: “Perlukah saya tulis untukmu sebuah memo kepada pegawai saya di Kufah (agar dia memenuhi kebutuhanmu -pen)?
Ia menjawab: Aku lebih senang menjadi manusia yang tidak diperhitungkan “.[4]

Sebagai renungan bagi kita, perhatikan kisah dalam hadits di mana ada orang yang pertama kali di siksa di neraka, yaitu mereka yang beramal denga tujuan riya’ dan agar terkenal di antara manusia.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

ﺇِﻥَّ ﺃَﻭَّﻝَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻳُﻘْﻀَﻰ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺭَﺟُﻞٌ ﺍﺳْﺘُﺸْﻬِﺪَ، ﻓَﺄُﺗِﻲَ ﺑِﻪِ ﻓَﻌَﺮَّﻓَﻪُ ﻧِﻌَﻤَﻪُ ﻓَﻌَﺮَﻓَﻬَﺎ، ﻗَﺎﻝَ : ﻓَﻤَﺎ ﻋَﻤِﻠْﺖَ ﻓِﻴﻬَﺎ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﻗَﺎﺗَﻠْﺖُ ﻓِﻴﻚَ ﺣَﺘَّﻰ ﺍﺳْﺘُﺸْﻬِﺪْﺕُ، ﻗَﺎﻝَ : ﻛَﺬَﺑْﺖَ، ﻭَﻟَﻜِﻨَّﻚَ ﻗَﺎﺗَﻠْﺖَ ﻟِﺄَﻥْ ﻳُﻘَﺎﻝَ : ﺟَﺮِﻱﺀٌ، ﻓَﻘَﺪْ ﻗِﻴﻞَ، ﺛُﻢَّ ﺃُﻣِﺮَ ﺑِﻪِ ﻓَﺴُﺤِﺐَ ﻋَﻠَﻰ ﻭَﺟْﻬِﻪِ ﺣَﺘَّﻰ ﺃُﻟْﻘِﻲَ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ، ﻭَﺭَﺟُﻞٌ ﺗَﻌَﻠَّﻢَ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢَ، ﻭَﻋَﻠَّﻤَﻪُ ﻭَﻗَﺮَﺃَ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ، ﻓَﺄُﺗِﻲَ ﺑِﻪِ ﻓَﻌَﺮَّﻓَﻪُ ﻧِﻌَﻤَﻪُ ﻓَﻌَﺮَﻓَﻬَﺎ، ﻗَﺎﻝَ : ﻓَﻤَﺎ ﻋَﻤِﻠْﺖَ ﻓِﻴﻬَﺎ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﺗَﻌَﻠَّﻤْﺖُ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢَ، ﻭَﻋَﻠَّﻤْﺘُﻪُ ﻭَﻗَﺮَﺃْﺕُ ﻓِﻴﻚَ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ، ﻗَﺎﻝَ : ﻛَﺬَﺑْﺖَ، ﻭَﻟَﻜِﻨَّﻚَ ﺗَﻌَﻠَّﻤْﺖَ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢَ ﻟِﻴُﻘَﺎﻝَ : ﻋَﺎﻟِﻢٌ، ﻭَﻗَﺮَﺃْﺕَ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ ﻟِﻴُﻘَﺎﻝَ : ﻫُﻮَ ﻗَﺎﺭِﺉٌ، ﻓَﻘَﺪْ ﻗِﻴﻞَ، ﺛُﻢَّ ﺃُﻣِﺮَ ﺑِﻪِ ﻓَﺴُﺤِﺐَ ﻋَﻠَﻰ ﻭَﺟْﻬِﻪِ ﺣَﺘَّﻰ ﺃُﻟْﻘِﻲَ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ، ﻭَﺭَﺟُﻞٌ ﻭَﺳَّﻊَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ، ﻭَﺃَﻋْﻄَﺎﻩُ ﻣِﻦْ ﺃَﺻْﻨَﺎﻑِ ﺍﻟْﻤَﺎﻝِ ﻛُﻠِّﻪِ، ﻓَﺄُﺗِﻲَ ﺑِﻪِ ﻓَﻌَﺮَّﻓَﻪُ ﻧِﻌَﻤَﻪُ ﻓَﻌَﺮَﻓَﻬَﺎ، ﻗَﺎﻝَ : ﻓَﻤَﺎ ﻋَﻤِﻠْﺖَ ﻓِﻴﻬَﺎ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﻣَﺎ ﺗَﺮَﻛْﺖُ ﻣِﻦْ ﺳَﺒِﻴﻞٍ ﺗُﺤِﺐُّ ﺃَﻥْ ﻳُﻨْﻔَﻖَ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺇِﻟَّﺎ ﺃَﻧْﻔَﻘْﺖُ ﻓِﻴﻬَﺎ ﻟَﻚَ، ﻗَﺎﻝَ : ﻛَﺬَﺑْﺖَ، ﻭَﻟَﻜِﻨَّﻚَ ﻓَﻌَﻠْﺖَ ﻟِﻴُﻘَﺎﻝَ : ﻫُﻮَ ﺟَﻮَﺍﺩٌ، ﻓَﻘَﺪْ ﻗِﻴﻞَ، ﺛُﻢَّ ﺃُﻣِﺮَ ﺑِﻪِ ﻓَﺴُﺤِﺐَ ﻋَﻠَﻰ ﻭَﺟْﻬِﻪِ، ﺛُﻢَّ ﺃُﻟْﻘِﻲَ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭ

Orang yang pertama kali disidang pada hari kiamat adalah seorang laki-laki yang mati dalam peperangan. Lalu dia didatangkan, kemudian Allah memperlihatkan kepadanya nikmat-nikmatNya, maka dia pun mengakuinya. Allah berkata, “Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat itu?” Orang tersebut menjawab, “Aku telah berperang di jalan-Mu sampai aku mati syahid.” Allah berkata, “Engkau telah berdusta, akan tetapi engkau melakukan itu supaya disebut sebagai seorang pemberani dan ucapan itu telah diucapkan (oleh manusia).”

Kemudian diperintahkan agar orang tersebut dibawa, maka dia diseret dengan wajahnya, sampai dia pun dilemparkan di neraka. Kemudian ada orang yang belajar agama dan mengajarkannya, serta membaca Al Qur’an. Lalu orang itu didatangkan, lalu Allah memperlihatkan nikmat-Nya dan orang itu pun mengakuinya. Allah berkata, “Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat itu?” Orang itu menjawab, “Aku telah belajar agama, mengajarkannya dan aku telah membaca Al Qur’an.” Allah berkata, “Engkau dusta, akan tetapi engkau belajar agama supaya disebut orang alim dan engkau membaca Al Quran supaya disebut qari’ dan ucapan itu telah dilontarkan.”

Kemudian diperintahkan agar orang tersebut dibawa, maka dia pun diseret dengan wajahnya (terjerembab di tanah) sampai dia pun dilemparkan di neraka.

Kemudian ada seorang laki-laki yang diberikan kelapangan oleh Allah dan menganugerahinya segala macam harta. Lalu dia pun didatangkan, lalu Allah memperlihatkan nikmat-Nya itu dan orang itu pun mengenalinya. Allah berkata, “Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat itu?” Orang itu menjawab, “Aku tidak meninggalkan satu jalan pun sebagai peluang untuk berinfak melainkan aku berinfak di situ semata-mata karena-Mu.” Allah berkata, “Engkau dusta, akan tetapi engkau melakukan seperti itu supaya disebut dermawan dan ucapan itu telah dilontarkan.” Maka orang itu diperintahkan untuk dibawa, lalu dia pun diseret dengan wajahnya (terjerembab di tanah), kemudian dia dilemparkan di neraka. [5]

Semoga kita selamat dari ujian ketenaran.

Catatan kaki:

[1] Jami’ Al-‘ulum wal hikam hal. 21, Darul Aqidah, Koiro, cet.I, 1422 H
[2] Al-I’tisham Asy-Syathibi
[3] HR. Tirmidzi dan Ahmad, dishahihkan Hakim dan disetujui oleh Dzahabi
[4] HR. Muslim
[5] HR Muslim.

Hati Yang Berpaling

Hati Yang Berpaling 

Hati seseorang begitu mudah berpaling, melepaskan buhul kokoh yang menghubungkan antara dia dan Tuhan-nya, manakala punya relasi, koneksi dan sandaran berupa makhluk yang berkuasa dan kaya raya.

Tawakkalnya pada Rabb pun semakin menipis, harapannya pada Sang Pemilik Jagad raya semakin mengendur, terkalahkan dengan dominasi makhluk lemah yang dianggapnya kuat.

Betapa tidak, sebab Allah dan pertolongan-Nya adalah bab ghaib yang kasat mata, tak terlihat kecuali dengan kacamata iman. Sementara makhluk yang dianggap kuat olehnya terlihat nyata, kongkrit berharta dan berpangkat.

Karena itu tak usah heran bila manusia berlari mengejar orang kaya dan berkedudukan, mendekat, mencari simpati dan keridhoan mereka. Menjilat dan membungkukkan tubuh untuk makhluk hina yang dianggapnya kuat.

Sekiranya dia sadar dan jernih hati mendudukkan masalah ini, niscaya tidak akan mungkin ia menghinakan diri, menaruh harapan dan impian pada makhluk hina sepertinya, meninggalkan Rabbul Alamin, Tuhan seru sekalian alam.

Tetapi kejahilan pada siapa Tuhan yang Ia sembah, keroposnya iman dengan perkara ghaib, menjadi sebab makhluk lebih yakin bergantung pada makhluk daripada bergantung pada Sang Khaliq.

Anda yang memiliki relasi orang kaya, terhormat, berpangkat dan bermartabat, hati-hatilah jangan sampai tertipu dan menggantungkan asa pada mereka dengan meninggalkan buhul tempat bergantung kepada yang maha kokoh, Allah pemilik seluruh makhluk.

Berapa banyak yayasan, lembaga, sekolah, madrasah dan dakwah, berjalan terseok-seok diatas ketidak pastian, manakala mereka menoleh orang kaya dan berpangkat, dan mengabaikan hamba-hamba Allah yang lemah dan tak berpunya, yang boleh jadi satu jari telunjukknya bilamana diangkat ke langit dan bersumpah dengan nama Allah, niscaya pasti Allah kabulkan do’anya.

Hukum Menerima Hadiah Natal

Hukum Menerima Hadiah Natal 

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah

Pertama, Islam membolehkan umatnya untuk menerima hadiah dari orang kafir. Apalagi jika tujuannya dalam rangka mengambil hati mereka dan memotivasi mereka untuk simpati pada Islam. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima hadiah dari beberapa raja kafir, seperti beliau pernah menerima hadiah dari Muqauqis, raja mesir yang beragama nasrani.

Dalam kitab shahihnya, Imam Bukhari menyatakan, Bab bolehnya menerima hadiah dari orang musyrik. Kemudian beliau membawakan hadis dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ibrahim ‘alaihis salam pernah berhijrah bersama istrinya Sarah. Kemudian keduanya melewati sebuah kampung yang dipimpin oleh raja yang zalim. Dan raja ini memberi hadiah Hajar kepada Sarah.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga diberi hadiah kambing oleh orang Yahudi, yang ada racunnya. Abu Humaid mengatakan, Raja Ailah memberikan hadiah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bighal (peranakan kuda dengan keledai) berwarna putih dan dia juga memberi pakaian. (Shahih Bukhari, sebelum hadis 2615)

Kedua, Terkait hukum menerima hadiah natal, pendapat yang tepat tentang menerima hadiah dari orang kafir ketika natal hukumnya boleh, dengan beberapa syarat yang akan kita simpulkan dari penjelasan berikut;

Menerima hadiah dari orang kafir di hari raya mereka, tidak dianggap sebagai bentuk setuju dan ikut andil dalam hari raya mereka. Bahkan perbuatan ini termasuk amal baik, apalagi jika tujuannya adalah untuk mengambil hati dan memberi kesan yang baik tentang Islam. Allah Ta’ala membolehkan untuk berbuat baik kepada orang kafir yang tidak memerangi kaum muslilmin. Allah berfirman,

لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanan: 8)

Hanya saja perlu dipahami, berbuat baik pada orang kafir sama sekali tidak sama dengan menyintai dan loyal kepada mereka. Karena kita tidak boleh menyintai dan loyal kepada orang kafir. Allah berfirman,

لا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الأِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ

Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga …

Demikian juga, Allah melarang kita untuk menjadikan orang kafir sebagai ‘bithanah‘ [Arab: بِطَانَةً], yang artinya teman dekat, sehingga menjadi tempat curhat. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبَالاً وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi.” (QS. Ali Imran: 118)

Syaikhul Islam mengatakan, “Menerima hadiah orang kafir pada hari raya mereka, telah ada dalilnya dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu bahwa beliau mendapatkan hadiah pada hari raya Nairuz (perayaan tahun baru orang majusi), dan beliau menerimanya.”

Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, bahwa ada seorang wanita bertanya kepada Aisyah radhiallahu’anha, Kami memiliki seorang ibu susu beragama majusi. Ketika hari raya, mereka memberi hadiah kepada kami. Kemudian Aisyah menjelaskan, “Jika itu berupa hewan sembelihan hari raya maka jangan dimakan, tapi makanlah buah-buahannya.”

Dari Abu barzah, bahwa beliau memiliki sebuah rumah yang dikontrak orang majusi. Ketika hari raya Nairuz dan Mihrajan, mereka memberi hadiah. Kemudian Abu Barzah berpesan kepada keluarganya, “Jika berupa buah-buahan, makanlah. Selain itu, kembalikan.”

Semua riwayat ini menunjukkan bahwa ketika hari raya orang kafir, tidak ada larangan untuk menerima hadiah dari mereka. Hukum menerima ketika hari raya mereka dan di luar hari raya mereka, sama saja. Karena menerima hadiah tidak ada unsur membantu mereka dalam menyebar syiar agama mereka. (Iqtidha’ Shirat al-Mustaqim, 2:5)

Dengan demikian bisa kita simpulkan, dibolehkan menerima hadiah dari orang nasrani ketika natal dengan persyaratan berikut:

  1. Hadiah tersebut bukan berupa daging hewan yang disembelih untuk acara natal
  2. Hadiah tersebut bukan termasuk benda yang menjadi ciri khas mereka, seperti topi santaklaus atau salib
  3. Ketika menerima hadiah, dia menjelaskan kepada keluarganya tentang sikap yang dia lakukan
  4. Tujuan menerima hadiah adalah dalam rangka mengambil hati dan mencari simpati mereka terhadap islam, bukan karena mencintai dan mendukung hari raya mereka.

Masih menyisakan satu masalah, bagaimana jika kita diberi hadiah yang tidak boleh diterima?

Sikap yang tepat, kita harus menolaknya sambil menjelaskan alasannya, mengapa hadiah ini ditolak. Sampaikan dengan bahasa santun, dan tidak menyinggung perasaan. Dengan ini, orang tersebut akan menghargai keadaan kita. Misalnya: mohon maaf, bukan karena saya membenci (Anda), tapi karena agama kami melarangnya, atau kalimat semacamnya.

Terakhir, selayaknya seorang muslim harus merasa bangga dengan agamanya dan berusaha menerapkan semua aturannya. Jangalah dia beralasan dengan rasa malu, ‘pekewoh’, dst. untuk melampiaskan bentuk toleransi beragama yang berlebihan dan tidak terukur.

Hukum Menjual Aksesoris Dan Kue Natal

Hukum Menjual Aksesoris Dan Kue Natal 

Kita saksikan sendiri di berbagai pusat perbelanjaan atau mall, sudah banyak atribut, aksesoris, makanan atau kue natal yang dijual. Padahal yang memiliki toko-toko tersebut adalah seorang muslim. Apakah boleh menjual aksesoris dan kue natal semacam itu?

Islam Melarang Jual Beli untuk Tujuan Haram

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Janganlah kalian saling tolong menolong dalam dosa dan melanggar batasan Allah” (QS. Al Maidah: 2)

Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya (yakni Buraidah), beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ حَبَسَ الْعِنَبَ أَيَّامَ الْقِطَافِ حَتَّى يَبِيعَهُ حَتَّى يَبِيعَهُ مِنْ يَهُودِيٍّ أَوْ نَصْرَانِيٍّ أَوْ مِمَّنْ يَعْلَمُ أَنَّهُ يَتَّخِذُهُ خَمْرًا فَقَدْ تَقَحَّمَ فِي النَّارِ عَلَى بَصِيرَةٍ

Siapa saja yang menahan anggur ketika panen hingga menjualnya pada orang yang ingin mengolah anggur tersebut menjadi khomr, maka dia berhak masuk neraka di atas pandangannya” (HR. Thobroni dalam Al Awsath. Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Komentar Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 1269 mengenai hadits ini: Al Hafizh Ibnu Hajar keliru dalam menilai hadits ini. Beliau tidak mengomentari hadits ini dalam At Talkhish (239) dan Al Hafizh mengatakan dalam Bulughul Marom bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ath Thobroni dalam Al Awsath dengan sanad yang hasan. Syaikh Al Albani menukil perkataan Ibnu Abi Hatim dalam Al ‘Ilal yang mengatakan bahwa dia berkata pada ayahnya tentang hadits ini. Ayahnya menjawab bahwa hadits ini dusta dan batil. Syaikh Al Albani sendiri menyimpulkan bahwa hadits ini bathil.

Walaupun hadits ini dinilai batil oleh sebagian ulama, namun banyak ulama yang mengambil faedah dari hadits ini karena hadits ini termasuk dalam keumuman surat Al Maidah ayat 2 di atas.

Ash Shon’ani berkata, “Hadits ini adalah dalil mengenai haramnya menjual anggur yang nantinya akan diolah menjai khomr karena adanya ancaman neraka yang disebutkan dalam hadits. Kalau memang menjual anggur pada orang lain yang diketahui akan menjadikannya khomr, maka ini diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama). Adapun jika tidak diketahui seperti ini, Al Hadawiyah mengatakan bahwa hal ini diperbolehkan namun dinilai makruh karena ada keragu-raguan kalau anggur ini akan dijadikan khomr. Adapun jika sudah diketahui bahwa anggur tersebut akan dijadikan khomr, maka haram untuk dijual karena hal ini berarti telah saling tolong menolong dalam berbuat maksiat.

Adapun jika yang dijual adalah nyanyian, alat musik dan semacamnya, maka tidak boleh menjual atau membelinya dan ini berdasarkan ijma’ (kesepakatan kaum muslimin). Begitu juga menjual senjata dan kuda pada orang kafir untuk memerangi kaum muslimin, maka ini juga tidak diperbolehkan” (Subulus Salam, 5: 69).

Syaikh Abu Malik berkata, “Cukup dengan sangkaan kuatmu, jika orang tersebut terlihat adalah orang yang sering membeli perasan untuk dijadikan khomr, jadilah haram menjual barang tersebut padanya. Karena jika kita tetap menjualnya berarti kita telah menolongnya dalam berbuat dosa dan melanggar batasan Allah. Padahal Allah melarang bentuk tolong menolong seperti ini. Jika orang tersebut menurut sangkaan kuat tidak demikian, maka jual beli tersebut tetap sah dan tidak terlarang” (Shahih Fiqih Sunnah, 4: 409).

Membuka Jualan Di Saat Perayaan Orang Kafir

Bagi pedagang muslim, boleh saja membuka toko di saat perayaan orang kafir asalkan memperhatikan dua syarat:

1- Tidak menjual barang yang nanti digunakan oleh orang kafir untuk bermaksiat atau yang akan menolong mereka untuk mengadakan perayaan mereka. Contoh: penjual tidak boleh menjual aksesoris natal seperti santa klaus serta berbagai hadiah, kue, dan makanan untuk perayaan natal.

2- Tidak menjual barang kepada kaum muslimin yang akan membuat mereka meniru-niru perayaan orang kafir. Contoh: saat tahun baru tidak menjual petasan, mercon, kembang api untuk mendukung perayaan tahun baru masehi karena hal ini akan membuat kaum muslimin meniru-niru perayaan tahun baru yang memang menjadi perayaan orang kafir. (Lihat Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 145676, Syaikh Sholeh Al Munajjid)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam bukunya, Al Iqtidha’ 1: 454 menukil adanya kesepakatan para sahabat dan seluruh pakar fikih terhadap persyaratan Umar untuk kafir dzimmi, “Di antaranya adalah kafir dzimmi baik ahli kitab maupun yang lain tidak boleh menampakkan hari raya mereka … Jika kaum muslimin telah bersepakat untuk melarang orang kafir menampakkan hari raya mereka lalu bagaimana mungkin seorang muslim diperbolehkan untuk menyemarakkan hari raya orang kafir. Tentu perbuatan seorang muslim dalam hal ini lebih parah dari pada perbuatan orang kafir.”

Bentuk menyemarakkan hari orang kafir di antaranya adalah membuat kue dan menjual aksesoris yang berkaitan dengan acara natal.

Hanya Allah yang memberi taufik pada kaum muslimin untuk tidak turut serta dalam perayaan non muslim.

Didik Anakmu Sejak Belia

Didik Anakmu Sejak Belia

Anak di sini mencakup anak lelaki dan perempuan. Hak anak sangatlah banyak, yang terpenting adalah tarbiyah (pendidikan). Yaitu mengembangkan agama dan akhlak di dalam diri mereka sehingga hal itu menjadi bagian terbesar dalam kehidupannya.

Allah berfirman,

Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahrim : 6)

Setiap kalian adalah pemimpin dan akan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang lelaki adalah pemimpin dalam keluarganya, dan dia (diminta, ed.) bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Anak merupakan amanah yang berada di pundak kedua orang tua. Pada hari kiamat, kedua orang tuanya akan diminta bertanggung jawab perihal si anak. Dengan memberikan pendidikan agama dan akhlak kepada mereka, orang tua akan terlepas dari beban tanggung-jawab tersebut. Selain itu, pendidikan juga memberikan perbaikan kepada anak sehingga anak menjadi penyejuk mata kedua orang tuanya di dunia dan di akhirat.

Apabila seseorang meninggal dunia akan terputus amalnya kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat (sepeninggalnya), atau anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Bukhari; hadits shahih)

Ini adalah hasil didikan yang benar terhadap anak, sehingga dia menjadi orang yang bermanfaat bagi orang tuanya sepeninggal keduanya.

Banyak orang tua yang meremehkan hak ini. Mereka melupakan anak-anaknya seakan-akan tidak punya rasa tanggung jawab. Mereka tidak bertanya ke mana si anak akan pergi, kapan pulang, dan siapa teman serta sahabat mereka. Mereka tidak mengarahkan anak-anaknya kepada hal yang baik dan tidak melarang mereka dari hal yang buruk.

Herannya, mereka sangat bersemangat untuk menjaga dan memperbanyak harta, sampai rela begadang pada malam hari untuk mengembangkan hartanya. Padahal biasanya mereka mengerjakan semua ini untuk kepentingan orang lain. Adapun terhadap anak-anak, mereka tidak memikirkan sedikit pun. Padahal memperhatikan anak-anaknya jauh lebih baik dan bermanfat di dunia dan akhirat.

Seorang ayah wajib untuk mencukupi kebutuhan fisik anaknya, dengan memberi makan dan minum, serta menutupi tubuh mereka dengan pakaian. Demikian pula, wajib baginya untuk mencukupi hati si anak dengan ilmu dan iman, serta membalut jiwanya dengan pakaian takwa; dan yang demikian itu lebih baik.

Sibuk Dengan Berita Politik

Sibuk Dengan Berita Politik 

Akhi … kenapa hari-harimu cuma ingin mengurus capres A dan capres B, padahal berita politik tidaklah jelas.

Akhi … bukankah engkau tahu bahwa dalam politik itu ingin saling menjatuhkan satu dan lain.

Akhi … bukankah engkau tahu bahwa dalam politik tidak ada kawan sejati dan tidak ada musuh abadi.

Akhi … jangan terlalu memforsir usahamu untuk terus menelusurui berita politik.

Engkau tahu demikian, namun kerjaanmu setiap harinya hanya menelusuri terus berita capres A dan capres B, itu pun engkau tidak bisa menemukan manakah yang benar dari berita-berita yang ada.

Kenapa engkau terlalu sibuk dengan berita yang hanya berlandas “katanya”?

Padahal Allah membenci seperti itu sebagaimana kata hadits,

وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ

Allah tidak menyukai qiila wa qool (berkata hanya berlandaskan ‘katanya’)” (HR. Muslim no. 1715, dari Abu Hurairah).

Qiila wa qool kata Ibnu Katsir, maksudnya adalah, “Banyak bicara tentang perkataan orang lain namun (1) tanpa kroscek, (2) tanpa memastikan, (3) tanpa mencari kejelesan.” (Tafsir Surat An Nisaa’ ayat 82).

Prasangka pun berbahaya, yaa akhi …

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ

Hati-hatilah dengan prasangka karena itu adalah pembicaraan yang paling dusta.” (Muttafaqun ‘alaih)

Diam lebih baik daripada banyak ngomong …

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. ” (QS. Al Israa’: 36).

Andai waktumu habis untuk menelaah buku dan kitab.

Andai waktumu habis untuk mendatangi majelis ilmu.

Andai waktumu habis dengan menelusuri website islam bermanfaat.

Andai waktumu hanya dengan ilmu, ilmu dan ilmu.

Ayo kembali ngaji lagi.

Moga Allah memberi taufik pada kita semua dalam memanfaatkan waktu-waktu kita.

Menghadiri Undangan Natal

Menghadiri Undangan Natal 

Bolehkah seorang muslim menghadiri perayaan natal jika diundang? Atau mungkin ada acara natal bersama yang diadakan di lingkungan kantor, bolehkah dihadiri?

Perlu diketahui bahwa seorang muslim diharamkan loyal pada orang kafir sebagaimana disebutkan dalam ayat,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah: 51)

Di antara bentuk loyal pada orang kafir yang terlarang adalah menghadiri perayaan mereka.

Ibnul Qayyim berkata, “Tidak boleh kaum muslimin menghadiri perayaan non muslim dengan sepakat para ulama. Hal ini telah ditegaskan oleh para fuqoha dalam kitab-kitab mereka. Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dengan sanad yang shahih dari ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

لا تدخلوا على المشركين في كنائسهم يوم عيدهم فإن السخطة تنزل عليهم

“Janganlah kalian masuk pada non muslim di gereja-gereja mereka saat perayaan mereka. Karena saat itu sedang turun murka Allah.”

Umar berkata,

اجتنبوا أعداء الله في أعيادهم

“Jauhilah musuh-musuh Allah di perayaan mereka.”

Diriwayatkan pula oleh Al Baihaqi dengan sanad yang jayyid dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata,

من مَرَّ ببلاد الأعاجم فصنع نيروزهم ومهرجانهم وتشبه بهم حتى يموت وهو كذلك حشر معهم يوم القيامة

Siapa yang lewat di negeri asing, lalu ia meniru yang dilakukan oleh Nairuz dan Mihrajan serta menyerupai mereka hingga mati, maka kelak ia akan dikumpulkan bersama mereka“. Demikian apa yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah, 1: 723-724.

Jadi, jelaslah tidak boleh menghadiri undangan non muslim berkenaan dengan hari raya mereka. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.

Tanda Kiamat, Masjid Sekedar Jadi Persinggahan Sementara

Tanda Kiamat, Masjid Sekedar Jadi Persinggahan Sementara 

Salah satu tanda kiamat yang sudah terjadi dan terus-menerus terjadi adalah masjid dijadikan sebagai jalan lalu lintas untuk lewat, dia masuk dari satu pintu dan keluar dari pintu yang lain tanpa ada kebutuhan mendesak lalu dia tidak shalat tahiyyatul masjid.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مِنْ أشراطِ الساعةِ أنْ يَمُرَّ الرجلُ في المسجدِ ، لا يصلي فيه ركعتينِ ، وأنْ لَّا يُسَلِّمَ الرجلُ إلَّا على مَنْ يعرفُ

“Di antara tanda-tanda hari Kiamat adalah seorang melewati masjid namun tidak mengerjakan shalat dua rakaat di dalamnya dan seseorang tidak memberikan salam kecuali kepada orang yang dikenalnya).” (HR Ibnu Khuzaimah, no. 1326, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Diantara hal yang sering terjadi di zaman sekarang adalah orang-orang yang mampir ke masjid sekedar numpang buang air kecil. Ketika dia dalam perjalanan lalu terasa ingin buang air kecil, yang akan dia cari adalah masjid, namun tujuannya agar bisa buang air kecil. Setelah itu, dia meninggalkan masjid tersebut tanpa mengerjakan shalat sama sekali.

Oleh karena itu, hendaknya kita berusaha untuk menggunakan masjid sebagaimana mestinya, kalaupun mampir buang air kecil maka kita berusaha untuk shalat sebelum meninggalkannya jika waktunya memungkinkan. Bukan tidak boleh secara mutlak untuk memanfaatkan fasilitas masjid, tetapi yang menjadi sorotan adalah orang yang tidak pernah ke masjid untuk beribadah sama sekali, tetapi ketika ingin buang air atau istirahat, barulah ia ingat masjid dan tidak beribadah sama sekali di masjid.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لا تتخِذوا المساجدَ طُرُقًا ، إلا لِذِكْرٍ أو صلاةٍ

“Janganlah kalian menjadikan masjid-masjid sebagai jalan kecuali untuk berdzikir atau shalat.” (HR Thabrani dalam Mu’jam Al-Kabir, 12/314)

Mari Memakmurkan Masjid

Mari Memakmurkan Masjid 

Sekarang ini, banyak kita jumpai masjid-masjid yang megah. Pada pusat kota di setiap kabupaten, banyak terbangun masjid agung, masjid dalam kompleks Islamic Center dan berbagai tempat lainnya. Kita sudah sangat familiar dengan bangunan masjid yang besar, megah dan penuh dengan berbagai ornamen penghias dilengkapi dengan fasilitas yang memanjakan badan, mulai dari permadani tebal nan empuk dan udara sejuk AC hingga hiasan seni yang menawan. Melihat tembok yang dihiasi berbagai kaligrafi dan hiasan dengan atap-atap yang kokoh menjulang dilengkapi menara yang indah menawan dan tinggi, tidak terbayang sudah berapa banyak harta dikeluarkan untuk mewujudkan itu.

Namun, jika kita bertanya, sudahkah masjid-masjid itu dimakmurkan? Sudahkah masjid-masjid itu difungsikan sebagai sebuah masjid dalam Islam?

Sangat disayangkan, semangat mendirikan dan membangun masjid yang demikian hebat ini, tidak diiringi dengan semangat yang besar dalam memakmurkannya atau mengisinya dengan kegiatan ibadah seperti shalat fardhu berjamaah atau kegiatan-kegiatan yang pernah ada di Masjid Nabawi di masa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya serta orang-orang setelah mereka.

Masjid Nabawi di zaman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat sederhana bangunannya namun menjadi titik tolak kejayaan Islam ke seluruh penjuru dunia. Dari Masjid inilah, risalah Islam menyapa seluruh dunia dan dakwah tauhid memancarkan sinarnya menghancurkan segala macam kesyirikan dan paganisme di jazirah Arab. Disamping itu juga menjadi tempat pembinaan para Sahabat sehingga menjadi generasi terbaik umat ini dan menjadi panji-panji kebenaran di seantero alam semesta ini. Inilah Masjid yang sangat memperhatikan pendidikan dan pembersihan jiwa kaum Muslimin dan perkembangan mereka dalam mencapai puncak kesempurnaan sebagai manusia.

Baca Juga  Pelajaran-Pelajaran di Masjid dan Peranannya  Dalam Pembinaan Iman
Dari sini jelas, bahwa memakmurkan masjid tidak hanya sebatas membangunnya menjadi tempat yang nyaman dan mewah tapi harus disertai dengan pelaksanaan perintah Allâh Azza wa Jalla berupa beragam ketaatan dan ibadah, seperti shalat, dzikir, doa dan i’tikaf yang telah dijelaskan dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ ﴿٣٦﴾ رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ۙ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ

Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang. laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. [An-Nûr/24:36-37]

Seluruh ketaatan dan ibadah ini akan menjadi sarana penyucian jiwa kaum Muslimin sehingga mereka bisa bersatu di atas ajaran Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bergerak memaksimalkan fungsi masjid sebagaimana telah ada dalam generasi awal umat ini.

Di zaman ini, peran masjid sebenarnya sangat dinanti dalam memperbaiki masyarakat. Terlebih dengan semakin menguatnya gaya hidup materialis ditengah masyarakat yang menyeret mereka tenggelam dalam dunia dan meninggalkan akhirat.  Gaya hidup seperti menyebabkan seorang Muslim hilang dan tersesat. Diharapkan, dengan kembalinya peran masjid, menjadikan seorang Muslim memiliki jati diri dan menyadari bahwa ia butuh waktu untuk bermunajat kepada Rabbnya, melupakan sejenak cita-cita dunia, introspeksi diri agar menimbulkan kekhusyu’an serta lebih mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla . Ini semua tidak terwujud tanpa mengembalikan fungsi masjid sebagaimana pada permulaan Islam. Di masjidlah, kaum Muslimin bisa saling mengenal lalu bekerja sama dalam kebaikan dan takwa dan saling bermusyawarah membicarakan dan memutuskan semua perkara kaum muslimin.

Dengan memakmurkan masjid, iman kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan semakin kuat dan tebal, karena memakmurkan masjid itu hanya dengan perbuatan-perbuatan taat. Dan perbuatan taat akan menambah dan semakin menguatkan iman orang yang melakukannya.

Semoga Allah menunjuki kita semua dan memberikan taufiq menjadi orang-orang yang senantiasa memakmurkan masjid. Wabillahittaufiq.

Sabar Menghadapi Cobaan Hidup

Sabar Menghadapi Cobaan Hidup 

Ketahuilah bahwa musibah dunia pasti berlalu. Karena dunia bukan negeri balasan. Dunia adalah negeri amal. Namun terkadang Allah memberikan balasan hanya sebatas untuk peringatan dan penggugur dosa-dosa. Maka dari itulah tidak ada sejarahnya bencana terus-menerus mendera. Dia akan selalu berlalu, berlalu, berlalu.

Berbeda dengan negeri akhirat. Negeri akhirat disebut dengan darul jaza (negeri balasan). Maka di akhirat, orang yang beriman dibalas dengan surga dan akan senang terus-menerus. Orang yang tidak beriman akan dibalas dengan nerakan akan menderita terus-menerus tidak ada habis-habisnya.

MUSIBAH MENJADI NIKMAT

Bencana atau musibah itu terkadang menjadi nikmat dan terkadang menjadi adzab. Kapan menjadi nikmat? Yaitu apabila dengan bencana itu kita menjadi orang yang sadar dan kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Sehingga kita menjadi orang yang lebih bertakwa kepada Allah, lebih semangat menjalankan perintah-perintah Allah, lebih semangat meninggalkan larangan-larangan Allah.

Maka kalau ternyata musibah menjadikan kita lebih baik, berarti itu nikmat dari Allah subhanahu wa ta’ala. Bagi orang beriman, dia selalu mengambil pelajaran dari setiap musibah yang menimpa. Sedangkan orang yang kurang beriman, dia akan selalu berburuk sangka kepada Allah dari setiap musibah yang menimpa.

Orang yang beriman segera kembali dan banyak istighfar kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dia mengakui dosa-dosanya dihadapan Allah subhanahu wa ta’ala. Lalu dia berusaha untuk senantiasa memperbaiki ibadah yang selama ini mungkin banyak ditinggalkan. Maka musibah itu menjadi nikmat. Bisa jadi orang yang tadinya jarang shalat menjadi rajin shalat.

Jika setelah mendapatkan musibah, yang sebelumnya kita jarang berdzikir menjadi rajin berdzikir, Alhamdulillah. Yang tadinya jarang membantu orang lain dalam kebaikan, setelah mendapatkan musibah kita menjadi orang yang selalu berusaha bahu-membahu dalam kebaikan. Maka itu berarti musibah menjadi nikmat untuk kita.

MUSIBAH MENJADI ADZAB

Musibah akan menjadi malapetaka jika setelah musibah, iman kita kepada Allah semakin berkurang. Setelah musibah, akhirnya kita semakin tidak mau shalat, tidak mau sujud kepada Allah dan membenci Allah.

Sebagian orang ketika ditimpa musibah, dia bukannya kembali kepada Allah, tapi justru menentang Allah subhanahu wa ta’ala. Padahal seharusnya, orang yang beriman kepada Allah, ketika diberi musibah jangan seperti itu. Kewajibannya adalah kita berbaik sangka kepada Allah.

  1. Tidak mungkin Allah mendzalimi hamba-hambaNya. Tapi yang dzalim adalah hamba-hambaNya.
  2. Allah ingin dengan musibah menggugurkan dosa-dosa kita dan mengangkat derajat kita.
  3. Allah ingin agar kita mau kembali kepada Allah. Kita menjadi tunduk, sujud dan terus mengingat Allah subhanahu wa ta’ala, lebih semangat mengkaji Al-Qur’an, mengkaji hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka jadikanlah musibah menjadi nikmat untuk kita. Orang yang meninggal terkena tsunami, terkubur atau yang lainnya, mungkin dosa-dosa mereka sudah diampuni oleh Allah. Kita tidak tahu. Nah, kita yang masih hidup ini harus berfikir apakah setelah musibah ini berlalu, apakah kira-kira kita akan wafat diatas kebaikan atau tidak? Kareka yang namanya kematian adalah sesuatu yang pasti. Kita yang masih hidup ini pasti akan menyusul mereka. Kita bisa selamat dari tsunami, tapi kita tidak akan selamat dari kematian. Kita selamat dari gempa, tapi kita tidak akan pernah selamat dari malaikat maut. Suatu hari, malaikat maut pasti akan menjemput kita.

Dengan ini, seharusnya kita menjadi lebih baik, lebih semangat berbuat ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Maka jadikan musibah itu menjadi pelajaran yang berharga untuk hidup kita. Jadikan musibah sebagai motivasi untuk meninggalkan maksiat, meniggalkan hal-hal yang membuat Allah marah kepada kita. Jadikan ini sebagai cambuk untuk semakin kita menjadi takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Oleh karena itu, sebaiknya setiap dari kita introspeksi diri. Setelah Allah berikan kepada kita musibah, apakah keadaan kita lebih baik atau lebih buruk?

Kewajiban Mengganti Barang Orang Lain

Kewajiban Mengganti Barang Orang Lain 

Kaidah fiqhiyyah:

مَنْ أَتْلَفَ شَيئًا لِيَنْتَفِعَ بِهِ ضَمِنَهُ ومَنْ أَتْلَفَ دَفْعًا لِمَضَرَّتِهِ فَلَا ضَمَاننَ عَلَيْهَ

“Barang siapa yang merusak sesuatu karena memanfaatkannya maka harus menggantinya,  namun jika merusak sesuatu karena menolak madharatnya maka tidak wajib mengganti”.

Makna Kaidah

Secara umum maksud dari kaidah ini adalah bahwa barang siapa yang merusak barang milik orang lain karena dia ingin mengambil manfaat dari barang tersebut, maka dia wajib menggantinya. Namun jika barang milik orang lain itu membahayakannya lalu dia berusaha menolak bahaya tersebut yang mengakibatkan kerusakannya, maka tidak ada kewajiban atasnya untuk mengganti.

Contoh kasus, jika seseorang diserang oleh sapi milik orang lain, lalu dia mencoba menghindari bahaya serangan sapi itu yang mengakibatkan matinya sapi tersebut maka dia tidak wajib mengganti sapi itu. Namun jika ada seseorang yang lapar, lalu dia menyembelih sapi milik orang lain maka dia wajib menggantinya.

Hal ini dikarenakan bahwa pada kejadian yang pertama, yang dilakukan hanyalah membela diri dari bahaya yang ditimbulkan oleh sapi tersebut, sedangkan dalam keadaan yang kedua, sapi tersebut sama sekali tidak membahayakannya dan dia sendirilah yang ingin mengambil manfaat dari sapi tersebut tanpa adanya bahaya darinya sama sekali.

Dalil Kaidah

Ini adalah sebuah keadilan dan agama kita dibangun atas dasar keadilan. Dalam kondisi sapi (pada kasus di atas) yang membahayakan maka sebenarnya dia sama sekali tidak berbuat apa-apa kecuali membeli diri. Sedangkan membela diri adalah sesuatu yang diperintahkan syariat, maka kalau dalam pembelaan diri tersebut mengakibatkan rusaknya sapi tersebut maka itu bukan merupakan tanggung jawab dia, bahkan akan menjadi sebuah kedzaliman kalau kerusakan itu harus menjadi tanggung jawabnya.

Sedangkan dalam kondisi kedua, keadilan menuntutnya untuk mengganti barang yang dia rusakkan, karena yang dirusakkan itu sama sekali tidak membahayakannya. Maka jika dia merusaknya karena kepentingan dirinnya, maka wajib untuk menggantinya dan merupakan sebuah kedzaliman jika dia tidak menggantinya.

Contoh Penerapan Kaidah

  1. Kalau ada seseorang yang mencukur atau memotong rambut kepadanya saat ihram sebelum waktu tahallul disebabkan karena ada kutu yang membuat kepalanya gatal, maka dia wajib membayar fidyah. Hal ini disebabkan karena yang membahayakan itu bukan rambutnya, namun kutu yang berada di rambut. Sedangkan jika ada rambut yang tumbuh di kelopak matanya ketika ihram, yang membuat dia merasa sakit, maka boleh mencabutnya tanpa ada kewajiban membayar fidyah. (Karena dalam hal ini yang berbahaya adalah rambutnya_red)
  2. Seandainya ada sebuah kapal yang hampir tenggelam karena terlalu banyak muatan, lalu dia membuang barang milik orang lain, maka wajib menggantinya. Namun jika ada barang milik orang lain jatuh dan akan mengenai dirinya lalu dia menghindarkannya, sehingga rusaklah barang tersebut maka tidak wajib menggantinya.

Wallaahu a’lam

(Lihat Al Qowaid wal Ushul Jami’ah Syaikh As Sa’di 69, Syarah Al Qawa’id As Sya’diyyah hlm: 210, Qawa’id Ibnu Rajab no: 26)

Mencintai Para Sahabat Nabi

Mencintai Para Sahabat Nabi 

Di antara pelajaran berharga yang hendaknya selalu diingat oleh generasi muda adalah kepahlawanan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam membela dakwah Islam. Kita mengenal sosok yang sedemikian dermawan seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Utsman bin Affan radhiyallahu ’anhuma. Mereka telah menunjukkan bukti yang luar biasa dalam membela dan mendukung perjuangan dakwah tauhid yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kita juga mengenal sosok Bilal bin Rabah radhiyallahu ’anhu yang menunjukkan kekuatan iman dan tawakal kepada Allah ketika harus berhadapan dengan tekanan dan siksaan demi mempertahankan akidah dan keyakinannya sebagai pengikut Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kisah perjuangan dan pengorbanan para sahabat begitu banyak menghiasi sejarah dan memberikan gambaran kepada kita betapa iman dan tauhid itu telah mendarah daging di dalam diri mereka. Suatu kaum yang telah dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam dan menjaga syariat-Nya untuk kemudian diteruskan dengan gamblang kepada generasi-generasi sesudahnya.

Allah Ta’ala berfirman,

لَقَدْ رَضِيَ اللّٰهُ عَنِ الْمُؤْمِنِيْنَ اِذْ يُبَايِعُوْنَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِيْ قُلُوْبِهِمْ

“Sungguh Allah telah rida kepada orang-orang beriman itu (para sahabat Nabi) ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah sebuah pohon. Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka.” (QS. Al-Fath: 18)

Allah Ta’ala berfirman,

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ

“Dan orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama (masuk Islam), yaitu kaum Muhajirin dan Anshar dan juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya.” (QS. At-Taubah: 100)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah generasi di masaku (para sahabat Nabi), kemudian yang mengikuti mereka, kemudian yang sesudah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu)

Dari sini kita mengetahui bahwa mencintai para sahabat Nabi dan memuliakan mereka merupakan perkara yang sangat mendasar di dalam agama Islam. Allah telah memuji mereka dan meridai mereka dan menjadikan keridaan-Nya bagi orang-orang yang mengikuti para sahabat dengan baik. Allah Ta’ala mengetahui apa yang ada di dalam hati para sahabat itu.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda,

آيَةُ الإيمَانِ حُبُّ الأنْصَارِ، وآيَةُ النِّفَاقِ بُغْضُ الأنْصَارِ

“Tanda keimanan adalah mencintai kaum Anshar, dan tanda kemunafikan adalah membenci kaum Anshar.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu)

Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah (wafat 321 H) berkata,

وَنُحِبُّ أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَا نُفَرِّطُ فِي حُبِّ أَحَدٍ مِنْهُمْ

“Dan kami (ahlusunah waljamaah) mencintai para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan kami tidak melampaui batas dalam mencintai salah seorang dari mereka.” (Lihat Matan Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah no. 93)

Imam Abu Zur’ah Ar-Razi rahimahullah (wafat 264 H) berkata,

إِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَنْتَقِصُ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَّ فَاعْلَمْ أَنَّهُ زِنْدِيقٌ

“Apabila kamu melihat ada seseorang yang sengaja menjelek-jelekkan salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ketahuilah bahwa dia adalah zindik (sesat dan menyimpang).” (Lihat Al-Kifayah fi ‘Ilmi Ar-Riwayah hal. 49 oleh Al-Khathib Al-Baghdadi)

Wajib mengikuti jalan para sahabat

Imam Abu Amr Al-Auza’i rahimahullah (wafat 157 H) mengatakan, “Wajib atasmu untuk mengikuti jejak-jejak para ulama terdahulu, meskipun orang-orang menolakmu. Dan hati-hatilah kamu dari pendapat tokoh-tokoh, meskipun mereka menghiasinya dengan ucapan-ucapan yang indah.” Yang dimaksud mengikuti jejak pendahulu di sini adalah dengan mengikuti jalan para sahabat dan para pengikut setia mereka. Karena jalan mereka itu dibangun di atas Al-Kitab dan As-Sunnah (Lihat keterangan Syekh Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Lum’atil I’tiqad, hal. 44)

Di dalam surah Al-Fatihah kita berdoa kepada Allah,

اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَۙ ٦

“Tunjukilah kami kepada jalan yang lurus.”

Siapakah orang-orang yang berjalan di atas jalan yang lurus itu?

Allah Ta’ala berfirman,

صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ

“Yaitu, jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka.”

Siapakah yang dimaksud ‘orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah’ itu? Mereka itu adalah sebagaimana yang difirmankan oleh Allah dalam ayat,

مِّنَ النَّبِيّٖنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاۤءِ وَالصّٰلِحِيْنَ

“Yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada’, dan orang-orang saleh.” (QS. An-Nisa’: 69) (Lihat transkrip Manhaj Salafish Shalih wa Hajatul Ummah ilaih oleh Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah, hal. 7-8)

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Jalan orang-orang yang Engkau berikan nikmat kepada mereka. Mereka itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya. Dan anda setiap rakaat selalu berdoa kepada Allah untuk memberikan petunjuk kepada jalan mereka itu.” (Lihat Tafsir Ayat minal Qur’anil Karim, hal. 17)

Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka, mereka itulah teladan bagi umat ini. Dan manhaj mereka itu adalah jalan yang mereka tempuh dalam hal akidah, dalam hal muamalah, dalam hal akhlak, dan dalam segala urusan mereka. Itulah manhaj yang diambil dari Al-Kitab dan As-Sunnah karena kedekatan mereka dengan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena kedekatan mereka dengan masa turunnya wahyu. Mereka mengambilnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka, mereka itu adalah sebaik-baik kurun, dan manhaj mereka adalah manhaj yang terbaik.” (Lihat Manhajus Salafish Shalih wa Hajatul Ummah ilaih, hal. 2-3)

Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah juga menasihatkan, “Dan tidak mungkin mengikuti mereka dengan baik, kecuali dengan cara mempelajari mazhab mereka, manhaj mereka, dan jalan yang mereka tempuh. Adapun semata-mata menyandarkan diri kepada salaf atau salafiyah tanpa disertai pemahaman tentang hakikat dan manhajnya, maka hal ini tidak bermanfaat sama sekali. Bahkan, bisa jadi justru menimbulkan mudarat. Oleh sebab itu, harus mengenal hakikat manhaj salafush shalih.” (Lihat Manhajus Salafish Shalih wa Hajatul Ummah ‘ilaih, hal. 3)

Demikian sedikit kumpulan tulisan dan faedah yang Allah berikan kemudahan bagi kami untuk menyusunnya. Semoga Allah Ta’ala berikan taufik kepada kita untuk mengamalkan kebenaran dan istikamah di atasnya hingga ajal menjemput. Wallahul musta’aan.

***

Sedikit Sombong Ngga’ Masuk Surga

Sedikit Sombong Ngga’ Masuk Surga

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ

Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya ada kesombongan sebesar biji debu. (HR. Muslim)

Makna sombong yang dimaksud, diterangkan pada kelanjutan hadis, saat seorang sahabat bertanya kepada Nabi,

إن الرجل يحب أن يكون ثوبه حسناً ونعله حسنةً

“Bagaimana jika seorang suka bajunya bagus, sendalnya bagus…?”

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

إن الله جميلٌ يحب الجمال، الكبر بطر الحق وغمط الناس

Sungguh Allah itu Maha Indah, dan mencintai keindahan. Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan memandang remeh orang lain.” (HR. Muslim)

Saat telah tampak jelas kebenaran dalam pandangannya, ayatnya jelas, hadisnya jelas, namun dia tetap saja enggan mengalahkan egonya, untuk tunduk pada kebenaran, inilah sombong.

Saat seorang memandang dirinya berada di atas orang lain, lebih mulia dari orang lain, lebih sempurna dari yang lain, kemudian memandang selainnya rendah dan hina, itulah sombong.

Siapa yang dalam hatinya ada sedikit saja sifat ini, maka tidak masuk surga.

Nas-alullah as salaamah.. semoga Allah menghindarkan kita dari sifat seperti ini.

Tidak Masuk Surga Selamanya?

Namun, ancaman “tidak masuk surga”, dalam hadis tentang sombong di atas, dan hadis-hadis lainnya yang menerangkan sebuah dosa besar/maksiat, kemudian diancam tidak masuk surga, maknanya adalah, tidak masuk surga secara langsung, yang tanpa azab dan hisab. Bukan tidak masuk surga selamanya.

Karena ancaman berupa tidak masuk surga yang terdapat dalam Al Qur’an atau hadis, memiliki dua makna :

Pertama, tidak masuk surga selamanya (tahrim abadi).

Artinya, akan berada dalam neraka selamanya, tak akan pernah masuk Surga. Inilah nasibnya orang-orang kafir atau musyrik.

Kedua, tidak masuk surga sementara (tahrim mu-aqqot).

Dia mampir sementara di neraka, untuk dibersihkan dosanya. Kemudian jika telah tiba saatnya dia sudah pantas masuk surga, Allah akan masukkan dia ke dalam surga.

Atau dia berpeluang lain yang lebih beruntung, bisa jadi dengan kemurahan dan kasih sayang Allah, dia diampuni dosanya sehingga tidak perlu mampir di neraka, langsung masuk surga.

Inilah yang berlaku pada orang-orang mukmin yang melakukan dosa besar.

(Lihat : I’lam Al Anam karya Syekh Sholih Al Fauzan, hal. 62)

Dengan membagi seperti ini, terbantahkanlah akidah orang-orang Khawarij, yang memaknai ancaman pada hadis di atas dan yang semisalnya, sebagai ancaman kekal di neraka. Sehingga mereka mengkafirkan orang-orang mukmin yang melakukan dosa besar.

Padahal Allah berfirman,

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni apa dosa di bawah syirik (dosa besar) bagi siapa yang Dia kehendaki. (QS. An-Nisa’ : 48)

“…bagi siapa yang Dia kehendaki” menunjukkan bahwa, dosa yang levelnya di bawah syirik, yaitu dosa besar, kemudian dibawa mati; belum sempat ditaubati, nasib pelakunya di akhirat di bawah kehendak Allah. Artinya jika Allah berkehendak mengazabnya dulu, maka dia akan mampir di neraka. Namun jika berkehendak lain karena rahmad dan kasih sayangNya; dia diampuni dosanya dan langsung masuk surga.

Inilah diantara yang mendasari akidah Ahlussunah terkait pelaku dosa besar.

Yang mendapat ancaman kekal di neraka, hanyalah pelaku dosa syirik/kafir. Merekalah yang dosanya tidak diampuni oleh Allah, sehingga berada kekal selamanya di neraka.

Na’udzubillah min dzalik..

Kesimpulan ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi rahimahullah saat menjelaskan hadis di atas,

الظاهر ما اختاره القاضي عياض وغيره من المحققين، أنَّه لا يدخل الجنة دون مجازاة إن جازاه. وقيل: هذا جزاؤه لو جازاه، وقد يتكرم بأنه لا يجازيه، بل لا بد أن يدخل كل الموحدين الجنة إمَّا أولًا، وإمَّا ثانيًا بعد تعذيب بعض أصحاب الكبائر الذين ماتوا مصرين عليها.

Penjelasan yang tepat (untuk makna hadis di atas) adalah yang dipilih oleh Qodhi ‘Iyadh dan yang lainnya dari kalangan ulama (muhaqqiq), bahwa maksud tidak masuk surga adalah tidak masuk surga yang tanpa melalui proses azab, jika dia dikehendaki akan diazab dulu. Atau bisa dikatakan : ini balasannya jika memang dia dikehendaki Allah akan dibalas.

Karena terkadang orang seperti ini, mendapatkan kemurahan Allah sehingga dosanya tidak diganjar. Bahkan orang-orang yang bertauhid, pasti masuk surga. Bisa jadi masuk surga pertama (yang tanpa azab dan hisab), atau kloter berikutnya setelah sebagian pelaku dosa besar yang meninggal membawa dosa besar yang belum dia taubati mendapat azab.

(Lihat : Syarah Shahih Muslim, karya Imam Nawawi, 1/79).

Wallahua’lam bis showab.

Bila Malu Sudah Tiada

Bila Malu Sudah Tiada 

Malu merupakan salah satu sifat terpuji yang bisa mengendalikan orang yang memilikinya dari perbuatan-perbuatan yang tidak sepatutnya dilakukan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ

“Rasa malu itu hanya mendatangkan kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari ‘Imron bin Hushain)

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ قَالَ أَوْ قَالَ الْحَيَاءُ كُلُّهُ خَيْرٌ

Rasulullah bersabda, “Rasa malu adalah kebaikan seluruhnya atau rasa malu seluruhnya adalah kebaikan.” (HR. Muslim)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Iman itu terdiri dari 70 sekian atau 60 sekian cabang. Cabang iman yang paling utama adalah ucapan la ilaha illalloh. Sedangkan cabang iman yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari tempat berlalu lalang. Rasa malu adalah bagian dari iman.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Suatu ketika Nabi menjumpai seorang yang sedang mencela saudaranya karena dia sangat pemalu, Nabi lantas bersabda, “Biarkan dia karena rasa malu itu bagian dari iman.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Menurut penuturan Imam Ibnul Qoyyim, alhaya’ (rasa malu) diambil dari kata-kata hayat (kehidupan). Sehingga kekuatan rasa malu itu sebanding lurus dengan sehat atau tidaknya hati seseorang. Berkurangnya rasa malu merupakan pertanda dari matinya hati dan ruh orang tersebut. Semakin sehat suatu hati maka akan makin sempurna rasa malunya.

Hakikat rasa malu adalah suatu akhlak yang mendorong untuk meninggalkan hal-hal yang buruk dan kurang memperhatikan haknya orang yang memiliki hak.

Rasa malu itu ada dua macam. Yang pertama adalah rasa malu kepada Allah. Artinya seorang hamba merasa malu jika Allah melihatnya sedang melakukan kemaksiatan dan menyelisihi perintah-Nya. Yang kedua adalah rasa malu dengan sesama manusia.

Untuk rasa malu dengan kategori pertama, Nabi jelaskan dalam sabdanya, “Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya”. “Kami sudah malu duhai Rasulullah”, jawab para sahabat. Nabi bersabda,

لَيْسَ ذَاكَ وَلَكِنَّ الِاسْتِحْيَاءَ مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْتَذْكُرْ الْمَوْتَ وَالْبِلَى وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ اسْتَحْيَا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ

“Bukan demikian namun yang dimaksud malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya adalah menjaga kepala dan anggota badan yang terletak di kepala, menjaga perut dan anggota badan yang berhubungan dengan perut, mengingat kematian dan saat badan hancur dalam kubur. Siapa yang menginginkan akhirat harus meninggalkan kesenangan dunia. Siapa yang melakukan hal-hal tersebut maka dia telah merasa malu dengan Allah dengan sebenar-benarnya.” (HR. Tirmidzi dll, dinilai hasan karena adanya riwayat-riwayat lain yang menguatkannya oleh Al Albani dalam Shahih Jami’ Shaghir no. 935)

Dalam hadits ini, Nabi menjelaskan bahwa tanda memiliki rasa malu kepada Allah adalah menjaga anggota badan agar tidak digunakan untuk bermaksiat kepada Allah, mengingat kematian, tidak panjang angan-angan di dunia ini dan tidak sibuk dengan kesenangan syahwat serta larut dalam gemerlap kehidupan dunia sehingga lalai dari akhirat.

Rasa malu yang kedua adalah malu dengan sesama manusia. Malu inilah yang mengekang seorang hamba untuk melakukan perbuatan yang tidak pantas. Dia merasa risih jika ada orang lain yang mengetahui kekurangan yang dia miliki.

Rasa malu dengan sesama akan mencegah seseorang dari melakukan perbuatan yang buruk dan akhlak yang hina. Sedangkan rasa malu kepada Allah akan mendorong untuk menjauhi semua larangan Allah dalam setiap kondisi dan keadaan, baik ketika bersama banyak orang ataupun saat sendiri tanpa siapa-siapa menyertai.

Rasa malu kepada Allah adalah di antara bentuk penghambaan dan rasa takut kepada Allah. Rasa malu ini merupakan buah dari mengenal betul Allah, keagungan Allah. Serta menyadari bahwa Allah itu dekat dengan hamba-hambaNya, mengawasi perilaku mereka dan sangat paham dengan adanya mata-mata yang khianat serta isi hati nurani.

Rasa malu kepada Allah adalah termasuk tanda iman yang tertinggi bahkan merupakan derajat ihsan yang paling puncak. Nabi bersabda, “Ihsan adalah beribadah kepada Allah seakan-akan memandang Allah. Jika tidak bisa seakan memandang-Nya maka dengan meyakini bahwa Allah melihatnya.” (HR Bukhari).

Orang yang memiliki rasa malu dengan sesama tentu akan menjauhi segala sifat yang tercela dan berbagai tindak tanduk yang buruk. Karenanya orang tersebut tidak akan suka mencela, mengadu domba, menggunjing, berkata-kata jorok dan tidak akan terang-terangan melakukan tindakan maksiat dan keburukan.

Rasa takut kepada Allah mencegah kerusakan sisi batin seseorang. Sedangkan rasa malu dengan sesama berfungsi menjaga sisi lahiriah agar tidak melakukan tindakan buruk dan akhlak yang tercela. Karena itu orang yang tidak punya rasa malu itu seakan tidak memiliki iman. Nabi bersabda, “Di antara perkataan para Nabi terdahulu yang masih diketahui banyak orang pada saat ini adalah jika engkau tidak lagi memiliki rasa malu maka berbuatlah sesuka hatimu.” (HR. Bukhari)

Makna hadits, jika orang itu sudah tidak lagi memiliki rasa malu maka dia akan berbagai perilaku buruk yang dia inginkan. Ini dikarenakan rasa malu yang merupakan faktor penghalang berbagai tindakan buruk tidak lagi terdapat pada diri orang tersebut. Siapa yang sudah tidak lagi memiliki rasa malu akan tenggelam dalam berbagai perbuatan keji dan kemungkaran.

Nabi bersabda,

الحياء و الإيمان قرنا جميعا فإذا رفع أحدهما رفع الآخر

“Rasa malu dan iman itu terikat menjadi satu. Jika yang satu hilang maka yang lain juga akan hilang.” (HR. Hakim dari Ibnu Umar dengan penilaian ‘shahih menurut kriteria Bukhari dan Muslim. Penilaian beliau ini disetuju oleh Dzahabi. Juga dinilai shahih oleh al Albani dalam Shahih Jami’ Shaghir, no. 1603)

Salman al Farisi mengatakan,

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُهْلِكَ عَبْدًا نَزَعَ مِنْهُ الْحَيَاءَ فَإِذَا نَزَعَ مِنْهُ الْحَيَاءَ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا مَقِيتًا مُمَقَّتًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا مَقِيتًا مُمَقَّتًا نُزِعَتْ مِنْهُ الْأَمَانَةُ فَإِذَا نُزِعَتْ مِنْهُ الْأَمَانَةُ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا خَائِنًا مُخَوَّنًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا خَائِنًا مُخَوَّنًا نُزِعَتْ مِنْهُ الرَّحْمَةُ فَإِذَا نُزِعَتْ مِنْهُ الرَّحْمَةُ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا رَجِيمًا مُلَعَّنًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا رَجِيمًا مُلَعَّنًا نُزِعَتْ مِنْهُ رِبْقَةُ الْإِسْلَامِ

“Sungguh jika Allah berkehendak untuk membinasakan seseorang maka akan Allah hilangkan rasa malu dari diri orang tersebut. Jika rasa malu sudah tercabut dari dirinya maka tidaklah kau jumpai orang tersebut melainkan orang yang sangat Allah murkai. Setelah itu akan hilang sifat amanah dari diri orang tersebut. Jika dia sudah tidak lagi memiliki amanah maka dia akan menjadi orang yang suka berkhianat dan dikhianati. Setelah itu sifat kasih sayang akan dicabut darinya. Jika rasa kasih sayang telah dicabut maka dia akan menjadi orang yang terkutuk. Sesudah itu, ikatan Islam akan dicabut darinya.”

kata-kata di atas ada yang menganggapnya sebagai sabda Nabi karena jika dinisbatkan kepada Nabi maka berstatus sebagai hadits palsu, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Umar. Lihat Silsilah Dhaifah karya al Albani no. 3044.

Ibnu Abbas mengatakan,

الحياء والإيمان في قرن ، فإذا سلب أحدهما اتبعه الآخر

“Rasa malu dan iman itu satu ikatan. Jika dicabut salah satunya maka akan diikuti oleh yang lain.” (Diriwayatkan dalam Mu’jam Ausath secara marfu’ dari Ibnu Abbas no. 8548. Namun riwayat yang marfu’ ini dinilai sebagai hadits palsu oleh al Albani dalam Dhaif Jami’ no 1435)

Hadits dan perkataan dua orang sahabat Nabi di atas menunjukkan bahwa orang yang tidak lagi memiliki rasa malu itu tidak memiliki faktor pencegah untuk melakukan keburukan. Dia tidak akan sungkan-sungkan untuk melakukan yang haram dan sudah tidak takut dengan dosa. Lisannya juga tidak berat untuk mengucapkan kata-kata yang buruk.

Oleh karena itu di zaman ini, suatu zaman yang rasa malu sudah berkurang bahkan hilang bagi sebagian orang, kemungkaran merajalela, hal-hal yang memalukan dilakukan dengan terang-terangan bahkan keburukan dinilai sebagai sebuah kebaikan. Bahkan sebagian orang merasa bangga dengan perbuatan tercela dan hina sebagaimana artis yang suka buka-bukaan atau sexy dancerWal’iyadu billah…

***

Kenikmatan Yang Tertinggi Di Surga Adalah Melihat Wajah Alloh Yang Mulia

Kenikmatan Yang Tertinggi Di Surga Adalah Melihat Wajah Alloh Yang Mulia

Dalam pelajaran tauhid, salah satu yang dibahas adalah tauhid asma wa sifat yaitu mengenal Allah melalui nama-nama dan sifat-Nya

Salah satu sifat Allah adalah memiliki wajah, yang sering sekali kita baca dalilnya yaitu “mengharapkan wajah Allah”[1]

Ini wajah hakiki, bukan ditakwil (diselewengkan maknanya), hanya saja hakikat dan bagaimana bentuknya kita tidak tahu dan tugas kita hanya meyakini saja bahwa Allah memiliki wajah

Allah Ta’ala berfirman,

لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ وَلا يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلا ذِلَّةٌ أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat wajah Allah). Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Yunus: 26)

Makna “ziyadah” (زِيَادَةٌ) adalah tambahan nikmat bagi penduduk surga yaitu melihat wajah Allah sebagaimana ahli tafsir ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan, beliau berkata:

وأفضل من ذلك وأعلاه النظر إلى وجهه الكريم

“Tambahan yang paling baik dan tertinggi adalah melihat kepada wajah Allah yang mulia” (Tafsir Ibnu Katsir)

Berikut beberapa dalil lainnya:

1. Seorang mukmin akan berseri-seri melihat wajah Rabbnya di hari kiamat sebagaimana dalam Al-Quran[2]

2. Kenikmatan tertinggi di surga adalah melihat wajah Allah yang mulia sebagaimana dalam hadits[3]

3. Kita diajarkan berdoa agar dapat melihat wajah Allah, sebagaimana doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam [4]

4. Orang kafir di hari kiamat akan terhalangi melihat Rabb mereka, sebagaimana dalam Al-Quran [5]

-Perlu diketahui bahwa Allah tidak bisa dilihat di dunia, hanya bisa dilihat di akhirat setelah manusia merasakan kematian, sebagaimana dalam hadits [6], inilah maksud ayat bahwa Allah tidak dapat dicapai dengan penglihatan mata, yaitu penglihatan mata di dunia, adapun di akhirat maka kita bisa melihat wajah Allah yang Mulia [7]

-Ayo, cita-citamu harus tinggi yaitu masuk surga tertinggi dan meilhat wajah Allah yang mulia, jangan sampai kita tidak tahu kenikmatan terbesar ini karena tidak belajar tetapi ingin mendapatkan kenikmatan tertinggi di surga

-Semoga kita bisa selalu semangat belajar tauhid, menerapkannya serta mendakwahkannya

@Laboratorium RS Manambai, Sumbawa Besar – Sabalong Samalewa

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel http://www.muslimafiyah.com

[1] Misalnya hadits:

إن الله حرم على النار من قال لا إله إلا الله يبتغي بذلك وجه الله عز وجل

Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang mengucapkan Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah denganmengharapkan wajah Allah ‘azza wa jalla. (HR. Bukhari dan Muslim).

[2] Allah Ta’ala berfirman,

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ

Muka mereka (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabbnya mereka melihat.” (QS. Al-Qiyamah: 22-23)

[3] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

Jika penghuni surga telah masuk surga, Allah ta’ala berfirman: “Apakah kalian mau tambahan nikmat (dari kenikmatan surga yang telah kalian peroleh)? Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Dan Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari neraka? Kemudian Allah singkap hijab (penutup wajahNya yang mulia), dan mereka mengatakan,

فَمَا أُعْطُوا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنْ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزٌّ

Tidak ada satupun kenikmatan yang lebih kami cintai dari memandang wajah Allah Ta’ala.” (HR. Muslim no)

[4] Doa beliau adalah:

أَسْأَلُكَ لَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ

dan aku memohon kenikmatan memandang wajah-Mu (HR. An-Nasai, Ahmad , shahih dan lainnya).

[5] Allah Ta’ala berfirman,

كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ

“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka (orang-orang kafir) pada hari kiamat benar-benar terhalang dari (melihat) Rabb mereka.” (al-Muthaffifin/83:15)

[6] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَعَلَّمُوا أَنَّهُ لَنْ يَرَى أَحَدٌ مِنْكُمْ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ حَتَّى يَمُوتَ

“Ketahuilah, tidak ada seorangpun di antara kamu yang (bisa) melihat Rabb-nya (Allah) Azza wa Jalla sampai dia mati (di akhirat nanti).” (HR. Muslim).

[7] Ayatnya adalah:
لا تُدْرِكُهُ الأبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

Dia tidak dapat dicapai (diliputi) oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu, dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (QS al-An’aam:103).