Tidak Boleh Mengobati Sihir Dengan Sihir

Tidak Boleh Mengobati Sihir Dengan Sihir 

-Ternyata memang bisa juga,  mengobati sihir dengan sihir, sama-sama menggunakan bantuan jin untuk mengusir gangguan jin lainnya

-Walaupun terkadang bisa, tetapi tidak boleh , ini yang disebut NUSYRAH yang diharamkan

Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiallahu anhuma, ia berkata:

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang nusyrah, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

هُوَ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ.

‘Nusyrah itu termasuk perbuatan syaithan.”[1]

Inilah yang dimaksud NUSYRAH YANG HARAM , Syaikh Abdul Aziz bin baz rahimahullah Menjelaskan,

يعني : حل السحر على يد الساحر , هو من عمل الشيطان ؛ لأنه يحله بدعاء غير الله , والاستغاثة بغير الله

“Yaitu mengobati sihir dengan sihir, ini merupakan perbuatan syaithan karena mengobati sihir dengan meminta kepada selain Allah dan meminta istigatsah kepada selain Allah.”[2]

-Ini dipraktekkan oleh paranormal atau dukun yang berkedok ustadz/kiayi, mereka menggunakan cara-cara yang aneh dan diluar syariat seperti:

1.Membaca Jampi-jampi atau mantera-mantera dengan bahasa yang tidak jelas

2.Melakukan gerakan-gerakan aneh seperti tari-tarian aneh bahkan gerakan yang bertentangan dengan syariat

3.Meminta agar korban sihir atau keluarga melakukan ritual kesyirikan juga seperti menyembelih ayam dengan menyebut nama orang (bukan nama Allah) atau memberikan sesajen kepada pohon dan lain-lain

4.Biasanya berusaha mengadu domba misalnya:

“Ini sihir dikirim oleh fulan untuk sang ayah, tetapi yang kena malah anaknya”. Padahal belum tentu fulan yang melakukan atau mengirim sihir

-Adapun yang diperbolehkan adalah dengan menggunakan ruqyah yang syar’i, ini yang dimaksud dengan “NUSYRAH YANG BOLEH”. Jadi Nusyrah ada yang boleh dan ada yang terlarang

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

القسم الأول: أن تكون بالقرآن الكريم، والأدعية الشرعية، والأدوية المباحة فهذه لا بأس بها لما فيها من المصلحة وعدم المفسدة
القسم الثاني: إذا كانت النشرة بشيء محرم كنقض السحر بسحر

“Dua jenis Nusyrah yaitu:

1.Dengan Al-Quran, doa-doa yang syar’i dan obat-obatan yang mubah, tidak mengapa jika ada mashlahat dan tidak ada mafsadat

2.Nusyrah dengan yang diharamkan yaitu mengobati sihir dengan sihir.”[3]

-Yang boleh inilah yang dikenal dengan ruqyah syar’iyyah, syaratnya ada 3 sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah, beliau berkata:

وقد أجمع العلماء على جواز الرقى عند اجتماع ثلاثة شروط : أن يكون بكلام الله تعالى أو بأسمائه وصفاته ، وباللسان العربي أو بما يعرف معناه من غيره ، وأن يعتقد أن الرقية لا تؤثر بذاتها بل بذات الله تعالى

Para ulama telah sepakat untuk membolehkan ruqyah dengan tiga syarat, yaitu:
1. Menggunakan firman Allah Taala atau Asma’ dan Sifat-Nya (atau hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pent)
2. Diucapkan dalam bahasa Arab dengan makna dapat difahami maknanya.
3. Harus diyakini bahwa zat ruqyah TIDAK memberikan pengaruh, tetapi Allah yang memberikan pengaruh (ruqyah hanya sebab saja).”[4]

Demikian semoga kita bisa memahaminya dan menyebarkan dakwah tauhid ini kepada manusia

@Laboratorium RS Manambai, Sumbawa Besar – Sabalong samalewa

Penyusun: Raehanul Bahraen

[1] HR. Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Misykaatul Mashaabiih no. 4553

[2] Majmu’ Fatawa syaikh Bin Baz 8/90, syamilah

[3] Majmu’ Fatawa wa Rasail 2/177, syamilah

[4] Fahul Bari 16/258, syamilah.

Tahapan Pengharaman Khamar

Tahapan Pengharaman Khamar 

Pengharaman khamar itu datang secara bertahap. Pengharamannya tidak langsung tegas diharamkan.

Pelajaran penting yang bisa kita petik adalah syariat itu datang secara bertahap. Lihat Tafsir Az-Zahrawain, hlm. 355.

Dalil-dalil yang menunjukkan haramnya khamar

Dalil pertama:

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ , إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah rijsun (kotor) termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. Al-Maidah: 90-91).

Dalam ayat ini dari beberapa sisi kita dapat melihat keharaman khamar:

  • Khamar dalam ayat tersebut dikaitkan dengan penyembahan pada berhala.
  • Allah menyebut khamar dengan rijsun (jelek).
  • Khamar termasuk perbuatan setan. Setan pastilah datang dengan membawa kejelekan dan hal yang kotor.
  • Kita diperintahkan untuk menjauhi khamar.
  • Seseorang yang menjauhinya akan mendapatkan keberuntungan. Jika seseorang mendekati khamar, malah termasuk orang yang merugi.
  • Khamar dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian.
  • Allah menutup dengan mengatakan “fahal antum muntahuun”, berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). Lihat Shahih Fiqh As-Sunnah, 1:385.

Dalil kedua:

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَعَنَ اللَّهُ الْخَمْرَ وَشَارِبَهَا وَسَاقِيَهَا وَبَائِعَهَا وَمُبْتَاعَهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ

Allah melaknat khamar, orang yang meminumnya, orang yang menuangkannya, penjualnya, pembelinya, orang yang memerasnya, orang yang mengambil hasil perasannya, orang yang mengantarnya, dan orang yang meminta untuk diantarkan.” (HR. Abu Daud, no. 3674 dan Ibnu Majah, no. 3380. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Dalil ketiga:

Ijmak atau kesepakatan para ulama umat Islam menyatakan bahwa khamar itu haram. Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 5:15.

Tahapan dalam pengharaman khamar

Pertama: Awalnya khamar dibolehkan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالْأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.” (QS. An-Nahl: 67).

Kedua: Turun ayat berisi perintah menjauhkan diri dari khamar karena mudaratnya lebih besar daripada maslahatnya.

Allah Ta’ala berfirman,

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا

Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.” (QS. Al-Baqarah: 219).

Ketiga: Turun ayat untuk melarang khamar pada satu waktu, dibolehkan pada waktu lainnya.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (QS. An-Nisaa’: 43).

Keempat: Terakhir, khamar diharamkan secara tegas.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90).

Penjelasan tahapan dalam pengharaman khamar disarikan dari Tafsir Az-Zahrawain dan Tafsir As-Sa’di.

Semoga tulisan ini membawa manfaat bagi semua yang membaca. Semoga Allah menjauhkan kita dari minuman yang menjadi biang kerusakan, moga keluarga kita pun dijauhi.

Referensi:

  1. Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait.
  2. Shahih Fiqh As-Sunnah.Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Penerbit Al-Maktabah At-
  3. Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
  4. Tafsir Az-Zahrawain. Cetakan pertama, Tahun 1437 H. Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid. Penerbit Obekan.

6 Adab Ketika Masuk Pasar

6 Adab Ketika Masuk Pasar 

Mari kita praktikkan enam adab ketika masuk pasar (termasuk mal, swalayan, supermarket) agar mendapat keberkahan dan terhindar dari mara bahaya.

Pasar itu Tempat Berbagai Kerusakan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَحَبُّ الْبِلاَدِ إِلَى اللَّهِ مَسَاجِدُهَا وَأَبْغَضُ الْبِلاَدِ إِلَى اللَّهِ أَسْوَاقُهَا.

Tempat yang paling dicintai oleh Allah adalah masjid dan tempat yang paling dibenci oleh Allah adalah pasar.” (HR. Muslim, no. 671)

Imam Yahya bin Syarf An-Nawawi Asy-Syafii rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan hadits di atas,

قَوْلُهُ أَحَبُّ الْبِلَادِ إِلَى اللَّهِ مَسَاجِدُهَا لِأَنَّهَا بُيُوتُ الطَّاعَاتِ وَأَسَاسُهَا عَلَى التَّقْوَى قَوْلُهُ وَأَبْغَضُ الْبِلَادِ إِلَى اللَّهِ أَسْوَاقُهَا لِأَنَّهَا مَحَلُّ الْغِشِّ وَالْخِدَاعِ وَالرِّبَا وَالْأَيْمَانِ الْكَاذِبَةِ وَإِخْلَافِ الْوَعْدِ وَالْإِعْرَاضِ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِمَّا فِي مَعْنَاهُ وَالمَسَاجِدُ مَحَلُّ نُزُوْلِ الرَّحْمَةِ ، وَالأَسْوَاقُ ضِدُّهَا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘tempat yang paling dicintai Allah adalah masjid’ karena masjid merupakan tempat ketaatan dan didirikan atas dasar ketakwaan. Sedangkan kalimat ‘tempat yang paling Allah benci adalah pasar’, karena di pasar adalah tempat tipu-tipu, pengelabuan, riba, janji-janji palsu, pengingkaran janji, dan mengabaikan Allah, serta hal serupa lainnya. Adapun masjid adalah tempat turunnya rahmat, berbeda halnya dengan pasar.”

Jual Beli Bisa Melalaikan dari Ibadah

Perhatikan ayat yang membicarakan tentang kewajiban melakukan shalat Jumat dan perintah meninggalkan jual beli,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah: 9).

Dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim (7:279) karya Imam Ibnu Katsir rahimahullah disebutkan bahwa sebab turunnya ayat,

وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا

Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah)” (QS. Jumu’ah: 11), sebagaimana kisah yang disebutkan dalam hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ قَائِمًا يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَجَاءَتْ عِيرٌ مِنْ الشَّامِ فَانْفَتَلَ النَّاسُ إِلَيْهَا حَتَّى لَمْ يَبْقَ إِلَّا اثْنَا عَشَرَ رَجُلًا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri berkhotbah pada hari Jumat, lalu datanglah rombongan dari Syam, lalu orang-orang pergi menemuinya sehingga tidak tersisa kecuali dua belas orang saja.” (HR. Muslim, no. 863).

Dengan penjelasan di atas, penting sekali diperhatikan adab-adab ketika masuk pasar agar kita mendapatkan berkah dan terhindar dari mara bahaya.

Adab-Adab Ketika Masuk Pasar

Pertama: Berdzikir ketika masuk pasar

Dalam hadits disebutkan bahwa hendaklah lisan kita selalu basah dengan dzikir kepada Allah. Dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

جَاءَ أَعْرَابِيَّانِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ أَحَدُهُمَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ ». وَقَالَ الآخَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ شَرَائِعَ الإِسْلاَمِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَىَّ فَمُرْنِى بِأَمْرٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ. فَقَالَ « لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْباً مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ »

“Ada dua orang Arab (badui) mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas salah satu dari mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, manusia bagaimanakah yang baik?” “Yang panjang umurnya dan baik amalannya,” jawab beliau. Salah satunya lagi bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya syariat Islam amat banyak. Perintahkanlah padaku suatu amalan yang bisa kubergantung padanya.” “Hendaklah lisanmu selalu basah dengan berdzikir kepada Allah,” jawab beliau. (HR. Ahmad, 4:188, sanad sahih kata Syaikh Syu’aib Al-Arnauth).

Abu ‘Ubaidah bin ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, “Ketika hati seseorang terus berdzikir kepada Allah, maka ia seperti berada dalam shalat. Jika ia berada di pasar, lalu ia menggerakkan kedua bibirnya untuk berdzikir, maka itu lebih baik.” (Lihat Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:524). Di sini dinyatakan lebih baik karena orang yang berdzikir di pasar berarti berdzikir di kala orang-orang lalai. Para pedagang dan konsumen tentu lebih sibuk dengan tawar menawar mereka dan jarang yang ambil peduli untuk sedikit mengingat Allah barang sejenak.

Lihatlah contoh ulama salaf. Kata Ibnu Rajab Al-Hambali setelah membawahkan perkataan Abu ‘Ubaidah di atas, beliau mengatakan bahwa sebagian salaf ada yang bersengaja ke pasar hanya untuk berdzikir di sekitar orang-orang yang lalai dari mengingat Allah. Lihat Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:524.

Para ulama menganjurkan membaca dzikir: LAA ILAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIKA LAH, LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU YUHYII WA YUMIIT WA HUWA HAYYU LAA YAMUUT BI YADIHIL KHOIR WA HUWA ‘ALA KULLI SYAI-IN QODIIR ketika masuk pasar. Menurut sebagian ulama, dzikir ini berasal dari hadits yang tidak sahih. Namun, karena perintah dzikir yang disebutkan itu umum di mana pun tetap dianjurkan berdzikir, maka dzikir tadi boleh dibaca tanpa meyakini keistimewaannya.

Dzikir akan mendatangkan rasa takut kepada Allah dan semakin menundukkan diri kepada-Nya. Sedangkan orang yang lalai dari dzikir akan semakin terhalangi dari rasa takut pada Allah. Demikian kata Ibnul Qayyim mengenai keutamaan dzikir dalam kitab Al-Waabil Ash-Shoyyib. Ini menunjukkan bahwa jika seorang muslim rajin mengingat Allah di pasar, ia berarti akan mengindahkan aturan Allah, tidak berbuat curang, takut dusta dan selalu merasa diawasi oleh Allah. Jika demikian, perniagannya akan semakin berkah.

Ibnu Batthal rahimahullah berkata bahwa dzikir di pasar adalah amalan yang afdal dalam kalimat beliau,

“هذا إنما خرج على الأغلب ؛ لأن المساجد يذكر فيه اسم الله تعالى ، والأسواق قد غلب عليها اللغط واللهو والاشتغال بجمع المال ، والكَلَب على الدنيا من الوجه المباح وغيره ، وأما إذا ذُكر الله في السوق فهو من أفضل الأعمال”.

“Inilah yang berlaku umum bahwa masjid itu di dalamnya disibukkan dengan dzikir kepada Allah. Adapun pasar-pasar di dalamnya terdapat perkataan sia-sia, hal sia-sia, hanya sibuk dengan mengumpulkan harta. Itulah pada umumnya. Akhirnya yang ada di pasar adalah sibuk dengan dunia, walau itu mubah. Sehingga berdzikir kepada Allah ketika di pasar adalah amalan yang paling utama (afdal).” (Syarh Shahih Al-Bukhari, 6:249)

Kedua: Masuk pasar itu seperlunya

Apabila hendak membeli sesuatu di pasar hendaknya pembeli tidak berlama-lama di dalamnya. Hal ini lantaran banyaknya maksiat, kecurangan dan perbuatan sia-sia sehingga amalan kebaikan di dalamnya sangat sedikit.

Banyak pula wanita dan laki-laki yang memamerkan dirinya dengan berbagai jenis perhiasan dan pakaian mewah. Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu berkata,

لاَ تَكُونَنَّ إِنِ اسْتَطَعْتَ أَوَّلَ مَنْ يَدْخُلُ السُّوقَ، وَلاَ آخِرَ مَنْ يَخْرُجُ مِنْهَا، فَإِنَّهَا مَعْرَكَةُ الشَّيْطَانِ وَبِهَا يَنْصِبُ رَايَتَهُ

“Jika Anda mampu, janganlah menjadi orang yang pertama kali masuk pasar. Jangan pula menjadi yang terakhir keluar dari pasar. Sebab pasar adalah tempat perangnya setan, di sanalah ia menancapkan benderanya.” (HR Muslim, no. 2451)

Namun, masuk pasar ketika butuh tidaklah disebut makruh. Allah menyifati Rasulullah dalam ayat,

وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ

Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar.” (QS. Al-Furqan: 20)

Para sahabat juga berdagang di pasar-pasar. Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah pernah masuk pasar pada hari-hari tasyrik sambil bertakbir. Akhirnya, orang-orang di pasar ikut bertakbir.

Imam Nawawi rahimahullah dalam Al-Majmu’ berkata bahwa Al-Mawardi dan selainnya berkata,

الذم لمن أكثر ملازمة السوق وصرف أكثر الأوقات إليها والاشتغال بها عن العبادة، وهذا كما قالوه لثبوت الأحاديث في دخول النبي صلى الله عليه وسلم الأسواق مع نص القرآن

“Adapun celaan itu didapati bagi mereka yang terlalu sibuk di pasar dan kebanyakan waktu habis dengan kegiatan di pasar sehingga melupakan ibadah. Inilah yang dimaksud karena ada hadits-hadits yang membicarakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga masuk pasar, ayat Al-Qur’an pun membicarakan demikian (sehingga masuk pasar sebenarnya dibolehkan, tetapi jangan sampai melupakan ibadah).”

Ketiga: Wanita yang ke pasar hendaknya memakai pakaian syari

Hal ini tersurat dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak dari padanya.” (QS. An-Nuur: 31)

Tentang tafsiran ayat di atas, para ulama berbeda pandangan.

Pendapat pertama, menyatakan bahwa yang boleh ditampakkan adalah pakaian saja, berarti perhiasan lainnya tidaklah boleh ditampakkan.

Pendapat kedua, yang dimaksud perhiasan wanita adalah celak dan henna, serta perhiasan semisal itu. Sehingga perhiasan semacam ini tidaklah boleh ditampakkan.

Pendapat ketiga, yang boleh ditampakkan adalah wajah dan telapak tangan. Selain itu berarti wajib tertutup.
Lihat bahasan At-Tashiil li Ta’wil At-Tanzil Tafsir Surah An-Nuur, hlm. 186-187.

Apalagi di pasar begitu bebas campur baur antara laki-laki dan perempuan dan sangat sulit dihindari, sehingga menutup aurat itu sangat-sangat urgen.

Keempat: Cara Berbelanja Perlu Diatur

1. Bersikap pertengahan, jangan terlalu boros dan jangan serba kekurangan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan: 67)

2. Buat rencana belanja sebelum masuk pasar.

3. Berbelanja sesuai kebutuhan, yang didahulukan adalah kebutuhan primer (dhoruri: jika tidak ada, bisa binasa), lalu kebutuhan sekunder (haaji: jika tidak ada, tetap bisa hidup, tetapi penuh kesulitan), lalu kebutuhan tersier (tahsini, pelengkap saja).

4. Belanja sesuai kemampuan.

5. Berbelanja dengan bijak.

6. Selama ada sesuatu yang bisa dimanfaatkan, tidak mesti membeli yang baru.

7. Jangan sampai berbelanja dengan berutang.

Kelima: Berlaku jujur dan amanah

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ

Tanda orang munafik itu ada tiga, dusta dalam perkataan, menyelisihi janji jika membuat janji dan khinat terhadap amanah.” (HR. Bukhari, no. 2682 dan Muslim, no. 59)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ التُّجَّارَ يُبْعَثُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فُجَّارًا إِلاَّ مَنِ اتَّقَى اللَّهَ وَبَرَّ وَصَدَقَ

Sesungguhnya para pedagang akan dibangkitkan pada hari kiamat nanti sebagai orang-orang fajir (jahat) kecuali pedagang yang bertakwa kepada Allah, berbuat baik, dan berlaku jujur.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, sahih dilihat dari jalur lain).

Keenam: Menundukkan pandangan

Dalam ayat disebutkan,

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْۚذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْۗإِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ , وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya.” (QS. An-Nuur: 30-31)

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ عَلَى الطُّرُقَاتِ » . فَقَالُوا مَا لَنَا بُدٌّ ، إِنَّمَا هِىَ مَجَالِسُنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا . قَالَ « فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلاَّ الْمَجَالِسَ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهَا » قَالُوا وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ قَالَ « غَضُّ الْبَصَرِ ، وَكَفُّ الأَذَى ، وَرَدُّ السَّلاَمِ ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ ، وَنَهْىٌ عَنِ الْمُنْكَرِ »

Janganlah kalian duduk-duduk di pinggir jalan.” Mereka menyatakan, “Itu kebiasaan kami yang sudah biasa kami lakukan karena itu menjadi majelis tempat kami bercengkrama.” Beliau bersabda, “Jika kalian tidak mau meninggalkan majelis seperti itu maka tunaikanlah hak jalan tersebut.” Mereka bertanya, “Apa hak jalan itu?” Beliau menjawab, “Menundukkan pandangan, menyingkirkan gangguan di jalan, menjawab salam, dan amar makruf nahi mungkar.” (HR. Bukhari, no. 2465)

Demikian berbagai adab saat di pasar. Semoga kita senantiasa mendapatkan keberkahan dan dijauhi dari mara bahaya.

MENGINGAT KEMATIAN MEMUTUS PANJANG ANGAN-ANGAN

MENGINGAT KEMATIAN MEMUTUS PANJANG ANGAN-ANGAN

Kita lanjutkan kebersamaan kita dalam mengkaji kitab Riyadush Shaalihiin, Karya Al-Imam Yahya Ibnu Saraf An-Nawawi rahimahullah.

Pada pertemuan sebelumnya telah sampai pada Bab 64 tentang keutamaan seseorang yang diberikan kecukupan oleh Allah سبحانه و تعالى dan ia bersyukur dengan menjadikan kecukupan dan kenikmatan tersebut di jalan menuju Allah سبحانه و تعالى, berlomba dalam setiap kabaikan dan meraih pahala terbaik dari-Nya

Setelah sebelumnya dibahas serangkaian ayat pada surah Al-Lail dimana Allah سبحانه و تعالى menjelaskan hamba-hamba yang kelak akan dimudahkan kebaikan bagi mereka.

Allah سبحانه و تعالى berfirman:

فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَاتَّقَىٰ

“Siapa yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,”

وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى

“serta membenarkan adanya (balasan) yang terbaik (surga),”

فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ

“maka Kami akan melapangkan baginya jalan kemudahan (kebahagiaan)” (Qs. Al Lail : 5-7)

Para pembaca semuanya di manapun berada, ada beberapa hadits yang dibawakan oleh Imam An Nawawi rahimahullahu ta’ala dalam bab ini, hadits yang dibawakan oleh sahabat Abdullah ibn Mas’ud radhiyallahu anhu dan juga dibawakan oleh Abdullah ibn Umar radhiyallahu anhuma, dan hadits-hadits ini telah disebutkan pada bab sebelum-sebelumnya, Rasulullah ﷺ bersabda,

لاَحَسَدَ إِلاَ فِي اثْنَتَيْنِ

tidak ada iri yang dibenarkan, (yang dibolehkan) kecuali pada dua perkara

Tidak boleh kita iri, tidak boleh hasad kecuali kepada dua, bagaimana bentuk iri yang dibenarkan dan dibolehkan itu? Allah سبحانه و تعالى mewahyukan kepada Rasulullah ﷺ

Rasulullah ﷺ menjelaskan:

رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَهُوَ يُهْلِكُهُ فِي الْحَقِّ

iri kepada seseorang yang telah dianugrahi oleh Allah harta, namun ia habiskan hartanya itu di jalan kebenaran agama Allah سبحانه و تعالى”

Jadi seseorang yang punya kekayaan hanya mampir saja tidak untuk memperkaya dirinya, kekayaan itu diinfaqkannya di jalan kebenaran agama Allah, maka boleh seseorang itu iri kepada orang seperti ini.

Kemudian yang kedua,

وَ رَجُلٌ أَتَاهُ اللهُ الْحِكْمةَ فَهُوَ يَقْضِى ِبهَا وَيُعَلِمُهَا

Seseorang yang dianugrahi oleh Allah سبحانه و تعالى hikmah ilmu, dan dia beramal dengannya berhukum dengannya memutuskan segala sesuatu dengan ilmu tersebut dan dia mengajarkannya

Maka kita boleh iri dengan orang tersebut.

Kemudian Imam An Nawawi rahimahullahu ta’ala membawakan hadits yang terakhir di Bab ini (Bab 64), hadistsyang dibawakan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ta’ala anhu, disebutkan bahwa kaum fuqara dari kalangan muhajirin pernah mendatangi Rasulullah ﷺ dan mereka berkata kepada beliau:

“Wahai Rasulullah  orang-orang yang memiliki harta yang banyak, bukan seperti kami, mereka telah menggapai derajat-derajat yang tinggi dan peluang mereka mendapatkan kenikmatan abadi di surga lebih besar”

Rasulullah ﷺ bersabda yang artinya “Maukah kalian aku ajarkan sesuatu, yang kalau kalian amalkan maka kalian dapat mencapai derajat seperti yang pernah dicapai oleh orang-orang sebelum kalian, oleh orang-orang yang telah mendahului derajat tersebut, bahkan kalian juga bisa mendahului orang-orang yang belum melakukannya, dan tidak akan ada orang yang menjadi lebih baik dari kalian kecuali kalau mereka melakukan seperti yang kalian lakukan”.

Setiap Nabi memiliki telaga.

Setiap Nabi memiliki telaga. Setiap telaga berbeda kualitasnya. Dan setiap Nabi berlomba agar telaganya paling banyak dikunjungi. Dan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam berharap menjadi telaga yang paling banyak dikunjungi. Telaga Nabi dinamakan Al-Kautsar. Airnya lebih putih dari susu, lebih manis dari madu, lebih wangi dari minyak misk, gayungnya seperti bintang2 di langit, air ini datang dari sungai Al-Kautsar. Nama telaga Al Kautsar diambil dari sumbernya yaitu sungai Al Kautsar.

“Sesungguhnya setiap nabi memiliki telaga. Dan mereka saling membanggakan siapakah yang telaganya paling banyak dikunjungi. Aku berharap telagakulah yang paling banyak pengunjungnya”. HR. Tirmidzi dan dinyatakan sahih oleh al-Albany.

“Saya menunggu kalian di telaga. Siapa yang mendatangiku, dia akan minum airnya dan siapa yang minum airnya, tidak akan haus selamanya.” (HR. Bukhari 6583 & Muslim 6108)

Kita ditunggu oleh Nabi ditelaga haud!
Bagaimana caranya?, ‘minumlah’ sunnah-sunnah Nabi di zaman ini, maksudnya, amalkanlah sunnah sunnah Nabi yang mulia. Kalau kita menikmati sunnah sunnah Nabi maka nantinya anda akan menikmati air ditelaganya.

Kemaksiatan Penghalang Turunnya Hujan

Kemaksiatan Penghalang Turunnya Hujan 

Ada beberapa hal keimanan yang mesti diimani seorang muslim berkaitan dengan hujan, yaitu:

Pertama: Tidak ada yang mampu menurunkan hujan melainkan Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman,

مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Fathir: 2). Sebagian ulama seperti penulis tafsir Al Jalalain mengatakan bahwa rahmat yang dimaksudkan di sini adalah rizki dan hujan.[1]

Al Qurthubi mengatakan bahwa sebagian ulama menafsirkan rahmat dalam ayat di atas dengan hujan atau rizki. Mereka mengatakan, “Hujan atau rizki yang Allah datangkan pada mereka, tidak ada satu pun yang dapat menahannya. Jika Allah menahannya untuk turun, maka tidak ada seorang pun yang dapat menurunkan hujan tersebut.”

Ada pula ulama yang memaksudkan rahmat di sini dengan diutusnya rasul karena rasul adalah rahmat untuk manusia. Ada pula ulama yang menafsirkan rahmat dengan do’a, taubat, taufik dan hidayah. Namun yang lebih tepat, makna rahmat di sini adalah umum mencakup segala apa yang dimaksudkan oleh para ulama tadi. Jadi makna rahmat adalah hujan, rizki, do’a, taubat, taufik dan hidayah.[2]

Kedua: Diturunkannya hujan termasuk kunci ilmu ghoib dan hanya Allah yang tahu kapan turunnya

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الأرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Luqman: 34)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

مِفْتَاحُ الْغَيْبِ خَمْسٌ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ اللَّهُ لاَ يَعْلَمُ أَحَدٌ مَا يَكُونُ فِى غَدٍ ، وَلاَ يَعْلَمُ أَحَدٌ مَا يَكُونُ فِى الأَرْحَامِ ، وَلاَ تَعْلَمُ نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا ، وَمَا تَدْرِى نَفْسٌ بِأَىِّ أَرْضٍ تَمُوتُ ، وَمَا يَدْرِى أَحَدٌ مَتَى يَجِىءُ الْمَطَرُ

Kunci ilmu ghoib ada lima, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Ta’ala. [1] Tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yangg terjadi keesokan harinya. [2] Tidak ada seorang pun mengetahui apa yang terjadi dalam rahim. [3] Tidak ada satu jiwa pun yang mengetahui apa yang ia lakukan besok. [4] Tidak ada satu jiwa pun yang mengetahui di manakah ia akan mati. [5] Tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan turunnya hujan.”[3]

Inilah lima hal yang disebut dengan mafatihul ghoib (kunci ilmu ghoib). Dan di antara kunci ilmu ghoib adalah diturunkannya hujan.

Qotadah mengatakan, “Tidak ada seorang pun yang mengetahui kapankah diturunkannya hujan, malam ataukah siang hari.”[4]

Ketiga: Ada Malaikat yang bertugas menurunkan hujan

Dalam Al Mu’jam Al Kabir, Imam Ath Thobroni meriwayatkan tentang percakapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan malaikat Jibril, di antaranya,

قُلْتُ: عَلَى أَيِّ شَيْءٍ مِيكَائِيلُ؟ قَالَ: عَلَى النَّبَاتِ وَالْقَطْرِ

“Aku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) bertanya, “Tentang apakah Mikail itu ditugaskan? Ia (yaitu Jibril) menjawab, “Ia ditugaskan mengurus tanaman dan hujan.

Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengatakan bahwa dalam sanad hadits ini terdapat Muhammad bin ‘Abdirrahman bin Abi Laila. Ia telah didho’ifkan (dilemahkan) karena jeleknya hafalan, namun ia tidak ditinggalkan.[5] Ibnu Katsir mengatakan bahwa hadits ini ghorib dari sisi ini.[6]

Ibnu Katsir menjelaskan, “Mikail ditugaskan untuk mengurus hujan dan tumbuh-tumbuhan yang darinya berbagai rizki diciptakan di alam ini. Mikail memiliki beberapa pembantu. Mereka melaksanakan apa yang diperintahkan kepada mereka melalui Mikail berdasarkan perintah dari Allah. Mereka mengatur angin dan awan, sebagaimana yang dikehendaki oleh Rabb yang Maha Mulia.  Sebagaimana pula telah kami riwayatkan bahwa tidak ada satu tetes pun air yang turun dari langit melainkan Mikail bersama malaikat lainnya menurunkannya di tempat tertentu di muka bumi ini.”[7]

Keempat: Turunnya hujan telah ditulis di Lauhul Mahfuzh[8]

Kejadian apa saja yang terjadi di muka bumi ini telah diketahui, tercatat dalam Lauhul Mahfuzh sejak 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi dan telah ditakdirkan oleh Allah. Termasuk dalam hal ini adalah diturunkannya hujan, kapan terjadinya, di mana diturunkan, berapa intensitasnya dan bagaimana dampak dari hujan tersebut.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

Allah telah mencatat takdir setiap makhluk sebelum 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.”[9]

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ فَقَالَ لَهُ اكْتُبْ. قَالَ رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ قَالَ اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ

Sesungguhnya yang pertama kali Allah ciptakan adalah qolam. Lalu Allah firmankan padanya, ‘Tulislah’. Qolam mengatakan, “Apa yang akan aku tulis?’ Allah berfirman, ’Tulislah berbagai takdir dari segala sesuatu yang akan terjadi hingga hari kiamat’. ”[10]

Berkaitan dengan qadha’ Allah terhadap segala sesuatu yang akan terjadi pada makhluk-Nya, Allah berfirman,

فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ

Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan: 4). Malam yang dimaksudkan di sini adalah malam Lailatul Qadar sebagaimana pendapat mayoritas ulama tafsir.[11]

Asy Syaukani menyebutkan sebagaimana dikeluarkan oleh Muhammad bin Nashr, Ibnul Mundzir dan Ibnu Abi Hatim, bahwa Ibnu ‘Abbas menafsirkan ayat di atas, “Pada malam lailatul qadar segala sesuatu dicatat dalam Ummul Kitab (yang ada di Lauhul Mahfuzh) berupa rizki, kematian, kehidupan, hujan, sampai orang yang berhaji yaitu si fulan akan berhaji dan si fulan akan berhaji.”[12]

Kelima: Ucapan istighfar dapat menyebabkan turunnya hujan

Allah Ta’ala berfirman,

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا (12)

Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12)

Terdapat sebuah atsar dari Hasan Al Bashri rahimahullah sebagai berikut.

أَنَّ رَجُلًا شَكَى إِلَيْهِ الْجَدْب فَقَالَ اِسْتَغْفِرْ اللَّه ، وَشَكَى إِلَيْهِ آخَر الْفَقْر فَقَالَ اِسْتَغْفِرْ اللَّه ، وَشَكَى إِلَيْهِ آخَر جَفَاف بُسْتَانه فَقَالَ اِسْتَغْفِرْ اللَّه ، وَشَكَى إِلَيْهِ آخَر عَدَم الْوَلَد فَقَالَ اِسْتَغْفِرْ اللَّه ، ثُمَّ تَلَا عَلَيْهِمْ هَذِهِ الْآيَة

Sesungguhnya seseorang mengadukan kepada Al Hasan tentang musim paceklik yang terjadi. Lalu Al Hasan menasehatkan, “Beristigfarlah (mohon ampunlah) kepada Allah”.

Kemudian orang lain mengadu lagi kepada beliau tentang kemiskinannya. Lalu Al Hasan menasehatkan, “Beristigfarlah (mohon ampunlah) kepada Allah”.

Kemudian orang lain mengadu lagi kepada beliau tentang kekeringan pada lahan (kebunnya). Lalu Al Hasan menasehatkan, “Beristigfarlah (mohon ampunlah) kepada Allah”.

Kemudian orang lain mengadu lagi kepada beliau karena sampai waktu itu belum memiliki anak. Lalu Al Hasan menasehatkan, “Beristigfarlah (mohon ampunlah) kepada Allah”.

Kemudian setelah itu Al Hasan Al Bashri membacakan surat Nuh di atas.[13]

Maksud surat Nuh di atas sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir, “Jika kalian meminta ampun (beristigfar) kepada Allah dan mentaati-Nya, niscaya kalian akan mendapatkan banyak rizki, akan diberi keberkahan hujan dari langit, juga kalian akan diberi keberkahan dari tanah dengan ditumbuhkannya berbagai tanaman, dilimpahkannya air susu, serta akan dilapangkan pula harta dan anak, yaitu kalian akan diberi anak dan keturunan. Di samping itu, Allah juga akan memberikan kepada kalian kebun-kebun dengan berbagai buah yang di tengah-tengahnya akan dialirkan sungai-sungai.”[14]

Keenam: Suara geledek adalah malaikat yang membawa api

Ada tiga istilah untuk kilatan petir dan geledek yaitu ar ro’duash showa’iq dan al barqAr ro’du adalah istilah untuk suara petir atau geledek. Sedangkan ash showa’iq dan al barq adalah istilah untuk kilatan petir, yaitu cahaya yang muncul beberapa saat sebelum adanya suara petir.[15]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, ”Dalam hadits marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen) pada riwayat At Tirmidzi dan selainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang ar ro’du, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

مَلَكٌ مِنْ الْمَلَائِكَةِ مُوَكَّلٌ بِالسَّحَابِ مَعَهُ مخاريق مِنْ نَارٍ يَسُوقُ بِهَا السَّحَابَ حَيْثُ شَاءَ اللَّهُ

Ar ro’du adalah malaikat yang diberi tugas mengurus awan dan bersamanya pengoyak dari api yang memindahkan awan sesuai dengan kehendak Allah.”[16]

Disebutkan dalam Makarimil Akhlaq milik Al Khoro-ithi, ’Ali pernah ditanya mengenai ar ro’du. Beliau menjawab, ”Ar ro’du adalah malaikat. Beliau ditanya pula mengenai al barq. Beliau menjawab, ”Al barq (kilatan petir) itu adalah pengoyak di tangannya.” Dan dalam riwayat lain dari Ali juga,” Al barq itu adalah pengoyak dari besi di tangannya”.”

Kemudian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan lagi, ”Ar ro’du adalah mashdar (kata kerja yang dibendakan) berasal dari kata ro’ada, yar’udu, ro’dan (yang berarti gemuruh, pen). … Namanya gerakan pasti menimbulkan suara. Malaikat adalah yang menggerakkan (menggetarkan) awan, lalu memindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya. Dan setiap gerakan di alam ini baik yang di atas (langit, pen) maupun di bawah (bumi, pen) adalah dari  malaikat. Suara manusia dihasilkan dari gerakan bibir, lisan, gigi, lidah, dan dan tenggorokan. Dari situ, manusia bisa bertasbih kepada Rabbnya, bisa mengajak kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran. Oleh karena itu,  ar ro’du (suara gemuruh) adalah suara yang membentak awan. Dan al barq (kilatan petir) adalah kilauan air atau kilauan cahaya. … ”[17]

Ketujuh: Kewajiban zakat yang tidak ditunaikan dapat menghalangi turunnya hujan

Jika suatu kaum yang sudah memiliki kewajiban mengeluarkan zakat enggan mengeluarkan zakat, itu bisa menjadi sebab terhalangnya turunnya hujan.

Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَمْ يَمْنَعْ قَوْمٌ زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ إِلا مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنَ السَّمَاءِ , وَلَوْلا الْبَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوا.

Jika suatu kaum enggan mengeluarkan zakat dari harta-harta mereka, maka mereka akan dicegah dari mendapatkan hujan dari langit. Sekiranya bukan karena binatang-binatang ternak, niscaya mereka tidak diberi hujan.”[18]

Dari Buraidah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا نَقَضَ قَوْمٌ العَهْدَ قَطٌّ إِلاَّ كَانَ القَتْلُ بَيْنَهُمْ وَمَا ظَهَرَتْ فَاحِشَةً فِي قَوْمٍ قَطٌّ إِلاَّ سَلَّطَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِمْ المَوْتَ وَلاَ مَنَعَ قَوْمٌ الزَّكَاةَ إِلاَّ حَبَسَ اللهُ عَنْهُمْ القَطْرَ

Tidaklah suatu kaum mengingkari janji mereka melainkan akan ada pembunuhan di tengah-tengah mereka. Tidaklah tampak perbuatan keji di tengah-tengah suatu kaum melainkan Allah akan kuasakan kematian pada mereka. Dan tidaklah suatu kaum enggan mengeluarkan zakat melainkan Allah akan menahan hujan untuk mereka.”[19]

Asy Syaukani menjelaskan faedah hadits yang serupa dengan hadits di atas:

  1. Enggan menunaikan zakat menjadi sebab tidak diturunkannya hujan dari langit.
  2. Jika hujan itu diturunkan padahal maksiat merajalela, maka itu hanya karena rahmat Allah Ta’ala pada binatang ternak.[20]

Hal ini menunjukkan bahwa dengan seseorang menunaikan zakat, berarti ia telah memakmurkan bumi Allah.

Semoga kita bisa mengimani beberapa bentuk keimanan yang berkaitan dengan hujan ini dengan keimanan yang benar, mantap dan kokoh.

Hanya Allah yang memberi taufik.


[1] Lihat Tafsir Al Jalalain, Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al Muhalla dan Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr As Suyuthi, hal. 434, Maktabah Ash Shofaa, cetakan pertama, tahun 1425 H.

[2] Lihat Al Jaami’ Li Ahkamil Qur’an (Tafsir Al Qurtubhi), Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr Al Qurthubi, 17/344, Muassasah Ar Risalah.

[3] HR.Bukhari no. 1039, dari Ibnu ‘Umar.

[4] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 11/86, Muassasah Qurthubah.

[5] Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 6/307, Darul Ma’rifah.

[6] Al Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir, 1/48, Mawqi’ Ya’sub

[7] Al Bidayah wan Nihayah, 1/50.

[8] Lauhul Mahfuzh adalah kitab Allah di mana Allah mencatat setiap takdir makhluk. Lauhul Mahfuzh dalam Al Qur’an biasa disebut Al Kitab, Al Kitabul Mubiin, Al Imamul Mubin, Ummul Kitab, dan Al Kitab Al Masthur.

[9] HR. Muslim no. 2653, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash.

[10] HR. Abu Daud (4700), dari ‘Ubadah bin Ash Shoomit. Juga diriwayatkan oleh Tirmidzi (2156) dalam Al Qodr dan (3316) dalam at tafsir dan selainnya. Ini adalah hadits shohih. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud no. 4700 dan Sunan wa Dho’if Sunan At Tirmidzi no. 2155.

[11] Lihat Fathul Qodir, Asy Syaukani, 6/422, Mawqi’ At Tafasir.

[12] Fathul Qodir, 6/425.

[13] Riwayat ini disebutkan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar di Fathul Bari, 11/98, Darul Ma’rifah.

[14] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim Ibnu Katsir, 14/140, Muassasah Qurthubah.

[15] Lihat penjelasan para ulama selanjutnya. Mengenai makna istilah ar ro’du dan ash showa’iq, silakan lihat Rosysyul Barod Syarh Al Adab Al Mufrod, Dr. Muhammad Luqman As Salafi, hal. 381, Dar Ad Da’i, cetakan pertama, Jumadil Ula, 1426 H.

[16] HR. Tirmidzi no. 3117. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[17] Lihat Majmu’ Al Fatawa, 24/263-264.

[18] HR. Thobroni dalam Al Mu’jam Al Kabir (13619). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahih Al Jami no. 5204.

[19] Lihat Ash Shahihah no. 107. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[20] Nailul Author, Asy Syaukani, 4/26.