Hal-Hal Yang Dimakruhkan Dalam Puasa
Hal-Hal Yang Dimakruhkan Dalam Puasa
- Berlebihan dalam istinsyaq saat berwudhu.
Rasulullah ﷺ bersabda,
أَسْبِغِ الْوُضُوءَ، وَبَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ، إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا
“Sempurnakanlah wudu dan bersungguh-sungguhlah dalam istinsyaq, kecuali engkau dalam keadaan berpuasa.” ([1])
Berdasarkan hadits ini, mayoritas ulama mengatakan makruhnya berlebihan dalam istinsyaq. ([2])
- Mencium pasangan
Dalam membahas masalah ini, maka harus dibedakan antara orang yang mudah bangkit syahwatnya dengan orang yang bisa menjaga syahwatnya. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah ﷺ melakukannya sebagaimana diriwayatkan Aisyah i,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ
“Rasulullah ﷺ menciumku saat beliau sedang berpuasa. Beliau adalah orang yang paling mampu mengendalikan nafsunya dari pada kalian.” ([3])
Dalam riwayat lain disebutkan bahwasanya Rasulullah ﷺ mengizinkan dan melarang sahabat untuk melakukannya. Dari Abu Hurairah h,
أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمُبَاشَرَةِ لِلصَّائِمِ، «فَرَخَّصَ لَهُ»، وَأَتَاهُ آخَرُ، فَسَأَلَهُ، «فَنَهَاهُ»، فَإِذَا الَّذِي رَخَّصَ لَهُ شَيْخٌ، وَالَّذِي نَهَاهُ شَابٌّ
“Bahwasanya seorang laki-laki bertanya kepada Nabi ﷺ mengenai cumbuan orang yang berpuasa, lalu beliau memberikan keringanan kepadanya. Dan orang yang lain datang kepada beliau dan bertanya mengenai hal yang sama, lalu beliau melarangnya. Ternyata orang yang beliau beri keringanan adalah orang yang sudah tua, sedangkan orang yang beliau larang adalah orang yang masih muda.” ([4])
Hadits ini menunjukkan bahwasanya perbedaan kondisi seseorang memberikan pengaruh terhadap perbedaan hukum. Oleh karenanya, para ulama juga membedakan hukumnya tergantung kondisi seseorang. Ibnu Qudamah rahimahullah, berkata,
فَإِنَّ الْمُقَبِّلَ إذَا كَانَ ذَا شَهْوَةٍ مُفْرِطَةٍ، بِحَيْثُ يَغْلِبُ عَلَى ظَنِّهِ أَنَّهُ إذَا قَبَّلَ أَنْزَلَ، لَمْ تَحِلَّ لَهُ الْقُبْلَةُ؛ لِأَنَّهَا مُفْسِدَةٌ لِصَوْمِهِ، فَحَرُمَتْ، كَالْأَكْلِ.
“Sesungguhnya orang yang mencium jika memiliki syahwat yang sangat besar, di mana dia yakin jika ia mencium akan membuat maninya keluar, maka tidak halal baginya untuk mencium pasangannya. Hal ini dikarenakan perbuatan tersebut membuat puasanya rusak/batal, sehingga diharamkan seperti makan.”
Kemudian beliau berkata,
وَإِنْ كَانَ ذَا شَهْوَةٍ، لَكِنَّهُ لَا يَغْلِبُ عَلَى ظَنِّهِ ذَلِكَ، كُرِهَ لَهُ التَّقْبِيلُ؛ لِأَنَّهُ يُعَرِّضُ صَوْمَهُ لِلْفِطْرِ، وَلَا يَأْمَنُ عَلَيْهِ الْفَسَادُ
“Jika dia memiliki syahwat, namun dia meyakini tidak akan terjadi hal tersebut. Dalam kondisi ini mencium hukumnya makruh karena dia bisa membuat puasanya batal, dan dia tidak bisa aman darinya.”([5])
Imam Nawawi juga menyatakan hal yang sama, beliau rahimahullah berkata,
ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا كَرَاهَتُهَا لِمَنْ حَرَّكَتْ شَهْوَتَهُ وَلَا تُكْرَهُ لِغَيْرِهِ وَالْأَوْلَى تَرْكُهَا فَإِنْ قَبَّلَ مَنْ تُحَرِّكُ شَهْوَتَهُ وَلَمْ يُنْزِلْ لَمْ يَبْطُلْ صَوْمُهُ
“Kami telah sebutkan dalam mazhab kami bahwasanya mencium hukumnya makruh bagi orang yang syahwatnya dapat bangkit dikarenakan mencium. Adapun orang yang syahwatnya tidak bangkit maka tidak makruh. Yang lebih utama adalah meninggalkan perbuatan tersebut. Seandainya seseorang yang mencium kemudian syahwatnya bangkit namun tidak menyebabkan maninya keluar maka puasanya tidak batal.” ([6])
- Wishal ([7])
- Banyak tidur di siang hari. ([8])
Orang yang banyak tidur puasanya sah dan mendapatkan pahala. Akan tetapi, dia telah kehilangan banyak pahala karena telah menyia-nyiakan waktunya dan tidak menjaga ibadah puasanya dengan berzikir, berdoa, membaca Al-Qur’an, dan ibadah lainnya. ([9])
- Mencicipi makanan.
Tidak mengapa bagi orang yang berpuasa untuk mencicipi makanan jika memang dibutuhkan. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu,
لَا بَأْسَ أَنْ يَذُوقَ الْخَلَّ أَوِ الشَّيْءَ، مَا لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وَهُوَ صَائِمٌ
“Tidak mengapa mencicipi cuka atau yang lainnya selama tidak sampai ke tenggorokannya, dan dia dalam keadaan berpuasa.” ([10])
Adapun jika mencicipinya tanpa ada kebutuhan, maka ini dimakruhkan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh ulama mazhab Hanabilah,
وَيُكْرَهُ ذَوْقُ طَعَامٍ بِلاَ حَاجِةٍ
“Dimakruhkan mencicipi makanan tanpa adanya kebutuhan.” ([11])
- Mengumpulkan air liur lalu menelannya
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,
ويُكْرَهُ للصّائِمِ جَمْعُ رِيقِه وابْتِلاعُه؛ لإِمْكانِ التَّحَرُّزِ منه. فإن جَمَعَه ثم ابْتَلَعَه قَصْدًا، لم يُفَطِّرْه؛ لأنَّه يَصِلُ إلى جَوْفِه مِن مَعِدَتِه
“Dimakruhkan bagi orang yang berpuasa mengumpulkan air liur dan menelannya. Hal ini dikarenakan memungkinkan bagi seseorang untuk menghindarinya. Namun, jika ia mengumpulkan air liurnya kemudian dengan sengaja menelannya maka hal ini tidak membatalkan puasanya. Dikarenakan air liur yang masuk ke dalam tubuhnya adalah sesuatu yang berasal dari lambungnya.” ([12])
Permasalahan: Bersiwak setelah zawal
Sebagian ulama mengatakan makruhnya siwak setelah zawal.([13]) Mereka berdalil dengan sabda Rasulullah ﷺ,
إِذَا صُمْتُمْ فَاسْتَاكُوا بِالْغَدَاةِ وَلَا تَسْتَاكُوا بِالْعَشِيِّ فَإِنَّ الصَّائِمَ إِذَا يَبِسَتْ شَفَتَاهُ كَانَ لَهُ نُورٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Jika engkau sedang puasa, bersiwaklah di pagi hari dan jangan bersiwak di siang hari([14]). Karena orang yang puasa itu jika kering dua bibirnya akan mendapat cahaya di hari kiamat.” ([15])
Sebagian ulama lain memandang bahwa bersiwak disyariatkan setiap waktu. ([16])Adapun hadits pelarangan bersiwak di siang hari dihukumi para ulama sebagai hadits lemah sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Terlebih lagi dalil tersebut bertentangan dengan keumuman dalil lain yang sahih, yaitu sabda Rasulullah ﷺ,
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي أَوْ عَلَى النَّاسِ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلاَةٍ
“Sekiranya tidak memberatkan ummatku atau manusia, niscaya aku akan perintahkan mereka untuk bersiwak pada setiap kali hendak shalat.” ([17])
Dalam riwayat lain,
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوءٍ
“Sekiranya tidak memberatkan ummatku niscaya aku akan perintahkan mereka untuk bersiwak pada setiap kali wudu.” ([18])
Syekh as-Sindi berkata,
وَفِيهِ دلَالَةٌ عَلَى أَنَّه لَا مَانِعَ مِنْ إِيجَابِ السِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ إِلَّا مَا يَخَافُ مِنْ لُزُومِ الْمَشَقَّةِ عَلَى النَّاسِ وَيلْزمُ مِنْهُ أَن يكونَ الصَّوْمُ غيرَ مَانعٍ مِنْ ذَلِك
“Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa tidak ada penghalang dari kewajiban bersiwak setiap shalat kecuali khawatir dari memberatkan terhadap manusia. Hal ini berkonsekuensi puasa bukanlah penghalang dari kewajiban tersebut.” ([19])
___________
Footnote:
([1]) HR. Ibnu Majah No. 407. Dinyatakan sahih oleh al-Albani.
([2]) Lihat: Al-Mughni (1/34).
([3]) HR. Muslim No. 1106.
([4]) HR. Abu Daud No. 2387.
([5]) Al-Mughni (3/127).
([6]) Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (6/355).
([7]) Lihat: Mawahib al-Jalil Fi Syarh Mukhtashar (1/78).
([8]) Lihat: Mawahib al-Jalil Fi Syarh Mukhtashar (1/78).
([9]) Lihat: Fatawa Nur Ala ad-Darb (16/45).
([10]) HR. Ibnu Abu Syaibah No. 9277. Dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam kitabnya Irwa al-Ghalil No. 937.
([11]) Zad al-Mustaqni’ Fi Ikhtishar al-Muqni’, hlm 83.
([12]) Syarh al-Kabir (7/475).
([13]) Ini adalah pendapat mazhab Hanabilah [Lihat: Al-Hidayah ‘Ala Mazhab al-Imam Ahmad (1/160) dan Syafi’iyah [Lihat: Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzzab (6/377)].
([14]) الْعَشِيِّ adalah waktu di antara zawal hingga terbenamnya matahari. Disebutkan juga maknanya adalah waktu setelah Asar. [Lihat: At-Taisir Bisyarh al-Jami’ ash-Shaghir (1/113)].
([15]) HR. Thabrani No. 3696. Dinyatakan daif oleh al-Albani dalam kitabnya Irwa’ al-Ghalil, hlm, 67.
([16]) Ini merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. [Lihat: Al-Mughni 1/72)].
([17]) HR. Bukhari No. 887.
([18]) HR. Bukhari (3/31).
([19]) Hasyiyah as-Sindi ‘Ala Sunan an-Nasai (1/12).
Terlalu Kenyang Bikin Malas Ibadah
Terlalu Kenyang Bikin Malas Ibadah
Memang betul terlalu kenyang, kadang ketika kenyang kita akan semakin malas dalam beraktivitas dan juga dalam ibadah. Ketika kenyang kita pun akan lebih senang untuk merebahkan badan untuk tidur daripada bergerak dan beraktivitas. Imam Syafi’i adalah di antara ulama yang memberi contoh pada kita agar bersikap sederhana dalam makan.
Nasehat Imam Syafi’i rahimahullah yang kami maksud adalah sebagai berikut.
Abu ‘Awanah Al Isfiroyaini berkata bahwa Ar Robi berkata bahwa ia mendengar Imam Asy Syafi’i berkata,
ما شبعت منذ ست عشرة سنة إلا مرة، فأدخلت يدي فتقيأتها
“Aku tidaklah pernah kenyang selama 16 tahun kecuali sekali. Ketika kenyang seperti itu aku memasukkan tanganku (dalam mulut) agar aku bisa memuntahkan (makanan di dalam).”
Ibnu Abi Hatim dari Ar Robi’ menambahkan (perkataan Imam Syafi’i),
لان الشبع يثقل البدن، ويقسي القلب، ويزيل الفطنة، ويجلب النوم، ويضعف عن العبادة
“Karena yang namanya kenyang membuat badan menjadi berat, hati menjadi keras, kecerdasan berkurang, lebih banyak tidur dan malas ibadah.” (Siyar A’lamin Nubala, 10: 36)
Mengenai hadits yang menganjurkan makan sebelum kenyang sebenarnya dho’if. Akan tetapi maknanya benar dan bisa diamalkan. Dan sebenarnya makan sampai kenyang tidaklah masalah ketika tidak sampai menimbulkan bahaya.
Syaikh ‘Abdul Aziz bin ‘Abdillah bin Baz ditanya: Bagaimana keshahihan hadits berikut:
نحن قوم لا نأكل حتى نجوع وإذا أكلنا لا نشبع
“Kita (kaum muslimin) adalah kaum yang hanya makan bila lapar dan berhenti makan sebelum kenyang.“
Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjawab:
Hadits ini memang diriwayatkan dari sebagian sahabat yang bertugas sebagai utusan, namun sanadnya dhaif. Diriwayatkan bahwa para sahabat tersebut berkata dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
نحن قوم لا نأكل حتى نجوع وإذا أكلنا لا نشبع
“Kita (kaum muslimin) adalah kaum yang hanya makan bila lapar dan berhenti makan sebelum kenyang“
Maksudnya yaitu bahwa kaum muslimin itu hemat dan sederhana.
Maknanya benar, namun sanadnya dho’if, silakan periksa di Zaadul Ma’ad dan Al Bidayah Wan Nihayah. Faidahnya, bahwa seseorang baru makan sebaiknya jika sudah lapar atau sudah membutuhkan. Dan ketika makan, tidak boleh berlebihan sampai kekenyangan. Adapun rasa kenyang yang tidak membahayakan, tidak mengapa. Karena orang-orang di masa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan masa selain mereka pun pernah makan sampai kenyang. Namun mereka menghindari makan sampai terlalu kenyang. Terkadang Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengajak para sahabat ke sebuah jamuan makan. Kemudian beliau menjamu mereka dan meminta mereka makan. Kemudian mereka makan sampai kenyang. Setelah itu barulah shallallahu’alaihi wa sallam makan beserta para sahabat yang belum makan.
Terdapat hadits, di masa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, ketika sedang terjadi perang Khondaq, Jabir bin Abdillah Al Anshari mengundang Nabi shallallahu’alaihi wa sallam untuk memakan daging sembelihannya yang kecil ukurannya beserta sedikit gandum. Kemudian Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengambil sepotong roti dan daging, kemudian beliau memanggil sepuluh orang untuk masuk dan makan. Mereka pun makan hingga kenyang kemudian keluar. Lalu dipanggil kembali sepuluh orang yang lain, dan demikian seterusnya. Allah menambahkan berkah pada daging dan gandum tadi, sehingga bisa cukup untuk makan orang banyak, bahkan masih banyak tersisa, hingga dibagikan kepada para tetangga.
Dan suatu hari, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menyajikan susu pada Ahlus Shuffah (salah satunya Abu Hurairah, pent). Abu Hurairah berkata, “Aku minum sampai puas”. Kemudian Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Ayo minum lagi, Abu Hurairah“. Maka aku minum. Kemudian Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Ayo minum lagi“. Maka aku minum lagi. Kemudian Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Ayo minum lagi“. Maka aku minum lagi, lalu aku berkata “Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, tidak lagi aku dapati tempat untuk minuman dalam tubuhku”. Kemudian Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mengambil susu yang tersisa dan meminumnya. Semua ini adalah dalil bolehnya makan sampai kenyang dan puas yang wajar, selama tidak membahayakan. (Sumber: http://www.ibnbaz.org.sa/mat/38)[1]
Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah (7: 1651-1652) berkata bahwa hadits “Kita (kaum muslimin) adalah kaum yang hanya makan bila lapar dan berhenti makan sebelum kenyang“ adalah ‘laa ashla lahu’ (tidak ada asalnya). Istilah ‘laa ashla lahu’ dalam mustholah hadits ada dua makna: (1) tidak ada sanadnya, (2) memiliki sanad tetapi tidak shahih.[2]
Sebaik-baik muslim adalah yang bersikap sederhana dalam makan dan keuntungan atau manfaatanya sangat luar biasa sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Syafi’i.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
Bersegera Dan Berlomba Dalam Kebaikan
Bersegera Dan Berlomba Dalam Kebaikan
Jika kita melihat sebagian orang begitu menggebu mengejar cita-cita dunia, maka seharusnya seorang muslim jauh lebih bersemangat dalam mengerjakan kebaikan (fastabiqul khairat). Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
احْرِصْ علَى ما يَنْفَعُكَ
“Bersemangatlah dalam menggapai hal yang bermanfaat untukmu.” (HR. Muslim no. 2664)
Indikasi ia bersemangat adalah tidak menunda-nunda dalam melakukan kebaikan. Allah ‘azza wajalla berfirman,
وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ أَيْنَ مَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka, berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 148)
Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullahu menjelaskan,
والأمر بالاستباق إلى الخيرات قدر زائد على الأمر بفعل الخيرات، فإن الاستباق إليها, يتضمن فعلها, وتكميلها, وإيقاعها على أكمل الأحوال, والمبادرة إليها، ومن سبق في الدنيا إلى الخيرات, فهو السابق في الآخرة إلى الجنات, فالسابقون أعلى الخلق درجة،
“Perintah berlomba dalam kebaikan berada di atas level melakukan kebaikan. Karena berlomba dalam kebaikan mencakup mengerjakan, menyempurnakan, berusaha mengerjakannya (kebaikan) sebaik mungkin, dan bersegera terhadap sebuah kebaikan. Barangsiapa yang ketika di dunia ia gemar berlomba dalam kebaikan, maka kelak di akhirat ia akan mendapat kesempatan menjadi golongan yang lebih dahulu ke surga dan memiliki kedudukan yang lebih tinggi.” (Tafsir As-Sa’diy, hal. 72)
Dalam ayat yang lain, Allah ‘azza wajalla menyifati orang-orang mukmin sebagai orang yang bersegera dan berlomba dalam kebaikan,
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَىٰ رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ (60) أُولَٰئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ (61)
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka. Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al-Mukminun: 60-61)
Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullahu mengatakan,
في ميدان التسارع في أفعال الخير، همهم ما يقربهم إلى الله، وإرادتهم مصروفة فيما ينجي من عذابه، فكل خير سمعوا به، أو سنحت لهم الفرصة إليه، انتهزوه وبادروه، قد نظروا إلى أولياء الله وأصفيائه، أمامهم، ويمنة، ويسرة، يسارعون في كل خير، وينافسون في الزلفى عند ربهم، فنافسوهم. ولما كان السابق لغيره المسارع قد يسبق لجده وتشميره، وقد لا يسبق لتقصيره
“Dalam hal bersegera mengerjakan kebaikan, obsesi mereka adalah setiap perbuatan yang bisa mendekatkan diri kepada Allah. Harapan mereka hanya ingin bebas dari siksa neraka. Setiap kebaikan yang mereka dengar atau ada kesempatan melakukannya, maka mereka akan segera bertindak saat itu juga. Mereka melihat orang-orang terpilih Allah telah jauh melampaui mereka, dari sisi kanan dan kiri mereka. Maka, mereka bersegera mengerjakan kebajikan dan berusaha sedekat mungkin dengan Rabb mereka. Mereka begitu kekeuh.”
Dan semangat seorang muslim dalam mengerjakan kebaikan (fastabiqul khairat), tidak hanya berlaku di sebagian hal dan meninggalkan sebagian yang lain. Syekh As-Sa’diy rahimahullah mengatakan bahwa semangat tersebut harus dimiliki di setiap ibadah wajib maupun sunah,
والخيرات تشمل جميع الفرائض والنوافل, من صلاة, وصيام, وزكوات وحج, عمرة, وجهاد, ونفع متعد وقاصر. ولما كان أقوى ما يحث النفوس على المسارعة إلى الخير, وينشطها, ما رتب الله عليها من الثواب
“Dan kebaikan yang dimaksud mencakup ibadah wajib dan sunah. Berupa salat, puasa, zakat, haji, umrah, jihad, dan amalan jangka panjang maupun jangka pendek. Semakin kuat dorongan hati seseorang dalam bersegera dan giat dalam mengerjakan kebaikan, sebesar itu pula pahala yang Allah limpahkan kepada hamba tadi.” (Tafsir As-Sa’diy, hal. 72)
Semangat mengerjakan kebaikan ini hendaknya tidak boleh padam di tengah jalan dengan menunda-nundanya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِى كَافِرًا وَيُمْسِى مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ أَحَدُهُمْ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا
“Bersegeralah mengerjakan kebaikan sebelum datangnya fitnah yang seperti gelapnya malam. Sehingga ada di antara orang-orang yang paginya beriman, sore harinya telah kufur. Atau sebaliknya, di sore hari ia beriman, kemudian kufur di esok paginya. Mereka menukar agama mereka dengan perbendaharaan dunia.” (HR. Ahmad no. 8017 dan Muslim no. 118)
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah mengatakan,
إياك والتسويف، فإنك بيومك ولست بغدك، فإن يكن غد لك فكس في غد كما كست في اليوم، وإن لم يكن لك غد لم تندم على ما فرطت في اليوم
“Jauhilah berkata “nanti, nanti”. Karena kamu adalah apa yang ada hari ini dan bukan esok hari. Jika esok kamu masih ada, berpikiranlah sebagaimana sebelumnya (menjadikan esok sebagai hari ini -pent). Kalaupun seandainya esok bukan jatahmu lagi, maka tiada penyesalan atas apa yang kau tunda-tunda di hari ini.” (Iqtidha Al-Ilmi Al-Amal, hal. 114)
Semoga Allah karuniakan taufik kepada hati kita untuk tidak menunda-nunda amalan kebaikan dan tetap bersemangat dalam fastabiqul khairat. Aamiin
***
Tidak Sah Sholat Tarawih Yang Ngebut Dan Tidak Tuma'ninah
Tidak Sah Sholat Tarawih Yang Ngebut Dan Tidak Tuma'ninah
Hendaknya shalat tarawih dilakukan dengan tuma’ninah dan tidak ngebut. Di beberapa tempat (alhamdulillah, sebagian kecil) didapati masjid yang melakukan shalat tarawih dengan sangat cepat dan tidak ada tuma’ninah. Pendapat terkuat tuma’ninah adalah rukun dari shalat, sehingga apabila ditinggalkan baik secara sengaja atau tidak sengaja, maka shalatnya tidak sah. Hal ini berdasarkan hadits yang sudah jelas dan masyuhur yaitu hadits Al-Musi’ fi Shalatih (orang yang shalatnya salah/jelek). Dalam hadits tersebut dikisahkan ada seseorang yang shalat sangat cepat dan tidak tuma’ninah, lalu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menyuruhnya untuk mengulangi shalatnya karena shalatnya tidak sah. Beliau bersabda pada orang tersebut,
ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ
“Kembalilah dan shalatlah! karena sesungguhnya engkau belum melakukan shalat.” [HR. Bukhari & Muslim]
Dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah dijelaskan bahwa mazhab Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa tuma’ninah adalah rukun shalat.
ﻓﺬﻫﺐ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ ﻭﺍﻟﺤﻨﺎﺑﻠﺔ ﻭﺃﺑﻮ ﻳﻮﺳﻒ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﻨﻔﻴﺔ ﻭﺍﺑﻦ ﺍﻟﺤﺎﺟﺐ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺎﻟﻜﻴﺔ ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﺍﻟﻄﻤﺄﻧﻴﻨﺔ ﺭﻛﻦ ﻣﻦ ﺃﺭﻛﺎﻥ ﺍﻟﺼﻼﺓ ، ﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﻤﺴﻲﺀ ﺻﻼﺗﻪ
“Ulama Syafi’iyyah dan Hanbilah, Abu Yusuf al-Hanfiyyah dan Ibnu Hajib Al-Malikiyyah berpandapat bahwa tuma’ninah adalah rukun shalat berdasarksan hadits Al-Musi’ fi Shalatih.” [Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah 30/96]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan agar tuma’ninah pada gerakan shalat, beliau bersabda,
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا
Jika engkau berdiri hendak melakukan shalat, maka bertakbirlah, kemudian bacalah ayat al-Qur’an yang mudah bagimu. Setelah itu, ruku’lah sampai engkau benar-benar ruku’ dengan thuma’ninah. Kemudian, bangunlah sampai engkau tegak berdiri, setelah itu, sujudlah sampai engkau benar-benar sujud dengan thuma’ninah. Kemudian, bangunlah sampai engkau benar-benar duduk dengan thuma’ninah. Lakukanlah itu dalam shalatmu seluruhnya!”. [HR. Bukhari & Muslim]
Imam Bukhari membuat bab dalam shahihnya dengan judul:
بَابُ أَمْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّذِي لاَ يُتِمُّ رُكُوعَهُ بِالإِعَادَةِ
“Bab: perintah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulangi shalat kepada orang yang tidak menyempurnakan rukuknya.”
Apabila shalat dilakukan dengan gerakan sangat cepat, dikhawatirkan sebagaimana hadits yaitu seburuk-buruknya pencuri yaitu pencuri dalam shalat. Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِى يَسْرِقُ مِنْ صَلاتِهِ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ؟ قَالَ: “لاَ يُتِمُّ رُكُوعَهَا وَلاَ سُجُودَهَا
“Pencuri yang paling jelek adalah orang yang mencuri shalatnya.” Setelah ditanya maksudnya, beliau menjawab: “Merekalah orang yang tidak sempurna rukuk dan sujudnya.” (HR. Ibn Abi Syaibah, dishahihkan Ad-Dzahabi).
Apabila hal ini dilakukan terus-menerus (yaitu shalat dengan sangat cepat), dikhawatirkan juga mati tidak di atas fitrah ajaran Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sahabat Hudzifah radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau pernah melihat ada orang yang tidak menyempurnakan rukuk dan sujud ketika shalat, dan terlalu cepat. Setelah selesai, ditegur oleh Hudzaifah, “Sudah berapa lama anda shalat semacam ini?” Orang ini menjawab: “40 tahun.” Hudzaifah mengatakan: “Engkau tidak dihitung shalat selama 40 tahun.” (karena shalatnya batal). Hudzaifah berkata melanjutkan:
وَلَوْ مِتَّ وَأَنْتَ تُصَلِّي هَذِهِ الصَّلَاةَ لَمِتَّ عَلَى غَيْرِ فِطْرَةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Jika kamu mati dan model shalatmu masih seperti ini, maka engkau mati bukan di atas fitrah (ajaran) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [HR. Ahmad & Bukhari]
Bagaimana batasan tuma’ninah? Dijelaskan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani ada dua poin:
وقدر الطمأنينة المفروضة: أدنى سكون بين حركتي الخفض والرفع عند أصحاب الشافعي ، وأحد الوجهين لأصحابنا.
والثاني لأصحابنا: أنها مقدرة بقدر تسبيحة واحدة
Pertama: Berdiam sejenak di antara gerakan naik dan turun (walaupun sebentar)
Kedua: Kadar diamnya (miminal) bisa membaca sekali tasbih. [Fathul Bari 5/58]
Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat.
Seluk Beluk Neraka
Seluk Beluk Neraka
Apa Itu Neraka?
Neraka adalah tempat yang disiapkan oleh Allah untuk orang-orang kafir, orang-orang yang mendustakan Rasul-Nya, serta orang-orang yang melanggar syari’at-Nya. Masuk neraka adalah sebuah kehinaan. Allah Ta’ala berfirman,
رَبَّنَا إِنَّكَ مَنْ تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Ya Rabb kami, sesungguhnya barang siapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang lalim seorang penolong pun” (QS. Ali ‘Imran: 192).
Masuk neraka adalah kerugian yang sangat besar
Allah Ta’ala berfirman,
إن الخاسرين الذي خسروا أنفسهم وأهليهم يوم القيامة ألا ذلك هو الخسران المبين
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat. Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata’” (QS. Az-Zumar: 15).
Neraka adalah tempat terburuk
Allah Ta’ala berfirman,
إنها سآءت مستقراً ومقاماً
“Sesungguhnya neraka Jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman” (QS. Al-Furqan: 66).
Berikut ini beberapa seluk-beluk seputar neraka, semoga dengan mengetahuinya dapat membantu kita meneguhkan diri untuk menjauhi hal-hal yang bisa menjerumuskan kita ke dalamnya.
Neraka dan Surga Adalah Makhluk Allah yang Sudah Diciptakan dan Kekal
Allah Ta’ala berfirman tentang surga,
أعدت للمتقين
“Surga (telah) dipersiapkan bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. Ali ‘Imran: 133).
Allah Ta’ala berfirman tentang neraka,
أعدت للكافرين
“Neraka (telah) dipersiapkan bagi orang-orang kafir” (QS. Ali ‘Imran: 133).
Kedua ayat ini menggunakan fi’il madhi أعدت yang menunjukkan perbuatan yang sudah dilakukan. Kemudian Allah juga menceritakan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam pernah melihat surga,
وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى (13) عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى (14) عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى (15)
“Dan sesungguhnya ia (Muhammad) telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain. (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal” (QS. An-Najm: 13-15).
Beliau Shallallahu’alaihi wa sallam juga menegaskan hal tersebut,
أني رأيت الجنة، فتناولت عنقوداً، ولو أصبته لأكلتم منه ما بقيت الدنيا، ورأيت النار، فلم أر منظراً كاليوم قط أفظع، ورأيت أكثر أهلها النساء “، قالوا: بم، يا رسول الله؟ قال: “بكفرهن” قيل: يكفرن بالله؟ قال: ” يكفرن العشير، ويكفرن الإحسان، لو أحسنت إلى إحداهن الدهر كله، ثم رأت منك شيئاً، قالت: ما رأيت خيراً قط”
“Sungguh aku tadi melihat surga. Aku berupaya meraih setandan buah-buahan di dalamnya. Andai kalian mendapatkannya lalu memakannya, niscaya kalian tidak butuh lagi makanan di dunia. Kemudian aku melihat neraka. Belum pernah aku melihat pemandangan yang mengerikan seperti itu. Dan aku melihat kebanyakan penghuninya adalah wanita. Para sahabat bertanya, ‘Mengapa demikian wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Sebab mereka telah kufur.’ Para sahabat bertanya lagi, ‘Apakah mereka kufur kepada Allah?’ Rasulullah menjawab, ’Mereka kufur (nikmat) terhadap suami mereka, mereka kufur terhadap kebaikan suami mereka. Apabila kalian (para suami) berbuat baik pada istri-istrinya sepanjang waktu, lalu istri kalian melihat sesuatu yang kurang baik darimu, dia akan berkata, ‘Aku tidak pernah melihat kebaikanmu sedikit pun’” (HR. Bukhari no. 1052, Muslim no. 907).
Neraka Memiliki Penjaga-Penjaga
Allah Ta’ala berfirman,
وَلِلَّذِينَ كَفَرُواْ بِرَبِّهِمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ.إِذَآ أُلْقُواْ فِيهَا سَمِعُواْ لَهَا شَهِيقاً وَهِيَ تَفُورُ.تَكَادُ تَمَيَّزُ مِنَ الغَيْظِ كُلَّمَا أُلْقِيَ فِيهَا فَوْجٌ سَأَلَهُمْ خَزَنَتُهَآ أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيرٌ
“Dan orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, memperoleh azab Jahannam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. Apabila mereka dilemparkan ke dalamnya mereka mendengar suara neraka yang mengerikan, sedang neraka itu menggelegak, hampir-hampir (neraka) itu terpecah-pecah lantaran marah. Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka, ‘Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?’” (QS. Al-Mulk: 6-8).
Neraka Memiliki Pintu-Pintu
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنَّ جَهَنَّمَ لَمَوْعِدُهُمْ أَجْمَعِينَ.لَهَا سَبْعَةُ أَبْوَابٍ لِكُلِّ بَابٍ مِّنْهُمْ جُزْءٌ مَّقْسُومٌ
“Dan sesungguhnya Jahannam itu benar-benar tempat yang telah diancamkan kepada mereka (pengikut-pengikut syaitan) semuanya. Jahannam itu mempunyai tujuh pintu. Tiap-tiap pintu (telah ditetapkan) untuk golongan tertentu dari mereka” (QS. Al-Hijr: 43-44).
وَسِيقَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِلَى جَهَنَّمَ زُمَرًا حَتَّى إِذَا جَاءُوهَا فُتِحَتْ أَبْوَابُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ يَتْلُونَ عَلَيْكُمْ آيَاتِ رَبِّكُمْ وَيُنْذِرُونَكُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَذَا قَالُوا بَلَى وَلَكِنْ حَقَّتْ كَلِمَةُ الْعَذَابِ عَلَى الْكَافِرِينَ
“Orang-orang kafir dibawa ke neraka Jahannam berombong-rombongan. Sehingga apabila mereka sampai ke neraka itu dibukakanlah pintu-pintunya dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya, ‘Apakah belum pernah datang kepadamu rasul-rasul di antaramu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Tuhanmu dan memperingatkan kepadamu akan pertemuan dengan hari ini?’ Mereka menjawab, ‘Benar (telah datang).’ Tetapi telah pasti berlaku ketetapan azab terhadap orang-orang yang kafir’” (QS. Az-Zumar: 71).
Neraka Memiliki 70.000 Tali yang Ditarik Malaikat
Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
يُؤتى بالنارِ يومَ القيامةِ لها سبعون ألفَ زمامٍ مع كلِّ زمامٍ سبعون ألفَ ملَكٍ يجرُّونَها
“Neraka (Jahannam) pada hari kiamat akan didatangkan, ia memiliki 70.000 tali. Pada setiap talinya terdapat 70.000 malaikat yang menariknya” (HR. Muslim no: 2842).
Di Neraka Ada Rantai dan Belenggu bagi Penduduknya
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّآ أَعۡتَدۡنَا لِلۡكَٰفِرِينَ سَلَٰسِلَاْ وَأَغۡلَٰلٗا وَسَعِيرًا
“Sesungguhnya Kami menyediakan bagi orang kafir rantai, belenggu dan neraka yang menyala-nyala” (QS. Al-Insan: 4).
Allah Ta’ala juga berfirman,
إِذِ اْلأَغْلاَلُ فِي أَعْنَاقِهِمْ وَالسَّلاَسِلُ يُسْحَبُونَ فِي الْحَمِيمِ ثُمَّ فِي النَّارِ يُسْجَرُونَ
“ketika belenggu dan rantai dipasang di leher mereka, sambil mereka diseret ke dalam air yang sangat panas, kemudian mereka dibakar di dalam api” (QS. Ghafir: 71-72).
Panasnya Api Dunia Hanya 1/70 Bagian dari Api Neraka
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
نَارُكم هذِه ما يُوقدُ بنُو آدمَ جُزْءٌ واحدٌ من سبعين جزءاً من نار جهنَّم
“Api yang dinyalakan oleh Ibnu Adam adalah satu bagian dari tujuh puluh bagian dari panasnya api Jahannam” (HR. Bukhari no. 3265, Muslim no. 2834).
Allah Ta’ala berfirman,
وَقَالُواْ لَا تَنفِرُواْ فِي ٱلۡحَرِّۗ قُلۡ نَارُ جَهَنَّمَ أَشَدُّ حَرّٗاۚ لَّوۡ كَانُواْ يَفۡقَهُونَ
“Orang-orang munafik berkata, ‘Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.’ Katakanlah, ‘Api neraka Jahannam itu lebih panas(nya),’ jikalau mereka mengetahui” (QS. At-Taubah: 81).
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَمَاأَدْرَاكَ مَاهِيَهْ نَارٌحَامِيَةُ
“Dan tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu ? (yaitu) api yang sangat panas” (QS. Al-Qari’ah: 10-11).
Neraka Juga Menyiksa dengan Dingin yang Luar Biasa
Allah Ta’ala berfirman,
لَا يَذُوقُونَ فِيهَا بَرْدًا وَلَا شَرَابًا إِلَّا حَمِيمًا وَغَسَّاقًا
“ِmereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman, selain air yang mendidih dan air yang sangat dingin” (QS. An Naba’: 24-25).
Ghassaq ditafsirkan oleh sebagian ulama sebagai nanah, dan sebagaian ulama yang lain menafsirkan bahwa ghassaq adalah air yang busuk yang sangat dingin. Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya menggabungkan dua makna ini, maka ghassaq adalah air yang busuk yang luar biasa dingin tak tertahankan, yang berasal dari nanah dan keringat penghuni neraka.
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
اشتَكَتِ النارُ إلى ربها ، فقالتْ : ربِّ أكلَ بعضي بعضًا ، فأذِنَ لها بِنَفَسَيْنِ: نَفَسٍ في الشتاءِ ونَفَسٍ في الصيفِ ، فأشدُّ ما تجدونَ من الحرِّ ، وأشدُّ ما تجدون من الزَّمْهَرِيرِ
“Neraka mengadu kepada Rabb-nya, ia berkata, ‘Rabb-ku, sebagian dariku menghancurkan sebagian yang lainnya. Allah berfirman kepada neraka, ‘Jika demikian maka engkau dapat bernafas dua kali: satu nafas di musim dingin dan satu nafas di musim panas.’ Maka itulah panas yang paling panas dan dingin yang paling dingin” (HR. Bukhari no. 3260, Muslim no. 617).
Bahan Bakar Neraka
Bahan bakar neraka adalah manusia yang durhaka serta batu-batu. Allah Ta’ala berfirman,
ياٰأيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٞ شِدَادٞ لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras lagi tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. At Tahrim: 6).
Neraka Sangat Dalam
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, beliau berkata,
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ سَمِعَ وَجْبَةً فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَدْرُونَ مَا هَذَا قَالَ قُلْنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ هَذَا حَجَرٌ رُمِيَ بِهِ فِي النَّارِ مُنْذُ سَبْعِينَ خَرِيفًا فَهُوَ يَهْوِي فِي النَّارِ الْآنَ حَتَّى انْتَهَى إِلَى قَعْرِهَا
“Kami pernah bersama Nabi shallallahu alaihi wasallam tiba-tiba beliau mendengar seperti suara benda jatuh ke dasar. Nabi shallallahu alaihi wasallam bertanya, ‘Tahukah kalian suara apa itu?’ Kami menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.’ Beliau bersabda, ‘Ini adalah batu yang dilemparkan ke neraka sejak 70 tahun yang lalu dan sekarang baru mencapai dasarnya’” (HR. Muslim no. 2844).
Makanan dan Minuman Penduduk Neraka
Minuman penduduk neraka adalah air yang mendidih dan nanah. Allah Ta’ala berfirman,
لَا يَذُوقُونَ فِيهَا بَرْدًا وَلَا شَرَابًا إِلَّا حَمِيمًا وَغَسَّاقًا
“ِmereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman, selain air yang mendidih dan nanah” (QS. An Naba’: 24-25).
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَسُقُوا مَاء حَمِيمًا فَقَطَّعَ أَمْعَاءهُمْ
“Mereka (penghuni neraka) diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong usus-usus mereka” (QS. Muhammad: 15).
Diantara makanan penduduk neraka adalah buah zaqqum. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ شَجَرَةَ الزَّقُّومِ طَعَامُ الْأَثِيمِ كَالْمُهْلِ يَغْلِي فِي الْبُطُونِ كَغَلْيِ الْحَمِيمِ
“Sesungguhnya pohon zaqqum itu, makanan orang yang banyak berdosa. (Ia) sebagai kotoran minyak yang mendidih di dalam perut, seperti mendidihnya air yang amat panas” (QS. Ad-Dukhan: 43-46).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda mengenai ngerinya buah zaqqum,
لَوْ أنَّ قطْرةً من الزَّقُّومِ قَطَرَتْ في دار الدُّنْيَا لأفْسَدَتْ على أهلِ الدنيا مَعَايِشَهُمْ
“Kalaulah saja setetes dari buah zaqqum menetes di dunia, niscaya akan menimbulkan kerusakan terhadap kehidupan penduduk dunia” (HR. At Tirmidzi no. 2585, ia berkata, “hasan shahih”).
Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
على الله عهداً لمنْ شرب المسكرات لَيَسقيِه من طِينةِ الخبَالِ. قالوا: يا رسولَ الله وما طينةُ الخبَالِ؟ قال: عَرقُ أهل النار أو عُصَارةُ أهلِ النارِ
“Allah berjanji kepada peminum khamr bahwa mereka akan diberi minum berupa thinatul khabal. Para sahabat bertanya, ‘Apakah thinatul khabal itu?’ Nabi menjawab, ‘Yaitu keringatnya penghuni neraka atau ekstrak dari para penghuni neraka’” (HR. Abu Daud no. 3680, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Abu Daud).
Pakaian Penduduk Neraka
Allah Ta’ala berfirman,
فَٱلَّذِينَ كَفَرُواْ قُطِّعَتۡ لَهُمۡ ثِيَابٞ مِّن نَّارٖ يُصَبُّ مِن فَوۡقِ رُءُوسِهِمُ ٱلۡحَمِيمُ ٩ يُصۡهَرُ بِهِۦ مَا فِي بُطُونِهِمۡ وَٱلۡجُلُودُ ٢٠ وَلَهُم مَّقَٰمِعُ مِنۡ حَدِيدٖ ١ كُلَّمَآ أَرَادُوٓاْ أَن يَخۡرُجُواْ مِنۡهَا مِنۡ غَمٍّ أُعِيدُواْ فِيهَا وَذُوقُواْ عَذَابَ ٱلۡحَرِيقِ
“Maka orang kafir akan dibuatkan untuk mereka pakaian-pakaian dari api neraka. Disiramkan air yang sedang mendidih ke atas kepala mereka. Dengan air itu dihancur luluhkan segala apa yang ada dalam perut mereka dan juga kulit (mereka). Dan untuk mereka cambuk-cambuk dari besi.” (QS. Al-Hajj: 19-21).
Siksaan yang Paling Ringan di Neraka
Dari An Nu’man bin Basyir radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إنَّ أهْوَنَ أهل النارِ عذاباً مَنْ لَهُ نَعْلانِ وشِرَاكانِ من نارٍ يَغلي منهما دماغُه كما يغلي المِرْجَل ما يَرَى أنَّ أحداً أشدُّ منهُ عَذَاباً وإنَّهُ لأهْونُهمْ عذاباً
”Penduduk neraka yang paling ringan siksaannya di neraka adalah seseorang yang memakai dua sandal neraka yang memiliki dua tali. Kemudian otaknya mendidih karena panasnya sebagaimana mendidihnya air di kuali. Orang tersebut merasa tidak ada orang lain yang siksanya lebih pedih dari siksaannya. Padahal siksaannya adalah yang paling ringan diantara mereka” (HR. Muslim no. 213).
Dalam riwayat lain disebutkan orang tersebut adalah Abu Thalib, paman Nabi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إنَّ أهْوَنَ أهلِ النارِ عَذَابًا أبو طالبٍ في رِجلَيْهِ نعلانِ من نارٍ يغْلِي منهما دِمَاغُهُ
“Penduduk neraka yang paling ringan siksaannya di neraka adalah Abu Thalib. Ia memakai dua sandal neraka yang membuat otaknya mendidih karena panasnya” (HR. Ahmad 4/241, dishahihkan oleh Ahmad Syakir dalam ta’liq-nya terhadap Musnad Ahmad).
Satu Celupan Saja di Neraka Membuat Kenikmatan Dunia Tidak Ada Artinya
Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
يُؤتَى بأنْعَم أهل الدنيا مِنْ أهل النار فيُصْبَغُ في النارِ صَبْغَةً ثم يُقَال: يا ابنَ آدمَ هل رأيتَ خيراً قطُّ هل مَرَّ بكَ نعيمٌ قط؟ فيقولُ لا والله يا ربِّ، ويؤْتَى بأشَدِّ الناسِ بؤساً في الدنيا مِنْ أهل الجنة فيصبغُ صبغةً في الجنة فيقال: يا ابن آدمَ هل رأيتَ بؤساً قط؟ هل مَرَّ بك من شدة قط؟ فيقولُ: لا والله يا ربِّ ما رأيتُ بؤساً ولا مرّ بِي مِنْ شدةٍ قَطُّ
“Didatangkan penduduk neraka yang paling banyak nikmatnya di dunia pada hari kiamat. Lalu ia dicelupkan ke neraka dengan sekali celupan. Kemudian dikatakan kepadanya, ‘Wahai anak Adam, apakah engkau pernah merasakan kebaikan sedikit saja? Apakah engkau pernah merasakan kenikmatan sedikit saja?’ Ia mengatakan, ‘Tidak, demi Allah, wahai Rabb-ku.” Didatangkan pula penduduk surga yang paling sengsara di dunia. Kemudian ia dicelupkan ke dalam surga dengan sekali celupan. Kemudian dikatakan kepadanya, ‘Wahai anak Adam, apakah engkau pernah merasakan keburukan sekali saja? Apakah engkau pernah merasakan kesulitan sekali saja?’ Ia menjawab, ‘Tidak, demi Allah, wahai Rabb-ku! Aku tidak pernah merasakan keburukan sama sekali dan aku tidak pernah melihatnya tidak pula mengalamminya” (HR. Muslim no. 2807).
Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
يقولُ اللهُ تعالَى لأهونِ أهلِ النَّارِ عذابًا يومَ القيامةِ : لو أنَّ لك ما في الأرضِ من شيءٍ أكنتَ تفتدي به ؟ فيقولُ : نعم ، فيقولُ : أردتُ منك أهونَ من هذا ، وأنت في صلبِ آدمَ : ألَّا تُشرِكَ بي شيئًا ، فأبيتَ إلَّا أن تُشرِكَ بي
“Dikatakan kepada seorang penduduk neraka yang paling ringan adzabnya di hari kiamat, ‘Andai engkau memiliki semua yang ada di bumi apakah engkau akan menebus dengannya (agar keluar dari neraka)? Ia menjawab, ‘Ya.’ Maka Allah berfirman, ‘Sungguh Aku menghendaki darimu yang lebih mudah dari hal itu, sejak engkau masih menjadi tulang sulbi Adam, yaitu engkau tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu pun, namun engkau enggan, dan engkau menyekutukanku” (Hr. Bukhari no. 6557, Muslim no. 2805).
Demikian sedikit papar mengenai sifat-sifat neraka. Semoga kita senantiasa ingat akan akhirat dan ingat akan ngerinya neraka, sehingga senantiasa bersemangat dalam kebaikan dan istiqamah dalam ketaatan, semoga Allah Ta’ala menjauhkan kita dari neraka dan mengumpulkan kita semua di Jannah-Nya.
***
Referensi utama: Washfun Naar, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, http://ar.islamway.net/article/1700
Larangan Menyerupai Hewan Dalam Sholat
Larangan Menyerupai Hewan Dalam Sholat
Sungguh Allah Ta’ala telah memuliakan manusia dan menciptakannya dalam bentuk yang paling baik dan sempurna, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا
“Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, Kami angkut mereka di darat dan di laut, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna” (QS. Al-Isra’: 70).
Allah Ta’ala juga telah berfirman,
لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍۖ
“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS. At-Tin: 4).
Allah Ta’ala menciptakan manusia dalam bentuk yang sempurna. Manusia berjalan dengan kedua kakinya dan makan dengan tangannya. Berbeda dengan kondisi hewan yang sebagian berjalan dengan empat kaki dan makan langsung dengan mulutnya.
Allah Ta’ala juga telah memberikan manusia pendengaran, penglihatan, dan hati sehingga manusia mampu memahami berbagai hal dan mengambil manfaat darinya. Dengan pemberian tersebut pula, manusia mampu membedakan berbagai hal, baik atau buruk, bermanfaat atau berbahaya di dunia maupun di akhirat.
Sepantasnya bagi seorang hamba yang beriman kepada Allah Ta’ala untuk mengetahui kemuliaan yang telah Allah Ta’ala berikan ini. Oleh karena itu, hendaknya hamba tidak menyerupai hewan terutama saat dalam sedang salat. Karena salat adalah keadaan paling mulia bagi seorang hamba. Terdapat dalil-dalil sahih dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam berupa perintah untuk menyelisihi seluruh hewan dalam bentuk-bentuk salat. Bentuk larangan tersebut adalah:
1. Menoleh saat salat seperti menolehnya rubah;
2. Membentangkan tangan saat sujud seperti bentangan tangan/kakinya binatang buas;
3. Duduk seperti duduknya anjing;
4. Sujudnya cepat seperti mematuknya burung gagak;
5. Menuju sujud dari berdiri seperti menderumnya unta; dan
6. Mengangkat tangan saat salam seperti ekor kuda yang kepanasan.
Salat adalah munajat kepada Allah Ta’ala, penghubung antara seorang hamba dengan Rabbnya, sehingga hendaknya saat itu seorang hamba berada dalam keadaan dan posisi yang paling baik dan sempurna.
Imam Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan An-Nasai rahimahumullah meriwayatkan sebuah hadis dari Abdurrahman bin Syibl radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
نَهى رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ عن نَقْرةِ الغُرابِ، وافتراشِ السَّبُعِ، وأنْ يُوَطِّنَ الرجُلُ المكانَ في المسجدِ كما يُوَطِّنُ البعيرُ.
Rasulullah Shallaallaahu ‘alaihi wasallam melarang tiga perkara, yaitu:
1. Mematuk seperti mematuknya burung gagak (sujudnya cepat);
2. Duduknya hewan buas (membentangkan tangan saat sujud seperti bentangan binatang buas yakni kaki belakang dilipat, kaki depannya diluruskan. Lengannya menempel ke lantai);
3. Seseorang mengkhususkan tempat seperti unta yang mengkhususkan tempat (duduk di tempat tertentu secara terus-menerus kalau di tempat salatnya)
(HR. Ahmad no. 15532, Abu Dawud no. 862, An Nasai no. 1112, dan Ibnu Majah no. 1429. dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash Shahihah, no. 1168).
An-Nasai rahimahullah meriwayatkan hadis dari Anas radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,
اعتَدِلوا في السُّجودِ، ولا يَبسُطْ أحَدُكم ذِراعَيهِ كما يَبسُطُ الكلْبُ.
“Sempurnakan sujud kalian, dan jangan salah seorang dari kalian menghamparkan kedua lengannya sebagaimana terhamparnya (kaki) anjing” (HR. An-Nasai no. 702, hadis hasan sahih).
Larangan dalam hadis ini adalah larangan sujud dengan keadaan lengannya menyerupai kaki anjing saat terhampar, yakni kedua lengan dan sikunya menempel pada lantai. Hendaknya orang yang salat mengangkat sikunya saat sedang sujud.
Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,
يعمد أحدكم في صلاته، فيبرك كما يبرك الجمل
“(Apakah) salah seorang di antara kalian turun dalam salatnya, sehingga ia menderum sebagaimana unta menderum (ketika hendak sujud)?” (HR. Abu Dawud no. 841, dinilai sahih oleh Syaikh Al Albani).
Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ وَنَهَانِي عَنْ ثَلَاثٍ أَمَرَنِي بِرَكْعَتَيْ الضُّحَى كُلَّ يَوْمٍ وَالْوِتْرِ قَبْلَ النَّوْمِ وَصِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَنَهَانِي عَنْ نَقْرَةٍ كَنَقْرَةِ الدِّيكِ وَإِقْعَاءٍ كَإِقْعَاءِ الْكَلْبِ وَالْتِفَاتٍ كَالْتِفَاتِ الثَّعْلَبِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan aku dengan tiga perkara dan melarangku dari tiga perkara. Memerintahkan aku untuk melakukan salat dhuha dua raka’at setiap hari, witir sebelum tidur, dan puasa tiga hari dari setiap bulan. Melarangku dari mematuk seperti patukan ayam jantan, duduk iq’a seperti duduk iq’a anjing, dan menoleh sebagaimana rubah menoleh” (HR. Ahmad no. 8106, dihasankan Syekh Al Albani).
Imam Muslim, Ahmad dan Nasai rahimahumullah meriwayatkan dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكُنَّا إِذَا سَلَّمْنَا قُلْنَا بِأَيْدِينَا السَّلَامُ عَلَيْكُمْ , السَّلَامُ عَلَيْكُمْ فَنَظَرَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا شَأْنُكُمْ تُشِيرُونَ بِأَيْدِيكُمْ كَأَنَّهَا أَذْنَابُ خَيْلٍ شُمْسٍ إِذَا سَلَّمَ أَحَدُكُمْ فَلْيَلْتَفِتْ إِلَى صَاحِبِهِ وَلَا يُومِئْ بِيَدِهِ
“Aku salat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Kami dahulu jika salam (dari salat), kami mengisyaratkan dengan tangan kami ‘as-salaamu ‘alaikum, as-salaamu ‘alaikum.’ Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melihat kami, lalu beliau bersabda, ‘Mengapa Engkau memberi isyarat dengan tanganmu, seolah-olah ekor-ekor kuda yang tidak tenang? Jika seseorang dari kamu salam (dari salatnya), hendaklah ia menoleh kepada saudaranya, dan janganlah ia memberikan isyarat dengan tangannya.’” (HR. Muslim no. 431, Ahmad no. 20806, Nasai no. 1185).
Kesimpulannya, di antara larangan dalam salat supaya tidak menyerupai hewan, yaitu:
1. Sujud dengan sangat cepat seperti mematuknya burung atau ayam saat sujud. Sehingga sujud harus dilakukan dengan tumakninah;
2. Menjulurkan lengan di lantai dan tidak mengangkatnya saat sujud seperti duduknya binatang buas;
3. Mengkhususkan tempat seperti unta yang selalu mengkhususkan tempat untuk menderum;
4. Menjulurkan lengan di lantai bersama telapak tangannya seperti iq’a nya anjing;
5. Menolah-noleh seperti rubah yang tolah-toleh;
6. Menggerakkan tangannya saat salam seperti ekor kuda yang tidak tenang.
Hadis dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu,
و إذا ركع أحدكم فلا يدبح تدبيح الحمار ، واليقم صلبه
“Apabila salah seorang di antara kalian ruku’, janganlah ruku’ dengan merunduk seperti keledai yang merunduk (merunduk ke bawah melihat ke kakinya), hendaknya meluruskan tulang punggungnya” (HR. Baihaqi, 2/121).
Hadis di atas lemah, namun ada hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam,
إذا ركع لم يُشخِص ولم يُصًوِّبه
“Apabila beliau ruku’, beliau tidak terlalu mendongakkan maupun terlalu merunduk” (HR. Muslim no. 498, dari hadis ‘Aisyah Radhiyallaahu ‘anha).
Sesungguhnya Islam datang untuk memuliakan kaum muslimin, meninggikan mereka jangan sampai menyerupai hewan dalam berbagai kondisinya, terutama dalam kondisi salat dimana seorang hamba sedang bermunajat dengan Rabbnya.
***
Referensi:
Disarikan dari kitab Ta’zhiim Ash-Shalaat hal. 79-82, karya Syekh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr Hafidzahullahu Ta’ala, cetakan pertama tahun 1434 H, penerbit Daar Al fadhiilah.
