Hati-Hati dengan Kebiasaan Bermaksiat




Hati-Hati dengan Kebiasaan Bermaksiat

SETIAP maksiat yang dilakukan oleh seorang hamba akan berdampak buruk terhadap dirinya sendiri. Jika seseorang terbiasa melakukan maksiat, maka ia maksiatnya itu akan melunturkan persepsi buruk tentang dosa dalam hati seseorang.

Artinya, ia tidak akan merasa bahwa dosa yang ia lakukan adalah perbuatan buruk. Akibatnya dosa menjadi bagian dari kebiasaannya. Naudzubillah.

Perasaan seperti ini merupakan puncak kenikmatan dan kesenangan seorang pelaku maksiat. Bahkan ada yang bangga dengan maksiat yang ia lakukan dengan menceritakannya kepada orang lain yang tidak tahu. Jenis manusia inilah yang tidak dimaafkan Allah dan jalan serta pintu menuju taubat tertutup bagi mereka.

Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, “Semua umatku akan dimaafkan oleh Allah, kecuali orang yang terang-terangan berbuat maksiat. Termasuk terang-terangan berbuat maksiat adalah ketika Allah menutupi seseorang berbuat maksiat, tapi pagi harinya ia membuka aibnya sendiri. Ia mengatakan, “Hai teman, semalam aku melakukan ini dan itu’. Ia telah merobek kehormatannya sendiri, padahal Allah telah menutupnya.”

Maksiat Melahirkan Maksiat Berikutnya




 Maksiat Melahirkan Maksiat Berikutnya

Alhamdulillah wa sholatu wa salamu ‘alaa Rosulillah wa ‘alaa ashabihi wa maa walaah.

Pernahkah kita bertanya, berfikir dan merenungkan keadaan diri kita ? Apakah kita pernah melakukan sebuah kemaksiatan ? Lantas semakin hari kok kemaksiatan kita semakin bertambah banyak ? Apakah penyebabnya ? Penulis Al Qomush Al Muhith Rohimahullah mengatakan,

“Al ‘Ishyaan (maksiat) adalah kebalikan dari keta’atan”[1]. Syaikh ‘Abdullah bin Sholeh Al Qushoyyir Hafizhahullah mengatakan[2],

المَعْصِيَةُ وَالعِصْيَانُ خِلَافُ الطَّاعَةِ، أَوْ مُضَادَةُ الأَمْرِ وَمُعَاكَسَتُهُ؛ بِعَدَمِ امْتِثَالِهِ أَوْ بِفِعْلِ مَا يُضَادُّهُ، يُقَالُ: عَصَى العَبْدُ رَبَّهُ: إِذَا خَالَفَ أَمْرَهُ؛ بِأَنْ فَعَلَ مَا نَهَاهُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ عَنْهُ، أَوْ تَرَكَ مَا أَمَرَهُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ بِهِ؛ لَأَنَّهُ اخْتَارَ بِذَلِكَ لِنَفْسِهِ غَيْرَ مَا اخْتَارَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ لَهُ شَرْعًا، وَهَذَا هُوَ الضَّلَالُ المُبِيْنُ؛ قَالَ تَعَالَى : ﴿ وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا ﴾ [الأحزاب: 36]
“Maksiat dan ‘Ishyaan merupakan kebalikan dari keta’atan atau kebalikan dari hal yang diperintahkan atau sesuatu yang berlawanan dengannya (perintah). Dapat berupa tidak melaksanakan perintah atau melakukan kebalikannya. Disebutkan, (عصى العبد ربَّه) ‘seorang hamba bermaksiat kepada Robb nya’ yaitu jika dia menyelisihi perintah Nya, baik berupa melakukan hal yang Allah dan Rosul Nya larang atau meninggalkan yang Allah dan Rosul Nya perintahkan. Sebab dia memilih untuk dirinya sendiri melakukan apa yang bukan menjadi pilihan Allah dan Rosul Nya secara syari’iat. Ini merupakan kesesatan yang nyata. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rosul Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata”.

(QS. Al Ahzab [33] : 36)

Itulah kemaksiatan, jumlahnya tidak dapat dihitung dan sebagian lebih besar dibandingkan yang lainnya.

Adapun yang ingin kita ketengahkan bukanlah rincian macam-macam maksiat dan tingkatannya. Melainkan sebuah renungan kepada kita bahwa maksiat itu walaupun 1 akan melahirkan maksiat berikutnya.

Ibnul Qoyyim Rohimahullah mengatakan[3],

“Sesungguhya maksiat menumbuhkan maksiat yang semisal dengannya. Maksiat pun melahirkan kemaksiatan lainnya hingga seorang hamba merasa sulit memisahkan dirinya dan keluar dari kemaksiatan tersebut. Hal ini sebagaimana ungkapan sebagian salaf, “Sesungguhnya termasuk diantara hukuman sebuah keburukan adalah keburukan setelahnya. Demikian pula sesungguhnya diantara ganjaran dari sebuah kebaikan adalah kebaikan setelahnya”. Seorang hamba jika dia beramal kebaikan maka kebaikan lain pun akan berkata kepadanya, ‘Amalkan aku juga’. Jika dia mengamalkannya maka kebaikan ketiga pun demikian juga.

Demikianlah seterusnya sehingga pahala yang didapatkan pun berlipat ganda dan bertambahlah kebaikan. Demikian pula sebaliknya dengan keburukan. Hingga keta’atan dan kemaksiatan akan menjadi kebiasaan yang mengakar, shifat yang terus menerus ada dan tabiat yang melekat. Maka apabila orang yang senantiasa beramal kebaikan meninggalkan berbagai keta’atan, sempitlah dadanya, bumi terasa sempit padahal luas. Jiwanya merasa susah seperti ikan jika terpisah dari air. Jiwanya akan terus terasa sempit hingga dia kembali melakukan keta’atan yang biasa dia lakukan lantas tenanglah dan gembiralah jiwanya”.

“Seandainya orang yang gemar maksiat meninggalkan kemaksiatannya dan melakukan keta’atan niscaya jiwanya sempit, sesak dadanya dan lemahlah kepercayaannya hingga dia kembali padanya (berbuat maksiat –pen). Bahkan banyak orang-orang yang mereka gemar berbuat maksiat tidak lagi merasakan kelezatan kemaksiatannya. Dia tidak punya faktor pendorong untuk melakukan kembali kemaksiatannya kecuali rasa sakit yang akan dia dapatkan apabila meninggalkan kemaksiatannya tersebut”.

“Sebagaimana gamblang disebutkan oleh Syaikhul Qoum Al Hasan bin Haani, Gelas (Khomer -pen) yang pertama lezat kuminum Sedangkan gelas lainnya hanyalah obat (candu/ kelezatan) gelas yang pertama

Ada juga yang menyebutkan,

Obatku dialah penyakitku itu sendiri

Sebagaimana peminum khomer ‘disembuhkan’ oleh khomer berikutnya”.

“Seorang hamba akan senantiasa melahirkan keta’atan, gemar dengannya, cinta padanya dan mendahulukannya dari yang lain sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala pun akan mengutus malaikat kepadanya dengan rahmatnya untuk mendorongnya, menganjurkannya dan menggerakkannya serta menggugahnya dari tempat tidur dan tempat duduknya untuk kembali melakukan keta’atan”.

“Seorang hamba akan senantiasa gemar, cinta dan mendahulukan maksiat (dibandingkan keta’atan –pen) hingga Allah akan mengutus kepadanya syaithon lantas syaithon pun akan benar-benar mendorongnya (untu melakukan kembali kemaksiatan –pen)”.

Mari pikirkan kembali, coba renungkan kembali apakah kita siap untuk menerima kemaksiatan yang terus menerus akan menghantui, menyertai kita bila kita memberanikan diri untuk melakukan kemaksiatan pertama ??!!

Allah Tabaroka wa Ta’ala berfirman,

هَلْ جَزَاءُ الإحْسَانِ إِلا الإحْسَانُ
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)”. (QS. Ar Rohman [55] : 60)

Ibnu Katsir Rohimahullah mengatakan[4],

أي: مَا لِمَنْ أَحْسَنَ فِيْ الدُّنْيَا العَمَلَ إِلَّا الإِحْسَانَ إِلَيْهِ فِيْ الدَّارِ الآخِرَةِ
“Tidaklah bagi orang yang berusaha memperbaiki amal di dunia melainkan kebaikan baginya kelak di negeri akhirat”.

Pilih mana kecanduan maksiat atau kecanduan keta’atan ???

Pilih mana amal keta’atan yang berbuah keta’atan berikutnya atau kemaksiatan yang semakin menggunung ???

KETIKA KEBERKAHAN DICABUT

KETIKA KEBERKAHAN DICABUT

Rasulullah Saw menyebutkan bahwa salah satu tanda-tanda kecil dekatnya hari kiamat adalah waktu yang terasa semakin singkat. Hadits tentang hal ini cukup banyak, misalnya hadits riwayat Imam Ahmad dan Al-Tirmidzi dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Tidak akan tiba hari kiamat hingga waktu semakin singkat. Satu tahun bagaikan satu bulan, satu bulan bagaikan satu minggu, satu minggu bagaikan satu hari, satu hari bagaikan satu jam. Dan satu jam bagaikan api yang membakar daun kurma.”

Dalam hadits Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah juga bahwa Nabi Saw bersabda, “Waktu akan semakin singkat, harta akan berlimpah ruah, fitnah akan menyebar, dan akan banyak terjadi pembunuhan.”

Para ulama tidak menafsirkan “singkatnya waktu” dengan bertambahnya kecepatan perputaran bumi sehingga jumlah masa dalam satu hari berkurang menjadi 23 jam misalnya. Penafsiran seperti ini tentu saja bertentangan dengan logika. Sebab jika kita memutar sebuah bola di sebuah titik tertentu, tentulah kecepatannya semakin lama semakin berkurang, bukan semakin bertambah. Oleh karena itu, para ulama hadits seperti Qadhi ‘Iyadh, Al-Nawawi, Ibn Abi Jamrah dan lain-lain menafsirkan singkatnya waktu ini dengan hilangnya keberkahan. Mereka berkata, “Maksud dari singkatnya waktu adalah hilangnya keberkahan dalam waktu tersebut. Sehingga satu hari misalnya tidak mampu dimanfaatkan melainkan seperti satu jam saja.”

Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Ibn Hajar dalam Fath Al-Bari. Ia berkata, “Pendapat yang benar adalah (hadits ini) bermaksud bahwa Allah Swt mencabut semua keberkahan dari segala sesuatu, termasuk keberkahan waktu. Dan ini merupakan salah satu tanda dekatnya kiamat.”

Makna Berkah

Secara bahasa, kata “berkah” (barakah) bermakna bertambah (al-ziyadah) dan berkembang (al-nama). Kata ini lalu digunakan untuk menunjukkan “kebaikan yang banyak” seperti dalam firman Allah Swt: “kitab penuh berkah” dan “malam penuh berkah”, yakni penuh kebaikan yang banyak. Rasulullah Saw juga sering kali mendoakan para sahabatnya agar Allah Swt memberkahi mereka, seperti doa beliau untuk Abu Qatadah, “Ya Allah, berkahilah kulit dan rambutnya.” Sejak saat itu, kulit dan rambut Abu Qatadah tidak pernah berubah meski usianya makin bertambah. Al-Hafiz Ibn ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq bercerita bahwa Abu Qatadah wafat pada usia 70 tahun namun kulit dan rambutnya bagaikan anak berusia 17 tahun.

Kita dapat berkata bahwa keberkahan dalam sesuatu maknanya:kualitas sesuatu itu berkembang sehingga melampaui kuantitasnya. Jika sebelum makan kita meminta agar Allah memberkahi makanan kita, maknanya: kita meminta agar makanan itu menjadi sarana perbaikan untuk kualitas tubuh dan ibadah kita. Kuantitas dan bentuk makanan itu -begitu juga rasanya- mungkin tak berubah, namun kesan positif yang diakibatkannya akan segera dirasakan berbeda di tubuh dan perilaku orang yang memakannya. Tubuhnya akan semakin kuat dan terjaga dari berbagai penyakit, juga jiwanya terasa lebih ringan untuk melakukan kerja-kerja yang bermanfaat bagi dunia dan akhiratnya.

Saya tidak mengingkari bahwa kadang kala Allah juga memberikan keberkahan dalam makanan dengan mengembangkan jumlah kuantitas bersama kualitas makanan tersebut sebagai mukjizat bagi nabi-Nya dan karamah bagi hamba-hamba pilihan-Nya. Hadits-hadits tentang hal ini sangat banyak dan masyhur sehingga tidak perlu disebutkan lagi pada kesempatan ini.

Keberkahan yang paling penting adalah keberkahan di dalam hidup dan waktu kita. Sebab, demi Allah, kita diciptakan untuk sebuah tugas maha penting, dan waktu adalah modal yang paling utama agar kita dapat menunaikan tugas tersebut dengan baik. Tanpa keberkahan dan manajemen waktu yang baik, seseorang tidak akan dapat menunaikan tugas itu dengan sempurna. Oleh karena itu, bagi mata hamba-hamba Allah yang sejati, waktu jauh lebih mahal dan lebih berharga daripada uang dan harta benda apapun di dunia ini. Keberkahan dalam waktu menjadi dambaan mereka melebihi yang lainnya.

Imam Abu Bakar bin ‘Ayyasy berkata, “Andai seseorang kehilangan sekeping emas, ia akan menyesal dan memikirkannya sepanjang hari. Ia mengeluh: Inna lillah, emas saya hilang. Namun belum pernah seseorang mengeluhkan: satu hari telah berlalu, apa yang telah aku lakukan dengannya?”

Orang-orang seperti ini selalu menyesal jika sebuah detik dari waktunya berlalu tanpa manfaat. Seorang ahli hadits kenamaan Abu Bakar Al-Khatib Al-Baghdadi sering kali terlihat sedang membaca sambil berjalan sebab ia tidak ingin membuang waktunya percuma. Imam Ibn Rusyd, ahli fiqih dan filsafat terkenal, juga diceritakan tidak pernah meninggalkan membaca buku dan mengajar sepanjang hidupnya kecuali dua malam saja: yaitu ketika ia menikah dan ketika bapaknya meninggal dunia.

Imam Abdul Wahab Al-Sya’rani bercerita tentang gurunya Syeikh Zakaria Al-Anshari (pelajar fiqh mazhab Al-Syafii pasti mengenal nama ini), “Selama dua puluh tahun aku melayaninya, belum pernah aku melihat beliau dalam kelalaian atau melakukan sesuatu yang tak berguna, baik siang ataupun malam hari. Jika seorang tamu berbicara terlalu panjang kepadanya, beliau segera berkata dengan tegas: ‘Kau telah membuang-buang waktuku.’

Keberkahan waktu dapat kita lihat di sejarah hidup tokoh-tokoh Islam sejak masa sahabat. Mereka berhasil melahirkan prestasi besar hanya dalam masa yang sangat singkat sehingga agak sukar diterima logika “zaman hilang-berkah” kita ini. Zaid bin Tsabit, misalnya, berhasil melaksanakan perintah Nabi Saw untuk menguasai bahasa Yahudi (Suryaniah) –percakapan dan tulisan- hanya dalam 17 hari saja. Padahal pada saat itu belum ada alat bantu modern audio visual seperti sekarang ini. Bandingkan dengan diri kita yang memerlukan masa bertahun-tahun untuk mempelajari bahasa Arab atau Inggris tanpa memperoleh hasil yang membanggakan.

Para penulis bioghrafi menceritakan bahwa Al Hafiz Ibn Syahin (seorang ulama hadits kenamaan) menulis 330 judul buku, salah satunya kitab tafsir Al Qur’an setebal seribu jilid. Di akhir hayatnya, ia meminta tukang tinta untuk menghitung berapa banyak tinta yang telah digunakannya untuk menulis. Ternyata jumlahnya mencapai 1800 liter tinta. Sebagian ulama meriwayatkan bahwa Syeikh Abdul Ghaffar Al Qushi menulis sebuah kitab fiqih dalam mazhab Syafii setebal seribu jilid di kota Akhmim.

Begitu juga, Imam Ibn Al-‘Arabi (ahli hadits dan fiqih mazhab Maliki asal Andalusia) berhasil menulis berbagai buku-buku besar dan penting, salah satunya sebuah tafsir setebal delapan puluh ribu lembar halaman. Imam Jalaluddin Al-Suyuthi berkata bahwa pemimpin Ahlusunnah wal jama’ah Syeikh Abul Hasan Al Asy’ari pernah menulis sebuah tafsir sebanyak 600 jilid. Al-Suyuthi berkata, “Sekarang buku itu masih berada di perpustakaan Al-Nizhamiah di Baghdad.”

Belum lagi Imam Al-Ghazali yang hanya hidup 55 tahun, dan Al-Nawawi yang hidup hanya 45 tahun, namun berhasil menulis banyak buku berharga berjilid-jilid. Juga Imam Ibn Al-Jauzi yang dikatakan Imam Al-Dzahabi, “Aku tidak mengetahui seorang ulama yang menulis sebanyak tulisan orang ini.”

Siapa yang pernah mencoba menulis buku pasti tahu betapa besar keberkahan yang Allah berikan kepada waktu para ulama ini. Sebagai manusia biasa, mereka memiliki waktu sama dengan kita: satu bulan terdiri dari empat minggu, satu minggu terdiri dari tujuh hari, dan satu hari terdiri dari 24 jam. Namun keberkahan dalam waktu memungkinkan mereka berkarya dan membuahkan prestasi lebih banyak dari kita. Keberkahan waktu benar-benar kita rasakan telah hilang pada masa kita ini sehingga sering kali sebuah buku tidak dapat kita selesaikan meski berbulan-bulan telah berlalu.

Sebab Keberkahan Dicabut

Kehilangan berkah dalam waktu adalah keluhan utama orang-orang kafir di akhirat. Seringkali Al-Qur’an menceritakan bahwa ketika kiamat terjadi, semua manusia merasa bahwa hidup mereka di dunia sangat singkat. Sebagian mereka merasa hidup di dunia hanya sepuluh hari saja (Qs. Thaha [20]: 103) Sebagian yang lain merasa hanya satu hari atau setengah hari saja, “Allah bertanya: berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi? Mereka menjawab: kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari..” (Qs Al-Mukminun [23]: 112-113).

Di antara mereka ada juga yang berkata bahwa masa hidup mereka di dunia hanya beberapa jam saja, “Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari.” (Qs. Al-Nazi’at [79]: 46). Sebagian yang lain bahkan berani bersumpah di hadapan Allah Swt bahwa mereka hanya tinggal di dunia satu jam saja, “Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa; mereka tidak berdiam (di dunia) melainkan sesaat (saja).” (Qs. Al-Ruum [30]: 55).

Apakah yang menyebabkan hilangnya keberkahan dalam waktu mereka (juga kita) ini? Imam Ibn Abi Jamrah dalam Syarh Al-Bukhari berkata, “Penyebabnya adalah lemah iman dan menyebarnya berbagai pelanggaran syariat di berbagai bidang, salah satunya dalam hal makanan. Kita semua tahu sifat haram dan syubhat yang terdapat di makanan kita. Seringkali manusia tidak peduli (tentang hal ini) sehingga tanpa ragu-ragu mengambil makanan yang haram setiap kali ada kesempatan. Padahal keberkahan dalam waktu, rizki dan tumbuhan hanya datang melalui kekuatan iman dan ketundukan terhadap perintah dan larangan. Dalilnya firman Allah ta’ala: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi.” (Al-A’raf [7]: 96).

Lemah iman memang membawa kepada berbagai maksiat dalam pekerjaan seperti melakukan korupsi, menerima rasuah dan lain-lain. Padahal perbuatan ini hanya memberi keuntungan semu yang akan sirna dalam masa singkat. Seorang wali Allah pada abad kesepuluh hijrian di Mesir Syeikh Afdhaluddin pernah berkata, “Pengkhianatan (dalam pekerjaan) menghapus berkah sebagaimana haram menghapus halal. Barangsiapa berkhianat dalam satu dirham, Iblis akan menyeretnya untuk berkhianat dalam seribu dirham. Begitu juga pencurian. Setiap pencuri yang kami temui, kami melihat bahwa keberkahan hilang dari usia, harta dan agamanya.”

Tak ada keberkahan selama haram menjadi santapan kita. Sebab makanan yang haram atau syubhat selalu menghalangi manusia untuk menggunakan waktunya dengan efektif. Fenomena malas dan tidur ketika beribadah, menuntut ilmu dan bekerja lahir akibat konsumsi makanan seperti ini. Imam ahli hakikat Syeikh Abu Al-Hasan Asy Syadzili berkata, “Kami telah membuktikan bahwa tak ada obat yang paling mujarab untuk mengusir kantuk selain memakan halal dan menjauhi haram atau syubhat. Barangsiapa memakan haram dan syubhat, banyak tidurnya.”

Dan barangsiapa yang banyak tidurnya, berarti ia telah membuang-buang waktunya dengan sia-sia. Para ulama sepakat bahwa tidur yang melebihi kebutuhan dapat merusak mental dan kesehatan pelakunya, juga meluputkan dirinya daripada keuntungan duniawi dan ukhrawi. Oleh karena itu, Imam Al-Sya’rani berkata, “Aku selalu menyesal untuk setiap tidur yang aku lakukan baik waktu siang ataupun malam. Sebab semua kesempurnaan berada dalam kesadaran dan terjaga. Barangsiapa yang suka tidur, berarti ia menyukai kekurangan, meniru orang mati, lalai dari amal kebaikan dan melewatkan keuntungan duniawi dan ukhrawinya.”

Tak ada keberkahan selama riba menjadi sumber rizki kita. Sebab Allah Swt berjanji, “Allah akan memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 276). Imam Fakhruddin Al-Razi di dalam Tafsir-nya berkata, “Ketahuilah bahwa Allah memusnahkan riba; dapat terjadi di dunia juga di akhirat. Adapun di dunia, dapat terjadi dengan berbagai cara. Salah satunya; orang yang mengambil riba meskipun hartanya berlimpah biasanya ia akan jatuh miskin pada akhir hayatnya dan hilang keberkahan dari hartanya. Nabi Saw bersabda: Riba meskipun banyak akan mengecil.”

Sayyid Qutb menulis, “Orang yang hendak memikirkan hikmah Allah dan kesempurnaan agama ini dapat melihat kebenaran firman Allah ini lebih jelas daripada orang-orang yang mendengar firman ini pertama kali. Realitas dunia di depan matanya membenarkan setiap kalimat dari ucapan ini. Berbagai bangsa yang sesat dan memakan riba tertimpa berbagai musibah yang membinasakan sistem etika, agama, kesehatan dan perekonomian mereka.”

Sikap Kita

Jika kita telah menyadari bahwa keberkahan telah hilang, maka sungguh merugi jika kita membuang-buang waktu yang memang sudah sedikit itu. Sebaliknya, kita harus mampu menggunakan waktu ini dengan baik untuk berprestasi di dunia dan mengumpulkan bekal hidup di akhirat. Abu Hazim Salamah bin Dinar berkata, “Segala sesuatu yang ingin kau bawa ke akhirat, siapkan dari sekarang. Dan sesuatu yang tidak ingin kau bawa, tinggalkan dari sekarang.”

Apalagi Rasulullah Saw memberitakan bahwa kondisi ini akan bertambah buruk pada masa-masa yang akan datang. Beliau bersabda –sebagaimana diriwayatkan Al-Bukhari dari Anas bin Malik, “Tidaklah datang kepadamu sebuah zaman, melainkan zaman yang setelahnya lebih buruk dari itu hingga kamu berjumpa dengan tuhanmu.”

Beliau juga bersabda, “Cepatlah kalian beramal sebelum datang berbagai fitnah seperti kegelapan malam. Pada saat itu, seseorang mukmin pada pagi hari lalu kafir petang harinya. Ia mukmin pada petang hari lalu kafir pada pagi harinya. Ia menjual agamanya demi sedikit harta dunia.” (Ibn Hibban dan Al-Hakim dari Abu Hurairah).


Menghilangnya keberkahan umur, rezeki, ilmu, amal dan ketaatan

Menghilangnya keberkahan umur, rezeki, ilmu, amal dan ketaatan

Menghilangnya keberkahan umur, rezeki, ilmu, amal dan ketaatan

Di antara dampak buruk maksiat adalah dapat menghilangkan keberkahan umur, rezeki, ilmu, amal dan juga ketaatan. Secara global, maksiat itu dapat menghilangkan keberkahan agama dan dunia. Tidak akan ada keberkahan sedikit pun dalam agama dan dunia bagi orang yang bermaksiat kepada Allah. Keberkahan bumi tidak akan lenyap kecuali sebab berbagai kemaksiatan yang dilakukan oleh makhluk.

Allah Swt. Berfirman:

"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan ber¬takwa. pasti Kami akan melimpahkan berkah kepada mereka dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan {ayat-ayat Kami) itu maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (Q.S. Al-A’raf [7] : 96)" Dia juga berfirman:

"Dan. seandainya mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum mereka air yang segar (rezeki yang banyak) supaya Kami beri cobaan mereka dengannya. Dan, barang siapa yang berpaling dari peringatan Tuhannya, niscaya akan dimasukkan-Nya ke dalam azab yang amat pedih.(Q.S. Al-Jinn [72] : 16-17)"

Seorang hamba akan terhalang dari rezeki sebab dosa yang ia perbuat. Diterangkan dalam sebuah hadits, "Ruh Kudus (malaikat Jibril) berbisik kepadaku bahwa nyawa tidak akan mati hingga habis rezekinya. Maka dari itu, bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah dalam memohon! Karena, tiada yang dapat diperoleh dari sisi-Nya kecuali dengan taat kepada-Nya. Dia menjadikan kedamaian dan kesenangan dalam ridha dan yakin, dan menjadikan keresahan dan kesusahan dalam ragu-ragu dan amarah.'

Dalam kitab Az –Zuhd, Imam Alunad menyebutkan suatu riwayat yang berbunyi, "Aku adalah Allah. Jika Aku ridha maka ku pasti memberi keberkahan, dan keberkahan-Ku itu tiada terbatas. Namun, jika Aku murka, Aku melaknat, dan laknat Ku .mpai tujuh turunan."

Keluasan rezeki dan amal tidak bisa diukur dengan banyaknya, dan panjangnya umur tidak diukur dari banyaknya bulan dan tahun. Akan tetapi, keluasan rezeki dan umur itu diukur dengan keberkahan yang ada di dalamnya, sebagaimana telah dijelaskan belumnya bahwa umur hamba adalah durasi waktu hidupnya, dan tiada kehidupan bagi orang yang menyimpang dari Allah, sementara ia sibuk dengan selain-Nya. Jika seperti itu, kehidupan ia binatang lebih baik daripada kehidupannya. Ini karena hidup manusia itu tergantung pada kehidupan hati dan jiwanya. Tidak ada kehidupan bagi hatinya kecuali dengan mengenal Sang Penciptanya, mencintai-Nya, mengabdi kepada-Nya, kembali pada-Nya, tenang berdzikir kepada-Nya, serta damai dekat dengan-Nya. Barang siapa yang luput dari semua itu berarti ia telah kehilangan segala kebaikan. Seandainya ia mengganti semua itu dengan dunia seisinya, tentu tidaklah cukup. Memang, segala sesuatu yang hilang itu ada gantinya, namun jika ia kehilangan Allah, tiada satu pun yang dapat menjadi ganti-Nya.

Bagaimana mungkin makhluk yang fakir bisa menggantikan Dzat Yang Maha Kaya, yang lemah menggantikan Dzat Yang Maha Kuasa, yang mati menggantikan Dzat Yang Maha Hidup abadi, makhluk menggantikan Sang Khaliq, yang tiada berwujud dan tidak punya apa-apa menggantikan Dzat yang kekayaan, kesempurnaan, wujud, dan rahmat-Nya melekat pada Dzat-Nya?! Dan, bagaimana mungkin orang yang tiada memiliki apa pun bisa menggantikan Dzat yang memiliki kerajaan langit dan bumi?!

Perbuatan maksiat kepada Allah menjadi sebab terhalangnya keberkahan rezeki dan ajal karena itu semua memang diserahkan kepada setan untuk mengusai manusia, baik keluarga maupun sahabatnya yang memegang teguh agama. Segala sesuatu yang berhubungan dan diiringi setan pasti hilang keberkahannya. Oleh sebab itu, dianjurkan dalam syariat untuk menyebut nama Allah di kala hendak makan, minum, berpakaian, bepergian, berselubuli, dan mengerjakan segala sesuatu. Karena, dengan menyebut nama-Nya, segala pekerjaan akan diiringi keberkahan dan dapat mengusir setan hingga keberkahan yang didapatkan tidak ada yang menghalangi.

Segala sesuatu yang tidak ditujukan kepada Allah maka dihapus keberkah-annya karena Dialah yang memberi keberkahan, dan seluruh keberkahan itu dari-Nya. Setiap sesuatu yang di hubungkan kepada-Nya pasti diberkahi. Firman-Nya mengandung keberkahan, Rasul-Nya mengandung keberkahan, hamba- Nya yang mukmin dan bermanfaat kepada makhluk mengandung keberkahan, Baitul al-Haram mengandung keberkahan, negeri Syam juga mengandung keberkahan yang telah Dia jelaskan dalam enam ayat di dalam kitab-Nya. Tiada yang dapat memberi keberkahan kecuali Dia.

Tiada yang mengandung keberkahan kecuali apa-apa yang dihubungkan kepada-Nya, yakni cinta kepada-Nya, sifat ketuhanan-Nya, dan ridha-Nya. Seantero alam dinisbatkan kepada pemeliharaan- Nya serta penciptaan-Nya. Segala sesuatu yang jauh dari-Nya tidak mengandung keberkahan. Dan, setiap sesuatu yang dekat dengan-Nya pasti mengandung keberkahan menurut ukuran kedekatannya dengan-Nya.

Lawan dari keberkahan adalah laknat. Bumi, manusia, dan amal perbuatan yang dilaknat oleh Allah tentu amat jauh dari kebaikan dan keberkahan. Apa pun yang dilaknat oleh-Nya tidak mengandung keberkahan sama sekali. Maka dari itu, kemaksiatan itu berdampak pada lenyapnya keberkahan umur, rezeki, ilmu,dan amal. ,

Setiap waktu, harta, tubuh, pangkat, ilmu, dan amal yang kau gunakan untuk bermaksiat kepada Allah, tidak ada keberkahan di dalamnya karena yang diberkahi hanya apa-apa yang ditujukan untuk taat kepada-Nya. Oleh sebab itu, adakalanya umur manusia di dunia ini hingga seratus tahun, namun sebenarnya umurnya itu tidak mencapai dua puluh tahun. Ada juga yang memiliki limpahan emas dan perak, tetapi pada hakikatnya, hartanya tidak sampai seribu dirham saja. Begitu juga pangkat dan ilmu.

Diterangkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh at- Tirmidzi, "Dunia itu dilaknat. Segala isinya juga terlaknat kecuali dzikir kepada Allah dan sejenisnya, serta orang berilmu dan yang mencari ilmu."

Disebutkan dalam riwayat lainnya, "Dunia seisinya ini terlaknat kecuali apa-apa yang hanya ditujukan kepada Allah." Hanya inilah yang mengandung keberkahan.

Dampak buruk kemaksiatan

Dampak buruk kemaksiatan

Kemaksiatan memiliki sekian banyak dampak buruk dan tercela yang merusak hati dan jasmani, di dunia maupun di akhirat; yang hanya Allah subhanahu wa ta’ala saja yang mengetahuinya.

Di antaranya sebagai berikut.

Terhalang mendapatkan ilmu.

Ilmu adalah cahaya yang dimasukkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala ke dalam hati seorang hamba, sedangkan maksiat akan memadamkan cahaya tersebut. Tatkala al-Imam asy-Syafi’i duduk dan membacakan kitab di hadapan al-Imam Malik, beliau (al-Imam Malik) kagum dengan kecerdasan dan kesempurnaan pemahamannya.

Al-Imam Malik berkata kepada al-Imam asy-Syafi’i, “Sungguh, aku melihat bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah memberikan cahaya di hatimu. Janganlah engkau memadamkannya dengan kemaksiatan.” Al-Imam asy-Syafi’i berkata, “Aku mengeluhkan kepada al-Imam Waki’ tentang buruknya hapalanku. Beliau kemudian membimbingku agar meninggalkan kemaksiatan. Beliau berkata, ‘Ketahuilah! Sesungguhnya ilmu itu adalah keutamaan, sedangkan keutamaan Allah subhanahu wa ta’ala itu tidak diberikan kepada orang yang bermaksiat’.”

Terhalang mendapatkan rezeki.

Diriwayatkan di dalam al-Musnad, “Sesungguhnya seorang hamba akan terhalang dari mendapatkan rezeki karena dosa yang dia kerjakan.” Ketakwaan akan mendatangkan rezeki, sedangkan meninggalkannya akan mendatangkan kefakiran. Tidak ada sesuatu yang bisa mendatangkan rezeki yang semisal dengan meninggalkan kemaksiatan.

Menimbulkan rasa gundah dan gelisah di dalam hati.

Hal ini dirasakan oleh pelaku maksiat ketika menjalin hubungan antara dirinya dan Allah. Ia merasakan kegelisahan yang sama sekali tidak sebanding dengan kenikmatan yang ia dapat dari kemaksiatan.

Kalaupun terkumpul padanya berbagai kenikmatan dunia, semua itu tidak bisa mengobati kegelisahan yang ia rasakan. Tidaklah ada yang bisa merasakan hal ini kecuali orang yang dalam hatinya masih ada kehidupan; sebagaimana sakitnya luka tidak bisa dirasakan oleh seorang yang telah mati.

Seandainya tidak ada alasan seorang meninggalkan kemaksiatan selain khawatir ditimpa kegelisahan ini, tentu orang yang berakal akan memilih untuk meninggalkannya.

Suatu ketika ada seseorang yang mengeluh kepada sebagian orang bijak tentang kegelisahan yang dia rasakan. Orang bijak itu berkata, “Jika dosa-dosa itu telah membuatmu gelisah, tinggalkanlah dosa itu jika kau mau, niscaya engkau akan merasakan ketenangan.”

Sungguh, tidak ada sesuatu yang terasa lebih pahit di dalam hati seseorang melebihi rasa gelisah akibat perbuatan dosa yang dia kerjakan.

Muncul rasa gelisah tatkala bermuamalah dengan manusia, terkhusus orang saleh di antara mereka.

Jika kegelisahan itu semakin kuat, ia akan semakin menjauh dari mereka. Ia pun akan menjauh dari majelis mereka, terhalang dari barakah kebaikan mereka, dan semakin dekat dengan golongan setan sesuai dengan kadar jauhnya dari golongan Allah. Akibatnya, kegelisahan itu semakin menguat hingga menguasai dirinya. Kegelisahan itu akan terasa tatkala dia bermuamalah dengan istri, anak, kerabat, bahkan dengan jiwanya sendiri. Engkau akan melihat dia benci terhadap dirinya sendiri.

Sebagian salaf berkata, “Sungguh, tatkala aku bermaksiat kepada Allah, aku melihat dampak buruknya pada tingkah laku istriku dan tungganganku.”

Segala urusannya menjadi terasa sulit.

Tidaklah dia menghadapi suatu masalah kecuali dia merasa bahwa semua jalan keluar telah tertutup atau semakin sulit.

Hal ini sebagaimana orang yang bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala akan dijadikan urusannya menjadi mudah. Adapun orang yang tidak bertakwa kepada Allah akan dijadikan sulit segala urusannya. Sungguh mengherankan! Bagaimana bisa seorang hamba mendapati pintu kebaikan tertutup untuknya dan jalan kebaikan terasa sulit baginya, sedangkan dia tidak tahu mengapa hal itu bisa menimpanya?

Kegelapan yang sangat dia rasakan di dalam hatinya sebagaimana dia merasakan gelapnya malam yang telah gulita.

Kegelapan maksiat di hatinya seperti gelapnya malam pada pandangan mata. Sebab, sesungguhnya ketaatan adalah cahaya dan kemaksiatan adalah kegelapan. Tatkala kegelapan itu semakin bertambah, bertambah pula rasa bimbangnya. Akhirnya, dia terjatuh dalam kebid’ahan, kesesatan, dan perkara yang membinasakannya yang tidak dia sadari. Bagaikan seorang buta, ia keluar dan berjalan seorang diri di kegelapan malam. Kegelapan itu menguat sampai tampak pada matanya, dan terus bertambah hingga tampak pada wajahnya. Wajahnya pun menjadi hitam yang dapat dilihat oleh setiap orang.

Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Sesungguhnya kebaikan itu akan memunculkan sinar pada wajah, cahaya dalam hati, kelapangan rezeki, kekuatan badan, dan kecintaan di hati manusia. Sebaliknya, kejelekan itu akan menimbulkan kesuraman pada wajah, kegelapan dalam hati, kelemahan badan, kurangnya rezeki, dan kebencian di hati manusia.”

Melemahkan hati dan badan.

Kelemahan hati akibat kemaksiatan sangatlah tampak. Bahkan, kemaksiatan itu akan terus melemahkan hati sampai hilang kehidupan dalam hati tersebut secara menyeluruh.

Adapun lemahnya badan akibat kemaksiatan, hal itu karena kekuatan orang yang beriman bersumber dari hatinya. Semakin kuat hatinya, semakin kuat pula badannya.

Meski orang fajir tampak kuat badannya, dia akan menjadi lemah tatkala membutuhkan kekuatannya. Seolah-olah, kekuatan itu mengkhianatinya saat dia sangat membutuhkannya. Perhatikanlah bagaimana kekuatan pasukan Persia dan Romawi yang seolah-olah mengkhianati mereka di saat mereka membutuhkannya. Justru orang-orang berimanlah yang menguasai mereka dengan sebab kekuatan badan dan hati mereka.

Menghalangi dari ketaatan.

Seandainya tidak ada hukuman untuk sebuah dosa kecuali pelakunya terhalang dari mengerjakan satu amal saleh menuju amal saleh berikutnya, sungguh dengan sebab dosa tersebut ia telah terhalang dari amal saleh yang banyak. Padahal setiap amal saleh itu lebih baik baginya daripada dunia dan seisinya.

Hal ini seperti orang yang memakan satu makanan yang mengakibatkan kemudaratan yang panjang untuk dirinya, dan membuatnya terhalang memakan sekian banyak makanan lain yang lebih baik.

Dampak Dosa Dan Maksiat

Dampak Dosa Dan Maksiat

Dampak Dosa Dan Maksiat A. Mudharat Yang Ditimbulkan Oleh Dosa Dan Maksiat Merupakan perkara yang wajib diketahui oleh setiap muslim, bahwa dosa dan maksiat memiliki dampak yang merugikan. Bahaya maksiat bagi hati laksana bahaya racun bagi tubuh, yaitu memiliki tingkatan yang beragam. Disamping maksiat adalah kehinaan didunia dan di akherat. 1. Bukankah karena dosa dan maksiat ayah dan ibu kita, yaitu Nabi Adam ‘alaihissalam dan istrinya hawa diusir dari surga yang penuh kenikmatan menuju tempat yang penuh penderitaan, kesedihan, dan musibah (bumi)? 2. Bukankah karena dosa Iblis terusir dari kerajaan langit, menjadi makhluk yang terlaknat? Kedekatan Iblis dengan Allah menjadi jauh; rahmat menjadi laknat; keindahan menjadi keburukan; surga menjadi neraka yang berkobar-kobar; iman menjadi kekufuran. Sehingga jadilah Iblis lambang kejahatan bagi kefasikan dan kekufuran, yang sebelumnya menjadi ahli ibadah dan hamba yang mulia. 3. Bukankah dosa yang menyebabkan tenggelamnya penduduk bumi, hingga air menutupi puncak-puncak gunung? 4. Bukankah karena dosa dan maksiat sehingga Allah mengirimkan angin kepada kaum ‘Ad, hingga mayat-mayat mereka bergelimpangan dimuka bumi laksana pohon kurma yang lapuk? 5. Bukankah dosa sebab Allah mengirimkan suara yang menggelegar kepada kaum Tsamud, hingga memangkas habis dan membinasakan mereka? 6. Bukankah karena dosa dan maksiat sehingga Allah membolak-balikan desa kaum Luth ‘alaihissalam dari atas menjadi bawahnya, kemudian Allah menghujani mereka dengan batu-batu meteor dari langit. Sengguh adzab mengerikan yang belum pernah dijatuhkan kepada umat-umat sebelumnya. 7. Bukankah karena dosa Allah mengutus awan laksana naungan yang berlapis-lapis kepada kaum Syu’aib ‘alaihissalam, hingga tatkala sudah sampai dikepala mereka turunlah hujan api yang menyala-nyala? 8. Bukankah dosa yang menyebabkan Allah menenggelamkan Fir’aun dan bala tentaranya kedalam lautan? Sedangkan arwah mereka dineraka Jahannam. Jasad mereka tenggelam namun nyawa mereka terbakar. 9. Bukankah dosa yang menyebabkan Qarun tenggelam dengan istana dan hartanya? 10. Dosa juga yang menyebabkan Bani Israil ditimpa dengan berbagai macam hukuman? Terkadang dengan pembunuhan, perbudakan, hancurnya negeri, munculnya para raja dzalim yang memerangi mereka, dilaknatnya mereka menjadi kera dan babi, sampai akhirnya Rabb Ta’ala bersumpah,

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكَ لَيَبْعَثَنَّ عَلَيْهِمْ إِلى يَوْمِ الْقِيامَةِ مَنْ يَسُومُهُمْ سُوءَ الْعَذابِ
“Dan (ingatlah), ketika Rabb-mu memberitahukan, bahwa Sesungguhnya dia akan mengirim kepada mereka (orang-orang Yahudi) sampai hari kiamat orang-orang yang akan menimpakan kepada mereka azab yang seburuk-buruknya...” (Al-A’raf: 167) Itu semua adalah akibat dari dosa yang mereka lakukan. Hendaklah peristiwa yang telah berlalu cukup menjadi pelajaran yang berharga bagi orang-orang yang setelahnya. Karena orang yang baik adalah yang mampu mengambil pelajaran dari orang lain dan bukan menjadi pelajaran yang jelek bagi generasi setelahnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَكُلاًّ أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ فَمِنْهُمْ مَنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا وَمِنْهُمْ مَنْ أَخَذَتْهُ الصَّيْحَةُ وَمِنْهُمْ مَنْ خَسَفْنَا بِهِ اْلأَرْضَ وَمِنْهُمْ مَنْ أَغْرَقْنَا وَمَا كَانَ اللهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
“Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa sebab dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil, di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan. Dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (Al-‘Ankabut: 40) 11. Maksiat juga penyebab umat ini akan diadzab oleh Allah. Disebutkan dalam Musnad ahmad(1), dari Ummu Salamah ia berkata, aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Jika tampak jelas berbagai macam kemaksiatan pada umatku, maka Allah akan menyamaratakan adzab disisi-Nya kepada mereka semua.” Kemudian aku (Ummu Salamah) berkata, ‘Bukankah ada orang-orang shaleh diantara mereka?’ Beliau menjelaskan, “Mereka juga ditimpa bencana saat itu seperti halnya yang lain, tetapi mereka akan mendapatkan ampunan dan keridho’an dari Allah.” 12. Maksiat dan dosa adalah faktor berkuasanya musuh-musuh Islam atas kaum muslimin. Dari tsauban radhiyallahu’anhu, ia mengatakan,
«يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا» ، فَقَالَ قَائِلٌ: وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ: «بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ، وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ، وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ، وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمُ الْوَهْنَ» ، فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا الْوَهْنُ؟ قَالَ: «حُبُّ الدُّنْيَا، وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ»
“Hampir-hampir umat-umat lain akan menyerang kalian dari berbagai penjuru, sebagai mana orang-orang yang kelaparan meyerbu piring besar yang berisi makanan.” Kami bertanya, ‘Apakah karena jumlah kita yang sedikit keryika itu wahai Rasulullah?’ Beliau menjwab, “Pada waktu itu, jumlah kalian banyak, akan tetapi kalian seperti buih yang diterpa air bah. Rasa gentar telah dicabut dari musuh-musuh kalian dan hati kalian ditimpa wahn.” Para shahabat bertanya, ‘Apa yang dimaksud dengan wahn?’ Rasulullah menjawab, “Cinta dunia dan benci mati.”(2) 13. Ghibah dan menodai kehormatan seorang muslim adalah sebab datangnya adzab. Dari Anas bin Malik Radhiyallahu’anhu berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
لَمَّا عُرِجَ بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمُشُونَ وُجُوهَهُمْ وَصُدُورَهُمْ، فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ، وَيَقَعُونَ فِي أَعْرَاضِهِمْ
“Ketika dinaikkan kelangit dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, aku melewewati suatu kaum yang memiliki kuku dari tembaga. Mereka mencakari muka dan dada mereka sendiri dengan kuku tersebut.” Lalu, aku bertanya, “Wahai Jibril, siapakah mereka?’ Jibril menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia (berbuat ghibah) dan menodai kehormatan mereka.”(3) 14. Empat maksiat yang membinasakan dan ditakutkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Wahai kaum Muhajirin, ada lima perkara yang aku berlindung kepada Allah semoga kalian tidak menjumpainya. * Tidaklah tampak suatu perbuatan keji (zina) dalam suatu kaum, sampai-sampai mereka melakukannya secara terang-terangan, melainkan mereka akan ditimpa suatu cobaan dengan berbagai wabah tha’un dan penyakit yang belum pernah dialami oleh umat-umat sebelum mereka. * Tidaklah suatu kaum mengurangi suatu takaran atau timbangan, melainkan mereka akan ditimpa kecelakaan berupa kekeringan selama bertahun-tahun, paceklik, dan penguasa yang zalim. * Tidaklah suatu kaum menolak membayar harta zakat yang mereka miliki, melainkan akan ditahan curah hujan dari langit; sekiranya bukan karena binatang ternak, niscaya tidak akan turun hujan kepada mereka. * Tidaklah suatu kaum melanggar janji, melainkan Allah akan menjadikan musuh, yang bukan dari golongan mereka, lantas musuh-musuh itu mengambil sebagian (harta) yang ada pada mereka. * Tidaklah para pemimpin mereka mengabaikan apa yang Allah turunkan dalam kitab-Nya, melainkan Allah akan memjadikan mereka saling bermusuhan.”(4) 15. Kikir, terlena dengan dunia dan meninggalkan jihad adalah sebab kehinaan. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
«إِذَا ضَنَّ النَّاسُ بِالدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ وَتَبَايَعُوا بِالْعِينَةِ وَاتَّبَعُوا أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَتَرَكُوا الْجِهَادَ، بَعَثَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ ذُلًّا، ثُمَّ لَا يَنْزِعُهُ عَنْهُمْ، حَتَّى يُرَاجِعُوا دِينَهُمْ»
“Jika manusia telah kikir dengan dinar dan dirhamnya, berjual beli dengan ‘inah, mengikuti ekor-ekor sapi, serta meninggalkan jihad fii sabiilillaaah, maka Allah akan menurunkan bencana kepada mereka. Bencana tersebut tidak akan dihilangkan-Nya hingga manusia kembali kepada agama mereka.”(5) 16. Riba’, pembunuhan, dan homoseksual adalah sebab datangnya adzab. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,“..Tidaklah riba tampak pada suatu kaum, melainkan Allah akan menjadikan mereka dikuasai kegilaan. Tidaklah pembunuhan tampak pada suatu kaum, sebagian mereka membunuh sebagian yang lain, melainkan Allah akan memberikan kekuasaan kepada musuh mereka. Tidaklah perbuatan kaum Luth tampak pada suatu kaum, melainkan tanah longsor tampak pada mereka..”(6) 17. Meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar adalah sebab turunnya adzab. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,“Sesungguhnya manusia jika melihat orang zhalim lantas ia tidak mencegahnya (dalam lafadz lain disebutkan: Jika mereka melihat kemungkaran lantas tidak mengubahnya), maka hampir-hampir Allah menimpakan adzab secara menyeluruh dari sisi-Nya kepada mereka.”(7) 18. Berdakwah kepada kebaikan namun tidak mengamalkannya juga merupakan faktor turunnya adzab dari Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,“Ada seseorang didatangkan pada hari kiamat, lalu dilemparkan ke neraka. Ususnya terurai, lantas ia berputar seperti keledai yang berputar pada batu penggiling gandum. Para penghuni neraka pun berkumpul disekitarnya, kemudian bertanya, “Wahai Fulan, ada apa denganmu? Bukankah kamu dahulu menyuruh kami berbuat baik dan mencegah kami dari berbuat munkar?” maka ia menjawab, ‘Dahulu aku menyuruh kalian berbuat baik, namun aku tidak mengamalkannya. Aku pun mencegah kalian dari kemungkaran, namun aku melakukannya.”(8) 19. Meremehkan dosa-dosa kecil adalah sebab kebinasaan. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ، فَإِنَّهُنَّ يَجْتَمِعْنَ عَلَى الرَّجُلِ حَتَّى يُهْلِكْنَهُ
“Berhati-hatilah kalian dari meremehkan dosa, sesungguhnya dosa itu bisa bertumpuk-tumpuk pada diri seseorang hingga membinasakannya.”(9) 20. Bahkan berbuat sewenang-wenang kepada binatang pun bisa menyebabkan datangnya adzab. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
«عُذِّبَتِ امْرَأَةٌ فِي هِرَّةٍ سَجَنَتْهَا حَتَّى مَاتَتْ فَدَخَلَتْ فِيهَا النَّارَ، لَا هِيَ أَطْعَمَتْهَا وَسَقَتْهَا، إِذْ حَبَسَتْهَا، وَلَا هِيَ تَرَكَتْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الْأَرْضِ»
“Seorang wanita diadzab karena seekor kucing yang dikurungnya sampai mati. Wanita itu masuk neraka karena tidak memberi makan dan minum kepada kucing tersebut, serta tidak pla melepaskannya, agar hewan tersebut dapat memakan serangga tanah.”(10) B. Dampak-dampak Buruk Maksiat Maksiat mempunyai dampak yang amat buruk serta membahayakan bagi hati dan badan, baik di dunia maupun di akherat. Dan tidak ada yang mengetahui kadar jumlahnya kecuali hanya Allah semata. Diantara dampak-dampaknya antara lain: 1. Dosa menghalangi seorang dari memperoleh ilmu yang bermanfaat. Karena ilmu merupakan cahaya yang Allah Subhanahu wa Ta’ala letakkan pada hati seseorang, sedangkan maksiat yang akan meredupkan cahaya tersebut. Tatkala Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah duduk di hadapan gurunya, Al-Imam Malik rahimahullah, sang guru melihat kesempurnaan pemahaman Asy-Syafi’i rahimahullah. Maka ia berpesan kepadanya: “Sungguh, aku memandang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah meletakkan pada hatimu cahaya, maka janganlah kau padamkan dengan gelapnya kemaksiatan.” Imam Asy-Syafi’i juga berkata dalam sya’irnya:
شَكَوْتُ إِلَى وكِيْعٍ سُوْءَ حِفْظِيْ * فَأَرْشَدَنِيْ إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِيْ وَقَالَ إِعْلَمْ بِأَنَّ الْعِلْمَ فَضْلٌ * وَفَضْلُ اللَّهِ لاَ يُؤْتَاهُ عَاصٍ
Aku mengadu kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku dia menasehatiku agar aku meninggalkan maksiat diapun berkata, ‘ketahuilah sesungguhnya ilmu itu karunia dan karunia Allah tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat.(11) 2. Maksiat menyebabkan seorang terhalang dari rizki. Sebagaimana sebaliknya yaitu takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mendatangkan rizki. Allah berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya..” (At-Thalaq: 2-3) 3. Adanya kegersangan pada hati orang yang berbuat maksiat dan kesenjangan antara dia dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal itu tidaklah dirasakan kecuali oleh orang yang hatinya masih hidup, sebagaimana disebutkan dalam sebuah sya’ir:
وَمَا لِجُرْحٍ بِمَيِّتٍ إِيلَامٌ
Luka tidak akan menyakitkan orang yang sudah mati. Berkata seorang yang bijak:
إِذَا كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ ... فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِ
Apabila engkau sudah merasa hampa karena dosa Maka tinggalkanlah ia, jika kamu mau, dan raihlah kebahagiaan. 4. Disulitkan segala urusannya Para pelaku maksiat, tidaklah ia menghadapi suatu urusan, malainkan ia akan menghadapi berbagai macam kesulitan dan kebuntuan. Allah berfirman,
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكاً
"Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit.” (Thaha: 124) Seandainya ia bertaqwa pastilah segala urusannya akan dipermudah. Allah berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً
“Dan barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah akan menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Ath-Thalaq: 4) 5. Maksiat menyebabkan kegelapan di hati pelakunya Pelaku kemaksiatan akan merasakan kegelapan di hatinya sebagaimana gelapnya malam yang sudah larut. Hal itu dikarenakan ketaatan adalah cahaya, sementara maksiat adalah kegelapan. Berkata Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhu, “Sesungguhnya kebaikan mempunyai sinar di wajah, cahaya di hati, kelapangan dalam rizki, kekuatan pada tubuh, serta mendapatkan kecintaan di hati para makhluk. Sesungguhnya kejelekan memiliki tanda hitam diwajah, kegelapan di hati, kelemahan pada tubuh, kekurangan pada rizki, serta kebencian di hati para makhluk.” 6. Maksiat menghalangi seseorang untuk melakukan ketaatan Banyak sekali ketaatan terlewatkan karena perbuatan maksiat, padahal suatu ketaatan itu lebih baik dari pada dunia dan seisinya. Hal ini ibarat seseorang yang menyantap suatu hidangan kemudian ia menjadi sakit berkepanjangan sehingga ia tidak bisa lagi menikmati berbagai macam hidangan yang lainnya yang bisa jadi lebih enak dari pada hidangan tadi. Wallahul Musta’an. 7. Maksiat akan menghilangkan keberkahan umur seseorang Oleh karena itu Allah berfirman tentang para pelaku dosa dan maksiat tentang bagaimana penyesalan mereka di akherat kelak,
يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَياتِي “.
Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal sholeh) untuk hidupku ini.” (Al-Fajr: 24) Apabila seseorang tidak memiliki visi unuk beramal demi kemaslahatan dunia dan akheratnya, maka ia akan binasa dan umurnya terbuang sia-sia. 8. Maksiat akan melahirkan kemaksiatan yang lain Kemaksiatan akan melahirkan kemaksiatan yang lainnya hingga pelakunya merasa sulit untuk meninggalkan dan berlepas diri dari maksiat tersebut. Sebagian salaf mengatakan, “Hukuman dari keburukan adalah keburukan yang setelahnya, sedangkan ganjaran dari kebaikan adalah munculnya kebaikan setelahnya. Jika seorang hamba melakukan kebaikan, maka kebaikan lain akan berkata kepadanya: ‘amalkan aku juga.’ Apabila ia mengamalkannya, maka kebaikan yang lain akan mengatakan seperti itu juga, demikian seterusnya. Hingga, berlipat gandalah keuntungan dan bertambahlah kebaikan. Demikian pula dengan maksiat. Hal itu akan terus berlangsung hingga ketaatan atau kemaksiatan menjadi suatu karakter yang tetap dan melekat pada diri seseorang. 9. Maksiat menyebabkan hati tidak lagi menganggap sesuatu yang jelek sebagai keburukan. Seorang yang berlumuran dengan perbuatan maksiat, maka ia tidak lagi peduli dengan pandangan manusia yang menganggap dirinya buruk, ataupun komentar jelek mereka terhadapnya. Bahkan sebagian mereka malah berbangga dan tidak malu lagi menceritakan maksiat yang mereka kerjakan. Manusia seperti ini adalah manusia yang tidak di maafkan. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا المُجَاهِرِينَ، وَإِنَّ مِنَ المُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا، ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ، فَيَقُولَ: يَا فُلاَنُ، عَمِلْتُ البَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
“Setiap umatku dimaafkan kecuali Al-Mujahirun(12). Termasuk sikap menampakkan maksiat adalah Allah telah menutupi (maksiat) yang ada pada hambanya (di malam hari), kemudian di pagi harinya ia menampakkannya dan mengatakan, ‘Wahai Fulan, pada hari ini dan itu aku telah melakukan perbuatan ini dan itu.’ Ia membongkar kejelekan dirinya sendiri, padahal pada malam hari Rabbnya telah menutupinya.”(13) Berkata Abdullah bin Mas’ud, “sesungguhnya seorang mu’min melihat dosa-dosanya seolah-olah ia sedang berada di kaki gunung; ia takut kalau gunung tersebut menimpanya. Adapun orang yang durhaka melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya, ia pun mengibasnya, sehingga pergilah lalat tersebut.”(14) 10. Maksiat akan menyebabkan kesialan. Diantara dampak kemaksiatan adalah kesialan, baik yang menimpa diri seorang yang berbuat maksiat ataupun akan berdampak kepada makhluk yang lain. Berkata Abu Hurairah,
إِنَّ الْحُبَارَى لَتَمُوتَ فِي وَكْرِهَا مِنْ ظُلْمِ الظَّالِمِ
“Sungguh burung Hubara (yang panjang lehernya) bisa mati dalam sarangnya disebabkan kezaliman orang yang zalim.”(15) Oleh karena itu berkata sebagian salaf, “Sesungguhnya apabila aku berbuat maksiat, maka aku mendapatkan kesialan dalam kendaraanku dan sikap istriku.” 11. Maksiat mewariskan kehinaan Kemaksiatan itu mewariskan kehinaan, dikarenakan kemuliaan hanyalah di dapat dengan ketaatan kepada Allah. Allah berfirman,
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا
“Barang siapa menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semua...” (Fathir: 10) Artinya carilah kemuliaan dengan mentaati Allah. Sebab, seseorang tidak akan mendapatkan kemuliaan melainkan dengan ketaatan kepada-Nya. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي
“Dijadikan kehinaan dan kerendahan atas orang yang meyelisihi perintahku.”(16) Oleh karena itu sebagian salaf berdo’a:
اللَّهُمَّ أَعِزَّنِي بِطَاعَتِكَ وَلَا تُذِلَّنِي بِمَعْصِيَتِكَ
“Ya Allah muliakanlah aku dengan mentaati-Mu dan janganlah hinakan aku dengan mendurhakai-Mu.”(17) Berkata Abdullah bin Al-Mubarak:
أَيْتُ الذُّنُوبَ تُمِيتُ الْقُلُوبَ ... وَقَدْ يُورِثُ الذُّلَّ إِدْمَانُهَا وَتَرْكُ الذُّنُوبِ حَيَاةُ الْقُلُوبِ ... وَخَيْرٌ لِنَفْسِكَ عِصْيَانُهَا
Aku melihat bahwa dosa itu mematikan hati Dan kecanduan dengannya mewariskan kehinaan Sedangkan meninggalkan dosa adalah kehidupan bagi hati Maka lebih baik bagimu untuk meninggalkan maksiat. 12. Kemaksiatan akan mematikan hati Diantara dampak buruk maksiat adalah pelakunya akan mati hatinya dan terkunci hatinya, akhirnya ia menjadi orang yang lalai dan tidak mau menerima kebenaran. Allah berfirman,
كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Sekali-kali tidak (demikian), sesungguhnya apa yang mereka selalu usahakan itu menutup hati mereka.” (Al-Muthaffifun: 14) Berkata Al-Hasan Al-Bashri, “Itu adalah dosa diatas dosa hingga membutakan hati.”(18) Apabila telah bertumpuk kemaksiatan, maka hati pun akan berkarat, semakin lama karat tersebut bertambah sehingga akan membuat hati menjadi tertutup. Sehingga ia akan jauh dari petunjuk dan menjadi bulan-bulanan bagi musuh. 13. Maksiat adalah sebab datangnya berbagai macam kerusakan di muka bumi Maksiat itu berdampak pada kerusakan di muka bumi, baik di udara, air, pertanian, buah-buhan, maupun tempat tinggal. Allah berfirman,
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Ar-Rum: 41) Dalam ayat yang mulia ini Allah Ta’ala menyatakan bahwa semua kerusakan yang terjadi di muka bumi, dalam berbagai bentuknya, penyebab utamanya adalah perbuatan buruk dan maksiat yang dilakukan manusia. Maka ini menunjukkan bahwa perbuatan maksiat adalah inti “kerusakan” yang sebenarnya dan merupakan sumber utama kerusakan-kerusakan yang tampak di muka bumi. Imam Abul ‘Aliyah ar-Riyaahi berkata, “Barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah di muka bumi maka (berarti) dia telah berbuat kerusakan padanya, karena perbaikan di muka bumi dan di langit (hanyalah dicapai) dengan ketaatan (kepada Allah Ta’ala).”(19) Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan (dosa)mu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS asy-Syuura:30). Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata, “Allah Ta’ala memberitakan bahwa semua musibah yang menimpa manusia, (baik) pada diri, harta maupun anak-anak mereka, serta pada apa yang mereka sukai, tidak lain sebabnya adalah perbuatan-perbuatan buruk (maksiat) yang pernah mereka lakukan…”(20) Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُون
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS al-A’raaf: 96). Artinya: Kalau saja mereka beriman dalam hati mereka dengan iman yang benar dan dibuktikan dengan amalan shaleh, serta merealisasikan ketakwaan kepada Allah lahir dan batin dengan meninggalkan semua larangan-Nya, maka niscaya Allah akan membukakan bagi mereka (pintu-pintu) keberkahan di langit dan bumi, dengan menurunkan hujan deras (yang bermanfaat), dan menumbuhkan tanam-tanaman untuk kehidupan mereka dan hewan-hewan (ternak) mereka, (mereka hidup) dalam kebahagiaan dan rezki yang berlimpah, tanpa ada kepayahan, keletihan maupun penderitaan, akan tetapi mereka tidak beriman dan bertakwa maka Allah menyiksa mereka karena perbuatan (maksiat) mereka”(21) 14. Maksiat menghilangkan rasa malu Di antara dampak maksiat adalah menghilangkan malu yang merupakan sumber kehidupan hati dan inti dari segala kebaikan. Hilangnya rasa malu, berarti hilangnya seluruh kebaikan. Ini sebagaimana sabda Nabi
اَلْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ
“Rasa malu seluruhnya adalah kebaikan”(22) Oleh karena itu, seseorang yang bermaksiat dan terus menerus melakukannya, dikatakan sebagai orang yang tidak tahu malu. Nabi bersabda
«إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسَ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ»
“Sesungguhnya termasuk yang pertama diketahui manusia dari ucapan kenabian adalah jika kamu tidak malu, berbuatlah sesukamu!”(23) Maksudnya, dosa-dosa akan melemahkan rasa malu seorang hamba, bahkan bisa menghilangkannya secara keseluruhan. Akibatnya, pelakunya tidak lagi terpengaruh atau merasa risih saat banyak orang mengetahui kondisi dan perilakunya yang buruk. Lebih parah lagi, banyak di antara mereka yang menceritakan keburukannya. Semua ini disebabkan hilangnya rasa malu. Jika seseorang sudah sampai pada kondisi tersebut, tidak dapat diharapkan lagi kebaikannya. Diringkas dari Kitab Ad-Daa’ Wad Dawaa’ Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Perbedaan antara harapan dan angan-angan

Perbedaan antara harapan dan angan-angan

Ketika seseorang mengharapkan sesuatu, dia harus mengetahui bahwa harapannya itu akan berkonsekuensi pada tiga hal:

1. Mencintai apa yang ia harapkan.

2. Ia merasa khawatir tidak mendapatkan apa yang ia harapkan.

3. Ia berusaha untuk mendapatkan apa yang diharapkan dengan segala kemampuannya.

Harapan yang tidak disertai satupun dari tiga hal di atas maka itu hanya angan-angan belaka. Harapan dan angan-angan adalah dua perkara yang berbeda. Setiap orang yang mengharapkan sesuatu maka pada dirinya akan muncul perasaan takut kehilangan apa yang ia harapkan, akan berusaha menempuh jalan untuk mendapatkan apa yang ia harapkan. Bila takut kehilangan apa yang ia harapkan maka ia akan segera berupaya agar tidak terluputkan dari apa yang ia harapkan. Dalam Jami’ At-Tirmidzi disebutkan hadits dari Abu Hurairah z ia berkata: Nabi n bersabda:

مَنْ خَافَ أَدْلَجَ، وَمَنْ أَدْلَجَ بَلَغَ الْمَنْزِلَ، أَلاَ إِنَّ سِلْعَةَ اللهِ غَالِيَةٌ، أَلاَ إِنَّ سِلْعَةَ اللهِ الْجَنَّةُ
“Barangsiapa khawatir disergap musuh di waktu sahur, dia akan menghindarkan diri sejak awal malam. Barangsiapa yang berusaha menyelamatkan dirinya sejak awal, ia akan sampai kepada tempat tinggalnya. Ketahuilah, sesungguhnya barang dagangan Allah itu mahal.

Ketahuilah, barang dagangan Allah itu adalah surga.” Sebagaimana Allah l telah memberi harapan kepada orang-orang yang mengerjakan amal shalih, demikian pula Ia memberi rasa takut kepada mereka. Maka ketahuilah bahwa harapan dan rasa takut yang bermanfaat adalah yang disertai amal shalih. Allah l berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ هُمْ مِنْ خَشْيَةِ رَبِّهِمْ مُشْفِقُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ بِآيَاتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ بِرَبِّهِمْ لَا يُشْرِكُونَ. وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا ءَاتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ. أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (adzab) Rabb mereka. Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Rabb mereka. Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Rabb mereka (sesuatu apapun). Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka.

Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (Al-Mukminun: 57-61) Al-Imam At-Tirmidzi dalam Jami’-nya menyebutkan hadits dari ‘Aisyah x, ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah n mengenai ayat ini. Aku berkata: “Apakah mereka adalah orang yang meminum minuman keras, berzina, dan mencuri?” Rasulullah n menjawab:

لاَ يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ، وَلَكِنَّهُمُ الَّذِيْنَ يَصُومُونَ وَيُصَلُّونَ وَيَتَصَدَّقُونَ، وَيَخَافُونَ أَنْ لاَ تُتَقَبَّلَ مِنْهُمْ، أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ
“Tidak wahai putri Ash-Shiddiq. Mereka adalah orang-orang yang berpuasa, shalat, bersedekah. Namun mereka khawatir kalau amalan yang mereka lakukan itu tidak diterima oleh Allah. Mereka itu orang yang sebenarnya berlomba-lomba berbuat amal kebaikan.”

Allah l telah menyebutkan sifat orang-orang yang bahagia dengan ihsan (berbuat baik) yang disertai khauf (khawatir). Sebaliknya, Allah l menyebutkan sifat orang-orang yang sengsara dengan berbuat keburukan yang disertai perasaan aman.

Manusia yang Paling Besar Ketertipuannya

Manusia yang Paling Besar Ketertipuannya

Manusia yang Paling Besar Ketertipuannya

Manusia yang paling besar ketertipuannya adalah orang yang tertipu oleh dunia dan kesegeraannya, lalu ia mendahulukannya atas akhirat. Dia rela mendapatkan dunia (sekalipun) dengan mengorbankan akhirat. hingga sebagian dari mereka berkata, "(Kenikmatan) dunia itu tunai, sedangkan akhirat itu ditunda, padahal yang disegerakan itu lebih bermanfaat dibandingkan yang ditunda"

Ini termasuk godaan dan rayuan setan yang paling besar. Binatang-binatang yang tidak berbicara itu lebih mengerti dari pada orang-orang itu, karena sesungguhnya jika binatang takut pada bahaya dari sesuatu maka dia tidak akan berani melakukannya, sekalipun ia dipukul, sementara sebagian dari orang-orang itu malah lancang melakukannya secara serampangan, sementara dia antara membenarkan dan mendustakan.

Manusia jenis ini, bila seseorang dari mereka beriman kepada Allah, RasulNya, dan pertemuan denganNya, serta balasan amal perbuatan, maka dia termasuk manusia paling menyesal, karena dia lancang melakukan sesuatu dalam keadaan berilmu, dan bila dia tidak beriman kepada Allah dan RasulNya, maka dia lebih jauh lagi (lancangnya).

Dalam hadis al Mustaurid bin Syaddad radiallahuanhu dia berkata Rasulullah sallallahu a'laihi wasallam bersabda,

Tidaklah (perumpamaan kenikmatan) dunia dibandingkan akhirat melainkan seperti seseorang dari kalian mencelupkan jarinya ke laut, maka hendaklah ia memperhatikan jarinya kembali dengan seberapa kadar air (yang menempel)? (Muslim no. 2858)

Bila manusia merenungkan keadaan dirinya sejak dia dalam wujud setetes air mani, hingga menjadi manusia utuh dan sempurna, niscaya dia akan mengetahui bahwa Allah yang memeliharanya dengan pemeliharaan besar ini, memindahkannya dari satu keadaan ke keadaan berikutnya dan mengalihkan bentuknya melalui fase-fase tersebut, tidaklah pantas Dia membiarkan dan meninggalkannya sia-sia, tidak memerintahnya, tidak melarangnya, tidak mengenalkan kepadanya hak-hakNya, tidak memberinya pahala dan tidak pula memberinya hukuman.

Perbedaan antara berbaik sangka dengan tertipu sudah menjadi jelas, dan bahwa bila berbaik sangka mendorong untuk beramal (shalih), mengajak, dan membawa kepadanya, maka ia shahih. Dan sebaliknya, bila ia menyebabkan kemalasan (dalam kebaikan) dan semangat dalam kemaksiatan, maka inilah ketertipuan(ghurur). Berbaik sangka adalah sebuah harapan (raja'). Barangsiapa yang harapannya adalah pembimbing baginya kepada ketaatan dan pencegah baginya dari kemaksiatan, maka inilah harapan yang shahih, namun barangsiapa yang kemalasannya adalah harapan, dan harapannya adalah kemalasan dan kelalaian, maka dia terperdaya.

Rahasia masalah ini adalah bahwa harapan dan berbaik sangka yang benar adalah terjadi dengan cara disertai melakukan sebab-sebab yang dituntut oleh hikmah Allah dalam syariat, takdir, pahala, dan kemuliaanNya, sehingga seorang hamba melakukan sebab-sebab tersebut lalu berbalik sangka kepada Tuhannya, berharap kepadaNya agar tidak membuatnya bersandar kepadanya, dan menjadikannya sebagai perantara kepada apa yang bermanfaat baginya dan menyisihkan apa yang menghalanginya dan menggagalkan pengaruhnya.

Perbedaan Antara Sangka Baik Dan Tertipu Dengan Sangkaan

Perbedaan Antara Sangka Baik Dan Tertipu Dengan Sangkaan

Perbedaan Antara Sangka Baik Dan Tertipu Dengan Sangkaan

Telah jelas perbedaan antara persangkaan baik dan tertipu dengan sangkaan. Apabila persangkaan baik itu membawa ( mendorong dan memotivasi ) seseorang untuk beramal sholeh, maka berarti ini sangkaan yang benar.

Akan tetapi apabila sangkaannya itu menyebabkannya sesorang tidak mau beramal, bahkan tenggelam dalam lautan dosa dan kemaksiatan, maka inilah yang dinamakan dengan sangkaan yang menipu.

Persangkaan baik itu termasuk raja'/berharap, barangsiapa sikap harapnya membawanya kepada ketaatan, dan menyebabkannya menjauhi kemaksiatan, maka inilah raja' /harapan yang benar, barangsiapa yang tidak beramal dan menjadikannya sebagai sikap raja', dan sebaliknya raja' nya adalah dengan tidak beramal maka ia adalah orang yang tertipu.

Kalau dipermisalkan, ada seseorang mempunyai tanah yang ia harapkan hasil buminya, namun ia menyia-nyiakannya dan tidak menanamnya, tidak mengolahnya lalu ia bersangka baik bahwa tanahnya itu akan menghasilkan hasil bumi tanpa ia olah, tanam, diberi air dan jaga tentulah orang banyak akan menganggapnya sebagai orang yang paling dungu.

Demikian juga, tatkala seseorang bersangka baik dan berharap dengan harapan yang kuat bahwa ia akan memperoleh anak tanpa berhubungan, atau ia akan menjadi orang yang paling berilmu di zamannya tanpa menuntut ilmu dan berusaha kuat memperolehnya tentulah orang akan menganggapnya sebagai orang dungu. Dan masih banyak permisalan lain yang semisal ini.

Demikian juga seseorang yang bersangka baik dan kuat harapannya untuk mendapatkan derajat yang tinggi (di surga) dan kenikmatan yang kekal, tanpa berusaha melakukan ketaatan dan mendekatkan drinya kepada Allah dan mengikuti perintah-Nya, serta menjauhi larangan-Nya tentulah manusia akan menganggapnya sebagai orang yang dungu.

Allah berfirman :

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS al-Baqarah : 218)

Perhatikan ayat ini, bagaimana Allah menjelaskan harapan orang-orang beriman disertai ketaatan mereka kepada Allah (mereka berhijrah, dan berjihad di jalan Allah)?!

Semoga Allah ta’ala memberi petunjuk kita kepada pemahaman yang benar, dan menjadikan kita sebagai penghuni syurga-Nya. Amin.

Disarikan dari kitab ad-Daa wa ad-Dawa, karya Ibnul Qayyim rahimahullah.

Kelebihan Orang Yang Bersandar Kepada Allah.

Kelebihan Orang Yang Bersandar Kepada Allah.

Kelebihan Orang Yang Bersandar Kepada Allah.

Telah diriwayatkan dari Imam Shadiq a.s bahawa, “Jibril datang kepada Nabi saaw dan berkata: “Wahai Rasulullah! Allah telah mengirimkan hadiah buatmu yang Dia tidak berikan kepada sesiapa pun sebelumnya”. Nabi saaw bersabda, “Apakah hadiah tersebut ya Jibril?” Jibril menjawab, “Ia adalah kesabaran”.

“Namun, ada kebajikan yang lebih baik daripada kesabaran”. Nabi saaw bertanya, “Apakah itu?” Jibril berkata, “Ia adalah kepuasan”.

“Namun masih ada kebajikan yang lebih baik daripada kepuasan”. Nabi saaw bertanya, “Apakah itu?” Jibril berkata, “Ia adalah keredhaan Allah”.

“Namun ada kebajikan yang lebih baik daripada keredhaan Allah”. Nabi saaw bertanya, “Apakah itu?” Jibril berkata, “Ia adalah keshalehan”

“Namun ada kebajikan yang lebih baik dari keshalehan”. Nabi saaw bertanya, “Apakah itu?” Jibril berkata, “Ia adalah ketaatan”.

“Namun ada kebajikan yang lebih baik dari ketaatan”. Nabi saaw bertanya, “Apakah itu? Jibril berkata, “Ilmu yakin”.

“Namun ada kebajikan yang lebih baik dari ilmu yakin”. Nabi saaw bertanya, “Apakah itu?” Jibril berkata, “Cara untuk mencapai semua itu adalah dengan menempatkan kepercayaan kepada Allah”.

Nabi saaw berkata, “Wahai Jibril! Apa arti menempatkan kepercayaan kepada Allah?” Jibril berkata, “Mengetahui bahawa makhluk-Nya tidak mampu menyakiti mahupun memberi manfaat. Mereka tidak memberikan atau menahan apa pun. Seseorang harus berhenti meletakkan harapan kepada makhluk. Apabila seseorang itu mencapai posisi ini, ia tidak akan melakukan apa pun kecuali untuk-Nya, hatinya tidak tersesat, ia takut tidak kepada sesiapa selain Allah dan dia tidak menaruh harapan terhadap sesiapa pun selain Allah. Inilah erti menempatkan kepercayaan kepada Allah”.

Nabi saaw berkata,” Wahai Jibril! Apa arti dari kesabaran?” Jibril berkata: Manusia harus mempunyai ketabahan dan kesabaran dalam penderitaan sepertimana dalam kegembiraan. Dia tidak harus mengeluh tentang PenciptaNya kepada makhluk”.

Nabi saaw berkata, “Apakah artinya kepuasan?” Jibril berkata, “Berasa puas dengan apa yang ada dan bersyukur kepada Allah atas segala yang ia miliki bahkan yang paling kecil sekalipun”.

Nabi saaw berkata, “Apakah arti dari keredhaan Allah?” Jibril berkata, “Untuk menjadi senang dan redha dengan Allah tetapi tidak senang dan redha dengan amalan sendiri”.

Nabi saaw berkata, “Wahai Jibril! Apa arti dari kesalehan?” Jibril berkata: Seorang soleh mencintai apapun yang dicintai Penciptanya dan membenci apa pun yang dibenci Penciptanya. Dia berhati-hati tentang apa yang halal dan menjauhi apa yang haram, kerana yang halal akan dihitung dan apa yang haram akan melibatkan hukuman. Dia memiliki belas kasihan pada setiap orang Islam, sepertimana dia mengasihi dirinya sendiri. Dia menjauhi kata-kata yang tidak berguna kerana dia menjauhi apa yang haram. Dia menjauhi makan terlalu banyak sepertimana dia menjauhi dari mayat dengan bau yang busuk. Dia menjauhi hiasan dunia sepertimana dia menjauhkan dirinya dari api. Keinginannya tidak jauh dan kematian terlihat di depan matanya. “

Nabi saaw berkata, ” Wahai Jibril! Apa arti dari ketaatan? Jibril berkata, Seseorang yang taat adalah orang yang tidak meminta apa pun daripada manusia sehingga ia berusaha mendapatkannya dan setiap kali dia mendapatkannya, ia berasa senang dengan itu. Juga jika ia mempunyai sesuatu yang lebih, ia akan memberikannya demi Allah. Hakikat bahawa dia tidak meminta sesuatu dari orang lain adalah pengakuannya sebagai hamba Allah. Ia senang dengan Allah dan Allah senang dengannya. Dia memberikan kepada orang ketika dia memerlukannya lebih dari orang lain”

“Nabi saaw berkata, “Apakah ilmu yakin?” Jibril berkata: Seorang yang memiliki ilmu yakin bertindak dengan cara seolah-olah ia melihat Allah. Bahkan jika ia tidak mencapai darjat melihat Allah, dia tahu bahawa Allah melihatnya dan dia yakin bahawa apa yang dia ada dan apa yang dia tiada adalah atas kehendak Allah. Ini adalah sebahagian dari tanda-tanda menempatkan kepercayaan kepada Allah dan memiliki kesalehan. ”

Sebuah Hadis mengatakan bahawa ketika Imam Shadiq a.s yang datang ke Kufah untuk beberapa waktu meninggalkan kota itu, sekumpulan orang yang telah meninggalkan bandar untuk melihat Imam a.s berangkat, melihat singa dalam perjalanan mereka. Ibrahim Adham yang berada di antara mereka berkata, “Tunggulah hingga Imam datang. Mereka pun menunggu. Ketika Imam a.s tiba, mereka bercerita tentang singa tersebut. Imam a.s mendekati singa itu, dan memegang telinganya dan menunggangnya pergi dan berkata:

“Seandainya manusia menyembah Allah sebagaimana Dia layak disembah, mereka bisa membawa beban pada singa.”

Peringatan agar tidak tertipu dengan kenikmatan dunia

Peringatan agar tidak tertipu dengan kenikmatan dunia

PERINGATAN AGAR TIDAK TERTIPU DENGAN KENIKMATAN DUNIA

Wahai kaum Muslimin, sesungguhnya setiap manusia telah melewati suatu masa, dimana pada waktu itu dia merupakan sesuatu yang belum bisa disebut. Kemudian Allah Azza wa Jalla menciptakan kita, menyempurnakan nikmat-nikmatnya, menghindarkan bencana, dan memberikan kemudahan, serta menjelaskan semua yang bermanfaat dan berbahaya bagi kita. Allah Azza wa Jalla menjelaskan bahwa manusia itu memiliki dua negeri, yaitu negeri yang dilalui dan negeri tempat menetap dan hidup abadi. Negeri yang dilalui adalah alam dunia ini. Negeri yang segala isinya memiliki kekurangan, kecuali yang bisa mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla.

Sekiranya orang yang berakal mau berpikir sejenak, pasti dia akan mengetahui kadar dan kehinaannya serta tipudayanya. Dunia itu terlihat seperti fatamorgana. Orang yang kehausan mengira itu adalah air, padahal apabila dia mendekatinya, dia tidak akan memperoleh apa-apa. Dunia juga dihiasi dengan berbagai macam kemegahan dan sesuatu yang menggiurkan. Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِذَا أَخَذَتِ الْأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا أَمْرُنَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَنْ لَمْ تَغْنَ بِالْأَمْسِ ۚ كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab kami di waktu malam atau siang, lalu kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (kami) kepada orang-orang berfikir. [Yûnus/10:24]

Jadi, akhir dunia ini adalah ketiadaan dan kebinasaan. Keindahannya adalah petaka dan penyesalan. Inilah dunia. Allah Azza wa Jalla berfirman:

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning, kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. [al-Hadîd/57:20]

Wahai kaum Muslimin. Akhirat adalah negeri dan kehidupan yang hakiki. Kehidupan yang mengandung semua penopang hidup bahagia, seperti langgeng, senang dan damai. Dan kesenangan di sana adalah hakiki. Apabila ada manusia yang melihat hakekat sebenarnya. Ia akan mengatakan: “Sekiranya dahulu aku mengerjakan (kebajikan) untuk hidup ini”. Jadi, kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan akhirat, tempat manusia hidup dan mereka tidak akan mati. Allah Azza wa Jalla berfirman:

فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَٰئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ فِي جَهَنَّمَ خَالِدُونَ تَلْفَحُ وُجُوهَهُمُ النَّارُ وَهُمْ فِيهَا كَالِحُونَ
Barangsiapa yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka mereka itulah orang-orang yang dapat keberuntungan. Dan barangsiapa yang ringan timbangannya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam neraka jahannam. Muka mereka dibakar api neraka, dan mereka di dalam neraka itu dalam keadaan cacat. [al-Mukminûn/23:101-103]

Wahai kaum Muslimin. Marilah kita bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla, melihat dunia ini dengan pandangan orang yang berakal. Bandingkanlah kehidupan dunia dan kehidupan akhirat, agar kita mengetahui perbedaan kedua negeri tersebut. Di negeri akhirat terdapat semua yang diinginkan oleh jiwa dan mata. Surga adalah darus salâm (kampung kedamaian), yang terlepas dari berbagai kekurangan, bala`, penyakit, kematian, kesusahan maupun usia yang tua. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَمَوْضِعُ سَوْطٍ أَحَدِكُمْ فِي الْجَنَّةِ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
Sesungguhnya tempat cemeti kalian di surga itu lebih baik daripada dunia dan seisinya [HR. Ahmad no. 21732]

Ini adalah ucapan seorang nabi yang jujur lagi dipercaya. Sesungguhnya tempat tongkat di surga itu lebih baik dari dunia ini semuanya, dari awal hingga akhirnya dengan segala kenikmatan dan kemewahan yang ada di dalamnya. Apabila ini saja lebih baik dari dunia semuanya, lalu bagaimana dengan kenikmatan sejenak yang engkau dapatkan di dunia?

Wahai kaum Muslimin, Sungguh mengherankan sekali ada kaum yang lebih mengutamakan kehidupan dunia dari pada kehidupan akhirat. Padahal akhirat itu lebih baik dan kekal. Mereka lebih mengutamakan dunia dari pada akhirat. Mereka mencari dunia dan meninggalkan amal akhirat. Meraka sangat berambisi untuk mendapatkan dunia dan melewatkan apa yang Allah Azza wa Jalla wajibkan kepada mereka. Mereka tenggelam dalam hawa nafsu dan kelalaian.

Mereka tidak lagi ingat dari kewajiban bersyukur kepada dzat yang telah memberikan nikmat kepada mereka. Ciri-ciri mereka yaitu bermalas-malasan mengerjakan shalat dan merasa berat untuk berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla. Di dunia ini mereka berani bermuamalah riba yang telah direkayasa, atau dengan riba terang-terangan tanpa merasa salah sama sekali. Mereka berbohong dalam setiap pembicaraan, tidak menunaikan janji-janji mereka, tidak berbuat baik kepada orang tua dan tidak menyambung silaturahmi.

Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang lebih mengutamakan akhirat dari pada dunia, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta jagalah kami dari api neraka.

Wahai kaum Muslimin. Sesungguhnya orang yang lebih mengutamakan akhirat daripada dunia, dia akan mendapatkan kenikmatan dunia dan akhirat. Karena amalan akhirat itu mudah bagi orang yang diberi kemudahan oleh Allah Azza wa Jalla dan dia tidak melewatkan dunia ini sedikitpun. Sesungguhnya siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah Azza wa Jalla , pasti Allah Azza wa Jalla akan memberikan ganti yang lebih baik darinya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [an-Nahl/16:97]

Adapun orang yang lebih mengutamakan dunia daripada akhirat, maka dia terkadang diberikan dunia, akan tetapi dia tidak mendapat bagian di akhirat. Allah Azza wa Jalla berfirman:

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan. [Hûd/11:15-16]

Akhirnya marilah kita bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla dan senantiasa berdoa agar tidak tertipu dengan dunia dan kita diberi kemudahan untuk melakukan amalan-amalan akhirat.

Kenikmatan yang Menipu, Inilah Dunia

Kenikmatan yang Menipu, Inilah Dunia

Kenikmatan yang Menipu, Inilah Dunia

Kenikmatan itu bisa dikatakan relatif oleh setiap orang. Karena, setiap orang berbeda-beda mendefinisikan suatu kenikmatan tersebut. Dalam kenikmatan ada sebagian orang yang waspada adapula sebagian orang yang malah terjerumus dan hanyut.

Barangsiapa yang berpikir dalam-dalam dan seksama tentang akhir kehidupan dunia, ia akan senantiasa waspada. Barangsiapa yang yakin akan betapa panjangnya jalan yang akan ditempuh, maka ia akan menyiapkan bekal sebaik-baiknya. Alangkah anehnya manusia yang yakin akan sesuatu, namun ia melupakannya dan betapa anehnya mereka yang mengetahui bahaya sesuatu, namun ia juga menutup mata.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

”Kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti,” (QS Al-Ahzab [33]:37).

Anda tahu bahwa anda dikalahkan oleh hawa nafsu anda, dan Anda tahu bahwa Anda tak sanggup menaklukkannya. Alangkah anehnya jika Anda merasa gembira dengan ketertipuan Anda dan larut dalam kealpaan terhadap hal yang tersembunyi di dalam diri Anda. Anda terperdaya oleh kesehatan Anda, namun Anda lupa betapa dekat penyakit dengan diri Anda. Telah Anda saksikan dengan mata kepala Anda sendiri tempat pembaringan akhir Anda dan telah ditampakkan kehadapan Anda ranjang-ranjang kematian oleh orang-orang yang ada di sekitar anda. Sungguh Anda telah tenggelam dan hanyut dalam kelezatan-kelezatan duniawi, hingga Anda melupakan kehancuran diri Anda sendiri.

Engkau laksana tiada mendengar kabar mereka yang telah lalu Tidak pula engkau melihat waktu memperlakukan teman-temanmu Jika engkau tak sadar bahwa itulah rumah-rumah mereka yang abadi Kubur-kubur mereka lenyap diterpa angin yang menderu

Ukhti, Tak Harus Cantik Fisik Bukan?

Betapa banyaknya, Anda melihat, para penghuni yang tak pernah memasuki rumahnya sendiri, sebelum mereka dipaksa memasukinya! Betapa banyak pemilik singgasana yang terusir oleh musuh-musuh yang kemudian menguasai istananya. Wahai siapa saja yang detik-detik kehidupannya terus melaju, betapa anehnya mereka, seperti manusia yang tak tahu dan tak mengerti apa-apa.

Bagaimana bisa matanya lelap terpejam Padahal ia tak tahu kemana akan kembali

Alangkah baiknya kita selalu bermuhasabah sebelum terjerumus ke dalam kenikmatan yang hanya sesaat.


Jika Doa Laksana Senjata

Jika Doa Laksana Senjata

Jika Doa Laksana Senjata

Ada kalimat yang menarik, yang pernah saya dengar dari salah satu guru ngaji saya. Beliau bilang, "Doa itu adalah senjatanya orang-orang beriman. Senjata paling keren, paling hebat, dan tentu saja paling powerful. Makanya, kalau menginginkan sesuatu, mintalah berdoa kepada Allah. Pasti dikabulkan asal syarat dan rukunnya bener."

Ketika mendengarkan kalimat itu, di bayangan saya, yang terbayang adalah sebuah senjata super canggih. Buatan terbaru. Memiliki daya ledak yang tinggi atau malah tidak sama sekali, tapi mematikan. Mungkin karena saya suka nonton film action kali ya, makanya yang muncul adalah gambaran demikian.

Tapi eh tapi, muncul juga di kepala saya begini, "Kalau doa adalah senjata orang-orang Islam yang beriman, tentu saja ada cara pakainya dong ya? Ada manual book nya!"

Maksudnya begini, kita bayangkan sebuah senjata yang maha hebat. Apakah dia, senjata itu, akan melulu bermanfaat dan bisa memberikan kemenangan bagi orang atau golongan yang memakainya? Tentu saja tidak..

Kita harus ingat sebuah pepatah yang mengatakan bahwa, "Bukan senjatanya yang penting, tapi siapa yang ada di belakangnnya. Siapa orang yang mengoperasikannya."

Jadi berguna atau tidaknya sebuah senjata super canggih itu dipengaruhi oleh beberapa hal: senjata itu sendiri dan keterampilan orang yang menggunakannya.

Kembali ke doa ya...

Jika doa adalah sebuah senjata orang-orang Islam yang beriman, maka bekerja atau tidaknya senjata itu, dikabulkan atau tidaknya ia, bergantung pada dua hal juga. Doa itu sendiri dan orang yang memanjatkannya.

Untuk doa yang dianjurkan, sudah jelas sekali, pakailah doa para nabi yang pernah dilantunkan dan diabadikan dalam Al Quran. Ada doa nabi adam, doa nabi Yunus, doa nabi Ayyub, hingga doa nabi kita, Muhammad SAW. Baca Al Quran dan Hadist, maka kita akan menemukan, banyak sekali doa yang pernah diajarkan.

Guru-guru ngaji saya bilang, "Doa-doa inilah yang disunnahkan untuk dipakai. Bukan berarti berdoa dengan redaksi yang lain tidak boleh ya, boleh-boleh saja. Bahkan berdoa dengan bahasa kita sekalipun, Allah juga pasti tahu kok. Tapi, agar lebih cepet sampainya, barangkali, lebih baik menggunakan doa-doa para nabi."

Di atas adalah yang berkaitan dengan doa. Lalu bagaimana yang berkaitan dengan unsur manusianya? Bagaimana dengan kondisi yang dianjurkan dari sisi yang memanjatkan doanya?

Nah, dari buku yang sedang saya baca, ada beberapa hal yang membuat doa mudah dikabulkan, diantaranya:

Pertama, doa-doa orang yang sedang terjepit masalah. Kenapa orang-orang yang sedang terjepit masalah doanya mudah dikabulkan? Karena mereka benar-benar meminta kepada Allah. Mereka sedang ada musibah, tertimpa kesedihan yang dalam, atau apa saja, sehingga mereka akan lebih serius meminta kepada Allah. Mengharapkan jalan keluar dari masalah yang sedang dihadapi.

Karena hal itulah maka doa mereka mudah sekali bergerak ke langit dan diijabah.

Kedua, doa-doa orang yang dipanjatkan dengan ketundukan hati kepada Allah. Ini jelas, ketika doa dilantunkan dengan kondisi hati yang tunduk dan taat, maka Allah akan malu jika tidak mengabulkannya.

Ketiga, doa-doa orang yang dipanjatkan bertepatan dengan waktu mustajab. Selain dua hal di atas, kita juga harus mengetahui kapan-kapan waktu terbaik untuk berdoa. Misalnya doa selepas shalat wajib lima waktu, di antara adzan dan iqamah, di penghujung waktu ashar, di kala hujan, dan masih banyak lagi. Jika menemui waktu-waktu itu, maka berdoa lah.

Keempat, doa-doa orang yang senantiasa yang berbuat baik. Nah, ini... Jangan lupa senantiasa berbuat kebaikan kepada orang lain, jangan lupa untuk segera memudahkan urusan orang lain, agar Allah memudahkan urusan kita.

Kedua faktor di atas, lafadz doa dan kondisi orang yang memanjatkannya, harus menjadi perhatian kita dalam berdoa. Seperti senjata, ia baru akan benar-benar hebat ketika orang yang mengoperasikannya adalah orang terlatih dan ahli.

Waktu-Waktu Terkabulnya Do’a

Waktu-Waktu Terkabulnya Do’a

Sungguh berbeda Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan makhluk-Nya. Dia Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Lihatlah manusia, ketika ada orang meminta sesuatu darinya ia merasa kesal dan berat hati. Sedangkan Allah Ta’ala mencintai hamba yang meminta kepada-Nya. Sebagaimana perkataan seorang penyair:

الله يغضب إن تركت سؤاله وبني آدم حين يسأل يغضب
“Allah murka pada orang yang enggan meminta kepada-Nya, sedangkan manusia ketika diminta ia marah”

Ya, Allah mencintai hamba yang berdoa kepada-Nya, bahkan karena cinta-Nya Allah memberi ‘bonus’ berupa ampunan dosa kepada hamba-Nya yang berdoa. Allah Ta’ala berfirman dalam sebuah hadits qudsi:

يا ابن آدم إنك ما دعوتني ورجوتني غفرت لك على ما كان منك ولا أبالي
“Wahai manusia, selagi engkau berdoa dan berharap kepada-Ku, aku mengampuni dosamu dan tidak aku pedulikan lagi dosamu” (HR. At Tirmidzi, ia berkata: ‘Hadits hasan shahih’)

Sungguh Allah memahami keadaan manusia yang lemah dan senantiasa membutuhkan akan Rahmat-Nya. Manusia tidak pernah lepas dari keinginan, yang baik maupun yang buruk. Bahkan jika seseorang menuliskan segala keinginannya dikertas, entah berapa lembar akan terpakai.

Maka kita tidak perlu heran jika Allah Ta’ala melaknat orang yang enggan berdoa kepada-Nya. Orang yang demikian oleh Allah ‘Azza Wa Jalla disebut sebagai hamba yang sombong dan diancam dengan neraka Jahannam. Allah Ta’ala berfirman:

ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Berdoalah kepadaKu, Aku akan kabulkan doa kalian. Sungguh orang-orang yang menyombongkan diri karena enggan beribadah kepada-Ku, akan dimasukkan ke dalam neraka Jahannam dalam keadaan hina dina” (QS. Ghafir: 60)

Ayat ini juga menunjukkan bahwa Allah Maha Pemurah terhadap hamba-Nya, karena hamba-Nya diperintahkan berdoa secara langsung kepada Allah tanpa melalui perantara dan dijamin akan dikabulkan. Sungguh Engkau Maha Pemurah Ya Rabb…

Berdoa Di Waktu Yang Tepat

Diantara usaha yang bisa kita upayakan agar doa kita dikabulkan oleh Allah Ta’ala adalah dengan memanfaatkan waktu-waktu tertentu yang dijanjikan oleh Allah bahwa doa ketika waktu-waktu tersebut dikabulkan. Diantara waktu-waktu tersebut adalah:

1. Ketika sahur atau sepertiga malam terakhir

Allah Ta’ala mencintai hamba-Nya yang berdoa disepertiga malam yang terakhir. Allah Ta’ala berfirman tentang ciri-ciri orang yang bertaqwa, salah satunya:

وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُون
“Ketika waktu sahur (akhir-akhir malam), mereka berdoa memohon ampunan” (QS. Adz Dzariyat: 18)

Sepertiga malam yang paling akhir adalah waktu yang penuh berkah, sebab pada saat itu Rabb kita Subhanahu Wa Ta’ala turun ke langit dunia dan mengabulkan setiap doa hamba-Nya yang berdoa ketika itu. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

ينزل ربنا تبارك وتعالى كل ليلة إلى السماء الدنيا ، حين يبقى ثلث الليل الآخر، يقول : من يدعوني فأستجيب له ، من يسألني فأعطيه ، من يستغفرني فأغفر له
“Rabb kita turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir pada setiap malamnya. Kemudian berfirman: ‘Orang yang berdoa kepada-Ku akan Ku kabulkan, orang yang meminta sesuatu kepada-Ku akan Kuberikan, orang yang meminta ampunan dari-Ku akan Kuampuni‘” (HR. Bukhari no.1145, Muslim no. 758)

Namun perlu dicatat, sifat ‘turun’ dalam hadits ini jangan sampai membuat kita membayangkan Allah Ta’ala turun sebagaimana manusia turun dari suatu tempat ke tempat lain. Karena tentu berbeda. Yang penting kita mengimani bahwa Allah Ta’ala turun ke langit dunia, karena yang berkata demikian adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam diberi julukan Ash shadiqul Mashduq (orang jujur yang diotentikasi kebenarannya oleh Allah), tanpa perlu mempertanyakan dan membayangkan bagaimana caranya.

Dari hadits ini jelas bahwa sepertiga malam yang akhir adalah waktu yang dianjurkan untuk memperbanyak berdoa. Lebih lagi di bulan Ramadhan, bangun di sepertiga malam akhir bukanlah hal yang berat lagi karena bersamaan dengan waktu makan sahur. Oleh karena itu, manfaatkanlah sebaik-baiknya waktu tersebut untuk berdoa.

2. Ketika berbuka puasa

Waktu berbuka puasa pun merupakan waktu yang penuh keberkahan, karena diwaktu ini manusia merasakan salah satu kebahagiaan ibadah puasa, yaitu diperbolehkannya makan dan minum setelah seharian menahannya, sebagaimana hadits:

للصائم فرحتان : فرحة عند فطره و فرحة عند لقاء ربه
“Orang yang berpuasa memiliki 2 kebahagiaan: kebahagiaan ketika berbuka puasa dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabb-Nya kelak” (HR. Muslim, no.1151)

Keberkahan lain di waktu berbuka puasa adalah dikabulkannya doa orang yang telah berpuasa, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

ثلاث لا ترد دعوتهم الصائم حتى يفطر والإمام العادل و المظلوم
‘”Ada tiga doa yang tidak tertolak. Doanya orang yang berpuasa ketika berbuka, doanya pemimpin yang adil dan doanya orang yang terzhalimi” (HR. Tirmidzi no.2528, Ibnu Majah no.1752, Ibnu Hibban no.2405, dishahihkan Al Albani di Shahih At Tirmidzi)

Oleh karena itu, jangan lewatkan kesempatan baik ini untuk memohon apa saja yang termasuk kebaikan dunia dan kebaikan akhirat. Namun perlu diketahui, terdapat doa yang dianjurkan untuk diucapkan ketika berbuka puasa, yaitu doa berbuka puasa. Sebagaimana hadits

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله
“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka puasa membaca doa:
ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله
/Dzahabaz zhamaa-u wabtalatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insyaa Allah/ (‘Rasa haus telah hilang, kerongkongan telah basah, semoga pahala didapatkan. Insya Allah’)” (HR. Abu Daud no.2357, Ad Daruquthni 2/401, dihasankan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah, 2/232) Adapun doa yang tersebar di masyarakat dengan lafazh berikut:
اللهم لك صمت و بك امنت و على رزقك افطرت برحمتك يا ارحم الراحمين
adalah hadits palsu, atau dengan kata lain, ini bukanlah hadits. Tidak terdapat di kitab hadits manapun. Sehingga kita tidak boleh meyakini doa ini sebagai hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.

Oleh karena itu, doa dengan lafazh ini dihukumi sama seperti ucapan orang biasa seperti saya dan anda. Sama kedudukannya seperti kita berdoa dengan kata-kata sendiri. Sehingga doa ini tidak boleh dipopulerkan apalagi dipatenkan sebagai doa berbuka puasa.

Memang ada hadits tentang doa berbuka puasa dengan lafazh yang mirip dengan doa tersebut, semisal:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال : اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت فتقبل مني إنك أنت السميع العليم
“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka membaca doa: Allahumma laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthartu fataqabbal minni, innaka antas samii’ul ‘aliim” Dalam Al Futuhat Ar Rabbaniyyah (4/341), dinukil perkataan Ibnu Hajar Al Asqalani: “Hadits ini gharib, dan sanadnya lemah sekali”. Hadits ini juga di-dhaif-kan oleh Al Albani di Dhaif Al Jami’ (4350). Atau doa-doa yang lafazh-nya semisal hadits ini semuanya berkisar antara hadits dhaif atau munkar.

3. Ketika malam lailatul qadar

Malam lailatul qadar adalah malam diturunkannya Al Qur’an. Malam ini lebih utama dari 1000 bulan. Sebagaimana firmanAllah Ta’ala:

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
“Malam Lailatul Qadr lebih baik dari 1000 bulan” (QS. Al Qadr: 3)

Pada malam ini dianjurkan memperbanyak ibadah termasuk memperbanyak doa. Sebagaimana yang diceritakan oleh Ummul Mu’minin Aisyah Radhiallahu’anha:

قلت يا رسول الله أرأيت إن علمت أي ليلة ليلة القدر ما أقول فيها قال قولي اللهم إنك عفو تحب العفو فاعف عني
“Aku bertanya kepada Rasulullah: Wahai Rasulullah, menurutmu apa yang sebaiknya aku ucapkan jika aku menemukan malam Lailatul Qadar? Beliau bersabda: Berdoalah:
اللهم إنك عفو تحب العفو فاعف عني
Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni [‘Ya Allah, sesungguhnya engkau Maha Pengampun dan menyukai sifat pemaaf, maka ampunilah aku”]”(HR. Tirmidzi, 3513, Ibnu Majah, 3119, At Tirmidzi berkata: “Hasan Shahih”)

Pada hadits ini Ummul Mu’minin ‘Aisyah Radhiallahu’anha meminta diajarkan ucapan yang sebaiknya diamalkan ketika malam Lailatul Qadar. Namun ternyata Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengajarkan lafadz doa. Ini menunjukkan bahwa pada malam Lailatul Qadar dianjurkan memperbanyak doa, terutama dengan lafadz yang diajarkan tersebut.

4. Ketika adzan berkumandang

Selain dianjurkan untuk menjawab adzan dengan lafazh yang sama, saat adzan dikumandangkan pun termasuk waktu yang mustajab untuk berdoa. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ثنتان لا تردان أو قلما تردان الدعاء عند النداء وعند البأس حين يلحم بعضهم بعضا
“Doa tidak tertolak pada dua waktu, atau minimal kecil kemungkinan tertolaknya. Yaitu ketika adzan berkumandang dan saat perang berkecamuk, ketika kedua kubu saling menyerang” (HR. Abu Daud, 2540, Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Nata-ijul Afkar, 1/369, berkata: “Hasan Shahih”)

5. Di antara adzan dan iqamah

Waktu jeda antara adzan dan iqamah adalah juga merupakan waktu yang dianjurkan untuk berdoa, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

الدعاء لا يرد بين الأذان والإقامة
“Doa di antara adzan dan iqamah tidak tertolak” (HR. Tirmidzi, 212, ia berkata: “Hasan Shahih”)

Dengan demikian jelaslah bahwa amalan yang dianjurkan antara adzan dan iqamah adalah berdoa, bukan shalawatan, atau membaca murattal dengan suara keras, misalnya dengan menggunakan mikrofon. Selain tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, amalan-amalan tersebut dapat mengganggu orang yang berdzikir atau sedang shalat sunnah. Padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

لا إن كلكم مناج ربه فلا يؤذين بعضكم بعضا ولا يرفع بعضكم على بعض في القراءة أو قال في الصلاة
“Ketahuilah, kalian semua sedang bermunajat kepada Allah, maka janganlah saling mengganggu satu sama lain. Janganlah kalian mengeraskan suara dalam membaca Al Qur’an,’ atau beliau berkata, ‘Dalam shalat’,” (HR. Abu Daud no.1332, Ahmad, 430, dishahihkan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di Nata-ijul Afkar, 2/16).

Selain itu, orang yang shalawatan atau membaca Al Qur’an dengan suara keras di waktu jeda ini, telah meninggalkan amalan yang di anjurkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, yaitu berdoa. Padahal ini adalah kesempatan yang bagus untuk memohon kepada Allah segala sesuatu yang ia inginkan. Sungguh merugi jika ia melewatkannya.

6. Ketika sedang sujud dalam shalat

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أقرب ما يكون العبد من ربه وهو ساجد . فأكثروا الدعا
“Seorang hamba berada paling dekat dengan Rabb-nya ialah ketika ia sedang bersujud. Maka perbanyaklah berdoa ketika itu” (HR. Muslim, no.482)

7. Ketika sebelum salam pada shalat wajib

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

قيل يا رسول الله صلى الله عليه وسلم أي الدعاء أسمع قال جوف الليل الآخر ودبر الصلوات المكتوبات
“Ada yang bertanya: Wahai Rasulullah, kapan doa kita didengar oleh Allah? Beliau bersabda: “Diakhir malam dan diakhir shalat wajib” (HR. Tirmidzi, 3499)

Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam Zaadul Ma’ad (1/305) menjelaskan bahwa yang dimaksud ‘akhir shalat wajib’ adalah sebelum salam. Dan tidak terdapat riwayat bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabat merutinkan berdoa meminta sesuatu setelah salam pada shalat wajib. Ahli fiqih masa kini, Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah berkata: “Apakah berdoa setelah shalat itu disyariatkan atau tidak? Jawabannya: tidak disyariatkan. Karena Allah Ta’ala berfirman:

فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ
“Jika engkau selesai shalat, berdzikirlah” (QS. An Nisa: 103). Allah berfirman ‘berdzikirlah’, bukan ‘berdoalah’. Maka setelah shalat bukanlah waktu untuk berdoa, melainkan sebelum salam” (Fatawa Ibnu Utsaimin, 15/216).

Namun sungguh disayangkan kebanyakan kaum muslimin merutinkan berdoa meminta sesuatu setelah salam pada shalat wajib yang sebenarnya tidak disyariatkan, kemudian justru meninggalkan waktu-waktu mustajab yang disyariatkan yaitu diantara adzan dan iqamah, ketika adzan, ketika sujud dan sebelum salam.

8. Di hari Jum’at

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكر يوم الجمعة ، فقال : فيه ساعة ، لا يوافقها عبد مسلم ، وهو قائم يصلي ، يسأل الله تعالى شيئا ، إلا أعطاه إياه . وأشار بيده يقللها
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menyebutkan tentang hari Jumat kemudian beliau bersabda: ‘Di dalamnya terdapat waktu. Jika seorang muslim berdoa ketika itu, pasti diberikan apa yang ia minta’. Lalu beliau mengisyaratkan dengan tangannya tentang sebentarnya waktu tersebut” (HR. Bukhari 935, Muslim 852 dari sahabat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu)

Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari ketika menjelaskan hadits ini beliau menyebutkan 42 pendapat ulama tentang waktu yang dimaksud. Namun secara umum terdapat 4 pendapat yang kuat.

Pendapat pertama, yaitu waktu sejak imam naik mimbar sampai selesai shalat Jum’at, berdasarkan hadits:

هي ما بين أن يجلس الإمام إلى أن تقضى الصلاة
“Waktu tersebut adalah ketika imam naik mimbar sampai shalat Jum’at selesai” (HR. Muslim, 853 dari sahabat Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu’anhu).

Pendapat ini dipilih oleh Imam Muslim, An Nawawi, Al Qurthubi, Ibnul Arabi dan Al Baihaqi.

Pendapat kedua, yaitu setelah ashar sampai terbenamnya matahari. Berdasarkan hadits:

يوم الجمعة ثنتا عشرة يريد ساعة لا يوجد مسلم يسأل الله عز وجل شيئا إلا أتاه الله عز وجل فالتمسوها آخر ساعة بعد العصر
“Dalam 12 jam hari Jum’at ada satu waktu, jika seorang muslim meminta sesuatu kepada Allah Azza Wa Jalla pasti akan dikabulkan. Carilah waktu itu di waktu setelah ashar” (HR. Abu Daud, no.1048 dari sahabat Jabir bin Abdillah Radhiallahu’anhu. Dishahihkan Al Albani di Shahih Abi Daud). Pendapat ini dipilih oleh At Tirmidzi, dan Ibnu Qayyim Al Jauziyyah. Pendapat ini yang lebih masyhur dikalangan para ulama.

Pendapat ketiga, yaitu setelah ashar, namun diakhir-akhir hari Jum’at. Pendapat ini didasari oleh riwayat dari Abi Salamah. Ishaq bin Rahawaih, At Thurthusi, Ibnul Zamlakani menguatkan pendapat ini.

Pendapat keempat, yang juga dikuatkan oleh Ibnu Hajar sendiri, yaitu menggabungkan semua pendapat yang ada. Ibnu ‘Abdil Barr berkata: “Dianjurkan untuk bersungguh-sungguh dalam berdoa pada dua waktu yang disebutkan”. Dengan demikian seseorang akan lebih memperbanyak doanya di hari Jum’at tidak pada beberapa waktu tertentu saja. Pendapat ini dipilih oleh Imam Ahmad bin Hambal, Ibnu ‘Abdil Barr.

9. Ketika turun hujan

Hujan adalah nikmat Allah Ta’ala. Oleh karena itu tidak boleh mencelanya. Sebagian orang merasa jengkel dengan turunnya hujan, padahal yang menurunkan hujan tidak lain adalah Allah Ta’ala. Oleh karena itu, daripada tenggelam dalam rasa jengkel lebih baik memanfaatkan waktu hujan untuk berdoa memohon apa yang diinginkan kepada Allah Ta’ala:

ثنتان ما تردان : الدعاء عند النداء ، و تحت المطر
“Doa tidak tertolak pada 2 waktu, yaitu ketika adzan berkumandang dan ketika hujan turun” (HR Al Hakim, 2534, dishahihkan Al Albani di Shahih Al Jami’, 3078)

10. Hari Rabu antara Dzuhur dan Ashar

Sunnah ini belum diketahui oleh kebanyakan kaum muslimin, yaitu dikabulkannya doa diantara shalat Zhuhur dan Ashar dihari Rabu. Ini diceritakan oleh Jabir bin Abdillah Radhiallahu’anhu:

أن النبي صلى الله عليه وسلم دعا في مسجد الفتح ثلاثا يوم الاثنين، ويوم الثلاثاء، ويوم الأربعاء، فاستُجيب له يوم الأربعاء بين الصلاتين فعُرِفَ البِشْرُ في وجهه قال جابر: فلم ينزل بي أمر مهمٌّ غليظ إِلاّ توخَّيْتُ تلك الساعة فأدعو فيها فأعرف الإجابة
“Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam berdoa di Masjid Al Fath 3 kali, yaitu hari Senin, Selasa dan Rabu. Pada hari Rabu lah doanya dikabulkan, yaitu diantara dua shalat. Ini diketahui dari kegembiraan di wajah beliau. Berkata Jabir : ‘Tidaklah suatu perkara penting yang berat pada saya kecuali saya memilih waktu ini untuk berdoa,dan saya mendapati dikabulkannya doa saya‘”

Dalam riwayat lain:

فاستجيب له يوم الأربعاء بين الصلاتين الظهر والعصر
“Pada hari Rabu lah doanya dikabulkan, yaitu di antara shalat Zhuhur dan Ashar” (HR. Ahmad, no. 14603, Al Haitsami dalam Majma Az Zawaid, 4/15, berkata: “Semua perawinya tsiqah”, juga dishahihkan Al Albani di Shahih At Targhib, 1185)

11. Ketika Hari Arafah

Hari Arafah adalah hari ketika para jama’ah haji melakukan wukuf di Arafah, yaitu tanggal 9 Dzulhijjah. Pada hari tersebut dianjurkan memperbanyak doa, baik bagi jama’ah haji maupun bagi seluruh kaum muslimin yang tidak sedang menunaikan ibadah haji. Sebab Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

خير الدعاء دعاء يوم عرفة
“Doa yang terbaik adalah doa ketika hari Arafah” (HR. At Tirmidzi, 3585. Di shahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi)

12. Ketika Perang Berkecamuk

Salah satu keutamaan pergi ke medan perang dalam rangka berjihad di jalan Allah adalah doa dari orang yang berperang di jalan Allah ketika perang sedang berkecamuk, diijabah oleh Allah Ta’ala. Dalilnya adalah hadits yang sudah disebutkan di atas:

ثنتان لا تردان أو قلما تردان الدعاء عند النداء وعند البأس حين يلحم بعضهم بعضا
“Doa tidak tertolak pada dua waktu, atau minimal kecil kemungkinan tertolaknya. Yaitu ketika adzan berkumandang dan saat perang berkecamuk, ketika kedua kubu saling menyerang” (HR. Abu Daud, 2540, Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Nata-ijul Afkar, 1/369, berkata: “Hasan Shahih”)

13. Ketika Meminum Air Zam-zam

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ماء زمزم لما شرب له
“Khasiat Air Zam-zam itu sesuai niat peminumnya” (HR. Ibnu Majah, 2/1018. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah, 2502)

Demikian uraian mengenai waktu-waktu yang paling dianjurkan untuk berdoa. Mudah-mudahan Allah Ta’ala mengabulkan doa-doa kita dan menerima amal ibadah kita.