Berlari Menuju Alloh

Berlari Menuju Alloh 

Ibadah “berlari menuju Allah” (الفرار الى الله) adalah berlari menuju Allah untuk mendapatkan keselamatan atau perlindungan dari murka Allah dan dari api neraka. Ibadah ini memiliki kedudukan yang agung. Demikian pula, Allah telah menyiapkan balasan bagi orang-orang yang bersegera berlari menuju Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman dalam surah Adz-Dzariyat,

فَفِرُّوٓاْ إِلَى ٱللَّهِۖ إِنِّي لَكُم مِّنۡهُ نَذِير مُّبِين

“Maka segeralah berlari menuju kepada (menaati) Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu.” (QS. Adz-Dzariyat: 50)

Dalam hal ini, manusia terbagi menjadi dua, yaitu orang yang berbahagia dan orang yang celaka. Orang yang berbahagia yaitu orang yang segera berlari menuju Allah Ta’ala. Mereka adalah orang-orang yang mencari kebahagiaan dan kesuksesan dunia akhirat dengan bersegera berlari menuju Allah. Adapun orang yang celaka yaitu orang yang berlari meninggalkan atau menjauh dari Allah, mereka tidak berlari menuju Allah. Ini adalah jalan dan sebab kebinasaan dan kesengsaraan di dunia dan akhirat.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata ketika menafsirkan firman Allah di atas, “Berlarilah menuju Allah dan beramallah dengan menaati-Nya.” (Tafsir Ats-Tsa’labiy, 24: 562; Tafsir Al-Baghawi, 7: 379)

Ulama yang lain mengatakan, “Bebaskanlah dirimu dari azab Allah menuju pahala dari Allah dengan iman dan ketaatan.“ (Tafsir Al-Baghawi, 7: 379)

Segala sesuatu yang ditakuti hamba, dia akan berlari menjauh darinya, kecuali Allah. Contoh, orang yang takut api, dia akan berlari menjauh dari api agar tidak terbakar. Orang yang takut binatang buas, dia akan berlari menjauh darinya. Namun, tidak demikian kondisi orang yang takut kepada Allah. Karena barangsiapa yang takut kepada Allah, maka justru ia akan berlari mendekat dan menuju Allah. Allah Ta’ala berfirman menceritakan tobatnya tiga orang yang tidak ikut perang Tabuk,

حَتَّىٰٓ إِذَا ضَاقَتۡ عَلَيۡهِمُ ٱلۡأَرۡضُ بِمَا رَحُبَتۡ وَضَاقَتۡ عَلَيۡهِمۡ أَنفُسُهُمۡ وَظَنُّوٓاْ أَن لَّا مَلۡجَأَ مِنَ ٱللَّهِ إِلَّآ إِلَيۡهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيۡهِمۡ لِيَتُوبُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ  

“Hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha penerima tobat lagi Maha penyayang.” (QS. At-Taubah: 118)

Seseorang yang berlari menuju Allah Ta’ala pasti menghadapi banyak halangan dan rintangan, yaitu berbagai jenis pelanggaran syariat, baik lahir maupun yang batin, yang akan menghambat atau bahkan menghentikan perjalanannya menuju Allah. Secara umum, terdapat tiga penghalang dan hambatan, yaitu 1) syirik kepada Allah; ini merupakan penghalang paling berat; 2) perbuatan bidah di dalam agama; dan 3) berbagai macam kemakisatan. Seseorang bisa selamat dari perbuatan syirik apabila memurnikan tauhid; seseorang bisa selamat dari bidah apabila berpegang teguh dengan sunah; dan seseorang bisa selamat dari maksiat apabila bertobat dengan tulus.

Seseorang yang berlari menuju Allah membutuhkan tiga hal yang harus dia ilmui dan amalkan, yaitu:

Pertama, mengenal siapa yang menjadi tujuannya berlari, yaitu Allah.

Mengenal Allah adalah dengan mengenal nama, sifat, keagungan, kesempurnaan, dan juga mengenal kerasnya hukuman dan siksaan (azab) Allah. Semakin besar pengenalan seorang hamba kepada Allah, maka akan semakin cepat pula proses berlarinya menuju Allah. Allah Ta’ala berfriman,

إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَٰٓؤُاْۗ

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah para ulama.” (QS. Fatir: 28)

Siapa saja yang mengenal Allah, maka dia akan takut dengan-Nya, bersemangat dalam ibadah, serta menjauhkan diri dari bermaksiat kepada-Nya.

Kedua, mengenal jalan yang ditempuh ketika berlari menuju Allah, yaitu konsisten dalam melakukan ketaatan.

Oleh karena itu, telah kita sebutkan sebelumnya bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata ketika menafsirkan firman Allah di atas, “Berlarilah menuju Allah dan beramallah dengan menaati-Nya.” (Tafsir Ats-Tsa’labiy, 24: 562; Tafsir Al-Baghawi, 7: 379)

Jalan yang harus ditempuh oleh orang yang berlari menuju Allah adalah konsisten di atas jalan Allah yang lurus, tidak menyimpang, tidak berbelok, dan tidak berpaling. Bahkan, dia terus konsisten (istikamah) menempuhnya dengan lurus menuju Allah dengan melakukan berbagai macam kewajiban dan menjauhi berbagai larangan dalam rangka mencari rida dan pahala dari Allah.

Ketiga, mengenal tujuan akhir dari jalan ini, yaitu kesuksesan mendapatkan surga dan rida Allah.

Orang yang berlari menuju Allah akan selamat dari murka Allah dan mendapatkan kebahagiaan dengan keridaan Allah. Orang yang berlari menuju Allah adalah mereka yang selamat pada hari kiamat dari neraka dan masuk ke dalam surga. Allah Ta’ala berfirman,

فَمَن زُحۡزِحَ عَنِ ٱلنَّارِ وَأُدۡخِلَ ٱلۡجَنَّةَ فَقَدۡ فَازَۗ وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلۡغُرُورِ

“Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imran: 185)

Tiga hal di atas terkumpul dalam firman Allah Ta’ala,

وَمَنۡ أَرَادَ ٱلۡأٓخِرَةَ وَسَعَىٰ لَهَا سَعۡيَهَا وَهُوَ مُؤۡمِن فَأُوْلَٰٓئِكَ كَانَ سَعۡيُهُم مَّشۡكُورا

“Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan ia adalah seorang mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik.” (QS. Al-Isra’: 19)

Asy Syaukani rahimahullah berkata, “Allah menyebutkan keadaan usaha yang dibalas baik dengan tiga hal, yaitu: 1) menghendaki kehidupan akhirat; 2) mengerahkan usaha dengan sungguh-sungguh; dan 3) pelakunya adalah orang mukmin.” (Fathul Qadir, 3: 258)

Kedudukan semacam ini tidak bisa didapatkan dengan berlambat-lambat, bermalas-malasan, atau menunda-nunda. Akan tetapi, hanya akan diraih dengan bergerak cepat dan bersegera. Allah Ta’ala berfirman,

وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَة مِّن رَّبِّكُمۡ

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu.“ (QS. Ali Imran: 133)

سَابِقُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَة مِّن رَّبِّكُمۡ

“Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu.“ (QS. Al-Hadid: 21)

Barangsiapa yang tidak berlari menuju Allah ketika berada di dunia ini, maka kelak di akhirat dia akan berkata, “Kemanakah tempat berlari?” Padahal, tidak ada lagi tempat (tujuan) berlari ketika itu, karena semuanya sudah terlambat. Allah Ta’ala berfirman,

فَإِذَا بَرِقَ ٱلۡبَصَرُ  ؛ وَخَسَفَ ٱلۡقَمَرُ ؛ وَجُمِعَ ٱلشَّمۡسُ وَٱلۡقَمَرُ ؛ يَقُولُ ٱلۡإِنسَٰنُ يَوۡمَئِذٍ أَيۡنَ ٱلۡمَفَرُّ ؛ كَلَّا لَا وَزَرَ

“Maka apabila mata terbelalak (ketakutan), dan apabila bulan telah hilang cahayanya, dan matahari dan bulan dikumpulkan, pada hari itu manusia berkata, “Ke manakah tempat berlari?” Sekali-kali tidak! Tidak ada tempat berlindung!” (QS. Al-Qiyamah: 7-11)

Allah Ta’ala juga berfirman,

مَا لَكُم مِّن مَّلۡجَإ يَوۡمَئِذ وَمَا لَكُم مِّن نَّكِير

“Kalian tidak memperoleh tempat berlindung pada hari itu dan tidak (pula) dapat mengingkari (dosa-dosamu).” (QS. Asy-Syura: 47)

Maksudnya, tidak ada bagimu pelindung yang akan melindungimu, dan tidak ada pula tempat yang menutupimu sehingga engkau bisa bersembunyi dari penglihatan Allah. Bahkan, Allah meliputimu dengan ilmu, penglihatan, serta kekuasaan-Nya. Maka tidak ada tempat perlindungan kecuali hanya kepada Allah. (Tafsir Ibnu Katsir, 7: 215)

Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua untuk bisa bertobat dengan setulus-tulusnya dan menjadi hamba yang senantiasa berlari menuju kepada Allah dengan sebaik-sebaiknya. Dialah satu-satunya tempat kembali dan tempat bergantung, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah semata.

***

Andai Kita Tahu Apa Yang Nabi Tahu

Andai Kita Tahu Apa Yang Nabi Tahu 

 Pernahkah anda menangis -dalam keadaan sendirian- karena takut siksa Allah Azza wa Jalla ? ketahuilah, sesungguhnya hal itu merupakan jaminan selamat dari neraka. Menangis karena takut kepada Allah Azza wa Jalla akan mendorong hamba untuk selalu istiqâmah di jalan-Nya, sehingga akan menjadi perisai dari api neraka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَلِجُ النَّارَ رَجُلٌ بَكَى مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ حَتَّى يَعُوْدَ اللَّبَنُ فِي الضَّرْعِ وَلاَ يَجْتَمِعُ غُبَارٌ فِي سَبِيْلِ اللَّهِ وَدُخَانُ جَهَنَّمَ

Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena takut kepada Allah sampai air susu kembali ke dalam teteknya. Dan debu  di jalan Allah tidak akan berkumpul dengan asap neraka Jahannam.[1]

Mengapa Harus Menangis?
Seorang Mukmin yang mengetahui keagungan Allah Azza wa Jalla dan hak-Nya, setiap dia melihat dirinya banyak melalaikan kewajiban dan menerjang larangan, dia khawatir dosa-dosa itu akan menyebabkan siksa Allah Azza wa Jalla kepadanya. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ فِي أَصْلِ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ وَقَعَ عَلَى أَنْفِهِ قَالَ بِهِ هَكَذَا فَطَارَ

Sesungguhnya seorang Mukmin itu melihat dosa-dosanya seolah-olah dia berada di kaki sebuah gunung, dia khawatir gunung itu akan menimpanya. Sebaliknya, orang yang durhaka melihat dosa-dosanya seperti seekor lalat yang hinggap di atas hidungnya, dia mengusirnya dengan tangannya –begini-, maka lalat itu terbang. [HR. at-Tirmidzi, no. 2497 dan dishahîhkan oleh al-Albâni rahimahullah]

Ibnu Abi Jamrah rahimahullah berkata, “Sebabnya adalah, karena hati seorang Mukmin itu diberi cahaya. Apabila dia melihat pada dirinya ada sesuatu yang menyelisihi hatinya yang diberi cahaya, maka hal itu menjadi berat baginya. Hikmah perumpamaan dengan gunung yaitu apabila musibah yang menimpa manusia itu selain runtuhnya gunung, maka masih ada kemungkinan mereka selamat dari musibah-musibah itu. Lain halnya dengan gunung, jika gunung runtuh dan menimpa seseorang, umumnya dia tidak akan selamat. Kesimpulannya bahwa rasa takut seorang Mukmin (kepada siksa Allah Azza wa Jalla -pen) itu mendominasinya, karena kekuatan imannya menyebabkan dia tidak merasa aman dari hukuman itu. Inilah keadaan seorang Mukmin, dia selalu takut (kepada siksa Allah-pen) dan bermurâqabah (mengawasi Allah). Dia menganggap kecil amal shalihnya dan khawatir terhadap amal buruknya yang kecil”[2].

Apalagi jika dia memperhatikan berbagai bencana dan musibah yang telah Allah Azza wa Jalla timpakan kepada orang-orang kafir di dunia ini, baik dahulu maupun sekarang. Hal itu membuatnya tidak merasa aman dari siksa Allah Azza wa Jalla . Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَكَذٰلِكَ اَخْذُ رَبِّكَ اِذَآ اَخَذَ الْقُرٰى وَهِيَ ظَالِمَةٌ ۗاِنَّ اَخْذَهٗٓ اَلِيْمٌ شَدِيْدٌ ١٠٢ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لِّمَنْ خَافَ عَذَابَ الْاٰخِرَةِ ۗذٰلِكَ يَوْمٌ مَّجْمُوْعٌۙ لَّهُ النَّاسُ وَذٰلِكَ يَوْمٌ مَّشْهُوْدٌ ١٠٣ وَمَا نُؤَخِّرُهٗٓ اِلَّا لِاَجَلٍ مَّعْدُوْدٍۗ ١٠٤ يَوْمَ يَأْتِ لَا تَكَلَّمُ نَفْسٌ اِلَّا بِاِذْنِهٖۚ فَمِنْهُمْ شَقِيٌّ وَّسَعِيْدٌ ١٠٥ فَاَمَّا الَّذِيْنَ شَقُوْا فَفِى النَّارِ لَهُمْ فِيْهَا زَفِيْرٌ وَّشَهِيْقٌۙ

Dan begitulah adzab Rabbmu apabila Dia mengadzab penduduk negeri-negeri yang berbuat zhalim. Sesungguhnya adzab-Nya sangat pedih lagi keras. Sesungguhnya pada peristiwa itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang takut kepada adzab akhirat. Hari Kiamat itu adalah suatu hari dimana manusia dikumpulkan untuk (menghadapi)-Nya, dan hari itu adalah suatu hari yang disaksikan (oleh segala makhluk). Dan Kami tiadalah mengundurkannya, melainkan sampai waktu yang tertentu. Saat hari itu tiba, tidak ada seorangun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang bahagia. Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih). [Hûd/11:102-106]

Ketika dia merenungkan berbagai kejadian yang mengerikan pada hari Kiamat, berbagai kesusahan dan beban yang menanti manusia di akhirat, semua itu pasti akan menggiringnya untuk takut kepada  Allah Azza wa Jalla  al-Khâliq . Allah Azza wa Jalla berfirman:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمْۚ اِنَّ زَلْزَلَةَ السَّاعَةِ شَيْءٌ عَظِيْمٌ ١ يَوْمَ تَرَوْنَهَا تَذْهَلُ كُلُّ مُرْضِعَةٍ عَمَّآ اَرْضَعَتْ وَتَضَعُ كُلُّ ذَاتِ حَمْلٍ حَمْلَهَا وَتَرَى النَّاسَ سُكٰرٰى وَمَا هُمْ بِسُكٰرٰى وَلٰكِنَّ عَذَابَ اللّٰهِ شَدِيْدٌ

Baca Juga  Introspeksi Diri
Hai manusia, bertakwalah kepada Rabbmu. Sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat). (Ingatlah), pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu, semua wanita yang menyusui anaknya lalai terhadap anak yang disusuinya, dan semua wanita yang hamil gugur kandungan. Kamu melihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk. Akan tetapi adzab Allah itu sangat keras. [al-Hajj/22:1-2]

Demikianlah sifat orang-orang yang beriman. Di dunia, mereka takut terhadap siksa Rabb mereka, kemudian berusaha menjaga diri dari siksa-Nya dengan takwa, yaitu melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Maka, Allah Azza wa Jalla memberikan balasan sesuai dengan jenis amal mereka. Dia memberikan keamanan di hari Kiamat dengan memasukkan mereka ke dalam surga-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَاَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلٰى بَعْضٍ يَّتَسَاۤءَلُوْنَ ٢٥ قَالُوْٓا اِنَّا كُنَّا قَبْلُ فِيْٓ اَهْلِنَا مُشْفِقِيْنَ ٢٦ فَمَنَّ اللّٰهُ عَلَيْنَا وَوَقٰىنَا عَذَابَ السَّمُوْمِ ٢٧  اِنَّا كُنَّا مِنْ قَبْلُ نَدْعُوْهُۗ اِنَّهٗ هُوَ الْبَرُّ الرَّحِيْمُ

Dan sebagian mereka (penghuni surga-pent) menghadap kepada sebagian yang lain; mereka saling bertanya. Mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami dahulu sewaktu berada di tengah-tengah keluarga, kami merasa takut (akan diadzab)”. Kemudian Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka. Sesungguhnya kami dahulu beribadah kepada-Nya. Sesungguhnya Dia-lah yang melimpahkan kebaikan lagi Maha Penyayang.  [ath-Thûr/52:25-28]

Ilmu Adalah Sebab Tangisan Karena Allah Azza wa Jalla
Semakin bertambah ilmu agama seseorang, semakin tambah pula takutnya terhadap keagungan Allah Azza wa Jalla . Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَاۤبِّ وَالْاَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ اَلْوَانُهٗ كَذٰلِكَۗ اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ

Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak, ada yang bermacam-macam warna (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah Ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. [Fâthir/35:28]

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عُرِضَتْ عَلَيَّ الْجَنَّةُ وَالنَّارُ فَلَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ فِي الْخَيْرِ وَالشَّرِّ وَلَوْ تَعْلَمُوْنَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيْلاً وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيرًا قَالَ فَمَا أَتَى عَلَى أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمٌ أَشَدُّ مِنْهُ قَالَ غَطَّوْا رُءُوْسَهُمْ وَلَهُمْ خَنِيْنٌ

Surga dan neraka ditampakkan kepadaku, maka aku tidak melihat tentang kebaikan dan keburukan seperti hari ini. Seandainya kamu mengetahui apa yang aku ketahui, kamu benar-benar akan sedikit tertawa dan banyak menangis. Anas bin Mâlik –perawi hadits ini mengatakan, “Tidaklah ada satu hari pun yang lebih berat bagi para Sahabat selain hari itu. Mereka menutupi kepala mereka sambil menangis sesenggukan. [HR. Muslim, no. 2359]

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Makna hadits ini, ‘Aku tidak pernah melihat kebaikan sama sekali melebihi apa yang telah aku lihat di dalam surga pada hari ini. Aku juga tidak pernah melihat keburukan melebihi apa yang telah aku lihat di dalam neraka pada hari ini. Seandainya kamu melihat apa yang telah aku lihat dan mengetahui apa yang telah aku ketahui semua yang aku lihat hari ini dan sebelumnya, sungguh kamu pasti sangat takut, menjadi sedikit tertawa dan banyak menangis”[3]

Hadits ini menunjukkan anjuran menangis karena takut terhadap siksa Allah Azza wa Jalla dan tidak memperbanyak tertawa, karena banyak tertawa menunjukkan kelalaian dan kerasnya hati.

Lihatlah para Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum, begitu mudahnya mereka tersentuh oleh nasehat! Tidak sebagaimana kebanyakan orang di zaman ini. Memang, mereka adalah orang-orang yang paling lembut hatinya, paling banyak pemahaman agamanya, paling cepat menyambut ajaran agama. Mereka adalah Salafus Shâlih yang mulia, maka selayaknya kita meneladani mereka.[4]

Seandainya kita mengetahui bahwa tetesan air mata karena takut kepada Allah Azza wa Jalla merupakan tetesan yang paling dicintai oleh Allah Azza wa Jalla , tentulah kita akan menangis karena-Nya atau berusaha menangis sebisanya. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan keutamaan tetesan air mata ini dengan sabda beliau:

لَيْسَ شَيْءٌ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ قَطْرَتَيْنِ وَأَثَرَيْنِ قَطْرَةٌ مِنْ دُمُوْعٍ فِيْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَقَطْرَةُ دَمٍ تُهَرَاقُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَأَمَّا اْلأ َثَرَانِ فَأَثَرٌ فِي سَبِيْلِ اللَّهِ وَأَثَرٌ فِي فَرِيْضَةٍ مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ

Tidak ada sesuatu yang yang lebih dicintai oleh Allah daripada dua tetesan dan dua bekas. Tetesan yang berupa air mata karena takut kepada Allah dan tetesan darah yang ditumpahkan di jalan Allah. Adapun dua bekas, yaitu bekas di jalan Allah dan bekas di dalam (melaksanakan) suatu kewajiban dari kewajiban-kewajibanNya.[5]

Baca Juga  Urgensi Tafakur Dan Intropeksi Diri
Namun yang perlu kita perhatikan juga bahwa menangis tersebut adalah benar-benar karena Allah Azza wa Jalla , bukan karena manusia, seperti dilakukan di hadapan jama’ah atau bahkan dishooting TV dan disiarkan secara nasional. Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan kebaikan besar bagi seseorang yang menangis dalam keadaan sendirian. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ اْلإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ

Tujuh (orang) yang akan diberi naungan oleh Allah pada naungan-Nya di hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. Pertama: Imam yang berbuat adil; kedua: pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Rabbnya; ketiga: seorang laki-laki yang hatinya tergantung di masjid-masjid; keempat: dua orang lak-laki yang saling mencintai karena Allah, keduanya berkumpul karena Allah dan berpisah karena Allah; kelima: seorang laki-laki yang diajak oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan, lalu dia berkata: “Sesungguhnya aku takut kepada Allah”; keenam: seorang laki-laki yang bersedekah dengan cara sembunyi-sembunyi, sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya; ketujuh: seorang laki-laki yang menyebut Allah di tempat yang sepi sehingga kedua matanya meneteskan air mata”.[HR. al-Bukhâri, no. 660; Muslim, no. 1031]

Hari Kiamat adalah hari pengadilan yang agung. Hari ketika setiap hamba akan mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya. Hari saat isi hati manusia akan dibongkar, segala rahasia akan ditampakkan di hadapan Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Perkasa. Maka kemana orang akan berlari? Alangkah bahagianya orang-orang yang akan mendapatkan naungan Allah Azza wa Jalla pada hari itu. Dan salah satu jalan keselamatan itu adalah menangis karena takut kepada Allah Azza wa Jalla .

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullah berkata, “Wahai saudaraku, jika engkau menyebut Allah Azza wa Jalla , sebutlah Rabbmu dengan hati yang kosong dari memikirkan yang lain. Jangan fikirkan sesuatupun selain-Nya. Jika engkau memikirkan sesuatu selain-Nya, engkau tidak akan bisa menangis karena takut kepada Allah Azza wa Jalla atau karena rindu kepada-Nya. Karena, seseorang tidak mungkin menangis sedangkan hatinya tersibukkan dengan sesuatu yang lain. Bagaimana engkau akan menangis karena rindu kepada Allah Azza wa Jalla dan karena takut kepada-Nya jika hatimu tersibukkan dengan selain-Nya? Oleh karena itu, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “seorang laki-laki yang menyebut Allah di tempat yang sepi“, yaitu hatinya kosong dari selain Allah Azza wa Jalla , badannya juga kosong (dari orang lain), dan tidak ada seorangpun di dekatnya yang menyebabkan tangisannya menjadi riyâ‘ dan sum’ah. Namun, dia melakukan dengan ikhlas dan konsentrasi”[6].

Setelah kita mengetahui hal ini, maka alangkah pantasnya kita mulai menangis karena takut kepada Allah Azza wa Jalla . Wallâhul Musta’ân.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIII/1431/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]


Footnote
[1]   HR. at-Tirmidzi, no. 1633, 2311; an-Nasâ`i 6/12; Ahmad 2/505; al-Hâkim 4/260; al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah 14/264. Syaikh Salîm al-Hilâli hafizhahullah mengatakan, “Shahîh lighairihi“. Lihat penjelasannya dalam kitab Bahjatun Nâzhirîn Syarh Riyâdhus Shâlihîn 1/517; no. 448)
[2]  Tuhfatul Ahwadzi, no. 2497
[3] Syarah Muslim, no. 2359
[4] Lihat Bahjatun Nâzhirîn Syarh Riyâdhus Shâlihin 1/475; no. 41
[5] HR. at-Tirmidzi, no. 1669; dihasankan oleh Syaikh Salîm al-Hilâli hafizhahullah dalam Bahjatun Nâzhirîn, 1/523, no. 455
[6] Syarh Riyâdhus Shâlihîn 2/342, no. 449

Pilihan Allah Pasti Terbaik

Pilihan Allah Pasti Terbaik 

Kita tidak boleh memaksa Allah agar memenuhi pilihan kita. Tugas kita adalah pasrah dan tawakal pada apa yang Allah tetapkan. Karena pilihan Allah pasti terbaik untuk kita.

Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Al-Fawaid masih membicarakan ayat berikut,

 ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Arab-Latin: Wa ‘asā an takrahụ syai`aw wa huwa khairul lakum, wa ‘asā an tuḥibbụ syai`aw wa huwa syarrul lakum, wallāhu ya’lamu wa antum lā ta’lamụn

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan faedah lainnya dari ayat di atas, “Di antara hikmah yang terkandung di dalam ayat ini ialah jika seorang hamba menginginkan kesudahan yang baik dalam setiap urusannya, maka ia dituntut untuk menyerahkan segala urusannya kepada Allah Yang Maha Mengetahui akibat segala urusan, serta rida atas pilihan dan ketentuan Allah baginya. 

Hikmah lainnya yang dikandung ayat ini ialah seorang hamba tidak berhak mengajukan usul kepada Rabbnya, tidak berhak mendikte Rabbnya agar memenuhi pilihannya dan tidak berhak memohon agar diberikan sesuatu yang dia sendiri tidak mengetahui bagaimana kesudahannya. Sebab, boleh jadi sesuatu yang dimintanya justru membahayakan dan membinasakannya karena ia tidak mengetahui akibat dan dampak negatifnya. Atas dasar itu, manusia sama sekali tidak boleh memaksa suatu pilihan kepada Rabbnya. Yang sebaiknya dilakukan adalah hendaknya ia memohon pilihan yang terbaik dari Allah dan meminta agar hatinya rida atas pilihan tersebut. Sebab, tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi dirinya selain daripada itu.

Hikmah lainnya adalah apabila seorang hamba telah menyerahkan urusannya kepada Rabbnya dan rida atas pilihan Allah untuk dirinya niscaya Allah akan membantunya menerima pilihan itu dengan menganugerahkan ketegaran, kebulatan tekad, dan kesabaran hati. Lalu, Allah akan menghindarkannya dari segala macam bencana yang mungkin terjadi apabila seorang hamba berpegang kepada pilihannya sendiri. Kemudian Allah akan memperlihatkan kepadanya dampak positif dari pilihan Allah bagi dirinya, yang tidak akan dicapai walaupun separuhnya jika ia menentukan pilihan hidupnya sendiri.”

Catatan:

Maksud Ibnul Qayyim rahimahullah di atas dapat dilihat dari doa shalat istikharah berikut ini.

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ ، وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ ، وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ ، اللَّهُمَّ فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ هَذَا الأَمْرَ – ثُمَّ تُسَمِّيهِ بِعَيْنِهِ – خَيْرًا لِى فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ – قَالَ أَوْ فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى – فَاقْدُرْهُ لِى ، وَيَسِّرْهُ لِى ، ثُمَّ بَارِكْ لِى فِيهِ ، اللَّهُمَّ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّهُ شَرٌّ لِى فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى – أَوْ قَالَ فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ – فَاصْرِفْنِى عَنْهُ ، وَاقْدُرْ لِىَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ، ثُمَّ رَضِّنِى بِهِ

ALLAHUMMA INNI ASTAKHIRUKA BI ‘ILMIKA, WA ASTAQDIRUKA BI QUDRATIKA, WA AS-ALUKA MIN FADHLIKA, FA INNAKA TAQDIRU WA LAA AQDIRU, WA TA’LAMU WA LAA A’LAMU, WA ANTA ‘ALLAAMUL GHUYUB. ALLAHUMMA FA-IN KUNTA TA’LAMU HADZAL AMRO (SEBUT NAMA URUSAN TERSEBUT) KHOIRON LII FII ‘AAJILI AMRII WA AAJILIH (AW FII DIINI WA MA’AASYI WA ‘AQIBATI AMRII) FAQDUR LII, WA YASSIRHU LII, TSUMMA BAARIK LII FIIHI. ALLAHUMMA IN KUNTA TA’LAMU ANNAHU SYARRUN LII FII DIINI WA MA’AASYI WA ‘AQIBATI AMRII (FII ‘AAJILI AMRI WA AAJILIH) FASH-RIFNII ‘ANHU, WAQDUR LIIL KHOIRO HAITSU KAANA TSUMMA RODH-DHINII BIH.

Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku beristikhoroh pada-Mu dengan ilmu-Mu, aku memohon kepada-Mu kekuatan dengan kekuatan-Mu, aku meminta kepada-Mu dengan kemuliaan-Mu. Sesungguhnya Engkau yang menakdirkan dan aku tidaklah mampu melakukannya. Engkau yang Maha Tahu, sedangkan aku tidak. Engkaulah yang mengetahui perkara yang gaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini (sebut urusan tersebut) baik bagiku dalam urusanku di dunia dan di akhirat, (atau baik bagi agama, penghidupan, dan akhir urusanku), maka takdirkanlah hal tersebut untukku, mudahkanlah untukku dan berkahilah ia untukku. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara tersebut jelek bagi agama, penghidupan, dan akhir urusanku (baik bagiku dalam urusanku di dunia dan akhirat), maka palingkanlah ia dariku, takdirkanlah yang terbaik bagiku di mana pun itu sehingga aku pun rida dengannya.

Referensi:

  • Al-Fawaid. Cetakan keenam, Tahun 1431 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Tahqiq dan Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari. Penerbit Maktabah Ar-Rusyd. hlm. 204.
  • Fawaid Al-Fawaid. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Tahqiq dan Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari. Penerbit Dar Ibn Al-Jauzi. hlm. 175-176.

Ajaibnya Keadaan Seorang Mukmin

Ajaibnya Keadaan Seorang Mukmin

Ajaibnya keadaan seorang mukmin? Bagaimana bisa?

Dari Shuhaib, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” (HR. Muslim, no. 2999)

Imam Al-Munawi berkata dalam Faidhul Qadir, “Keadaan seorang mukmin semuanya itu baik. Hanya didapati hal ini pada seorang mukmin. Seperti itu tidak ditemukan pada orang kafir maupun munafik. Keajaibannya adalah ketika ia diberi kesenangan berupa sehat, keselamatan, harta dan kedudukan, maka ia bersyukur pada Allah atas karunia tersebut. Ia akan dicatat termasuk orang yang bersyukur. Ketika ia ditimpa musibah, ia bersabar. Ia akan dicatat termasuk orang yang bersabar.

Oleh karenanya, selama seseorang itu dibebani syari’at, maka jalan kebaikan selalu terbuka untuknya. Sehingga seorang hamba yang beriman itu berada di antara mendapatkan nikmat yang ia diperintahkan untuk mensyukurinya dan musibah yang ia diperintahkan untuk bersabar.

Semoga keadaan kita semuanya baik.