Bagaimana mencetak anak shalih?

Bagaimana mencetak anak shalih? 

Semua orang yang telah menikah dan memiliki anak pasti menginginkan anaknya jadi shalih dan bermanfaat untuk orang tua serta agamanya. Karena anak jadi penyebab bagi orang tua untuk terus mendapat manfaat lewat doa dan amalannya, walau orang tua telah tiada. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, atau doa anak yang shalih.” (HR. Muslim no. 1631).

Berarti keturunan atau anak yang shalih adalah harapan bagi setiap orang tua. Terutama ketika orang tua telah tiada, ia akan terus mendapatkan manfaat dari anaknya. Manfaatnya bukan hanya dari doa seperti tertera dalam hadits di atas. Manfaat yang orang tua perolah bisa pula dari amalan anak. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ

Sesungguhnya yang paling baik dari makanan seseorang adalah hasil jerih payahnya sendiri. Dan anak merupakan hasil jerih payah orang tua.” (HR. Abu Daud no. 3528, An-Nasa’i dalam Al-Kubra 4: 4, 6043, Tirmidzi no. 1358, dan Ibnu Majah no. 2290. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Ada beberapa kiat singkat yang bisa kami sampaikan dalam kesempatan kali ini.

1- Faktor Utama adalah Doa

Tanpa doa, sangat tak mungkin tujuan mendapatkan anak shalih bisa terwujud. Karena keshalihan didapati dengan taufik dan petunjuk Allah.

مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي وَمَنْ يُضْلِلْ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’rof : 178)

Karena hidayah di tangan Allah, tentu kita harus banyak memohon pada Allah. Ada contoh-contoh doa yang bisa kita amalkan dan sudah dipraktikkan oleh para nabi di masa silam.

Doa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam,

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ

Robbi hablii minash shoolihiin” [Ya Rabbku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh]”. (QS. Ash Shaffaat: 100).

Doa Nabi Zakariya ‘alaihis salaam,

رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ

“Robbi hab lii min ladunka dzurriyyatan thoyyibatan, innaka samii’ud du’aa’” [Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mengdengar doa] (QS. Ali Imron: 38).

Doa ‘Ibadurrahman (hamba Allah yang beriman),

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

Robbanaa hab lanaa min azwajinaa wa dzurriyatinaa qurrota a’yun waj’alnaa lil muttaqiina imaamaa” [Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami, isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa]. (QS. Al-Furqan: 74)

Yang jelas doa orang tua pada anaknya adalah doa yang mustajab. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لاَ شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

Ada tiga doa yang mustajab yang tidak diragukan lagi yaitu doa orang tua, doa orang yang bepergian (safar) dan doa orang yang terzalimi.” (HR. Abu Daud no. 1536, Ibnu Majah no. 3862 dan Tirmidzi no. 1905. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Oleh karenanya jangan sampai orang tua melupakan doa baik pada anaknya, walau mungkin saat ini anak tersebut sulit diatur dan nakal. Hidayah dan taufik di tangan Allah. Siapa tahu ke depannya, ia menjadi anak yang shalih dan manfaat untuk orang tua berkat doa yang tidak pernah putus-putusnya.

2- Orang Tua Harus Memperbaiki Diri dan Menjadi Shalih

Kalau menginginkan anak yang shalih, orang tua juga harus memperbaiki diri. Bukan hanya ia berharap anaknya jadi baik, sedangkan ortu sendiri masih terus bermaksiat, masih sulit shalat, masih enggan menutup aurat. Sebagian salaf sampai-sampai terus menambah shalat, cuma ingin agar anaknya menjadi shalih.

Sa’id bin Al-Musayyib pernah berkata pada anaknya,

لَأَزِيْدَنَّ فِي صَلاَتِي مِنْ أَجْلِكَ

“Wahai anakku, sungguh aku terus menambah shalatku ini karenamu (agar kamu menjadi shalih, pen.).” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1: 467)

Bukti lain pula bahwa keshalihan orang tua berpengaruh pada anak, di antaranya kita dapat melihat pada kisah dua anak yatim yang mendapat penjagaan Allah karena ayahnya adalah orang yang shalih. Silakan lihat dalam surat Al-Kahfi,

وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا

Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shalih.” (QS. Al-Kahfi: 82). ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz pernah mengatakan,

مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يَمُوْتُ إِلاَّ حَفِظَهُ اللهُ فِي عَقِبِهِ وَعَقِبِ عَقِبِهِ

“Setiap mukmin yang meninggal dunia (di mana ia terus memperhatikan kewajiban pada Allah, pen.), maka Allah akan senantiasa menjaga anak dan keturunannya setelah itu.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1: 467)

3- Pendidikan Agama Sejak Dini

Allah memerintahkan pada kita untuk menjaga diri kita dan anak kita dari neraka sebagaimana disebutkan dalam ayat,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6). Disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir (7: 321), ‘Ali mengatakan bahwa yang dimaksud ayat ini adalah,

أَدِّبُوْهُمْ وَعَلِّمُوْهُمْ

“Ajarilah adab dan agama pada mereka.” Tentang shalat pun diperintahkan diajak dan diajarkan sejak dini. Dari Amr bin Syu’aib, dari bapaknya dari kakeknya radhiyallahu ‘anhu, beliau meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ

Perintahkan anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berumur 7 tahun. Pukul mereka jika tidak mengerjakannya ketika mereka berumur 10 tahun. Pisahkanlah tempat-tempat tidur mereka.” (HR. Abu Daud no. 495. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Tentang adab makan diperintahkan untuk diajarkan. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendidik ‘Umar bin Abi Salamah adab makan yang benar. Beliau berkata pada ‘Umar,

يَا غُلاَمُ سَمِّ اللَّهَ ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ

Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah (bacalah bismillah) ketika makan. Makanlah dengan tangan kananmu. Makanlah yang ada di dekatmu.” (HR. Bukhari no. 5376 dan Muslim no. 2022)

Bukan hanya shalat dan adab saja yang diajarkan, hendaklah pula anak diajarkan untuk menjauhi perkara haram seperti zina, berjudi, minum minuman keras, berbohong dan perbuatan tercela lainnya. Kalau orang tua tidak bisa mengajarkannya karena kurang ilmu, sudah sepatutnya anak diajak untuk dididik di Taman Pembelajaran Al-Qur’an (TPA) atau sebuah pesantren di luar waktu sekolahnya. Moga kita dikaruniakan anak-anak yang menjadi penyejuk mata orang tuanya. Al-Hasan Al-Bashri berkata,

لَيْسَ شَيْءٌ أَقَرُّ لِعَيْنِ المؤْمِنِ مِنْ أَنْ يَرَى زَوْجَتَهُ وَأَوْلاَدَهُ مُطِيْعِيْنَ للهِ عَزَّ وَجَلَّ

“Tidak ada sesuatu yang lebih menyejukkan mata seorang mukmin selain melihat istri dan keturunannya taat pada Allah ‘azza wa jalla.” (Disebutkan dalam Zaad Al-Masiir pada penafsiran Surat Al-Furqan ayat 74) Wallahu waliyyut taufiq.

Referensi Utama:

Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim. Cetakan pertama, tahun 1433 H. Yahya bin Syarh An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm. Fiqh

Tarbiyah Al-Abna’. Cetakan tahun 1423 H. Syaikh Musthafa Al-‘Adawi.

Usia Sudah 40 tahun

Usia Sudah 40 tahun

Allah Ta’ala berfirman,

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa:

ROBBI AWZI’NII AN ASYKURO NI’MATAKALLATII AN ‘AMTA ‘ALAYYA. WA ‘ALAA WAALIDAYYA WA AN A’MALA SHOOLIHAN TARDHOOHU, WA ASHLIH LII FII DZURRIYATII.

“Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS. Al-Ahqaf: 15)

Al-Imam Al-Qurthubi menyatakan bahwa orang yang telah mencapai usia 40 tahun, maka ia telah mengetahui besarnya nikmat yang telah Allah anugerahkan padanya, juga kepada kedua orang tuanya sehingga ia terus mensyukurinya.

Imam Malik berkata,

أَدْرَكْتُ أَهْلَ العِلْمِ بِبَلَدِنَا وَهُمْ يَطْلُبُوْنَ الدُّنْيَا ، وَيُخَالِطُوْنَ النَّاسَ ، حَتَّى يَأْتِيَ لِأَحَدِهِمْ أَرْبَعُوْنَ سَنَةً ، فَإِذَا أَتَتْ عَلَيْهِمْ اِعْتَزَلُوْا النَّاسَ

“Aku mendapati para ulama di berbagai negeri, mereka sibuk dengan aktivitas dunia dan bergaulan bersama manusia. Ketika mereka sampai usia 40 tahun, mereka menjauh dari manusia.” (Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, 14:218)

Ibnu Katsir menyatakan bahwa ketika seseorang berada dalam usia 40 tahun, maka sempurnalah akal, pemahaman dan kelemah lembutannya. (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6:623)

Sebagaimana diterangkan oleh Imam Asy-Syaukani rahimahullah, para ulama pakar tafsir menyatakan bahwa tidaklah seorang nabi diutus melainkan mereka telah berusia 40 tahun. Ayat ini menunjukkan bahwa jika seseorang mencapai usia 40 tahun, ia membaca doa seperti yang terdapat dalam ayat di atas. (Fath Al-Qadir, 5:24)

Umur di antara Umatku 60 – 70 Tahun

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَعْمَارُ أُمَّتِـي مَا بَيْنَ السِّتِّيْنَ إِلَى السَّبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ

Umur umatku antara 60 hingga 70 dan sedikit dari mereka yang melebihi itu.” (HR. Tirmidzi, no. 3550; Ibnu Majah, no. 4236. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Kalau sudah sulit untuk beramal, kita bisa memanfaatkan amalan ringan sebagai tambahan bekal. Apalagi orang shalih, pahalanya tetap ada walau pun sudah sulit beramal di usia tua.

Sedari Muda Sudah Beramal

Allah Ta’ala berfirman,

وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ (1) وَطُورِ سِينِينَ (2) وَهَذَا الْبَلَدِ الْأَمِينِ (3) لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ (4) ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ (5) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ (6) فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّينِ (7) أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ (8)

Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun, dan demi bukit Sinai, dan demi kota (Mekah) ini yang aman. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu? Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?” (QS. At-Tiin: 1-8)

Maksud ayat “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” ada empat pendapat. Di antara pendapat tersebut adalah “Kami telah menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya seperti di waktu mudanya yaitu dalam keadaan kuat dan semangat untuk beramal.” Pendapat ini dipilih oleh ‘Ikrimah.

Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya”. Menurut Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah, Ibrahim dan Qatadah, juga Adh-Dhahak, yang dimaksudkan dengan bagian ayat ini adalah “dikembalikan ke masa tua renta setelah berada di usia muda, atau dikembalikan di masa-masa tidak semangat untuk beramal setelah sebelumnya berada di masa semangat untuk beramal.”

Masa tua adalah masa tidak semangat untuk beramal. Seseorang akan melewati masa kecil, masa muda, dan masa tua. Masa kecil dan masa tua adalah masa sulit untuk beramal, berbeda dengan masa muda, yaitu masa emas untuk beramal shalih.

Ibrahim An-Nakha’i mengatakan, “Jika seorang mukmin berada di usia senja dan pada saat itu sangat sulit untuk beramal, maka dia akan dicatat sebagaimana dahulu (di waktu muda) dia pernah beramal. Inilah yang dimaksudkan dengan firman Allah (yang artinya): bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.”

Ibnu Qutaibah mengatakan, “Makna firman Allah yang artinya “Kecuali orang-orang yang beriman” adalah kecuali orang-orang yang beriman di waktu mudanya, di saat kondisi fit (semangat) untuk beramal, maka mereka di waktu tuanya nanti tidaklah berkurang amalan mereka. Walaupun mereka tidak mampu melakukan amalan ketaatan di saat usia senja. Karena Allah Ta’ala Maha Mengetahui, seandainya mereka masih diberi kekuatan beramal sebagaimana waktu mudanya, maka mereka tidak akan berhenti dari beramal kebaikan. Maka orang yang gemar beramal di waktu mudanya, (di saat tua renta), dia akan diberi ganjaran sebagaimana di waktu mudanya.” (Lihat Zaad Al-Masiir, 9:172-174 dan Tafsir Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 7:72)

Jika seseorang sulit beramal di waktu tua padahal waktu mudanya gemar beramal, maka ia tetap dicatat seperti keadaannya di waktu muda. Sama halnya keadaannya seperti orang yang sakit dan bersafar. Dalam hadits Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

Jika seorang hamba sakit atau bersafar, maka dicatat baginya semisal keadaan ketika ia beramal saat mukim atau sehat.” (HR. Bukhari, no. 2996)

Berlindung dari Keadaan Jelek di Waktu Tua

Jadi, usia muda adalah masa fit (semangat) untuk beramal. Oleh karena itu, manfaatkanlah dengan sebaik-baiknya. Janganlah disia-siakan. Mintalah juga perlindungan kepada Allah dari usia tua yang jelek sebagaimana do’a yang Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam contohkan. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa meminta perlindungan dengan do’a,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْكَسَلِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَرَمِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْبُخْلِ

“ALLAHUMMA INNI A’UDZU BIKA MINAL KASL WA A’UDZU BIKA MINAL JUBN, WA A’UDZU BIKA MINAL HAROM, WA A’UDZU BIKA MINAL BUKHL” (Artinya: Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari rasa malas, aku meminta perlindungan pada-Mu dari lemahnya hati, aku meminta perlindungan pada-Mu dari usia tua (yang sulit untuk beramal) dan aku meminta perlindungan pada-Mu dari sifat kikir atau pelit).” (HR. Bukhari, no. 6371)

Ada empat hal yang diminta dilindungi dalam doa di atas:

1- Sifat al-kasal, yaitu tidak ada atau kurangnya dorongan (motivasi) untuk melakukan kebaikan padahal dalam keadaan mampu untuk melakukannya. Inilah sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Nawawi rahimahullah.

Bedanya dengan kasal dan ‘ajz, ‘ajz itu tidak ada kemampuan sama sekali, sedangkan kasal itu masih ada kemampuan namun tidak ada dorongan untuk melakukan kebaikan.

2- Sifat al-jubn, artinya berlindung dari rasa takut (lawan dari berani), yaitu berlindung dari sifat takut untuk berperang atau tidak berani untuk beramar ma’ruf nahi mungkar. Juga do’a ini bisa berarti meminta perlindungan dari hati yang lemah.

3- Sifat al-harom, artinya berlindung dari kembali pada kejelekan umur (di masa tua). Ada apa dengan masa tua? Karena pada masa tua, pikiran sudah mulai kacau, kecerdasan dan pemahaman semakin berkurang, dan tidak mampu melakukan banyak ketaatan.

4- Sifat al-bukhl, artinya berlindung dari sifat pelit (kikir). Yaitu do’a ini berisi permintaan agar seseorang bisa menunaikan hak pada harta dengan benar, sehingga memotivasinya untuk rajin berinfak (yang wajib atau yang sunnah), bersikap dermawan dan berakhlak mulia. Juga do’a ini memaksudkan agar seseorang tidak tamak dengan harta yang tidak ada padanya. (Lihat Syarh Shahih Muslim, 17:28-30)

Tidak Ada Kematian Lagi Di Akhirat

Tidak Ada Kematian Lagi Di Akhirat 

Ahlus Sunnah mengimani bahwa setelah manusia masuk Surga atau masuk Neraka tidak ada lagi kematian. Kematian adalah masalah maknawi yang tidak bisa dilihat dengan indera. Namun di akhirat, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikannya sebagai sesuatu yang berbentuk kambing dan dapat dilihat oleh indera, kemudian disembelih di antara Surga dan Neraka, lalu dikatakan:

…يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ خُلُوْدٌ فَلاَ مَوْتَ، وَيَا أَهْلَ النَّارِ خُلُوْدٌ فَلاَ مَوْتَ.

“…Wahai penghuni Surga, kalian kekal (selamanya) dan tidak akan mati. (Demikian pula kepada penghuni Neraka), Wahai penghuni Neraka kalian kekal dan tidak akan mati.”[1]

Rangkaian peristiwa yang terjadi di akhirat, seperti hisab, pemberian pahala, siksaan, Surga, Neraka, dan rincian semua hal itu sudah disebutkan dalam kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah, serta disebutkan dalam riwayat-riwayat yang diwariskan oleh para Nabi, sedangkan yang terkandung dalam Sunnah yang diwariskan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang masalah ini sudah cukup serta memadai. Siapa yang mencarinya (mempelajarinya), ia pasti akan mendapatkannya.[2]

Beriman kepada hari Akhir, yaitu hari dibangkitkannya semua makhluk dan apa yang terjadi padanya akan mengingatkan seorang Mukmin bahwa ia akan kembali kepada Allah, maka ia berusaha untuk melakukan amal yang terbaik dengan ikhlas dan ittiba’ didasari dengan rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya serta menumbuhkan raja’ (harapan) kepada rahmat Allah dan khauf (takut) terhadap siksa Allah, dan selalu bertaubat dari segala dosa.


Allah Ta’ala menegaskan penyebutan tentang hari Akhir di dalam Kitab-Nya, mengulang-ulang penyebutannya di setiap tempat, mengingatkan atasnya dalam setiap saat dan menegaskan kejadiannya, banyak menyebutkannya, dan mengaitkan bahwa keimanan kepada hari Akhir berkaitan erat dengan keimanan kepada Allah Ta’ala.

Dia Ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ

“Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur-an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.” [Al-Baqarah/2: 4]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]


Footnote
[1] HR. Al-Bukhari, Kitaabut Tafsiir (no. 4730), dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu
[2] At-Tanbiihatul Lathiifah (hal. 74) dan Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (II/182). Bagi yang ingin membaca dengan lengkap silakan baca Shahiihul Bukhari: Kitaabur Riqaaq, Shahiih Muslim: Kitaabul Iimaan dari bab 80, Kitaabul Jannah dengan semua babnya, Sunan Abi Dawud: Kitaabus Sunnah dan Sunan at-Tirmidzi: Kitaab Shifaatil Qiyaamah dengan semua babnya, dan yang lainnya.

Alloh Tidak Suka Orang Yang Suka Berdebat

Alloh Tidak Suka Orang Yang Suka Berdebat 

Dari Abi Umamah Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلَّا أُوتُوا الْجَدَلَ

ثم قرأ مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلًا ( الزخرف 85 )

“Tidaklah suatu kaum tersesat setelah hidayah yang dahulu mereka berada diatasnya kecuali akibat mereka suka berjidal. Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: ‘Tidaklah mereka memberikan perumpamaan/analogi untukmu kecuali untuk sebatas menjidalmu.‘ (QS. Az-Zukhruf [43]: 58) ” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah. Tirmidzi mengatakan hasan shahih)

Hadits ini menunjukkan betapa jidal itu tercela dalam Islam. Karena sesuatu yang sudah jelas dalam agama bahwasanya itu adalah perkara yang ada dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kemudian masih saja diperdebatkan. Itu menunjukkan bahwa sebetulnya mereka tidak punya taslim (menyerahkan diri semuanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala) dalam hati. Kalaulah mereka berjiwa taslim, tentu mereka tidak akan banyak berdebat, mereka akan mengimaninya dan berusaha untuk bisa mengaplikasikan di dalam kehidupan. Adapun mereka menjadikan sebagai bahan perdebatan, maka yang seperti ini adalah penyebab daripada kesesatan.

Oleh karena itulah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan: “Tidaklah suatu kaum tersesat setelah mereka diberikan hidayah yang dahulu mereka diatasnya.” Tadinya sudah mendapat hidayah, sudah diberikan keterangan dari Al-Qur’an dan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang seharusnya kewajiban mereka adalah sami’na wa atha’na dan taslim kepada perintah Allah dan RasulNya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tapi kemudian mereka malah memperdebatkannya. Akibatnya mereka pun tersesat jalan.

JANGAN DIPERDEBATKAN LAGI

Maka untuk perkara yang sudah jelas dalilnya dari Al-Qur’an dan hadits, apalagi itu sudah menjadi ijma’ oleh para ulama, sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Memperdebatkan sesuatu yang sudah jelas adalah perkara yang menjadi penyebab kesesatan seorang hamba.

Kewajiban seorang muslim adalah taslim, yaitu menyerahkan diri kepada Allah dan RasulNya. Kalau ada sesuatu yang dia tidak pahami, maka tanya kepada ulama, baca kitab-kitab para ulama yang sudah mensyarah maknanya. Adapun kemudian diperdebatkan, itu menunjukkan hati kita dipenuhi dengan syubhat dan keraguan.

HADITS KE-142

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إلى اللَّهِ الألَدُّ الخَصِمُ

“Sesungguhnya orang yang paling dibenci oleh Allah adalah orang yang sangat suka bertengkar.” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan An-Nasa’i)

Imam An-Nawawi berkata:

( الألد ) شديد الخصومة مأخوذ من لديدي الوادي وهما جانباه ; لأنه كلما احتج عليه بحجة أخذ في جانب آخر

( الألد ) maksudnya adalah sangat suka bertengkar. Diambil dari kata-kata لديدي الوادي (dua tepinya). Karena setiap kali ditegakkan hujjah, maka dia mencari celah lain untuk menyerang lawan debatnya. Dia mencari-cari kelemahan lawan yang tujuannya adalah untuk mengalahkan lawan, bukan untuk mencari kebenaran.

Oleh karena itu kalau kita tahu tujuan dia ingin mengalahkan, bukan untuk mencari kebenaran, maka tinggalkan, tidak ada manfaatnya. Karena tujuan berdebat adalah untuk mencari dan membela kebenaran.