Waktu Istirahat Yang Sebenarnya

Waktu Istirahat Yang Sebenarnya 

» Di dalam Al-Qur’an Al-Karim Allah Ta’ala berfirman:

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

Artinya: “Dan beribadahlah engkau kepada Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (yakni kematian).” (QS. Al-Hijr: 99).

Ayat ini menunjukkan kepada kita bahwa setiap manusia yang hidup di dunia wajib beribadah hanya kepada Allah tanpa mengenal letih, bosan dan istirahat atau berhenti darinya. Ia wajib tabah dan sabar dalam menghadapi berbagai macam ujian dan cobaan. Sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala, serta sabar dalam menjauhi dosa dan maksiat kepada-Nya sehingga kematian menjemputnya dan memutuskannya dari segala kenikmatan dan kelezatan dunia.

» Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah pernah ditanya: “Wahai imam, kapankah waktu istirahat itu?” Beliau jawab: “(istirahat yang sesungguhnya ialah) pada saat engkau pertama kali menginjakkan kakimu di dalam Surga.”

» Seorang penyair yang bijak mengatakan:
“Sekiranya bilamana kita telah mati lalu dibiarkan (begitu saja tanpa perhitungan dan pembalasan amal, pent), niscaya kematian itu menjadi waktu istirahat bagi setiap orang yang hidup.

Akan tetapi (kenyataannya), bilamana kita telah mati, kita akan dibangkitkan (dari alam kubur kita), dan sesudah itu kita dimintai pertanggungjawaban (oleh Allah) atas segala hal (yang pernah kita lakukan di dunia, pent).”

Maka dari itu, marilah kita bersungguh-sungguh dalam memanfaatkan sisa umur kita di dunia ini dengan berbuat kebaikan dan ketaatan kepada Allah dan menjauhi setiap dosa dan maksiat hingga kematian menjemput kita dan memisahkan kita dengan orang-orang yang sangat kita cintai.

Demikian faedah ilmiyah dan mau’izhoh hasanah yang dapat kami sampaikan pada hari ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua. 

Ilmu Dicabut Dengan Wafatnya Ulama

Ilmu Dicabut Dengan Wafatnya Ulama 

Sungguh membuat hati cukup sedih jika mendengar berita wafatnya ulama. Terlebih ulama tersebut adalah ulama ahlus sunnah wal jamaah yang sangat giat, belajar, berdakwah dan memberikan pencerahan yang banyak kepada manusia. Ayyub rahimahullah pernah berkata,

إني أُخبر بموت الرجل من أهل السنة وكأني أفقد بعض أعضائي

“Sesungguhnya aku diberitakan mengenai wafatnya seorang ahlus sunnah, seakan-akan aku kehilangan sebagian anggota tubuhku”.[1]

Dengan wafatnya ulama, berarti Allah telah mulai mengangkat ilmu dari manusia. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ ﺍﻧْﺘِﺰَﺍﻋَﺎً ﻳَﻨْﺘَﺰِﻋُﻪُ ﻣﻦ ﺍﻟﻌِﺒﺎﺩِ ﻭﻟَﻜِﻦْ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ ﺑِﻘَﺒْﺾِ ﺍﻟﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﺣﺘَّﻰ ﺇﺫﺍ ﻟَﻢْ ﻳُﺒْﻖِ ﻋَﺎﻟِﻢٌ ﺍﺗَّﺨَﺬَ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺭﺅﺳَﺎً ﺟُﻬَّﺎﻻً ، ﻓَﺴُﺌِﻠﻮﺍ ﻓَﺄَﻓْﺘَﻮْﺍ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍ ﻓَﻀَﻠُّﻮﺍ ﻭَﺃَﺿَﻠُّﻮﺍ

Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak mengangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hamba-Nya, akan tetapi Allah mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika tidak tersisa lagi seorang ulama pun, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu. mereka sesat dan menyesatkan.“[2]

An-Nawawi rahimahullah menjelaskan,

‏ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻳﺒﻴﻦ ﺃﻥ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﺑﻘﺒﺾ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻓﻲ ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﺍﻟﺴﺎﺑﻘﺔ ﺍﻟﻤﻄﻠﻘﺔ ﻟﻴﺲ ﻫﻮ ﻣﺤﻮﻩ ﻣﻦ ﺻﺪﻭﺭ ﺣﻔﺎﻇﻪ ، ﻭﻟﻜﻦ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺃﻧﻪ ﻳﻤﻮﺕ ﺣﻤﻠﺘﻪ ، ﻭﻳﺘﺨﺬ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺟﻬﺎﻻ ﻳﺤﻜﻤﻮﻥ ﺑﺠﻬﺎﻻﺗﻬﻢ ﻓﻴﻀﻠﻮﻥ ﻭﻳﻀﻠﻮﻥ .

“Hadits ini menjelaskan bahwa maksud diangkatnya ilmu yaitu sebagaimana pada hadits-hadits sebelumnya secara mutlak. Bukanlah menghapuskannya dari dada para penghafalnya, akan tetapi maknanya adalah wafatnya para pemilik ilmu tersebut. Manusia kemudian menjadikan orang-orang bodoh untuk memutuskan hukum sesuatu dengan kebodohan mereka. Akhirnya mereka pun sesat dan menyesatkan orang lain”.[3]

Para ulama pasti akan Allah wafatkan karena setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian. Hendaknya kita terus semangat mempelajari ilmu dan mengamalkannya. Shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu berkata,

ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺑﺎﻟﻌﻠﻢ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﻳﺮﻓﻊ ﻭﺭﻓﻌﻪ ﻣﻮﺕ ﺭﻭﺍﺗﻪ، ﻓﻮﺍﻟﺬﻱ ﻧﻔﺴﻲ ﺑﻴﺪﻩ ﻟﻴﻮﺩّﻥّ ﺭﺟﺎﻝ ﻗﺘﻠﻮﺍ ﻓﻲ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﺷﻬﺪﺍﺀ ﺃﻥ ﻳﺒﻌﺜﻬﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻤﺎﺀ ﻟﻤﺎ ﻳﺮﻭﻥ ﻣﻦ ﻛﺮﺍﻣﺘﻬﻢ، ﻓﺈﻥ ﺃﺣﺪﺍ ﻟﻢ ﻳﻮﻟﺪ ﻋﺎﻟﻤﺎ ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺑﺎﻟﺘﻌﻠﻢ

“Wajib atas kalian untuk menuntut ilmu, sebelum ilmu tersebut diangkat/dihilangkan. Hilangnya ilmu adalah dengan wafatnya para periwayatnya/ulama. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh orang-orang yang terbunuh di jalan Allah sebagai syuhada, mereka sangat menginginkan agar Allah membangkitkan mereka dengan kedudukan seperti kedudukannya para ulama, karena mereka melihat begitu besarnya kemuliaan para ulama. Sungguh tidak ada seorang pun yang dilahirkan dalam keadaan sudah berilmu. Ilmu itu tidak lain didapat dengan cara belajar .”[4]

Mari kita semakin semangat menuntut ilmu, menyebarkan dan mengamalkannya, karena hilangnya ilmu agama merupakan tanda-tanda akhir zaman dan dekatnya zaman fitnah.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﻳَﺘَﻘَﺎﺭَﺏُ ﺍﻟﺰَّﻣَﺎﻥُ ﻭَﻳُﻘْﺒَﺾُ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢُ ﻭَﺗَﻈْﻬَﺮُ ﺍﻟْﻔِﺘَﻦُ ﻭَﻳُﻠْﻘَﻰ ﺍﻟﺸُّﺢُّ ﻭَﻳَﻜْﺜُﺮُ ﺍﻟْﻬَﺮْﺝُ

Zaman saling berdekatan, ilmu dihilangkan, berbagai fitnah bermunculan, kebakhilan dilemparkan (ke dalam hati), dan pembunuhan semakin banyak.“[5]

Termasuk tanda kiamat yang sudah cukup dekat adalah diangkatnya ilmu dan kebodohan yang merajalela.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﻣﻦ ﺃﺷﺮﺍﻁ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔ ﺃﻥ ﻳُﺮْﻓَﻊَ ﺍﻟﻌﻠﻢ، ﻭﻳَﺜْﺒُﺖَ ﺍﻟﺠﻬﻞُ

Termasuk tanda-tanda hari kiamat adalah diangkatnya ilmu dan tetapnya kebodohan.“[6]

Allah Ta’ala berfirman :

ﻧَّﻤَﺎ ﻳَﺨْﺸَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻣِﻦْ ﻋِﺒَﺎﺩِﻩِ ﺍﻟْﻌُﻠَﻤَﺎﺀُ ۗ

Hanyalah yang memiliki khasy-yah (takut) kepada Allah dari kalangan hamba-hamba-Nya adalah para ‘ulama.” [Fathir : 28]

Demikian semoga bermanfaat.

***

Catatan kaki:

[1] Hilyah Al-Auliya 3/9
[2] HR. Bukhari
[3] Syarh Nawawi lishahih Muslim 16/223-224
[4] Al-’Imu Ibnu Qayyim, hal. 94
[5] HR. Muslim
[6] HR. Bukhari

Mengobati Penyakit Gay / Homoseksual

Mengobati Penyakit Gay / Homoseksual 

Sebagian orang heran dan bisa jadi agak risih dengan orang yang mendapat ujian tertimpa penyakit seperti ini. Betapa tidak, wanita diciptakan begitu indah di mata laki-laki mengalahkan segala bentuk pemandangan dan panorama indah di dunia akan tetapi ia lebih condong kepada sejenis dan berpaling dari wanita? Begitu juga dengan wanita yang sejatinya haus akan kasih sayang dan belaian laki-laki tetapi mereka lebih condong terhadap sejenis (homoseksual-lesbian).

Penderita penyakit ini juga terkadang heran dengan diri mereka sendiri. Terkadang mereka menikmati penyakit ini tetapi ada juga yang tersiksa, ingin sembuh tetapi tidak bisa, ingin konsultasi dan berterus terang tetapi malu. Khususnya kaum laki-laki yang menjadi gay (homoseksual) lebih susah terapinya, wanita lebih mudah sembuh karena dilihat dari penyebabnya.umumnya wanita menjadi lesbian karena kurang perhatian dari laki-laki. Sebagaimana kaum wanita nabi Luth ‘alaihissalam yang menjadi lesbian karena kaum laki-laki mereka sudah menjadi homoseks dan berpaling dari wanita mereka.

Setiap penyakit pasti ada obatnya

Penderita penyakit ini perlu menanmkan keyakinan dengan kuat mereka pasti bisa sembuh. Terkadang mereka putus asa, karena laki-laki tentu lebih banyak bergaul dengan laki-laki misalnya di ruang ganti, kamar mandi. Mereka lebih mudah terpapar dan terfitnah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,

لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ فَإِذَا أُصِيبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ.

“Setiap penyakit ada obatnya, dan bila telah ditemukan dengan tepat obat suatu penyakit, niscaya akan sembuh dengan izin Allah Azza wa Jalla.” (HR. Muslim)

Penyebab penyakit ini

Dalam ilmu psikologi, penyebab mejadi gay secara umum ada dua:

1.trauma masa kecil.

Ketika kecil pernah mendapatkan perilaku kekerasaan atau pelecehan seksual sejenis. Maka akan bisa memperngaruhi pola pikir dan orientasi seksual ketika dewasa.

Misalnya ketika kecil ia pernah di sodomi oleh kakaknya atau pamannya

2.menjadi gay karena pelarian

Lari dari suatu masalah, misalnya seroang laki-laki pernah ditolak 7 kali oleh seorang gadis atau beberapa gadis menolaknya, atau putus dari kekasih yang sangat ia cintai. Ketika ia perlahan-lahan menjadi gay, ia merasakan kenyaman dan kebahagiaan sehingga ia benar-benar memutuskan menjadi seorang gay.

Terapi psikologi kedokteran

Adapun terapi secara psikologi dan kedokteran maka bisa ditempuh beberapa cara berikut:

1.menjauhi segala macam yang berkaitan dengan gay (homoseksual) misalnya teman, klub, aksesoris, bacaan dan segalanya. Ini adalah salah satu faktor terbesar yang bisa membantu

2. merenungi bahwa gay masih belum diterima oleh masyarakat (terutama di indonesia), masih ada juga yang merasa jijik dengan gay. Terus menanamkan pikiran bahwa gay adalah penyakit yang harus disembuhkan

3. terapi sugesti

Misalnya mengucapkan dengan suara agak keras (di saat sendiri),:

“saya bukan gay”

“gay menjijikkan”

“saya suka perempuan”

Bisa juga dengan menulis di kertas dengan jumlah yang banyak dan berulang, misalnya 1000 kali

4. berusaha melakukan kegiatan dan aktifitas khas laki-laki

Misalnya olahraga karate atau bergabung dengan komunitas kegiatan laki-laki

5.terapi hormon

Jika diperlukan dengan bimbingan dokter bisa dilakukan terpai hormon secara berkala untuk lebih bisa menimbulkan sifat laki-laki

6. menjauhi bergaul dengan laki-laki yang menarik hati untuk

Dan YANG PALING terpenting adalah dukungan semua pihak, keterbukaan dan menerima masukan. Jangan sampai ada yang mencela didepanya atau mengejek perjuangannya dalam emngobati penyakit ini.

Bimbingan Islam dalam hal ini

Adapun bimbingan agama Islam yang sempurna dalam hal ini, maka beberapa hal ini perlu direnungi:

1.tulus berdoa dan bersungguh-sunggu dalam berdoa kepada Allah memohon kesembuhan, karena setiap penyakit pasti ada obatnya. Berdoa di waktu dan tempat yang mustajab serta tidak mudah putus asa.

يُسْتَجَابُ لأَحَدِكُمْ ما لم يَعْجَل، يقول: دَعَوْتُ فلم يُسْتَجَبْلي

“Doa kalian pasti akan dikabulkan, selama ia tidak terburu-buru, yaitu dengan berkata: aku telah berdoa, akan tetapi tidak kunjung dikabulkan.”  (Muttafaqun ‘alaih)

2. segera bertaubat kepada Allah

Karena segala sesuatu yang terjadi pada kita adalah akibat perbuatan dan kesalahan kita. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ

“Dan musibah apapun yang menimpamu, maka itu adalah akibat dari ulah tanganmu sendiri.” (As Syura: 30).

3. menyadari bahwa gay (homoseksual) adalah dosa besar dan dilaknat pelakunya

Allah Ta’ala berfirman,

وَلُوطًا إِذْ قالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفاحِشَةَ وَأَنْتُمْ تُبْصِرُونَ (54) أَإِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّساءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ

“Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika ia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan keji itu sedang kamu melihat(nya). Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu(mu), bukan mendatangi wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak dapat mengetahui (akibat perbuatanmu).” ( An-Naml 27:54-55)

4.menjauhi segala sesuatu yang berkaitan dengan gay atau membuatnya menjadi kewanita-wanitaan atau menyerupai wanita.

Sebagaimana dalam hadits.

لَعَنَ النبي e الْمُخَنَّثِينَ من الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ من النِّسَاءِ وقال: (أَخْرِجُوهُمْ من بُيُوتِكُمْ). متفق عليه

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknati lelaki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai lelaki, dan beliau bersabda: Usirlah mereka dari rumah-rumah kalian.” (Muttafaqun ’alaih)

5. jangan sering menyendiri, minta dukungan keluarga dan orang terdekat serta tetap bergaul dengan masyararat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إن الشيطان مع الواحد ، و هو من الاثنين أبعد

Sesungguhnya syetan itu bersama orang yang menyendiri, sedangkan ia akan menjauh dari dua orang.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al Albani)

6.menjauhi makanan yang haram

Karena makanan bisa berpengaruh terhadap sifat manusia. Sebagaimana perkataan Ibnu Sirin, “Tidaklah ada binatang yang melakukan perilaku kaum Nabi Luth selain babi dan keledai.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ad Dunya dalam kitab Zammul Malaahy).


Ilmu Dicabut Dengan Wafatnya Ulama

Ilmu Dicabut Dengan Wafatnya Ulama 

Sungguh membuat hati cukup sedih jika mendengar berita wafatnya ulama. Terlebih ulama tersebut adalah ulama ahlus sunnah wal jamaah yang sangat giat, belajar, berdakwah dan memberikan pencerahan yang banyak kepada manusia. Ayyub rahimahullah pernah berkata,

إني أُخبر بموت الرجل من أهل السنة وكأني أفقد بعض أعضائي

“Sesungguhnya aku diberitakan mengenai wafatnya seorang ahlus sunnah, seakan-akan aku kehilangan sebagian anggota tubuhku”.[1]

Dengan wafatnya ulama, berarti Allah telah mulai mengangkat ilmu dari manusia. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ ﺍﻧْﺘِﺰَﺍﻋَﺎً ﻳَﻨْﺘَﺰِﻋُﻪُ ﻣﻦ ﺍﻟﻌِﺒﺎﺩِ ﻭﻟَﻜِﻦْ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ ﺑِﻘَﺒْﺾِ ﺍﻟﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﺣﺘَّﻰ ﺇﺫﺍ ﻟَﻢْ ﻳُﺒْﻖِ ﻋَﺎﻟِﻢٌ ﺍﺗَّﺨَﺬَ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺭﺅﺳَﺎً ﺟُﻬَّﺎﻻً ، ﻓَﺴُﺌِﻠﻮﺍ ﻓَﺄَﻓْﺘَﻮْﺍ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍ ﻓَﻀَﻠُّﻮﺍ ﻭَﺃَﺿَﻠُّﻮﺍ

Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak mengangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hamba-Nya, akan tetapi Allah mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika tidak tersisa lagi seorang ulama pun, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu. mereka sesat dan menyesatkan.“[2]

An-Nawawi rahimahullah menjelaskan,

‏ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻳﺒﻴﻦ ﺃﻥ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﺑﻘﺒﺾ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻓﻲ ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﺍﻟﺴﺎﺑﻘﺔ ﺍﻟﻤﻄﻠﻘﺔ ﻟﻴﺲ ﻫﻮ ﻣﺤﻮﻩ ﻣﻦ ﺻﺪﻭﺭ ﺣﻔﺎﻇﻪ ، ﻭﻟﻜﻦ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺃﻧﻪ ﻳﻤﻮﺕ ﺣﻤﻠﺘﻪ ، ﻭﻳﺘﺨﺬ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺟﻬﺎﻻ ﻳﺤﻜﻤﻮﻥ ﺑﺠﻬﺎﻻﺗﻬﻢ ﻓﻴﻀﻠﻮﻥ ﻭﻳﻀﻠﻮﻥ .

“Hadits ini menjelaskan bahwa maksud diangkatnya ilmu yaitu sebagaimana pada hadits-hadits sebelumnya secara mutlak. Bukanlah menghapuskannya dari dada para penghafalnya, akan tetapi maknanya adalah wafatnya para pemilik ilmu tersebut. Manusia kemudian menjadikan orang-orang bodoh untuk memutuskan hukum sesuatu dengan kebodohan mereka. Akhirnya mereka pun sesat dan menyesatkan orang lain”.[3]

Para ulama pasti akan Allah wafatkan karena setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian. Hendaknya kita terus semangat mempelajari ilmu dan mengamalkannya. Shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu berkata,

ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺑﺎﻟﻌﻠﻢ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﻳﺮﻓﻊ ﻭﺭﻓﻌﻪ ﻣﻮﺕ ﺭﻭﺍﺗﻪ، ﻓﻮﺍﻟﺬﻱ ﻧﻔﺴﻲ ﺑﻴﺪﻩ ﻟﻴﻮﺩّﻥّ ﺭﺟﺎﻝ ﻗﺘﻠﻮﺍ ﻓﻲ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﺷﻬﺪﺍﺀ ﺃﻥ ﻳﺒﻌﺜﻬﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻤﺎﺀ ﻟﻤﺎ ﻳﺮﻭﻥ ﻣﻦ ﻛﺮﺍﻣﺘﻬﻢ، ﻓﺈﻥ ﺃﺣﺪﺍ ﻟﻢ ﻳﻮﻟﺪ ﻋﺎﻟﻤﺎ ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺑﺎﻟﺘﻌﻠﻢ

“Wajib atas kalian untuk menuntut ilmu, sebelum ilmu tersebut diangkat/dihilangkan. Hilangnya ilmu adalah dengan wafatnya para periwayatnya/ulama. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh orang-orang yang terbunuh di jalan Allah sebagai syuhada, mereka sangat menginginkan agar Allah membangkitkan mereka dengan kedudukan seperti kedudukannya para ulama, karena mereka melihat begitu besarnya kemuliaan para ulama. Sungguh tidak ada seorang pun yang dilahirkan dalam keadaan sudah berilmu. Ilmu itu tidak lain didapat dengan cara belajar .”[4]

Mari kita semakin semangat menuntut ilmu, menyebarkan dan mengamalkannya, karena hilangnya ilmu agama merupakan tanda-tanda akhir zaman dan dekatnya zaman fitnah.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﻳَﺘَﻘَﺎﺭَﺏُ ﺍﻟﺰَّﻣَﺎﻥُ ﻭَﻳُﻘْﺒَﺾُ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢُ ﻭَﺗَﻈْﻬَﺮُ ﺍﻟْﻔِﺘَﻦُ ﻭَﻳُﻠْﻘَﻰ ﺍﻟﺸُّﺢُّ ﻭَﻳَﻜْﺜُﺮُ ﺍﻟْﻬَﺮْﺝُ

Zaman saling berdekatan, ilmu dihilangkan, berbagai fitnah bermunculan, kebakhilan dilemparkan (ke dalam hati), dan pembunuhan semakin banyak.“[5]

Termasuk tanda kiamat yang sudah cukup dekat adalah diangkatnya ilmu dan kebodohan yang merajalela.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﻣﻦ ﺃﺷﺮﺍﻁ ﺍﻟﺴﺎﻋﺔ ﺃﻥ ﻳُﺮْﻓَﻊَ ﺍﻟﻌﻠﻢ، ﻭﻳَﺜْﺒُﺖَ ﺍﻟﺠﻬﻞُ

Termasuk tanda-tanda hari kiamat adalah diangkatnya ilmu dan tetapnya kebodohan.“[6]

Allah Ta’ala berfirman :

ﻧَّﻤَﺎ ﻳَﺨْﺸَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻣِﻦْ ﻋِﺒَﺎﺩِﻩِ ﺍﻟْﻌُﻠَﻤَﺎﺀُ ۗ

Hanyalah yang memiliki khasy-yah (takut) kepada Allah dari kalangan hamba-hamba-Nya adalah para ‘ulama.” [Fathir : 28]

Demikian semoga bermanfaat.

***

[2] HR. Bukhari
[3] Syarh Nawawi lishahih Muslim 16/223-224
[4] Al-’Imu Ibnu Qayyim, hal. 94
[5] HR. Muslim
[6] HR. Bukhari

Islam Melarang Menyiksa Binatang

Islam Melarang Menyiksa Binatang 

Islam sangat menjunjung tinggi kasih sayang, sampai pada hewan yang akan disembelih pun tidak boleh disiksa. Kita dilarang menyiksa binatang saat menyembelih seperti mengikatnya lantas dipanah.

Berikut dua hadits yang dibawakan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani dalam kitab beliau Bulughul Marom no.  1347 dan 1350.

وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: – “لَا تَتَّخِذُوا شَيْئاً فِيهِ اَلرُّوحُ غَرَضًا” – رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah jadikan hewan yang bernyawa itu sebagai sasaran (tembak atau panah).” Diriwayatkan oleh Muslim. (HR. Muslim no. 1957).

وَعَنْ جَابِرِ بنِ عَبْدِ اَللَّهِ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: – نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ يُقْتَلَ شَيْءٌ مِنَ اَلدَّوَابِّ صَبْرًا – رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang pembunuhan binatang dengan diikat lantas dipanah.” Diriwayatkan oleh Muslim. (HR. Muslim no. 1959).

Beberapa faedah dari hadits di atas:

1- Diharamkan menjadikan hewan sebagai sasaran tembak dengan mengikatnya lalu dipanah karena hal itu termasuk bentuk penyiksaan pada binatang. Di dalamnya ada bentuk pengrusakan, membuang-buang harta, dan tidak melakukan penyembelihan yang syar’i.

2- Jika ada hewan yang mampu disembelih, maka dilarang  membunuhnya dengan. Semestinya hewan tersebut disembelih. Sedangkan hewan yang tidak mampu disembelih, maka boleh memburunya dengan dipanah di bagian mana saja dari tubuhnya.

3- Islam mengajarkan untuk menyayangi manusia dan hewan, segala bentuk penyiksaan terhadap hewan itu diharamkan.

Demikian beberapa faedah dari dua hadits di atas, moga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.

Referensi:

Minhatul ‘Allam fii Syarhi Bulughil Marom, Syaikh ‘Abdullah bin Sholih Al Fauzan, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H, 9: 243, 255, 256.

Perbandingan Antara Dunia Dengan Akhirat

Perbandingan Antara Dunia Dengan Akhirat 

Secara fithrah manusia mencintai dunia, karena memang Allâh Azza wa Jalla telah menjadikan berbagai kesenangan dunia itu indah di mata manusia. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَاۤءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْاَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗوَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الْمَاٰبِ 

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allâh-lah tempat kembali yang baik (surga). [Ali-‘Imrân/3:14]

Dunia itu hijau dan manis, maka hendaklah manusia berhati-hati dengan dunia. Jangan sampai kesenangan dunia mnejerumuskan ke dalam kemaksiatan dan melalaikan dari ketaatan kepada Sang Pencipta.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ

Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda, “Sesungguhnya dunia itu manis lagi hijau, dan sesungguhnya Allâh menjadikan kamu sebagai khalifah di dunia ini, lalu Dia akan melihat bagaimana kamu berbuat. Maka jagalah dirimu dari (keburukan) dunia, dan jagalah dirimu dari (keburukan) wanita, karena sesungguhnya penyimpangan pertama kali pada Bani Isrâil terjadi berkaitan dengan wanita. [HR Muslim, no. 2742].

Maksud “dunia itu manis lagi hijau” adalah keindahan dan kenikmatan dunia itu seperti buah-buahan yang berwarna hijau dan manis, karena jiwa manusia berusaha untuk mendapatkannya. Atau maksudnya adalah dunia itu segera sirna, seperti sesuatu yang berwarna hijau dan manis juga akan segera rusak.

Maksud “sesungguhnya Allâh menjadikan kamu sebagai khalifah di dunia ini”, yaitu Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kamu sebagai pengganti generasi-generasi sebelum kamu, lalu Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan melihat apakah kamu melakukan ketaatan atau bermaksiat kepada-Nya dan mengikuti syahwat kamu.

Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam “maka jagalah dirimu dari (keburukan) dunia, dan jagalah dirimu dari (keburukan) wanita”, yaitu jangan sampai kamu terpedaya dengan dunia dan wanita. Kata wanita dalam hadits ini mencakup semua wanita, termasuk istri dan lainnya. Wanita yang paling banyak menyebabkan fitnah (keburukan) adalah istri, karena fitnahnya terus-menerus dan mayoritas manusia terpedaya dengan para istri.

Oleh karena itu jangan sampai kita terpedaya dengan dunia dan melupakan akhirat. Karena seandainya manusia hidup puluhan tahun di dunia ini, dengan berbagai kenikmatan yang dimiliki, sesungguhnya semua itu kecil dibandingkan kenikmatan akhirat.

Dunia Sangat Sedikit Dibandingkan Akhirat
Banyak orang terpedaya dengan keindahan dunia, sehingga melupakan amal untuk akhirat. Padahal sesungguhnya dunia itu sangat kecil dibandingkan akhirat. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَا لَكُمْ اِذَا قِيْلَ لَكُمُ انْفِرُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ اثَّاقَلْتُمْ اِلَى الْاَرْضِۗ اَرَضِيْتُمْ بِالْحَيٰوةِ الدُّنْيَا مِنَ الْاٰخِرَةِۚ فَمَا مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا فِى الْاٰخِرَةِ اِلَّا قَلِيْلٌ

Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu, “Berangkatlah (untuk berperang) di jalan Allâh” kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. [at-Taubah/9:38]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :

بَلْ تُؤْثِرُوْنَ الْحَيٰوةَ الدُّنْيَاۖ ١٦ وَالْاٰخِرَةُ خَيْرٌ وَّاَبْقٰىۗ 

Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi, sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. [al-A’la/87:16-17].

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membuat perbandingan antara dunia dan akhirat. Perbandingan antara keduanya bagaikan seseorang yang mencelupkan jarinya ke dalam lautan, maka dunia bagaikan setetes air yang melekat pada jari-jarinya itu. Al-Mustaurid bin Syaddad Radhiyallahu anhu berkata:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  : وَاللَّهِ مَا الدُّنْيَا فِى الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ – وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ – فِى الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Demi Allâh, tidaklah dunia dibandingkan akhirat melainkan seperti salah seorang dari kamu yang mencelupkan jari tangannya ini –perawi bernama Yahya menunjuk jari telunjuk- ke lautan, lalu hendaklah dia perhatikan apa yang didapat pada jari tangannya”. [HR Muslim, no. 2858]

Dunia Sangat Remeh Di Sisi Allâh Subhanahu wa Ta’ala
Demikian juga dunia ini sangat remeh di sisi Allâh Azza wa Jalla , maka jangan sampai orang Mukmin memandang besar dan agung terhadap dunia yang remeh dan hina di sisi Allâh Azza wa Jalla . Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak memberikan gambaran tentang remehnya dunia di sisi Allâh Azza wa Jalla , antara lain di dalam hadits berikut ini:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِالسُّوقِ دَاخِلاً مِنْ بَعْضِ الْعَالِيَةِ وَالنَّاسُ كَنَفَتَهُ فَمَرَّ بِجَدْىٍ أَسَكَّ مَيِّتٍ فَتَنَاوَلَهُ فَأَخَذَ بِأُذُنِهِ ثُمَّ قَالَ « أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنَّ هَذَا لَهُ بِدِرْهَمٍ ». فَقَالُوا مَا نُحِبُّ أَنَّهُ لَنَا بِشَىْءٍ وَمَا نَصْنَعُ بِهِ قَالَ « أَتُحِبُّونَ أَنَّهُ لَكُمْ ». قَالُوا وَاللَّهِ لَوْ كَانَ حَيًّا كَانَ عَيْبًا فِيهِ لأَنَّهُ أَسَكُّ فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ فَقَالَ « فَوَاللَّهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ ».

Dari Jabir bin Abdillâh, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati sebuah pasar. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk dari ‘Aliyah (nama tempat, Pen.) dan para sahabat berada di sekelilingnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapati bangkai seekor kambing yang kecil telinganya, lantas beliau angkat batang telinga bangkai kambing tersebut seraya berkata: “Siapakah di antara kalian yang mau membeli kambing ini dengan satu dirham?” Para sahabat menjawab: “Kami tidak suka sama sekali, apa yang bisa kami perbuat dari seekor bangkai kambing?” Rasûlullâh n bersabda lagi: “Bagaimana jika kambing itu untuk kalian?” Para sahabat menjawab: “Demi Allâh, apabila kambing itu masih hidup kami tetap tidak mau karena dia telah cacat, yaitu telinganya kecil, bagaimana lagi jika sudah menjadi bangkai!” Rasûlullâh akhirnya bersabda: “Demi Allâh, dunia itu lebih hina di sisi Allâh daripada seekor bangkai kambing ini bagi kalian”. [HR Muslim, no. 2957]

Di dalam hadits lain disebutkan:

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ كَانَتْ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ

Dari Sahl bin Sa’ad, dia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seandainya dunia di sisi Allâh sebanding dengan satu sayap nyamuk, niscaya Allâh tidak akan memberikan minum seteguk air kepada orang kafir”. [HR  Tirmidzi, no. 2320 dan ini lafazhnya; juga Ibnu Majah, no. 4110; Syaikh al-Albani menyatakan shahîh lighairihi. Lihat Shahîh at-Targhib wat–Targhib, no. 3240].


Akhir Perjalanan Dunia
Dunia yang begitu rendah di sisi Allâh Azza wa Jalla juga segera sirna. Dan yang ada setelahnya adalah akhirat. Di akhirat ada dua pilihan, tidak ada yang ketiga: siksaan yang pedih atau ampunan dan ridha Allâh. Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan hakikat ini :

اِعْلَمُوْٓا اَنَّمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ وَّزِيْنَةٌ وَّتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى الْاَمْوَالِ وَالْاَوْلَادِۗ كَمَثَلِ غَيْثٍ اَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهٗ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرٰىهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًاۗ وَفِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيْدٌۙ وَّمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانٌ ۗوَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ

Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di ahirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allâh serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu.  [al-Hadîd/57:20].

Jadikan Akhirat Sebagai Pusat Perhatian
Kalau kita sudah mengetahui hakikat perbandingan dunia dengan akhirat, maka seharusnya kita lebih mementingkan akhirat daripada dunia. Jangan sampai hanya mengejar kesenangan dunia sehingga mengabaikan bekal untuk akhirat. Jangan sampai dengan alasan sibuk kerja, sibuk urusan keluarga dan anak-anak, kemudian melalaikan shalat berjamaah di masjid, membaca al-Qur`ân, mempelajari ilmu agama, dan ibadah lainnya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa menjadikan akhirat sebagai tujuan adalah cara yang terbaik dalam meniti jalan hidup ini. Karena Allâh Azza wa Jalla akan memberikan berbagai kemudahan bagi orang yang berbuat demikian, sebagaimana disebutkan di dalam hadits berikut ini :

عن أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهَ  قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَتْ الْآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ وَمَنْ كَانَتْ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهُ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنْ الدُّنْيَا إِلَّا مَا قُدِّرَ لَهُ

Dari Anas bin Malik, ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa akhirat menjadi tujuannya (niatnya), niscaya Allâh akan menjadikan kekayaannya di dalam hatinya, Dia akan mengumpulkan segala urusannya yang tercerai-berai, dan dunia datang kepadanya dalam keadaan hina. Dan barangsiapa dunia menjadi tujuannya (niatnya), niscaya Allâh akan menjadikan kefakiran berada di depan matanya, Dia akan mencerai-beraikan segala urusannya yang menyatu, dan tidak datang kepadanya dari dunia kecuali sekadar yang telah ditakdirkan baginya”. [HR Tirmidzi, no. 2465. Syaikh al-Albani menyatakan shahîh lighairihi. Lihat Shahîh at-Targhib wat–Targhib, no. 3169]

Semoga Allâh selalu memberikan taufiq kepada kita di dalam kebenaran. Al-hamdulillâhi Rabbil– ‘alamin.

Mati matian Mencari Yang Tidak Bisa Dibawa Mati

Mati matian Mencari Yang Tidak Bisa Dibawa Mati 

Jika ditanya, apa tujuan hidup anda? Tentu semuanya menjawab mencari kebahagiaan dan kesenangan hidup. Mulai dari seorang Ibu yang bahagia dengan kesuksesan mendidik anak, sang bapak yang sukses dengan karir dan jabatan, seorang caleg yang bahagia dengan terpilih, bahkan seorang Wariapun bahagia dengan sekedar nongkrong-nongkrong “eksis”. Akan tetapi apakah yang dirasakan benar-benar kebahagiaan? Apakah kebahagiaan semu saja? Kalau memang bahagia, apakah Kebahagiaan didunia saja? Tidak diakhirat yang kekal.

Kita ambil contoh, misalnya bagaimana seorang artis misalnya artis korea, yang terlihat bahagia dan semua puncak kebahagiaan dunia ditangannya. Terkenal, dihormati, kaya, makanan enak, rumah besar dan fasiltas lengkap, wajah yang rupawan dan pasangan hidup yang menarik. Akan tetapi sudah menjadi rahasia umum bahwa artis korea atau artis secara umum hidupnya sebenarnya di bahwa tekanan. Harus selalu tampil menarik untuk mencari pujian dan ridha manusia, kehidupan selalu diekspos, kejar tayang, mengejar pekerjaan dan persaingan tidak sehat dan berat di dunia artis. Jadilah pelarian mereka ke narkoba, kawin-cerai dan berbagai skandal kehidupan. Atau yang lebih parah kebahagiaan semu para waria, yang sudah jelas bagi orang yang di hatinya masih ada sedikit nurani, maka mereka tidak setuju dengan mencari kebahagiaan dengan menjadi waria.

Dan perlu kita ingat bahwa Kebahagiaan dunia semu itu menipu dan sering kali melalaikan dari akhirat. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِاللَّهِ الْغَرُورُ

“Sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah.” [Luqmaan: 33]

Allah Ta’ala juga berfirman,

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الْآَخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” [Al Hadid: 20]

Istidraj: Kebahagiaan yang lebih semu lagi

Ternyata ada yang harus kita waspadai lagi. Yaitu ia merasa bahagia di dunia padahal itu adalah hukuman baginya dari Allah Ta’ala, karena ia bahagia tidak diatas landasan Agama Islam yang benar. Allah biarkan ia bahagia sementara di dunia, Allah biarkan ia merasa akan selamat dari ancaman Allah di akhirat kelak, Allah tidak peduli kepadanya. Itulah istidraj sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

إِذَا رَأَيْتَ اللهَ تَعَالَى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيْهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنهُ اسْتِدْرَاجٌ

“Bila engkau melihat Allah Ta’ala memberi hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan) dari Allah.”[1]

Mengenai ayat,

أَفَأَمِنُواْ مَكْرَ اللّهِ فَلاَ يَأْمَنُ مَكْرَ اللّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ

“Maka apakah mereka merasa aman dari makar Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan makar Allah kecuali orang-orang yang merugi.” [Al-A’raf: 99]

Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz Al-Qar’awi menjelaskan,

مكر الله: هو استدراج العاصي بالنعم… حيث إنهم لم يُقدِّروا الله حق قدره، ولم يخشوا استدراجه لهم بالنعم وهم مقيمون على معصيته حتى نزل بهم سخط الله، وحلت بهم نقمته

“Makar Allah adalah istidraj bagi pelaku maksiat dengan memberikan kenikmatan/kebahagiaan… mereka tidak memuliakan Allah sesuai dengan hak-Nya. Mereka tidak merasa khawatir [tenang-tenang saja] dengan istidraj [jebakan] kenikmatan-kenikmatan bagi mereka, padahal mereka terus-menerus berada dalam kemaksiatan sehingga turunlah bagi mereka murka Allah dan menimpa mereka azab dari Allah.”[2]

Kita ambil contoh komentar seorang ibu,

“saya sudah bahagia sekarang, anak-anak saya semuanya sudah jadi, sudah berhasil semua, saya bangga, anak pertama wakil direktur di bank, anak kedua saya jadi koordinatur umum di urusan pajak beacukai, anak ketiga saya menjadi hakim agung di kabupaten”

Bisa jadi ini adalah istidraj, jika kebahagiaanya hanya bersandar sesuai dengan komentar diatas tanpa landasan agama, walaupun jika kita tanya kepada kebanyakan manusia, maka mereka kebanyakan sepakat bahwa ibu ini memang bahagia sekarang. Akan tetapi, Jika mengikuti kebanyakan hawa nafsu manusia di muka bumi, maka kita akan kita akan tersesat. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللّهِ

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” [Al-An’am: 116]

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menafsirkan,

يقول تعالى، لنبيه محمد صلى الله عليه وسلم، محذرا عن طاعة أكثر الناس فإن أكثرهم قد انحرفوا في أديانهم وأعمالهم، وعلومهم. فأديانهم فاسدة، وأعمالهم تبع لأهوائهم، وعلومهم ليس فيها تحقيق، ولا إيصال لسواء الطريق.

“Allah berfirman kepada nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan memberi peringatan dari menaati/mengikuti mayoritas manusia, karena kebanyakan mereka telah berpaling dari agama, amal dan ilmu mereka. agama mereka rusak, amal mereka mengikuti hawa nafsu dan ilmu mereka tidak diterapkan dan tidak bisa mencapai jalan yang benar.”[3]

Sering-sering muhasabah antara nikmat dan istidraj

Dan sudah sepatutnya kita berilmu, yaitu bagaimana membedakan antara nikmat dan istidraj dengan sering-sering bermuhasabah. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

وأما تمييز النعمة من الفتنة: فليفرق بين النعمة التي يرى بها الإحسان واللطف، ويعان بها على تحصيل سعادته الأبدية، وبين النعمة التي يرى بها الاستدراج، فكم من مستدرج بالنعم وهو لا يشعر، مفتون بثناء الجهال عليه، مغرور بقضاء الله حوائجه وستره عليه!

“Adapun (kemampuan) membedakan antara nikmat dan fitnah, yaitu untuk membedakan antara kenikmatan yang Allah anugerahkan kepadanya -berupa kebaikan-Nya dan kasih-sayang-Nya, yang dengannya ia bisa meraih kebahagiaan abadi- dengan kenikmatan yang merupakan istidraj dari Allah. Betapa banyak orang yang terfitnah dengan diberi kenikmatan (dibiarkan tenggelam dalam kenikmatan, sehingga semakin jauh tersesat dari jalan Allah, Pen), sedangkan ia tidak menyadari hal itu. Mereka terfitnah dengan pujian orang-orang bodoh, tertipu dengan kebutuhannya yang selalu terpenuhi dan aibnya yang selalu ditutup oleh Allah.”[4]

Standar bahagia di dunia seperti orang kafir?

Jika ada komentar,

“saya hidup bahagia sekarang, punya istri yang cantik, anak yang lucu dan pintar, punya rumah yang cukup besar karir saya di kantor terus naik dan bisnis lancar terus”

Maka, orang kafir juga bahagianya dengan komentar di atas, oleh karena itu tidak sepantasnya seorang muslim bahagia HANYA dengan patokan kebahagiaan seperti komentar di atas.

Mengenai ayat,

لَا يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي الْبِلَادِ مَتَاعٌ قَلِيلٌ ثُمَّ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۚ وَبِئْسَ الْمِهَادُ

“Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya.” [Ali Imran: 196-197]

Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan,

لا تنظروا إلى ما هؤلاء الكفار مترفون فيه، من النعمة والغبطة والسرور، فعما قليل يزول هذا كله عنهم، ويصبحون مرتهنين بأعمالهم السيئة، فإنما نمد لهم فيما هم فيه استدراجا، وجميع ما هم فيه {متاع قليل ثم مأواهم جهنم وبئس المهاد}

“Janganlah kalian melihat berbagai kenikmatan, kebahagian dan kemudahan orang-orang kafir. Tidak berapa lama lagi, semuanya akan lenyap dari tangan mereka. Nantinya, mereka akan terjerat oleh amalan-amalan buruk mereka. Kami memberikan kemudahan mereka di sana, sebagai istidraj semata. Semua yang mereka miliki hanyalah (kesenangan sementara). Kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya”.[5]

Dan jika kita seperti orang kafir hanya ingin bahagia di dunia saja, maka terkadang Allah Ta’ala memberikannya sekedar kehendak Allah, Allah Ta’ala berfirman,

مَّن كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاء لِمَن نُّرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلاهَا مَذْمُوماً مَّدْحُوراً

“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu sesuai dengan apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.” [Al-Isra’: 17]

Apa itu kebahagiaan yang sesungguhnya?

Kebahagiaan adalah bahagia jika melaksanakan perintah Allah dan merasa sedih jika melakukan kemaksiatan.

Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. An Nahl: 97)

Jadi jika kita berat melaksanakan shalat, puasa, atau bahkan berat melaksanakan amalan-amalan sunnah, maka itu adalah tanda tidak bahagia. Kemudian jika kita melakukan maksiat tetapi kita tenang-tenang saja, atau yang lebih parah tidak tahu bahwa hal yang kita lakukakan adalah maksiat dan dilarang oleh agama. Bandingkan dengan perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu,

إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ فَقَالَ بِهِ هَكَذَا

“Seorang mukmin memandang dosa-dosanya seakan-akan ia duduk di bawah sebuah gunung yang ditakutkan akan jatuh menimpanya. Sementara seorang fajir/pendosa memandang dosa-dosanya seperti seekor lalat yang lewat di atas hidungnya, ia cukup mengibaskan tangan untuk mengusir lalat tersebut.”[6]

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menjelaskan mengenai ciri kebahagiaan,

إذا أعطى شكر، وإذا ابتلي صبر، وإذ أذنب استغفر، فإن هؤلاء الثلاث عنوان السعادة

“jika diberi [kenikmatan] maka ia bersyukur, jika diuji [dengan ditimpa musibah] ia bersabar dan jika melakukan dosa ia beristigfar [bertaubat]. Tiga hal ini adalah tanda kebahagiaan.”[7]

Dan mengenai bahagia yang sesungguhnya jelas letaknya adalah di hati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

“Yang namanya kaya (ghina’) bukanlah dengan banyaknya harta (atau banyaknya kemewahan dunia). Namun yang namanya ghina’ adalah hati yang selalu merasa cukup.”[8]

Oleh karena itu carilah kebahagiaan hakiki tersebut, sebagaimana kita mencari kesembuhan jika badan kita sakit, jika badan kita sakit maka kita akan menempuh berbagai penjuru dunia untuk mencari kesembuan. Jawabannya adalah ilmu, doa dan bersungguh-sungguh. Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا

“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami” [Al-Ankabut: 69]

Contoh kebahagiaan dunia-akhirat

Inilah contoh kebahagiaan para ulama salaf, mereka berkata,

لَوْ يَعْلَمُ المُلُوْكُ وَأَبْنَاءُ المُلُوْكِ مَا نَحْنُ فِيْهِ لَجَلِدُوْنَا عَلَيْهِ بِالسُّيُوْفِ

“Seandainya para raja dan pangeran itu mengetahui kenikmatan yang ada di hati kami ini, tentu mereka akan menyiksa kami dengan pedang.”[9]

Contoh ulama yang mencerminkan kebahagiaan dunia-akhirat adalah syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Muridnya yaitu Ibnul Qayyim menceritakan kebahagiaan gurunya,

وعلم الله ما رأيت أحداً أطيب عيشاً منه قط، مع ما كان فيه من ضيق العيش وخلاف الرفاهية والنعيم بل ضدها، ومع ما كان فيه من الحبس والتهديد والإرهاق، وهو مع ذلك من أطيب الناس عيشاً، وأشرحهم صدراً، وأقواهم قلباً، وأسرهم نفساً، تلوح نضرة النعيم على وجهه.وكنا إذا اشتد بنا الخوف وساءت منا الظنون وضاقت بنا الأرض أتيناه، فما هو إلا أن نراه ونسمع كلامه فيذهب ذلك كله وينقلب انشراحاً وقوة ويقيناً وطمأنينة.

“Allah Ta’ala pasti tahu bahwa aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih bahagia hidupnya daripada beliau, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Padahal kondisi kehidupan beliau sangat susah, jauh dari kemewahan dan kesenangan duniawi, bahkan sangat memprihatinkan. Ditambah lagi dengan siksaan dan penderitaan yang beliau alami di jalan Allah Ta’ala, yaitu berupa siksaan dalam penjara, ancaman dan penindasan dari musuh-musuh beliau. Namun bersamaan dengan itu semua, aku dapati bahwa beliau adalah termasuk orang yang paling bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling tegar hatinya dan paling tenang jiwanya. Terpancar pada wajah beliau sinar kenikmatan hidup yang beliau rasakan. Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan gundah gulana atau muncul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk atau ketika kami merasakan kesempitan hidup, kami segera mendatangi beliau untuk meminta nasehat, maka dengan hanya memandang wajah beliau dan mendengarkan nasehat beliau, serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang”.[10]

Bahkan ketika beliau di penjara beliau Ibnu Taimiyah berkata,

لو بذلت ملء هذه القاعة ذهباً ما عدل عندي شكر هذه النعمة.

“Seandainya benteng ini dipenuhi dengan emas, tidak ada yang bisa menandingi kenikmatanku berada di sini.”[11]

Beliau juga berkata,

المحبوس من حبس قلبه عن ربه تعالى.

“Orang yang dipenjara adalah orang yang hatinya dibelenggu dari Rabb-nya Ta’ala”

Beliau juga berkata,

ما يصنع أعدائي بي؟ أنا جنتي وبستاني في صدري، إن رحت فهي معي لا تفارقني، إن حبسي خلوة، وقتلي شهادة، وإخراجي من بلدي سياحة.

“Apa yang dilakukan oleh musuh-musuhku terhadapku? Sesungguhnya surgaku dan tamannya ada di hatiku, jika, ke mana aku pergi ia selalu bersamaku, jika mereka memenjarakanku maka penjara adalah khalwat bagiku, jika mereka membunuhku maka kematianku adalah syahid, jika mereka mengusirku maka kepergianku adalah rekreasi.”[12]

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush shalihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.

[1] HR. Ahmad, lihat Shahihul Jami’ no. 561

[2] Al-Jadid fii Syarhi Kitabit tauhid hal. 306, Maktabah As-Sawadi, cet.II, 1417 H

[3] Taisir Karimir Rahmah hal. 248, Dar Ibnu Hazm, Beirut, cet. I, 1424 H

[4] Madarijus salikin 1/189, Darul Kutub Al-‘Arabi, beirut, cet. III, 1416 H, Syamilah

[5] Tafsir Ibnu Katsir 2/192, Dar Thayyibah, cet. II, 1420H, Syamilah

[6] HR. Bukhari no. 6308

[7] Matan Qowa’idul Arba’

[8] HR. Bukhari dan Muslim

[9] Rawai’ut Tafsir Ibnu Rajab 2/134, Darul ‘Ashimah, cet.I, 1422 H, Syamilah

[10] Al-wabilush shayyib hal 48, Darul Hadits, Koiro, cet. III, Syamilah

[11] Idem

[12] Idem

Makan Bersama Setan

Makan Bersama Setan 

Kapan seseorang bisa makan bersama setan? Bisa saja itu terjadi yaitu ketika seseorang tidak membaca bismillah saat makan.

Dari Hudzaifah, ia berkata,

كُنَّا إِذَا حَضَرْنَا مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- طَعَامًا لَمْ نَضَعْ أَيْدِيَنَا حَتَّى يَبْدَأَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَيَضَعَ يَدَهُ وَإِنَّا حَضَرْنَا مَعَهُ مَرَّةً طَعَامًا فَجَاءَتْ جَارِيَةٌ كَأَنَّهَا تُدْفَعُ فَذَهَبَتْ لِتَضَعَ يَدَهَا فِى الطَّعَامِ فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِيَدِهَا ثُمَّ جَاءَ أَعْرَابِىٌّ كَأَنَّمَا يُدْفَعُ فَأَخَذَ بِيَدِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ الشَّيْطَانَ يَسْتَحِلُّ الطَّعَامَ أَنْ لاَ يُذْكَرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ جَاءَ بِهَذِهِ الْجَارِيَةِ لِيَسْتَحِلَّ بِهَا فَأَخَذْتُ بِيَدِهَا فَجَاءَ بِهَذَا الأَعْرَابِىِّ لِيَسْتَحِلَّ بِهِ فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ إِنَّ يَدَهُ فِى يَدِى مَعَ يَدِهَا ».

“Jika kami bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiri jamuan makanan, maka tidak ada seorang pun di antara kami yang meletakkan tangannya hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulainya. Dan kami pernah bersama beliau menghadiri jamuan makan, lalu seorang budak wanita datang yang seolah-oleh ia terdorong, lalu ia meletakkan tangannya pada makanan, namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang tangannya. Kemudian seorang arab badui datang sepertinya ia terdorong hendak meletakkan tangannya pada makanan, namun beliau memegang tangannya dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Sungguh, setan menghalalkan makanan yang tidak disebutkan nama Allah padanya. Setan datang bersama budak wanita, dengannya setan ingin menghalalkan makanan tersebut, maka aku pegang tangannya. Dan setan tersebut juga datang bersama arab badui ini, dengannya ia ingin menghalalkan makanan tersebut, maka aku pegang tangannya. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sesungguhnya tangan setan tersebut ada di tanganku bersama tangan mereka berdua.” (HR. Muslim no. 2017)

Hadits di atas mengajarkan beberapa hal:

1- Hendaklah mendahulukan orang yang lebih punya keutamaan dan orang yang lebih tua dalam hal makan dan mencuci tangan.

2- Imam Nawawi mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan dianjurkannya membaca bismillah saat mulai makan, begitu pula saat akan akan minum. (Syarh Shahih Muslim, 13: 171)

Namun yang lebih tepat, membaca bismillah saat mulai makan adalah wajib sama halnya dengan perintah makan dengan tangan kanan. Lihat pendapat Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 9: 522 saat mengkritik pendapat Imam Nawawi yang menyatakan adanya ijma’ (konsensus ulama) bahwa mengucapkan bismillah tersebut sunnah.

3- Jika seeorang lupa membaca bismillah di awal makan karena sengaja, lupa, tidak tahu, dipaksa, atau tidak mampu mengucapkan lalu baru ingat ketika di tengah-tengah makan, maka diperintahkan ia mengucapkan “bismillah awwalahu wa akhirohu” (dengan nama Allah di awal dan di akhir).

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فَإِنْ نَسِىَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فِى أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ

Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia menyebut nama Allah Ta’ala. Jika ia lupa untuk menyebut nama Allah Ta’ala di awal, hendaklah ia mengucapkan: “Bismillaah awwalahu wa aakhirohu (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya)”.” (HR. Abu Daud no. 3767 dan At Tirmidzi no. 1858. At Tirmidzi mengatakan hadits tersebut hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut shahih)

Dalam lafazh lain disebutkan,

إِذَا أَكَلَ أَحَدكُمْ طَعَامًا فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّه ، فَإِنْ نَسِيَ فِي أَوَّله فَلْيَقُلْ : بِسْمِ اللَّه فِي أَوَّله وَآخِره

Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia ucapkan “Bismillah”. Jika ia lupa untuk menyebutnya, hendaklah ia mengucapkan: Bismillaah fii awwalihi wa aakhirihi (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya)”. (HR. Tirmidzi no. 1858, Abu Daud no. 3767 dan Ibnu Majah no. 3264. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih dan Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini shahih).

4- Setiap yang makan diperintahkan membaca bismillah baik dalam keadaan junub, haidh dan berhadats lainnya. Lihat perkataan Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, 13: 171.

5- Setan akan makan bersama dengan orang yang tidak menyebut bismillah saat makan.

Masih dilanjutkan dengan satu hadits lagi tentang makan dan tidur bersama setan. Moga postingan kali ini bermanfaat bagi pembaca Rumaysho.Com sekalian.

Hanya Allah yang memberi hidayah taufik untuk beramal sholeh dan istiqomah menjalankan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.