Makanan Mempengaruhi Sifat Dan Watak Manusia

Makanan Mempengaruhi Sifat Dan Watak Manusia 

Islam telah menggariskan bahwa tidak semua makanan boleh masuk ke dalam tubuh kita. Makanan halal boleh untuk dikonsumsi sedangkan makanan haram terlarang untuk dikonsumsi. Di antara akibat mengonsumsi makanan haram adalah membuat doa sulit terkabul. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ ( يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّى بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ) وَقَالَ (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ) ». ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thayyib (baik) dan tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thayyib (baik). Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin seperti yang diperintahkan-Nya kepada para Rasul. Firman-Nya, ‘Wahai para Rasul! Makanlah makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ Dan Allah juga berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki yang baik-baik yang telah kami rezekikan kepadamu.’” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdoa, “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku.” Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan do’anya?” (HR. Muslim no. 1015)

Di samping itu, makanan haram akan memberikan efek negatif tersendiri bagi tubuh kita, karena inilah hikmah mengapa Allah dan Rasul-Nya melarang sesuatu. Sebaliknya, makanan yang halal dan baik akan menumbuhkan darah dan daging yang baik, perilaku dan perbuatannya pun insya Allah cenderung baik.

Menurut keterangan para ahli, makanan yang kita konsumsi bisa mempengaruhi watak dan perilaku kita, khususnya pada makanan-makanan hewani. Sampai-sampai dikenal ungkapan, “You Are What You Eat”. Oleh karena itu, perilaku penduduk suatu negeri cenderung berbeda dengan penduduk negeri lainnya, sebabnya karena perbedaan makanan yang kerap dikonsumsi.

Dikatakan bahwa orang Arab suka makan daging unta sehingga orang Arab punya sifat dasar pencemburu dan keras sebagaimana sifatnya unta. Sebaliknya, orang Barat suka makan daging babi sehingga cenderung sedikit atau bahkan tidak punya sifat cemburu. Orang Turki biasa makan daging kuda sehingga gesit dan cepat bergerak. Orang Habasyah biasa makan daging kera sehingga mereka pandai menari dan sebagainya. Orang-orang Indonesia dikenal manut dan gampang diatur konon katanya karena suka makan ayam dan kerbau.

Watak dan perilaku yang banyak dijumpai pada orang Barat yang mati rasa cemburunya, sekali lagi itu terjadi di antaranya karena daging babi telah membunuh “ghirah” orang yang memakannya. Seorang lelaki membiarkan istrinya bersama lelaki lain, membiarkan anaknya bersama lelaki asing tanpa rasa cemburu dan was-was, atau dia sendiri yang berselingkuh dengan wanita lain. Sebagaimana babi tidak mengenal cemburu, babi itu benar-benar menularkan sifat-sifat buruknya pada orang yang memakannya.

Mungkin inilah di antara hikmah mengapa Allah mengharamkan babi secara tegas di dalam Al-Quran. Allah berfirman,

اِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ بِهٖ لِغَيْرِ اللّٰهِ ۚ

“Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah.” (QS Al-Baqarah: 173)

Syaikh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim membawakan sebuah faidah dalam bukunya Shahih Fiqh Sunnah,

قال صاحب «تفسير المنار» (٢/ ٩٨) في معرض بيانه لحكمة الشريعة في تحريم الخنزير:«حرم الله لحم الخنزير فإنه قذر، لأن أشهى غذاء الخنزير إليه القاذورات والنجاسات، وهو ضار في جميع الأقاليم، كما ثبت بالتجربة، وأكل لحمه من أسباب الدودة القتالة، ويقال: إن له تأثيرًا سيِّئًا في العفة والغيرة» اهـ.

Penulis Tafsir Al-Manaar ketika menjelaskan hikmah syariat mengharamkan babi (2/98), beliau berkata, “Allah mengharamkan daging babi karena kotor sebab makanan favoritnya adalah kotoran dan najis. Babi sangat berbahaya untuk semua manusia, sebagaimana dibuktikan oleh pengalaman. Memakan dagingnya adalah salah satu penyebab penyakit cacingan yang mematikan. Bahkan ia memiliki pengaruh yang buruk terhadap sifat iffah (menjaga kehormatan) dan ghirah (kecemburuan) bagi orang yang mengonsumsinya.” (Shahih Fiqh Sunnah, 2/339).

Jangan Remehkan Sedekah

Jangan Remehkan Sedekah 

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji hanya milik Allah. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Rasulullah. Wa ba’du.

Menginfakkan harta yang thayyib (baik) dan penghasilan yang halal di jalan Allah termasuk ibadah yang paling agung. Sebagaimana ibadah itu bisa dilakukan dengan anggota badan, maka ibadah juga bisa dilakukan dengan harta. Oleh karenanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan zakat sebagai salah satu rukun Islam. Zakat ialah menyerahkan sebagian harta yang merupakan hak bagi orang miskin yang meminta-minta maupun orang miskin yang menahan diri dari meminta-minta. Allah memasukkan zakat sebagai bagian dari sedekah sekaligus bagian dari rukun Islam. Demikian pula Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan sedekah dalam kafarat (denda atas pelanggaran larangan), seperti kafarat sumpah, kafarat zhihar (ucapan suami yang menyamakan istrinya dengan ibu kandung atau mahramnya), dan kafarat membunuh hewan buruan di tanah haram atau bagi orang yang sedang ihram. Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan beberapa kafarat dengan tebusan harta. Adapun sedekah selain itu, maka hukumnya sunnah, bahkan termasuk ibadah sunnah yang paling afdhal (utama).

Membelanjakan harta yang halal dalam rangka taat kepada Allah juga termasuk bentuk jihad yang termasuk amalan yang paling mulia. Bahkan, berdasarkan ayat Al-Qur’an, jihad di jalan Allah dengan harta lebih didahulukan dibandingkan jihad dengan jiwa. Hal ini karena jihad dengan harta dapat memberikan manfaat yang lebih luas. Maka sepatutnya seorang muslim mengetahui hal ini sehingga ia dapat menunaikan kewajiban yang Allah bebankan atasnya berkenaan dengan sebagian hartanya yang merupakan jatah bagi orang miskin. Di samping itu, seyogyanya ia menyedekahkan kelebihan hartanya dan tidak menahannya. Terlebih di bulan yang diberkahi dan musim kebaikan ini. Hendaknya seseorang tidak meremehkan sedekah meskipun dengan jumlah yang sedikit. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala kelak akan menyelamatkan seseorang dari neraka dengan sebab sedekah separuh kurma. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Jagalah diri kalian dari neraka meskipun hanya dengan sedekah setengah biji kurma. Barangsiapa yang tak mendapatkannya, maka ucapkanlah perkataan yang baik.” (HR. Bukhari no. 1413, 3595 dan Muslim no. 1016)

Allah Jalla wa ‘Ala menerima sedekah dari hamba-Nya yang beriman, lantas Dia mengembangkannya sebagaimana seseorang menumbuhkembangkan anak kudanya hingga sedekah tersebut menjadi seperti gunung yang besar. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Barangsiapa yang bersedekah dengan sebutir kurma hasil dari usahanya sendiri yang baik, sedangkan Allah tidak menerima kecuali yang baik saja, maka sungguh Allah akan menerimanya dengan tangan kanan-Nya lalu mengembangkannya untuk pemiliknya sebagaimana seseorang merawat anak kudanya hingga ia menjadi seperti gunung yang besar.” (HR. Bukhari no. 1410 dan Muslim no. 1014)

Dengan demikian, hendaknya seseorang tidak meremehkan sedekah meskipun sedikit. Lantas bagaimana lagi jika sedekahnya banyak? Semisal sedekah untuk memakmurkan masjid dengan harta yang halal, membangun sekolah, menyebarkan kebaikan, dan berjihad di jalan Allah. Ruang sedekah dengan harta yang halal sangatlah luas. Dan yang paling baik adalah banyak bersedekah kepada keluarga jika dalam hal ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Perumpamaan sedekah yang dikeluarkan oleh orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan ganjaran bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas karunia-Nya lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 261)

Sedekah kepada kerabat yang membutuhkan lebih afdhal (utama) dibandingkan sedekah kepada selain kerabat. Karena sedekah kepada kerabat itu terhitung sebagai sedekah sekaligus silaturahim (menyambung kekerabatan). Sehingga ia mengandung dua pahala, yakni pahala sedekah dan pahala silaturahim. Dari Salman bin ‘Amir adh-Dhabbi, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Sedekah kepada orang miskin hanyalah sedekah, sedangkan sedekah kepada kerabat akan mendapatkan dua ganjaran, yaitu ganjaran sedekah dan ganjaran silaturahim.” (HR. Tirmidzi no. 658, Ibnu Majah no. 1844, Ibnu Khuzaimah no. 2067, 2385, Ahmad no. 17, 18, dan Ad-Darimi no. 1687, 1688. Dinilai shahih oleh al-Albani di Shahih al-Jami’ no. 3858)

Di antara bentuk infak di jalan Allah adalah seseorang yang memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Demikian pula seorang suami yang menafkahi istrinya, anak-anaknya, dan keluarganya. Maka orang tersebut mendapatkan pahala yang berlimpah. Jika seseorang berinfak dengan penghasilan yang halal dan disertai dengan niat yang benar, maka ia memperoleh ganjaran yang besar dan kebaikan yang banyak.

Seorang manusia hendaknya tidak dikuasai oleh cinta harta, rakus, dan pelit. Lantas ia tahan  harta tersebut untuk dirinya sendiri. Padahal, pada hakikatnya harta adalah titipan. Allah memberikan kesempatan baginya untuk bersedekah dan memenuhi kebutuhan pribadinya dengan harta tersebut. Apabila ia enggan bersedekah dan hanya mengumpulkan dan menyimpan hartanya, maka ketahuilah bahwa ia pasti akan mati dan meninggalkan semua hartanya. Lantas harta tersebut akan dimanfaatkan orang lain, padahal ia telah bersusah payah mengumpulkannya dan ia pun kelak akan dimintai pertanggungjawabannya. Bagaimanakah seseorang menghalangi dirinya untuk sedekah? Mengapa ia hanya semangat mengumpulkan harta? Padahal ia tahu bahwa ia pasti akan pergi meninggalkan dunia. Ia pun juga sadar bahwa harta tersebut tidaklah bermanfaat, kecuali sekedar apa yang ia manfaatkan untuk dirinya sebelum ia mati. Demikian pula sedekah jariyah yang mengalir pahalanya meskipun ia telah mati.

Jika anak keturunan Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, atau anak shalih yang senantiasa mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631)

Kemudian, hendaknya seseorang mengilmui bahwa Allah Jalla wa ‘Ala adalah Ath-Thayyib (Maha Baik) dan tidak menerima, kecuali perkara yang baik. Dengan demikian, seseorang tidak boleh bersedekah dengan harta yang haram atau penghasilan yang kotor. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menerimanya. Demikian juga, seseorang tidak boleh bersedekah dengan harta yang jelek dan sedikit manfaatnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

Dan janganlah kalian memilih harta yang buruk untuk diinfakkan, padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya, melainkan dengan memicingkan mata.” (QS. Al-Baqarah : 267)

Harta yang buruk” maksudnya adalah harta yang jelek, bukan maknanya harta yang haram. Misalnya, apabila seseorang tidak menginginkan suatu makanan karena tidak lezat, lantas ia menyedekahkannya. Padahal, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarangnya, “Dan janganlah kalian memilih harta yang buruk untuk diinfakkan.” Seseorang tidak sepatutnya menyedekahkan pakaian jika ia lihat pakaian tersebut telah robek, tidak layak pakai, atau hanya bisa dikenakan dalam jangka waktu yang singkat. Demikian pula, tidak selayaknya menyedekahkan makanan yang tidak diminati oleh orang. Ini bukanlah sedekah, tetapi sekedar buang sampah. Sedekah semacam ini tidaklah bermanfaat di sisi Allah “Kalian sekali-kali tidak akan mencapai kebajikan yang sempurna hingga kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai.”. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

Kalian sekali-kali tidak akan mencapai kebajikan yang sempurna hingga kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai.” (QS. Ali-‘Imran : 92)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,

Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin,anak yatim, dan tawanan.” (QS. Al-Insan : 8)

Yakni, mereka menyedekahkan makanan yang mereka inginkan dan sukai untuk dirinya. Akan tetapi, mereka lebih mendahulukan kecintaan Allah dibandingkan kecintaan dirinya sendiri, “Kalian sekali-kali tidak akan mencapai kebajikan yang sempurna hingga kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai. Dan harta yang kalian nafkahkan, maka sungguh Allah Maha Mengetahuinya.

Seyogyanya, seseorang berinfak dengan sesuatu yang berguna, terlebih jika jiwanya menyukainya. Ia menyedekahkannya meskipun dirinya mencintainya. Ini adalah bukti keimanannya bahwa ia mengedepankan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana Allah Jalla wa ‘Ala berfirman mengenai sahabat Anshar,

Dan mereka mengutamakan sahabat Muhajirin dibandingkan diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Barangsiapa yang dijauhkan dari sifat kikir dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr : 9)

Kami memohon kepada Allah agar Dia memberikan taufik kepada kita semua untuk mengerjakan amal yang dicintai dan diridhai oleh-Nya. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad.

***

Diterjemahkan dari kitab Majalis Syahri Ramadhan al-Mubarak hlm. 21-24 (cetakan kedua), Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah al-Fauzan,  1422 H, Darul ‘Ashimah:  Riyadh.

Nasihat Terbaik Adalah Kematian

Nasihat Terbaik Adalah Kematian 

Dikatakan oleh sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

السعيد من وعظ بغيره

“Orang yang bahagia orang yang dinasihat dengan yang lain.”

Banyak tetangga kita, teman kita, orang lain yang dia meninggal dunia. Itulah nasihat buat kita agar kita bertaubat kepada Allah, agar kita kembali kepada Allah, agar kita melaksanakan tauhid  menjauhkan syirik, melaksanakan sunnah dan menjauhkan bid’ah, melaksanakan shalat yang lima waktu berjamaah dan yang lainnya dari amal-amal shalih; bersedekah, berinfak. Karena kita tidak tahu tentang akhir kehidupan seorang. Nasihat yang paling baik adalah kematian.

Makanya kita mengambil banyak ibrah dengan banyaknya orang-orang yang mati itu. Bahwa kematian datang dengan tiba-tiba. Dan banyak orang yang mati mendadak. Tentu hal itu mengerikan. Karena kita belum sempat untuk taubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sudah meninggal dunia. Maka ketika kita diberi waktu oleh Allah, kita bisa ke masjid, bisa ngaji, bisa menuntut ilmu, ini masyaAllah nikmat dari Allah, gunakan kesempatan ini untuk melakukan kebajikan sebanyak-banyaknya dan menjauhkan perbuatan dosa dan maksiat.

Nasihat yang baik juga, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika sampai di pemakaman beliau menangis, Subhanallah.. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang diampunkan semua dosanya, yang ditetapkan oleh Allah sebagai manusia yang terbaik dari seluruh manusia di muka bumi ini, tempatnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di surga yang paling tinggi. Tapi begitu sampai di pemakaman Nabi menangis. Seperti disebutkan oleh Bara’ bin Azib Radhiyallahu ‘Anhu mengatakan:

كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ـ صلى الله عليه وسلم ـ فِي جِنَازَةٍ فَجَلَسَ عَلَى شَفِيرِ الْقَبْرِ فَبَكَى حَتَّى بَلَّ الثَّرَى ثُمَّ قَالَ ‏ “‏ يَا إِخْوَانِي لِمِثْلِ هَذَا فَأَعِدُّوا ‏”‏

“Kami bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika menguburkan satu jenazah. Kemudian beliau duduk di pinggiran kubur itu. Kemudian beliau menangis sampai membasahi tanah. Kemudian beliau bersabda: ‘Wahai saudara-saudaraku, yang seperti inilah hendaknya kalian mempersiapkan diri.’” (Hadits hasan diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dan yang lainnya, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah.)

Artinya kita semua pasti akan mati.

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ

Setiap jiwa pasti akan mati.” (QS. Ali-Imran[3]: 185)

Dan kita pasti memasuki alam barzakh dan kita akan ditanya tentang apa yang kita lakukan. Di antara pertanyaan yang ditanyakan tiga; Siapa Rabbmu? Apa Agamamu? Siapa Nabimu?

Dan orang ditanya tentang Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Makanya Nabi bersabda dalam hadits yang hasan yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, kata Nabi:

فأما فتنةُ القبرِ فبي تُفتنونَ وعني تُسألونَ

“Adapun tentang fitnah kubur, dengan aku akan difitnah (ditanya) dan apa yang datang dariku.”

Artinya bisa atau tidak orang itu menjawab pertanyaan, tentunya dia akan bisa menjawab ketika dia di dunia ini mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bukan sekedar pujian atau menyanjung. Kalau mencintai, ini jelas wajib. Bahkan seseorang tidak beriman kalau tidak mencintai Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Liang Kubur Awal Perjalanan Kita Diakhirat

Liang Kubur Awal Perjalanan Kita Diakhirat 

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله وكفى والصلاة والسلام على نبيه المصطفى، أما بعد

Khalifah kaum muslimin yang ketiga Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu jika melihat perkuburan beliau menangis mengucurkan air mata hingga membasahi jenggotnya.

Suatu hari ada seorang yang bertanya:

تذكر الجنة والنار ولا تبكي وتبكي من هذا؟

“Tatkala mengingat surga dan neraka engkau tidak menangis, mengapa engkau menangis ketika melihat perkuburan?” Utsman pun menjawab, “Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إن القبر أول منازل الآخرة فإن نجا منه فما بعده أيسر منه وإن لم ينج منه فما بعده أشد منه

“Sesungguhnya liang kubur adalah awal perjalanan akhirat. Jika seseorang selamat dari (siksaan)nya maka perjalanan selanjutnya akan lebih mudah. Namun jika ia tidak selamat dari (siksaan)nya maka (siksaan) selanjutnya akan lebih kejam.” (HR. Tirmidzi, beliau berkata, “hasan gharib”. Syaikh al-Albani menghasankannya dalam Misykah al-Mashabih)

Bagaimanakah perjalanan seseorang jika ia telah masuk di alam kubur? Hadits panjang al-Bara’ bin ‘Azib yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan dishahihkan oleh Imam al-Hakim dan Syaikh al-Albani menceritakan perjalanan para manusia di alam kuburnya:

Suatu hari kami mengantarkan jenazah salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari golongan Anshar. Sesampainya di perkuburan, liang lahad masih digali. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun duduk (menanti) dan kami juga duduk terdiam di sekitarnya seakan-akan di atas kepala kami ada burung gagak yang hinggap. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memainkan sepotong dahan di tangannya ke tanah, lalu beliau mengangkat kepalanya seraya bersabda, “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari adzab kubur!” Beliau ulangi perintah ini dua atau tiga kali.

Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seandainya seorang yang beriman sudah tidak lagi menginginkan dunia dan telah mengharapkan akhirat (sakaratul maut), turunlah dari langit para malaikat yang bermuka cerah secerah sinar matahari. Mereka membawa kain kafan dan wewangian dari surga lalu duduk di sekeliling mukmin tersebut sejauh mata memandang. Setelah itu turunlah malaikat pencabut nyawa dan mengambil posisi di arah kepala mukmin tersebut. Malaikat pencabut nyawa itu berkata, ‘Wahai nyawa yang mulia keluarlah engkau untuk menjemput ampunan Allah dan keridhaan-Nya’. Maka nyawa itu (dengan mudahnya) keluar dari tubuh mukmin tersebut seperti lancarnya air yang mengalir dari mulut sebuah kendil. Lalu nyawa tersebut diambil oleh malaikat pencabut nyawa dan dalam sekejap mata diserahkan kepada para malaikat yang berwajah cerah tadi lalu dibungkus dengan kafan surga dan diberi wewangian darinya pula. Hingga terciumlah bau harum seharum wewangian yang paling harum di muka bumi.

Kemudian nyawa yang telah dikafani itu diangkat ke langit. Setiap melewati sekelompok malaikat di langit mereka bertanya, ‘Nyawa siapakah yang amat mulia itu?’ ‘Ini adalah nyawa fulan bin fulan’, jawab para malaikat yang mengawalnya dengan menyebutkan namanya yang terbaik ketika di dunia. Sesampainya di langit dunia mereka meminta izin untuk memasukinya, lalu diizinkan. Maka seluruh malaikat yang ada di langit itu ikut mengantarkannya menuju langit berikutnya. Hingga mereka sampai di langit ketujuh. Di sanalah Allah berfirman, ‘Tulislah nama hambaku ini di dalam kitab ‘Iliyyin. Lalu kembalikanlah ia ke (jasadnya di) bumi, karena darinyalah Aku ciptakan mereka (para manusia), dan kepadanyalah Aku akan kembalikan, serta darinyalah mereka akan Ku bangkitkan.’

Lalu nyawa tersebut dikembalikan ke jasadnya di dunia. Lantas datanglah dua orang malaikat yang memerintahkannya untuk duduk. Mereka berdua bertanya, ‘Siapakah rabbmu?’, ‘Rabbku adalah Allah’ jawabnya. Mereka berdua kembali bertanya, ‘Apakah agamamu?’, ‘Agamaku Islam’ sahutnya. Mereka berdua bertanya lagi, ‘Siapakah orang yang telah diutus untuk kalian?’ “Beliau adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” jawabnya. ‘Dari mana engkau tahu?’ tanya mereka berdua. ‘Aku membaca Al-Qur’an lalu aku mengimaninya dan mempercayainya’. Tiba-tiba terdengarlah suara dari langit yang menyeru, ‘(Jawaban) hamba-Ku benar! Maka hamparkanlah surga baginya, berilah dia pakaian darinya lalu bukakanlah pintu ke arahnya’. Maka menghembuslah angin segar dan harumnya surga (memasuki kuburannya) lalu kuburannya diluaskan sepanjang mata memandang.

Saat itu datanglah seorang (pemuda asing) yang amat tampan memakai pakaian yang sangat indah dan berbau harum sekali, seraya berkata, ‘Bergembiralah, inilah hari yang telah dijanjikan dulu bagimu’. Mukmin tadi bertanya, ‘Siapakah engkau? Wajahmu menandakan kebaikan’. ‘Aku adalah amal salehmu’ jawabnya. Si mukmin tadi pun berkata, ‘Wahai Rabbku (segerakanlah datangnya) hari kiamat, karena aku ingin bertemu dengan keluarga dan hartaku.

Adapun orang kafir, di saat dia dalam keadaan tidak mengharapkan akhirat dan masih menginginkan (keindahan) duniawi, turunlah dari langit malaikat yang bermuka hitam sambil membawa kain mori kasar. Lalu mereka duduk di sekelilingnya. Saat itu turunlah malaikat pencabut nyawa dan duduk di arah kepalanya seraya berkata, ‘Wahai nyawa yang hina keluarlah dan jemputlah kemurkaan dan kemarahan Allah!’. Maka nyawa orang kafir tadi ‘berlarian’ di sekujur tubuhnya. Maka malaikat pencabut nyawa tadi mencabut nyawa tersebut (dengan paksa), sebagaimana seseorang yang menarik besi beruji yang menempel di kapas basah. Begitu nyawa tersebut sudah berada di tangan malaikat pencabut nyawa, sekejap mata diambil oleh para malaikat bermuka hitam yang ada di sekelilingnya, lalu nyawa tadi segera dibungkus dengan kain mori kasar. Tiba-tiba terciumlah bau busuk sebusuk bangkai yang paling busuk di muka bumi.

Lalu nyawa tadi dibawa ke langit. Setiap mereka melewati segerombolan malaikat mereka selalu ditanya, ‘Nyawa siapakah yang amat hina ini?’, ‘Ini adalah nyawa fulan bin fulan’ jawab mereka dengan namanya yang terburuk ketika di dunia. Sesampainya di langit dunia, mereka minta izin untuk memasukinya, namun tidak diizinkan. Rasulullah membaca firman Allah:

لا تفتح لهم أبواب السماء ولا يدخلون الجنة حتى يلج الجمل في سم الخياط

“Tidak akan dibukakan bagi mereka (orang-orang kafir) pintu-pintu langit dan mereka tidak akan masuk surga, sampai seandainya unta bisa memasuki lobang jarum sekalipun.” (QS. Al-A’raf: 40)

Saat itu Allah berfirman, ‘Tulislah namanya di dalam Sijjin di bawah bumi’, Kemudian nyawa itu dicampakkan (dengan hina dina). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah ta’ala:

وَمَن يُشْرِكْ بِاللهِ فَكَأنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيْحُ فِي مَكَانٍ سَحِيْقٍ

“Barang siapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 31)

Kemudian nyawa tadi dikembalikan ke jasadnya, hingga datanglah dua orang malaikat yang mendudukannya seraya bertanya, ‘Siapakah rabbmu?’, ‘Hah hah… aku tidak tahu’ jawabnya. Mereka berdua kembali bertanya, ‘Apakah agamamu?’ “Hah hah… aku tidak tahu’ sahutnya. Mereka berdua bertanya lagi, ‘Siapakah orang yang telah diutus untuk kalian?’ “Hah hah… aku tidak tahu’ jawabnya. Saat itu terdengar seruan dari langit, ‘Hamba-Ku telah berdusta! Hamparkan neraka baginya dan bukakan pintu ke arahnya’. Maka hawa panas dan bau busuk neraka pun bertiup ke dalam kuburannya. Lalu kuburannya di ‘press’ (oleh Allah) hingga tulang belulangnya (pecah dan) menancap satu sama lainnya.

Tiba-tiba datanglah seorang yang bermuka amat buruk memakai pakaian kotor dan berbau sangat busuk, seraya berkata, ‘Aku datang membawa kabar buruk untukmu, hari ini adalah hari yang telah dijanjikan bagimu’. Orang kafir itu seraya bertanya, ‘Siapakah engkau? Wajahmu menandakan kesialan!’, ‘Aku adalah dosa-dosamu’ jawabnya. ‘Wahai Rabbku, janganlah engkau datangkan hari kiamat’ seru orang kafir tadi. (HR. Ahmad dalam Al-Musnad (XXX/499-503) dan dishahihkan oleh al-Hakim dalam Al-Mustadrak (I/39) dan al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 156)

Itulah dua model kehidupan orang yang telah masuk liang kubur. Jika kita menginginkan untuk menjadi orang yang dibukakan baginya pintu ke surga dan diluaskan liang kuburnya seluas mata memandang maka mari kita berusaha untuk memperbanyak untuk beramal saleh di dunia ini.

Suatu amalan tidak akan dianggap saleh hingga memenuhi dua syarat:

  1. Ikhlas
  2. Sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Banyak sekali dalil-dalil dari Al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan landasan dua syarat di atas.

Di antara dalil syarat pertama adalah firman Allah ta’ala:

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Di antara dalil syarat kedua adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد

“Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan petunjukku, maka amalan itu akan ditolak.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya (III/1344 no 1718))

Allah menghimpun dua syarat ini dalam firman-Nya di akhir surat Al-Kahfi:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Maka mari kita manfaatkan kehidupan dunia yang hanya sementara ini untuk benar-benar beramal saleh. Semoga kelak kita mendapatkan kenikmatan di alam kubur serta dihindarkan dari siksaan di dalamnya, amin.

Wallahu ta’ala a’lam, wa shallallahu ‘ala nabiyyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.

Tulisan ini terinspirasi dari kitab Majalis Al-Mu’minin Fi Mashalih Ad-Dun-Ya Wa Ad-Din Bi Ightinam Mawasim Rabb Al-‘Alamin, karya Fu’ad bin Abdul Aziz asy-Syahlub (II/83-86)

***

Wahai Suami, Jadilah Penengah Antara Istrimu Dan Ibumu

Wahai Suami, Jadilah Penengah Antara Istrimu Dan Ibumu 

Konflik antara seorang istri dan ibu mertuanya adalah hal yang sangat mungkin terjadi. Ada banyak faktor yang bisa mengakibatkan konflik antara mertua dan menantu, seperti mertua merasa menantu “mengambil” anaknya ataupun sebaliknya. Terutama jika pasangan suami istri tersebut tinggal di rumah orang tua si suami, maka bibit-bibit konflik bisa saja menjadi sering muncul.

Sebagai suami, Anda harus berperan sebagai penengah, tidak boleh timpang atau memihak salah satu dari keduanya. Anda juga tidak boleh cuek dan lari dari konflik tersebut. Bagaimana pun Anda adalah suami dari istri Anda dan juga anak dari ibu Anda, keduanya memiliki hak atas diri Anda.

Kuncinya adalah komunikasi. Umumnya seorang ibu akan mempercayai dan mendengarkan anaknya, maka manfaatkan hal ini untuk menjelaskan duduk perkaranya, ubahlah pandangan ibu Anda tentang istri. Demikian pula kendalikan istri Anda, sampaikan pandangan ibu Anda tentang masalah yang terjadi dan carikan jalan tengah.

Jika terpaksa, maka berbohong untuk mendamaikan kedua pihak yang berselisih adalah hal yang diperbolehkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِى يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ وَيَقُولُ خَيْرًا وَيَنْمِى خَيْرًا

“Tidak disebut pembohong jika bertujuan untuk mendamaikan di antara pihak yang berselisih di mana ia berkata yang baik atau mengatakan yang baik (demi mendamaikan pihak yang berselisih).” (HR. Bukhari no. 2692 dan Muslim no. 2605, lafazh Muslim)

Oleh karena itu, yang terpenting juga adalah pemahaman tentang karakter wanita, karena Anda menghadapi dua wanita sekaligus yang sangat mengedepankan perasaannya masing-masing. Komunikasikan segala hal kepada mereka dengan kepala dingin.

Beberapa Hak Sesama Muslim

Beberapa Hak Sesama Muslim 

Segala puji hanya milik Allah Azza wa Jalla , yang telah menjadikan kaum Muslimin bersaudara dan saling menyayangi, yang memerintahkan mereka agar saling tolong-menolong dalam kemaslahatan dunia dan agama. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilâh yang haq diibadahi kecuali Allah Azza wa Jalla , tiada sekutu bagi-Nya’ Dan aku bersaksi bahwa Muhammad n adalah hamba dan utusan-Nya. Semoga keselamatan tercurahkan kepadanya, keluarganya, para shahabatnya dan orang-orang yang mengikuti beliau dengan baik hingga hari kiamat.

Wahai manusia, bertaqwalah kepada Allah Azza wa Jalla , ketahuilah bahwa Allah Azza wa Jalla mewajibkan ukhuwah dan tolong menolong kepada sesama muslim dalam kemaslahatan dunia dan agama. Allah Azza wa Jalla:

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah Azza wa Jalla , supaya kamu mendapat rahmat. ”  [al-Hujurât/ 49:10]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam bersabda:

مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَوَدِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلَ الْجَسَدِالْوَاحِدِ ,إِذَااشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِوَالْحُمَّى

Perumpamaan kaum mukminin satu dengan yang lainnya dalam hal saling mencintai, saling menyayangi dan saling berlemah lembut di antara mereka adalah seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota badan sakit, maka semua anggota badannya juga merasa demam dan tidak bisa tidur. [HR Muslim no. 4658]

Apabila ini yang menjadi kewajiban kaum Muslimin, maka ukhuwah ini mewajibkan mereka saling memenuhi hak satu dengan lainnya. Di antara hak tersebut adalah :

  1. Mencintai karena Allah Azza wa Jalla.
    Yaitu tanpa membedakan nasab di antara mereka, juga tanpa egoisme yang membawa mereka kepada sifat tidak baik, akan tetapi karena Allah Azza wa Jalla semata-mata. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam bersabda:

لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِى

Tidak (sempurna) iman salah seorang di antara kamu hingga dia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.[HR Bukhari no. 12]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam juga bersabda yang artinya:

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ، مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُـحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ  أَنْ يَعُوْدَ فِـي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِـي النَّارِ.

“Ada 3 hal, barang siapa yang berada padanya ia akan merasakan manisnya iman, pertama:  hendaklah Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dia cintai dari pada selainnya; kedua: dia mencintai seseorang semata-mata karena Allah Azza wa Jalla ; ketiga: dia enggan untuk kembali kepada kekafiran  setelah diselamatkan oleh Allah Azza wa Jalla sebagimana dia juga enggan untuk dilemparkan ke dalam api Neraka.”. [HR Bukhari no. 15]

  1. Mendamaikan mereka.
    Apabila ada perselisihan dan perpecahan di antara mereka, maka kewajiban seorang muslim adalah mendamaikannya. Allah Azza wa Jalla berfirman :

فَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاَصْلِحُوْا ذَاتَ بَيْنِكُمْ ۖوَاَطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗٓ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ

Oleh sebab itu, bertakwalah kepada Allah Azza wa Jalla dan perbaikilah hubungan antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman.“[Al-Anfal/8 : 1]

Islâh maknanya adalah meluruskan masalah yang diperselisihkan dan mengembalikannya kepada kaum Muslimin serta memperbaiki kedua pihak yang berselisih.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam menganggap perbuatan mendamaikan kaum Muslimin sebagai sedekah, maka kewajiban mereka yaitu jika ada perselisihan atau perpecahan di antara mereka, hendaknya mereka damaikan dan luruskan perselisihan tersebut dengan adil, sehingga ukhuwah kembali terjalin di antara mereka.  

  1. Jujur dalam bermuamalah.
    Hendaknya mereka bermuamalah dengan jujur, tidak berdusta, tidak berkhianat dan tidak  menipu dalam jual beli. Hendaknya muamalah jual beli tersebut dilakukan atas dasar niat yang baik, tanpa menutupi aib yang ada pada barang yang dijual dan tanpa berbohong dalam harganya. Kejujuran adalah keselamatan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam bersabda:

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَفْتَرِقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ بَيْعِهِمَا – رواه أبو داود

“Apabila dua orang muslim bermuamalah jual beli, maka ada khiyar (hak memilih) bagi keduanya. Jika keduanya jujur dan berterus terang, maka keduanya akan mendapat barakah dari jual belinya, dan jika keduanya berdusta dan menyembunyikan, maka barakah akan dihilangkan dari jual belinya.”

  1. Mendoakan kebaikan kepadanya, mendoakannya dengan maghfirah, agar diberi kemaslahatan dunia dan agama. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِۚ

Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. [Muhammad/ 47:19]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam bersabda:

حَقُّ اَلْمُسْلِمِ عَلَى اَلْمُسْلِمِ سِتٌّ: إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ, وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ, وَإِذَا اِسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْهُ, وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اَللَّهَ فَسَمِّتْهُ وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ, وَإِذَا مَاتَ فَاتْبَعْهُ – رَوَاهُ مُسْلِمٌ

“ Hak muslim satu dengan lainnya ada enam, yaitu apabila engkau bertemu dengannya, berilah salam kepadanya; apabila dia mengundangmu, penuhilah udangannya; apabila dia meminta nasehat kepadamu, maka nasehatilah; apabila dia bersin dan mengucapkan alhamdulillâh, maka doakanlah; apabila dia sakit, maka jenguklah; dan apabila dia meninggal, maka iringilah jenazahnya.”

Pertama: apabila seorang muslim bertemu dengan saudaranya, hendaknya dia mendahuluinya dengan salam. Memulai salam hukumnya sunah, sedangkan menjawab salam hukumnya wajib, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :

وَاِذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِاَحْسَنَ مِنْهَآ اَوْ رُدُّوْهَا

Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa) [an-Nisâ`/ 4:86]

Hendaknya kaum Muslimin menyebarkan salam di antara mereka. Abdullah bin Salam mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam bersabda :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ ، أَفْشُوْا السَّلَامَ ، وَأَطْعِمُوْا الطَّعَامَ ، وَصِلُوْا الْأَرْحَامَ ، وَصَلُّوْا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ ، تَدْخُلُوْا الْجَنَّةَ بِسَلَامٍ

“ Wahai manusia, sebarkanlah salam, berilah makan (orang miskin-red), sambunglah silaturahmi dan shalatlah pada malam hari ketika manusia dalam sedang tidur, engkau akan masuk surga dengan keselamatan.”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam menggabungkan perintah mengucap salam dan memberi makan (fakir miskin) karena hal itu akan menumbuhkan rasa kecintaan antar kaum Muslimin dan menghilangkan kegelisahan.

Kedua: Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam : (وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ )“ Apabila dia mengundangmu , maka penuhilah.” Maksudnya, apabila dia mengundangmu untuk walimah atau hadir dalam suatu resepsi, hendaknya engkau datang, kecuali apabila ada udzur syar`i yang menyebabkan berhalangan hadir atau memberatkanmu.  . Akan tetapi jika pada walimah atau resepsi tersebut ada kemungkaran dan engkau mampu mengubah kemungkaran tersebut, maka engkau wajib datang dan mengubahnya. Akan tetapi jika tidak mampu mengubahnya, janganlah engkau menghadirinya. Kehadiranmu yang tidak bisa mengubah kemungkaran itu, merupakan tanda engkau setuju dengan hal tersebut.

Ketiga: Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam : (وَإِذَا اِسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْهُ )“ Apabila dia minta nasehat, maka nasehatilah.” Maksudnya, apabila dia meminta nasehat kepadamu dalam suatu perkara dan meminta pendapat kamu yang baik, maka hendaknya kamu bersungguh-sungguh menasehatinya, baik dalam hal yang dia sukai maupun tidak.

Keempat : Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam : (وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اَللَّهَ فَسَمِّتْهُ )“ Apabila dia bersin dan memuji Allah Azza wa Jalla, doakanlah dia.” Bersin merupakan nikmat dari Allah Azza wa Jalla karena mengosongkan udara buruk yang ada di tubuh. Apabila dia bersin, ini merupakan nikmat Allah Azza wa Jalla yang perlu disyukuri. Sehingga apabila dia memuji Allah Azza wa Jalla , wajib bagi orang yang berada di sisinya untuk mendoakanya dengan mengucapkan: “ Yarhamukallâh”. Kemudian orang yang bersin mengucapkan: “ Yahdîkumullâh wa yushlih bâlakum.” Ini merupakan perilaku Muslimin yang baik, maka hukumnya wajib untuk menjawab orang yang bersin apabila dia memuji Allah Azza wa Jalla.


Kelima : Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam 😦 وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ ) “ Apabila dia sakit, maka jenguklah.” Menjenguk orang sakit mengandung kebaikan yang banyak, di antaranya bisa mengurangi beban orang yang sakit dan  keluarganya. Mengunjunginya, duduk di sampingnya dan mendoakannya, maka akan membuat dia bahagia dan menguatkan rajâ`nya kepada Allah Azza wa Jalla . Di antara adab menjenguk orang sakit, pertama: hendaknya secara berkala; jangan setiap hari karena hal itu akan memberatkannya, kecuali dia suka yang demikian. Kedua: mendoakan kesembuhan baginya, memberi motivasi kepadanya agar segera sembuh, melapangkan bebannya, dan menghiburnya. Ketiga:  hendaknya jangan berlama-lama duduk di sampingnya agar tidak membebaninya, kecuali dia menginginkannya.

Keenam : Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam 😦 وَإِذَا مَاتَ فَاتْبَعْهُ )“ Apabila dia meninggal dunia, maka iringilah jenazahnya.” Hal itu karena ada doa, permohonan ampun kepadanya, menyenangkan wali dan kerabatnya dan ada unsur memuliakan kedudukan orang yang meninggal. Barang siapa yang menghadiri jenazah, menyalatkan dan mendoakannya, maka dia akan memperoleh pahala satu  qirâth. Barang siapa menyalatkan dan mengiringinya sampai pemakaman, dia akan memperolah 2 qirâth. Ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, apa itu dua qirâth?” Beliau menjawab “Seperti dua gunung yang besar.”

Wahai hamba Allah Azza wa Jalla , bertaqwalah kepada Allah Azza wa Jalla  dan jagalah hak-hak saudara kalian. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah Azza wa Jalla , Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla amat berat siksa-Nya.”  [al-Mâidah/ 5:2]

Wahai hamba Allah Azza wa Jalla, bertaqwalah kepada Allah Azza wa Jalla, ketahuilah bahwa di antara hak-hak kaum Muslimin  satu dengan lainnya adalah amar ma`ruf dan nahi munkar. Maka, apabila engkau melihat saudaramu berada dalam kemaksiatan dan penyelisihan kepada syariat atau lainnya engkau tidak boleh mendiamkannya. Akan tetapi engkau harus menasehatinya secara sembunyi-sembunyi antara engkau dan dia. Dan hendaknya engkau menunjukkannya pada kebaikan dan memperingatkannnya dari keburukan.. Hendaknya engkau perbaiki dengan cara yang baik, hingga dia bisa mengetahui bahwa kamu adalah saudaranya dan engkau sangat memperhatikannya.

Wahai hamba Allah Azza wa Jalla , bertaqwalah kepada Allah Azza wa Jalla  dan bersemangatlah dalam menunaikan hak-haknya sebagaimana engkau juga meminta agar hak engkau dipenuhi oleh saudaramu.

Maraji’:
Al-Khuthab al-Mimbariyah cet.Dar Ashimah hl, 191-198 oleh Dr Shalih bin Fauzan al-Fauzan.

Diam Lebih Baik Jika Tidak Tahu

Diam Lebih Baik Jika Tidak Tahu 

Salah satu sisi tanggung jawab akademis seorang guru (atau siapapun), tidak boleh berbicara pada masalah yang sama sekali buta tentangnya. Akibat buruk akan muncul di kemudian hari. Ia bisa menyesatkan, kalau materi itu berkaitan dengan agama, lantaran kekeliruan dalam menjawab. Dampak lainnya, ketika nantinya “boroknya” tersingkap, maka kepercayaan orang kepadanya akan terkikis, dusta akan disematkan padanya meski berkata jujur, dan ilmu akan sirna. Sebuah akibat buruk yang muncul dari kedustaan.[1]

Ada fenomena memprihatinkan, tatkala dijumpai orang-orang yang begitu berani “berfatwa” untuk menjawab berbagai persoalan agama. Padahal, latar belakangnya sama sekali tidak mendukung dan tidak memiliki kapabilitas. Bukan berarti Islam hanya monopoli para ulama saja, tetapi pada masing-masing bidang ada pakarnya.

Nabi kita, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok termulia dan paling tahu tentang Islam. Meski demikian, ketika beliau mendapatkan pertanyaan yang belum diketahui jawabannya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diam, atau meresponnya dengan mengatakan : La adri (aku tidak tahu).

Imam al Bukhari rahimahullah dan Muslim rahimahullah meriwayatkan :

عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ سَمِعَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ مَرِضْتُ فَعَادَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ وَهُمَا مَاشِيَانِ فَأَتَانِي وَقَدْ أُغْمِيَ عَلَيَّ فَتَوَضَّأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَبَّ عَلَيَّ وَضُوءَهُ فَأَفَقْت فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ أَصْنَعُ فِي مَالِي كَيْفَ أَقْضِي فِي مَالِيفَلَمْ يُجِبْنِي بِشَيْءٍ حَتَّى نَزَلَتْ آيَةُ الْمَوَارِيثِ

Dari Muhammad bin al Munkadir, ia mendengar Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma bercerita : “Aku pernah sakit. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Abu Bakar Radhiyallahu anhu menjengukku dengan berjalan kaki. Beliau mendatangiku saat aku pingsan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil air wudhu dan memercikkan air wudhunya kepadaku sehingga aku siuman”. Aku bertanya : “Wahai, Rasulullah. Bagaimana cara aku menangani urusan hartaku? Apa yang harus aku lakukan terhadap hartaku?”
“Beliau tidak menjawab dengan sesuatu pun, sampai akhirnya turun ayat tentang pembagian warisan”. [Muttafaqun ‘alaih. Shahihu al Bukhari, kitab al I’tisham bi al Kitab wa as Sunnah, no. 7309; Shahih Muslim, kitab al Faraidh, bab Miratsi al Kalalah, no. 7].

Baca Juga  Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Membangunkan Anggota Keluarga Untuk Qiyâmullail
Imam al Bukhari menempatkan hadits ini pada bab : (artinya) Nabi, (bila) ditanya tentang sesuatu yang belum turun wahyu padanya, beliau mengatakan “aku tidak tahu”, atau tidak menjawab, sampai turunnya wahyu; tidak berkata berdasarkan ra`yu atau qiyas merujuk firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”[2]. [Lihat Fathul Bari 13/290].

Sikap semacam ini diikuti oleh para sahabat dan para ulama generasi berikutnya. Tidak mau menjawab, dan atau melemparkan pertanyaan itu kepada orang lain dalam masalah-masalah yang memang belum mereka ketahui duduk persoalannya atau hukumnya. Karena memang, tidak ada orang yang menguasai seluruh ilmu.

Contoh untuk masa sekarang, Syaikh Abdul Muhsin al ‘Abbad hafizhahullah. Seorang yang ‘alim dalam bidang hadits. Dalam taklim yang diselenggarakan pada malam hari di Masjid Nabawi, tidak jarang beliau mengatakan “la adri” (aku tidak tahu) di depan hadirin, pada masalah yang ditanyakan kepada beliau. Demikian ini merupakan sikap ksatria, sebagai wujud pengakuan betapa dangkalnya ilmu manusia, dan betapa luasnya ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala al ‘Alimu al Khabir.

Seseorang yang bukan ahli di dalam satu bidang, ia harus legawa, tidak memasuki wilayah yang bukan bidangnya secara mendalam. Utamanya dalam masalah agama.

Begitu pula, orang yang ilmu agamanya masih setengah-setengah, tidak boleh “nekad” memposisikan diri sebagai mufti dan berfatwa menuntaskan persoalan hukum-hukum syariat yang disodorkan masyarakat. Hukum yang keluar dari mulut kita tanpa landasan ilmu dari Allah dan RasulNya, merupakan kedustaan atas nama Allah dan RasulNya.

(Diangkat dari kitab An Nabiyyu Mu’alliman, Prof. Dr Fadhl Ilahi, Cet. I, Idaratu Turjumani al Islam, Pakistan, 1424H / 2003M).


Footnote
[1]. Lihat penjelasan ini pada Hilyah Thalibi al ‘Ilmi, Syaikh Bakr Abu Zaid. Hlm. 62
[2]. An Nisa : 104.


Kematian Yang Kembali Menyadarkan Kita

Kematian Yang Kembali Menyadarkan Kita 

Belia, muda, maupun tua tidak ada yang tahu, mereka pun bisa merasakan kematian. Setahun yang silam, kita barangkali melihat saudara kita dalam keadaan sehat bugar, ia pun masih muda dan kuat. Namun hari ini ternyata ia telah pergi meninggalkan kita. Kita pun tahu, kita tidak tahu kapan maut menjemput kita. Entah besok, entah lusa, entah kapan. Namun kematian sobat kita, itu sudah cukup sebagai pengingat, yang menyadarkan dari kelalaian kita. Bahwa kita pun akan sama dengannya, akan kembali pada Allah. Dunia akan kita tinggalkan di belakang. Dunia hanya sebagai lahan mencari bekal. Alam akhiratlah tempat akhir kita.

Sungguh kematian dari orang sekeliling kita banyak menyadarkan kita. Oleh karenanya, kita diperingatkan untuk banyak-banyak mengingat mati. Dan faedahnya amat banyak. Kami mengutarakan beberapa di antaranya kali ini.


Dianjurkan untuk mengingat mati dan mempersiapkan diri menghadap kematian …
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ

    “Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan” (HR. An Nasai no. 1824, Tirmidzi no. 2307 dan Ibnu Majah no. 4258 dan Ahmad 2: 292. Hadits ini hasan shahih menurut Syaikh Al Albani). Yang dimaksud adalah kematian. Kematian disebut haadzim (pemutus) karena ia menjadi pemutus kelezatan dunia.

    عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ : كُنْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ قَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَفْضَلُ قَالَ : « أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا ». قَالَ فَأَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَكْيَسُ قَالَ : « أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا أُولَئِكَ الأَكْيَاسُ ».

    Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu seorang Anshor mendatangi beliau, ia memberi salam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, mukmin manakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Yang paling baik akhlaknya.” “Lalu mukmin manakah yang paling cerdas?”, ia kembali bertanya. Beliau bersabda, “Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk alam berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas.” (HR. Ibnu Majah no. 4259. Hasan kata Syaikh Al Albani).

    Wahai diri ini yang lalai akan kematian, ingatlah faedah mengingat kematian …
    [1] Mengingat kematian adalah termasuk ibadah tersendiri, dengan mengingatnya saja seseorang telah mendapatkan ganjaran karena inilah yang diperintahkan oleh suri tauladan kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

    [2] Mengingat kematian membantu kita dalam khusyu’ dalam shalat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    اذكرِ الموتَ فى صلاتِك فإنَّ الرجلَ إذا ذكر الموتَ فى صلاتِهِ فَحَرِىٌّ أن يحسنَ صلاتَه وصلِّ صلاةَ رجلٍ لا يظن أنه يصلى صلاةً غيرَها وإياك وكلَّ أمرٍ يعتذرُ منه

    “Ingatlah kematian dalam shalatmu karena jika seseorang mengingat mati dalam shalatnya, maka ia akan memperbagus shalatnya. Shalatlah seperti shalat orang yang tidak menyangka bahwa ia masih punya kesempatan melakukan shalat yang lainnya. Hati-hatilah dengan perkara yang kelak malah engkau meminta udzur (meralatnya) (karena tidak bisa memenuhinya).” (HR. Ad Dailami dalam musnad Al Firdaus. Hadits ini hasan sebagaimana kata Syaikh Al Albani)

    [3] Mengingat kematian menjadikan seseorang semakin mempersiapkan diri untuk berjumpa dengan Allah. Karena barangsiapa mengetahui bahwa ia akan menjadi mayit kelak, ia pasti akan berjumpa dengan Allah. Jika tahu bahwa ia akan berjumpa Allah kelak padahal ia akan ditanya tentang amalnya didunia, maka ia pasti akan mempersiapkan jawaban.

    [4] Mengingat kematian akan membuat seseorang memperbaiki hidupnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    أكثروا ذكر هَاذِمِ اللَّذَّاتِ فإنه ما ذكره أحد فى ضيق من العيش إلا وسعه عليه ولا فى سعة إلا ضيقه عليه

    “Perbanyaklah banyak mengingat pemutus kelezatan (yaitu kematian) karena jika seseorang mengingatnya saat kehidupannya sempit, maka ia akan merasa lapang dan jika seseorang mengingatnya saat kehiupannya lapang, maka ia tidak akan tertipu dengan dunia (sehingga lalai akan akhirat).” (HR. Ibnu Hibban dan Al Baihaqi, dinyatakan hasan oleh Syaikh Al Albani).

    [5] Mengingat kematian membuat kita tidak berlaku zholim. Allah Ta’ala berfirman,

    أَلَا يَظُنُّ أُولَئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ

    “Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan.” (QS. Al Muthoffifin: 4). Ayat ini dimaksudkan untuk orang-orang yang berlaku zholim dengan berbuat curang ketika menakar. Seandainya mereka tahu bahwa besok ada hari berbangkit dan akan dihisab satu per satu, tentu mereka tidak akan berbuat zholim seperti itu.

    Nasehat ulama ….
    Abu Darda’ berkata, “Jika mengingat mati, maka anggaplah dirimu akan seperti orang-orang yang telah meninggalkanmu.”

    Yang menakjubkan pula dari Ar Robi’ bin Khutsaim …
    Ia pernah menggali kubur di rumahnya. Jika dirinya dalam kotor (penuh dosa), ia bergegas memasuki lubang tersebut, berbaring dan berdiam di sana. Lalu ia membaca firman Allah Ta’ala,

    رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ

    “(Ketika datang kematian pada seseorang, lalu ia berkata): Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan.” (QS. Al Mu’minuun: 99-100). Ia pun terus mengulanginya dan ia berkata pada dirinya, “Wahai Robi’, mungkinkah engkau kembali (jika telah mati)! Beramallah …”


    Tersadarkan diri ini setelah mendengar kematian sobat kami (Hangga Harsa) yang juga merupakan kakak tertua dari sahabat kami yang meninggal dunia di hari Jum’at hari penuh barokah, 5 Dzulqo’dah 1433 H.

    Semoga keadaan mati beliau adalah mati yang husnul khotimah karena diwafatkan pada hari yang penuh barokah yaitu hari Jum’at. Semoga Allah mengampuni dosa-dosanya, merahmatinya, melindunginya, memaafkan segala kesalahannya, memuliakan tempat kembalinya, meluaskan alam kuburnya, membersihkan ia dengan air, salju, dan air yang sejuk, semoga Allah membersihkan ia dari segala kesalahan sebagaimana Dia telah membersihkan pakaian putih dari kotoran, semoga Allah mengganti rumahnya -di dunia- dengan rumah yang lebih baik -di akhirat- serta mengganti keluarganya -di dunia- dengan keluarga yang lebih baik, dan istri di dunia dengan istri yang lebih baik, semoga Allah memasukkan ia ke dalam surga-Nya dan melindungi ia dari siksa kubur dan siksa api neraka.

    Sumber bacaan: Ahkamul Janaiz Fiqhu Tajhizul Mayyit, Kholid Hannuw, terbitan Dar Al ‘Alamiyah, cetakan pertama, 1432 H, hal. 9-13