Burung Saja Bekerja Untuk Meraih Rezeki

Burung Saja Bekerja Untuk Meraih Rezeki 

Burung saja bekerja untuk meraih rizki … Lantas bagaimanakah lagi dengan manusia?

Tawakkal yang hakiki haruslah diiring dengan usaha. Bukan hanya bersandar pada Allah Ta’ala …

Dari Umar bin Al Khoththob radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصاً وَتَرُوحُ بِطَاناً

”Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.”[1]

Hadits di atas menjelaskan mengenai urgensi tawakkal. Ibnu Rajab mengatakan, ”Tawakkal adalah seutama-utama sebab untuk memperoleh rizki”.[2] Sebagaimana Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya,

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (QS. Ath Tholaq: 3).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca ayat di atas kepada Abu Dzar Al Ghifariy. Lalu beliau berkata padanya,

لَوْ أَنَّ النَّاسَ كُلَّهُمْ أَخَذُوْا بِهَا لَكَفَتْهُمْ

”Seandainya semua manusia mengambil nasehat ini, itu sudah akan mencukupi mereka.”[3] Yaitu seandainya manusia betul-betul bertakwa dan bertawakkal, maka sungguh Allah akan mencukupi urusan dunia dan agama mereka.[4]

Al Qurtubi mengatakan, ”Barangsiapa menyerahkan urusannya sepenuhnya kepada Allah, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya.”[5]

Sedangkan tawakkal yang sebenarnya adalah menyandarkan hati pada Allah dalam usaha untuk memperoleh manfaat atau menolak bahaya, baik dalam urusan dunia maupun urusan akhirat seluruhnya. Dalam tawakkal, seseorang betul-betul menyandarkan diri pada Allah dan ia pun menyempurnakan keyakinan bahwa tidak ada yang memberi, menghalangi rizki, mendatangkan bahaya atau manfaat selain Allah semata. Itulah hakikat tawakkal yang disebutkan oleh Ibnu Rajab Al Hambali[6].

Tawakkal Bukan Hanya Pasrah
Sebagian orang seringkali salah kaprah dalam memahami tawakkal. Dikiranya tawakkal hanyalah sikap pasrah, tanpa ada usaha dan kerja sama sekali. Ini sungguh keliru. Tawakkal yang benar haruslah tercakup dua hal yaitu [1] penyandaran diri pada Allah dan [2] melakukan usaha. Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Usaha dengan anggota badan dalam melakukan sebab adalah suatu bentuk ketaatan pada Allah. Sedangkan bersandarnya hati pada Allah adalah termasuk keimanan.”[7]

Di antara bukti bahwa tawakkal yang benar haruslah disertai dengan melakukan usaha adalah keadaan burung yang dijelaskan dalam hadits yang telah lewat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan bahwa burung tersebut bisa pulang dalam keadaan mendapatkan rizki dikarenakan ia juga melakukan usaha keluar di pagi harinya, disertai hatinya bersandar pada Allah.

Al Munawi mengatakan, ”Burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali ketika sore dalam keadaan kenyang. Namun, usaha (sebab) itu bukanlah yang memberi rizki, yang memberi rizki adalah Allah Ta’ala. Hal ini menunjukkan bahwa tawakkal tidak harus meninggalkan usaha. Tawakkal haruslah dengan melakukan berbagai usaha yang akan membawa pada hasil yang diinginkan. Karena burung saja mendapatkan rizki dengan usaha. Sehingga hal ini menuntunkan pada kita untuk mencari rizki.[8]

Allah subhanahu wa ta’ala dalam beberapa ayat juga menyuruh kita agar tidak meninggalkan usaha sebagaimana firman-Nya,

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ

”Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang.” (QS. Al Anfaal: 60).

Juga firman-Nya,

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ

“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah.” (QS. Al Jumu’ah: 10). Dalam ayat-ayat ini terlihat bahwa kita juga diperintahkan untuk melakukan usaha.

Sahl At Tusturi mengatakan, ”Barangsiapa mencela usaha (meninggalkan sebab) maka dia telah mencela sunnatullah (ketentuan yang Allah tetapkan). Barangsiapa mencela tawakkal (tidak mau bersandar pada Allah) maka dia telah meninggalkan keimanan.”[9]

Allah Memang yang Memberi Rizki
Allah memang yang memberi rizki sebagaimana firman-Nya,

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.”(QS. Hud: 6). Ibnu Hajar Al ‘Asqolani mengatakan, “Namun hal ini bukan berarti seseorang boleh meninggalkan usaha dan bersandar pada apa yang diperoleh makhluk lainnya. Meninggalkan usaha sangat bertentangan dengan tawakkal itu sendiri.”[10]

Imam Ahmad pernah ditanyakan mengenai seorang yang kerjaannya hanya duduk di rumah atau di masjid. Orang yang duduk-duduk tersebut pernah berkata, ”Aku tidak mengerjakan apa-apa. Rizkiku pasti akan datang sendiri.” Imam Ahmad lantas mengatakan, ”Orang ini sungguh bodoh. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda,

إِنَّ اللَّه جَعَلَ رِزْقِي تَحْت ظِلّ رُمْحِي

”Allah menjadikan rizkiku di bawah bayangan tombakku.[11]”[12]

Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang”. Disebutkan dalam hadits ini bahwa burung tersebut pergi pada waktu pagi dan kembali pada waktu sore dalam rangka mencari rizki. Para sahabat pun berdagang. Mereka pun mengolah kurma. Yang patut dijadikan qudwah (teladan) adalah mereka (yaitu para sahabat).”[13]

Semoga Allah memberkahi setiap rizki yang kita peroleh. Hanya kepada Allah sebaik-baik tempat menggantungkan diri.

Referensi Utama:

Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an, Al Qurtubhi, Mawqi’ Ya’sub.
Fathul Bari, Ibnu Hajar ‘Al Asqolani, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379.
Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, Darul Muayyid, cetakan pertama, 1424 H.
Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, Asy Syamilah
Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jaami’ At Tirmidzi, Asy Syamilah.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel https://rumaysho.com

Disusun di Panggang, Gunung Kidul, 18 Dzulhijah 1430 H

[1] HR. Ahmad (1/30), Tirmidzi no. 2344, Ibnu Majah no. 4164, dan Ibnu Hibban no. 402. Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no.310 mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh Muqbil Al Wadi’i dalam Shohih Al Musnad no. 994 mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[2] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 516, Darul Muayyid, cetakan pertama, 1424 H.

[3] HR. Ahmad, Ibnu Majah, An Nasa-i dalam Al Kubro. Dalam sanad hadits ini terdapat inqitho’ (terputus) sehingga hadits ini adalah hadits yang lemah (dho’if). Syaikh Al Albani dalam Dho’if Al Jami’ no. 6372 mengatakan bahwa hadits tersebut dho’if. Namun makna hadits ini shahih (benar) karena memiliki asal dari ayat al Qur’an dan hadits shahih.

[4] Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 516.

[5] Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an, Al Qurtubhi, 18/161, Mawqi’ Ya’sub.

[6] Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 516, Darul Muayyid, cetakan pertama, 1424 H.

[7] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 517.

[8] Lihat Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jaami’ At Tirmidzi, 7/7-8, Asy Syamilah

[9] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 517.

[10] Fathul Bari, Ibnu Hajar ‘Al Asqolani, 11/305, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379.

[11] Maksud hadits ini adalah bahwa harta rampasan perang (ghonimah) itu halal bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al Muhallab mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki keistimewaan dibanding para Nabi sebelumnya yaitu dengan dihalalkannya ghonimah. Ghonimah inilah rizki bagi beliau.” (Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 9/130, Asy Syamilah). Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan bahwa rizkinya yaitu ghonimah (harta rampasan perang) berasal dari kilatan pedangnya karena berperang dengan kaum kuffar. Artinya, beliau sendiri melakukan usaha yaitu berperang, baru dapatlah ghonimah.

[12] HR. Ahmad, dari Ibnu ‘Umar. Sanad hadits ini shahih sebagaimana disebutkan Al ‘Iroqi dalam Takhrij Ahaditsil Ihya’, no. 1581. Dalam Shahih Al Jaami’ no. 2831, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[13] Fathul Bari, 11/305.

Wafatlah Dalam Keadaan Istiqomah

Wafatlah Dalam Keadaan Istiqomah 

Hakikatnya, kehidupan ini adalah perjalanan. Dari dunia yang fana, menuju negeri akhirat yang kekal abadi.

Perjalanan, realitanya, tidak selalu mudah. Akan ada jalan yang susah untuk dilewati, penuh rintangan dan dikelilingi hal sukar lainnya.

Begitupula kehidupan ini. Sebagaimana perkataan ‘Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbas, beliau mengatakan bahwa Allah akan menguji dengan ujian kebaikan dan keburukan, kesempitan dan kelapangan, kesehatan dan rasa sakit, kekayaan dan kefakiran, halal dan haram, ketaatan dan kemaksiatan, petunjuk dan kesesatan, dan seterusnya. (Tafsir Ibnu Katsir, 5/342).

Sebagian manusia mungkin berputus asa lalu berpaling dari jalan Allah. Mereka berburuk sangka terhadap Allah dan merasa tidak mendapatkan keuntungan ataupun pertolongan. Ini semua berasal dari nafsu manusia itu sendiri. Keegoisan diri yang kemudian dibumbui oleh syaitan.

Al-Imam Ibnul Qayyim mengatakan, “Nafsu adalah gunung besar lagi sulit dalam perjalanan menuju Allah, dan semua orang yang berjalan tidak ada jalan baginya kecuali melewati gunung itu. Padahal harus sampai kepadaNya. Di antara mereka ada yang merasa berat, dan ada juga yang merasa ringan menghadapinya. Sesungguhnya hal itu mudah bagi siapa yang dimudahkan oleh Allah.

Di gunung tersebut terdapat lembah dan bukit, perangkap dan pohon berduri, tumbuh-tumbuhan dan semak belukar, dan para penjahat yang mencegah orang-orang yang sedang dalam perjalanan, terutama yang biasa melakukan perjalanan malam. Jika mereka tidak memiliki bekal keimanan dan pelita keyakinan yang menerangi, yang dinyalakan dengan minyak ketawadhu’an, maka halangan-halangan itu selalu bersama mereka dan menghalangi perjalanan mereka. Sebab, kebanyakan orang yang berjalan di sana kembali ke belakang, karena tidak sanggup menempuh dan menghadapi berbagai rintangannya.

Setan berada di atas puncak gunung tersebut untuk menakuti manusia agar tidak mendakinya. Sehingga berkumpullah beratnya pendakian, duduknya setan yang menakuti di atas puncaknya, dan lemahnya tekad serta niat orang yang berjalan. Lalu hal itu menghasilkan kegagalan dan mundur ke belakang. Dan hanya orang yang dipelihara oleh Allahlah yang terjaga.

Setiap kali orang yang meniti jalan tersebut mendaki, maka teriakan orang yang menghalangi dan mengancamnya semakin keras kepadanya. Apabila ia telah menempuhnya dan mencapai puncaknya, maka semua ketakutan tersebut berubah menjadi keamanan. Ketika itulah perjalanan menjadi mudah, penghalang jalan dan aralnya yang berat pun akan sirna darinya, dan ia dapat melihat jalan yang luas lagi aman yang menghantarkannya kepada persinggahan-persinggahan dan jalan-jalan yang diatasnya terdapat rambu-rambu dan berbagai petunjuk yang disiapkan untuk kafilah ar Rahman.

Untuk mendapatkan kebahagiaan dan kesuksesan itu, seorang hamba haruslah memiliki tekad yang kuat, kesabaran, keberanian diri, dan keteguhan hati. Karunia itu berada di tangan Allah yang diberikanNya kepada siapa yang dikehendakiNya, dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Madaarijus Salikiin (II / 7-8).

Maka ketahuilah saudaraku, seberat apapun ujian, cobaan dan musibah yang menimpamu, tetaplah berjalan di jalanNya walaupun tertatih. Istiqamahkan dirimu, genggam erat imanmu, sampai perjumpaan denganNya.

Salah satu perkataan indah yang dinisbatkan kepada Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah,

الطريق الى الله طويل وليس المهم ان تصل الى اخر الطريق ولكن المهم ان تموت على الطريق

“Jalan menuju Allah sangatlah panjang. Dan bukanlah perkara yang penting untuk sampai pada akhirnya, akan tetapi yang terpenting adalah wafat dalam keadaan berada di atasnya”.

Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Pria Yang Bergaya Seperti Wanita

Pria Yang Bergaya Seperti Wanita 

Setelah sebelumnya kita melihat penampilan yang terbaik bagi pria dengan pakaian putihnya, selanjutnya kita akan melihat beberapa penampilan yang terlarang. Yang kita bahas atau kita singgung terlebih dahulu tentang masalah berpakaian. Di antara yang terlarang adalah memakai pakaian yang menjadi ciri khas seperti wanita. Bahkan terlarang pria menyerupai wanita secara umum.

Sebagaimana kita saksikan sendiri sebagian publik figur sering mencontohkan bergaya seperti itu. Ada yang memakai rok dan memakai pakaian wanita lainnya. Begitu pula yang nampak pada para banci/ bencong yang bergaya seperti wanita. Bergaya seperti ini terkena larangan sekaligus laknat sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits berikut ini.

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – الْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ ، وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki” (HR. Bukhari no. 5885).

Dalam lafazh Musnad Imam Ahmad disebutkan,

لَعَنَ اللَّهُ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ ، وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ

Allah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita, begitu pula wanita yang menyerupai laki-laki” (HR. Ahmad no. 3151, 5: 243. Sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari).

Begitu pula dalam hadits Abu Hurairah disebutkan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَعَنَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لُبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لُبْسَةَ الرَّجُلِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita, begitu pula wanita yang memakai pakaian laki-laki” (HR. Ahmad no. 8309, 14: 61. Sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim, perowinya tsiqoh termasuk perowi Bukhari Muslim selain Suhail bin Abi Sholih yang termasuk perowi Muslim saja). Dalam hadits terakhir ini yang dilaknat adalah gaya pakaiannya. Sedangkan hadits di atas adalah mode bergaya secara umum.

Namun manakah yang menjadi gaya dan pakaian wanita, di sini tergantung pada masing-masing daerah. Karena ada yang menjadi gaya wanita di sebagian tempat, namun tidak menjadi masalah bahkan menjadi budaya berpakaian di tempat lainnya.

Semacam di Arab, para pria mengenakan pakaian ‘tsaub’, jubah putih panjang sampai di mata kaki. Layaknya seperti memakai daster di tempat kita, bahkan ditambah lagi mereka memakai penutup kepala (qutroh) seperti kerudung. Namun itu memang pakaian pria mereka. Sehingga adat berpakaian wanita ataukah bukan tergantung pada zaman dan tempat. Yang jelas jika pria memakai rok di tempat kita, sudah dianggap ia bergaya seperti wanita sebagaimana yang kita lihat pada gaya para ‘banci’. Dan inilah yang terkena laknat.

Hanya Allah yang memberi taufik.

Introspeksi Diri

Introspeksi Diri 

Dalam perjalanan hidup di dunia, tentunya seorang muslim tidak akan lepas dari kesalahan dan dosa sebagai akibat hawa nafsu yang diperturutkan. Selain itu, buah pemikiran yang dihasilkan manusia, yang dibangga-banggakan oleh pemiliknya, tidak jarang yang menyelisihi kebenaran, tidak sedikit yang bertentangan dengan ajaran yang ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya. Oleh karenanya, seiring waktu yang diberikan Allah kepada manusia di dunia, sepatutnya dipergunakan untuk mengintrospeksi segala perilaku dan pemikiran yang dia miliki, sehingga mendorongnya untuk mengoreksi diri ke arah yang lebih baik.

Introspeksi, Pintu untuk Mengoreksi Diri

Di dalam kitab Shahih-nya, imam Bukhari membuka salah satu bab kitab ash-Shaum dengan perkataan Abu az-Zinad,

إن السنن ووجوه الحق لتأتي كثيرًا على خلاف الرأي

Sesungguhnya mayoritas sunnah dan kebenaran bertentangan dengan pendapat pribadi” [HR. Bukhari].

Memang benar apa yang dikatakan beliau, betapa seringnya seseorang enggan menerima kebenaran karena bertentangan dengan pendapat dan tendensi pribadi. Bukankah dakwah tauhid yang ditawarkan nabi kepada kaum musyrikin, ditolak karena bertolak belakang dengan keinginan pribadi mereka, terutama tokoh-tokoh terpandang di kalangan kaum musyrikin?

Tidak jarang seseorang tidak mampu selamat dari hawa nafsu dan terbebas dari kekeliruan pendapat karena bersikukuh meyakini sesuatu dan tidak mau menerima koreksi. Hal ini tentu berbeda dengan kasus seorang mujtahid yang keliru dalam berijtihad. Ketika syari’at menerangkan bahwa seorang mujtahid yang keliru memperoleh pahala atas ijtihad yang dilakukannya, hal ini bukan berarti mendukung dirinya untuk menutup mata dari kesalahan ijtihad dan bersikukuh memegang pendapat jika telah nyata akan kekeliruannya. Betapa banyak ahli fikih yang berfatwa kemudian rujuk setelah meneliti ulang fatwanya dan melihat bahwa kebenaran berada pada pendapat pihak lain.

Kita bisa mengambil pelajaran dari penolakan para malaikat terhadap kalangan yang hendak datang ke al-Haudh (telaga rasulullah di hari kiamat). Mereka tidak bisa mendatangi al-Haudh dikarenakan dahulu di dunia, mereka termasuk kalangan yang bersikukuh untuk berpegang pada kekeliruan, kesalahan dan kesesatan, padahal kebenaran telah jelas di hadapan mereka. Hal ini ditunjukkan dalam hadits, ketika para malaikat memberikan alasan kepada nabi,

إِنَّهُمْ قَدْ بَدَّلُوا بَعْدَكَ، وَلَمْ يَزَالُوا يَرْجِعُونَ عَلَى أَعْقَابِهِمْ، فَأَقُولُ: أَلَا سُحْقًا، سُحْقًا

Mereka telah mengganti-ganti (ajaranmu) sepeninggalmu” maka kataku: “Menjauhlah sana… menjauhlah sana (kalau begitu)” [Shahih. HR. Ibnu Majah].

Kita dapat melihat bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan kecelakaan kepada mereka, karena enggan untuk melakukan introspeksi, enggan melakukan koreksi dengan menerima kebenaran yang ada di depan mata. Oleh karenanya, evaluasi diri merupakan perantara untuk muhasabah an-nafs, sedangkan koreksi diri merupakan hasil yang pengaruhnya ditandai dengan sikap rujuk dari kemaksiatan dan kekeliruan dalam suatu pendapat dan perbuatan.

Sarana-sarana untuk Mengevaluasi Diri

Diantara sarana yang dapat membantu seseorang untuk mengevaluasi diri adalah sebagai berikut:

Pertama, tidak menutup diri dari saran pihak lain

Seorang dapat terbantu untuk mengevaluasi diri dengan bermusyawarah bersama rekan dengan niat untuk mencari kebenaran. Imam Bukhari mengeluarkan suatu riwayat yang menceritakan usul Umar kepada Abu Bakr radhiallahu anhuma untuk mengumpulkan al-Quran. Tatkala itu Abu Bakr menolak usul tersebut, namun Umar terus mendesak beliau dan mengatakan bahwa hal itu merupakan kebaikan. Pada akhirnya Abu Bakr pun menerima dan mengatakan,

فَلَمْ يَزَلْ عُمَرُ يُرَاجِعُنِي فِيهِ حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ لِذَلِكَ صَدْرِي، وَرَأَيْتُ الَّذِي رَأَى عُمَرُ

Umar senantiasa membujukku untuk mengevaluasi pendapatku dalam permasalahan itu hingga Allah melapangkan hatiku dan akupun berpendapat sebagaimana pendapat Umar” [HR. Bukhari].

Abu Bakr tidak bersikukuh dengan pendapatnya ketika terdapat usulan yang lebih baik. Dan kedudukan beliau yang lebih tinggi tidaklah menghalangi untuk menerima kebenaran dari pihak yang memiliki pendapat berbeda.

Kedua, bersahabat dengan rekan yang shalih

Salah satu sarana bagi seorang muslim untuk tetap berada di jalan yang benar adalah meminta rekan yang shalih untuk menasehati dan mengingatkan kekeliruan kita, meminta masukannya tentang solusi terbaik bagi suatu permasalahan, khususnya ketika orang lain tidak lagi peduli untuk saling mengingatkan. Bukankah selamanya pendapat dan pemikiran kita tidak lebih benar dan terarah daripada rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, padahal beliau bersabda,

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ، أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ، فَإِذَا نَسِيتُ فَذَكِّرُونِي

Sesungguhnya aku hanyalah manusia seperti kalian. Aku lupa sebagaimana kalian lupa. Oleh karenanya, ingatkanlah aku ketika diriku lupa” [HR. Bukhari].

Ketika budaya saling menasehati dan mengingatkan tertanam dalam perilaku kaum mukminin, maka seakan-akan mereka itu adalah cermin bagi diri kita yang akan mendorong kita berlaku konsisten. Oleh karena itu, dalam menentukan jalan dan pendapat yang tepat, anda harus berteman dengan seorang yang shalih. Anda jangan mengalihkan pandangan kepada maddahin (kalangan penjilat) yang justru tidak akan mengingatkan akan kekeliruan saudaranya.

إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِالْأَمِيرِ خَيْرًا جَعَلَ لَهُ وَزِيرَ صِدْقٍ، إِنْ نَسِيَ ذَكَّرَهُ، وَإِنْ ذَكَرَ أَعَانَهُ

Jika Allah menghendaki kebaikan bagi diri seorang pemimpin/pejabat, maka Allah akan memberinya seorang pendamping/pembantu yang jujur yang akan mengingatkan jika dirinya lalai dan akan membantu jika dirinya ingat” [Shahih. HR. Abu Dawud].

Contoh nyata akan hal ini disebutkan dalam kisah al-Hur bin Qais, orang kepercayaan Umar bin al-Khaththab radhiallahu anhu. Pada saat itu, Umar murka dan hendak memukul Uyainah bin Husn karena bertindak kurang ajar kepada beliau, maka al-Hur berkata kepada Umar,

يَا أَمِيرَ المُؤْمِنِينَ، إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ لِنَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {خُذِ العَفْوَ وَأْمُرْ بِالعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الجَاهِلِينَ} [الأعراف: 199] ، وَإِنَّ هَذَا مِنَ الجَاهِلِينَ، «وَاللَّهِ مَا جَاوَزَهَا عُمَرُ حِينَ تَلاَهَا عَلَيْهِ، وَكَانَ وَقَّافًا عِنْدَ كِتَابِ اللَّهِ»

Wahai amir al-Mukminin, sesungguhnya Allah ta’ala berfirman kepada nabi-Nya, “Berikan maaf, perintahkan yang baik dan berpalinglah dari orang bodoh.” Sesungguhnya orang ini termasuk orang yang bodoh”. Perawi hadits ini mengatakan, “Demi Allah Umar tidak menentang ayat itu saat dibacakan karena ia adalah orang yang senantiasa tunduk terhadap al-Quran.” [HR. Bukhari].

Betapa banyak kezhaliman dapat dihilangkan dan betapa banyak tindakan yang keliru dapat dikoreksi ketika rekan yang shalih menjalankan perannya.

Ketiga, menyendiri untuk melakukan muhasabah

Salah satu bentuk evaluasi diri yang paling berguna adalah menyendiri untuk melakukan muhasabah dan mengoreksi berbagai amalan yang telah dilakukan.

Diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab, beliau mengatakan,

حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَتَزَيَّنُوا لِلْعَرْضِ الأَكْبَرِ

Koreksilah diri kalian sebelum kalian dihisab dan berhiaslah (dengan amal shalih) untuk pagelaran agung (pada hari kiamat kelak)” [HR. Tirmidzi].

Diriwayatkan dari Maimun bin Mihran, beliau berkata,

لَا يَكُونُ العَبْدُ تَقِيًّا حَتَّى يُحَاسِبَ نَفْسَهُ كَمَا يُحَاسِبُ شَرِيكَهُ

Hamba tidak dikatakan bertakwa hingga dia mengoreksi dirinya sebagaimana dia mengoreksi rekannya” [HR. Tirmidzi].

Jika hal ini dilakukan, niscaya orang yang melaksanakannya akan beruntung. Bukanlah sebuah aib untuk rujuk kepada kebenaran, karena musibah sebenarnya adalah ketika terus-menerus melakukan kebatilan.

Faedah Mengintrospeksi Diri  

Mengintrospeksi diri memiliki beberapa faedah, yaitu:

Pertama, musibah terangkat dan hisab diringankan

Pada lanjutan atsar Umar di atas disebutkan bahwa sebab terangkatnya musibah dan diringankannya hisab di hari kiamat adalah ketika seorang senantiasa bermuhasabah. Umar radhiallahu anhu mengatakan,

وَإِنَّمَا يَخِفُّ الحِسَابُ يَوْمَ القِيَامَةِ عَلَى مَنْ حَاسَبَ نَفْسَهُ فِي الدُّنْيَا

Sesungguhnya hisab pada hari kiamat akan menjadi ringan hanya bagi orang yang selalu menghisab dirinya saat hidup di dunia” [HR. Tirmidzi].

Ketika berbagai kerusakan telah merata di seluruh lini kehidupan, maka jalan keluar dari hal tersebut adalah dengan kembali (rujuk) kepada ajaran agama sebagaimana yang disabdakan nabi shallallahu alaihi wa sallam,

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ ، وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ، وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ، سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ

Apabila kamu berjual beli dengan cara inah (riba), mengambil ekor-ekor sapi (berbuat zhalim), ridha dengan pertanian (mementingkan dunia) dan meninggalkan jihad (membela agama), niscaya Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian, Dia tidak akan mencabutnya sampai kalian kembali kepada ajaran agama

Dalam riwayat lain, disebutkan dengan lafadz,

حتى يراجعوا دينهم

Hingga mereka mengoreksi pelaksanaan ajaran agama mereka” [Shahih. HR. Abu Dawud].

Anda dapat memperhatikan bahwa rujuk dengan mengoreksi diri merupakan langkah awal terangkatnya musibah dan kehinaan.

Kedua, hati lapang terhadap kebaikan dan mengutamakan akhirat daripada dunia

Demikian pula, mengoreksi kondisi jiwa dan amal merupakan sebab dilapangkannya hati untuk menerima kebaikan dan mengutamakan kehidupan yang kekal (akhirat) daripada kehidupan yang fana (dunia). Dalam sebuah hadits yang panjang dari Ibnu Mas’ud disebutkan, “Suatu ketika seorang raja yang hidup di masa sebelum kalian berada di kerajaannya dan tengah merenung. Dia menyadari bahwasanya kerajaan yang dimilikinya adalah sesuatu yang tidak kekal dan apa yang ada di dalamnya telah menyibukkan dirinya dari beribadah kepada Allah. Akhirnya, dia pun mengasingkan diri dari kerajaan dan pergi menuju kerajaan lain, dia memperoleh rezeki dari hasil keringat sendiri. Kemudian, raja di negeri tersebut mengetahui perihal dirinya dan kabar akan keshalihannya. Maka, raja itupun pergi menemuinya dan meminta nasehatnya. Sang raja pun berkata kepadanya, “Kebutuhan anda terhadap ibadah yang anda lakukan juga dibutuhkan oleh diriku”. Akhirnya, sang raja turun dari tunggangannya dan mengikatnya, kemudian mengikuti orang tersebut hingga mereka berdua beribadah kepada Allah azza wa jalla bersama-sama” [Hasan. HR. Ahmad].

Perhatikan, kemampuan mereka berdua untuk mengoreksi kekeliruan serta keinginan untuk memperbaiki diri setelah dibutakan oleh kekuasaan, timbul setelah merenungkan dan mengintrospeksi hakikat kondisi mereka.

Ketiga, memperbaiki hubungan diantara sesama manusia

Introspeksi dan koreksi diri merupakan kesempatan untuk memperbaiki keretakan yang terjadi diantara manusia. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ تُفْتَحُ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ، فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا، إِلَّا رَجُلٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ، فَيُقَالُ: أَنْظِرُوهُمَا حَتَّى يَصْطَلِحَا ” مَرَّتَيْنِ

Sesungguhnya pintu-pintu surga dibuka pada hari Senin dan Kamis, di kedua hari tersebut seluruh hamba diampuni kecuali mereka yang memiliki permusuhan dengan saudaranya. Maka dikatakan, “Tangguhkan ampunan bagi kedua orang ini hingga mereka berdamai” [Sanadnya shahih. HR. Ahmad].

Menurut anda, bukankah penangguhan ampunan bagi mereka yang bermusuhan, tidak lain disebabkan karena mereka enggan untuk mengoreksi diri sehingga mendorong mereka untuk berdamai?

Keempat, terbebas dari sifat nifak

Sering mengevaluasi diri untuk kemudian mengoreksi amalan yang telah dilakukan merupakan salah satu sebab yang dapat menjauhkan diri dari sifat munafik. Ibrahim at-Taimy mengatakan,

مَا عَرَضْتُ قَوْلِي عَلَى عَمَلِي إِلَّا خَشِيتُ أَنْ أَكُونَ مُكَذِّبًا

Tidaklah diriku membandingkan antara ucapan dan perbuatanku, melainkan saya khawatir jika ternyata diriku adalah seorang pendusta (ucapannya menyelisihi perbuatannya).

Ibnu Abi Malikah juga berkata,

أَدْرَكْتُ ثَلاَثِينَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ، مَا مِنْهُمْ أَحَدٌ يَقُولُ: إِنَّهُ عَلَى إِيمَانِ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ

Aku menjumpai 30 sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, merasa semua mengkhawatirkan kemunafikan atas diri mereka. Tidak ada satupun dari mereka yang mengatakan bahwa keimanannya seperti keimanan Jibril dan Mikail” [HR. Bukhari].

Ketika mengomentari perkataan Ibnu Abi Malikah, Ibnu Hajar mengutip perkataan Ibnu Baththal yang menyatakan,

إِنَّمَا خَافُوا لِأَنَّهُمْ طَالَتْ أَعْمَارُهُمْ حَتَّى رَأَوْا مِنَ التَّغَيُّرِ مَا لَمْ يَعْهَدُوهُ وَلَمْ يَقْدِرُوا عَلَى إِنْكَارِهِ فَخَافُوا أَنْ يَكُونُوا دَاهَنُوا بِالسُّكُوتِ

“Mereka khawatir karena telah memiliki umur yang panjang hingga mereka melihat berbagai kejadian yang tidak mereka ketahui dan tidak mampu mereka ingkari, sehingga mereka khawatir jika mereka menjadi seorang penjilat dengan sikap diamnya” [Fath al-Baari 1/111].

Kesimpulannya, seorang muslim sepatutnya mengakui bahwa dirinya adalah tempatnya salah dan harus mencamkan bahwa tidak mungkin dia terbebas dari kesalahan. Pengakuan ini mesti ada di dalam dirinya, agar dia dapat mengakui kesalahan-kesalahan yang dilakukannya sehingga pintu untuk mengoreksi diri tidak tertutup bagi dirinya. Allah ta’ala berfirman,

إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم

Allah tidak akan mengubah kondisi suatu kaum sampai mereka mengubahnya sendiri” (Al-Ra`d 11).

Manusia merupakan makhluk yang lemah,  betapa seringnya dia memiliki pendirian dan sikap yang berubah-ubah. Namun, betapa beruntungnya mereka yang dinaungi ajaran agama dengan mengevaluasi diri untuk berbuat yang tepat dan mengoreksi diri sehingga melakukan sesuatu yang diridhai Allah. Sesungguhnya rujuk kepada kebenaran merupakan perilaku orang-orang yang kembali kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya.

Disadur dari artikel al-Muraja’ah wa at-Tashhih.

Larangan Mengolok olok Agama

Larangan Mengolok olok Agama 

Mungkin ada yang tidak sadar, mungkin karena belum tahu, semoga diampuni, yaitu menjadikan agama sebagai bahan candaan dan mengolok-olok agama baik serius maupun bercanda.

Ini sangat penting, sehingga dibahas dalam pelajaran TAUHID. Kalau mengolok-olok agama (istihzaa’) mungkin sedikit, karena sudah tahu, tapi ada saja orangnya, terutama dari kalangan liberal.

Contoh mengolok-olok dalam agama, baik serius maupun sekedar bercanda yang tidak boleh:

“Untuk jenggot sebagai sunnah, dibilang kambing”

“Untuk sunnah cadar, dibilang: ‘awas ninja lewat !“

“Al-Quran juga kitab porno, ada bicada tentang itu”

“Kalau ikut ajaran Islam, maka bisa ketinggal zaman”

Contoh menjadikan agama sebagai bahan candaan:

“Ustadz boleh tidak berbuka dengan air rasa sirup? Boleh saja asalkan jangan berbuka dengan sirup rasa ingin memiliki”

“Zaman pemilu: Tasyahhud itu sah kalau 1 jari, bukan 2 jari (milih nomor 1)”

“Saya bilang lho bahasa Arab, nih saya baca Alfatihah, tuh kan saya bisa bahasa Arab”

Dan contoh yang lainnya, masih banyak bahan candan yang lainnya untuk bercanda yang mubah, sebaiknya jangan pakai agama sebagai bahan candaan, karena ini bisa mengantarkan ke arah mengolok-olok agama.

Kita khawatir akan terjerumus dalam ancaman berikut,

ﻭَﻟَﺌِﻦ ﺳَﺄَﻟْﺘَﻬُﻢْ ﻟَﻴَﻘُﻮﻟُﻦَّ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻛُﻨَّﺎ ﻧَﺨُﻮﺽُ ﻭَﻧَﻠْﻌَﺐُ ۚ ﻗُﻞْ ﺃَﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺁﻳَﺎﺗِﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ ﻛُﻨﺘُﻢْ ﺗَﺴْﺘَﻬْﺰِﺋُﻮﻥَ ﻟَﺎ ﺗَﻌْﺘَﺬِﺭُﻭﺍ ﻗَﺪْ ﻛَﻔَﺮْﺗُﻢ ﺑَﻌْﺪَ ﺇِﻳﻤَﺎﻧِﻜُﻢْ

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya BERSENDA GURAU dan BERMAIN-MAIN saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu BEROLOK-OLOK?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman… [At Taubah : 65-66]

Mari kita beritahu saudara kita yang belum mengetahui dan kita dakwahkah terus TAUHID sebagai prioritas dan terbukti telah membawa kejayaan Islam.

Ajarkan Anak Tentang Sejarah Islam

Ajarkan Anak Tentang Sejarah Islam 

Anak-anak sangat senang dengan cerita dan kisah, apalagi diceritakan oleh orang tuanya. Anak-anak juga butuh sosok teladan dan akan diikutinya, karena anak-anak adalah “mesin fotokopi” yang sangat cepat. Apa yang mereka lihat dan mereka dengar, akan dengan cepat diikuti.

Generasi muda Islam di zaman keemasannya merupakan generasi terbaik yaitu di zaman para salafus shalih. Mereka sangat memperhatikan hal ini pada anak-anak mereka. Mereka mengajarkan dan membacakan sejarah Islam kepada anak-anak mereka. Mereka perkenalkan para pahlawan Islam sebagai sosok yang harus diteladani dan dikagumi.

Karena pentingnya sejarah Islam, sampai-sampai mereka mengajarkan sejarah Islam sebagaimana mereka mengajarkan Al-Quran kepada anak-anak mereka. ‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib (dikenal dengan nama Zainul ‘Abidin) berkata,

كنا نعلم مغازي النبي صلى الله عليه و سلم وسراياه كما نعلم السورة من القرآن

Dulu kami diajarkan tentang (sejarah) peperangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana Al-Qur’an diajarkan kepada kami”[1. Al-Jaami’ li Akhlaaqir Raawi 2/195, Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh, 1430 H, Asy Syamilah].

Sejarah dan kisah masa lalu berbeda dengan beberapa hukum fikih. Sejarah bisa memberikan semangat dan motivasi serta berupa praktek penerapan langsung dari ilmu yang dipelajari. Oleh karena itu, sebagian ulama lebih suka membahas sejarah dan keteladanan para Nabi dan orang shalih. Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata,

الحكايات عن العلماء ومجالستهم أحب إلي من كثير من الفقه؛ لأنها آداب القوم وأخلاقهم

“Kisah-kisah (keteladanan) para ulama dan duduk di majelis mereka lebih aku sukai dari pada kebanyakan (masalah-masalah) fikh, karena kisah-kisah tersebut (berisi) adab dan tingkah laku mereka (untuk diteladani)” [2. Jaami’u bayaanil ‘ilmi wa fadhlihi,  I/509 no.819, Darul Ibnu Jauzi, cet.I, 1414 H, Asy Syamilah].

Bahkan sepertiga isi Al-Quran berisi mengenai sejarah dan kisah-kisah umat di masa lalu, agar kita bisa mengambil pelajaran dan menjadikan teladan dari kisah para nabi dan orang shalih.

Allah Ta’ala berfirman,

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُون

Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka (para Nabi ‘alaihis salamdan umat mereka) itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal (sehat). Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, serta sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Yusuf: 111).

Semoga kita selalu bersemangat mengajarkan sejarah Islam pada anak-anak dan generasi muda kita. Belikan mereka buku sejarah Nabi dan orang shalih sejak usia dini serta dibacakan dan dijelaskan kepada anak-anak. Kenalkan kepada mereka para pemuda Islam sehingga mereka akan jadikan teladan dan contoh.

***

Masing masing Ada Ujian Dan Anugerahnya

Masing masing Ada Ujian Dan Anugerahnya 

Terkadang kita melihat orang lain
Lebih enak hidupnya

Padahal bisa jadi lebih sulit 

Hanya saja mereka

TIDAK MENGELUH
Ada yang mendapatkan anugrah

Mudah jodoh dan anak

Tetapi kesulitan dalam rezeki
Ada yang mudah  jodoh dan anak

Tetapi suaminya tidak bertanggung jawab
Ada yang suaminya sangat baik dan bertanggung jawab

Tetapi mendapatkan mertua yang …
Ada yang suami dan mertua sangat baik

Tetapi tidak kunjung mendapatkan buat hati
Begitulah seterusnya rantai kehidupan dunia

Yang tidak pernah sempurna

Kebahagiaan abadi dan sempurna

Hanya di surga
Masing-masing ada ujian dan fitnahnya

Firnah berupa nikmat atau keburukan

Karena nikmat juga bisa menjadi fitnah/ujian
Allah berfirman,
ﻭَﻧَﺒْﻠُﻮﻛُﻢْ ﺑِﺎﻟﺸَّﺮِّ ﻭَﺍﻟْﺨَﻴْﺮِ ﻓِﺘْﻨَﺔ
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya).” (Al-Anbiya: 35)
Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,
ﻣﺼﻴﺒﺔ ﺗﻘﺒﻞ ﺑﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺧﻴﺮ ﻟﻚ ﻣﻦ ﻧﻌﻤﺔ ﺗﻨﺴﻴﻚ ﺫﻛﺮ ﺍﻟﻠﻪ 
“Musibah yang mendekatkan-mu kepada Allah lebih baik dari nikmat yang membuat-mu lupa kepada Allah”. (Tasliyah Ahlil mashaa-ib hal. 227)
Jika ada ujian

Nikmati saja dan jalani dengan sabar

Ujian tanda cinta Allah

Menaikkan derajat dan menghapuskan dosa
Saudaraku,

Jika ada dua jalan

Yang satu luas, mulus dan lurus

Yang satu terkadang berbatu dan sedikit berlubang

Manakah yang sering terjadi kecelakaan?
Itulah ujian dan musibah

“Jeweran cinta” dari pencipta.