Jangan Ada Handphone Di antara Kita Malam Ini

Jangan Ada Handphone Di antara Kita Malam Ini 

Mungkin pernyataan antar suami-istri ini tepat:

“Jangan ada Handphone di antara kita malam ini”

Artinya pada waktu malam menjelang tidur, di mana anak-anak sudah mulai tidur. Suami-istri hanya sibuk dengan handphone masing-masing, karena memang berselancar dunia maya sangat mangasyikkan, belum lagi berbagai macam media sosial. Sehingga tepatlah jika di katakan:

“Yang dekat jadi jauh, yang jauh jadi dekat”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa bercengkrama bersama istrinya sebelum tidur. Saling berbagi, saling curhat dan mencari solusi bersama permasalahan rumah tangga. Mengenai pendidikan akan urusan dengan keluarga dan tetangga atau sekedar bercanda yang di mana canda suami istri adalah berpahala, sedangkan bercanda kebanyakan melalaikan, tetapi bercanda dengan istri justru berpahala.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda

كُلُّ شَيْئٍ يَلْهُو بِهِ ابْن آدَمَ فَهُوَ بَاطِلٌ إِلاَّ ثَلاَثًا رَمْيُهُ عَىْ قَوْسِهِ وَ تَأْدِيْبُهُ فَرْسَهُ و  مُلاَعَبَتُهُ أَهْلَهُ فَإِنَّهُنَّ مِنَ الْحَقِّ

 ”Segala sesuatu yang dijadikan permainan oleh anak Adam adalah bathil, kecuali tiga perkara, melepaskan panah dari busurnya, latihan berkuda, dan senda gurau (mula’abah) bersama keluarganya, karena itu adalah hak bagi mereka.”[1]

Al-Khattabi rahimahullah berkata,

قَال الْخَطَّابِيُّ : فِي هَذَا بَيَانُ أَنَّ جَمِيعَ أَنْوَاعِ اللَّهْوِ مَحْظُورَةٌ ، وَإِنَّمَا اسْتَثْنَى رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Pada hadits ini terdapat penjelasan bahwa semua jenis permainan yang bisa melalaikan adalah terlarang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengecualikannya (pada hadits)”[2]

Contoh dari tauladan kita

Kami sebutkan salah satu contoh saja dari sekian banyak contoh kebiasaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu kisah abu dan ummu Zar’ merupakan kisah yang panjang nan romantis diceritakan oleh ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengarkan dengan seksama cerita yang cukup panjang dari ‘Aisyah dan memberikan beberapa komentar mengenai kehangatan dan romantisme kisah mereka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Aisyah,

كُنْتُ لَكِ كَأَبِي زَرْعٍ لِأُمِّ زَرْعٍ إِلاَّ أَنَّ أَبَا زَرْعٍ طَلَّقَ وَأَنَا لاَ أُطَلِّقُ

“Aku bagimu seperti Abu Zar’ seperti Ummu Zar’ hanya saja Abu Zar’ mencerai dan aku tidak mencerai”[3]

kemudian Aisyah radhiallahu ‘anha membalas dengan romantis lagi,

يَا رَسُوْلَ اللهِ بَلْ أَنْتَ خَيْرٌ إِلَيَّ مِنْ أَبِي زَرْعٍ

“Wahai Rasulullah, bahkan engkau lebih baik kepadaku dari pada Abu Zar’”[4]

Demikian semoga bermanfaat.

[1] HR. Ath-Thabrani dalam Al-Kabir , Silsilah As-Shahihah no. 309

[2] Sumber: http://islamqa.info/ar/152936

[3] HR At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir XXIII/173 no 270

[4] HR An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubro V/358 no 9139

Kesuksesan Setan Adalah Berhasil Menceraikan Suami Istri

Kesuksesan Setan Adalah Berhasil Menceraikan Suami Istri 

Terdapat hadits bahwa Iblis memuji setan yang berhasil menceraikan suami-istri, sedangkan setan lainya telah melakukan sesuatu tetapi Iblis  tidak mengapresiasi hasilnya.

Dari Jabir radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ إِبْلِيْسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً يَجِيْءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُوْلُ فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا فَيَقُوْلُ مَا صَنَعْتَ شَيْئًا قَالَ ثُمَّ يَجِيْءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُوْلُ مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ قَالَ فَيُدْنِيْهِ مِنْهُ وَيَقُوْلُ نِعْمَ أَنْتَ

“Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air (laut) kemudian ia mengutus bala tentaranya. Maka yang paling dekat dengannya adalah yang paling besar fitnahnya. Datanglah salah seorang dari bala tentaranya dan berkata, “Aku telah melakukan begini dan begitu”. Iblis berkata, “Engkau sama sekali tidak melakukan sesuatupun”. Kemudian datang yang lain lagi dan berkata, “Aku tidak meninggalkannya (
untuk digoda) hingga aku berhasil memisahkan antara dia dan istrinya. Maka Iblis pun mendekatinya dan berkata, “Sungguh hebat (setan) seperti engkau” (HR Muslim IV/2167 no 2813)

Jadi perceraian sangat disukai oleh Iblis dan hukum asal perceraian adalah dibenci, karenanya ulama menjelaskan hadits peringatan akan perceraian

Al-Munawi menjelaskan mengenai hadits ini,

إن هذا تهويل عظيم في ذم التفريق حيث كان أعظم مقاصد اللعين لما فيه من انقطاع النسل وانصرام بني آدم وتوقع وقوع الزنا الذي هو أعظم الكبائر

“Hadits ini menunjukan peringatan yang sangat menakutkan tentang celaan terhadap perceraian. Hal ini merupakan tujuan terbesar (Iblis) yang terlaknat karena perceraian mengakibatkan terputusnya keturunan. Bersendiriannya (tidak ada pasangan suami/istri) anak keturunan Nabi Adam akan menjerumuskan mereka ke perbuatan zina yang termasuk dosa-dosa besar yang paling besar menimbulkan kerusakan dan yang paling menyulitkan” [Faidhul Qadiir II/408]

Kerugian akibat perceraian lainnya:[1] Rumah tangga adalah miniatur masyarakat dan bangasa, jika rumah tangga tidak harmonis maka akan berpengaruh juga ke kehidupan masyarakat[2] Anak-anak akan menjadi korban, sering melihat pertengkaran di rumah tangga, kurang perhatian dan pendidikannya. Bisa jadi anak tersebut menjadi nakal dan inilah tujuan besar setan

Beberapa cara agar rumah tangga harmonis dan semoga dijauhkan sejauh-jauhnya dari perceraian:[1] Sering-sering mengingat kebaikan pasangan dan melupakan serta buang jauh-jauh ingatan kekurangan pasangan, ini lebih baik daripada saling memikirkan kekurangan. Pasangan hidup adalah cerminan kita karena janji Allah yang baik akan mendapat yang baik-baik juga dan sebaliknya.[2] Sama-sama mengenang kembali masa-masa indah di awal pernikahan, mengapa anda memilihnya dan ingat kembali kebaikan-kebaikan pasangan yang telah dijalani. Jika anda memilih bukan karena agama dan akhlaknya, masih ada waktu untuk bertaubat dan segera saling memperbaiki[3] Saling menenangkan jika salah satu ada yang marah duluan, salah satu berusaha bersabar dan menenagkan dahulu karena emosi itu umumnya sesaat saja.

Abu Darda’ berkata kepada istrinya Ummu Darda’.

إذا غضبت أرضيتك وإذا غضبت فارضيني فإنك إن لم تفعلي ذلك فما أسرع ما نفترق ثم قال إبراهيم لبقية يا أخي وكان يؤاخيه هكذا الإخوان إن لم يكونوا كذا ما أسرع ما يفترقون

“Jika kamu sedang marah, maka aku akan membuatmu jadi ridha dan Apabila aku sedang marah, maka buatlah aku ridha dan. Jika tidak maka kita tidak akan menyatu. Kemudian Ibrahim berkata kepada Baqiyah “Wahai saudaraku, begitulah seharusnya orang-orang yang saling bersaudara itu dalam melakukan persaudaraannya, kalau tidak begitu, maka mereka akan segera berpisah”. (Tarikh Damasyqus 70/151)[4] Bangun komunikasi yang baik, kebanyakan cerai karena tidak ada komunikasi yang baik. Sehingga jika ada sesuatu yang tidak mengena di hati, ia akan pendam, kemudian ia akan balas perbuatan tersebut pada pasangannya. Pada dasarnya kecintaan suami-istri itu sangat besar sekali, komunikasi yang tidak baik membuatnya terkikis secara perlahan-lahan. sebagaimana firman Allah,

وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً

“Dan Allah menjadikan di antara kalian rasa cinta dan kasih sayang” (Ar-Ruum: 21)[5] Jika memang sulit melakukan komunikasi dan saling berbaikan, maka komunikasi bisa melalui pihak ketiga (misalnya dari keluarga) yang disegani oleh kedua suami-istri sebagai penengah. Inilah petunjuk dalam Al-Quran.

وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (An-Nisa: 35)[6] Penekanan khusus bagi suami, anda adalah pemimpin rumah tangga. Laki-laki dikaruniai kelebihan atas wanita yaitu lebih tenang dan lebih bijak menghadapi sesuatu. Suami harus yang lebih tenang dalam menghadapi problematika rumah tangga. Suami lebih sering memaklumi wanita yang “bengkok” dan sering-sering memperbaiki dan menasehati, seringnya wanita hanya emosi sesaat dan mengeluarkan kata-kata yang menyakiti suami, tetapi ketahuilah bahwa wanita itu sangat cinta suaminya, maka pelukan kepada istri sambil terus mendengarkan dan menenangkan adalah solusinya

Perhatikan juga para suami, Jika ada sesuatu yang tidak beres pada istri dan anak-anak bisa jadi akibat maksiat suami, maka intropeksi diri dan perbanyak istigfar

Sebagian ulama berkata,

إن عصيت الله رأيت ذلك في خلق زوجتي و أهلي و دابتي

“Sungguh, ketika bermaksiat kepada Allah, aku mengetahui dampak buruknya ada pada perilaku istriku, keluargaku dan hewan tungganganku.”

Demikian semoga bermanfaat.

Asal Usul Gelar 'Haji' Dan Hukum Memakainya

Asal Usul Gelar 'Haji' Dan Hukum Memakainya 

Bagi penduduk Indonesia, ibadah haji merupakan ibadah yang sangat mulia dan begitu sakral. Mengapa tidak, untuk berangkat menunaikan rukun Islam kelima ini seseorang harus merogoh kocek yang cukup besar, sehingga tidak semua orang bisa menjalankannya. Menariknya, umat muslim Indonesia yang baru saja pulang dari tanah suci untuk berhaji akan mendapatkan gelar “Haji” laki-laki dan “Hajjah” bagi perempuan di depan namanya.

Faktanya, gelar ini hanya dikenal ramai digunakan di Indonesia saja, negara lain tidak. Lebih jauh, jika kita menelusuri dari perspektif sejarah, pemberian gelar ini awal kali dikenal di era kolonial Belanda di awal tahun 1900-an. Kaum muslimin yang pulang dari tanah suci adalah orang-orang yang diwaspadai oleh pihak Belanda bisa memberontak terhadap mereka.

Dahulu orang berhaji tidak hanya sebulan, tetapi bisa berbulan-bulan, hal ini biasanya menjadi momentum untuk bertukar pikiran, wawasan, dan paham dengan berbagai kaum muslimin dari seluruh dunia. Saat itu di antara semangat yang tersebar di seluruh dunia Islam adalah semangat untuk terbebas dari kungkungan penjajah dan imperialisme bangsa barat. Atas dasar hal tersebut, pemerintah kolonial Belanda sejak tahun 1916 mulai menyematkan gelar Haji kepada mereka yang pulang dari tanah suci, dalam rangka untuk pencatatan agar mudah diawasi gerakannya.

Dari perspektif syariat, memakai gelar seperti ini tidak sepenuhnya terlarang karena termasuk dalam bagian urf (tradisi) sehingga bisa berbeda-beda tergantung latar belakang masyarakat. Hanya saja pemakaian gelar ini untuk diperkenalkan ke masyarakat perlu berhati-hati, karena dikhawatirkan bisa menodai keikhlasannya dan demi menjaga hatinya dari kesombongan. Terlebih ada sebagian fenomena lucu, ada orang yang tidak mau noleh jika tidak dipanggil Pak Haji atau Bu Hajjah.

Akan sangat disayangkan jika ibadah yang begitu sakral ini, rela antri bertahun-tahun, menabung sekian tahun, tetapi tak diterima oleh Allah karena riya’ atau ujub. Allah Ta’ala berfirman dalam hadits qudsi,

أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ ، مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيْهِ مَعِيْ غَيْرِيْ ، تَرَكْتُهُ وَ شِرْكَهُ

“Aku adalah sekutu yang Maha Cukup, sangat menolak perbuatan syirik. Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang dicampuri dengan perbuatan syirik kepadaKu, maka Aku tinggalkan dia dan (Aku tidak terima) amal kesyirikannya.” (HR Muslim, no. 2985)

Oleh karena itu, kami menyarankan lebih baik meninggalkan penyematan gelar semacam ini. Selain menjaga keikhlasan, hal ini juga belum pernah dikenal di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga di zaman generasi terbaik setelahnya. Lajnah Daimah pernah mengeluarkan fatwa yang berbunyi,

أما مناداة من حج بـ: (الحاج) فالأولى تركها؛ لأن أداء الواجبات الشرعية لا يمنح أسماء وألقابا، بل ثوابا من الله تعالى لمن تقبل منه، ويجب على المسلم ألا تتعلق نفسه بمثل هذه الأشياء، لتكون نيته خالصة لوجه الله تعالى

Panggilan “Haji” bagi yang sudah berhaji sebaiknya ditinggalkan, karena melaksanakan kewajiban syariat, tidak perlu mendapatkan gelar. Namun cukuplah pahala dari Allah bagi mereka yang amalnya diterima. Wajib bagi setiap muslim untuk mengkondisikan jiwanya agar tidak bergantung dengan hal semacam ini, agar niatnya ikhlas untuk Allah. (Fatwa Lajnah Daimah, 26/384)

Akan tetapi, boleh jadi dalam sebagian kondisi penyematan gelar ini mengundang maslahat yang lebih besar, seperti perkataan seorang Dai/Ustadz menjadi lebih didengarkan karena gelar Haji pada namanya. Dalam hal semacam ini hukumnya longgar, dengan tetap berupaya untuk menjaga keikhlasan dalam hatinya.

Hidup Indah Tanpa Kepo

Hidup Indah Tanpa Kepo

Di antara nasihat-nasihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang singkat, padat, namun penuh makna (jawami’ al-kalim) adalah,

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

“Di antara keindahan Islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang bukan urusannya (tidak bermanfaat baginya).” (HR. Tirmidzi no. 2317, Ibnu Majah no. 3976. Dinilai sahih oleh Syekh Al-Albani)

Ini adalah nasihat yang sangat indah, yang sangat kita perlukan pada zaman ini. Di antara keelokan dan keindahan Islam seseorang adalah ketika dia meninggalkan perkara-perkara yang bukan urusannya. Sehingga siapa saja yang ingin agar Islamnya menjadi semakin indah, imannya menjadi semakin meningkat, agamanya menjadi sempurna, hendaknya dia meninggalkan perkara-perkara yang bukan urusannya. Hendaknya dia fokus pada perkara-perkara yang menjadi urusannya dan bermanfaat baginya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ

“Bersemangatlah untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat untuk kalian, mintalah pertolongan kepada Allah, dan janganlah engkau bersikap malas (untuk mengejar perkara yang bermanfaat tersebut).” (HR. Muslim no. 2664)

Orang yang fokus pada perkara yang memang menjadi urusannya, perkara yang memang bermanfaat untuknya, maka dia akan meraih berbagai kebaikan, baik kebaikan di dunia maupun kebaikan di akhirat. Inilah kunci kesuksesan orang-orang yang di zaman ini, yaitu dia serius dan fokus pada urusan-urusannya. Adapun orang-orang yang tertinggal, mereka biasanya lebih menyibukkan diri pada perkara yang bukan menjadi urusannya.

Pada zaman ini, di zaman informasi yang tidak ada batasnya, banyak perkara yang menjadikan kita terjebak pada perkara-perkara yang bukan menjadi urusan kita, terutama media sosial. Disertai dengan sifat manusia yang kepo dan ingin tahu, maka dia pun terjebak pada perkara yang bukan urusannya. Dia mengomentari perkara yang bukan urusannya. Dia pun melihat yang bukan urusannya. Hendaknya dia meninggalkan segala perkataan dan komentar yang bukan urusannya dan tidak bermanfaat.

Waspadalah terhadap masalah perkataan (komentar)

Di antara perkara yang hendaknya diperhatikan adalah masalah komentar (perkataan). Tidak sembarang ucapan dia katakan, tidak sembarang berkomentar, tidak sembarang mengutip (menukil) perkataan orang lain. Allah Ta’ala berfirman,

لاَّ خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِّن نَّجْوَاهُمْ إِلاَّ مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاَحٍ بَيْنَ النَّاسِ

Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia.” (QS. An-Nisa’: 114)

Kata Allah, kebanyakan pembicaraan manusia itu tidak ada manfaatnya. Kecuali orang yang memerintahkan untuk sedekah, atau menyuruh kepada kebaikan, atau untuk mendamaikan manusia. Allah Ta’ala juga menyebutkan ciri-ciri penghuni surga Firdaus,

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna (sia-sia). (QS. Al-Mu’minun: 1-3)

Selain itu, di antara ciri-ciri ibadurrahman (hamba Allah yang beriman) adalah,

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaidah (sia-sia), mereka berlalu (begitu saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqan: 72)

Mereka tidak nongkrong untuk mendengarkan perkataan yang sia-sia, tidak ikut nimbrung dalam perkataan yang sia-sia, namun mereka pergi berlalu dan tidak ikut-ikutan. Maka, betapa banyak di antara kita di zaman ini yang terjebak dalam pembicaraan-pembicaraan yang sia-sia. Kita ikut-ikutan bicara dan komentar, ikut-ikutan menulis status di media sosial, ikut-ikutan mendengarkan pembicaraan orang lain, ikut masuk dalam perdebatan orang lain, sehingga tidak terasa waktu kita terbuang-buang gara-gara pembicaraan yang tidak bermanfaat. Hendaknya kita hati-hati dan waspada, jangan sampai waktu dan umur kita habis, terbuang sia-sia karena omongan-omongan yang tidak bermanfaat.

Di antara perkara berikutnya yang bisa membuat orang terjebak pada perkara yang tidak bermanfaat adalah sikap kepo kita terhadap orang lain. Kita ingin tahu, apa yang dikerjakan oleh si fulan, padahal untuk apa kita tahu apa yang dikerjakan oleh si fulan? Kita sibuk masuk dalam sengketa dan caci maki orang lain, padahal tidak ada urusannya dengan kita. Namun, kita selalu kepo dan ingin tahu. Apa yang dikerjakan oleh artis fulan, apa yang dikerjakan oleh politikus fulan, kemanakah pemain bola fulan setelah habis kontraknya, dia ditransfer ke klub mana, dan demikian seterusnya dia ikuti tanpa henti. Lalu waktu dia pun habis. Terus saja kita ikuti, padahal tidak ada faidahnya untuk kita, tidak ada manfaatnya pula untuk orang lain. Hatinya menjadi tidak bahagia, dia sibuk membantah netizen, debat di media sosial, lalu hatinya pun dongkol, dipenuhi hasad dan kemarahan.

Kita terus ikuti berita perceraian artis fulan, padahal tidak ada sangkut pautnya dengan kita. Akhirnya kita pun mendengar ghibah, aib orang lain, lalu kita sebarkan lagi aib tersebut. Kita mendengar tuduhan, kita menganalisa peristiwa, padahal sumber informasi yang kita terima itu belum tentu benar. Seandainya waktu tersebut kita pakai untuk membaca Al-Quran, belajar ilmu agama, mendengarkan pengajian, sungguh betapa bermanfaatnya waktu tersebut.

Demikian, semoga bermanfaat untuk kita semuanya.

***

Keutamaan Membaca Al Quran Dengan Suara Lirih

Keutamaan Membaca Al Quran Dengan Suara Lirih 

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :

الجاهر بالقرآن كالجاهر بالصدقة ، والمسر بالقرآن كالمسر بالصدقة

“Orang yang membaca Al-Qur’an dengan suara keras, seperti halnya orang yang menampakkan sedekah. Orang yang membaca Al-Qur’an dengan suara pelan, seperti halnya orang yang menyembunyikan sedekah.” (HR. Abu Daud, At Tirmidzi dan An Nasai, dalam Shahih Shahihul Jami’, 3105)

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah berkata :

وهذا يدل على أن السر أفضل كما أن الصدقة في السر أفضل، إلا إذا دعت الحاجة والمصلحة إلى الجهر.

“Ini menunjukkan bahwa membaca dengan pelan lebih afdal, sebagaimana sedekah dengan sembunyi-sembunyi lebih baik. Kecuali, jika ada kebutuhan dan maslahat untuk membaca dengan keras.” (Fatawa Islamiyah 4/40).

Para Istri Hendaknya Mencari Ridho Suami

Para Istri Hendaknya Mencari Ridho Suami 

Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:

أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِنِسَائِكُمْ فِي الْجَنَّةِ؟قُلْنَا بَلَى يَا رَسُوْلَ الله كُلُّ وَدُوْدٍ وَلُوْدٍ، إِذَا غَضِبَتْ أَوْ أُسِيْءَ إِلَيْهَا أَوْ غَضِبَ زَوْجُهَا، قَالَتْ: هَذِهِ يَدِيْ فِي يَدِكَ، لاَ أَكْتَحِلُ بِغَمْضٍ حَتَّى تَرْضَى

“Maukah kalian aku beritahu tentang istri-istri kalian di dalam surga?” Mereka menjawab: “Tentu saja wahai Rasulullaah!” Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Wanita yang penyayang lagi subur. Apabila ia marah, atau diperlakukan buruk atau suaminya marah kepadanya, ia berkata: “Ini tanganku di atas tanganmu, mataku tidak akan bisa terpejam hingga engkau ridha.” (HR. Ath Thabarani dalam Al Ausath dan Ash Shaghir. Lihat Ash Shahihah hadits no. 3380)

Istri yang menginginkan hidup penuh dengan kebahagiaan bersama suaminya adalah istri yang tidak mudah marah. Dan niscaya dia pun akan meredam kemarahan dirinya dan kemarahan suaminya dengan cinta dan kasih sayang demi menggapai kebahagiaan surga. Ia tahu bahwa kemuliaan dan posisi seorang istri akan semakin mulia dengan ridha suami. Dan ketika sang istri tahu bahwa ridha suami adalah salah satu sebab untuk masuk ke dalam surga, niscaya dia akan berusaha menggapai ridha suaminya tersebut. Allah Subhaanahu wa Ta’alaa berfirman ketika menjelaskan cirri-ciri orang yang bertaqwa, satu di antaranya adalah orang yang pemaaf ;

 وَالۡكٰظِمِيۡنَ الۡغَيۡظَ وَالۡعَافِيۡنَ عَنِ النَّاسِ​ؕ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الۡمُحۡسِنِيۡنَ​ۚ‏

“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. (QS. Ali-Imran: 134)

Wahai para istri shalihah, jadikan baktimu kepada suamimu berbalas ridha Allah. Lakukanlah baktimu dengan niat ikhlas karena Allah, berusahalah dengan sungguh-sungguh dan lakukan dengan cara yang baik. Lakukanlah untuk mendapatkan ridha suamimu, maka Allah pun akan ridha terhadapmu.. Insyaallah.

Sebaliknya, apabila suami tidak ridha, Allah pun tidak memberikan keridhaan-Nya. Parahnya lagi, para malaikat pun akan melaknat istri yang durhaka. Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak (enggan terhadapnya), maka penghuni langit murka kepadanya hingga suaminya ridha kepadanya.” (HR. Bukhari no. 5194 dan Muslim no.1436)

Bahkan, apabila suami murka bisa mengakibatkan tertolaknya shalat yang dilakukan oleh sang istri. Wal iyyadzubillaah. Sebagaimana sabda Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada hadits riwayat Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhumaa,

ثَلَاثَةٌ لَا تَرْتَفِعُ صَلَاتُهُمْ فَوْقَ رُءُوسِهِمْ شِبْرًا رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ وَأَخَوَانِ مُتَصَارِمَانِ

“Ada tiga kelompok yang shalatnya tidak terangkat walau hanya sejengkal di atas kepalanya (tidak diterima oleh Allah). Orang yang mengimami sebuah kaum tetapi kaum itu membencinya, istri yang tidur sementara suaminya sedang marah kepadanya, dan dua saudara yang saling mendiamkan (memutuskan hubungan).” (HR. Ibnu Majah I/311 no. 971 dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Misyakatul Mashabih no. 1128)

Gapailah ridha Allah melalui ketaatan terhadap suami

Marilah kita berusaha mendapatkan ridha Allah. Karena mendapatkan ridha Allah merupakan tujuan utama dari kehidupan seorang muslim. Dan kehidupan berumah tangga merupakan bagian darinya, dan satu diantara yang akan mendatangkan keridhaan Allah adalah proses ketaatan istri terhadap suaminya. Sebuah tujuan yang lebih agung daripada berbagai kenikmatan apapun. Sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta’alaa,

وَرِضۡوَانٌ مِّنَ اللّٰهِ اَكۡبَرُ​ ؕ ذٰ لِكَ هُوَ الۡفَوۡزُ الۡعَظِيۡمُ

“Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar”. (QS. At-Taubah: 72)

Diutamakannya ridha Allah atas nikmat yang lain menunjukkan bahwa sekecil apapun yang akan membuahkan  ridha Allah, itu lebih baik daripada semua jenis kenikmatan. Seorang istri hendaknya menjadikan ridha Allah sebagai tujuan utama. Harapan untuk meraih ridha Allah inilah yang seharusnya dijadikan motivasi bagi istri untuk senantiasa melaksanakan ketaatan kepada sang suami. Jika Allah sudah memberikan ridha-Nya, adakah hal lain yang lebih baik untuk diharapkan?

Tapi ingatlah saudariku, bahwasanya ketaatan terhadap suami bukanlah sesuatu yang mutlak, tidak boleh taat kepadanya dalam hal kemaksiatan. Tidak ada alasan ketaatan untuk kemaksiatan.

لاَ طَاعَةَ لِـمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْـخَالِقِ

Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq” (Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 179)

Walaupun keluarga dalam masalah, seperti himpitan ekonomi, hutang yang kelewat besar atau persoalan kehidupan lainnya, seorang istri tetap tidak dibenarkan menuruti perintah suaminya yang melanggar kaidah syar’i. Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

“Tidak ada kewajiban taat jika diperintahkan untuk durhaka kepada Allah. Kewajiban taat hanya ada dalam kebajikan.” (HR Ahmad no 724. Syeikh Syuaib Al Arnauth mengatakan, “Sanadnya shahih menurut kriteria Bukhari dan Muslim”)

Dan ketahuilah duhai para istri shalihah, bahwasanya ridha suami berlaku pula untuk amalan sunnah yang hendak dikerjakan oleh sang istri, seperti berpuasa atau menerima tamu. Dalam hal ini, istri juga wajib mendapat ridha suami melalui izinnya. Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kepada kita,

لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، وَلاَ تَأْذَنَ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

“Tidak halal bagi seorang isteri untuk berpuasa (sunnah), sedangkan suaminya ada kecuali dengan izinnya. Dan tidak halal memberi izin (kepada orang lain untuk masuk) ke rumahnya kecuali dengan seizin suaminya.” (HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)

Memang benar adanya bahwa kehidupan yang telah dan sedang kita jalani telah memberikan banyak pengalaman berupa tantangan dan kesulitan dalam kehidupan suami istri. Hadapilah kesulitan-kesulitan tersebut dengan kesabaran dan ketabahan. Perhatikanlah apa yang dikatakan Abu Darda’ kepada istrinya,

Disebutkan dalam Tariqh Damasyqus (70/151) dari Baqiyah bin Al-Walid bahwa Ibrahim bin Adham berkata, Abu Darda’ berkata kepada istrinya Ummu Darda’.

إذا غضبت أرضيتك وإذا غضبت فارضيني فإنك إن لم تفعلي ذلك فما أسرع ما نفترق ثم قال إبراهيم لبقية يا أخي وكان يؤاخيه هكذا الإخوان إن لم يكونوا كذا ما أسرع ما يفترقون

“Jika kamu sedang marah, maka aku akan membuatmu jadi ridha dan Apabila aku sedang marah, maka buatlah aku ridha dan. Jika tidak maka kita tidak akan menyatu. Kemudian Ibrahim berkata kepada Baqiyah “Wahai saudaraku, begitulah seharusnya orang-orang yang saling bersaudara itu dalam melakukan persaudaraannya, kalau tidak begitu, maka mereka akan segera berpisah”.

Suamimu bukanlah malaikat

Sadarilah pula wahai para istri yang shalihah.. bahwa suami kita bukanlah malaikat, dan tidak akan pernah berubah menjadi malaikat. Kalau kita menyadari akan hal ini, persiapkanlah diri kita untuk menerima kesalahan dan kekeliruan suami kita, serta berusaha untuk tidak mempermasalahkannya. Karena berbuat salah sudah menjadi tabiat manusia. Kita bisa mengambil sikap bijak untuk menanggulangi kesalahan-kesalahan tersebut. Bukan dengan mengikuti kesalahan-kesalahan suami, tetapi bisa melalui dua hal.

Pertama, Menasehati suami dengan cara yang baik apabila terbukti jelas ia berbuat kesalahan dalam kehidupan rumah tangga.

Kedua, tidak mencela dan mencemoohnya bila ia berulang kali melakukan kesalahan yang sulit dihindari tabiatnya, dan ini pasti ada dalam kehidupan berumah tangga, akan tetapi bantulah dia untuk memperaiki diri dan meninggalkan kesalahan tersebut. Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman,

وَعَاشِرُوۡهُنَّ بِالۡمَعۡرُوۡفِ​ ۚ فَاِنۡ كَرِهۡتُمُوۡهُنَّ فَعَسٰۤى اَنۡ تَكۡرَهُوۡا شَيۡــًٔـا وَّيَجۡعَلَ اللّٰهُ فِيۡهِ خَيۡرًا كَثِيۡرًا‏

“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisaa’: 19)

Bersyukurlah akan anugerah dari Allah kepada kita berupa sang suami

Duhai para istri..

Marilah kita sadari bahwasanya suami yang Allah anugerahkan kepada kita adalah sebuah nikmat yang besar. Perhatikanlah di sekeliling kita! Betapa banyak para wanita yang mendambakan kehadiran seorang suami, tapi belum juga mendapatkannya. Dan betapa banyak pula wanita-wanita yang terpisah jauh dari suaminya, bahkan betapa banyak pula wanita-wanita yang kehilangan suaminya. Bersyukurlah duhai para istri shalihah. Janganlah sampai kita tergolong ke dalam firman Allah berikut ini.

وَقَلِيۡلٌ مِّنۡ عِبَادِىَ الشَّكُوۡرُ‏

“Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang bersyukur (berterima kasih)”. (QS. Saba’:13)

Perhatikan hak-hak suami dan peranan masing-masing istri dan suami

Dan ingatlah pula bahwasanya suami adalah nahkoda bagi rumah tangga kita. Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa berfirman,

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوۡنَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعۡضَهُمۡ عَلٰى بَعۡضٍ وَّبِمَاۤ اَنۡفَقُوۡا مِنۡ اَمۡوَالِهِمۡ​

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. (QS. An-Nisaa’ 34)

Ya, suami adalah pemimpin rumah tangga kita. Maka dari itu, kita (suami dan istri) harus saling memahami peran masing-masing di dalam rumah tangga. Taatilah suami kita dengan baik selama bukan ketaatan dalam perbuatan maksiat. Karena taat kepada suami merupakan salah satu kewajiban kita sebagai istri. Dengan begitu, kita bisa merebut hati suami kita dan kita pun akan mendapatkan ganjaran dari Allah berupa surganya yang indah. Perhatikanlah hadits berikut ini,

إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِى الْجَنَّةَ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ

“Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah ke dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad 1: 191 dan Ibnu Hibban 9: 471. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dan jagalah hak-hak suami kita. Sadarilah besarnya hak suami atas diri kita. Ingatlah, sejak kita menikah, maka sang suamilah yang paling berhak atas diri kita. Sampai-sampai Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ المَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا

“Seandainya aku boleh menyuruh seseorang sujud kepada orang lain, maka aku akan menyuruh seorang wanita sujud kepada suaminya.” (Hadits shahih riwayat At-Tirmidzi, di shahihkan oleh Al-Albani dalam Irwaa’ul Ghalil (VII/54).

Bersyukurlah terhadap pemberian suami

ورأيت النار فلم أر منظرا كاليوم قط ورأيت أكثر أهلها النساء قالوا: بم يا رسول الله ؟ قال بكفرهن قيل أيكفرن بالله ؟ قال: يكفرن العشير ويكفرن الإحسان لو أحسنت إلى إحداهن الدهر كله ثم رأت منك ما تكره قالت ما رأيت منك خيرا قط 

“Dan aku melihat neraka maka tidak pernah aku melihat pemandangan seperti ini sama sekali, aku melihat kebanyakan penduduknya adalah kaum wanita. Shahabat pun bertanya, ‘Mengapa (demikian) wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam?’ Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Karena kekufuran mereka.’ Kemudian ditanya lagi, ‘Apakah mereka kufur kepada Allah?’ Beliau menjawab, ‘Mereka kufur terhadap suami mereka, kufur terhadap kebaikan-kebaikannya. Kalaulah engkau berbuat baik kepada salah seorang di antara mereka selama waktu yang panjang kemudian dia melihat sesuatu pada dirimu (yang tidak dia sukai) niscaya dia akan berkata: ‘Aku tidak pernah melihat sedikitpun kebaikan pada dirimu.’ ” (HR. Bukhari, no. 105 2 , dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma)

Jangan selalu melihat kekurangan suami. Apabila kita menemukan adanya kekurangan pada diri suami kita, sadarilah bahwasanya kita pun mempunyai banyak kekurangan. Berusahalah untuk saling menutupi kekurangan-kekurangan yang ada.

Dan bersyukur pulalah atas pemberian suami. Jangan sekali-kali istri meremehkan atau tidak suka kepada suaminya hanya karena uang yang diberikan suaminya terlalu kecil menurut pandangannya, padahal sang suami telah bekerja keras. Ingatlah kepada Allah apabila keinginan hendak meremehkan itu muncul. Bagaimana mungkin seorang istri meremehkan setiap tetes keringat suaminya, padahal dengan tetesan keringat itu, Allah menganggapnya mulia?

Apapun pekerjaannya dan berapa pun penghasilannya, bukanlah masalah besar asalkan halal dan mampu dilakukan secara berkelanjutan. Bersyukurlah dan bersabarlah wahai para istri shalihah. Bukankah masih banyak orang-orang yang keadaannya jauh di bawah kita? Ingatlah akan sabda Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam,

انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ ؛ فَهُوَ أجْدَرُ أنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ الله عَلَيْكُمْ

“Pandanglah orang yang berada di bawah kalian (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah kalian memandang orang yang berada di atas kalian. Karena yang demikian itu lebih pantas agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepada kalian.” (HR Muslim, no. 2963)

Bersyukurlah dengan kebaikan-kebaikan suami yang ada. Karena istri yang tidak bersyukur akan kebaikan suami adalah istri yang tidak bersyukur kepada Allah subhaanahu wa ta’alaa. Sebagaimana sabda Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,

لا يشكر الله من لا يشكر الناس

“Orang yang tidak berterima kasih kepada manusia dia tidak bersyukur kepada Allah”. (Hadits riwayat Abu Daud dan di shahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud (4811)

Berusahalah untuk menjadi istri yang shalihah

Berusahalah untuk menjadi istri yang shalihah. Istri shalihah, yaitu istri yang baik akidahnya, amal ibadahnya dan baik pula akhlaknya. Bagi seorang suami, istri shalihah tak sekedar istri. Ia adalah teman di setiap  langkah kehidupan, pengingat di kala lalai, penuntun di saat tersesat, dan ia adalah ustaadzah bagi rumah tangganya. Sungguh, tiada kebahagiaan di dunia yang lebih indah daripada bersanding dengan istri shalihah.

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اَلدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَة

“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.” (HR. Muslim no. 1467)

Menjadi istri shalihah adalah sebuah kemungkinan yang dapat diraih dengan keikhlasan dan bersungguh-sungguh dengan penuh ketulusan. Pelajarilah bagaimana wanita terdahulu mampu meraihnya. Contohlah mereka dan lakukan dalam rumah tangga kita. Jika sudah demikian, bersabarlah untuk memetik hasilnya.

Kita sadari bahwasanya,

Kita bukanlah Hajar, yang begitu taat dalam ketakwaan,

Kita bukanlah Asiyah, yang begitu sempurna dalam kesabaran,

Kita bukanlah Khadijah, yang menjadi teladan dalam kesetiaan,

Kita bukanlah ‘Aisyah, yang menjadikan indah seisi dunia,

Tetapi kita, hanyalah seorang istri yang berusaha meraih predikat “Shalihah”.

Wa shallallaahu ‘ala nabiyyiinaa Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam

***

Maraji:

  • Qur’anul Karim dan Terjemahannya
  • http://quraan-sunna.com/vb/archive/index.php/t-46228.html
  • Al-Imam Bukhari, Shahiihul Bukhaarii, Daarul Hadiits, Kairo.
  • Dr. Najla’ As-Sayyid Nayil, Agar Suami Cemburu Padamu, Bekal Bagi Para Istri, At-Tibyan, Solo.
  • Syaikh Nada Abu Ahmad, Abul Hasan bin Muhammad Al-Faqih, Suami Shalih Aku Merindukanmu, Kiswah Media, Solo.
  • Asadullah Al-Faruq, 24 Jam Amalan Agar Suami Makin Sayang, Taqwa Media, Solo.
  • Abu Thalib Abdul Qadir Bin Muhammad Bin Husain, Merangkai Bunga-Bunga Bahagia di Taman Keluarga, Abyan, Solo.
  • Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Pustaka At-Taqwa, Bogor.
  • Ummu Ihsan dan Abu Ihsan, Surat Terbuka Untuk Para Istri, Pustaka Darul Ilmi, Bogor.
  • Syaikh Abdullah bin Jarullah Alu Jarullah, Wanita Muslimah Inilah Surgamu, Pustaka At-Tazkia, Jakarta.
  • Haulah Darwaisy, Rahasia Sukses Istri Shalihah, Pustaka Darul Ilmi, Bogor.
  • Abdul Malik bin Muhammad Al-Qasim, Teruntuk Pendamping Hidupku…, Darul Falah, Jakarta.

Suami Berupaya Segera Pulang Kerumah Setelah Sholat Isya

Suami Berupaya Segera Pulang Kerumah Setelah Sholat Isya 

Salah satu hak istri yang banyak dilalaikan oleh para suami di zaman ini adalah menemani istri setelah malam mulai larut. Banyak suami-suami yang merasa tidak bersalah jika dia beraktivitas di luar rumah hingga larut malam meski tidak ada kepentingan atau kebutuhan yang mendesak. Padahal sudah seharian itu dia meninggalkan rumah untuk bekerja dan melakukan aktivitas lainnya atau bahkan sekedar memenuhi keinginan pribadinya.

Berkata penulis Al-Wajiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz ketika menguraikan hak-hak seorang istri atas suaminya,

ومن حق المرأة على الرجل أن يرجع إليها بعد العشاء مباشرة

“Di antara hak istri atas suaminya adalah suami segera pulang kembali setelah shalat isya.” (Al-Wajiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz, hal. 358)

Waktu malam bagi suami adalah milik istrinya. Pada waktu itulah seorang istri akan bercerita, curhat, dan bermanja-manja dengan suaminya. Suami tidak boleh seenaknya keluar malam tanpa seizin istrinya sebab hal ini akan membuat istri merasa cemas dan gelisah. Pun ketika di dalam rumah, jangan lagi sibuk dengan handphone, mencari kesenangan sendiri dengan berselancar di dunia maya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari apa yang telah dilakukan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma karena lamanya begadang beribadah malam lantas menjauhi isterinya, kemudian beliau bersabda,

إِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا.

“Sesungguhnya isterimu mempunyai hak yang wajib engkau tunaikan.” (HR Bukhari no. 1975 dan Muslim, no. 1159)

Bagi seorang istri, rutinitas setiap hari adalah hal yang melelahkan. Obat dari itu adalah curhat dan didengarkan. Waktu yang tepat adalah di malam hari sebelum tidur, dimana aktivitas harian sudah selesai dikerjakan dan anak-anak juga sudah mulai tidur. Itulah saat yang paling kondusif untuk meluapkan berbagai hal. Bagi seorang istri, bahkan permasalahan sepele juga ingin dia diceritakan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri memiliki kebiasaan berbincang dengan istrinya sebelum tidur malam. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari (no. 4893) dan Imam Muslim (no. 2448), bahwa beliau pernah mendengarkan dengan seksama cerita yang cukup panjang dari ‘Aisyah tentang Abu Zar’ dan Ummu Zar’.

Dalam riwayat lain, setelah ‘Aisyah bercerita panjang lebar tentang kisah tersebut barulah Rasulullah memberikan komentar romantisnya kepada ‘Aisyah,

كُنْتُ لَكِ كَأَبِي زَرْعٍ لِأُمِّ زَرْعٍ إِلاَّ أَنَّ أَبَا زَرْعٍ طَلَّقَ وَأَنَا لاَ أُطَلِّقُ

“Aku bagimu seperti Abu Zar’ seperti Ummu Zar’ hanya saja Abu Zar’ mencerai dan aku tidak mencerai.” (HR Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 270)

Kemudian Aisyah radhiallahu ‘anha membalas dengan romantis lagi,

يَا رَسُوْلَ اللهِ بَلْ أَنْتَ خَيْرٌ إِلَيَّ مِنْ أَبِي زَرْعٍ

“Wahai Rasulullah, bahkan engkau lebih baik kepadaku dari pada Abu Zar’.” (HR An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra no. 9139)

Inilah salah satu potret romantisme Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para istrinya. Beliau benar-benar memperhatikan hak yang satu ini, yaitu menemani istrinya berbincang di malam hari, mendengarkannya dengan seksama, lalu memberikan komentar hangat sehingga hati istrinya bisa bahagia dan berbunga-bunga.

Malas Melakukan Ketaatan Tanda Penyakit Nifak

Malas Melakukan Ketaatan Tanda Penyakit Nifak

Ketika Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutkan tentang orang-orang munafik, dimana orang-orang munafik ingin keluar berperang bersama Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Akan tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka di medan perang. Maka Allah pun jadikan mereka berat hati untuk berangkat ke medan perang. Lalu dikatakan kepada mereka: “duduklah bersama orang-orang yang duduk”. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka. dan dikatakan kepada mereka: “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu”” (QS. At Taubah: 46). Tentu ini menjadi sebuah renungan buat kita. Kenapa demikian? Karena ketika seseorang dijadikan hatinya berat untuk melakukan sebuah ketaatan, berarti di dalam hatinya ada kemunafikan. Orang-orang munafik berat untuk mengamalkan ketaatan demi ketaatan. Seperti yang Allah sebutkan dalam ayat ini, Allah jadikan orang-orang munafik berat untuk melakukan suatu ketaatan yaitu jihad fi sabilillah.

Orang munafik juga berat untuk pergi ke masjid melaksanakan shalat berjamaah. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Shalat yang paling berat untuk orang munafik adalah shalat isya dan shalat fajar” (HR. Ibnu Majah no.656, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah). Bahkan orang munafik menganggap bahwa semua shalat berjamaah itu berat, akan tetapi yang paling berat adalah shalat isya dan shalat fajar. Dijadikan hati mereka berat untuk mengamalkan ketaatan demi ketaatan.

Sekali lagi ini menjadi renungan buat kita, apakah selama ini kita dijadikan berat untuk mengamalkan ketaatan demi ketaatan? Apakah kita ini dijadikan malas untuk mengamalkan ketaatan demi ketaatan? Inilah tentunya yang kita khawatirkan wahai saudaraku…

Kita tentu tidak ingin kita termasuk orang-orang yang tidak diinginkan Allah untuk berbuat kebaikan, lalu Allah jadikan hati kita berat untuk mengamalkan kebaikan, akhirnya kita pun menjadi orang-orang yang terhempas oleh penyakit kemunafikan. Subhaanallah

Oleh karena itu tidak ada jalan lain kecuali kita terus berusaha menjadikan hati kita bersemangat untuk melakukan ketaatan. Bagaimana caranya?

Pertama, kita berdoa kepada Allah agar memberikan kepada kita semangat dalam keataatan. Diantara doa yang diajarkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam : /allahumma inni as-aluka fi’lal khoiroot wa tarkal mungkaroot wa hubbal masaakin wa an taghfiro lii wa tarhama nii wa tatuuba ‘alaiyya/ (Ya Allah aku minta kepada engkau, agar aku bisa melakukan kebaikan, dan agar aku bisa meninggalkan kemaksiatan, dan berikan aku rasa cinta kepada orang-orang miskin, dan semoga Engkau mengampuni aku, merahmati aku dan menerima taubatku). (HR. At Tirmidzi no. 3235, ia berkata: “hasan shahih”).

Seorang mukmin dia tidak ingin mendapati dirinya malas melakukan ketaatan. Maka ia pun minta kepada Allah agar ditolong dalam melakukan ketaatan.

Kedua, kemudian seorang mukmin juga berusaha mengambil sebab-sebab yang membuatnya bersemangat dalam ketaatan. Misalnya dengan membaca mengenai keutamaan amalan-amalan, yaitu bagaimana Allah akan memberikan pahala yang besar yang berupa kebahagiaan di akhirat, bagaimana Allah menyediakan pahala yang besar berupa surga, sehingga ketika membaca hal itu seorang mukmin menjadi bersemangat untuk beramal shalih.

Ketiga, seorang mukmin juga berusaha agar ia tetap bersemangat ketika sedang melaksanakan ketaatan tersebut. Ia berusaha untuk berteman dengan orang-orang shalih. Ia berusaha untuk senantiasa menjadi orang yang kuat dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dengan bertemankan orang-orang shalih. Ketika ia melihat teman-teman shalihnya tersebut berlomba-lomba dalam kebaikan, maka akan ada dorongan dalam hati kita untuk juga ikut berlomba-lomba bersama mereka dalam kebaikan. Itulah teman yang shalih, teman yang shalih memberikan kita kekuatan dalam Islam wahai akhol Islaam.

Allah menjadikan hati seseorang berat melakukan ketaatan bisa dikarena maksiat yang ada di dalam hatinya. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah ketika menyebutkan beberapa akibat buruk dari dosa beliau menyebutkan di antaranya adalah dosa menjadikan hamba berat melakukan ketaatan. Sehingga dosa itu menjadikan dia malas beramal shalih, menjadikan hatinya hitam kelam, akhirnya cahaya iman yang memberikan semangat berbuat ketaatan akan redup sedikit-demi-sedikit.

Demikian pula orang munafik, akibat dosa-dosa yang ada dalam hati mereka, berupa keraguan kepada Allah dan Rasul-Nya, akhirnya Allah jadikan mereka berat melakukan ketaatan demi ketaatan. Allah jadikan mereka berat hatinya untuk mengamalkan kebaikan. Karena itu wahai saudaraku, mari kita tinggalkan maksiat, segera kita tinggalkan maksiat. Karena maksiat menjadikan hati kita berat untuk mengamalkan ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Seseorang akibat perbuatan maksiatnya, seringkali membuat ia tidak mampu untuk shalat tahajud, berat hatinya untuk bangun di waktu malam. Seseorang akibat perbuatan maksiatnya, lisannya kelu untuk berdzikir kepada Allah. Bahkan hatinya tak merasakan lagi kenikmatan di saat ia mengucapkan “Subhaanallah, walhamdulillah, laailaaha illallah, allahu akbar”. Hatinya tak bergetar ketika disebutkan ayat-ayat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Padahal ciri seorang mukmin disebutkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal” (QS. Al Anfal: 2). Tapi akibat maksiat, ketika kita menyebut nama Allah, hati kita tidak merasakan takut kepada Allah. Akibat maksiat, ketika mendengar ayat-ayat Allah bertambahlah keimanan kita. Bahkan terkadang kita merasa gersang ketika mendengarkan ayat-ayatnya. Kita khawatir termasuk orang-orang yang tidak diinginkan oleh Allah untuk berbuat kebaikan.

Wallahi ayat ini membuat kita merinding dan takut sekali. Maka jangan sampai kita termasuk orang-orang yang tidak diinginkan oleh Allah untuk berbuat kebaikan. Padahal diantara tanda bahwa seseorang itu diinginkan oleh Allah kebaikan padanya adalah dijadikan ia semangat berbuat ketaatan. Ia pun semangat untuk menuntut ilmu Allah sebagai sumber dari amalan shalih. Bukankah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan padanya, Allah jadikan ia faqih dalam agama” (HR. Bukhari – Muslim). Kata Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah, berarti orang yang tidak diinginkan kebaikan oleh Allah dalam agama tandanya adalah ia malas untuk menuntut ilmu agama, dijadikan hatinya berat. Sehingga untuk berjalan kaki menuju ke majelis-majelis ilmu, ia merasa berat hatinya.

Maka akhol Islam, kita mohon kepada Allah agar Allah memberikan kita kekuatan untuk senantiasa berbuat ketaatan, kita memohon kepada Allah agar termasuk orang-orang yang semangat berlomba-lomba dalam kebaikan.

***

Ibu, Madrasah Nomor Satu

Ibu, Madrasah Nomor Satu 

Madrasah pertama adalah ibu dan keluarga. Menjadi seorang ibu adalah kemuliaan tersendiri yang Allah agungkan dalam syari’at-Nya, dimana Allah subhanallahu wata’ala menyandingkan perintah tauhid dengan berbakti kepada orang tua, begitu juga dengan syukur-Nya digandengkan dengan syukur kepada orang tua, sebagaimana Allah subhanallahu wata’ala sebutkan dalam firman-Nya:

…وَٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا۟ بِهِۦ شَيْـًٔا ۖ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa…
(QS. An-Nisa: 36)

قُلْ تَعَالَوْا۟ أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ ۖ أَلَّا تُشْرِكُوا۟ بِهِۦ شَيْـًٔا ۖ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا

Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, dan berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa…
(QS. Al-An’am: 151)

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
(QS. Al-Isra’: 23)

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”
(QS. Al-Isra’: 23-24)

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
(QS. Luqman: 14)

Ayat-ayat diatas menjadi bukti yang sangat jelas akan keagungan dan posisi kedua orang tua dalam kehidupan manusia ini, karena keutamaan tersebut langsung berasal dari Allah sang Pemilik alam semesta ini.

Anak yang sholeh dan sholehah tentu merupakan dambaan setiap orang tua, karena ia adalah harta paling berharga yang dimiliki orang tua, ia adalah aset yang akan mendatangkan keuntungan dan kebahagiaan dunia akhirat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam haditsnya:

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh
(HR. Muslim no. 1631)

Bahkan Allah subhanahu wa ta’ala akan mengumpulkan seseorang yang beriman dengan keturunannya yang sholeh, sebagaimana firman-Nya:

وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَٰنٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَآ أَلَتْنَٰهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن شَىْءٍ ۚ كُلُّ ٱمْرِئٍۭ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ

Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.
(QS. Ath-Thur: 21)

Tentu ayat dan hadist diatas menjadi pelecut dan penyemangat bagi setiap insan yang beriman agar berlomba-lomba dalam menciptakan generasi sholeh dan sholehah agar kelak bisa berkumpul bersama di surga, untuk itulah setiap orang tua yang beriman berusaha melahirkan generasi sholeh dan sholehah.

Untuk itulah peran dan posisi orang tua dalam pendidikan anak sangat fundamental, khususnya ibu, karena semenjak anak berada dalam kandungannya, ia akan merekam apa-apa yang dilakukan ibunya, begitu juga ketika sudah lahir dan proses menyusui, ia akan meniru dari tingkah ibunya, ia akan mendengar setiap kalimat yang diucapkan ibunya, maka disinilah sang anak mulai merekam secara langsung bagaimana mengenal dunia ini. Untuk itu, disinilah peran ibu sebagai madrasah pertama bagi sang anak sangat dibutuhkan.

Hal inilah yang menjadi sebab kenapa posisi ibu dalam Islam begitu dimuliakan, karena jasanya dan tanggung jawabnya yang begitu besar dalam menjaga generasi rabbani. Sehingga langkah pertama yang harus ditempuh dalam melahirkan generasi sholeh dan sholehah adalah mencari istri sholehah yang akan menjadi ibu anak-anak nantinya, seperti halnya yang dilakukan sahabat Umar bin Khatthab untuk anaknya hingga lahir darinya sosok Umar bin Abdul Aziz.

Islam memandang bahwa ibu adalah poros dan sumber kehidupan, untuk itulah kaum sekuler pun berusaha menghilangkan fitrah seorang ibu dengan sibuk mempropagandakan gender hingga ia lupa akan peran utamanya dalam keluarga sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya. Syaikh Muhammad Ghazali dalam memberikan gambaran tentang sosok seorang ibu dalam kitabnya dengan menyebutkan:

“Seorang ibu adalah semilir angin sejuk yang menghembuskan nafas kedamaian dan kasih sayang ke seluruh ruang kehidupan. Dan ia sangat berpengaruh dalam pembentukan manusia yang baik”. As-Sunnah An-Nabawiah baina ahlil fiqhi wa ahlil haditshal 52

Benarlah syair yang diungkapkan penyair Hafizh Irahim ketika menggambarkan tentang sosok ibu:

Ibu adalah madrasah
Bila kau mempersiapkannya
Kau mempesiapkan bangsa yang kokoh
Ibu adalah taman
Bila engkau merawatnya dengan air sejuk
Taman itu akan menumbuhkan pohon
Dengan dedaunan yang lebat menghijau
Ibu adalah maha guru
Jejak kakinya terpateri sepanjang sejarah dunia
.

Wahai Para Dokter, Jangan Sia siakan Ilmu Yang Telah Allah Titipkan Kepadamu

Wahai Para Dokter, Jangan Sia siakan Ilmu Yang Telah Allah Titipkan Kepadamu 

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

ضَيَّعُوا ثُلُثَ العِلْمِ وَوَكَلُوهُ إِلَى اليَهُوْدِ وَالنَّصَارَى.

“Umat Islam telah menyia-nyiakan sepertiga Ilmu (ilmu kedokteran) dan meyerahkannya kepada umat Yahudi dan Nasrani.”[1]Umat Islam telah menyia-nyiakan sepertiga Ilmu (ilmu kedokteran) dan meyerahkannya kepada umat Yahudi dan Nasrani.

Syaikh Muhammad Ast-Syinqitiy rahimahullah berkata menjelaskan perkataan Imam Asy-Syafi’i,

“Mengapa sepertiga Ilmu? Karena ilmu syar’i ada dua:(1) ilmu yang berkaitan dengan keyakinan(2) ilmu yang berkaitan dengan badan dan anggota badan. Jadi ada:  ilmu dzahir dan ilmu batin atau Ilmu tauhid dan ilmu furu’ (baca: ilmu fikh) yang merupakan realisasi dari tauhid. Dua ilmu ini adalah pengobatan ruh dan jasad. Setelah itu perlu ada ilmu tentang pengobatan badan itulah ilmu ketiga. Karena pertimbangan ini,  Imam Asy-Syafi’i mengatakan,

“Umat Islam telah menyia-nyiakan sepertiga Ilmu (ilmu kedokteran) dan meyerahkannya kepada umat Yahudi dan Nasrani.”

Yaitu maksudnya kaum muslimin memerlukan dokter yahudi dan nashrani (jika ingin berobat, karena tidak ada/sedikit kaum muslim yang menguasai ilmu kedokteran).”[2]

Jangan sampai umat Islam kalah dalam dengan ahli kitab dalam masalah ini. Kita bisa lihat di zaman ini di mana ilmu kedokteran lebih dikuasai oleh negara barat.

Tidak sedikit ahli kitab memanfaatkan ilmu kedokteran agar kaum muslimin mengikuti mereka (masuk agama mereka) dengan pengobatan gratis atau mendirikan rumah sakit besar dan rujukan. Karena sebagaimana kita ketahui bersama bahwa orang yang sakit memiliki jiwa yang labil dan mudah diperngaruhi.

Inilah yang diperingatkan oleh Allah melalui ayatnya,

وَلَن تَرْضَى عَنكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.” (Al-Baqarah: 120).

Demikian juga perintah agar kita berusaha berobat, yang tentu saja kita kaum muslimin perlu ilmunya. Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا عِبَادَ اللَّهِ تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ شِفَاءً

“Wahai hamba-hamba Allah. Berobatlah kalian. Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah meletakkan satu penyakit kecuali Ia juga akan meletakkan padanya obat.”[3]

Kepada para teman sejawat dokter dan tenaga kesehatan. Semoga kita tetap semangat mempelajari ilmu kedokteran dan bisa menjadi manusia yang bermanfaat bagi yang lain. Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain

عَنِ جابر، رَضِيَ الله عَنْهُمَا، قَالَ : قال رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم: خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

Dari Jabir radhiallau ‘anhuma bercerita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.”[4]

[1] Siyar A’lam An-Nubala 8/258, Adz-Dzahabi, Darul Hadits, Koiro, 1427 H, Asy-Syamilah

[2] Durus Syaikh Muhammad Asy-Syinqitiy, sumber: http://islamport.com/w/amm/Web/1583/866.htm

[3]  HR. At-Tirmidzi no. 2038, dishahihkan oleh Al-Albaani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi

[4] Lihat Shahihul Jami’ no. 3289.

Keutamaan Menikahi Janda

Keutamaan Menikahi Janda 

Adakah keutamaan menikahi janda? Ataukah lebih baik dengan gadis saja?

Keutaman Menolong Para Janda

Dari Abu Hurairah, berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

السَّاعِي عَلَى اْلأَرْمَلَةِ وَالْمَسَاكِيْنِ، كَالْمُجَاهِدِ فِي سَبِيْلِ اللهِ، وَكَالَّذِي يَصُوْمُ النَّهَارَ وَيَقُوْمُ اللَّيْلَ

Orang yang berusaha menghidupi para janda dan orang-orang miskin laksana orang yang berjuang di jalan Allah. Dia juga laksana orang yang berpuasa di siang hari dan menegakkan shalat di malam hari.”(HR. Bukhari no. 5353 dan Muslim no. 2982)

Termasuk dalam menolong para janda adalah dengan menikahi mereka. Namun janda manakah yang dimaksud?

Disebutkan dalam Al Minhaj Syarh Shahih Muslim (18: 93-94), ada ulama yang mengatakan bahwa “armalah” yang disebut dalam hadits adalah wanita yang tidak memiliki suami, baik ia sudah menikah ataukah belum. Ada ulama pula yang menyatakan bahwa armalah adalah wanita yang diceraikan oleh suaminya.

Ada pendapat lain dari Ibnu Qutaibah bahwa disebut armalah karena kemiskinan, yaitu tidak ada lagi bekal nafkah yang ia miliki karena ketiadaan suami. Armalah bisa disebut untuk seseorang yang bekalnya tidak ada lagi. Demikian nukilan dari Imam Nawawi.

Pendapat terakhir itulah yang penulis cendrungi.

Dari pendapat terakhir tersebut, janda yang punya keutamaan untuk disantuni adalah janda yang ditinggal mati suami atau janda yang diceraikan dan sulit untuk menanggung nafkah untuk keluarga. Adapun janda kaya, tidak termasuk di dalamnya.

Keutamaan Menikahi Janda yang Ditinggal Mati Suami dan Memiliki Anak Yatim

Kita tahu bersama bahwa anak yatim adalah anak yang ditinggal mati ayahnya. Anak seperti inilah yang dikatakan yatim dan punya keutamaan untuk ditolong karena penanggung nafkahnya -yaitu ayahnya- sudah tiada. Jika ada yang menikahi janda karena ingin menolong anaknya, maka ia akan dapat keutamaan besar menyantuni anak yatim.

Dari Sahl ibnu Sa’ad, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,

« أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِى الْجَنَّةِ هَكَذَا » . وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى ، وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا شَيْئًا

Kedudukanku dan orang yang menanggung anak yatim di surga bagaikan ini.”   [Beliau merapatkan jari telunjuk dan jari tengahnya, namun beliau regangkan antara keduanya]. (HR. Bukhari no. 5304).

Menikahi Janda ataukah Perawan?

Walau memang menikahi perawan ada keutamaannya. Namun menikahi janda tidak boleh dipandang sebelah mata. Bahkan ada pria yang membutuhkan janda dibanding gadis perawan. Semisal seorang pria ingin mencari wanita yang lebih dewasa darinya sehingga bisa mengurus adik-adiknya. Dari Jabir bin ‘Abdillah, ia pernah berkata,

تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً فِى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَلَقِيتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « يَا جَابِرُ تَزَوَّجْتَ ». قُلْتُ نَعَمْ. قَالَ « بِكْرٌ أَمْ ثَيِّبٌ ». قُلْتُ ثَيِّبٌ. قَالَ « فَهَلاَّ بِكْرًا تُلاَعِبُهَا ». قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِى أَخَوَاتٍ فَخَشِيتُ أَنْ تَدْخُلَ بَيْنِى وَبَيْنَهُنَّ. قَالَ « فَذَاكَ إِذًا. إِنَّ الْمَرْأَةَ تُنْكَحُ عَلَى دِينِهَا وَمَالِهَا وَجَمَالِهَا فَعَلَيْكَ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ »

Aku pernah menikahi seorang wanita di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu aku bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau pun bertanya, “Wahai Jabir, apakah engkau sudah menikah?” Ia menjawab, “Iya sudah.” “Yang kau nikahi gadis ataukah janda?”, tanya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku pun menjawab, “Janda.” Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Kenapa engkau tidak menikahi gadis saja, bukankah engkau bisa bersenang-senang dengannya?” Aku pun menjawab, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki beberapa saudara perempuan. Aku khawatir jika menikahi perawan malah nanti ia sibuk bermain dengan saudara-saudara perempuanku. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itu berarti alasanmu. Ingatlah, wanita itu dinikahi karena seseorang memandang agama, harta, dan kecantikannya. Pilihlah yang baik agamanya, engkau pasti menuai keberuntungan.” (HR. Muslim no. 715)

Namun dengan catatan di sini tetap memandang janda yang punya agama yang baik, bukan sembarang janda.

Semoga bermanfaat.

Ayo para jomblo yang mau menikah, atau para pria yang ingin menambah istri lagi, silakan menimbang para janda sebagai pilihan. Para janda pun selalu menanti pertolongan kalian.

Wahai Perokok Takutlah Doa Orang Yang Terzolimi

Wahai Perokok Takutlah Doa Orang Yang Terzolimi 

Kepada saudaraku para perokok, Maaf, kami hanya memberikan saran atau kalau bisa dibilang nasehat, karena hidup ini adalah saling menasehati dan terkadang nasehat itu seperti obat:
“Pahit ditelan tapi menyembuhkan”

Tentu kami selalu mendoakan saudaraku kami para perokok agar segera bisa berhenti total merokok untuk kebaikan dirinya, kebaikan istri, anak bayi dan keluarganya. Kami pun sangat yakin hati kecil anda sangat ingin berhenti merokok, semoga Amda dimudahkan

Saudaraku para perokok, kami tidak bisa melarang kalian merokok secara total, tapi perhatikan sekeliling anda sebelum merokok, karena semua orang mengakui bahwa bau asap rokok itu sangat mengganggu bagi orang lain. Coba perhatikan beberapa tempat yang “dilarang merokok” atau “ada ruangan khusus untuk perokok”

Kenapa ada ruang khusus? Ya karena semua sepakat rokok dan asap rokok MENGANGGU dan MENDZALIMI orang lain

Ada di antara mereka yang langsung mual dan pusing hanya karena mencium sedikit baru rokok

Ada juga yang harus menyingkir jauh setelah duduk-duduk enak di sebuah tempat, hanya karena anda dengan santai menyalakan rokok dan menghembuskan sisa dari mulut anda untuk dihirup ke orang lain

Sebagian orang harus membawa jauh anak kecil dan bayinya karena anda tiba-tiba merokok dengan santai di sekitat mereka

Belum lagi yang merokok sambil naik motor di mana abu, api kecil dan asapnya menganggu penggendara yang lainnya

Saudaraku para perokok, tidak kah engkau khawatir mereka yang merasa terganggu dengan asap rokokmu itu tiba-tiba berdoa kejelekan pada-mu, entah itu mereka panjatkan doa jelek itu sengaja atau tidak sangaja karena mungkin jengkel.

Ketahuilah, doa orang yang terdzalimi dikabulkan oleh Allah.

Nabi Shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ، لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ: دَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ.

“Ada tiga doa yang dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tidak diragukan tentang doaa ini: (1) doa kedua orang tua terhadap anaknya (2) doa musafir (3) doa orang yang dizhalimi.”[HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 32]

Hendaknya hati-hati, jika hidup anda tenang-tenang saja karena bisa jadi doa jelek itu dikabulkan di kemudian hari, bisa jadi di masa tuamu, atau doa kejelekan itu menimpa keluarga dan hartamu esok atau yang lebih mengerikan, akan menjadi keburukan di hari kiamat. Entah berapa orang yang telah terzalimi yang engkau harus minta diputihkan dengan pahalamu dan bangkrut di kemudiannya.

Sebagaimana pertanyaan pada pada fatwa berikut:

: هل دعوة المظلوم مستجابة في الدنيا أم أنها قد تؤجل في الآخرة؟

“Apalah doa orang yang terdzalimi mustajab di dunia atau mustajab diakhirkan di akhirat kelak?”

Jawabannya bisa jadi dikabulkan di dunia dan bisa juga di akhirat:

واستجابة الدعوة إما أن تكون بتحقق المطلوب، أو أن يدفع عنه من السوء مثلها مما كان مقدرًا عليه، أو يدخر له من الأجر مثلها يوم القيامة؛

“Terkabulnya doa bisa jadi terwujud apa yanh diminta (di dunia) atau dapat mencegah keburukan sesuai kadar doa atau disimpan untuk sebagai pahala di hari kiamat” [Fatwa Al-Lajnah no. 25144]

Saudaraku para perokok, kami telah menulis beberapa hal terkait rokok dan hukumnya. Semoga dengan membacanya anda dimudahkan meninggalkan selamanya

Berikut tulisan tersebut:

1. https://muslimafiyah.com/ramadhan-momen-berhenti-merokok-selamanya.html

2. https://muslimafiyah.com/ancaman-hukuman-bagi-perokok-di-akhirat.html

3. https://kesehatanmuslim.com/sudah-jelas-berbahaya-hukum-rokok-pasti-haram/

4. https://muslimafiyah.com/merokok-membatalkan-puasa-tetapi-inhaler-dan-nebulizer-tidak-membatalkan.html

Demikian semoga bermanfaat.

Hukum Bepergian/Safar Seorang Wanita Tanpa Mahram

Hukum Bepergian/Safar Seorang Wanita Tanpa Mahram 

Bagaimana hukum safar wanita tanpa mahram? Apakah benar safar tersebut dibolehkan dengan syarat tertentu yang ketat?

Asalnya, Safar Wanita Tanpa Mahram DIHARAMKAN

Ingat, hukum asalnya safar wanita begitu pula mukimnya wanita tanpa suami atau tanpa mahram pada jarak lebih dari jarak qashar shalat (84 KM) DIHARAMKAN. Larangan ini ditunjukkan dalam hadits Ibnu ‘Umar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا تسافر امرأة ثلاثاً إلا ومعها محرم

“Hendaklah wanita tidak bersafar selama tiga hari kecuali bersama mahramnya.” (HR. Bukhari, no. 1087 dan Muslim, no. 1238. Imam Bukhari mengeluarkan hadits ini dalam kitab Shalat, Bab “Jarak yang Dibolehkan Mengqashar Shalat”. Hadits ini disebutkan dalam Shahih Muslim pada Kitab Haji, Bab “Safar Wanita Bersama Mahram pada Haji dan Selainnya”).

Begitu pula disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata,

لا يحل لامرأة تؤمن بالله واليوم الآخر أن تسافر يوماً وليلة ليس معها ذو محرم

“Tidaklah halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bersafar sehari semalam tanpa disertai mahramnya.” (HR. Bukhari, no. 1088 dan Muslim, no. 1339. Imam Bukhari mengeluarkan hadits ini dalam kitab Shalat, Bab “Jarak yang Dibolehkan Mengqashar Shalat”. Hadits ini disebutkan dalam Shahih Muslim pada Kitab Haji, Bab “Safar Wanita Bersama Mahram pada Haji dan Selainnya”)

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا تسافر المرأة يومين إلا ومعها زوجها أو ذو محرم

“Hendaklah wanita tidak bersafar selama dua hari kecuali bersama suami atau mahramnya.” (HR. Bukhari, no. 1197. Imam Bukhari mengeluarkan hadits ini dalam kitab Shalat, Bab “Masjid Baitul Maqdis”).

Keadaan yang Membolehkan Wanita Safar Tanpa Mahram

Namun, para ulama bersepakat bahwa safar wanita tanpa mahram atau tanpa suami DIBOLEHKAN dalam beberapa keadaan:

  1. Pergi hijrah dari negeri kafir ke negeri Islam.
  2. Khawatir pada keadaan diri wanita.
  3. Jika ditahan dan berhasil melarikan diri.
  4. Melunasi utang dan mengembalikan barang titipan (wadi’ah).
  5. Rujuk dari nusyuz (pembangkangan pada suami).
  6. Saat safar wajib menjalani ‘iddah ketika suami meninggal dunia atau talak baa-in.

Syarat Wanita Boleh Safar Tanpa Mahram

Bolehnya safar wanita tanpa mahram atau tanpa suami jika ada alasan yang disyariatkan atau diperbolehkan. Syarat yang membolehkan wanita bersafar tanpa mahram atau tanpa suami adalah:

  1. Jalan dipenuhi rasa aman.
  2. Selamat dari godaan.
  3. Safar wanita ditemani oleh wanita yang tsiqqah (terpercaya). 
  4. Mengenakan pakaian syari serta memperhatikan akhlak dan adab islami.
  5. Safarnya dengan angkutan umum dan ditemani wanita yang terpercaya.
  6. Mukim atau menetap dengan wanita terpercaya yang dikenal dengan ketakwaan dan berakhlak yang lurus.

Penjelasan di atas diambil dari Fatwa Majlis Al-Ifta’ nomor 92 mengenai hukum safar tanpa mahram, 28/6/1426 H, 4/8/2005 M.

Al-Imam Abul Hasan bin Baththol dalam Syarh Al-Bukhari (4:532) berkata:

Malik, Al-Auza’i, dan Syafii serta jumhur (mayoritas) ulama berpandangan bahwa safar wanita pada haji yang wajib selama bersama wanita yang memberikan rasa aman walaupun tanpa mahram DIBOLEHKAN. Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah berhaji dan saat itu ikut pula para wanita yang merupakan tetangganya. Pendapat yang membolehkan ini adalah perkataan ‘Atho’, Sa’id bin Jubair, Ibnu Sirin, Al-Hasan Al-Bashri.

Kesimpulan, wanita bersafar sebaiknya ditemani oleh suami atau mahramnya, ITU LEBIH AMAN DAN SELAMAT.

Hukum Mengkonsumsi Ular Untuk Pengobatan

Hukum Mengkonsumsi Ular Untuk Pengobatan 

Ular, yang dalam istilah fikih biasa disebut الثُعْبَان atau الحَيَّة atau الأَفْعَى merupakan kelompok reptilia tidak berkaki dan bertubuh panjang yang tersebar luas di dunia. Dia merupakan hewan melata berdarah dingin dari subordo Serpentes dalam ordo Squamata. Ular memiliki tubuh memanjang yang ditutupi sisik, tidak memiliki kaki-tangan, telinga eksternal, dan kelopak mata, tetapi memiliki tonjolan pada tubuhnya yang diyakini sebagai sisa dari anggota tubuh yang telah hilang. [1]

Hukum memakan ular
Mayoritas para imam, yaitu Abu Hanifah, Syafi’i, dan Ahmad rahimahumullah sepakat bahwa memakan ular itu haram.

An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahulllah mengatakan,

(فرع) في مذاهب العلماء في حشرات الأرض كالحيات والعقارب والجعلان وبنات وردان والفار ونحوها
مذهبنا أنها حرام وبه قال أبو حنيفة وأحمد وداود

“(Bab tentang pendapat para ulama dalam hal memakan hasyarat darat, seperti: ular, kalajengking, kumbang, lipan, tikus, dan sejenisnya). Kami (Syafi’iyyah) berpendapat bahwasanya semua hewan tersebut haram. Ini juga merupakan pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan Dawud rahimahumullah.” [2]

Alasan haramnya memakan ular
Haramnya memakan ular, berdasarkan beberapa alasan berikut, yang jika ditemukan satu saja dari alasan-alasan tersebut, maka hukumnya haram.

Pertama: Ular termasuk khaba’its (hewan menjijikkan)
Allah Ta’ala berfirman,

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

“Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (QS. Al-A’raf: 157)

Disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah tentang hukum memakan ular,

حُرْمَة، لأَِنَّ الحية تُعَدُّ مِنَ الْخَبَائِثِ لِنُفُورِ الطَّبَائِعِ السَّلِيمَةِ مِنْهَا. وَإِلَى هَذَا ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ والشافعية والحنابلة

“… haram, karena ular dianggap sebagai hewan yang menjijikkan menurut tabiat yang sehat. Pendapat ini dianut oleh mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali.” [3]

Kedua: Ular diperintahkan untuk dibunuh
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

خمسٌ فواسقُ يُقتَلْنَ في الحِلِّ والحَرَمِ : الحيةُ والفأرةُ والغرابُ الأبقعُ والكلبُ والحِدَأَةُ

“Lima jenis hewan jahat yang boleh dibunuh di tanah halal maupun di tanah haram: ular, tikus, burung gagak yang belang, anjing liar, dan burung elang.” (Sahih, diriwayatkan oleh Ibnu Mulaqqin dalam Al-Badrul Munir, 9: 373) [4]

Dan dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,

وكان يأمرُ بقتلِ الحياتِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk membunuh ular.” (HR. Abdurrazzaq dan selainnya, sanadnya sahih) [5]

Perintah beliau untuk membunuh hewan-hewan tersebut, terdapat indikasi tentang keharaman memakan mereka. Karena jika mereka termasuk yang boleh dimakan, beliau pasti memerintahkan untuk menyembelih mereka sesuai dengan aturan penyembelihan yang berlaku. Karena beliau memerintahkan untuk membunuh mereka dan pembunuhan itu dilakukan bukan dengan cara penyembelihan, maka terbukti bahwa mereka tidak boleh dimakan. [6]

Ketiga: Ular termasuk hewan buas yang memiliki taring
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang memakan setiap hewan buas yang bertaring. Dalam suatu hadis,

أنَّ رَسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ نَهَى عن أكْلِ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang memakan setiap hewan buas yang bertaring.” (HR. Bukhari no. 5530 dan Muslim no. 1932)

Lajnah Da’imah mengatakan, ketika ditanya tentang hukum memakan ular (fatwa no. 2586). Di antara jawaban mereka,

لا يجوز أكل الفيران والثعابين والحنش السام والقردة؛ لأن جنسها مما يفترس بنابه، وقد نهى النبي صلى الله عليه وسلم عن أكل كل ذي ناب من السباع ولأنها مستخبثة، وقد قال تعالى في بيان صفة النبي صلى الله عليه وسلم: {وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ} (سورة الأعراف الآية 157)

“Tidak boleh memakan tikus, ular, ular berbisa, dan monyet, karena jenisnya termasuk hewan buas yang memiliki taring, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang memakan setiap hewan buas yang memiliki taring. Selain itu, mereka dianggap sebagai hewan yang menjijikkan (khaba’its), dan Allah Ta’ala berfirman dalam menjelaskan sifat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (yang artinya), ‘Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk (khaba’its).’ (QS. Al-A’raf: 157).” [7]

Hukum memakan atau meminum darah ular
Kita telah mengetahui hukum memakan (daging) ular dalam pembahasan sebelumnya, yaitu haram. Maka, perlu diketahui bahwa memakan atau meminum darah ular (yang mengalir ketika penyembelihan) lebih diharamkan.

Syekh Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak rahimahullah mengatakan,

وقد دل على تحريمه آيات قَرَنَ الله تحريمَه فيها بالميتة ودم الخنزير، فالدم من أشد المطاعم تحريماً، كما قال سبحانه وتعالى: {قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ} [الأنعام: 145]

“Ayat-ayat yang menunjukkan keharamannya (darah yang mengalir ketika penyembelihan) adalah yang Allah gabungkan pengharamannya dengan bangkai dan darah babi. Darah termasuk makanan yang paling diharamkan, sebagaimana firman-Nya (yang artinya), ‘Katakanlah, ‘Tidak kudapati dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor.” (QS. Al-An’am: 145)” [8]

Larangan memakan bagian ular untuk pengobatan
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang pengobatan dengan benda haram, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, dari Abu Darda radhiyallaahu ‘anhu,

إِنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ ، وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً ، فَتَدَاوَوْا وَلَا تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ

“Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat, dan Dia menjadikan setiap penyakit ada obatnya. Maka, berobatlah, tetapi jangan berobat dengan yang haram.” (HR. Abu Dawud no. 3874, disahihkan oleh Al-Albani)

Dalam hal pengobatan dengan bagian ular, Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,

التِّرْيَاقُ: ‌دواءٌ ‌يُتَعالَجُ به من السَّمِّ، ويُجْعَلُ فيه من لُحومِ الحَيَّاتِ، فلا يُباحُ أَكْلُه ولا شُرْبُه؛ لأنَّ لحمَ الحَيَّةِ حَرامٌ

“Tiryak adalah obat yang digunakan untuk mengobati racun, dan di dalamnya terdapat daging ular. Maka, tidak diperbolehkan untuk memakannya atau meminumnya karena daging ular adalah haram.” [9]

Demikian pula fatwa dari Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa Saudi Arabia. Mereka pernah ditanya,

“Ada seorang pria yang menggunakan ular untuk pengobatan, dan dia mengklaim bahwa itu diperbolehkan karena keadaan dan darurat. Cara penggunaannya terhadap ular adalah dia menangkapnya dan memasukkannya ke dalam panci berisi lemak sapi yang mendidih sementara ular tersebut masih hidup, dan panci tersebut mendidih di atas api. Setelah itu, dia mengobati dengan lemak sapi yang telah dimasak bersama ular tersebut, dan yang menggunakannya merasakan sedikit mabuk. Apakah diperbolehkan mengobati dengan lemak sapi ini jika terbukti bermanfaat untuk penyakit, dan apakah diperbolehkan memasukkan ular ke dalam lemak sapi yang mendidih di atas api?”

Mereka menjawab,

“Pertama: Tidak diperbolehkan memasukkan hewan yang masih hidup ke dalam cairan yang mendidih karena itu menyiksa hewan, dan hal ini dilarang oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Jika kalian membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik.’ (HR. Muslim no. 1955)

Kedua: Tidak diperbolehkan mengobati dengan ular atau dengan lemak sapi yang telah dimasak bersama ular, karena ular tidak boleh dimakan menurut pendapat yang benar dari dua pendapat ulama. Selain itu, bangkai ular adalah najis. Mengobati dengan sesuatu yang haram adalah haram.” [10]

Kesimpulannya: Tidak diperbolehkan memakan daging ular, baik untuk pengobatan maupun untuk tujuan lainnya. Dalam makanan dan obat-obatan yang telah dihalalkan oleh Allah Ta’ala, terdapat cukup pengganti dari yang haram. [11]

Demikian, artikel ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai hukum memakan ular menurut pandangan Islam. Semoga Allah senantiasa memberikan taufik-Nya untuk kita semua.

Referensi utama:

“Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab” oleh An-Nawawi Asy-Syafi’i

“Al-Mughni” oleh Ibnu Qudamah

“Ahkamul Qur’an” oleh Al-Jashshash

“Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah” (Ensiklopedia Fiqh Kuwait)

“Fatawa Lajnah Da’imah” (Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa Saudi Arabia)

Catatan kaki:

[1] https://ar.wikipedia.org/wiki/%D8%AB%D8%B9%D8%A8%D8%A7%D9%86

[2] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 9: 16.

[3] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 5: 144. Lihat juga diskusi tentang alasan ini dalam kitab Ahkamul Qur’an, 3: 26-27.

[4] https://dorar.net/hadith/sharh/124358

[5] https://dorar.net/hadith/sharh/81400

[6] Ahkamul Qur’an, 3: 26.

[7] Fatawa Lajnah Da’imah, Jilid 1, 22: 292.

[8] https://iswy.co/e4vd1 Selain itu, terdapat kaidah “Seluruh benda najis, haram dimakan”. Lihat: https://ar.islamway.net/fatwa/36961/

[9] Al-Mughni, 13: 342. Untuk pembahasan lebih rinci tentang Tiryak, lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 11:232-233.

[10] Fatawa Lajnah Da’imah, Jilid 1, 25: 25-26.


Walimah Hanya Mengundang Orang Kaya Saja ?

Walimah Hanya Mengundang Orang Kaya Saja ?

Sebagian orang mungkin hanya mengundang orang kaya saja ketika acara walimah nikah. Lebih parahnya lagi jika niatnya mengundang orang-orang kaya dan pejabat saja agar amplop yang dimasukkan bernilai tinggi, sedangkan orang miskin tidak diundang sama sekali. Inilah sejelek-jelek makanan walimah sebagaimana dalam hadits:

شَرُّ الطَّعَـامِ طَعَامُ الْوَلِيْمَةِ، يُدْعَى لَهَـا اْلأَغْنِيَـاءُ وَيتْرَكُ الْفُقَرَاءُ

“Seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah, hanya orang-orang kaya yang diundang kepadanya, sedangkan kaum fakir dibiarkan (tidak diundang)[1]

Yang dimaksud walimah dalam hadits ini adalah walimah pernikahan. Ash-Shan’aniy menjelaskan,

والمقصود بالوليمة في هذا الحديث هي وليمة العرس خاصة ، وليست كل طعام دعي إليه أحد من الناس

“Yang dimaksud hadits ini adalah khusus untuk walimatul ‘ursy (walimah nikah), bukan semua acara walimah yang manusia diundang untuk makan (misalnya acara walimah khitan, ini walimah selain walimah nikah, pent).”[2]

Padahal orang kaya ketika diundang bisa jadi tidak datang karena mereka tidak terlalu butuh makan enak ketika acara walimah. Sebagaimana penjelasn syaikh Al-‘Utsaimin, beliau berkata

التي يدعى إليها من يأباها ويمنعها من يأتيها

“Maksud (sejelek-jelek makanan) adalah yang diundang adalah orang yang (mungkin) enggan datang (orang kaya) dan dilarang hadir (tidak diundang) orang yang ingin datang (orang miskin). ”[3]

Hendaknya mengundang orang miskin juga sebagai bentuk kebaikan kepada mereka dan insyaallah lebih berkah acara walimah tersebut. Karena orang miskin umumnya lebih bertakwa dan lebih ikhlas berdoa. Mereka lebih rendah hati di hadapan Allah dan di hadapan manusia, jauh dari kesombongan yang membinasakan. Ini termasuk perintah agar makanan kita dimakan oleh orang-orang yang bertakwa agar berkah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِنًا، وَلاَ يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلاَّ تَقِيٌّ.

“Jangan bergaul kecuali dengan orang yang beriman, dan janganlah makan makananmu kecuali orang yang bertakwa.”[4]

Bisa jadi doa orang miskin yang diundang ke acara walimah lebih ikhlas dan lebih mustajab ketika mendoakan kita. Ini sebagaimana hadits “kita akan ditolong dan diberi rezeki disebabkan orang-orang lemah/miskin di sekitar kita”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَبْغُوْنِي الضُّعَفَاءَ،  فَإِنَّمَا  تُرْزَقُوْنَ  وَتُنْصَرُوْنَ بِضُعَفَائِكُمْ

“Carilah keridhaanku dengan berbuat baik kepada orang-orang lemah kalian, karena kalian diberi rezeki dan ditolong disebabkan orang-orang lemah kalian.”[5]

Dalam riwayat Nasa’i,

إِنما ينصُر الله هذه الأمةَ بضعيفها: بدعوتِهم، وصلاتِهم، وإِخلاصهم

“Sesungguhnya Allah akan menolong umat ini dengan sebab orang-orang yang lemah dari mereka, yaitu dengan doa, sholat dan keikhlasan mereka.” [6]

Hadits di atas maksudnya adalah orang miskin dan lemah lebih khusyu’ dan ikhlas ketika berdoa. Ibnu Hajar Al-Asqalani menukilkan penjelasan Ibnu Batthal rahimahullah,

تأويل الحديث أن الضعفاء أشد إخلاصا في الدعاء، وأكثر خشوعا في العبادة لخلاء قلوبهم عن التعلق بزخرف الدنيا ” .ولذلك أوصى النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ في أحاديث كثيرة بالرحمة بالفقراء والضعفاء،

“Tafsir hadits ini bahwa orang-orang lemah lebih ikhlas dalam berdoa dan lebih khusyu’ dalam ibadah karena hati mereka sangat sedikit bergantung dengan hirup pikuk kehidupan dunia. Karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat dalam banyak hadits agar berkasih sayang kepada orang yang miskin dan lemah.”[7]

Demikian semoga bermanfaat.

[1] HR. BUkhari

[2] Subulus Salam 2/229

[3] Syarh Riyadus Shalihin 3/102

[4] HR. Abu Dawud, At-Tirmidz, Al-Hakim, ia menshahihkannya dan di-setujui oleh adz-Dzahabi, serta dihasankan Syaikh al-Albani dalam al-Misykah

[5] Dishahihkan Al-Imam Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 779

[6] HR Nasa’i. 3179

[7] Fathul Bari 6/89, Darul Ma’rifah, Beirut, 1397 H, syamilah.

Temanmu, Cerminan Dirimu

Temanmu, Cerminan Dirimu 

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas seluruh nikmat yang telah Dia berikan. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam beserta keluarganya, sahabatnya, dan pengikutnya yang senantiasa istiqamah mengikuti sunnah-sunnah Nabi hingga akhir zaman.

Saudariku yang dikasihi Allah, manusia adalah makhluk sosial yang sudah fitrahnya membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Setiap manusia tidak akan bisa hidup sendirian tanpa berinteraksi dengan manusia lain disekitar dirinya. Bahkan ketika wafat pun kita tetap membutuhkan orang lain untuk menutup mata kita. Kita butuh keluarga, saudara, dan tetangga. Selain itu, kita juga membutuhkan seorang teman yang bisa saling membantu dan membawa kita menuju arah yang lebih baik.

Dalam islam, faktor memilih teman sangat dititik-beratkan. Kita tentu tidak ingin salah dalam memilih teman karena seorang teman memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan kita baik di dunia maupun akhirat. Oleh karena itu, sangatlah penting bersikap selektif dalam mencari teman. Allah subhanahu wa ta’alaa telah mengisyaratkan mengenai pengaruh dan peranan teman dalam hidup kita. Allah ta’alaa berfirman:

Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar” (QS.At Taubah:119).

4 Jenis Teman dalam Kehidupan
Manusia merupakan makhluk sosial yang dalam kehidupannya tentu membutuhkan orang lain, termasuk memiliki seorang teman. Berteman merupakan hal yang lumrah dilakukan manusia selaku makhluk sosial. Ibnul Qoyyim rahimahullah membagi teman dalam 4 jenis yaitu:

1. Teman bergaul bagaikan makanan yang tidak dapat ditinggalkan walaupun sehari Mereka adalah para ulama dan teman-teman yang shalih. Bergaul dengan kelompok seperti ini akan membawa keuntungan yang besar baik di dunia maupun akhirat. Mereka akan mengajarkan tentang hal-hal yang bermanfaat dalam perkara dunia dan agama, memberikan nasihat-nasihat, mengingatkan tentang perkara yang haram dilakukan, senantiasa memotivasi untuk terus giat beribadah kepada Allah, berbakti kepada orangtua dan melakukan kebaikan-kebaikan lainnya. Tentu saja mereka tidak lupa untuk mendoakan kebaikan-kebaikan atas dirimu. Teman seperti ini lah yang harus dijadikan sebagai seorang teman.

2. Teman bergaul bagaikan obat yang dibutuhkan saat sakit
Maksudnya mereka adalah teman yang kita butuhkan dalam memenuhi keperluan hidup kita dan selalu berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari seperti teman sekolah, teman kampus, rekan kerja, kerabat dan tetangga. Contohnya ketika diperkuliahan tentu kita membutuhkan teman dalam kerja kelompok untuk berdiskusi agar terpecahnya permasalahan dalam tugas yang diberikan.

3. Teman bergaul bagaikan penyakit dengan berbagai tingkatan dan macamnya
Berteman dengan teman seperti ini tentu tidak mendatangkan kebaikan bagi diri kita di dunia, terlebih lagi di akhirat. Mereka akan mengajak kita dalam hal-hal yang tidak bermanfaat, penuh kebathilan dan berakhlak buruk seperti malas belajar, suka membicarakan keburukan orang lain (ghibah), iri dengki, suka mengadu domba, mengumbar permusuhan dan lain-lain.

4. Teman bergaul bagaikan racun yang membawa kebinasaan
Teman seperti ini yaitu mereka yang membawa kita tergelincir di jalan Allah, orang yang menyeru kita untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah, gemar melakukan perbuatan dosa dan maksiat, tidak takut untuk melakukan dosa besar, menggoda kita untuk lalai menjalankan segala perintah Allah hingga menjerumuskan kita dalam perbuatan buruk dan tercela. Teman seperti inilah yang harus dijauhi agar kita terkena racun yang akan membawa kebinasaan pada diri kita (Bada’iul Fawaid,340-341)

Apa sih beda teman kenal dan teman dekat?
Dalam kehidupan sehari-hari tentu kita melakukan interaksi dengan orang lain baik itu dengan keluarga, sanak saudara, rekan kerja, teman-teman di sekolah atau kampus, tetangga maupun lingkungan sekitar kita berada. Dari sana kita memiliki relasi pertemanan yang begitu banyak sehingga mereka kenal dan dekat dengan diri kita. Tetapi ketahuilah teman kenal dan teman dekat itu ternyata berbeda, Saudariku. Teman kenal adalah seseorang yang bertemu dan berkenalan dengan kita dalam beberapa waktu sebentar saja atau karena pernah melakukan pekerjaan yang sama dalam suatu urusan tertentu. Misalnya kita mengenal seorang fulanah yang selalu mengajarkan tentang ilmu agama dalam suatu majelis ilmu.

Sedangkan teman dekat adalah teman yang senantiasa bersamamu dalam suka dan duka. Mereka yang mengetahui segala sifatmu dan tidak pernah meninggalkanmu dalam segala kekuranganmu, mereka yang menegur dan menasihatimu dengan lemah lembut ketika bersalah, mereka yang selalu mengingatkanmu tidak hanya tentang perkara dunia tetapi juga akhirat, mereka yang membantumu dalam menghadapi kesulitan dan musibah yang menghampiri dirimu dan mereka yang mendoakan kebaikan untuk dirimu secara diam-diam.

Seorang teman dekat juga bisa menjadi cerminan terhadap baik dan buruknya agama seseorang. Terkadang untuk melihat baik dan buruknya agama seseorang dengan cara melihat temannya, bila temannya baik, maka insyaa Allah baik pula diri kita, begitupun sebaliknya. Sebagaimana dalam sebuah hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

Agama seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian melihat siapakah yang menjadi teman dekatnya” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 927).

Dalam sebuah hadits lain, Rasululah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang peran dan dampak seorang teman dalam sabda beliau:
Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap” (HR. Bukhari no. 5534 dan Muslim no. 2628).

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memberikan permisalan seorang teman yang baik dengan penjual minyak kasturi dan teman yang buruk dengan tukang pandai besi. Dalam hadits ini juga terdapat keutamaan berteman dengan orang-orang yang shalih, pelaku kebaikan, orang-orang yang memiliki wibawa, akhlak yang mulia, sifat wara’, ilmu serta adab. Sekaligus juga terdapat larangan untuk bergaul dengan para pelaku kejelekan dan kebid’ahan serta siapa saja yang suka mengghibah (membicarakan kejelekan orang lain tanpa sepengetahuannya), banyak melakukan keburukan, kebathilan, serta sifat-sifat tercela lainnya” (Syarah Shahih Muslim, 4/227)

Tips Memilih Teman Dekat
Saudariku, ketahuilah bahwa tidak semua orang layak dijadikan sebagai teman dekat. Karena itu orang yang dijadikan teman harus memiliki sifat-sifat yang menunjang pertemanan tersebut. Kita tentu ingin memiliki pertemanan yang tidak hanya berorientasi pada dunia, tetapi juga untuk mencari manfaat untuk kepentingan akhirat kita, sebagaimana yang dikatakan sebagian salaf, “Perbanyaklah teman, karena setiap orang Mukmin itu mempunyai syafaat”.

Ibnu Qudamah dalam Mukhtasar Minhajul Qashidin (halaman 121-122) memberikan sifat orang yang baik kita pilih menjadi teman dekat harus memiliki lima sifat sebagai berikut:

1. Orang yang berakal. Karena akal (kepandaian) merupakan modal yang utama. Maksudnya mereka mengetahui segala sesuatu urusan tertentu sesuai dengan proporsinya sehingga mereka dapat memberikan pemahaman kepada kita atau kita bisa mengambil manfaat dari dirinya. Sedangkan berteman dengan orang yang jahil, tidak ada kebaikan yang diberikan dari dirinya. Bisa jadi ia hendak memberimu manfaat tapi justru memberimu mudharat.

2. Memiliki akhlak yang baik. Memiliki teman yang baik akhlaknya merupakan keharusan. Sebagaimana hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah mukmin yang paling baik akhlaknya” (HR. Abu Dawud no. 4682 dan at-Tirmidzi no. 1163, at Tirmidzi mengatakan: “hadits hasan shahih”).

Sebab berapa banyak orang berakal yang dirinya lebih banyak dikuasai amarah dan nafsu, lalu dia tunduk kepada nafsunya, sehingga tidak ada manfaatnya bergaul dengannya.

3. Bukan orang yang fasik. Sebab orang fasik tidak pernah merasa takut kepada Allah. Orang yang tidak takut kepada Allah tentu akan melakukan hal-hal yang diharamkan oleh Allah sehingga sewaktu-waktu orang lain tidak aman dari tipu dayanya.

4. Bukan ahli bid’ah. Pertemanan yang harus dihindari karena bid’ah yang dilakukannya. Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Hendaklah engkau mencari rekan-rekan yang jujur, niscaya engkau akan hidup aman dalam lindungannya. Mereka merupakan hiasan pada saat gembira dan hiburan pada saat berduka. Letakan urusan saudaramu pada tempat yang paling baik, hingga dia datang kepadamu untuk mengambil apa yang dititipkan kepadamu. Hindarilah musuhmu dan waspadailah temanmu kecuali orang yang bisa dipercaya. Tidak ada orang yang bisa dipercaya kecuali orang yang takut kepada Allah. Janganlah engkau berteman dengan orang keji, karena engkau bisa belajar dari kefasikannya. Jangan engkau bocorkan rahasiamu kepadanya dan mintalah pendapat dalam menghadapi masalahmu kepada orang-orang yang takut kepada Allah”.

5. Zuhud terhadap dunia. Teman yang baik yaitu mereka tidak akan menyibukkan diri dan mengajakmu dengan hal-hal yang bersifat duniawi serta tidak berambisi untuk mengejar kedudukan, pangkat, dan golongan.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersikap zuhud terhadap dunia, maka Allah akan mencintaimu. Dan bersikaplah tidak membutuhkan terhadap apa-apa yang dimiliki manusia, maka manusia akan mencintaimu” (HR. Ibnu Majah no.4102, dinilai shahih oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 944)

Saudariku yang dirahmati Allah, tentunya nikmat yang harus disyukuri yaitu memiliki teman-teman sholih yang mengingatkanmu akan akhirat di saat engkau lalai akibat hiruk-pikuk dunia. Semoga Allah menganugerahkan kita seorang teman yang tidak hanya mengingatkan tentang perkara dunia tetapi juga akhirat hingga reuni kembali di surga-Nya kelak dan Allah jauhkan kita dari teman yang membawa kita terjerumus dalam lembah hitam yang penuh kemaksiatan dan dosa.

***

Referensi:

  • Al Qur’anul Kariim dan terjemahannya
  • Bada’iul Fawaid, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Dar al-Fikr, Beirut.
  • Mukhtasar Minhajul Qashidin (terjemahan), Ibnu Qudamah Al Maqdisy, Pustaka Al Kautsar, Jakarta.
  • Syarah Shahih Muslim (terjemahan), Imam an-Nawawi, Darus Sunnah, Jakarta.
  • Lihatlah Siapa Temanmu, Latifah Ummu Zaid, 2012, https://muslimah.or.id/2755-lihatlah-siapa-temanmu.html