Penuntut Ilmu Dan Waktu Luang

Penuntut Ilmu Dan Waktu Luang 

Wahai para penuntut ilmu! Waktu yang Allah Subhaanahu wa Ta’ala berikan lebih mahal daripada emas karena ia adalah kehidupan bagi kita. Seorang penuntut ilmu tidak layak menyia-nyiakan waktu luangnya untuk bercanda, bergurau, bermain-main, dan melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat karena ia tidak akan pernah bisa mengganti waktunya yang telah berlalu. Siapa yang lalai terhadap waktunya, semakin besarlah kerugiannya, sebagaimana orang yang sakit merasa rugi kehilangan kesehatan dan kekuatannya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْـرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ.

“Dua nikmat, yang manusia banyak tertipu dengan-nya: nikmat sehat dan waktu luang.”[1]

Seorang Muslim yang terkumpul dua nikmat ini pada dirinya: kesehatan badan dan waktu luang, maka seharusnyalah menunaikan hak keduanya, yaitu bersyukur kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala dengan memanfaatkan keduanya untuk melakukan ketaatan dan meraih keridhaan-Nya. Jika ia menyia-nyiakannya maka ia adalah orang yang tertipu alias merugi besar dan bangkrut. Sebab, kesehatan akan digantikan dengan sakit dan waktu luang akan digantikan dengan kesibukan. Sebagaimana seorang pedagang yang memiliki modal, ia harus meraih keuntungan dengan modalnya itu. Begitu juga seorang Muslim memiliki modal, yaitu kesehatan dan waktu luang, maka ia tidak boleh menyia-nyiakannya pada selain ketaatan kepada Allah Sub-haanahu wa Ta’ala, yang merupakan perdagangan paling menguntungkan.[2]

Seorang penuntut ilmu harus memanfaatkan waktu luangnya dengan sebaik-baiknya. Ia tidak boleh me-nunda-nunda melakukan berbagai kebaikan.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memegang kedua pundakku seraya bersabda,

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ، وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَقُوْلُ: إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ  لِمَوْتِكَ.

“Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing atau seorang musafir.’” Dan Ibnu ‘Umar pernah mengatakan, “Jika engkau berada di sore hari, janganlah menunggu pagi. Dan jika engkau berada di pagi hari, janganlah menunggu sore. Pergunakanlah waktu sehatmu sebelum sakitmu, dan waktu hidupmu sebelum matimu.”[3]

Dengan kemurahan Allah Ta’ala semoga contoh-contoh berikut dapat membangkitkan semangat kita dalam mencari ilmu dan menyadari bahwa kita telah banyak menyia-nyiakan waktu yang sangat berharga.

Muhammad bin ‘Abdul Baqi (wafat th. 535 H) rahimahullaah mengatakan, “Aku tidak pernah menyia-nyiakan waktu yang pernah berlalu dari umurku untuk bermain-main dan berbuat yang sia-sia.”[4]

Ketahuilah sesungguhnya waktu itu dibagi menjadi beberapa bagian. Al-Khalil bin Ahmad (wafat th. 160 H) rahimahullaah mengatakan, “Waktu itu ada tiga bagian : waktu yang telah berlalu darimu dan takkan kembali, waktu yang sedang kaualami, dan lihatlah bagaimana ia akan berlalu darimu, dan waktu yang engkau tunggu, bisa jadi engkau tidak akan mendapatkannya.”[5]

Ada riwayat yang sangat mengagumkan, yang menunjukkan kesungguhan mereka dalam mengguna-kan waktu. Yaitu riwayat yang disebutkan Imam adz-Dzahabi dalam Siyar A’laamin Nubalaa’ tentang Dawud bin Abi Hindun (wafat th. 139 H) rahimahullaah. Dawud berkata, “Ketika kecil aku berkeliling pasar. Ketika pulang, kuusahakan diriku untuk berdzikir kepada Allah Ta’ala hingga tempat tertentu. Jika telah sampai tempat itu, kuusahakan diriku untuk berdzikir kepada Allah Ta’ala hingga tempat selanjutnya… hingga sampai di rumah.”[6] Tujuannya adalah menggunakan waktu dari umurnya.

Kesempatan yang Disia-siakan
Di antara beberapa kesempatan yang sering disia-siakan adalah:

  1. Banyak berkunjung.
    Banyak berkunjung dan berkumpul merupakan tali pengikat dan penguat rasa kasih sayang dan per-saudaraan. Selain itu, ia juga dapat menambah keimanan seorang hamba ketika dekat dengan saudara-saudara-nya. Tetapi, apabila perkumpulan itu tidak dimanfaatkan untuk menambah ilmu dan saling menasihati, maka pada beberapa kesempatan kita wajib meninggalkannya.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah mengatakan, “Berkumpul bersama teman itu terbagi dua; salah satunya adalah berkumpul bersama mereka untuk saling bekerja sama dalam meraih kesuksesan hidup dan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Hal ini temasuk perbuatan yang paling mulia dan bermanfaat, namun menimbulkan tiga bahaya: saling berbasa-basi, banyak berbicara, dan berkumpul lebih dari kebutuhan. Hal ini akan menjadi kecenderungan hati dan kebiasaan sehingga menghalangi tujuan utamanya…”[7]

Kita dapat membuktikan perkataan ini jika kita memperhatikan perkumpulan sebagian saudara-saudara kita bersama teman-temannya. Kita akan mengetahui bahwa mereka menghabiskan satu sampai dua jam bahkan lebih. Seandainya waktu berkumpul itu digunakan untuk membaca buku dengan seksama, niscaya didapatkanlah manfaat dan pengetahuan yang banyak.

  1. Sibuk dengan urusan yang tidak terlalu penting.
    Orang yang sibuk dengan urusan yang tidak terlalu penting dan orang yang apabila telah membaca satu jam sudah merasa puas, maka ia akan banyak meng-gunakan banyak waktu luangnya untuk bersantai-santai saja. Salah satu kebiasaan buruk yang mesti dijauhi adalah menonton televisi, baca koran, SMS yang tidak penting, berbicara di telepon untuk hal yang tidak penting, dan yang sepertinya.

Sebagian kita tentu akan merasa heran ketika berada di perpustakaan dengan bukunya yang sekian banyak, namun pemiliknya enggan membaca??!! Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah mengatakan, “Ummat ini telah menguasai berbagai bidang ilmu dengan baik. Orang yang diberikan cahaya oleh Allah Ta’ala dalam hatinya, akan diberi petunjuk dengan apa yang telah dikuasai dari ilmu tersebut. Dan orang yang dibutakan hatinya oleh Allah Ta’ala, buku-buku yang dimilikinya akan semakin membuatnya bingung dan tersesat.”[8]


Imam ‘Utsman bin Sa’id ad-Darimi (wafat th. 280 H) rahimahullaah mengatakan, “Sesungguhnya ilmu itu bukan dengan banyaknya riwayat, tetapi ilmu itu adalah cahaya yang dipancarkan Allah Ta’ala ke dalam hati. Dan syarat mendapatkannya adalah dengan ittiba’ (mengikuti Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam) dan meninggalkan hawa nafsu dan bid’ah.”[9]

Imam asy-Syafi’i rahimahullaah pernah ditanya, “Bagaimana keinginan Anda terhadap ilmu?” Beliau menjawab, “Ibarat seorang ibu yang sedang mencari anaknya yang hilang, dan ia tidak memiliki anak, kecuali anak tersebut.”[10]

  1. Mendengarkan kaset pengajian.
    Demi Allah, kaset adalah salah satu nikmat, tetapi kebanyakan kita menyia-nyiakannya. Penyebabnya adalah ketidakpedulian kita dalam mengatur waktu. Apakah bukan nikmat Allah jika ilmu selalu menyertai kita dalam perjalanan, ketika berbaring di tempat tidur, dan ketika duduk di meja makan???

Seorang pemuda pernah mengatakan tentang dirinya bahwa ia berhasil menghafal Al-Qur-an lantaran mendengarkan bacaan Al-Qur-an Syaikh Shiddiq al-Minsyawi selama dua tahun. Setiap selesai satu kaset, ia mengulangnya kembali sehingga Al-Qur-an pun mudah ia ucapkan. Subhaanallaah.

Aturlah waktu untuk mendengarkan pelajaran dalam perjalanan. Ibaratnya, janganlah kita turun dari mobil, kecuali setelah mendengarkan pelajaran-pelajaran yang bermanfaat.[11]

  1. Waktu antara adzan dan iqamat.
    Di antara waktu yang sering kita sia-siakan adalah waktu antara adzan dan iqamat. Siapa pun yang menggunakan waktu antara adzan dan iqamat untuk membaca Al-Qur-an, baik mengulang hafalannya maupun menghafalkannya, niscaya ia akan banyak menghafalkan Al-Qur-an. Gunakan juga waktu antara adzan dan iqamat untuk berdo’a, sebab do’a pada waktu ini tidak ditolak. Sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

لَا يُرَدُّ الدُّعَاءُ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ.

“Tidak ditolak do’a antara adzan dan iqamat.”[12]

Seandainya kita menggunakan waktu antara keduanya, bukan saja karena berharganya waktu ini, tetapi juga ingin mendapatkan pahala bersegera menuju shalat, maka kita akan mendapatkan banyak manfaat berupa ketenangan jiwa dan raga, selain manfaat men-dapatkan ilmu.

Berusahalah dengan sungguh-sungguh, setelah mengikhlaskan niat karena Allah Ta’ala, untuk meng-gunakan waktu dengan hal-hal yang bermanfaat seperti membaca, menulis, muraja’ah, mudzakarah, dan lainnya.[13]

Pentingnya Waktu dalam Menuntut Ilmu[14]
Waspadalah dari menyia-nyiakan waktu untuk sesuatu yang membahayakan atau hal-hal yang tidak bermanfaat. Sebab, hari-hari itu bagaikan  kehidupan kita. Apabila satu hari berlalu, hilanglah sebagian dari kehidupan kita. Bersungguh-sungguhlah dalam mengatur waktu dan menggunakannya untuk hal-hal yang bermanfaat.

Di antara bentuk memanfaatkan waktu adalah bersegera menuntut ilmu di masa muda karena masa ini adalah masa yang penuh kekuatan, semangat, dan tekad yang kuat. Imam Ibnu Jama’ah mengatakan, “Ia bersegera –maksudnya penuntut ilmu– memanfaatkan masa mudanya dan seluruh waktu dari umurnya untuk memperoleh ilmu. Ia tidak tergoyahkan dengan tipuan angan-angan kosong dan menunda-nunda karena setiap jam dari umurnya akan berlalu dan itu mesti terjadi serta takkan pernah kembali.”[15]

Di antara bentuk memanfaatkan waktu juga adalah mengatur waktu dalam menuntut berbagai ilmu, menga-turnya untuk setiap ilmu yang sesuai, dan mengaturnya untuk mendapatkan apa yang bermanfaat baginya. Imam Ibnu Jama’ah rahimahullaah mengatakan tentang jenis yang kelima dari adab-adab penuntut ilmu ter-hadap dirinya sendiri, “Hendaklah ia membagi waktu malam dan siangnya, dan memanfaatkan umur yang tersisa padanya karena umur yang tersisa tidak ada bandingannya.”[16]

Di antaranya juga adalah meninggalkan berlebih-lebihan dalam bergaul, keluar ke jalan-jalan, ke pasar atau tempat lainnya untuk melakukan hal-hal yang tidak penting dan tidak bermanfaat. Karena perbuatan seperti ini bahayanya lebih besar daripada manfaatnya, dengan demikian wajib berhati-hati darinya. Bahaya yang paling kecil adalah menyia-nyiakan waktu teman duduknya, dan tidak adanya manfaat yang mereka peroleh dibalik duduk-duduknya itu karena banyaknya canda, berbasa-basi, bergurau, dan ngobrol yang tidak ada manfaatnya.

Di antara bentuk memanfaatkan waktu juga adalah meninggalkan berlebih-lebihan dalam tidur. Tidurlah sesuai dengan kebutuhan. Imam Ibnu Jama’ah rahima-hullaah mengatakan mengenai adab penuntut ilmu syar’i dengan dirinya sendiri, “Hendaklah menyedikitkan tidur selama tidak mendatangkan kemudharatan pada badan dan otaknya. Janganlah menambah waktu tidurnya melebihi delapan jam, yaitu sepertiga waktunya (dari 24 jam). Jika keadaannya memungkinkan untuk tidur kurang dari waktu tersebut, maka lakukanlah.”[17]

Di antaranya juga adalah meninggalkan berlebih-lebihan dalam makan, minum dan jima’ (bersetubuh). Begitu pula meninggalkan perhatian dalam mencari makanan yang berlebihan, karena hal itu menghabiskan waktu, baik dalam memperolehnya maupun mempersiapkan berbagai sebabnya.

Di antara bentuk memanfaatkan waktu yang lainnya adalah menjauhi banyak gurau dan tawa. Hendaklah mengadakan perkumpulan untuk menghafalkan Al-Qur-an, giat menghadiri kajian ilmiah dan majelis-majelis ilmu, giat mendengarkan kaset dan CD kajian Islam dan mencatat poin-poin penting darinya, meng-hafalkan hadits-hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan yang lainnya.

Kewajiban kalian, wahai penuntut ilmu, adalah memelihara waktumu, jangan kauhabiskan, kecuali untuk hal yang bermanfaat karena ia adalah modalmu, bersungguh-sungguhlah menjaganya sebagaimana kesungguhanmu dalam menuntut ilmu. Wallaahul Muwaffiq.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah mengatakan bahwa ada empat hal yang dapat merusak hati, yaitu berlebihan dalam berbicara, berlebihan dalam makan, berlebihan dalam tidur, dan berlebihan dalam ber-gaul.[18]

Teladan Para Ulama dalam Menjaga Waktu
Inilah, sesungguhnya para pendahulu kita yang shalih adalah orang yang paling bersemangat dalam memanfaatkan waktunya. Mereka tidak menyia-nyia-kannya pada apa yang tidak membawa manfaat. Mereka tidak mencurahkannya pada apa yang tidak mendatang-kan keuntungan di belakangnya. Sebaliknya, mereka menghabiskan waktunya untuk berjuang di jalan Allah Ta’ala, mereka pun menyibukkan dirinya dengan menuntut ilmu, melakukan amalan sunnah, bertasbih, beristighfar, mengajar, dan amal-amal ketaatan lainnya.


Di dalam perjalanan hidup para ulama kita yang mulia terdapat sesuatu yang mendorong kita agar menjaga waktu dan meninggalkan semua yang sia-sia dan tidak ada manfaatnya.

Al-Hafizh al-Kabir Abul Qasim bin ‘Asakir (wafat th. 571 H) rahimahullaah pemilik karya tulis yang banyak dan bermanfaat. Beliau tidak pernah menyia-nyiakan sekejap pun dari waktunya, kecuali untuk melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Anak beliau, Bahauddin, berkata, “Ayahku –rahimahullaah- adalah orang yang rajin menghadiri shalat berjama’ah dan membaca Al-Qur-an, beliau mengkhatamkannya setiap Jum’at, dan mengkhatamkannya pada bulan Ramadhan setiap hari. Beliau melakukan i’tikaf di menara timur di Masjid Jami’ Dimasyq (Damaskus). Beliau banyak melakukan shalat sunnah dan berdzikir, selalu mengintrospeksi dirinya atas setiap waktunya yang telah berlalu.”

Abul Muwahib bin Shashri berkata, “Beliau belum pernah sibuk semenjak 40 tahun, yakni semenjak gurunya mengizinkannya untuk meriwayatkan hadits, kecuali dengan mengumpulkan dan mendengarkan hadits hingga pada saat beliau mengasingkan diri.”[19]

Sebagian ulama kita tidak menyia-nyiakan waktunya hingga ketika mereka berada di setiap perjalanannya, bahkan mereka menyibukkan dirinya dengan sesuatu yang bermanfaat.

Di antara mereka adalah al-Hafizh al-Kabir Abu Nu’aim al-Ashbahani (wafat th. 430 H) rahimahullaah. Imam adz-Dzahabi rahimahullaah berkata tentang biografi beliau dalam kitabnya, Tadzkiratul Huffaazh, “Telah berkata Ahmad bin Muhammad bin Mardawaih, ‘Pada zamannya banyak para ulama yang mengembara untuk mendatanginya. Tidak ada seorang pun dari setiap ufuk (di seluruh dunia) yang lebih hafal dan lebih dijadikan sandaran daripada dirinya. Para hafizh (penghafal hadits) dunia telah berkumpul di hadapannya. Setiap hari bergiliranlah setiap orang dari mereka membacakan apa yang beliau inginkan hingga mendekati waktu Zhuhur. Apabila beliau beranjak menuju rumahnya, mungkin dibacakanlah kepadanya di jalan sekitar satu juz, dan beliau tidak pernah bosan. Makanan pokok beliau tidak lain adalah mendengarkan hadits dan mengarang buku.”[20]

Dan di antara ulama pada abad ini yang menjaga waktunya, bersungguh-sungguh dalam berjihad menegakkan Sunnah, menyebarkan ilmu yang bermanfaat, menghabiskan waktunya dalam menuntut ilmu adalah Syaikh al-Muhadditsiin Imamul ‘Ulama asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani (wafat th. 1420 H) rahimahullaah.

Beliau rahimahullaah menghabiskan sebagian besar waktunya di Perpustakaan azh-Zhahiriyyah untuk menuntut ilmu. Beliau menutup kiosnya dan tetap berada di dalam perpustakaan selama dua belas jam. Beliau tidak pernah lelah dalam muthala’ah, memberi komentar dan meneliti, kecuali pada waktu-waktu shalat, hingga makan siang beliau tidak dimakan, melainkan di dalam perpustakaan. Beliau adalah orang yang pertama kali memasuki perpustakaan dan orang yang terakhir keluar darinya.

Sungguh, di dalam perjalan hidup mereka, para ulama yang mulia, terdapat teladan yang baik dan pelajaran yang agung bagi kita.[21]

[Disalin dari Bab II, buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]


Footnote
[1] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6412), at-Tirmidzi (no. 2304), Ibnu Majah (no. 4170), Ahmad (I/258, 344), ad-Darimi (II/297), al-Hakim (IV/306) dan lainnya, lafazh ini milik al-Bukhari, dari Shahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.
[2] Disarikan dari kitab Aadaab Thaalibil ‘Ilmi (hal. 107), oleh Dr. Anas bin Ahmad Kurzun.
[3] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6416), Ahmad (II/24, 132), at-Tirmidzi (no. 2333), Ibnu Majah (no. 4114), dan al-Baihaqi (III/369).
[4] Siyar A’laamin Nubalaa’ (XX/26).
[5] Thabaqaat al-Hanaabilah (I/288). Dinukil dari kitab Ma’aalim fii Thariiq Thalabil ‘Ilmi (hal. 35-36).
[6] Siyar A’laamin Nubalaa’ (VI/378).
[7] Al-Fawaa-id (hal. 63) dan Fawaa-idul Fawaa-id (hal. 447). Dinukil dari Ma’aalim fii Thariiq Thalabil ‘Ilmi (hal. 38-39).
[8] Majmuu’atur Rasaa-il al-Kubra (I/239), dinukil dari Ma’aalim fii Thariiq Thalabil ‘Ilmi (hal. 40).
[9] Siyar A’laamin Nubalaa’ (XIII/323).
10] Aadaabusy Syafi’i wa Manaaqibuhu, karya ar-Razi. Dinukil dari kitab Ma’aalim fii Thariiq Thalabil ‘Ilmi (hal. 41).
[11] Dinukil dari Ma’aalim fii Thariiq Thalabil ‘Ilmi (hal. 41-42).
[12] HR. At-Tirmidzi (no. 212, 3595), Ahmad (III/119, 155, 225), an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 67, 68, 69), Ibnu Khuzaimah (no. 425, 426, 427). Lihat penjelasan Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah tentang hal ini dalam Shahiih al-Waabilish Shayyib (hal. 182-185) dan Zaadul Ma’aad (II/391-392).
[13] Dinukil dari Ma’aalim fii Thariiq Thalabil ‘Ilmi (hal. 43-45), secara ringkas dan sedikit tambahan.
[14] Dinukil dari ath-Thariiq ilal ‘Ilmi (hal. 81-83) dengan diringkas dan ditambah.
[15] Tadzkiratus Saami’ wal Mutakallim (hal. 114-115).
[16] Tadzkiratus Saami’ wal Mutakallim (hal. 118).
[17] Tadzkiratus Saami’ wal Mutakallim (hal. 124-125).
[18] Lihat Fawaa-idul Fawaa-id (hal. 262).
[19] Tadzkiratul Huffaazh (IV/84-85).
[20] Tadzkiratul Huffaazh (III/196) dan Siyar A’laamin Nubalaa’ (IV/459).
[21] Disarikan dari kitab ath-Thariiq ilal ‘Ilmi (hal. 81-85).

Pengertian Iman

Pengertian Iman

Pengertian iman secara bahasa menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin adalah pengakuan yang melahirkan sikap menerima dan tunduk. Kata beliau makna ini cocok dengan makna iman dalam istilah syari’at. Dan beliau mengkritik orang yang memaknai iman secara bahasa hanya sekedar pembenaran hati (tashdiq) saja tanpa ada unsur menerima dan tunduk. Kata ’iman’ adalah fi’il lazim (kata kerja yang tidak butuh objek), sedangkan tashdiq adalah fi’il muta’addi (butuh objek) (Lihat Syarh Arba’in, hal. 34)

Adapun secara istilah, dalam mendefinisikan iman manusia terbagi menjadi beragam pendapat [dikutip dari Al Minhah Al Ilahiyah, hal. 131-132 dengan sedikit perubahan redaksional] :

Pertama Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Al Auza’i, Ishaq bin Rahawaih, dan segenap ulama ahli hadits serta ahlul Madinah (ulama Madinah) –semoga Allah merahmati mereka- demikian juga para pengikut madzhab Zhahiriyah dan sebagian ulama mutakallimin berpendapat bahwa definisi iman itu adalah : pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan amal dengan anggota badan. Para ulama salaf –semoga Allah merahmati mereka- menjadikan amal termasuk unsur keimanan. Oleh sebab itu iman bisa bertambah dan berkurang, sebagaimana amal juga bertambah dan berkurang (lihat Kitab Tauhid li Shaff Ats Tsaani Al ‘Aali, hal. 9).

Kedua Banyak di antara ulama madzhab Hanafi yang mengikuti definisi sebagaimana yang disebutkan oleh Ath Thahawi rahimahullah yang mengatakan bahwa iman itu pengakuan dengan lisan dan pembenaran dengan hati.

Ketiga Ada pula yang mengatakan bahwa pengakuan dengan lisan adalah rukun tambahan saja dan bukan rukun asli. Inilah pendapat Abu Manshur Al Maturidi rahimahullah, dan Abu Hanifah pun diriwayatkan memiliki sebuah pendapat seperti ini.

Keempat Sekte Al Karramiyah mengatakan bahwa iman itu hanya pengakuan dengan lisan saja! Maka dari definisi mereka ini orang-orang munafiq itu dinilai sebagai orang-orang beriman yang sempurna keimanannya, akan tetapi menurut mereka orang-orang munafiq itu berhak mendapatkan ancaman yang dijanjikan oleh Allah untuk mereka! Pendapat mereka ini sangat jelas kekeliruannya.

Kelima Jahm bin Shafwan dan Abul Hasan Ash Shalihi –salah satu dedengkot sekte Qadariyah- berpendapat bahwa iman itu cukup dengan pengetahuan yang ada di dalam hati! [Dan inilah yang diyakini oleh kaum Jabariyah, lihat. Syarh ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 163]. Pendapat ini jauh lebih jelas kerusakannya daripada pendapat sebelumnya! Sebab kalau pendapat ini dibenarkan maka konsekuensinya Fir’aun beserta kaumnya menjadi termasuk golongan orang-orang yang beriman, karena mereka telah mengetahui kebenaran Musa dan Harun ‘alaihimash sholatu was salam dan mereka tidak mau beriman kepada keduanya. Karena itulah Musa mengatakan kepada Fir’aun, ”Sungguh kamu telah mengetahui dengan jelas bahwa tidaklah menurunkan itu semua melainkan Rabb pemilik langit dan bumi.” (QS. Al Israa’ [17] : 102). Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Mereka telah menentangnya, padahal diri mereka pun meyakininya, hal itu dikarenakan sikap zalim dan perasaan sombong. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang melakukan kerusakan itu.” (QS. An Naml [27] : 14). Bahkan iblis pun dalam pengertian Jahm ini juga termasuk kaum beriman yang sempurna imannya! Karena ia tidaklah bodoh tentang Rabbnya, bahkan dia adalah sosok yang sangat mengenal Allah (yang artinya), ”Iblis berkata,’Rabbku, tundalah kematianku hingga hari mereka dibangkitkan nanti.’.” (QS. Al Hijr [15] : 36). Dan hakekat kekufuran dalam pandangan Jahm ini adalah ketidaktahuan tentang Allah ta’ala, padahal tidak ada yang lebih bodoh tentang Rabbnya daripada dia!!

Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Iman itu meliputi perkataan dan perbuatan. Dia bisa bertambah dan bisa berkurang. Bertambah dengan sebab ketaatan dan berkurang dengan sebab kemaksiatan.” Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Iman bisa bertambah dan bisa berkurang. Ia bertambah dengan melakukan amal, dan ia berkurang dengan sebab meninggalkan amal.” (Perkataan dua orang imam ini bisa dilihat di Al Wajiz fii ‘Aqidati Salafish shalih, hal. 101-102) Bahkan Imam Bukhari rahimahullah mengatakan, “Aku telah bertemu dengan lebih dari seribu orang ulama dari berbagai penjuru negeri, aku tidak pernah melihat mereka berselisih bahwasanya iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan berkurang.” (Lihat Fathul Baari, I/60)

Penjelasan definisi iman

‘Iman itu berupa pembenaran hati’ artinya hati menerima semua ajaran yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam. ‘Pengakuan dengan lisan’ artinya mengucapkan dua kalimat syahadat ‘asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah’. Sedangkan ‘perbuatan dengan anggota badan’ artinya amal hati yang berupa keyakinan-keyakinan dan beramal dengan anggota badan yang lainnya dengan melakukan ibadah-ibadah sesuai dengan kemampuannya (Lihat Kitab At Tauhid li Shaff Ats Tsaani Al ‘Aali, hal. 9)

Dan salah satu pokok penting dari aqidah Ahlus sunnah wal jama’ah ialah keyakinan bahwa iman itu bertambah dan berkurang (Lihat Fathu Rabbbil Bariyah, hal. 102). Hal ini telah ditunjukkan oleh dalil-dalil dari Al Kitab maupun As Sunnah. Salah satu dalil dari Al Kitab yaitu firman Allah ta’ala (yang artinya), “Agar bertambah keimanan mereka di atas keimanan mereka yang sudah ada.” (QS. Al Fath [48] : 4).

Dalil dari As Sunnah di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sosok kaum perempuan, ”Tidaklah aku melihat suatu kaum yang kurang akal dan agamanya dan lebih cepat membuat hilang akal pada diri seorang lelaki yang kuat daripada kalian ini (kaum perempuan).” (HR. Al Bukhari dan Muslim).

Maka ayat di atas menunjukkan penetapan bahwa iman itu bisa bertambah, sedangkan di dalam hadits tersebut terdapat penetapan tentang berkurangnya agama. Sehingga masing-masing dalil ini menunjukkan adanya pertambahan iman. Dan secara otomatis hal itu juga mengandung penetapan bisa berkurangnya iman, begitu pula sebaliknya. Sebab pertambahan dan pengurangan adalah dua hal yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Tidak masuk akal keberadaan salah satunya tanpa diiringi oleh yang lainnya.

Dengan demikian dalam pandangan ahlus sunnah definisi iman memiliki 5 karakter : keyakinan, ucapan, amal, bisa bertambah, dan bisa berkurang. Atau bisa diringkas menjadi 3 : keyakinan, ucapan, dan amal. Karena amal bagian dari iman, secara otomatis iman bisa bertambah dan berkurang. Atau bisa diringkas lebih sedikit lagi menjadi 2 : ucapan dan amal, sebab keyakinan sudah termasuk dalam amal yaitu amal hati. Wallahu a’lam. Penyimpangan dalam mendefinisikan iman

Keyakinan bahwa iman bisa bertambah dan berkurang adalah aqidah yang sudah paten, tidak bisa diutak-atik atau ditawar-tawar lagi. Meskipun demikian, ada juga orang-orang yang menyimpang dari pemahaman yang lurus ini. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa orang-orang yang menyimpang tersebut terbagi menjadi dua kelompok yaitu : Murji’ah dan Wai’diyah.

Murji’ah tulen mengatakan bahwa iman itu cukup dengan pengakuan di dalam hati, dan pengakuan hati itu menurut mereka tidak bertingkat-tingkat. Sehingga menurut mereka orang yang gemar bermaksiat (fasik) dengan orang yang salih dan taat sama saja dalam hal iman. Menurut orang-orang Murji’ah amal bukanlah bagian dari iman. Sehingga cukuplah iman itu dengan modal pengakuan hati dan ucapan lisan saja. Konsekuensi pendapat mereka adalah pelaku dosa besar termasuk orang yang imannya sempurna. Meskipun dia melakukan kemaksiatan apapun dan meninggalkan ketaatan apapun. Madzhab mereka ini merupakan kebalikan dari madzhab Khawarij. (lihat Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 161-163, Syarh ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 162).

Wa’idiyah yaitu kaum Mu’tazilah [Mereka adalah para pengikut Washil bin ‘Atha’ yang beri’tizal (menyempal) dari majelis pengajian Hasan Al Bashri. Dia menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar itu di dunia dihukumi sebagai orang yang berada di antara dua posisi (manzilah baina manzilatain), tidak kafir tapi juga tidak beriman. Akan tetapi menurutnya di akherat mereka akhirnya juga akan kekal di dalam Neraka, lihat Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 161-163] dan Khawarij mengatakan bahwa pelaku dosa besar telah keluar dari lingkaran iman. Mereka mengatakan bahwa iman itu kalau ada maka ada seluruhnya dan kalau hilang maka hilang seluruhnya. Mereka menolak keyakinan bahwa iman itu bertingkat-tingkat. Orang-orang Mu’tazilah dan Khawarij berpendapat bahwa iman itu adalah : pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan amal dengan anggota badan, akan tetapi iman tidak bertambah dan tidak berkurang (lihat Thariqul wushul ila idhahi Tsalatsati Ushul, hal. 169). Sehingga orang Mu’tazilah menganggap semua amal adalah syarat sah iman (lihat catatan kaki Al Minhah Al Ilahiyah, hal. 133). Dengan kata lain, menurut mereka pelaku dosa besar keluar dari Islam dan kekal di neraka (lihat Syarh ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 163).

Kedua kelompok ini sudah jelas terbukti kekeliruannya baik dengan dalil wahyu maupun dalil akal. Adapun wahyu, maka dalil-dalil yang menunjukkan bertambah dan berkurangnya iman sudah disebutkan… (Lebih lengkap lihat Fathu Rabbil Bariyah, hal. 103-104).


Menjaga Istiqomah Pemuda Di Era Milenial

Menjaga Istiqomah Pemuda Di Era Milenial

Salah satu ciri menjaga keistiqamahan pemuda di era milenial adalah menjadi pemuda yang rajin dalam mencari ilmu, baik ilmu syar’i maupun disiplin ilmu yang bermanfaat dalam kehidupannya dan menunjang dalam ibadah kepada Allah Ta’ala. Yakni, pemuda yang mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, serta memahami batasan terhadap lawan jenis. Tidaklah seorang pemuda dikatakan berilmu, jika ia masih malas, nonproduktif, serta tidak memanfaatkan waktu mudanya dalam hal yang bermanfaat dan produktif.

Jadilah pemuda muslim milenial yang mampu memberi pengaruh yang baik pada umat dan masyarakat. Seperti Nabi Muhammad shallalahu ‘alaihi wassallam setelah meninggal, beliau mewariskan banyak ilmu syar’i, baik yang termaktub dalam wahyu Allah ‘Azza Wajalla, yakni Al-Quran ataupun dalam As-Sunah. Al-Quran sebagai petunjuk akan kebesaran dan kemuliaan Allah dalam membimbing kita semua dalam menuju kebenaran dan kebaikan.

Dalam hal ini, Imam Asy- Syafi’i rahimahullah memberikan nasihat yang berharga, “Demi Allah, hidupnya pemuda itu dengan ilmu dan takwa. Jika keduanya tidak ada, maka keberadaannya tidak dianggap ada.” Selain itu, ada banyak nasihat yang bisa kita ambil dari para ulama kita.

Kita perhatikan bahwa Al-Quran menyebutkan tentang “pemuda” di banyak keutamaan dan di banyak tempat. Allah Ta’ala berfirman,

قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ

Mereka berkata, ’Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim.’” (QS. Al-Anbiya’: 60)

Selain itu, banyak hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang sahih yang menerangkan nasihat khusus untuk pemuda muslim. Engkau habiskan untuk apa masa mudamu? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “(Tidak akan bergeser kaki anak Adam (manusia) pada hari kiamat nanti di hadapan rabb-Nya).” (HR. Tirmidzi no. 2340)

Pemuda di setiap umat adalah tulang punggung yang membentuk komponen pergerakan. Karena mereka memiliki kekuatan yang produktif dan kontribusi (peran) yang terus-menerus. Dan pada umumnya, tidaklah suatu umat akan runtuh, karena masih ada pundak para pemuda yang punya kepedulian dan semangat yang membara.

ولقد علم أعداء الإسلام هذه الحقيقة ، فسعوا إلى وضع العراقيل في طريقهم ، أو تغيير اتجاههم ، إما بفصلهم عن دينهم ، أو إيجاد هوة سحيقة بينهم وبين أولي العلم ، والرأي الصائب ، في أمتهم ، أو بإلصاق الألقاب المنفِّرة منهم ، أو وصفهم بصفات ونعوت ، غير صحيحة ، وتشويه سمعة من أنار الله بصائرهم في مجتمعاتهم ، أو بتأليب بعض الحكومات عليهم “

Musuh-musuh Islam telah mengetahui fakta ini. Mereka pun berusaha merintangi jalan para pemuda muslim, mengubah pandangan hidup mereka, baik dengan memisahkan mereka dari agama, menciptakan jurang antara mereka dengan ulama dan norma-norma yang baik di masyarakat. Mereka memberikan label yang buruk terhadap para ulama sehingga para pemuda menjauh, menggambarkan mereka dengan sifat dan karakter yang buruk, menjatuhkan reputasi para ulama yang dicintai masyarakat, atau memprovokasi penguasa untuk berseberangan dengan mereka.” (Fatwa Syekh Ibnu Baz, 2: 365)

Maka, pemuda yang dijanjikan akan mendapatkan naungan dari Allah Ta’ala ialah yang memiliki peran penting dalam mengambil posisi strategis baik dalam hal keilmuan agama, disiplin ilmu, dan kebermanfaatan di lingkungan masyarakat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَعْجَبُ مِنَ الشَّابِّ لَيْسَتْ لَهُ صَبْوَةٌ

Sesungguhnya Allah Ta’ala benar-benar kagum terhadap seorang pemuda yang tidak memiliki shabwah (kecondongan untuk menyimpang dari kebenaran, pent.).” (HR. Ahmad, 2: 263; Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir, 17: 309; dan lain-lain. Dinilai sahih dengan berbagai jalurnya oleh Syekh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 2843.)

Inilah sosok pemuda muslim yang Allah Ta’ala cintai dan pemuda yang pandai dalam mensyukuri nikmat besar yang Allah Ta’ala anugerahkan kepadanya.

Semoga Allah ‘Azza Wajalla menjaga hidayah dan keistikamahan kita, mengaruniakan keberkahan, dan keikhlasan dalam setiap amal yang kita perbuat. Dan jangan lupa untuk senantiasa berdoa dan meminta perlindungan pada Allah Ta’ala agar kita terhindar dari fitnah dan syubhat akhir zaman yang marak hadir di sekitar lingkungan, terutama maksiat yang diumbar dan dosa-dosa yang ditampakkan. Semoga kita dimudahkan dan dimampukan dalam menjaga niat diri ikhlas menjadi insan yang semakin bertakwa dan mengimani setiap syariat dan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

***

Tutuplah Aib Saudaramu

Tutuplah Aib Saudaramu 

Bagi kebanyakan kaum wanita, ibu-ibu ataupun remaja putri, bergunjing membicarakan aib, cacat, atau cela yang ada pada orang lain bukanlah perkara yang besar. Bahkan di mata mereka terbilang remeh, ringan dan begitu gampang meluncur dari lisan. Seolah-olah obrolan tidak asyik bila tidak membicarakan kekurangan orang lain. “Si Fulanah begini dan begitu…”. “Si ‘Alanah orangnya suka ini dan itu…”.
Ketika asyik membicarakan kekurangan orang lain seakan lupa dengan diri sendiri. Seolah diri sendiri sempurna tiada cacat dan cela. Ibarat kata pepatah, “Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tiada tampak.”
Perbuatan seperti ini selain tidak pantas/tidak baik menurut perasaan dan akal sehat kita, ternyata syariat yang mulia pun mengharamkannya bahkan menekankan untuk melakukan yang sebaliknya yaitu menutup dan merahasiakan aib orang lain.
Ketahuilah wahai saudariku, siapa yang suka menceritakan kekurangan dan kesalahan orang lain, maka dirinya pun tidak aman untuk diceritakan oleh orang lain. Seorang ulama salaf berkata, “Aku mendapati orang-orang yang tidak memiliki cacat/cela, lalu mereka membicarakan aib manusia maka manusia pun menceritakan aib-aib mereka. Aku dapati pula orang-orang yang memiliki aib namun mereka menahan diri dari membicarakan aib manusia yang lain, maka manusia pun melupakan aib mereka.”1
Tahukah engkau bahwa manusia itu terbagi dua:
Pertama: Seseorang yang tertutup keadaannya, tidak pernah sedikitpun diketahui berbuat maksiat. Bila orang seperti ini tergelincir dalam kesalahan maka tidak boleh menyingkap dan menceritakannya, karena hal itu termasuk ghibah yang diharamkan. Perbuatan demikian juga berarti menyebarkan kejelekan di kalangan orang-orang yang beriman. Allah l berfirman:


إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ


“Sesungguhnya orang-orang yang menyenangi tersebarnya perbuatan keji2 di kalangan orang-orang beriman, mereka memperoleh azab yang pedih di dunia dan di akhirat….” (An-Nur: 19)
Kedua: Seorang yang terkenal suka berbuat maksiat dengan terang-terangan, tanpa malu-malu, tidak peduli dengan pandangan dan ucapan orang lain. Maka membicarakan orang seperti ini bukanlah ghibah. Bahkan harus diterangkan keadaannya kepada manusia hingga mereka berhati-hati dari kejelekannya. Karena bila orang seperti ini ditutup-tutupi kejelekannya, dia akan semakin bernafsu untuk berbuat kerusakan, melakukan keharaman dan membuat orang lain berani untuk mengikuti perbuatannya3.

Saudariku muslimah…
Engkau mungkin pernah mendengar hadits Rasulullah n yang berbunyi:


مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمـِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّـرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فيِ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ …


“Siapa yang melepaskan dari seorang mukmin satu kesusahan yang sangat dari kesusahan dunia niscaya Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan dari kesusahan di hari kiamat. Siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya Allah akan memudahkannya di dunia dan nanti di akhirat. Siapa yang menutup aib seorang muslim niscaya Allah akan menutup aibnya di dunia dan kelak di akhirat. Dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu menolong saudaranya….” (HR. Muslim no. 2699)
Bila demikian, engkau telah tahu keutamaan orang yang suka menutup aib saudaranya sesama muslim yang memang menjaga kehormatan dirinya, tidak dikenal suka berbuat maksiat namun sebaliknya di tengah manusia ia dikenal sebagai orang baik-baik dan terhormat. Siapa yang menutup aib seorang muslim yang demikian keadaannya, Allah l akan menutup aibnya di dunia dan kelak di akhirat.
Namun bila di sana ada kemaslahatan atau kebaikan yang hendak dituju dan bila menutupnya akan menambah kejelekan, maka tidak apa-apa bahkan wajib menyampaikan perbuatan jelek/aib/cela yang dilakukan seseorang kepada orang lain yang bisa memberinya hukuman. Jika ia seorang istri maka disampaikan kepada suaminya. Jika ia seorang anak maka disampaikan kepada ayahnya. Jika ia seorang guru di sebuah sekolah maka disampaikan kepada mudir-nya (kepala sekolah). Demikian seterusnya4.
Yang perlu diingat, wahai saudariku, diri kita ini penuh dengan kekurangan, aib, cacat, dan cela. Maka sibukkan diri ini untuk memeriksa dan menghitung aib sendiri, niscaya hal itu sudah menghabiskan waktu tanpa sempat memikirkan dan mencari tahu aib orang lain. Lagi pula, orang yang suka mencari-cari kesalahan orang lain untuk dikupas dan dibicarakan di hadapan manusia, Allah l akan membalasnya dengan membongkar aibnya walaupun ia berada di dalam rumahnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Barzah Al-Aslami z dari Rasulullah n:


يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ اْلإِيْمَانُ قَلْبَهُ، لاَ تَغْتاَبوُا الـْمُسْلِمِيْنَ، وَلاَ تَتَّبِـعُوْا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَوْرَاتِهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ


“Wahai sekalian orang yang beriman dengan lisannya dan iman itu belum masuk ke dalam hatinya5. Janganlah kalian mengghibah kaum muslimin dan jangan mencari-cari/mengintai aurat6 mereka. Karena orang yang suka mencari-cari aurat kaum muslimin, Allah akan mencari-cari auratnya. Dan siapa yang dicari-cari auratnya oleh Allah, niscaya Allah akan membongkarnya di dalam rumahnya (walaupun ia tersembunyi dari manusia).” (HR. Ahmad 4/420, 421,424 dan Abu Dawud no. 4880. Kata Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud: “Hasan shahih.”)
Abdullah bin ‘Umar c menyampaikan hadits yang sama, ia berkata, “Suatu hari Rasulullah n naik ke atas mimbar, lalu menyeru dengan suara yang tinggi:


يَا مَعْشَرَ مَنْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُفْضِ اْلإِيْمَانُ إِلَى قَلْبِهِ، لاَ تُؤْذُو الْمُسْلِمِيْنَ، وَلاَ تُعَيِّرُوهُمْ، وَلاَ تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيْهِ الْمُسْلِمِ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ، يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِي جَوْفِ رَحْلِهِ


“Wahai sekalian orang yang mengaku berislam dengan lisannya dan iman itu belum sampai ke dalam hatinya. Janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, janganlah menjelekkan mereka, jangan mencari-cari aurat mereka. Karena orang yang suka mencari-cari aurat saudaranya sesema muslim, Allah akan mencari-cari auratnya. Dan siapa yang dicari-cari auratnya oleh Allah, niscaya Allah akan membongkarnya walau ia berada di tengah tempat tinggalnya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2032, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil t dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain, hadits no. 725, 1/581)
Dari hadits di atas tergambar pada kita betapa besarnya kehormatan seorang muslim. Sampai-sampai ketika suatu hari Abdullah bin ‘Umar c memandang ke Ka’bah, ia berkata:


مَا أَعْظَمَكِ وَأَعْظَمَ حُرْمَتَكِ، وَالْمُؤْمِنُ أَعْظَمَ حُرْمَةً عِنْدَ اللهِ مِنْكِ


“Alangkah agungnya engkau dan besarnya kehormatanmu. Namun seorang mukmin lebih besar lagi kehormatannya di sisi Allah darimu.”7
Karena itu saudariku… Tutuplah cela yang ada pada dirimu dengan menutup cela yang ada pada saudaramu yang memang pantas ditutup. Dengan engkau menutup cela saudaramu, Allah l akan menutup celamu di dunia dan kelak di akhirat. Siapa yang Allah l tutup celanya di dunianya, di hari akhir nanti Allah l pun akan menutup celanya sebagaimana Nabi n bersabda:


لاَ يَسْتُرُ اللهُ عَلَى عَبْدٍ فِي الدُّنْيَا إِلاَّ سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ


“Tidaklah Allah menutup aib seorang hamba di dunia melainkan nanti di hari kiamat Allah juga akan menutup aibnya8.” (HR. Muslim no. 6537)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Catatan Kaki:

1 Jami’ul Ulum Wal Hikam (2/291).
2 Baik seseorang yang disebarkan kejelekannya itu benar-benar terjatuh dalam perbuatan tersebut ataupun sekedar tuduhan yang tidak benar.
3 Jami’ul Ulum Wal Hikam (2/293), Syarhul Arba’in Ibnu Daqiqil Ied (hal. 120), Qawa’id wa Fawa`id minal Arba’in An-Nawawiyyah, (hal. 312).
4 Syarhul Arba’in An-Nawawiyyah, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin (hal. 390-391).
5 Yakni lisannya menyatakan keimanan namun iman itu belum menancap di dalam hatinya.
6 Yang dimaksud dengan aurat di sini adalah aib/cacat atau cela dan kejelekan. Dilarang mencari-cari kejelekan seorang muslim untuk kemudian diungkapkan kepada manusia. (Tuhfatul Ahwadzi)
7 Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2032
8 Al-Qadhi ‘Iyadh t berkata: “Tentang ditutupnya aib si hamba di hari kiamat, ada dua kemungkinan. Pertama: Allah akan menutup kemaksiatan dan aibnya dengan tidak mengumumkannya kepada orang-orang yang ada di mauqif (padang mahsyar). Kedua: Allah l tidak akan menghisab aibnya dan tidak menyebut aibnya tersebut.” Namun kata Al-Qadhi, sisi yang pertama lebih nampak karena adanya hadits lain.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 16/360)
Hadits yang dimaksud adalah hadits dari Abdullah bin ‘Umar c, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah n bersabda:


إِنَّ اللهَ يُدْنِي الْمُؤْمِنَ فَيَضَعُ عَلَيْهِ كَنَفَهُ وَيَسْتُرُهُ فَيَقُوْلُ: أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا، أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا؟ فَيَقُوْلُ: نَعَمْ، أَي رَبِّ. حَتَّى إِذَا قَرَّرَهُ بِذُنُوْبِهِ وَرَأَىَ فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ هَلَكَ، قَالَ: سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا، وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ. فَيُعْطِي كِتَابَ حَسَنَاتِهِ …


“Sesungguhnya (di hari penghisaban nanti) Allah mendekatkan seorang mukmin, lalu Allah meletakkan tabir dan menutupi si mukmin (sehingga penghisabannya tersembunyi dari orang-orang yang hadir di mahsyar). Allah berfirman: ‘Apakah engkau mengetahui dosa ini yang pernah kau lakukan? Apakah engkau tahu dosa itu yang dulunya di dunia engkau kerjakan?’ Si mukmin menjawab: ‘Iya, hamba tahu wahai Rabbku (itu adalah dosa-dosa yang pernah hamba lakukan).’ Hingga ketika si mukmin ini telah mengakui dosa-dosanya dan ia memandang dirinya akan binasa karena dosa-dosa tersebut, Allah memberi kabar gembira padanya: ‘Ketika di dunia Aku menutupi dosa-dosamu ini, dan pada hari ini Aku ampuni dosa-dosamu itu.’ Lalu diberikanlah padanya catatan kebaikan-kebaikannya…” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Banyak Bergaul, Semakin Banyak Dosa


Banyak Bergaul, Semakin Banyak Dosa

Thalhah bin ‘Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu berkata,

إِنَّ أَقَلَّ الْعَيْبِ عَلَى امْرِئٍ أَنْ يَجْلِسَ فِي بَيْتِهِ

“Semakin sering seseorang tinggal di rumahnya (meminimalisir pergaulan), semakin sedikit aibnya.” (Disebutkan oleh Ibnu Abi Ad-Dunya dalam Al-‘Uzlah wa Al-Infirad)[1]

Bahasa lainnya, meminimalisir pergaulan akan mengurangi dosa. Artinya, makin sering bergaul, potensi melakukan dosa makin banyak.

Imam Al-Ghazali rahimahullah pernah berkata,

وَكُلُّ مَنْ خَالَطَ النَّاسَ كَثُرَتْ مَعَاصِيْهِ وَإِنْ كَانَ تَقِيًّا

“Siapa saja yang bergaul dengan manusia, maka akan banyak maksiatnya, walaupun ia termasuk orang bertakwa.” (Dinukil dari As-Siraaj Al-Muniir Syarh Al-Jaami’ Ash-Shaghiir fii Hadits Al-Basyir An-Nadziir) [2]

Hal di atas benar adanya, semakin banyak kita bergaul, kita sering berbuat dosa pribadi ataupun dosa sosial. Dosa pribadi seperti sombong, merendahkan orang lain, dan hasad. Sedangkan dosa sosial seperti memfitnah dan mengghibah.

Bergaul itu Sesuai Hajat

Penjelasan sebelumnya, bukan berarti kita tidak boleh bergaul. Namun, bergaul yang tepat adalah sesuai hajat atau kebutuhan.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

فُضُوْلُ المخَالَطَةِ فِيْهِ خَسَرَاةُ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَإِنَّمَا لِلْعَبْدِ أَنْ يَأْخُذَ مِنَ المخَالَطَةِ بِمِقْدَارِ الحَاجَةِ

“Banyak bergaul itu dapat mendatangkan kerugian di dunia dan akhirat. Selaku hamba seharusnya bergaul sesuai kadar hajat saja.” (Badaai’ Al-Fawaid, 2:821)

Adapun bergaul ada beberapa bentuk menurut Ibnul Qayyim rahimahullah yaitu:

  1. Bergaul seperti orang yang membutuhkan makanan, terus dibutuhkan setiap waktu, contohnya adalah bergaul dengan para ulama.
  2. Bergaul seperti orang yang membutuhkan obat, dibutuhkan ketika sakit saja, contohnya adalah bentuk muamalat, kerja sama, berdiskusi, atau berobat saat sakit.
  3. Bergaul yang malah mendapatkan penyakit, misalnya ada penyakit yang tidak dapat diobati, ada yang kena penyakit bentuk lapar, ada yang kena penyakit panas sehingga tak bisa berbicara.
  4. Bergaul yang malah mendapatkan racun, contohnya adalah bergaul dengan ahli bid’ah dan orang sesat, serta orang yang menyesatkan yang lain dari jalan Allah yang menjadikan sunnah itu bid’ah atau bid’ah itu menjadi sunnah, menjadikan perbuatan baik sebagai kemungkaran dan sebaliknya.

Lihat Badaa-i’ Al-Fawaid (2:821-823).

Orang Berilmu itu Memberikan Manfaat pada Orang Lain

Jika memang bisa memberikan manfaat pada orang lain seperti orang berilmu, maka ia bergaul karena maksud baik tersebut.

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمُؤْمِنُ الَّذِى يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنَ الْمُؤْمِنِ الَّذِى لاَ يُخَالِطُ النَّاسَ وَلاَ يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ

Seorang mukmin yang bergaul di tengah masyarakat dan bersabar terhadap gangguan mereka, itu lebih baik dari pada seorang mukmin yang tidak bergaul di tengah masyarakat dan tidak bersabar terhadap gangguan mereka.” (HR. Tirmidzi, no. 2507. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Wahb bin Munabbih rahimahullah berkata,

الْمُؤْمِنُ يُخَالِطُ لِيَعْلَمَ، وَيَسْكُتُ لِيَسْلَمَ، وَيَتَكَلَّمُ لِيَفْهَمَ، وَيَخْلُو لِيَغْنَمَ

“Orang yang beriman itu bergaul untuk menambah ilmu, memilih untuk diam agar selamat dari dosa, berbicara untuk mendapat pemahaman, dan menyendiri agar mendapat keberuntungan.” (Disebutkan oleh Ibnu Abi Ad-Dunya dalam Al-‘Uzlah dan Al-Infirad) [3]

Keadaan tiap orang dalam bergaul ada dua:

  1. Yang bisa memberikan manfaat ukhrawi dan duniawi, silakan ia bergaul karena sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat pada orang lain.
  2. Yang tidak bisa memberikan manfaat ukhrawi dan duniawi, hendaklah ia bergaul dengan teman yang sifatnya bisa memberikan kebaikan ibaratnya seperti membutuhkan makanan yang jadi kebutuhan darurat, atau membutuhkan obat yang diperlukan jika ada hajat.

Dua keadaan di atas sama halnya dengan bergaul di media sosial.

Kesimpulannya, tidak selamanya bergaul dan bermedsos ditinggalkan, tergantung apakah ada manfaat ukhrawi ataukah duniawi yang diraih ataukah tidak.

Semoga manfaat.

Referensi kitab:

Badaa-i’ Al-Fawaid. Cetakan ketiga, Tahun 1433 H. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Penerbit Daar ‘Alam Al-Fawaid.

Footnote:

[1] https://ar.islamway.net/article/76796/ما-قل-ودل-من-كتاب-العزلة-والانفراد-لابن-أبي-الدنيا

[2] https://al-maktaba.org/book/32982/321#p6

[3] https://ar.islamway.net/article/76796/ما-قل-ودل-من-كتاب-العزلة-والانفراد-لابن-أبي-الدنيا

Mengapa Terjadi Krisis Ekonomi?

Mengapa Terjadi Krisis Ekonomi?

Imam Ibnu Katsir menceritakan dalam Al Bidayah wa Nihayah bahwa pada tahun 334 H, di kota Baghdad harga-harga melambung tinggi hingga para penduduknya memakan mayat, kucing, dan anjing. Di antara mereka ada juga yang menculik anak-anak lalu memanggang dan memakannya. Rumah-rumah ditukar dengan sepotong roti.

Membaca penggalan kisah sejarah di atas, kita jadi teringat dengan krisis ekonomi yang menjangkiti pada zaman sekarang sehingga banyak orang stres, bahkan bunuh diri pun menjadi sebuah fenomena tersendiri. Namun pernah kita berpikir: Apakah krisis yg kita alami lebih parah daripada kisah tadi?!

Dan Ketika pemerintah berencana untuk menaikkan harga BBM, kontan masyarakat bereaksi dan banjir demonstrasi, aksi jahit mulut, bahkan rencana bakar diri sebagai bentuk protes dan usaha menggagalkan rancangan tadi. Krisis ekonomi dan kenaikan harga barang merupakan problematika yang sangat mengganggu pikiran banyak orang, terutama orang-orang yang berekonomi rendah.

Tentu saja, di balik melambungnya harga barang tersebut ada faktor-faktor yang menyebabkannya, di antaranya adalah dosa-dosa hamba. Oleh karena itu, hendaknya kita berintrospeksi karena bisa jadi krisis ekonomi yang menimpa bangsa saat ini adalah disebabkan perbuatan dosa agar kita segera menyadari dan kembali kepada ajaran agama yang suci. Allah berfirman:

ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ

Telah tampak kerusakan di daratan dan lautan disebabkan ulah perbuatan manusia” (QS. ar-Rum [30]: 41).

Alangkah benarnya ucapan Syaikh Ibnu Utsaimin tatkala berkata dalam khutbahnya tentang dampak kemaksiatan: “Demi Allah, sesungguhnya kemaksiatan itu sangat berpengaruh pada keamanan suatu negeri, kenyamanan, dan perekonomian rakyat. Sesungguhnya kemaksiatan menjadikan manusia saling bermusuhan satu sama lain.” (Atsarul Ma’ashi wa Dzunub).

Mari bersama intropeksi diri..

Bahaya Menuduh Tanpa Bukti

Bahaya Menuduh Tanpa Bukti 

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لو يُعْطَى الناسُ بدعواهُم لادّعَى قومٌ دماءَ قومٍ وأموالهُم ، ولكنّ البيّنَة على المُدّعِي ، واليمينُ على من أنكرَ حديث حسن رواه البيهقي وغيره هكذا وبعضه في الصحيحين

“Jika semua orang diberi hak (hanya) dengan dakwaan (klaim) mereka (semata), niscaya (akan) banyak orang yang mendakwakan (mengklaim) harta orang lain dan darah-darah mereka. Namun, bukti wajib didatangkan oleh pendakwa (pengklaim), dan sumpah harus diucapkan oleh orang yang mengingkari (tidak mengaku)”.

Hadits hasan, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan yang lainnya. Sebagian kandungan teks semisal tercantum dalam kitab Ash-Shahihain.

[lwptoc]

Penjelasan Hadits

  1. Hadis di atas merupakan hadis ke-33 yang dimuat Imam An-Nawawi di dalam kitab Al-Arba’in An-Nawawiyah. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dan yang lainnya. Makna hadis ini juga dimuat di kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
  2. Ibnu Daqiq Al-‘Id, dalam Syarah Al-Arba’in, berkata, “Hadis ini merupakan salah satu pokok dasar hukum-hukum Islam, dan rujukan utama dalam masalah perselisihan dan permusuhan. Hadis ini mengajarkan bahwa seseorang tidak boleh dihukumi benar hanya dengan membenarkan tuduhannya saja”.
  3. Para ulama pakar kaidah fikih menjadikan hadis ini sebagai landasan kaidah yang berbunyi:البينة على المدعي واليمين على من أنكر ( أو عل المدعى عليه)“Bagi yang penuduh (pendakwa) wajib membawa bukti, sedangkan yang mengingkari (terdakwa) cukup bersumpah”.Makna kaidah:
    Al-bayyinah/bukti adalah sesuatu yang bisa untuk membuktikan sebuah hak atau klaim, dan hal ini untuk menetapkan kebenaran atas klaim seseorang.
    Pada dasarnya yang dimaksud dengan Al-bayyinah adalah saksi dalam semua perkara hukum, baik yang berhubungan dengan darah, harta, tindakan kriminal atau lainnya. Ketentuan saksi terdiri dari beberapa macam. Di antara ketentuan saksi adalah:
    1. Harus empat orang laki-laki. Dan ini berlaku pada persaksian dalam kasus perzinaan.
    2. Harus dua orang laki-laki. Dan ini berlaku pada semua tindak kriminal kecuali zina, juga pada pernikahan, perceraian, dan lainnya.
    3. Persaksian yang bisa dilakukan oleh dua orang laki-laki atau satu laki-laki dan dua wanita atau satu laki-laki dan sumpah. Hal ini berlaku pada masalah yang berhubungan dengan harta. Seperti jual beli, sewa menyewa, dan lainnya.
    4. Persaksian yang bisa dilakukan oleh wanita saja. Hal ini berlaku pada masalah yang tidak bisa dilihat oleh kaum laki-laki, seperti masalah persusuan, haid, nifas, dan lainnya.
    Namun tidak selamanya Al-bayyinah itu berupa saksi, bisa jadi Al-bayyinah itu berupa keadaan yang sangat kuat yang mendukung salah satu dari yang menuntut atau dituntut. Sebagaimana yang Allah Ta’ala kisahkan di dalam Al-Quran tentang Nabi Yusuf ‘alaihisalam yang artinyaJika baju gamisnya koyak dimuka, maka wanita itu benar dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta. Dan jika baju gamisnya koyak dibelakang, maka wanita itulah yang dusta dan Yusuf termasuk orang-orang yang jujur. Maka tatkala suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak dibelakang, berkatalah dia, ‘Sesungguhnya kejadian ini adalah diantara tipu daya kamu, sesungguhnya tipu daya kamu sangat besar‘.” (QS. Yusuf: 26-28)
    Di ayat ini tidak ada saksi yang bisa dijadikan rujukan, namun qorinah (indikasi) yang sangat jelas menjadi bukti atas suatu tuduhan, yaitu terkoyaknya baju Nabi Yusuf ‘alaihissalam. Jadi, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud Al-bayyinah (bukti) di sini adalah segala sesuatu yang dapat menjelaskan dan menunjukkan kebenaran tuduhannya tersebut, baik berupa saksi-saksi, bukti-bukti penguat atau pun yang lainnya.
    Sedangkan makna Al-yamin adalah sumpah atas nama Allah Ta’ala bahwa dialah yang benar atas semua tuntutan, tuduhan, dan klaim. Dan semua yang dilakukan oleh yang mengklaim itu tidak benar. Para ulama sepakat bahwa sumpah yang sah adalah bila dilakukan dengan menyebut nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya.
    Adapun makna Al-Mudda’i adalah orang yang mengaku atau mengklaim/menuduh sesuatu yang berbeda dengan kenyataan yang tampak pada masyarakat. Apabila dia tidak mempermasalahkannya kepada hakim maka dia bebas dan tidak ada paksaan untuk melakukannya.
    Sedangkan makna Al-Mudda’a ‘alaihi adalah orang yang keadaannya dikuatkan dan didukung oleh kenyataan yang tampak pada masyarakat. Namun, bila ada pihak lain yang mempermasalahkannya maka dia dipaksa untuk menyelesaikannya dihadapkan hakim, dan apabila dia diam dan tidak berusaha menepis klaim yang ditujukan kepadanya maka dia harus menerima konsekuensi dari klaim tersebut.
  4. Imam An-Nawawi di dalam Syarah Shahih Muslim menjelaskan tentang makna hadis di atas bahwa, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan, seandainya setiap pendakwa (pengklaim) langsung divonis benar hanya dengan dakwaan atau tuduhannya saja kepada orang lain, niscaya hal ini akan menimbulkan banyak orang yang menuduh dan mengaku-ngaku/mengklaim harta dan darah orang lain. Akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan sesuatu yang dapat menyelesaikan permasalahan antara sesama manusia. Yaitu, dengan diminta (Al-bayyinah) bukti dari si pendakwa.
  5. Jika si pendakwa telah membawa bukti-bukti tersebut, maka baru dapat dihukumi/divonis dan dimenangkan dari terdakwa. Namun jika bukti-bukti tidak dimiliki pendakwa, maka si terdakwa diminta untuk bersumpah. Jika ia berkenan untuk bersumpah, maka ia terbebas dari tuduhan (si pendakwa). Dan jika ia tidak mau bersumpah, maka ia dihukumi menolak sumpah, dengan demikian dakwaan dan tuduhan si pendakwa harus dibenarkan.
  6. Berhati-hati dari mengklaim atau menuntut harta orang lainBisa jadi karena orang yang menuntut atau mengklaim memiliki kekuasaan atau uang, maka dia dapat dengan mudah membuat bukti-bukti palsu atau dengan mendatangkan persaksian palsu, seperti yang sering terjadi pada zaman sekarang di dalam masyarakat Islam. Coba kita renungkan sabda nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam,قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ وَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ فَأَقْضِيَ لَهُ عَلَى نَحْوِ مَا أَسْمَعُ مِنْهُ فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ مِنْ حَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنَ النَّارِ فَلَا يَأْخُذْهُ“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda, “Sesungguhnya kalian mengadukan permasalahan/perseteruan kalian kepadaku, dan sesungguhnya aku hanyalah manuasia biasa. Dan bisa jadi salah seorang dari kalian pandai bersilat lidah/berargumen dan menjadikan aku memenangkannya dalam perkaranya disebabkan apa yang aku dengar darinya. (Namun ingatlah) barangsiapa yang aku menangkan perkaranya padahal itu merupakan hak saudarnya, maka pada hakikatnya aku sedang membagikan/memutuskan untuknya bagian dari neraka, maka janganlah sekali-kali dia mengambilnya.” (HR. Bukhari di kitab Shahih-nya)

Contoh dari penerapan hadis

Kaidah ini digunakan hampir dalam semua permasalahan hukum untuk menetapkan siapa yang berhak dan siapa yang tidak. Di sini akan disebutkan beberapa contoh yang dapat dikiaskan/dianalogikan pada kasus-kasus yang lain.

  1. Jika ada orang yang mengaku bahwa barang yang dipegang oleh seseorang itu adalah miliknya maka dia harus mendatangkan bukti atau saksi. Jika dia tidak bisa mendatangkan saksi maka cukup bagi yang dituntut untuk bersumpah atas nama Allah Ta’ala bahwa barang itu adalah miliknya.
  2. Jika ada seseorang yang menuduh seseorang berbuat zina, maka dia harus mendatangkan bukti berupa empat laki-laki yang menjadi saksi. Jika tidak, maka tidak sah tuduhannya dan dia berhak mendapat hukuman delapan puluh cambukkan karena menuduh orang lain berbuat zina tanpa bukti.
  3. Jika ada seseorang yang berhutang pada orang lain, lalu dia mengaku sudah membayarnya tapi diingkari oleh yang menghutangi, maka yang berhutang harus mendatangkan bukti. Jika tidak, maka cukup bagi yang menghutangi untuk bersumpah menepis klaim terhadapnya.

Ringkasan dari penjelasan hadis

  1. Sempurnanya syariat (konfrehensifitas) dalam menjaga hak-hak berupa harta dan darah manusia.
  2. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam diberikan mukjizat oleh Allah Ta’ala berupa Jawami’ul Kalim yaitudengansabda beliau yang ringkas namun memiliki makna dan penjelasan yang mencakup banyak aspek.
  3. Penjelasan dari Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam tentang cara-cara/kiat yang dapat menyelesaikan perkara antara orang-orang yang berselisih.
  4. Jika si terdakwa tidak mengaku, maka si terdakwa harus mendatangkan bukti atas dakwaan dan tuduhannya.
  5. Jika tidak memiliki bukti, maka si terdakwa diminta untuk bersumpah. Jika ia bersumpah, maka ia terbebas dari tuduhan dan dakwaan tersebut. Dan jika tidak mau bersumpah, ia dihukumi telah menolak sumpah (dan dakwaan si pendakwa dibenarkan).

Demikianlah penjelasan singkat tentang hadis yang sangat agung ini, semoga penjelasan singkat ini dapat bermanfaat untuk penulis pribadi dan untuk para pembaca seluruhnya, amin…

Referensi:

  1. Al-Arba’in An-Nawawiyah karya Al-Imam An-Nawawi
  2. Syarah Shahih Muslim karya Al-Imam An-Nawawi
  3. Jami’ Al-‘Ulum Walhikam karya Al-Imam Ibnu Rojab
  4. Penjelasan 50 Hadis Inti Ajaran Islam terjemahan dari kitab Fathul Qowiyil Matin karya Syaikh Abdul Muhsin Al-‘abbad
  5. Kaedah-Kaedah Praktis Memahami Fiqih Islami Karya Ustadz Ahmad Syauqi 

Bergantung Kepada Alloh Ditengah Himpitan Ekonomi

Bergantung Kepada Alloh Ditengah Himpitan Ekonomi 

Krisis ekonomi global telah membawa dampak yang cukup berat bagi sebagian manusia, tidak terkecuali kita di Indonesia. Tidak jarang, kini kita melihat orang-orang yang dulunya diberi kenikmatan kekayaan dari Allah Ta’ala, tetapi kini sedang berjuang menghadapi ujian kekurangan dan kemiskinan. Baik disebabkan oleh kehilangan pekerjaan, kesulitan finansial, maupun ketidakpastian ekonomi. Kondisi demikian menuntut kita sebagai seorang mukmin untuk menyikapi ujian tersebut dengan bijak.

Tentu saja, kebijaksanaan di sini adalah mengetahui bagaimana seharusnya kita memaksimalkan ketergantungan dan tawakal kita kepada Allah Ta’ala kemudian mencari petunjuk dalam Al-Qur’an, hadis, dan contoh dari para salaf saleh dalam menyikapi berbagai ujian kehidupan.

Dampak Krisis Ekonomi

Krisis ekonomi seringkali membawa dampak yang luas dan beragam, mulai dari meningkatnya angka pengangguran hingga berkurangnya pendapatan keluarga. Dampak ini dirasakan oleh semua kalangan, dari pekerja harian hingga profesional di berbagai bidang. Ketidakstabilan ini tidak hanya mempengaruhi kondisi finansial, tetapi juga kesehatan mental dan emosional.

Banyak yang merasa cemas dan tertekan, menghadapi ketidakpastian yang seakan tiada ujung. Tidak sedikit pula yang mengambil keputusan untuk berpisah dari istri, lari dari kenyataan hidup yang pahit, hingga mengakhiri hidupnya sendiri sebab tidak kuasa menahan cobaan tersebut. Wal-‘iyadzubillah.

Padahal, telah jelas bahwa setiap ujian dan cobaan yang kita alami sudah ditetapkan oleh Allah dan sesuai dengan kadar kemampuan kita.  Allah Ta’ala berfirman,

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ

Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)

Kita pun semestinya mengetahui bahwa ujian, cobaan, dan tantangan kehidupan dengan segala jenisnya merupakan keniscayaan dan sunatullah untuk kita hadapi dengan sebijaksana mungkin sebagai seorang mukmin. Perhatikan firman Allah Ta’ala,

وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155)

Saudaraku, yakinlah bahwa cobaan adalah bagian dari kehidupan yang harus dihadapi dengan sabar dan tawakal. Ketika kita menghadapi kesulitan ekonomi, hal pertama yang harus kita lakukan adalah menguatkan iman dan tawakal kepada Allah, serta mencari pertolongan-Nya dengan ikhtiar.

Sebuah Doa Mulia

Salah satu doa yang sangat dianjurkan untuk dibaca dalam menghadapi kesulitan adalah doa “يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ” (Ya Hayyu Ya Qayyum, birahmatika astaghits).

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

“ما يمنعُكِ أن تسمَعي ما أُوصيكِ به ؟ أن تقولي إذا أصبحْتِ و إذا أمسَيتِ : يا حيُّ يا قيُّومُ برحمتِك أستغيثُ ، أَصلِحْ لي شأني كلَّه ، و لا تَكِلْني إلى نفسي طرفةَ عَيْنٍ”

Apa yang menghalangimu untuk mendengar apa yang aku wasiatkan kepadamu? Yaitu, katakanlah ketika pagi dan petang, ‘Ya Hayyu Ya Qayyum, birahmatika astaghits. Ashlihliy sya’ni kullah, walaa takilniy ila nafsiy tharfata ‘ain.’ (Wahai Yang Mahahidup dan Yang Maha Berdiri Sendiri, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan. Perbaikilah seluruh urusanku dan janganlah Engkau menyerahkanku kepada diriku sendiri walau sekejap mata).” (HR. An-Nasa’i dalam “As-Sunan Al-Kubra” no. 10405, Al-Bazzar no. 6368, dan Ibn As-Sunni dalam “‘Amal Al-Yaum Wal-Lailah” no. 48.)

Dalam riwayat lain, juga disebutkan bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menghadapi kesulitan, beliau membaca doa tersebut.

Anas radhiyallahu ‘anhu berkata,

كان إذا حَزَبَه أمْرٌ قال: يا حَيُّ يا قيُّومُ بِرَحْمتِك أسْتَغيثُ.

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghadapi kesulitan, beliau berkata, ‘Ya Hayyu Ya Qayyum, birahmatika astaghits.’” (HR. At-Tirmidzi no. 3524 dengan lafaz ini, dan Ibn As-Sunni dalam “‘Amal Al-Yaum wal-Lailah” no. 337.)

Lihatlah, seorang manusia mulia yang telah maksum dan dijamin surga untuknya pun mengucapkan kalimat ini. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga diberikan berbagai ujian dan cobaan, bahkan 2 kali lipat lebih banyak dari umatnya.

Sa’ad bin Abi Waqqas radhiyallahu ‘anhu berkata,

يا رسولَ اللَّهِ أيُّ النَّاسِ أشدُّ بلاءً قالَ : الأنبياءُ ثمَّ الصَّالحونَ ثمَّ الأمثَلُ فالأمثَلُ منَ النَّاسِ يُبتَلى الرَّجلُ على حَسبِ دينِهِ فإن كانَ في دينِهِ صلابةٌ زيدَ في بلائِهِ وإن كانَ في دينِهِ رقَّةٌ خُفِّفَ عنهُ وما يزالُ البلاءُ بالعَبدِ حتَّى يمشيَ على ظَهْرِ الأرضِ ليسَ عليهِ خطيئةٌ

“Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat ujiannya?” Beliau menjawab, “Para nabi, kemudian orang-orang saleh, kemudian yang sebanding dan seterusnya. Seseorang diuji sesuai dengan kadar agamanya. Jika dalam agamanya terdapat kekuatan, maka ujiannya ditambah. Dan jika dalam agamanya terdapat kelemahan, maka ujiannya diringankan. Dan ujian akan terus menimpa seorang hamba hingga dia berjalan di muka bumi tanpa dosa.”[1]

Maka, kabar gembira pula bagi siapa pun yang diberikan ujian dan cobaan dari Allah Ta’ala. Karena beratnya cobaan tersebut berbanding lurus dengan level keimanan seseorang. Jika kita merasakan kesulitan dalam menghadapi tantangan kehidupan, maka itu pertanda bahwa Allah Ta’ala sedang menguji keimanan kita.

Maka, Rasulullah mengajarkan kita doa terbaik ketika menghadapi ujian. Renungkanlah doa tersebut. Permohonan seorang hamba kepada Rabbnya dengan rahmat-Nya yang luas. Khususnya dalam kondisi krisis ekonomi. Kita mengucapkan dan memohon kepada Allah dengan doa ini di waktu-waktu mustajab berdoa sebagai wujud dari ketergantungan kita kepada Allah Ta’ala bukan pada kemampuan kita sendiri.

Ketergantungan kepada Allah

Selain hadis tentang doa di atas, banyak dalil yang mengajarkan kita untuk bergantung pada Allah dalam segala urusan. Ingatlah bahwa ketakwaan dan ketergantungan kita hanya kepada Allah akan membawa kita pada jalan keluar dari segala kesulitan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مَخْرَجًا

Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (QS. At-Talaq: 2)

Begitu juga dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

انظُروا إلى مَن هوَ أسفَلَ منكُم ولا تَنظُروا إلى من هوَ فوقَكم فإنَّهُ أجدَرُ أن لا تزدَروا نِعمةَ اللَّهِ

Lihatlah orang yang berada di bawahmu (dalam urusan dunia), dan jangan melihat orang yang berada di atasmu, agar kamu tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepadamu.”[2]

Oleh karenanya, kita membutuhkan suatu kebiasaan (habit) untuk selalu bersyukur atas nikmat yang Allah berikan dan tidak terlalu fokus pada kekurangan kita. Syukur akan menjadikan kita merasa lebih tenang dan mampu melihat jalan keluar dari berbagai masalah kehidupan yang dihadapi.

Menghadapi Tantangan dengan Iman dan Kesabaran

Krisis ekonomi bukan hanya ujian finansial tetapi juga ujian yang merupakan bagian dari rencana Allah untuk menguatkan iman kita. Setiap kesulitan yang kita hadapi adalah kesempatan untuk menunjukkan kesabaran dan keimanan kita kepada Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya,

أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتْرَكُوٓا۟ أَن يَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. Al-Ankabut: 2)

Sikap terbaik dalam menghadapi berbagai ujian kehidupan adalah dengan berpegang teguh pada ajaran Islam sesuai dengan pemahaman salaf saleh, menghindari perbuatan yang dilarang Allah (sebab kemaksiatan bisa mendatangkan murka dan malapetaka), dan terus berdoa kepada Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّ ةِ

Ingatlah Allah di waktu lapang, niscaya Allah akan mengingatmu di waktu susah.” (HR. At-Tirmidzi no. 2516)

Saudaraku, krisis ekonomi dan kesulitan pekerjaan adalah ujian yang berat, namun dengan ketergantungan yang kuat pada Allah Ta’ala, maka insyaAllah kita akan menemukan kekuatan dan solusi.

Doa “يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ” adalah salah satu cara untuk menguatkan hubungan kita dengan Allah dan memohon bantuan-Nya dalam menghadapi segala bentuk kesulitan. Semoga Allah selalu memberikan kita kekuatan, kesabaran, dan jalan keluar dari setiap masalah yang kita hadapi.

Mari kita jadikan doa ini sebagai bagian dari keseharian kita, terutama di saat-saat sulit, agar kita selalu ingat bahwa hanya Allahlah tempat kita bergantung dan memohon pertolongan. Mudah-mudahan dengan demikian, kita akan merasakan ketenangan dan kekuatan yang datang dari-Nya, meskipun menghadapi tantangan sebesar apa pun.

Wallahu a’lam bish-shawab.

***

Catatan kaki:

[1] Sahih. Lihat Kitab Takhrij Al-Musnad lil-Shakir, 3: 45

[2] Sahih. Lihat Kitab Sahih Ibnu Majah, hal. 3358.

Keutamaan Thawaf

Keutamaan Thawaf 

Dalam rangkaian ibadah haji, terdapat rukun-rukun yang wajib dikerjakan. Meniadakan salah satu rukun bisa menyebabkan tidak sahnya ibadah haji. Salah satu contoh rukun haji adalah thawaf ifadhah. Nama lain dari thawaf ini yaitu thawaf fardh, thawaf rukun, atau thawaf ziyarah. Wajibnya pelaksanaan thawaf ifadhah dilandaskan pada al-Qur’an surat al-Hajj ayat 29. Thawaf ifadhah dilakukan dengan cara mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali putaran.

“Dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS. Al Hajj: 29). Ini adalah perintah untuk melaksanakan thawaf ifadhah dan thawaf wada’.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ

“Dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS. Al Hajj: 29)

Sebelumnya telah disinggung mengenai masalah perintah melakukan thawaf. Yang dimaksud thawaf dalam ayat di atas adalah thawaf ifadhah.

Thawaf ifadhah ini dilakukan setelah melakukan manasik haji secara umum, yaitu setelah wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah, melempar jumrah di Mina. Syaikh As Sa’di mengatakan bahwa ini menunjukkan akan keutamaan ibadah thawaf tersebut dan bahwasanya ibadah sebelumnya adalah perantara menuju thawaf ini.

Faedah lainnya yang bisa diambil kata Syaikh As Sa’di bahwa thawaf disyari’atkan dilakukan setiap waktu, baik thawaf tersebut bergandengan ibadah lainnya (seperti dalam umrah, -pen) atau thawaf tersebut berdiri sendiri (seperti thawaf sunnah, -pen). Lihat Taisir Al Karimir Rahman, hal. 537.

Thawaf inilah akhir manasik, yang dimaksud adalah thawaf wada’. Ketika membacakan ayat di atas, Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tidakkah engkau membaca surat Al Hajj (yang dimaksud adalah yang kita bicarakan, -pen).” Ibnu ‘Abbas lalu berkata, “Akhir manasik adalah thawaf keliling Ka’bah (yaitu thawaf wada’).” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 5: 407).

Hadits yang membicarakan tentang thawaf wada’ adalah hadits Ibnu ‘Abbas, di mana ia berkata,

أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ إِلاَّ أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الْمَرْأَةِ الْحَائِضِ

“Manusia itu diperintah supaya akhir manasik mereka adalah thawaf (wada’). Namun thawaf ini diberi keringanan bagi wanita haidh.” (HR. Bukhari no. 1755 dan Muslim no. 1328).