PERKARA HUTANG PIUTANG AKAN DIBAWA SAMPAI MATI

PERKARA HUTANG PIUTANG AKAN DIBAWA SAMPAI MATI 

“Barangsiapa yang ruhnya terpisah dari jasadnya dan dia terbebas dari tiga hal: [1] sombong, [2] ghulul (khianat), dan [3] hutang, maka dia akan masuk surga”. (HR. Ibnu Majah no. 2412. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Alhamdulillahi robbil ‘alamin. Allahumma sholli ‘ala nabiyyina Muhammad, wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Risalah kali ini adalah lanjutan dari risalah sebelumnya. Pada risalah sebelumnya, kami telah menjelaskan mengenai keutamaan orang yang memberi pinjaman, keutamaan memberi tenggang waktu pelunasan dan keutamaan orang yang membebaskan sebagian atau keseluruhan hutangnya. Pada risalah kali ini agar terjadi keseimbangan pembahasan, kami akan menjelaskan beberapa hal mengenai bahaya orang yang enggan melunasi hutangnya. Semoga bermanfaat.

Keutamaan Orang yang Terbebas dari Hutang

Dari Tsauban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِىءٌ مِنْ ثَلاَثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنَ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ

Barangsiapa yang ruhnya terpisah dari jasadnya dan dia terbebas dari tiga hal: [1] sombong, [2] ghulul (khianat), dan [3] hutang, maka dia akan masuk surga.” (HR. Ibnu Majah no. 2412. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih). Ibnu Majah membawakan hadits ini pada Bab “Peringatan keras mengenai hutang.

Mati Dalam Keadaan Masih Membawa Hutang, Kebaikannya Sebagai Ganti

Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ

Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.” (HR. Ibnu Majah no. 2414. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih). Ibnu Majah juga membawakan hadits ini pada Bab “Peringatan keras mengenai hutang.

Itulah keadaan orang yang mati dalam keadaan masih membawa hutang dan belum juga dilunasi, maka untuk membayarnya akan diambil dari pahala kebaikannya. Itulah yang terjadi ketika hari kiamat karena di sana tidak ada lagi dinar dan dirham untuk melunasi hutang tersebut.

Urusan Orang yang Berhutang Masih Menggantung

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ

Jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan hutangnya hingga dia melunasinya.” (HR. Tirmidzi no. 1078. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaiman Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi)

Al ‘Iroqiy mengatakan, “Urusannya masih menggantung, tidak ada hukuman baginya yaitu tidak bisa ditentukan apakah dia selamat ataukah binasa, sampai dilihat bahwa hutangnya tersebut lunas atau tidak.” (Tuhfatul Ahwadzi, 3/142)

Orang yang Berniat Tidak Mau Melunasi Hutang Akan Dihukumi Sebagai Pencuri

Dari Shuhaib Al Khoir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا رَجُلٍ يَدَيَّنُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِىَ اللَّهَ سَارِقًا

Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri.” (HR. Ibnu Majah no. 2410. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shohih)

Al Munawi mengatakan, “Orang seperti ini akan dikumpulkan bersama golongan pencuri dan akan diberi balasan sebagaimana mereka.” (Faidul Qodir, 3/181)

Ibnu Majah membawakan hadits di atas pada Bab “Barangsiapa berhutang dan berniat tidak ingin melunasinya.”

Ibnu Majah juga membawakan riwayat lainnya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ

Barangsiapa yang mengambil harta manusia, dengan niat ingin menghancurkannya, maka Allah juga akan menghancurkan dirinya.” (HR. Bukhari no. 18 dan Ibnu Majah no. 2411). Di antara maksud hadits ini adalah barangsiapa yang mengambil harta manusia melalui jalan hutang, lalu dia berniat tidak ingin mengembalikan hutang tersebut, maka Allah pun akan menghancurkannya. Ya Allah, lindungilah kami dari banyak berhutang dan enggan untuk melunasinya.

Masih Ada Hutang, Enggan Disholati

Dari Salamah bin Al Akwa’ radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

Kami duduk di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu didatangkanlah satu jenazah. Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada.” Lalu beliau mengatakan, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?”. Lantas mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak.” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyolati jenazah tersebut.

Kemudian didatangkanlah jenazah lainnya. Lalu para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah shalatkanlah dia!” Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Iya.” Lalu beliau mengatakan, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Lantas mereka (para sahabat) menjawab, “Ada, sebanyak 3 dinar.” Lalu beliau mensholati jenazah tersebut.

Kemudian didatangkan lagi jenazah ketiga, lalu para sahabat berkata, “Shalatkanlah dia!” Beliau bertanya, “Apakah dia meningalkan sesuatu?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada.” Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka menjawab, “Ada tiga dinar.” Beliau berkata, “Shalatkanlah sahabat kalian ini.” Lantas Abu Qotadah berkata, “Wahai Rasulullah, shalatkanlah dia. Biar aku saja yang menanggung hutangnya.” Kemudian beliau pun menyolatinya.” (HR. Bukhari no. 2289)

Dosa Hutang Tidak Akan Terampuni Walaupun Mati Syahid

Dari ‘Abdillah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ

Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali hutang.” (HR. Muslim no. 1886)

Oleh karena itu, seseorang hendaknya berpikir: “Mampukah saya melunasi hutang tersebut dan mendesakkah saya berhutang?” Karena ingatlah hutang pada manusia tidak bisa dilunasi hanya dengan istighfar.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Sering Berlindung dari Berhutang Ketika Shalat

Bukhari membawakan dalam  kitab shohihnya pada Bab “Siapa yang berlindung dari hutang”. Lalu beliau rahimahullah membawakan hadits dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَانَ يَدْعُو فِى الصَّلاَةِ وَيَقُولُ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ » . فَقَالَ لَهُ قَائِلٌ مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مِنَ الْمَغْرَمِ قَالَ « إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ » .

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdo’a di akhir shalat (sebelum salam): ALLAHUMMA INNI A’UDZU BIKA MINAL MA’TSAMI WAL MAGHROM (Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan banyak utang).”

Lalu ada yang berkata kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kenapa engkau sering meminta perlindungan adalah dalam masalah hutang?” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika orang yang berhutang berkata, dia akan sering berdusta. Jika dia berjanji, dia akan mengingkari.” (HR. Bukhari no. 2397)

Al Muhallab mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat dalil tentang wajibnya memotong segala perantara yang menuju pada kemungkaran. Yang menunjukkan hal ini adalah do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berlindung dari hutang dan hutang sendiri dapat mengantarkan pada dusta.” (Syarh Ibnu Baththol, 12/37)

Adapun hutang yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung darinya adalah tiga bentuk hutang:

[1] Hutang yang dibelanjakan untuk hal-hal yang dilarang oleh Allah dan dia tidak memiliki jalan keluar untuk melunasi hutang tersebut.

[2] Berhutang bukan pada hal yang terlarang, namun dia tidak memiliki cara untuk melunasinya. Orang seperti ini sama saja menghancurkan harta saudaranya.

[3] Berhutang namun dia berniat tidak akan melunasinya. Orang seperti ini berarti telah bermaksiat kepada Rabbnya.

Orang-orang semacam inilah yang apabila berhutang lalu berjanji ingin melunasinya, namun dia mengingkari janji tersebut. Dan orang-orang semacam inilah yang ketika berkata akan berdusta. (Syarh Ibnu Baththol, 12/38)

Itulah sikap jelek orang yang berhutang sering berbohong dan berdusta. Semoga kita dijauhkan dari sikap jelek ini.

Kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berlindung dari hutang ketika shalat?

Ibnul Qoyyim dalam Al Fawa’id (hal. 57, Darul Aqidah) mengatakan,

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta perlindungan kepada Allah dari berbuat dosa dan banyak hutang karena banyak dosa akan mendatangkan kerugian di akhirat, sedangkan banyak utang akan mendatangkan kerugian di dunia.”

Inilah do’a yang seharusnya kita amalkan agar terlindung dari hutang: ALLAHUMMA INNI A’UDZU BIKA MINAL MA’TSAMI WAL MAGHROM (Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan banyak utang).

Berbahagialah Orang yang Berniat Melunasi Hutangnya

Ibnu Majah dalam sunannya membawakan dalam Bab “Siapa saja yang memiliki hutang dan dia berniat melunasinya.” Lalu beliau membawakan hadits dari Ummul Mukminin Maimunah.

كَانَتْ تَدَّانُ دَيْنًا فَقَالَ لَهَا بَعْضُ أَهْلِهَا لاَ تَفْعَلِى وَأَنْكَرَ ذَلِكَ عَلَيْهَا قَالَتْ بَلَى إِنِّى سَمِعْتُ نَبِيِّى وَخَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدَّانُ دَيْنًا يَعْلَمُ اللَّهُ مِنْهُ أَنَّهُ يُرِيدُ أَدَاءَهُ إِلاَّ أَدَّاهُ اللَّهُ عَنْهُ فِى الدُّنْيَا ».

Dulu Maimunah ingin berhutang. Lalu di antara kerabatnya ada yang mengatakan, “Jangan kamu lakukan itu!” Sebagian kerabatnya ini mengingkari perbuatan Maimunah tersebut. Lalu Maimunah mengatakan, “Iya. Sesungguhnya aku mendengar Nabi dan kekasihku shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang muslim memiliki hutang dan Allah mengetahui bahwa dia berniat ingin melunasi hutang tersebut, maka Allah akan memudahkan baginya untuk melunasi hutang tersebut di dunia”. (HR. Ibnu Majah no. 2399. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih kecuali kalimat fid dunya –di dunia-)

Dari hadits ini ada pelajaran yang sangat berharga yaitu boleh saja kita berhutang, namun harus berniat untuk mengembalikannya. Perhatikanlah perkataan Maimunah di atas.

Juga terdapat hadits dari ‘Abdullah bin Ja’far, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ مَعَ الدَّائِنِ حَتَّى يَقْضِىَ دَيْنَهُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيمَا يَكْرَهُ اللَّهُ

Allah akan bersama (memberi pertolongan pada) orang yang berhutang (yang ingin melunasi hutangnya) sampai dia melunasi hutang tersebut selama hutang tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang oleh Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 2400. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Sebaik-baik orang adalah yang paling baik dalam membayar hutang. Ketika dia mampu, dia langsung melunasinya atau melunasi sebagiannya jika dia tidak mampu melunasi seluruhnya. Sikap seperti inilah yang akan menimbulkan hubungan baik antara orang yang berhutang dan yang memberi hutangan.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً

Sesungguhnya yang paling BAIK di antara kalian adalah yang paling baik dalam membayar hutang.” (HR. Bukhari no. 2393)

Ya Allah, lindungilah kami dari berbuat dosa dan beratnya hutang, mudahkanlah kami untuk melunasinya.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shollallahu ‘ala nabiyyiina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

***

JIKA NGEFANS AISYAH IKUT AMAL DAN ILMU BELIAU

JIKA NGEFANS AISYAH IKUT AMAL DAN ILMU BELIAU 

Apabila seseorang ngefans dengan suatu sosok, pasti dia akan mencari tahu segala sesuatu mengenai sosok tersebut. Misalnya ngefans dengan pemain bola, dia pasti cari tahu tempat lahirnya, nomor sepatunya, perjalanan karirnya, warna kesukaannya dan segala macam seluk-beluk hdupnya. Setelah itu gaya hidup dan model, pasti diikuti, misalnya gaya bermain, model rambut, dan lain-lain.

Demikian juga kalau ada yang ngefans dengan ibunda kaum muslimin ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha. Pasti akan membaca sirahnya, melakukan hobi beliau yaitu belajar agama, menghapalkan hadits serta cinta dengan ilmu agama. Beliau ini ahli sya’ir dan sejarah, ahli fikih dan ahli kedokteran.

Ibnu Abdil Barr berkata,

أن عائشة كانت وحيدة بعصرها في ثلاثة علوم علم الفقه وعلم الطب وعلم الشعر

“Aisyah adalah satu-satunya wanita di zamannya yang memiliki kelebihan dalam tiga bidang ilmu: ilmu fiqih, ilmu kedokteran, dan ilmu syair.” [Arba’ina fii Khasaa-ishi wa Fadhaa-ili ‘Aisyah, poin ke-22, Az-Zakarsy].

Mengapa Wanita Selalu Terlihat Cantik Didepan Laki laki ?

Mengapa Wanita Selalu Terlihat Cantik Didepan Laki laki ?

Sejak dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan bahwa wanita adalah fitnah terbesar bagi laki-laki. Apa yang dimiliki oleh wanita bisa membuat laki-laki luluh, terperangkap, dan hilang akalnya, meski dia sebelumnya kokoh dan istiqamah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا تَرَكْتُ بَعْدِى فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

“Tidaklah aku tinggalkan sepeninggalku fitnah (cobaan) yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki dibandingkan (fitnah) wanita.” (HR. Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 7122)

Beliau juga bersabda,

مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ

“Tidaklah aku pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya sehingga dapat menghilangkankan akal laki-laki yang teguh selain salah satu di antara kalian wahai wanita.” (HR. Bukhari no. 304)

Bagaimana pun rupa seorang wanita, ada saja yang tertarik kepadanya. Meski ada yang menilainya tidak cantik, tetapi tetap saja ada lelaki yang terpikat. Ini bukti bahwa cantik itu relatif. Boleh jadi rupanya biasa-biasanya saja, tetapi darinya terpancar aura yang menarik bagi sebagian lelaki.

Mengapa ini bisa terjadi? Mungkin saja salah satunya karena peran syaithan yang menjadikan semua wanita itu bisa terlihat cantik. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

المَرْأَةُ عَوْرَةٌ إِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ

“Wanita itu adalah aurat. Bila ia keluar, syaithan akan menghiasinya (untuk menggoda laki-laki).” (HR. Tirmidzi no. 1173, dishahihan oleh Al-Albani)

Syaikh Abul ‘Alaa Al-Mubarakfuri rahimahullah berkata,

( فإذا خرجت استشرفها الشيطان ) أي زينها في نظر الرجال وقيل أي نظر إليها ليغويها ويغوى بها

“Bila wanita keluar syaithan akan menghiasinya, maknanya adalah syaithan menghiasinya di mata laki-laki. Juga dikatakan, maknanya, syaithan melihat wanita tersebut untuk menyesatkannya dan menyesatkan (manusia) dengannya.” (Tuhfatul Ahwadzi, 4/283)

Andaipun seorang wanita sudah menutup auratnya dengan sempurna, berpakaian hitam dengan maksud agar tidak menarik perhatian para lelaki, bahkan sampai pun bercadar, namanya laki-laki tetap saja tidak semuanya bisa bersikap biasa saja. Ada saja yang nengok, memperhatikannya, melihat kedua matanya yang tampak dari sudut sempit cadarnya, atau minimal memperkirakan tingginya. Laa haula wa laa quwwata illa billah.

Sungguh lelaki tidak bisa benar-benar lepas dari fitnah wanita. Itulah mengapa wanita diperintahkan untuk lebih banyak tinggal di rumahnya, demi meminimalisir terjadinya fitnah yang begitu sering menimpa para lelaki, kecuali jika ada hajat yang mengharuskannya keluar. Allah berfirman,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

“Dan tinggallah kalian di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berdandan sebagaimana dandan ala jahiliah terdahulu.” (QS. Al-Ahzab: 33).

WAKTU TERBAIK UNTUK TADABBUR AL QUR'AN

WAKTU TERBAIK UNTUK TADABBUR AL QUR'AN 

Bismillah

Rasanya, tak ada yang lebih lezat di kehidupan dunia ini selain mentadabburi Alquran di sepanjang waktu. Sepanjang waktu hati bersahabat dengan Alquran, adalah hal yang paling mengasyikkan dan sangat indah. Namun, tahukah Anda, ada suatu waktu yang paling cocok dan paling istimewa untuk mentadabburi Alquran.

Itulah saat-saat shalat..

Terutama shalat lima waktu.

Allah berfirman dalam hadis qudsi,

ما تقرب إلي عبدي بشيء أحب إلي مما افترضت عليه

Tak ada ibadah yang dilakukan hamba-Ku untuk mendekatkan dirinya kepada-Ku, melainkan ibadah-ibadah yang Aku wajibkan kepadanya.

Shalat lima waktu, adalah kewajiban yang paling utama setelah tauhid. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah– mengatakan,

ومَا وَردَ مِن الفَضلِ لقَارئ القُرآن يَتنَاولُ المُصلِّي أعظَمَ ممَّا يتَناولُ غَيرَه

“Pahala yang diperoleh seorang yang membaca Alquran, sementara ia sedang shalat, itu lebih besar pahalanya daripada saat ia membacanya di luar sholat.”

Dengan ungkapan lain, bisa anda katakan, “Pahala yang diperoleh orang yang mentadabburi Alquran, sementara ia sedang sholat, itu lebih besar pahalanya daripada saat ia mentadabburinya di luar shalat.’’

Maka, seyogyanya seorang muslim berhasrat tinggi untuk mampu mentadabburi Alquran dalam shalatnya. Terlebih surat Al-fatihah, yang selalu diulang di setiap raka’at shalat. Serta bersemangat untuk mampu mentadabburi setiap ayat yang dia baca atau dia dengar, pada shalat sir (sholat yang bacaan dibaca lirih: zuhur, asar) maupun shalat jahr (sholat yang bacaannya dikeraskan: maghrib, isya, subuh).

Karena perjuangan keras jiwa ini, untuk dapat melakukan tadabbur Alquran saat-saat sholat, adalah hal yang paling bermanfaat untuk seorang hamba. Bahkan, faktor terkuat yang dapat membantu meraih kekhusyu’an shalat dan hadirnya hati. Sehingga seorang hamba dapat meraih pahala yang lebih sempurna dari shalatnya. Karena jatah pahala yang didapat seorang hamba dari shalat yang ia lakukan, sesuai kadar kekhusy’annya.

Semoga bermanfaat..

Diterjemahkan secara bebas dari : https://www.al-badr.net/muqolat/4883 (Situs resmi Syaikh Prof. Dr. Abdurrazaq Al-Badr -hafidzahullah-).

***

Mendoakan Teman Secara Diam diam

Mendoakan Teman Secara Diam diam 

Islam mengajarkan cinta dan kasih sayang. Diantara wujudnya adalah, Islam mengajarkan agar manusia mencintai orang lain seperti cintanya kepada diri sendiri. Nabi Muhammad -shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda,

لا يُؤمِنُ أحدُكم حتى يُحِبَّ لأخيه ما يُحِبُّ لنَفْسِه

“Tak akan sempurna iman kalian sampai kalian mencintai saudara kalian seperti mencintai diri kalian sendiri.” (HR. Bukhori)

Bahkan subhanalla, kasih sayang kepada orang lain, di dalam Islam menjadi komponen penyempurna iman.

Salahsatu bentuk kasihsayang tulus yang dianjurkan oleh agama yang mulia ini adalah mendoakan orang lain secara diam-diam, atau tanpa sepengetahuan orang yang didoakan. Sebagaimana yang diperintahkan oleh Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- dalam beberapa hadis berikut:

مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَدْعُو لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ، إِلاَّ قَالَ الْمَلَكُ: وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Tidaklah seorang muslim mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuan saudaranya tersebut, melainkan Malaikat akan mengatakan, “Aamiin, semoga kamu juga mendapatkan yang sama seperti yang kamu doakan.” (HR. Muslim no. 2732)

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ، عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ، قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ: آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Doa seorang muslim kepada saudaranya tan sepengetahuan saudaranya yang ia doakan iru mustajab. Di atas kepalanya akan ada malaikat yang ditugaskan setiap kali dia mendoakan baik untuk saudaranya malaikat yang ditugaskan itu akan berkata, “Aamin, semoga kamu juga mendapatkan demikian.” (HR. Muslim, no. 2733)

Hadis di atas menunjukkan, bahwa mendoakan orang lain tanpa sepengetahuannya itu mustajab. Kemudian adanya malaikat yang mengaminkan doanya lalu medoakan agar si pendoa mendapatkan hajat yang sama, ini juga dalil mustajabnya doa untuk orang lain itu didapatkan untuk orang yang didoakan tanpa sepengetahuan dia dan yang mendoakan. Karena doa malaikat sudah pasti mustajab.

Oleh karenanya, teman-teman yang belum dapat jodoh, ayo doakan teman kamu yang juga senasib agar dapat jodoh impian yang sholih/sholihah. Yang udah nikah belum dapat momongan, mari doakan orang lain yang juga diuji dengan nasib yang sama agar dapat momongan. Yang mau naik haji, yang mau sukses bisnis, sukses berkarir, sembuh penyakit dan hajat-hajat lain, ayo doakan saudara kita yang juga punya hajat yang sama, secara diam-diam. Itu bisa menjadi wasilah terkabulnya hajat yang kita inginkan. Imam Nawawi -rahimahullah- sampai menyatakan,

وَكَانَ بَعْض السَّلَف إِذَا أَرَادَ أَنْ يَدْعُو لِنَفْسِهِ يَدْعُو لِأَخِيهِ الْمُسْلِم بِتِلْكَ الدَّعْوَة؛ لِأَنَّهَا تُسْتَجَاب، وَيَحْصُل لَهُ مِثْلهَا

“Sebagian salaf ada yang punya kebiasaan jika dia ingin berdoa suatu hajat yang dia inginkan maka dia doakan juga saudaranya dengan doa yang sama. Karena dengan seperti itu doa menjadi mustajab. Dia akan mendapatkan pengabulan yang sama.” (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim 17/49, dari islamport.com)

Selain mendoakan orang lain itu mustajab dan dapat menjadi wasilah pengabulan doa kita, ada manfaat lainnya, yaitu di saat orang mendoakan temannya atau siapanpun dia, dalam keadaan yang didoakan tidak tahu, ini menunjukkan doa yang terpancar dari kasih sayang yang tulus. Dengan ini perasaan-perasaan benci, hasad, iri, dengki atau prasangka yang tidak baik (suuzon) akan hilang. Sehingga kerukunan, persahabatan, kekeluargaan, silaturahmi dan ikatan kasih sayang di masyarakat yang mengamalkan amalan ini akan terjalin erat dan terjaga.

Anda bisa praktekkan terutama saat setan memanas-manasi Anda membenci atau su-uzon kepada teman, kerabat atau siapa saja, lalu coba doakan dia dengan kebaikan. Maka dengan izin Allah pengaruh-pengaruh megatif setan yang memancing sesama muslim itu tidak rukun, akan terusir dan kalah. Berubah menjadi benih-benih cinta dan kasihsayang yang melapangkan dada. Karena setan menginginkan terjadi permusuhan di tengah-tengah masyarakat muslim. Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda,

إِنَّ الشَّيْطَانَ قد أَيِسَ أَنْ يَعْبُدَهُ الْمُصَلُّونَ في جَزِيرَةِ الْعَرَبِ، وَلَكِنْ في التَّحْرِيشِ بَيْنَهُمْ

Sesungguhnya setan telah putus asa membuat orang-orang yang shalat menyembahnya di Jazirah Arab. Namun setan masih bisa memunculkan permusuhan di tengah-tengah mereka” (HR. Muslim no. 2812).

Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

إِنَّ إِبْلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ على الْمَاءِ، ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ منه مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً، يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فيقول: فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا، فيقول: ما صَنَعْتَ شيئا، قال ثُمَّ يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فيقول: ما تَرَكْتُهُ حتى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ، قال: فَيُدْنِيهِ منه، وَيَقُولُ: نِعْمَ أنت فَيلتَزمُهُ

Iblis meletakkan singgasananya di atas air. Kemudian ia mengutus para tentaranya. Tentara iblis yang paling bawah adalah yang paling besar fitnah (kerusakan) nya. Salah satu tentara iblis berkata, “Saya telah melakukan ini dan itu. Maka iblis mengatakan: kamu belum melakukan apa-apa. Kemudian tentara iblis yang lain datang dan berkata: Aku tidak meninggalkan seseorang kecuali setelah ia berpisah dengan istrinya. Maka tentara iblis ini pun didekatkan kepada iblis. Lalu iblis berkata: kamulah yang terbaik, teruslah lakukan itu” (HR. Muslim no. 2813).

Yang membuat saudara-saudara Nabi Yusuf membenci Nabi Yusuf karena dorongan iri hasad, sampai Nabi Yusuf mau dibunuh, itu ya setan. Sebagaimana diterangkan di dalam Al-Qur’an,

وَرَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ وَخَرُّوا لَهُ سُجَّدًا ۖ وَقَالَ يَا أَبَتِ هَٰذَا تَأْوِيلُ رُؤْيَايَ مِن قَبْلُ قَدْ جَعَلَهَا رَبِّي حَقًّا ۖ وَقَدْ أَحْسَنَ بِي إِذْ أَخْرَجَنِي مِنَ السِّجْنِ وَجَاءَ بِكُم مِّنَ الْبَدْوِ مِن بَعْدِ أَن نَّزَغَ الشَّيْطَانُ بَيْنِي وَبَيْنَ إِخْوَتِي ۚ إِنَّ رَبِّي لَطِيفٌ لِّمَا يَشَاءُ ۚ إِنَّهُ هُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf. Dan berkata Yusuf: “Wahai ayahku inilah ta’bir mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan. Dan sesungguhnya Tuhanku telah berbuat baik kepadaku, ketika Dia membebaskan aku dari rumah penjara dan ketika membawa kamu dari dusun padang pasir, setelah syaitan merusakkan (hubungan) antaraku dan saudara-saudaraku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Lembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Yusuf: 100).

Dengan mengamalkan sunah ini maka kekuatan setan yang menimbulkan permusuhan itu akan lemah dan sirna. Karena kasih sayang itu adalah buah dari mengikuti ajaran Rasulullah, sementara saling membenci itu adalah akibat dari menyerah kepada godaan setan.

Semoga Allah memberi kita taufik untuk saling berkasih sayang.

Pesan Malik Bin Dinar Untuk Anak Muda

Pesan Malik Bin Dinar Untuk Anak Muda 

Bismillah…

Imam Malik bin Dinar rahimahullahu Ta’ala menyampaikan pesan singkat namun sarat makna:

إنما الخير في الشباب

“Sesungguhnya, kebaikan itu ada pada para pemuda [atau terdapat di dalam (usia) muda].”

Pesan beliau ini mengandung beberapa faidah penting berikut:

1. Masa Muda adalah Masa Potensial untuk Kebaikan

Usia muda merupakan periode emas dalam hidup manusia. Di masa ini, seseorang memiliki energi, semangat, dan vitalitas yang tinggi untuk melakukan berbagai aktivitas, termasuk beramal dan menuntut ilmu. Masa muda bagaikan tanah yang subur, siap ditanami benih-benih kebaikan yang akan tumbuh dan berkembang menjadi pohon yang rindang dan bermanfaat.

2. Kebaikan di Masa Muda Memiliki Dampak Jangka Panjang

Amal-amal baik yang dilakukan di usia muda akan menjadi fondasi yang kokoh bagi kehidupan selanjutnya. Kebiasaan positif yang ditanamkan di masa muda akan lebih mudah tertanam dan terbawa hingga usia tua. Pahala dari amal-amal tersebut pun akan terus mengalir, bahkan setelah seseorang meninggal dunia.

3. Pentingnya Memanfaatkan Masa Muda dengan Baik

Pesan Imam Malik bin Dinar ini merupakan seruan bagi para pemuda untuk tidak menyia-nyiakan masa mudanya. Masa muda adalah waktu yang tepat untuk menabung kebaikan, menimba ilmu sebanyak-banyaknya, dan mempersiapkan diri untuk masa depan yang gemilang.

4. Kebaikan di Masa Tua Tetap Bernilai

Meskipun pesan ini menekankan pentingnya kebaikan di masa muda, bukan berarti kebaikan di masa tua tidak bernilai. Setiap amal kebaikan, kapanpun dilakukannya, akan selalu mendapatkan pahala dari Allah ‘azza wa jalla.

Berikut beberapa contoh kebaikan yang dapat dilakukan di masa muda:

  • Menuntut ilmu agama dan ilmu lainnya yang bermanfaat untuk hidupnya di dunia dan akhirat.
  • Semangat melakukan ibadah wajib dan sunnah dengan tekun
  • Beramal sholeh, seperti membantu orang tua, fakir miskin, dan anak yatim
  • Mengikuti kegiatan positif di masjid, sekolah, atau komunitas
  • Menjaga kesehatan fisik dan mental
  • Menghindari perbuatan tercela dan maksiat

Masa muda adalah masa yang sangat berharga. Oleh karena itu, marilah kita manfaatkan masa muda dengan sebaik-baiknya untuk melakukan kebaikan dan mempersiapkan diri untuk masa depan yang lebih baik.

Baca juga:

Keep semangat ya anak muda…

Wallahul muwaffiq.

***

Trik Jitu Meredam Amarah

Trik Jitu Meredam Amarah 

Bismillah…

“Rasanya puas ya kalau bisa melampiaskan amarah. Seluruh beban emosi yang mengendap di dalam jiwa dan pikiran rasanya tertumpahkan.”

Itulah kira-kira bisikan halus iblis kepada kita untuk meluapkan amarah. Paadahal apa benar jiwa akan lega dan pikiran akan plong setelah melampiaskan marah?

Tidak, sama sekali tidak. Yang ada malah menyesal. Betapa banyak kesalahan terjadi saat emosi tidak terkendali, kemudian berujung penyesalan yang mendalam. Perceraian, putus silaturahmi, putus persahabatan, hilangnya rasa iba dan kasih sayang dll, adalah diantara rentetan masalah besar akibar dari marah. Yang ada malah marah itu awalnya kegilaan dan akhirnya penyesalan.

Sebagaimana dinyatakan dalam sebuah pepatah Arab,

الغضب أوله جنون، ونهايته ندم

“Marah itu awalnya adalah kegilaan dan ujungnya adalah penyesalan.” (Al Manhaj Al Masluk fii Siyasah Al Muluk, hal. 404)

Remaja islam yang budiman, ada sebuah petunjuk yang indah yang ditawarkan oleh Islam berkenaan dengan marah, yaitu, Islam tak pernah setuju dengan sikap tempramental atau mudah marah (kecuali marah pada tempatnya ya, yaitu marah yang hasilnya positif, seperti marah karena larangan Allah dilangggar atau ajaran Islam direndahkan, itupun harus profesional, proposional dan bijaksana). Diantara dalil yang popoler berisi pesan ini adalah hadis singkat yang berbunyi,

لَا تَغْضَبْ

“Jangan marah.”

Nabi sampai mengulang pesan singkat ini sebanyak tiga kali. Penjelasan selengkapnya tentang hadis ini bisa di baca di artikel Remajaislam berjudul:

Di sini sobat remaja akan mendapatkan sejumlah trik jitu mereda marah:

Pertama, membaca ta’awudz.

Saat marah menguasai diri kita, bersegeralah memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. Karena setanlah yang menghiasi marah pada diri seorang dan menggoda seorang dengan godaan yang menarik untuk marah, memicu ledakan emosi, hingga dapat mendorong seseorang melakukan perbuatan buruk dan mengucapkan kata-kata yang tidak baik. Sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadis yang tertulis di dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dalam hadits Sulaiman bin Surad radhiyallahu ‘anhu yang menceritakan bahwa ada dua orang bertengkar di hadapan Nabi -shalallahu alaihi wasallam-, ketika kami sedang duduk-duduk bersama beliau. Salah satu dari mereka mencela temannya dalam keadaan marah, sampai mukanya memerah. Lalu Nabi bersabda,

إِنِّي لأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ، لَوْ قَالَ: أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ الشَّيْطَانِ الرَّحِيمِ

“Aku mengetahui sebuah kalimat yang seandainya dia mengucapkannya, maka marahnya akan pergi. Andai saja dia mengucapkan doa “a’udzubillah minas syaitho nirrojiim” (Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk).”

Sejumlah sahabat yang berada di tempat itu berkata kepada orang yang sedang emosi itu, “Tu kan kamu denger ngga itu nasehat Nabi?!

Dia berkata, “Saya bukan orang gila.” (Riwayat Bukhari 6048), dan Muslim 2610)

Ucapan ta’awudz yang segera diucapkan di saat marah memuncak, akan menjadi keberkahan dan dapat mencegah kehadiran setan beserta godaannya kepada seorang yang terpancing marah. Hal ini sesuai firman Allah Ta’ala:

وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ

“Jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan maka berlindunglah kepada Allah.” (QS. Al-A’raf: 200)

Kedua, diam.

Sebagaimana diterangkan di dalam sebuah hadis di Musnad Imam Ahmad, sabahat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu menyampaikan sabda Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam-,

إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتُ

“Jika kalian marah, maka diamlah.”

(Riwayat Ahmad 2136, dan dishahihkan Albani dalam Shahih Al Jami 693)

Artinya menahan diri untuk tidak berbicara saat marah. Karena jika memaksa berbicara dalam keadaan marah, ia akan mengucapkan kata-kata yang berakibat tidak baik. Seperti ucapan kasar, tak senonoh dan makian. Beberapa orang mungkin bahkan mencaci-maki diri sendiri dan anak-anaknya, lalu ia akan menyesal setelah kemarahan mereda.

Oleh karenanya saat sedang marah, sebaiknya tidak mengucapkan sepatah kata pun, berusahalah untuk menahan diri tidak berbicara. Karena orang yang sedang marah, tidak menyadari apa yang ia ucapkan. Sehingga menahan diri untuk berbicara sampai kemarahan mereda akan membuat ucapannya lebih bijak dan berakibat hasil lebih baik.

Mawriq Al-’Ajli berkata,

ما قلت في الغضب شيئًا إلا ندمت عليه في الرضا

“Saya tidak pernah berkata apa apapun dalam keadaan marah kecuali saya menyesalinya dalam keadaan ikhlas.” (Syarah hadits Ammar bin Yasir, karya Ibnu Rajab Alhanbali, hal. 166)

Ketiga, mengubah posisi.

Di dalam Al Musnad, terdapat hadis yang menjadi dasar trik ketiga ini. Hadis tersebut bersumber dari sahabat Anas bin Malik -radhiyallahu’anhu-, bahwa Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda,

إذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسُ، فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ

“Kalau kalian marah dalam keadaan berdiri, maka duduklah. Jika belum reda juga marahnya, maka berbaringlah.” (Riwayat Ahmad 21348, dan dishahihkan Al Bani dalam Shahih Al Jami 694)

Adanya arahan seperti ini karena orang yang sangat marah bila tetap berdiri lalu di hadapannya ada orang yang membuatnya marah, keadaan itu cenderung memudahkan dia melakukan tindakan yang merugikan orang lain, pemukulan atau tindak kedzaliman lainnya. Namun, jika ia berusaha menguasai diri dengan cara duduk, upaya seperti ini dapat mencegahnya dari berbuat hal-hal yang tidak baik baik kepada saudaranya atau sumber kemarahan. Jika dengan upaya seperti itu marahnya mereda, itulah kenikmatan, namun jika belum juga mereda, silahkan berbaring, dengan demikian ia semakin menjauh dari sumber yang memancing kemarahannya.

Siapa yang melakukan dua arahan istimewa ini, yaitu berkenaan dengan lisan yaitu berusaha tidak berbicara saat sedang marah dan berkenaan dengan perbuatan yaitu merespon dengan duduk atau berbaring hingga marah mereda, maka seorang akan meraih kesempurnaannya sebagai laki-laki dan kekuatan yang sesungguhnya. Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- mengajarkan,

ليْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ

“Kuat yang sesungguhnya bukan semata-mata kekuatan fisik, melainkan kekuatan sejati adalah kemampuan mengendalikan diri saat marah.” (Riwayat Bukhari 6114, dan Muslim 2609)

Demikian, semoga kita dimudahkan Allah untuk menakhlukkan amarah.

Wallahul muwaffiq.

Referensi:

Al-Badr, Abdurazzaq bin Abdulmuhsin, (1444H). Ahadits Ishlah Al-Qulub, Dar Imam Muslim, Madinah, Saudi Arabia.

Jangan Terperdaya Dengan Ilusi Dunia

Jangan Terperdaya Dengan Ilusi Dunia 

Dalam menjalani kehidupan ini, kadangkala kita menilai keberuntungan dan kesialan seseorang dari apa yang kita lihat di permukaan. Namun, kita lupa bahwa apa yang tampak di mata bisa jadi berbeda dengan realitas sebenarnya. Orang yang tampak bahagia dan bebas dari cobaan, belum tentu hidupnya benar-benar bahagia di hadapan Allah Ta’ala.

Sebagai makhluk yang memiliki keterbatasan, kita seringkali hanya melihat segala sesuatu dari perspektif yang sempit, yaitu dari sudut pandang duniawi. Kita terjebak dalam definisi kebahagiaan dan kesuksesan yang didasarkan pada harta, kekuasaan, kepopuleran, atau kesenangan fisik. Padahal, keberuntungan seseorang tidak semata-mata diukur dari segi material atau apa yang bisa dilihat oleh mata telanjang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ

Dunia ini adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim no. 2392, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Ini menunjukkan bahwa apa yang tampak sebagai kenikmatan di dunia ini, mungkin justru menjadi belenggu bagi kehidupan akhirat seseorang. Di sisi lain, orang yang terlihat mengalami kesulitan dan cobaan di dunia ini, bisa jadi justru berada dalam rahmat dan lindungan Allah Ta’ala.

Cobaan dan kesulitan seringkali menjadi cara Allah Ta’ala untuk menguji dan menyucikan hamba-Nya, sekaligus menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang orang yang paling berat ujiannya di dunia. Maka, beliau menjawab,

الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ

Para Nabi, kemudian yang semisalnya, dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka ia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.” (HR. Tirmidzi no. 2398, Ibnu Majah no. 4024, Ad-Darimi no. 2783, Ahmad, 1: 185)

Maka, Saudaraku! Hal ini merupakan tanda bahwa cobaan dan kesulitan bukanlah hukuman, melainkan tanda kasih sayang dan perhatian Allah Ta’ala kepada hamba-Nya yang dipilih untuk ditempa agar menjadi lebih baik.

Orang yang terbiasa dengan kemaksiatan

Sebagian dari kita mungkin melihat orang yang terbiasa melakukan dosa, namun tampaknya tidak mendapat teguran dari Allah Ta’ala. Sebagian besar mereka menikmati kehidupan dunia, kaya raya, dan memiliki kesehatan yang baik. Namun, sebenarnya, kondisi ini justru bisa menjadi merupakan petaka bagi mereka. Hal itu tidak lain pertanda bahwa Allah Ta’ala telah berpaling dari mereka dan membiarkan mereka terus menerus dalam kesesatan hingga ajal menjemput. wal’iyadzu billah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا رَأَيْتَ اللهَ تَعَالَى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيْهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنهُ اسْتِدْرَاجٌ

Apabila kamu melihat Allah memberi pada hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.” (HR. Ahmad, 4: 145)

Istidraj merupakan salah satu bentuk cara Allah Ta’ala menarik seseorang dengan lembut menuju kebinasaan. Orang yang terus menerus dalam kemaksiatan, namun tidak mendapatkan teguran, mungkin tidak sadar bahwa mereka sedang ditarik perlahan ke jurang kehancuran. Ini adalah tanda bahwa Allah mungkin telah meninggalkannya.

Tanda kesuksesan tidak selalu fisik

Salah satu kesalahan persepsi adalah menganggap bahwa kemakmuran dan keberhasilan dunia merupakan tanda rida dan keberkahan dari Allah. Namun, dalam banyak kasus, kekayaan, dan kesenangan dunia dapat menjadi fitnah bagi seorang hamba. Allah Ta’ala berfirman,

وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّمَآ أَمْوَٰلُكُمْ وَأَوْلَٰدُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ ٱللَّهَ عِندَهُۥٓ أَجْرٌ عَظِيمٌ

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya harta, anak-anak adalah fitnah dan sesungguhnya di sisi Allahlah pahala yang besar.” (QS. Al-Anfal: 28)

Kesenangan dunia seperti harta dan anak bukanlah ukuran kesuksesan hakiki di mata Allah, melainkan bisa jadi adalah fitnah yang menguji keimanan dan kesabaran seseorang. Penting juga diingat bahwa di antara hal yang merugikan bagi seorang hamba adalah ketika ia terus menerus mendapatkan kesenangan dunia tanpa hambatan dan hatinya bisa menjadi terpaut dan lupa akan akhirat. Ketika seseorang terlalu cinta dunia, ia akan cenderung melakukan apapun untuk mempertahankan dan meningkatkan kesenangannya, bahkan jika itu berarti melanggar perintah Allah.

Perhatikanlah! Inilah contoh nyata dari bagaimana seseorang yang tampak sukses di mata manusia, namun sebenarnya berada dalam bahaya besar karena jauh dari rida Allah. Sebagai umat muslim, kita harus selalu waspada terhadap godaan dunia dan memastikan bahwa hati kita selalu terpaut pada Allah dan akhirat.

Orang yang terus diuji

Sebaliknya, ada orang yang hidupnya penuh dengan ujian dan cobaan. Mereka mungkin sering sakit, kehilangan, atau mengalami kesulitan hidup. Namun, ujian ini sebenarnya bisa menjadi bentuk kasih sayang Allah Ta’ala kepada hamba-Nya.

Dengan ujian, dosa-dosa kita dihapuskan. Selain itu, kesabaran dalam menghadapi ujian merupakan salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Orang yang bersabar akan mendapatkan cinta dari Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

Sesungguhnya, besarnya pahala bersama (sesuai) beratnya ujian. Sungguh, jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menimpakan ujian untuk mereka. Barangsiapa yang rida, maka ia yang akan meraih rida Allah. Barangsiapa yang tidak suka, maka Allah pun akan murka.” (HR. Ibnu Majah no. 4031, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)

Ujian sebagai penyucian jiwa

Setiap ujian dan cobaan yang menimpa seorang muslim bukanlah tanpa alasan. Allah memberikan ujian sebagai bentuk penyucian jiwa dan pembersihan dosa. Sebagaimana emas yang semakin berkilau setelah dilebur dalam api, demikian pula jiwa seorang mukmin yang bersabar dalam menghadapi ujian akan semakin murni. Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda,

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

Sesungguhnya besarnya pahala bersama (sesuai) beratnya ujian. Sungguh, jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menimpakan ujian untuk mereka. Barangsiapa yang rida, maka ia yang akan meraih rida Allah. Barangsiapa yang tidak suka, maka Allah pun akan murka.” (HR. Ibnu Majah no. 4031, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)

Dalil ini menegaskan bahwa kesulitan dan rasa sakit yang kita alami dalam hidup ini memiliki hikmah, yaitu menghapuskan dosa-dosa kita, sebagaimana daun yang gugur dari pohon.

Saat kita dicoba, sebenarnya itu adalah tanda bahwa Allah Ta’ala mencintai kita. Melalui ujian, Allah ingin mengangkat derajat kita dan menguji kekuatan iman kita.

Ujian yang datang bertubi-tubi menunjukkan bahwa Allah ingin menguji kekuatan iman kita dan mengangkat derajat kita. Jadi, bukannya harus merasa putus asa, kita seharusnya menyambut ujian sebagai kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meningkatkan kualitas iman kita.

Jangan terjebak ilusi dunia

Saudaraku, jangan mudah teperdaya dengan apa yang kita lihat di permukaan. Orang yang tampak bahagia dan bebas dari cobaan belum tentu lebih baik kedudukannya di sisi Allah. Dan orang yang penuh cobaan, jika dia bersabar, mungkin justru mendapat cinta dan rida Allah.

Sebagai umat muslim, kita harus selalu mengintrospeksi diri dan memastikan bahwa kita tidak terjebak dalam ilusi dunia. Semoga kita selalu diberikan hidayah untuk selalu dekat dengan Allah, menjauhi dosa, dan bersabar dalam setiap ujian. Amin.

Dalam setiap nafas dan detik kehidupan, ada hikmah yang Allah sematkan bagi hamba-Nya. Setiap kejadian, baik yang tampak indah maupun yang tampak menyakitkan, memiliki pelajaran yang mungkin tersembunyi di balik tabir kehidupan.

Seperti emas yang mesti melewati proses pemurnian dengan api sebelum ia berkilau, demikian pula jiwa kita. Ujian dan cobaan adalah cara Allah memurnikan, menguatkan, dan mendekatkan kita pada-Nya. Dengan demikian, kita semestinya tidak hanya fokus pada apa yang tampak, tetapi mencari makna yang lebih dalam dari setiap peristiwa.

Penting pula bagi kita untuk selalu menjaga hati dan niat dalam setiap tindakan. Karena bukan hanya perbuatan yang dilihat Allah, tetapi juga niat dan isi hati kita. Bisa jadi seseorang tampak bahagia dan sejahtera di mata dunia, namun hatinya kosong dan jauh dari keberkahan.

Sebaliknya, seseorang yang tampak dilanda cobaan, namun hatinya penuh dengan kesabaran dan tawakal, mungkin mendapat tempat yang istimewa di sisi Allah. Oleh karena itu, jangan hanya menilai dari luarnya saja, tetapi introspeksi dan perbaiki selalu isi hati dan niat kita. Sehingga kita bisa menjalani hidup dengan penuh makna dan berkah.

***

SEGERALAH BERTAUBAT KEPADA ALLOH

SEGERALAH BERTAUBAT KEPADA ALLOH 

عَنِ اْلأَغَرِّ بْنِ يَسَارٍ الْمُزَنِي قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَآايُّهَا النَّاسُ تُوْبُوْا إِلَى اللهِ وَاسْتَغْفِرُوْهُ فَإِنِّي أَتُوْبُ فِي الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ.

Dari Agharr bin Yasar Al Muzani, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,”Hai sekalian manusia! Taubatlah kalian kepada Allah dan mintalah ampun kepadaNya, karena sesungguhnya aku bertaubat kepada Allah dalam sehari sebanyak seratus kali”[1]

Makna Taubat
Asal makna taubat ialah:

الرُّجُوْعُ مِنَ الذَّنْبِ.

(kembali dari kesalahan dan dosa menuju kepada ketaatan). Berasal dari kata:

تَابَ إِلَى اللهِ يَتُوْبُ تَوْباً وَتَوْبَةً وَمَتَاباً بِمَعْنَى أَنَابَ وَرَجَعَ عَنِ المَعْصِيَةِ إِلَى الطَّاعَةِ.

(orang yang bertaubat kepada Allah ialah, orang yang kembali dari perbuatan maksiat menuju perbuatan taat).

التَّوْبَةُ :َاْلإِعْتِرَافُ وَالنَّدَمُ وَاْلإِقْلاَعُ وَالْعَزْمُ عَلَى أَلاَّ يُعَاوِدَ اْلإِنْسَانُ مَا اقْتَرَفَهُ.

(seseorang dikatakan bertaubat, kalau ia mengakui dosa-dosanya, menyesal, berhenti dan berusaha untuk tidak mengulangi perbuatan itu).[2]

Syarah Hadits
Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) di antara ulama tentang wajibnya taubat. Bahkan taubat adalah fardhu ‘ain yang harus dilakukan oleh setiap muslim dan muslimah.

Ibnu Qudamah Al Maqdisi (wafat th. 689 H.) rahimahullah berkata,”Para ulama telah ijma’ tentang wajibnya taubat, karena sesungguhnya dosa-dosa membinasakan manusia dan menjauhkan manusia dari Allah. Maka, wajib segera bertaubat.”[3]

Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk bertaubat, dan perintah ini merupakan perintah wajib yang harus segera dilaksanakan sebelum ajal tiba. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “: …Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung. (An Nur/24 : 31). Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang benar (ikhlas) … (At Tahrim/66 : 8). Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabb-mu dan bertaubat kepadaNya, (jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu, hingga pada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sungguh aku takut, kamu akan ditimpa siksa hari Kiamat.[Hud/11 :3]

Taubat wajib dilakukan dengan segera, tidak boleh ditunda. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Sesungguhnya segera bertaubat kepada Allah dari perbuatan dosa hukumnya adalah wajib dilakukan dengan segera dan tidak boleh ditunda.”[4]

Imam An Nawawi rahimahullah berkata,”Para ulama telah sepakat, bahwa bertaubat dari seluruh perbuatan maksiat adalah wajib; wajib dilakukan dengan segera dan tidak boleh ditunda, apakah itu dosa kecil atau dosa besar.”[5]

Kesalahan dan dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia banyak sekali. Setiap hari, manusia pernah berbuat dosa, baik dosa kecil maupun dosa besar, baik dosa kepada Khaliq (Allah Maha Pencipta) maupun dosa kepada makhlukNya. Setiap anggota tubuh manusia pernah melakukan kesalahan dan dosa. Mata sering melihat yang haram, lidah sering bicara yang tidak benar, berdusta, melaknat, sumpah palsu, menuduh, membicarakan aib sesama muslim (ghibah), mencela, mengejek, menghina, mengadu-domba, memfitnah, dan lain-lain. Telinga sering mendengarkan lagu dan musik yang jelas bahwa hukumnya haram, tangan sering menyentuh perempuan yang bukan mahram, mengambil barang yang bukan miliknya (ghasab), mencuri, memukul, bahkan membunuh, atau melakukan kejahatan lainnya. Kaki pun sering melangkah ke tempat-tempat maksiat dan dosa-dosa lainnya. Dosa dan kesalahan akan berakibat keburukan dan kehinaan bagi pelakunya, baik di dunia maupun di akhirat, bila orang itu tidak segera bertaubat kepada Allah.

Setiap muslim dan muslimah pernah berbuat salah, baik dia sebagai orang awam maupun seorang ustadz, da’i, pendidik, kyai, atau pun ulama. Karena itu, setiap orang tidak boleh lepas dari istighfar (minta ampun kepada Allah) dan selalu bertaubat kepadaNya, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Setiap hari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon ampun kepada Allah sebanyak seratus kali. Bahkan dalam suatu hadits disebutkan, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta ampun kepada Allah seratus kali dalam satu majelisnya.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ إِنْ كُنَّا لَنَعُدُّ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَجْلِسِ الْوَاحِدِ مِائَةَ مَرَّةٍ، رَبِّ اغْفِرْلِي وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ تَوَّابُ الرَّحِيْمُ.

“Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata,”Kami pernah menghitung di satu majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa seratus kali beliau mengucapkan, ‘Ya Rabb-ku, ampunilah aku dan aku bertaubat kepadaMu, sesungguhnya Engkau Maha menerima taubat lagi Maha Penyayang’.”[6]

Jika seorang muslim dan muslimah pernah berbuat dosa-dosa besar atau dosa yang paling besar, maka segeralah bertaubat. Tidak ada kata terlambat dalam masalah taubat, pintu taubat selalu terbuka sampai matahari terbit dari barat.

Dalam sebuah hadits dari Abu Musa ‘Abdullah bin Qais Al Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللهَ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوْبَ مُسِيئُ النَّهَارِ وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوْبَ مُسِيئُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا.

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu membuka tanganNya di waktu malam untuk menerima taubat orang yang melakukan kesalahan di siang hari, dan Allah membuka tanganNya pada siang hari untuk menerima taubat orang yang melakukan kesalahan di malam hari. Begitulah, hingga matahari terbit dari barat“[7]

Hadits ini dan hadits-hadits yang lainnya menunjukkan, bahwasanya Allah Azza wa Jalla senantiasa memberi ampunan di setiap waktu dan menerima taubat setiap saat. Dia selalu mendengar suara istighfar dan mengetahui taubat hambaNya, kapan saja dan dimana saja. Oleh karena itu, jika manusia mengabaikan perkara taubat ini dan lengah dalam menggunakan kesempatan untuk mencapai keselamatan, maka rahmat Allah nan luas itu akan berbalik menjadi malapetaka, kesedihan dan kepedihan di padang mahsyar. Hal ini tak ubahnya seseorang yang sedang kehausan, padahal di hadapannya ada air bersih, namun ia tidak dapat menjamahnya, hingga datanglah maut menjemput sesudah merasakan penderitaan haus tersebut. Begitulah gambaran orang-orang kafir dan orang-orang yang durhaka. Pintu rahmat sebenarnya terbuka lebar, tetapi mereka enggan memasukinya. Jalan keselamatan sudah tersedia, namun mereka tetap berjalan di jalan kesesatan.

Dan apabila tanda-tanda Kiamat besar telah tampak, yakni matahari sudah terbit dari barat. Kematian sudah di ambang pintu, yakni nyawa sudah berada di tenggorokan, maka taubat tidak lagi diterima. Wal’iyadzubillah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

هَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا أَنْ تَأْتِيَهُمُ الْمَلَائِكَةُ أَوْ يَأْتِيَ رَبُّكَ أَوْ يَأْتِيَ بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ ۗ يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لَا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا ۗ قُلِ انْتَظِرُوا إِنَّا مُنْتَظِرُونَ

“Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka), atau datangnya siksa Rabb-mu atau kedatangan beberapa ayat Rabb-mu. Pada hari datangnya beberapa ayat Rabb-mu, maka iman seseorang sudah tidak lagi berguna, yang sebelumnya itu tidak pernah beriman atau selama dalam imannya itu dia tidak pernah melakukan kebajikan. Katakanlah: “Tunggullah, sesungguhnya Kami akan menunggu”. [Al An’am/6:158]

Dalam surat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّىٰ إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآنَ وَلَا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ ۚ أُولَٰئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

“Taubat itu bukanlah bagi orang-orang yang berbuat kemaksiyatan, sehingga apabila kematian telah datang kepada seseorang di antara mereka lalu ia berkata: “Sungguh sekarang ini aku taubat” dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati dalam keadaan kafir. Bagi mereka Kami sediakan siksa yang pedih“. [An Nisa/4:18].


Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ.

“Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba, selama (ruh) belum sampai di tenggorokan“[8]

Syarat-Syarat Taubat
Para ulama menjelaskan syarat-syarat taubat yang diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai berikut:

الإِقْلاَعُ (al iqla’u), orang yang berbuat dosa harus berhenti dari perbuatan dosa dan maksiat yang selama ini ia pernah lakukan.
النَّدَمُ (an nadamu), dia harus menyesali perbuatan dosanya itu.
اَلْعَزْمُ (al ‘azmu), dia harus mempunyai tekad yang bulat untuk tidak mengulangi perbuatan itu.
Jika perbuatan dosanya itu ada hubungannya dengan orang lain, maka di samping tiga syarat di atas, ditambah satu syarat lagi, yaitu harus ada pernyataan bebas dari hak kawan yang dirugikan itu. Jika yang dirugikan itu hartanya, maka hartanya itu harus dikembalikan. Jika berupa tuduhan jahat, maka ia harus meminta maaf, dan jika berupa ghibah atau umpatan, maka ia harus bertaubat kepada Allah dan tidak perlu minta maaf kepada orang yang diumpat.[9]
Di samping syarat-syarat di atas, dianjurkan pula bagi orang yang bertaubat untuk melakukan shalat dua raka’at yang dinamakan Shalat Taubat, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا مِنْ رَجُلٍ يُذْنِبُ ذَنْباً ثُمَّ يَقُوْمُ فَيَتَطَهَّرُ ثُمَّ يُصَلِّى ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللهَ إِلاَّ غَفَرَ اللهُ لَهُ ثُمَّ قَرَأَ هَذَهِ الآيَةَ (وَالَّذِيْنَ إِذَا فَعَلُوْا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوْا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوْا اللهَ فَاسَتَغَفَرُوْا لِذُنُوْبِهِمْ.

“Jika seorang hamba berbuat dosa kemudian ia pergi bersuci (berwudhu’), lalu ia shalat (dua raka’at), lalu ia mohon ampun kepada Allah (dari dosa tersebut), niscaya Allah akan ampunkan dosanya“.

Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini:

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Dan orang-orang yang apabila mengejakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat kepada Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu sedang mereka mengetahui“.[Ali Imran/3:135].”[10]

Tingkatan Manusia yang Bertaubat Kepada Allah[11]
Tingkatan Pertama : Yaitu orang yang istiqamah dalam taubatnya hingga akhir hayatnya. Ia tidak berkeinginan untuk mengulangi lagi dosanya dan ia berusaha membereskan semua urusannya yang ia pernah keliru (salah). Tetapi ada sedikit dosa-dosa kecil yang terkadang masih ia lakukan, dan memang semua manusia tidak bisa lepas dari dosa-dosa kecil ini, namun ia selalu bersegera untuk beristighfar dan berbuat kebajikan, ia termasuk orang sabiqun bil khairat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

… وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللهِ …

“Di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah ..” [Fathir/35: 32]

Taubatnya dikatakan taubat nashuha, yakni taubat yang benar dan ikhlas. Nafsu yang demikian dinamakan nafsu muthmainnah.

Tingkatan Kedua : Yaitu orang yang menempuh jalannya orang-orang yang istiqamah dalam semua perkara ketaatan dan menjauhkan semua dosa-dosa besar, tetapi ia terkena musibah, yaitu sering melakukan dosa-dosa kecil tanpa sengaja. Setiap ia melakukan dosa-dosa itu, ia mencela dirinya sendiri dan menyesali perbuatannya. Orang-orang ini akan mendapakan janji kebaikan dari Allah Subhanahu w Ta’ala. Allah Azza wa Jalla berfirman :

الَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ إِلَّا اللَّمَمَ ۚ إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ

“(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Rabb-mu Maha Luas ampunanNya…” [An Najm/53:32].

Dan nafsu yang demikian dinamakan nafsu lawwamah.

وَلآأُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ

“Dan aku bersumpah dengan nafsu lawwamah (jiwa yang amat menyesali dirinya sendiri)“. [Al Qiyamah/75: 2].

Tingkatan Ketiga : Orang yang bertaubat dan istiqamah dalam taubatnya sampai satu waktu, kemudian suatu saat ia mengerjakan lagi sebagian dari dosa-dosa besar karena ia dikalahkan oleh syahwatnya. Kendati demikian ia masih tetap menjaga perbuatan-perbuatan yang baik dan masih tetap taat kepada Allah. Ia selalu menyiapkan dirinya untuk bertaubat dan berkeinginan agar Allah mengampuni dosa-dosanya. Keadaan orang ini sebagaimana yang Allah firmankan:

وَآخَرُونَ اعْتَرَفُوا بِذُنُوبِهِمْ خَلَطُوا عَمَلًا صَالِحًا وَآخَرَ سَيِّئًا عَسَى اللَّهُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampuradukkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang“. [At Taubah/9:102].

Nafsu inilah yang disebut nafsu mas-ulah

Tingkatan ketiga ini berbahaya, karena bisa jadi ia menunda taubatnya dan mengakhirkannya. Bahkan ada kemungkinan, sebelum ia berkesempatan untuk bertaubat, Malaikat Maut telah diperintah Allah k untuk mencabut ruhnya, sedangkan amal-amal manusia dihisab menurut akhir kehidupan manusia, menjelang mati.

Tingkatan Keempat : Yaitu orang yang bertaubat, tetapi taubatnya hanya sementara waktu saja, kemudian ia kembali lagi melakukan dosa-dosa dan maksiat, tidak peduli terhadap perintah-perintah dan larangan-larangan Allah, serta tidak ada rasa menyesal terhadap dosa-dosanya. Nafsu sudah menguasai kehidupannya serta selalu menyuruh kepada perbuatan-perbuatan yang jelek. Ia termasuk orang yang terus-menerus dalam perbuatan dosa. Bahkan ia sudah sangat benci kepada orang-orang yang berbuat baik, dan malah menjauhinya. Nafsu yang demikian ini dinamakan nafsul ammarah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي ۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabb-ku. Sesungguhnya Rabb-ku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang“. [Yusuf/12:53].

Tingkatan keempat ini sangat berbahaya, dan bila ia mati dalam keadaan demikian, maka ia termasuk su’ul khatimah (akhir kehidupan yang jelek).

Janji Allah Kepada Orang yang Bertaubat dan Istiqamah Dalam Taubatnya

  1. Taubat menghapuskan dosa-dosa, seolah-olah ia tidak berdosa.
    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَهُ.

“Orang yang bertaubat dari dosa seolah-olah ia tidak berdosa“.[12]

Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَٰئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Kecuali orang-orang yang bertaubat beriman dan beramal shalih, maka Allah akan ganti kejahatan mereka dengan kebajikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Al Furqan/25:70].

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَيَتَمَنَّيَنَّ أَقْوَامٌ لَوْ أَكْثَرُوْا مِنَ السَّيْئَاتِ الَّذِيْنَ بَدَّلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ.

“Sesungguhnya ada beberapa kaum bila mereka banyak berbuat kesalahan-kesalahan, mereka bercita-cita menjadi orang-orang yang Allah Azza wa Jalla mengganti kesalahan-kesalahan mereka dengan kebajikan“[13]

  1. Allah berjanji menerima taubat mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَأْخُذُ الصَّدَقَاتِ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

“Tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hambaNya dan menerima zakat, dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” [At Taubah/9:104]

Juga firmanNya:

وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَىٰ

“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih, kemudian tetap (istiqamah) di jalan yang benar“.[Thaha/20:82].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ تَابَ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا تَابَ اللهُ عَلَيْهِ.


“Barangsiapa taubat sebelum matahari terbit dari barat, maka Allah akan menerima taubatnya“.[14]

  1. Orang yang istiqamah dalam taubatnya adalah sebaik-baik manusia.
    Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ.

“Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat“[15]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَوْ أَنَّ الْعِبَادَ لَمْ يُذْنِبُوْا، لَخَلَقَ اللهُ خَلْقًا يُذْنِبُوْنَ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُوْنَ، ثُمَّ يَغْفِرُ لَهُمْ وَهُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

“Seandainya hamba-hamba Allah tidak berbuat dosa, niscaya Allah akan menciptakan makhluk yang berbuat dosa kemudian mereka istighfar (minta ampun kepada Allah), kemudian Allah mengampuni dosa mereka dan Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang“[16]

Terapi Mujarab Agar Bisa Istiqamah Dalam Taubat dan Tidak Terus Menerus Berbuat Dosa dan Maksiat
Setiap penyakit ada obatnya dan setiap penyakit ada ahli yang dapat menangani untuk menyembuhkannya. Obat penyakit-penyakit badan dan anggota tubuh manusia bisa diserahkan kepada dokter, tetapi penyakit hati hanya bisa diobati dengan kembali kepada agama yang benar.

Hati yang lalai merupakan pokok segala kesalahan. Dan penyakit hati ini lebih banyak dari penyakit badan, karena orang tersebut tidak merasa bahwa dirinya sedang sakit. Akibat yang ditimbulkan dari penyakit ini, seolah-olah tidak dapat tampak di dunia. Oleh karena itu, obat yang mujarab bagi penyakit ini, sesudah ia kembali ke agama yang benar ialah:

Mengingat ayat-ayat Allah Azza wa Jalla yang menakutkan dan mengerikan tentang siksa yang pedih bagi orang yang berbuat dosa dan maksiat. Bacalah juz ‘Amma beserta artinya, dan sebaiknya hafalkanlah.
Bacalah hikayat para nabi ‘alaihimush shalatu was salam bersama ummatnya dan para salafush shalih, dan musibah-musibah yang menimpa mereka beserta ummatnya disebabkan dosa yang mereka lakukan.
Ingatlah, bahwa setiap dosa dan maksiat berakibat buruk di dunia maupun akhirat.
Ingat dan perhatikanlah satu per satu ayat-ayat Al Qur`an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengisahkan tentang siksa akibat perbuatan dosa, seperti dosa minum khamr, dosa riba, dosa zina, dosa khianat, dosa ghibah, dosa membunuh, dan lain-lain.
Bacalah istighfar dan sayyidul istighfar setiap hari.
Sayyidul istighfar, do’a memohon ampun kepada Allah


اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْلِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ.

“Ya Allah, Engkau adalah Rabb-ku, tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) kecuali Engkau, Engkau-lah yang menciptakanku. Aku adalah hambaMu. Aku akan setia pada perjanjianku denganMu semampuku. Aku berlindung kepadaMu dari kejelekan (apa) yang telah kuperbuat. Aku mengakui nikmatMu (yang diberikan) kepadaku, dan aku mengakui dosaku. Oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau“[17]

Do’a memohon ampunan dan rahmat Allah

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

“Ya Rabb kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tin-dakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir“.[Ali Imran/3: 147].

رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi“.[Al A’raf/7 :23].

Fiqhul Hadits
Pelajaran yang dapat diambil dari hadits dalam pembahasan ini ialah:

Setiap manusia pernah berbuat dosa dan kesalahan.
Kita wajib bertaubat dan meninggalkan semua sifat yang tercela.
Bertaubat wajib dengan segera, tidak boleh ditunda.
Beristighfar dan bertaubat itu hendaknya dilakukan dengan sungguh-sungguh dan berusaha mengadakan ishlah (perbaikan).
Pintu taubat masih tetap terbuka siang dan malam.
Allah Azza wa Jalla tidak akan menerima taubat, apabila ruh sudah berada di tenggorokan, dan apabila matahari telah terbit dari barat (hari Kiamat).
Nabi Muhammad n setiap hari beristighfar dan bertaubat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala cinta kepada orang-orang yang bertaubat. Allah Azza wa Jalla berfirman.


إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

“… Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” [Al Baqarah/2:222].

Wallahu a’lamu bish shawab.

Maraji`:

Tafsir Ibnu Katsir, Cet. Darus Salam.
Shahih Bukhari dan syarahnya Fathul Bari, Cet. Darul Fikr.
Shahih Muslim, dan Syarah Muslim Lil Imam An Nawawi.
Sunan Abu Daud.
Jami’ At Tirmidzi.
Sunan An Nasa-i.
Sunan Ibnu Majah.
Musnad Ahmad.
Al Mu’jamul Kabir, oleh Ath Thabrani.
Riyadhush Shalihin, oleh Imam An Nawawi.
Mukhtashar Minhajul Qashidin, oleh Ibnu Qudamah Al Maqdisi, tahqiq Syaikh ‘Ali Hasan.
Madarijus Salikin, oleh Ibnul Qayyim, Cet. Darul Hadits, Kairo.
Shahih Jami’ush Shaghir, oleh Imam Al Albani.
Silsilah Ahadits Ash Shahihah, oleh Imam Al Albani.
Shahih Al Wabilish Shayyib Minal Kalimith Thayyib, oleh Ibnul Qayyim, tahqiq dan takhrij Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilali.
Mu’jamul Wasith, dan kitab lainnya.


Footnote
[1] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 2702 (42), Syarah Muslim, oleh Imam An Nawawi (XVII/24-25). Diriwayatkan juga oleh Ahmad (IV/211), Abu Dawud (no. 1515), Al Baghawi (no. 1288) dan Ath Thabrani dan Al Mu’jamul Kabir (no. 883).
[2] Lihat Fat-hul Bari (XI/103), Al Mu’jamul Wasith, Bab Taa-ba (I/90).
[3] Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 322, tahqiq Syaikh ‘Ali Hasan
[4] Madarijus Salikin (I/297), Cet. Darul Hadits, Kairo.
[5] Syarah Shahih Muslim (XVII/59).
[6] HR At Tirmidzi )no. 3434), Abu Dawud (no. 1516), Ibnu Majah (no. 3814). Lihat Shahih Sunan At Tirmidzi (III/153 no. 2731), lafazh ini milik Abu Dawud.
[7] HR Muslim (no. 2759).
[8] Hadits shahih riwayat At Tirmidzi (no. 3537), Al Hakim (IV/257), Ibnu Majah (no. 4253). Lafazh hadits ini menurut Imam At Tirmidzi
[9] Lihat Riyadhush Shalihin, Bab Taubat (hlm. 24-25) dan Shahih Al Wabilush Shayyib (hlm. 272-273).
[10] Hadits hasan riwayat At Tirmidzi (no. 406), Ahmad (I/10), Abu Dawud (no. 1521), Ibnu Majah (no. 1395), Abu Dawud Ath Thayalisi (no. 1 dan 2) dan Abu Ya’la (no. 12 dan 15). Lihat Tafsir Ibnu Katsir (I/438), Cet. Darus Salam.
[11] Lihat Mukhtashar Minhajul Qashidin (hlm. 335-336), oleh Ibnu Qudamah Al Maqdisi, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid.
[12] HR Ibnu Majah (no. 4250), dari Ibnu Mas’ud z . Lihat Shahih Jami’ush Shaghir (no. 3008).
[13] Hadits hasan riwayat Al Hakim (IV/252), dari sahabat Abu Hurairah. Lihat Shahih Jami’ush Shaghir (no. 5359), dari sahabat Abu Hurairah.
[14] Hadits shahih riwayat Muslim (no. 2703), dari sahabat Abu Hurairah
[15] Hadits hasan riwayat Ahmad (III/198), At Tirmidzi (no. 2499), Ibnu Majah (no. 4251) dan Al Hakim (IV/244). Lihat Shahih Jami’ush Shaghir (no. 4515), dari sahabat Anas.
[16] Hadits shahih riwayat Al Hakim (IV/246), dari Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al Khaththab. Lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah (no. 967-970).
[17] HR Al Bukhari (no. 6306, 6323), Ahmad (IV /122-125) dan An Nasa-i (VIII/279-280).

DULUNYA ULAMA TAUHID, LALU JADI ATHEIS, APA SEBABNYA?

DULUNYA ULAMA TAUHID, LALU JADI ATHEIS, APA SEBABNYA?

Abdullah Al-Qashimi namanya, seorang ulama kelahiran tahun 1907, yang dulu dikenal sebagai seorang penyeru dan pembela Islam serta Ahlus Sunnah tetapi di akhir hayatnya berubah menjadi atheis dan mati di atas kesesatan tersebut. Sekali lagi, dia bukan hanya penuntut ilmu tetapi sudah sampai pada level ulama yang memiliki banyak karya tulis dan bahkan mengeluarkan bantahan-bantahan terhadap para pembenci dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.

Salah satu karyanya adalah kitab berjudul الصراع بين الإسلام و الوثنيين (Pertentangan Antara Islam dan Kaum Paganisme) yang merupakan bantahan atas seorang ulama Syiah yang mengajak untuk menyembah tempat-tempat suci. Kitab ini diterima secara luas dan mendapatkan pujian dari para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Bahkan salah satu gurunya mengatakan,

لقد دفع القصيمي مهر الجنة بكتابه هذا

“Sungguh Al-Qashimi membayar mahar surga dengan kitabnya ini.”

Tetapi rupanya dia tidak puas dengan manhaj yang haq ini dan mencoba untuk menggali pemikiran lainnya yang membuat dia tersesat dalam belantara pemikiran-pemikiran atheis. Dia pun mulai membuat tulisan-tulisan yang memojokkan Islam dan kaum Muslimin, mengeluarkan kata-kata kotor, mencela Allah dan Rasul-Nya.

Para ulama mengatakan, di antara sebab penyimpangannya adalah kesombongan, bangga diri, dan cinta ketenaran. Hal ini bisa diketahui dari karya-karyanya sendiri dan kalimat-kalimat yang dilontarkannya. Oleh sebab itulah, Allah tampakkan keburukan hatinya di akhir hayatnya. Syaikh Shalih Al-Fauzan mengatakan bahwa tidak diketahui Abdullah Al-Qashimi ini bertaubat dari pemahaman atheisnya di akhir hayatnya. Wal ‘iyadzu billah.

Oleh karena itu, siapapun dari kita tak ada yang boleh merasa aman dengan keadaan akhir hidupnya. Ada orang yang selama hidupnya nampak baik, ternyata di akhir hidupnya dia suul khatimah. Sebaliknya ada orang yang nampak buruk, ternyata di akhir hidupnya dia husnul khatimah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فَوَ اللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا

“Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain-Nya. Sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli surga hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal sehasta. Akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah dia ke dalam neraka. Sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli neraka hingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta. Akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli surga maka masuklah dia ke dalam surga.” (HR. Bukhari, no. 6594 dan Muslim, no. 2643)

Mengapa bisa orang yang selama hidupnya beramal shalih tetapi ternyata akhir kehidupannya buruk? Jawabannya karena itu hanyalah di mata manusia. Orang lain melihatnya melakukan amalan shalih, tetapi Allah melihat hatinya yang dipenuhi dengan riya’ dan ujub. Allah pun tampakkan itu di akhir hayatnya. Hal ini diperkuat oleh hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ

“Ada seseorang yang melakukan amalan penghuni surga hingga terlihat oleh manusia menjadi penghuninya padahal ia termasuk penghuni neraka, sebaliknya ada seseorang yang melakukan amalan penghuni neraka hingga terlihat oleh manusia ia menjadi penghuninya padahal ia adalah penghuni surga.” (HR. Bukhari no. 2898 dan Muslim no. 112)

Adapun seorang hamba yang melaksanakan amalan shalih dengan penuh keikhlasan dan ketulusan, maka Allah tidak akan menelantarkannya dan Allah pasti akan memuliakan orang-orang yang beribadah kepada-Nya hingga akhir hayatnya.

Semoga Allah memberikan kita keistiqamahan dan keikhlasan hingga akhir hayat kita lalu wafat dengan husnul khatimah. Yaa muqallibal quluub tsabbit qolbii ‘alaa diinik, Wahai Rabb yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada agama-Mu.

RIDHO ALLOH TIDAK SEJALAN DENGAN RIDHO MANUSIA

RIDHO ALLOH TIDAK SEJALAN DENGAN RIDHO MANUSIA 

Di antara rasa takut yang tercela adalah jika sampai rasa takut membuat seseorang lebih mendahulukan ridho manusia dalam keadaan membuat Allah murka. Artinya yang ia cari asal manusia senang dan ridho dengan dirinya walau ketika itu melanggar aturan Allah. Ia pun sudah tahu kalau itu salah. Rasa takut semacam ini juga mengurangi tauhid seseorang, di samping akan mendapatkan akibat buruk nantinya. Walau manusia awalnya suka, Allah bisa membolak-balikkan hati mereka menjadi benci nantinya. Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari hadits ‘Aisyah berikut ini.

Dalam hadits disebutkan,

عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ قَالَ كَتَبَ مُعَاوِيَةُ إِلَى عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رضى الله عنها أَنِ اكْتُبِى إِلَىَّ كِتَابًا تُوصِينِى فِيهِ وَلاَ تُكْثِرِى عَلَىَّ. فَكَتَبَتْ عَائِشَةُ رضى الله عنها إِلَى مُعَاوِيَةَ سَلاَمٌ عَلَيْكَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ اللَّهِ بِسَخَطِ النَّاسِ كَفَاهُ اللَّهُ مُؤْنَةَ النَّاسِ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ النَّاسِ بِسَخَطِ اللَّهِ وَكَلَهُ اللَّهُ إِلَى النَّاسِ »

Dari seseorang penduduk Madinah, ia berkata bahwa Mu’awiyah pernah menuliskan surat pada ‘Aisyah -Ummul Mukminin- radhiyallahu ‘anha, di mana ia berkata, “Tuliskanlah padaku suatu nasehat untuk dan jangan engkau perbanyak.” ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pun menuliskan pada Mu’awiyah, “Salamun ‘alaikum (keselamatan semoga tercurahkan untukmu). Amma ba’du. Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mencari ridho Allah saat manusia tidak suka, maka Allah akan cukupkan dia dari beban manusia. Barangsiapa yang mencari ridho manusia namun Allah itu murka, maka Allah akan biarkan dia bergantung pada manusia.” (HR. Tirmidzi no. 2414 dan Ibnu Hibban no. 276. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dalam lafazh Ibnu Hibban disebutkan,

مَنْ اِلْتَمَسَ رِضَا اللَّهِ بِسَخَطِ النَّاسِ رضي الله عنه وَأَرْضَى عَنْهُ النَّاسَ ، وَمَنْ اِلْتَمَسَ رِضَا النَّاسِ بِسَخَطِ اللَّهِ سَخِطَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَسْخَطَ عَلَيْهِ النَّاسَ

Barangsiapa yang mencari ridho Allah saat manusia tidak suka, maka Allah akan meridhoinya dan Allah akan membuat manusia yang meridhoinya. Barangsiapa yang mencari ridho manusia dan membuat Allah murka, maka Allah akan murka padanya dan membuat manusia pun ikut murka.

Sebagaimana keterangan dalam Tuhfatul Ahwadzi (7: 82), maksud hadits “Allah akan cukupkan dia dari beban manusia” adalah Allah akan menjadikan dia sebagai golongan Allah dan Allah tidak mungkin menyengsarakan siapa pun yang bersandar pada-Nya. Dan golongan Allah (hizb Allah), itulah yang bahagia. Sedangkan maksud “Allah akan biarkan dia bergantung pada manusia” adalah Allah akan menjadikan manusia menguasainya hingga menyakiti dan berbuat zholim padanya.

Beberapa faedah dari hadits ‘Aisyah di atas:

1- Wajib takut pada Allah dan mendahulukan ridho Allah daripada ridho manusia.

2- Hadits tersebut menunjukkan akibat dari orang yang mendahulukan mencari ridho manusia daripada ridho Allah.

3- Wajib tawakkal dan bersandar pada Allah.

4- Akibat yang baik bagi orang yang mendahulukan ridho Allah walau membuat manusia tidak suka dan akibat buruk bagi yang mendahulukan ridho manusia dan ketika itu Allah murka.

5- Hati setiap insan dalam genggaman, Allah yang dapat membolak-balikkan sekehendak Dia. (Lihat Al Mulakhosh fii Syarh Kitab Tauhid, Syaikh Sholih Al Fauzan, hal. 267).

Semoga Allah memberi taufik pada kita untuk selalu mengedepankan ridho Allah daripada ridho manusia. Wallahul muwaffiq.

WAHAI MUSLIMAH, CINTAILAH ILMU SYAR'I

WAHAI MUSLIMAH, CINTAILAH ILMU SYAR'I

Seorang penyair bersenandung:

(Menuntut ilmu dengan baik) tidak akan bisa dicapai oleh orang yang banyak keluarga serta berkedudukan tinggi.
Hanya orang yang sedang sendirian yang mampu mencapainya.

(Lihat syarah kitab Hilyah Thalibil ‘ilmi hal. 108 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-`Utsaimin).

Muslimah cerdas adalah sosok wanita shalihah yang selalu rindu dengan majelis ilmu. Hatinya akan bahagia manakala ia mampu memahami petunjuk Allah dan Rasul-Nya dengan senantiasa menyibukkan hatinya, mengisi hari-harinya bersama kitab dan sunnah. Ketika kita dikaruniai waktu luang dan kesempatan menimba ilmu dengan berbagai wasilah yang saat ini dimudahkan Allah, maka raihlah kesempatan berharga ini. Jangan pernah menundanya, karena kita tak pernah tahu kapan kesempatan emas itu akan terulang. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara, (1) Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, (2) Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, (3) Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, (4) Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, (5) Hidupmu sebelum datang matimu.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya [4/341]. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Saat muda ketika belum berkeluarga dan beban kehidupan belum terlalu menguras energi dan pikiran, isilah detik-detik harimu dengan ilmu syar’i. Belajar di waktu muda bagaikan mengukir di atas batu. Dimana jiwa masih jernih, hati belum tersibukkan dengan berbagai amanah rumah tangga, niscaya anda akan lebih mudah memahami ilmu.

Umar bin Khattab radhiallahu’anhu berkata: “Belajarlah kalian sebelum menjadi pemimpin. Karena seseorang kalau sudah menjadi pemimpin, maka akan banyak urusannya, lalu pikirannya pun banyak bercabang sehingga konsentrasinya pun buyar. Saat dia ingin mengerjakan sesuatu, tiba-tiba ada keperluan lain yang jauh lebih mendesak dari apa yang akan dia kerjakan sebelumnya, maka diapun harus mengurungkan niatnya. Oleh karena itu sungguh-sungguhlah engkau dalam belajar mumpung engkau masih punya waktu longgar, telaah, belajar, dan bahaslah serta jadikan lembaran-lembaran kitab itu sesuatu yang menjadi rutinitas pandangan matamu. Ketahuilah bahwasanya kalau engkau terbiasa dengan sungguh-sungguh dalam belajar, maka ini akan menjadi kebiasaanmu, yang mana bila suatu saat engkau merasa malas saat sedang rekreasi misalnya, maka engkau akan mengingkari dirimu sendiri dan engkau akan menemukan sesuatu yang kosong pada dirimu”. (Lihat syarah kitab Hilyah Tholibil ‘ilmi, hal. 143 oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin).

Wahai muslimah yang dicintai Allah, berbahagialah Anda ketika dimudahkan-Nya untuk mengarungi lautan ilmu disaat banyak muslimah yang lain lebih asyik dengan kehidupan dunianya. Inilah nikmat besar yang sepantasnya menjadikan kita lebih bersemangat menggali ilmu demi kemuliaan akhirat. Inilah bekal yang seharusnya memperberat timbangan amal di sisi Allah.

Dan untuk istiqamah dalam menuntut ilmu syar`i, kitapun harus memiliki sahabat-sahabat yang shalihah. Imam Al-Hasan Al-Basri rahimahullah berkata: “Sahabat-sahabat kami di majelis ilmu lebih berharga daripada keluarga kami. Keluarga kami mengingatkan pada keduniaan sedangkan sahabat-sahabat kami mengingatkan perkara-perkara akhirat”. (Lihat kitab Min Asbabil Futur wa ‘Ilajihi, hal. 54).

***

Referensi :

  • Begini seharusnya menjadi muslimah cerdas, Mubasyirah binti Mahrus Ali, At-Tibyan, Solo, 2010
  • Majalah As-Sunnah, edisi 10/Tahun VI/1423 H.

BERSUMPAH DENGAN SELAIN NAMA ALLOH, ITU SYIRIK

BERSUMPAH DENGAN SELAIN NAMA ALLOH, ITU SYIRIK 

Bersumpah, artinya menguatkan suatu obyek pembicaraan dengan menyebut sesuatu yang diagungkan dengan lafazh yang khusus. Yaitu dengan menggunakan salah satu di antara huruf sumpah ba, wawu, atau ta (dalam bahasa Arab) [1]. Yakni dengan mengatakan billahi, wallahi, atau tallahi, yang artinya demi Allah.

Dengan demikian, di dalam sumpah terkandung sikap pengagungan kepada yang namanya disebut dalam sumpah tersebut. Sedangkan pengagungan termasuk jenis ibadah yang tidak boleh ditujukan, kecuali hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Oleh karena itu, bersumpah adalah ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah saja dengan mengatakan demi Allah saja!

Berdasarkan hal itu, maka bersumpah dengan menyebut nama selain nama Allah adalah perbuatan syirik. Sebab dalam sumpah tersebut terkandung pengagungan kepada selain Allah, berdasarkan hadits dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ

“Barangsiapa yang bersumpah dengan menyebut selain nama Allah, maka sungguh dia telah kafir atau musyrik” [2].

Yang dimaksud bersumpah dengan menyebut selain nama Allah -yang dianggap musyrik- maksudnya, mencakup segala sesuatu selain Allah, baik itu Ka’bah, rasul, langit, malaikat dan lain-lain. Misalnya, yaitu dengan mengatakan “demi Ka’bah”, atau “demi Rasulullah”, “demi Jibril”, demi cintaku kepadamu, demi langit yang luas, dan seterusnya. Tetapi, larangan ini tidak mencakup sumpah dengan menyebut sifat Allah, karena sifat itu mengikuti Dzat yang disifatinya (Allah). Oleh karena itu, kita boleh mengatakan “demi kemuliaan Allah…”[3].

Karena besarnya dosa bersumpah dengan menyebut selain nama Allah, sehingga Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Kalau aku bersumpah dengan menyebut nama Allah dengan kedustaan, maka hal itu lebih aku sukai daripada bersumpah secara jujur dengan menyebut selain nama Allah” [4]. Bersumpah dengan menyebut nama Allah untuk suatu kebohongan adalah termasuk dosa besar, akan tetapi, dosanya lebih ringan daripada bersumpah secara jujur, tetapi dengan menyebut selain nama Allah dalam sumpahnya.

Bersumpah palsu dengan menyebut nama Allah adalah diharamkan.

Pertama : Hal itu termasuk kebohongan, dan kebohongan adalah diharamkan.
Kedua : Kebohongan ini disandingkan dengan sumpah, sedangkan sumpah adalah pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apabila sumpahnya untuk suatu kebohongan, berarti di dalamnya terkandung sikap tanaqqus (penghinaan) terhadap Allah, karena menjadikan namaNya sebagai penguat kebohongan. Oleh karena itu, bersumpah dengan menyebut nama Allah untuk suatu kebohongan -menurut sebagian ulama- termasuk sumpah palsu yang menyebabkan pelakunya terjerumus kepada dosa, kemudian ke neraka.
Adapun bersumpah secara jujur dengan menyebut selain nama Allah, maka ini diharamkan karena satu alasan, yaitu syirik. Bahaya syirik lebih besar daripada keburukan dusta, dan lebih besar pula dosanya daripada keburukan bersumpah dengan menyebut nama Allah untuk kebohongan. Juga lebih besar pula dosanya daripada sumpah palsu, apabila kita katakan bahwa bersumpah dengan menyebut nama Allah untuk kebohongan termasuk sumpah palsu; karena dosa syirik dosanya tidak akan diampuni. Allah berfirman :

إِنَّ اللهَ لاَيَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik“. [An Nisa/4 : 116].

Tidaklah Allah mengutus para rasul dan tidak pula menurunkan kitab, kecuali untuk memberantas kemusyrikan ini. Karena syirik merupakan dosa yang paling besar. Allah berfirman :

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya syirik itu adalah kezhaliman yang paling besar“. [Luqman/31 : 13].

Disebutkan dalam salah satu hadits, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya : ”Dosa apakah yang paling besar?” Beliau menjawab :

أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ

“Engkau membuat tandingan bagi Allah, padahal Dialah yang menciptakanmu” [5].

Syirik mengandung kedustaan, karena orang yang menjadikan serikat bagi Allah adalah pendusta, bahkan orang yang paling pendusta, karena Allah tidak memiliki sekutu [6].

Bila seseorang yang bersumpah dengan menyebut selain nama Allah itu meyakini bahwa yang namanya disebut itu dianggap sama dengan Allah dalam hal keagungan dan pengagungan, maka dia telah melakukan syirik besar. Akan tetapi, jika tidak, maka perbuatannya tersebut termasuk syirik kecil.


Apakah Allah mengampuni syirik kecil? Sebagian ulama mengatakan bahwa firman Allah “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik…” –An Nisa/4 ayat 116-, maksudnya ialah syirik besar. “Dan Allah akan mengampuni selain itu”, maksudnya ialah syirik kecil dan dosa-dosa besar.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik sekalipun syirik kecil, karena firman Allah yang menyatakan ‘ayyusyraka bihi’ disebut sebagai mashdar muawwal (kata kerja yang bisa ditakwil menjadi kata benda). Dia adalah lafazh nakirah (umum) dalam konteks nafi (menidakan). Sehingga maknanya umum, mencakup syirik besar dan kecil.

Adapun sumpah yang Allah lakukan dengan menyebut makhlukNya, seperti : “Demi matahari” –Asy Syams ayat 1- atau “aku bersumpah dengan menyebut negeri ini” -Al Balad ayat 1- atau ayat “demi malam apabila telah gelap” –Al Lail ayat 1- dan ayat yang sejenis itu, maka ada dua penjelasan tentang hal ini.

Pertama : Ini adalah termasuk perbuatan Allah, dan Allah tidak boleh ditanya tentang apa yang Dia lakukan. Dia boleh bersumpah dengan menyebut apa saja yang Dia kehendaki dari kalangan makhlukNya. Dialah yang akan bertanya, dan bukan yang akan ditanya. Dialah Hakim, dan bukan yang akan dihukumi.
Kedua : Sumpah Allah dengan ayat-ayat ini menjadi dalil tentang keagunganNya, kesempurnaan kekuasaan serta hikmahNya, sehingga sumpah tersebut menunjukan kebesaranNya, serta ketinggian derajatNya yang mengandung pujian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Oleh karena itu, kita tidak boleh bersumpah dengan menyebut selain nama Allah atau sifatNya. Adapun yang diterangkan dalam hadits Shahih Muslim, bahwa Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Berbahagialah dia, demi bapaknya, bila dia benar” [7], terdapat beberapa penjelasan sebagai berikut :

Sebagian ulama mengingkari lafazh ini dan mengatakan, bahwa lafazh ini tidak ada dalam hadits karena bertolak belakang dengan tauhid. Bila demikian, maka tidak boleh menisbatkan hal ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, hal ini adalah batil.
Lafazh ini merupakan penulisan dari para perawi. Asalnya ialah “berbahagialah dia, demi Allah, bila dia benar”. Mereka (para perawi) tidak memberi syakal (harakat) pada tulisan. Padahal, tulisan abihi (ابيه) serupa dengan tulisan lafzhul jalalah, Allah (اـلـله ) apabila dibuang titik-titik di bawahnya.
Ucapan ini merupakan ungkapan yang keluar secara spontan dari lisan, tanpa disengaja. Allah berfirman : “Allah tidak akan menghukum kalian atas sumpah-sumpah yang kalian lakukan tanpa sengaja”, dan sumpah ini tidak diniatkan, sehingga tidak akan dihukum.
Sumpah ini terjadi pada diri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau adalah orang yang paling jauh dari syirik, sehingga hal ini termasuk kekhususan baginya. Adapun yang lainnya, maka dilarang dari sumpah ini, karena mereka tidak sama dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal keikhlasan dan tauhid.
Sumpah ini dibuang mudhafnya. Kalimat asalnya ialah “berbahagialah dia, demi –Tuhan- (mudhaf) bapaknya …”.
Sumpah dengan lafazh ini mansukh (dihapuskan legalisasinya) dan pelarangannyalah yang diberitakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak asal tentang masalah ini. Dan inilah pendapat yang paling dekat dengan kebenaran.
Kalau ada yang mencoba membalikkan bahwa larangan itulah yang dimansukh, karena ketika itu mereka baru saja lepas dari budaya syirik, sehingga mereka dilarang berbuat syirik sebagaimana manusia pun dilarang dari ziarah kubur di awal masa mereka bebas dari syirik, kemudian mereka diizinkan melakukannya setelah itu?

Kita jawab, bahwa sumpah ini terucap dari lisan mereka, lalu dibiarkan sehingga keimanan dalam jiwa mereka mantap, setelah itu, kemudian dilarang. Ini sama dengan dibiarkannya mereka untuk minum khamr, setelah itu mereka diperintah untuk menjauhinya.

Adapun tentang jawaban pertama di atas, maka jawaban ini lemah, karena hadits ini shahih. Oleh karena itu, selama hadits ini masih mungkin diarahkan kepada pemahaman yang shahih, maka tidak boleh diingkari.


Tentang keterangan kedua, ini pun terlalu jauh bila mungkin ditoleransi. Tidak mungkin terjadi pada ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya “shadaqah apakah yang paling utama?”, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab “adapun, demi bapakmu, kamu pasti akan diberitahu……dan seterusnya” [8].

Penjelasan ketiga, juga tidak benar, karena larangan itu ada, sekalipun terucap secara spontan dari lisan, sebagaimana pernah dilakukan oleh Sa’ad, yang kemudian dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam [9]. Seandainya hal ini benar, maka boleh pula kita katakan kepada orang yang biasa melakukan perbuatan syirik, bahwa ia tidak boleh dilarang karena ini sudah menjadi kebiasaannya. Dan ini merupakan kebatilan.

Adapun jawaban keempat yang mengklaim pengkhususan untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hal ini membutuhkan dalil khusus. Kalau tidak ada, maka dikembalikan kepada hukum asal, yaitu umat boleh mengikuti beliau dalam masalah ini.

Keterangan kelima juga lemah, karena pada asalnya tidak ada lafazh yang dibuang. Lagi pula, adanya lafazh yang dibuang di sini bisa menimbulkan pemahaman yang batil. Tidak mungkin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara dengan pembicaraan yang berakibat demikian, tanpa menjelaskan yang dimaksud.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan itu, maka jawaban yang paling dekat dengan kebenaran adalah jawaban yang keenam, bahwa itu adalah mansukh (dihapuskan). Kita tidak bisa memastikan hal itu, karena ketidaktahuan kita tentang sejarah. Oleh karena itu, kita katakan, itu adalah jawaban yang paling dekat, wallahu a’lam.

Sekalipun Imam An Nawawi rahimahullah berpendapat bahwa sumpah ini terucap secara spontan dari lisan tanpa sengaja, akan tetapi pendapat ini lemah. Tidak mungkin kita berpendapat seperti itu. Kemudian, saya melihat sebagian ulama memastikan syadznya hadits ini, karena menyendirinya Imam Muslim dalam meriwayatkan hadits ini dari Bukhari, serta berseberangannya para perawinya dengan orang-orang yang tsiqat (terpercaya) [10]. Wallahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus 07-08/Tahun IX/1426/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]


Footnote
[1]. Al Qaulul Mufid : 2/213.
[2]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, seperti yang dikutip Ibnu Katsir dalam tafsrinya (1/57). Syaikh Sulaiman berkata dalam Taisirul Aziz (hal 587): ‘Sanadnya jayyid’.
[3]. Opcit.
[4]. Dikeluarkan oleh Abdur Razaq 8/469, Thabari dalam Al Kabir (8902). Al Mundziri berkata dalam At Targhib 3/607 dan Al Haitsami dalam Majma’uz Zawaid 4/177 :” Para perawinya merupakan para perawi (kitab) Shahih.”
[5]. HR. Al Bukhari dalam kitab tafsir bab tentang ayat :” Dan orang-orang yang tidak menyeru kepada ilah lain selain Allah.” 3/271; . Muslim dalam kitab Iman bab Syirik adalak seburuk-buruk dosa. 1/91 dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu.
[6]. Al Qaulul Mufid : 2/217
Syirik besar adalah syirik yang menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Sedangkan syirik kecil adalah syirik yang tidak menyebabkan pelakunya keluar dari Islam, tetapi dia telah terjerumus ke dalam dosa besar.
[7]. HR. Muslim dalam kitab Iman, bab penjelasan shalat yang merupakan salah satu rukun Islam 1/40 dari hadits Thalhah bin ‘Ubaidillah Radhiyallahu ‘anhu.
[8]. HR. Muslim bab shadaqah yang paling utama adalah shadaqah orang yang sehat dan bakhil.
[9]. Sa’d Bin Abi Waqash berkata:”Aku pernah bersumpah sekali dengan menyebut Latta dan Uzza, lalu Nabi n menimpaliku : ‘Katakan Laa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah. Kemudian meludahlah ke kiri 3 kali dan kemudian berlindunglah dan jangan kamu ulangi! ” Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad (1/183,186,187), Ath Thahawy dalam Al Musykil (1/360) dan di dalamnya ada perintah untuk beristighfar sebagai pengganti dari berlindung, . dan Ibnu Hibban. Hadits ini dhaif sebagaimana dijelaskan dalam Irwaul Ghalil (8/193).
[10]. Al Qaulul Mufid (3/ 214- 217)

KETIKA MALAIKAT IKUT BERPERANG

KETIKA MALAIKAT IKUT BERPERANG 

Kaum muslimin terjun ke kancah peperangan dengan kekuatan iman yang sangat besar. Mereka terus menyerang musuh-musuhnya dan memenggal kepala-kepala orang-orang musyrik Quraisy. Dalam keadaan yang demikian, Allah Subhaanahu wa ta’aala memberikan bantuan kepada pasukan muslimin dengan mengutus para malaikat untuk memenangkan pertempuran tersebut. 

Allah Subhaanahu wa ta’aala berfirman yang maknanya : “Sungguh Allah telah menolong kalian dalam perang Badar, padahal kalian (ketika itu) orang-orang yang lemah.” (QS. Ali Imrân 3:123) juga dalam firman-Nya, yang artinya : “(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu, ‘Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.’” (QS al-Anfâl 8:9), juga dalam surat al-Anfâl ayat 12, yang artinya : “(Ingatlah), ketika Rabbmu mewahyukan kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku bersama kalian, Maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman’. Aku akan berikan rasa takut ke dalam hati orang-orang kafir,” … (Qs al-Anfâl/8:12)

Ada juga beberapa hadits shahîh yang menjelaskan tentang bantuan Allah azza wa jalla kepada kaum Muslimin dengan mengirimkan malaikat. Imam Muslim meriwayatkan satu hadits dari Khalifah ar-rasyid Umar bin al-Khothab yang berbunyi:

بَيْنَمَا رَجُلٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ يَوْمَئِذٍ يَشْتَدُّ فِي أَثَرِ رَجُلٍ مِنْ الْمُشْرِكِينَ أَمَامَهُ إِذْ سَمِعَ ضَرْبَةً بِالسَّوْطِ فَوْقَهُ وَصَوْتَ الْفَارِسِ يَقُولُ أَقْدِمْ حَيْزُومُ فَنَظَرَ إِلَى الْمُشْرِكِ أَمَامَهُ فَخَرَّ مُسْتَلْقِيًا فَنَظَرَ إِلَيْهِ فَإِذَا هُوَ قَدْ خُطِمَ أَنْفُهُ وَشُقَّ وَجْهُهُ كَضَرْبَةِ السَّوْطِ فَجَاءَ الْأَنْصَارِيُّ فَحَدَّثَ بِذَلِكَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ صَدَقْتَ ذَلِكَ مِنْ مَدَدِ السَّمَاءِ الثَّالِثَةِ

Ketika seorang muslim ketika itu (perang Badar) sedang mengejar seorang musyrik di depannya, tiba-tiba ia mendengar pukulan cambuk di atasnya dan suara penunggang kuda yang mengatakan: maju wahai Haizuum. Lalu muslim tersebut melihat kepada orang musyrik yang ada di depannya, lalu tersungkur jatuh dengan terlentang. Kemudian sang muslim ini melihatnya, ternyata ia (si musyrik tersebut) telah terpotong hidungnya dan robek-robek wajahnya seperti bekas cambukan. Lalu datang seorang Anshar dan menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau menjawab: itu termasuk bantuan dari langit ketiga. (HR. Muslim)

Sedangkan imam Ahmad dalam al-Musnad 2/194 membawakan satu riwayat yang panjang tentang kisah ini ada keterangan bahwa seorang Anshar yang agak pendek datang membawa al-Abbas bin Abdilmuthalib dalam keadaan tertawan. Al-Abbas berkata: Wahai Rasulullah sesungguhnya demi Allah orang ini tidak menawan saya, yang menawan saya adalah seorang yang sangat ganteng wajahnya menunggangi seekor kuda yang sangat elok tidak pernah ada pada kaummu. Lalu orang Anshar ini berkata: Sayalah yang telah menawannya wahai Rasulullah! Lalu beliau berkata kepadanya: Diam! Sungguh Allah telah menolongmu dengan seorang malaikat yang mulia. (Hadits ini dihasankan al-Albani dalam komentar beliau atas kitab Fikih Siroh hlm 243.)

Keikutsertaan para malaikat dalam perang Badar disampaikan juga dalam riwayat imam al-Bukhori seperti sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

جَاءَ جِبْرِيلُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا تَعُدُّونَ أَهْلَ بَدْرٍ فِيكُمْ قَالَ مِنْ أَفْضَلِ الْمُسْلِمِينَ أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا قَالَ وَكَذَلِكَ مَنْ شَهِدَ بَدْرًا مِنْ الْمَلَائِكَةِ

Jibril datang menemui Rasulullah lalu berkata: Bagaimana kalian menganggap ahli Badr (orang yang ikut perang Badar)? beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Termasuk kaum muslimin terbaik atau ucapan seperti itu. Jibril mengatakan kembali: Demikian pula malaikat yang menyaksikan perang Badar. (HR. al-Bukhori)

Demikianlah Allah berikan bantuan kepada kaum muslimin dalam perang Badar dengan mengirimkan para malaikat membantu kemenangan kaum muslimin.