Memperbanyak Membaca Al Qur'an Di Rumah

Memperbanyak Membaca Al Qur'an Di Rumah 

بسم الله الرحمن الرحيم

Adakah kebutuhan manusia yang melebihi kebutuhan makan dan minum? Jawabnya: ada, yaitu kebutuhan manusia terhadap petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala (baca: al-Qur-an) untuk membaca, memahami dan mengamalkan kandungannya.

Al-Qur-an adalah pedoman hidup untuk kebahagiaan manusia dunia dan akhirat, petunjuk kepada jalan yang lurus, obat bagi penyakit hati manusia, penyubur keimanan dan fungsi-fungsi kebaikan lain yang dibutuhkan oleh manusia untuk kebahagiaan hidup mereka, dan ini jelas lebih dari fungsi makanan dan minuman bagi manusia.

Coba renungkan makna firman-firman Allah ‘Azza wa Jalla berikut ini:

{إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا}

“Sesungguhnya al-Qur-an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (QS al-Israa’).

{وَنُنزلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِين}

“Dan Kami turunkan di dalam al-Qur’an suatu yang menjadi obat (penyakit manusia) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS al-Israa’: 82).

{الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ}

“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan (membaca) petunjuk Allah (al-Qur-an). Ingatlah, hanya dengan (membaca) petunjuk Allah (al-Qur-an) hati menjadi tenteram” (QS ar-Ra’du:28).

Artinya: dengan membaca dan merenungkan al-Qur-an  segala kegalauan dan kegundahan dalam hati mereka akan hilang dan berganti dengan kegembiraan dan kesenangan[1].

Bahkan tidak ada sesuatupun yang lebih besar mendatangkan ketentraman dan kebahagiaan bagi hati manusia melebihi bacaan al-Qur-an[2].

Dalam ayat lain, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

{قَالَ اهْبِطَا مِنْهَا جَمِيعًا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلا يَضِلُّ وَلا يَشْقَى}

“Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku (wahai manusia), lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka” (QS Thaahaa: 123).

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu berkata: “Allah ‘Azza wa Jalla memberikan jaminan bagi orang yang membaca al-Qur-an dan mengamalkan kandungannya bahwa dia tidak akan tersesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat (kelak)”[3].

Oleh karena itu, ketika menggambarkan besarnya kebutuhan manusia terhadap petunjuk Allah ‘Azza wa Jalla dalam al-Qur-an, yang ini melebihi kebutuhan mereka terhadap makan dan minum, Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Manusia butuh kepada ilmu (petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Qur-an) lebih dari kebutuhan mereka kepada makan dan minum, karena makan dan minum dibutuhkan (oleh manusia) dalam sehari sekali atau dua kali, sedangkan ilmu (petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Qur-an) dibutuhkan sesuai dengan hitungan (tarikan) nafas (dibutuhkan setiap saat)”[4].

Manfaat tilawah al-Qur-an bagi rumah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perumpamaan rumah yang disebut nama Allah[5] di dalamnya dan rumah yang tidak disebut nama Allah di dalamnya adalah seperti perumpaan orang yang hidup dan orang yang mati”.

Imam an-Nawawi berkata: “Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk (banyak) berzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla (termasuk membaca al-Qur-an dan zikir-zikir lainnya) di rumah dan hendaknya rumah jangan dikosongkan dari berzikir (kepada-Nya)”[6].

Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa rumah yang selalu disemarakkan dengan bacaan al-Qur-an dan zikir akan selalu hidup dan bercahaya, serta menjadi motivasi bagi para penghuninya untuk giat melakukan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala[7].

Oleh karena itu, Allah ‘Azza wa Jalla menjelaskan fungsi diturunkannya al-Qur-an kepada manusia, yaitu sebagai pemberi kehidupan bagi hati manusia dan sumber cahaya yang menerangi hidupnya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

{وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلا الإيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا}

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh (al-Qur’an) dari perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Alkitab (al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Qur’an itu sebagai cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami” (QS asy-Syuura: 52).

Ketika menafsirkan ayat ini, Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Ini adalah (fungsi) al-Qur-an yang mulia, Allah menyebutnya sebagai ruh karena ruh yang menjadikan tubuh manusia hidup. (Demikian) pula al-Qur-an yang menjadikan hati dan jiwa manusia hidup, sehingga hiduplah (terwujudlah) dengan al-Qur-an semua kebaikan (dalam urusan) dunia dan agama, karena di dalamnya banyak kebaikan dan ilmu yang luas”[8].

Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

{أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا}

“Dan apakah orang yang tadinya mati (kafir) kemudian dia Kami hidupkan (dengan petunjuk Kami) dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan ditengah-tengah manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita dan sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya” (QS al-An’aam: 122).

Imam Ibnul Qayyim berklata: “(Dalam ayat ini) Allah menjelaskan bahwa kitab-Nya (al-Qur-an) yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam mengandung dua perkara (manfaat), yaitu (sebagai) ruh untuk menghidupkan hati manusia dan (sebagai) cahaya untuk menyinari dan menerangi (hidupnya)”[9].

Mengusir setan dari rumah

Di antara manfaat besar bacaan al-Qur-an di rumah adalah untuk mengusir setan, musuh utama yang selalu mengajak manusia berbuat buruk.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

{إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ}

“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala” (QS Faathir: 6).

Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kamu menjadikan rumahmu (seperti) kuburan (dengan tidak pernah mengerjakan shalat dan membaca al-Qur’an di dalamnya), sesungguhnya setan akan lari dari rumah yang dibaca di dalamnya surat al-Baqarah”[10].

Dalam lafazh riwayat at-Tirmidzi: “…Sesungguhnya setan tidak akan masuk ke rumah yang dibaca di dalamnya surat al-Baqarah”[11].

Manfaat ini tentu sangat besar, karena bagaimana mungkin akan terwujud kebaikan dan kebahagiaan dalam rumah yang dipenuhi setan, sebagai akibat tidak disemarakkan bacaan al-Qur-an di dalamnya, padahal sifat setan sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala gambarkan dalam firman-Nya:

{إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ}

“Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui” (QS al-Baqarah: 169).

Imam al-Munawi menjelaskan bahwa termasuk makna hadits di atas adalah bahwa setan berputus asa dari upaya untuk menyesatkan para penghuni rumah yang dibaca di dalamnya surat al-Baqarah, karena dia melihat kesungguhan dan semangat mereka dalam melakukan ibadah dan ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla[12].

Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan petunjuk kebaikan kepada umatnya yang berkenaan dengan rumah, selain membaca surat al-Baqarah, untuk mengusir setan darinya, karena keburukan yang timbul dari godaannya. Misalnya zikir ketika masuk rumah, Dari Jabir bin abdillah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika seseorang masuk ke dalam rumahnya dan menyebut (nama) Allah ketika masuk dan ketika makan (maka pada waktu itu) setan berkata (kapada teman-temannya): “Tidak ada tempat menginap dan makanan bagi kalian”. Tapi jika dia masuk (rumahnya) dan tidak menyebut (nama) Allah ketika masuk, maka setan berkata: “Kalian mendapat tempat menginap”. Dan jika dia tidak menyebut (nama) Allah ketika makan maka setan berkata: “Kalian mendapat tempat menginap dan makanan”[13].

Pemimpin keluarga memotivasi anggota keluarganya untuk gemar dan tekun membaca al-Qur-an

Seorang pemimpin keluarga berkewajiban untuk mengajak anggota keluarganya mengerjakan kebaikan dan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, terutama ketika mereka berada di rumah, termasuk yang paling utama di antaranya adalah memotivasi mereka untuk gemar dan tekun membaca al-Qur-an di rumah.

Allah ‘Azza wa Jalla mengingatkan kewajiban ini dalam firman-Nya:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ}

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS at-Tahriim:6).

Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu ketika menafsirkan ayat di atas, beliau berkata: “(Maknanya): Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan keluargamu”[14].

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata: “Memelihara diri (dari api neraka) adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bertobat dari semua perbuatan yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun memelihara istri dan anak-anak (dari api neraka) adalah dengan mendidik dan mengajarkan kepada mereka (syariat Islam), serta memaksa mereka untuk (melaksanakan) perintah Allah. Maka seorang hamba tidak akan selamat (dari siksaan neraka) kecuali jika dia (benar-benar) melaksanakan perintah Allah (dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan pada orang-orang yang dibawa kekuasaan dan tanggung jawabnya”[15].

Dalam sebuah hadits shahih, ketika shahabat yang mulia, Malik bin al-Huwairits radhiallahu ‘anhu dan kaumnya mengunjungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama dua puluh hari untuk mempelajari al-Qur-an dan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka: “Pulanglah kepada keluargamu, tinggallah bersama mereka dan ajarkanlah (petunjuk Allah/al-Qur-an) kepada mereka”[16].

Sebagian di antara para ulama salaf ada yang mempraktekkan ini dengan mentalqinkan al-Qur-an (mendikte dan menuntun orang lain dengan membacakan al-Qur-an secara langsung lalu orang itu mengikutinya) kepada anaknya dari ayat pertama sampai terakhir, sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hambal. Putra beliau yang bernama ‘Abdullah berkata: “Bapakku (Imam Ahmad) telah mentalqinkan al-Qur-an seluruhnya kepadaku dengan keinginan beliau sendiri”[17].

Beberapa cara praktis untuk mengajak anggota kelurga agar semangat membaca dan menghafal ayat-ayat al-Qur-an

1- Menjelaskan keutamaan membaca dan menghafal ayat-ayat al-Qur-an yang disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih, karena sebaik-baik nasehat untuk memotivasi adalah nasehat dari al-Qur-an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Misalnya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Orang yang paling baik (di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala) di antara kamu adalah orang yang mempelajari dan mengajarkan al-Qur-an”[18].

Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “(Pada hari kiamat nanti) dikatakan kepada orang yang tekun membaca al-Qur-an (sewaktu di dunia): Bacalah (al-Qur-an), naiklah (ke tingkatan surga yang lebih tinggi), dan bacalah dengan perlahan-lahan sebagaimana (dulu) kamu membacanya di dunia, karena sesungguhnya kedudukan/tempatmu (di surga nanti) sesuai dengan ayat terakhir yang engkau baca (sewaktu di dunia)”[19].

Juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Orang yang ahli (membaca)al-Qur-an adalah orang yang terdekat dan istimewa (di sisi) Allah”[20].

2- Mentalqin/menuntun mereka secara langsung dengan membacakan ayat-ayat al-Qur-an kepada mereka kemudian mereka mengikutinya, sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Ahmad. Cara ini sangat mudah dan disukai terutama oleh anak-anak.

3- Memotivasi dengan memberi hadiah bagi anggota keluarga yang rajin membaca atau menghafal ayat-ayat al-Qur-an. Ini diperbolehkan[21] dan dilakukan oleh sebagian dari ulama salaf terhadap anak-anak mereka.

Imam al-Khathiib al-Bagdaadi menukil ucapan salah seorang ulama salaf dari generasi Atbaa’ut taabi’iin, Ibrahim bin Adham, beliau berkata: “Bapakku berkata kepadaku: “Wahai anakku, tuntutlah (ilmu) hadits, setiap kali kamu mendengar sebuah hadits dan menghafalnya maka untukmu (uang) satu dirham”. Maka akupun menuntut (ilmu) hadits karena motivasi tersebut”[22].

4- Mengadakan perlombaan di antara anggota keluarga untuk membaca/menghafal surat-surat tertentu dalam al-Qur-an dan memberi hadiah kepada anggota keluarga yang bacaan dan hafalannya benar[23].

Penutup

Termasuk sebab penting yang harus dilakukan pemimpin keluarga untuk menyemarakkan bacaan al-Qur-an di rumah, setelah banyak berdoa memohon taufik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, adalah menjauhkan rumah dari perbuatan-perbuatan maksiat dan mungkar yang akan menjadikan Malaikat rahmat menjauh dari rumah, sehingga Setanlah yang akan  meramaikannya.

Misalnya nyanyian dan alat musik yang keduanya diharamkan dalam Islam[24], bahkan dalam hadits yang shahih[25] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan penamaan nyanyian dan alat musik sebagai “seruling setan”[26].

Demikian pula gambar atau patung makhluk yang bernyawa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Malaikat (rahmat) tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada gambar (makhluk hidup)”[27].

Juga perbuatan tidak menyebut nama Allah ‘Azza wa Jalla ketika masuk rumah dan makan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika seseorang masuk ke dalam rumahnya dan menyebut (nama) Allah ketika masuk dan ketika makan, (maka pada waktu itu) setan berkata (kapada teman-temannya): “Tidak ada tempat menginap dan makanan bagi kalian”. Tapi jika dia masuk (rumahnya) dan tidak menyebut (nama) Allah ketika masuk, maka setan berkata: “Kalian mendapat tempat menginap”. Dan jika dia tidak menyebut (nama) Allah ketika makan maka setan berkata: “Kalian mendapat tempat menginap dan makanan”[28].

Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat untuk kebaikan bagi keluarga muslim di dunia dan akhirat.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Ditulis oleh: Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

[1] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 417).
[2] Ibid.
[3] Dinukil oleh Imam al-Qurthubi dalam tafsir beliau (11/228).
[4] Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/61).
[5] Yaitu membaca al-Qur-an dan zikir-zikir yang dicontohkan oleh Rasulullah r.
[6] Kitab “Syarhu shahiihi Muslim” (6/68).
[7] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (5/506).
[8] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 762).
[9] Kitab “Igaatsatul lahfaan” (1/21).
[10] HSR Muslim (no. 780).
[11] HR at-Tirmidzi (5/157), dinyatakan shahih oleh Imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani.
[12] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/46).
[13] HSR Muslim (no. 2018).
[14] Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam “al-Mustadrak” (2/535), dishahihkan oleh Imam al-Hakim sendiri dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi.
[15] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 640).
[16] HSR al-Bukhari (no. 602).
[17] Dinukil oleh Imam Ibnul Jauzi dalam kitab “Mana-qibul imaami Ahmad” (hal. 496).
[18] HSR al-Bukhari (no. 4739).
[19] HR Abu Dawud (no. 1464), at-Tirmidzi (5/177) dan Ibnu Hibban (no. 766), dinyatakan shahih oleh Imam at-Tirmidzi, Imam Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albani.
[20] HR Ahmad (3/127) dan Ibnu Majah (no. 215), dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.
[21] LIhat kitab “Nida-un ilal murabbiyyiina wal murabbiyyaat” (hal. 67).
[22] Kitab “Syarafu ashhaabil hadiits” (hal. 66).
[23] LIhat kitab “Nida-un ilal murabbiyyiina wal murabbiyyaat” (hal. 67).
[24] Sebagaimana dalam HSR al-Bukhari (no. 5268).
[25] HSR al-Bukhari (no. 3716) dan Muslim (no. 892).
[26] Lihat keterangan imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Igaatsatul lahfaan” (1/256-257).
[27] HSR al-Bukhari (no. 5613) dan Muslim (no. 2106).
[28] HSR Muslim (no. 2018).

Bertambah Dan Berkurangnya Iman

Bertambah Dan Berkurangnya Iman 

Bismillah.

Salah satu perkara penting dan paling utama diperhatikan oleh seorang muslim adalah keadaan imannya; apakah imannya sedang bertambah atau berkurang. Dan hal ini juga mengisyaratkan kepada kita bahwa melalaikan keadaan iman merupakan jalan menuju kehancuran.

Salah seorang ulama terdahulu mengatakan, “Salah satu tanda Allah telah berpaling dari seorang hamba adalah ketika Allah menjadikan dia tersibukkan dengan sesuatu yang tidak penting baginya.” Pada masa-masa seperti sekarang ini, ketika manusia telah disibukkan oleh media sosial dan dampak perkembangan teknologi, maka boleh jadi persoalan kondisi iman termasuk perkara yang paling sering dilupakan dan dilalaikan oleh kebanyakan orang. 

Kita bukan hanya berbicara mengenai keadaan kaum muslimin secara umum, bahkan tercakup di dalamnya keadaan orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada ilmu dan dakwah. Ketika berita dan kabar dengan mudah disebar dan tersiar, maka orang yang tidak memiliki rambu-rambu dan prioritas dalam menjalani kehidupan hanya akan larut dan terseret oleh selera murahan dan obrolan kejadian dunia yang bisa jadi tidak berkenaan dengan urusan dan tugas hidup seorang hamba.

Padahal, kita insya Allah selalu ingat betapa agungnya kandungan firman Allah,

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ 

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat : 56). 

Begitu pula firman Allah,

ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَيَوٰةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلٗاۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡغَفُورُ 

“[Allah] Yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (QS. Al-Mulk : 2). 

Kedua ayat ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa prioritas hidup seorang hamba adalah untuk mewujudkan tauhid dan memperbaiki amalan.

Dan sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama, bahwa mewujudkan tauhid (tahqiq tauhid) tidak bisa terlaksana kecuali dengan tiga bekal, yaitu bekal ilmu, keyakinan, dan ketundukan. Tanpa ilmu, manusia akan berjalan dalam kebingungan. Tanpa keyakinan, orang akan larut dalam keraguan dan kebimbangan. Dan tanpa ketundukan, manusia akan melemparkan petunjuk dan peringatan dari Allah di balik punggung-punggung mereka alias tidak memperhatikannya.

Sebagaimana telah diingatkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam sebuah bait sya’irnya:

Manusia lari dari penghambaan 

yang menjadi tujuan mereka diciptakan   

maka mereka pun terjebak dalam penghambaan

kepada hawa nafsu dan setan

Memperbaiki amal juga tidak bisa kita lakukan apabila kita tidak memahami syarat-syarat diterimanya amal. Dan para ulama pun telah menjelaskan bahwa amal hanya akan diterima oleh Allah apabila dikerjakan dengan ikhlas karena-Nya dan sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,

قُلۡ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٞ مِّثۡلُكُمۡ يُوحَىٰٓ إِلَيَّ أَنَّمَآ إِلَٰهُكُمۡ إِلَٰهٞ وَٰحِدٞۖ فَمَن كَانَ يَرۡجُواْ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلۡيَعۡمَلۡ عَمَلٗا صَٰلِحٗا وَلَا يُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدَۢا 

“Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (QS. Al-Kahfi : 110)

Dan salah satu syarat mutlak agar amal bisa diterima adalah bersihnya pelaku amal itu dari syirik dan kekafiran. Karena syirik besar menjadi sebab hancurnya amal kebaikan. Hal ini telah ditegaskan oleh Allah dalam ayat,

وَلَقَدۡ أُوحِيَ إِلَيۡكَ وَإِلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكَ لَئِنۡ أَشۡرَكۡتَ لَيَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ 

“Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu; Jika kamu berbuat syirik pasti akan lenyap amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar : 65)

Merupakan perkara yang kerap kali dilupakan oleh manusia bahwa perbuatan dan tingkah laku yang biasa dilakukan memiliki dampak yang sangat besar terhadap keadaan iman. Bukankah para ulama telah menjelaskan bahwa iman bisa bertambah dengan ketaatan dan menjadi berkurang akibat kemaksiatan? Hal ini mengandung catatan sekaligus peringatan bagi kita bahwa membiasakan diri untuk melakukan amal salih dan ketaatan akan menjaga iman dari kerapuhan dan kelemahan. Sebaliknya, membiarkan diri hanyut dalam kelalaian dan tenggelam dalam perbudakan hawa nafsu hanya akan membuahkan kehancuran dan kesengsaraan. Oleh sebab itu, tidak mungkin kebahagiaan dan keselamatan diraih dengan memuja hawa nafsu dan menghamba kepada setan.

Allah Ta’ala berfirman,

مَنۡ عَمِلَ صَٰلِحٗا مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤۡمِنٞ فَلَنُحۡيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةٗ طَيِّبَةٗۖ وَلَنَجۡزِيَنَّهُمۡ أَجۡرَهُم بِأَحۡسَنِ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ٩٧

“Barangsiapa yang melakukan amal salih dari kalangan lelaki atau perempuan dalam keadaan dia beriman, benar-benar Kami akan berikan kepadanya suatu kehidupan yang baik dan Kami akan berikan untuknya balasan dengan pahala yang lebih baik daripada apa-apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl : 97) 

Sebagaimana Allah Ta’ala juga berfirman,

قَالَ ٱهۡبِطَا مِنۡهَا جَمِيعَۢاۖ بَعۡضُكُمۡ لِبَعۡضٍ عَدُوّٞۖ فَإِمَّا يَأۡتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدٗى فَمَنِ ٱتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشۡقَىٰ 

“Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (QS. Thaha : 123)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan tentang makna ayat ini: Allah telah memberikan jaminan kepada orang yang membaca al-Qur’an dan mengamalkan ajarannya bahwa dia tidak akan tersesat di dunia dan tidak akan celaka nanti di akhirat. 

Sungguh, ini merupakan fikih/pemahaman yang sangat agung dari seorang ulama ahli tafsir diantara para sahabat, yaitu Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma… 

Oleh sebab itu, para ulama pun telah menerangkan bahwa di antara jalan untuk menambah keimanan adalah dengan membaca dan merenungkan ayat-ayat al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتۡ قُلُوبُهُمۡ وَإِذَا تُلِيَتۡ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتۡهُمۡ إِيمَٰنٗا وَعَلَىٰ رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُونَ 

“Sesungguhnya, orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah, hati mereka menjadi takut. Apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, maka bertambahlah imannya. Dan kepada Rabbnya mereka itu bertawakal.” (QS. Al-Anfal : 2)

Dari sinilah, sudah selayaknya kita kembali mencermati hari-hari yang kita lalui. Waktu demi waktu yang kita jalani. Karena waktu itu tidak akan kembali. Sebagaimana yang dikatakan oleh Hasan al-Bashri rahimahullah“Wahai anak Adam. Sesungguhnya kamu ini adalah kumpulan perjalanan hari demi hari. Setiap hari berlalu maka lenyap pula sebagian dari dirimu.”

Ya, mari kita periksa kembali kehidupan kita bersama al-Qur’an dan iman. Apakah selama ini al-Qur’an dan iman menghiasi hari demi hari yang kita lalui? Ataukah selama ini hari demi hari tak satu pun ayat Allah yang kita renungi? Ataukah selama ini iman kita luntur dan remuk tanpa kita sadari? Di manakah kesadaran kita tentang arti kehidupan ini? Kehidupan dunia yang telah membuat banyak orang lupa dan lalai dari maksud dan hikmah dirinya diciptakan …

Jangan sampai kehidupan dunia menipu kita, dan jangan sampai sang penipu yaitu setan pun memperdaya kita. Allah Ta’ala berfirman,

وَٱلۡعَصۡرِ   إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ   إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ 

“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (QS. Al-’Ashr : 1-3)

Tanpa iman, manusia akan terjebak dalam kebinasaan. Tanpa amal salih, manusia akan hanyut dalam kesengsaraan. Dan tanpa keikhlasan, maka semua amal kebaikan hanya akan terbang sia-sia bagaikan debu-debu yang berterbangan. Allah Ta’ala berfirman,

وَقَدِمۡنَآ إِلَىٰ مَا عَمِلُواْ مِنۡ عَمَلٖ فَجَعَلۡنَٰهُ هَبَآءٗ مَّنثُورًا 

“Dan Kami hadapi semua amal yang dahulu mereka lakukan lantas Kami pun menjadikannya bagai debu-debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan : 23)  

Apakah anda akan menjadi prajurit pengekor Abu Jahal dan Abu Lahab? Ataukah anda akan menjadi penerus sandiwara ala Abdullah bin Ubay bin Salul? Ataukah anda ingin menjadi seorang pemberani dan pejuang penerus keteladanan Abu Bakar dan Umar radhiyallahu’anhuma?

Hanya kepada Allah semata kita berlindung dari segala keburukan. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin. 

Manfaat Bersyukur Kembali Kepada Yang Bersyukur

Manfaat Bersyukur Kembali Kepada Yang Bersyukur 

Apa manfaat bersyukur?

Dalam ayat ke-12 dari surah Luqman disebutkan,

‎وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ

“Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri.”

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang bersyukur, maka manfaat dan pahalanya akan kembali kepada dirinya sendiri. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

‎وَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِأَنْفُسِهِمْ يَمْهَدُونَ

Dan barangsiapa yang beramal saleh maka untuk diri mereka sendirilah mereka menyiapkan (tempat yang menyenangkan).” (QS. Ar-Ruum: 44). (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6:114).

Sebaliknya barangsiapa yang mengingkari nikmat atau enggan bersyukur,

‎وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (QS. Luqman: 12).

Allah itu Maha Kaya (Al-Ghaniy), tidak butuh pada hamba. Jika hamba tidak bersyukur, itu pun tidak membuat Allah tersakiti. Jika seluruh penduduk di muka bumi kufur, Allah tidak bergantung pada yang lainnya. Laa ilaha illallah, tidak ada yang berhak disembah selain Allah (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6:114). Yahya bin Salam berkata, “Allah itu Maha Kaya (Al-Ghaniy), tidak butuh pada selain Dia. Allah pun Maha Terpuji (Al-Hamid) dalam segala perbuatan-Nya.” (Fath Al-Qadir, 4:312).

Dalam hadits qudsi ditunjukkan bahwa Allah tidak butuh pada rasa syukur seorang hamba dan jika mereka tidak bersyukur, itu pun tidaklah mengurangi kekuasaan Allah. Hadits qudsi tersebut menyebutkan,

‎يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِى مُلْكِى شَيْئًا يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِى شَيْئًا

Wahai hamba-Ku, kalau orang-orang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin, mereka itu bertakwa seperti orang yang paling bertakwa di antara kalian, tidak akan menambah kekuasaan-Ku sedikit pun. Jika orang-orang yang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin, mereka itu berhati jahat seperti orang yang paling jahat di antara kalian, tidak akan mengurangi kekuasaan-Ku sedikit pun juga.” (HR. Muslim, no. 2577).

Ayat dari surah Luqman di atas mengajarkan kepada kita untuk bersyukur atas berbagai macam nikmat, lebih-lebih lagi dengan nikmat yang begitu besar yang Allah anugerahkan. Kepahaman terhadap agama adalah suatu nikmat yang besar dan begitu berharga. Kepahaman terhadap agama Islam pun termasuk hikmah. Jika kita diberikan anugerah ilmu oleh Allah, rajin-rajinlah untuk selalu bersyukur kepada-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

‎وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’.” (QS. Ibrahim: 7).

Mengenai surah Ibrahim ayat ketujuh, Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Siapa yang bersyukur atas nikmat Allah, Allah akan menjadikannya semakin taat.” Ar-Rabi’ berkata, “Siapa yang bersyukur atas nikmat Allah, maka Allah akan menambahkan karunia.” Muqatil berkata, “Siapa yang bersyukur atas nikmat Allah, maka Allah akan menambahkan baginya kebaikan di dunia.” (Lihat Zaad Al-Masiir, 4:347).

Begitu pula terhadap nikmat yang terlihat kecil dan sepele, syukurilah. Jika nikmat kecil saja tidak bisa disyukuri, bagaimana lagi dengan nikmat yang besar. Dalam hadits disebutkan,

‎مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ

Barang siapa yang tidak mensyukuri sesuatu yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad, 4:278. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 667, 2:272)

Kesimpulannya, bersyukur memiliki manfaat kembali kepada diri orang yang bersyukur dan akan membuat nikmatnya akan terus ditambah oleh Allah. Syukur tentu saja dengan taat kepada Allah.

Semoga kita menjadi hamba yang bersyukur.

Referensi:

  • Fath Al-Qadir Al-Jam’u bayna Fanni Ar-Riwayah wa Ad-Dirayah min ‘Ilmi At-Tafsir. Cetakan kedua, Tahun 1426 H. Muhammad bin ‘Ali Asy-Syaukani. Tahqiq: Dr. ‘Abdurrahman ‘Umairah. Penerbit Darul Wafa’.
  • Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah. Cetakan Tahun 1415 H. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Alhani. Penerbit Maktabah Al-Ma’arif.
  • Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Tahqiq: Prof. Dr. Hikmat bin Basyir bin Yasin. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
  • Zaad Al-Masiir. Cetakan keempat, Tahun 1407 H. Ibnul Jauzi (Abul Farah Jamaluddin ‘Abdurrahman bin ‘Ali bin Muhammad Al-Jauzi Al-Qurasyi Al-Baghdadiy. Penerbit Al-Maktab Al-Islami.