Istighfar Dan Taubat Kunci Pembuka Rezeki

Istighfar Dan Taubat Kunci Pembuka Rezeki 

Istigfar dan tobat adalah di antara amalan penting yang bisa menjadi kunci pembuka rezeki bagi hamba. Keterangan mengenai hal ini banyak ditunjukkan oleh dalil-dalil dari Al-Qur’an maupun hadis. Tentu saja ini berlaku bagi mereka yang bersungguh-sungguh dan benar dalam mengamalkannya.

Hakikat istigfar dan tobat

Banyak orang menyangka bahwa istigfar dan tobat hanya sekadar di lisan saja. Ketika ada seseorang yang mengucapkan kalimat “astaghfirullah wa atuubu ilaihi“ hanya di lisan saja, maka tidak ada dampak kalimat tersebut di hati dan tidak pula ada dampak pada amal perbuatannya. Hal yang demikian ini adalah perbuatan orang yang dusta dan tidak jujur dalam istigfar dan tobatnya.

Para ulama telah menjelaskan hakikat istigfar dan tobat. Ar-Rhagib Al-Asfahani rahimahullah berkata, “Tobat secara syariat adalah meninggalkan maksiat karena jeleknya perbuatan tersebut, menyesal telah melakukannya, bertekad kuat untuk tidak mengulanginya, dan berupaya memperbaiki amalan yang ditinggalkan jika memungkinkan. Jika terkumpul empat hal ini, maka syarat tobatnya telah sempura.“

An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Tobat wajib dilakukan untuk setiap dosa. Jika maksiat yang dilakukan adalah antara hamba dengan Allah dan tidak terkait dengan hak manusia yang lain, maka ada tiga syarat yang harus terpenuhi:

Pertama: Meninggalkan maksiat tersebut.

Kedua: Menyesal atas perbuatannya.

Ketiga: Bertekad kuat untuk tidak mengulanginya.

Jika tidak ada salah satu saja dari tiga syarat di atas, maka tobatnya tidak sah. Adapun jika maksiatnya berkaitan dengan hak orang lain, maka ada tambahan syarat keempat selain tiga syarat di atas. Yaitu, dia harus menunaikan hak saudaranya yang terzalimi tersebut. Jika berupa harta atau yang semisal, maka harus mengembalikannya. Jika  berupaya merendahkan orang lain, maka dengan menyebut kebaikannya dan meminta maaf kepadanya. Jika berupa perbuatan ghibah, maka harus meminta halal darinya.“

Sedangkan mengenai istigfar, Ar-Rhagib Al-Asfahani rahimahullah berkata, “Perbuatan istigfar dilakukan dengan perkataan dan perbuatan. Allah Ta’ala berfirman,

اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّاراً

Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun.“ (QS. Nuh: 10)

Mereka tidak diperintahkan untuk meminta ampunan dengan lisan saja, namun dengan lisan dan sekaligus dengan perbuatan. Dikatakan bahwa istigfar yang dilakukan hanya dengan lisan tanpa amalan perbuatan adalah perbuatan dusta dan tidak jujur.

Dalil-dalil Al-Qur’an bahwa istigfar dan tobat adalah kunci-kunci rezeki

Terdapat banyak dalil dari Al-Qur’an maupun hadis yang menunjukkan bahwa istigfar dan tobat merupakan sebab-sebab turunnya rezeki. Di antara dalil Al-Qur’an adalah perkataan Nabi Nuh ‘alaihis salam kepada kaumnya,

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّاراً يُرْسِلِ السَّمَاء عَلَيْكُم مِّدْرَاراً وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَاراً

Maka, aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu! Sesungguhnya Dia adalah Mahapengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.“ (QS. Nuh: 10-12)

Dalam ayat di atas, terdapat penjelasan terwujudnya hal-hal berikut dengan sebab istigfar:

Pertama: Ampunan Allah terhadap dosa-dosa.

Kedua: Turunnya hujan yang bergantian terus menerus.

Ketiga: Allah akan memperbanyak harta dan anak-anak.

Keempat: Allah akan menjadikan kebun-kebun.

Kelima: Allah akan menjadikan sungai-sungai yang mengalir.

Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Dalam ayat ini dan juga dalam ayat di surah Hud menunjukkan bahwa istigfar akan menyebakan turunnya rezeki dan hujan.“

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan dalam kitab tafsirnya, “Jika kalian bertobat kepada Allah dan beristigfar kepada-Nya, niscaya Allah akan menganugerahkan banyak rezeki kepada kalian dan menurunkan hujan dari keberkahan langit dan menumbuhkan dari keberkahan bumi, menumbuhkan pertanian, menambah harta dan anak-anak, menjadikan kebun dengan aneka buahnya, dan mengalirkan sungai-sungai di antaranya.“

Al-Qurtubi rahimahullah menyebutkan bahwa ada yang mengadu kepada Imam Hasan Al-Bashri karena belum punya anak. Maka beliau berkata, “Istigfarlah kepada Allah!“ Ada pula yang mengadu kepada beliau perihal kemisiknan yang dialaminya. Maka beliau pun juga berkata, “Istigfarlah kepada Allah!“ Ada pula yang menghadap kepada beliau dan minta didoakan agar banyak anak. Maka, beliau pun berkata, “Istigfarlah kepada Allah! Ada pula yang meminta kepada beliau agar kebunnya bisa menjadi subur. Maka beliau pun berkata, “Istigfarlah kepada Allah!

Mendengar hal ini Rabi’ bin Shabih berkata, “Telah datang kepadamu orang yang mengadu dengan berbagai permasalahan yang berbeda, engkau memerintahkan mereka semua untuk beristigfar.” Hasan Al-Bashri menjawab, “Ini bukan sekedar jawaban dariku. Sesungguhnya Allah Ta’ala telah berfirman dalam surah Nuh,

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّاراً يُرْسِلِ السَّمَاء عَلَيْكُم مِّدْرَاراً وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَاراً

Maka, aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu! Sesungguhnya Dia adalah Mahapengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, memperbanyak harta dan anak-anakmu, mengadakan untukmu kebun-kebun, dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.“ (QS. Nuh: 10-12)

Allahu akbar! Betapa agung dan betapa banyak  buah manis dari istigfar! Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang beristigfar dan menganugerahkan kepada kita buah manis darinya baik di dunia maupun di akhirat.

Dalil lain dari Al-Qur’an adalah tentang kisah ajakan Nabi Hud ‘alaihis salam kepada kaumnya untuk beristigfar yang disebutkan dalam firman Allah,

وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُواْ رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُواْ إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاء عَلَيْكُم مِّدْرَاراً وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلَى قُوَّتِكُمْ وَلاَ تَتَوَلَّوْاْ مُجْرِمِينَ

“Dan (dia berkata), “Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa.” (QS. Hud: 52)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata mengenai tafsir ayat ini, “Kemudian Allah memerintahkan Nabi Hud ‘alaihis salam kepada kaumnya untuk istighar yang dengannya bisa menghapus dosa-dosa terdahulu. Barangsiapa yang melakukannya, maka Allah akan mempermudah rezekinya dan mempermudah urusannya serta akan menjaganya.“

Dalam ayat yang lain Allah berfirman pula,

وَأَنِ اسْتَغْفِرُواْ رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُواْ إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُم مَّتَاعاً حَسَناً إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ وَإِن تَوَلَّوْاْ فَإِنِّيَ أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ كَبِيرٍ

“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat.” (QS. Hud: 3)

Dalam ayat yang mulia ini, terdapat janji dari Allah berupa kenikmatan yang baik bagi orang yang beristigfar dan bertaubat. Yang dimaksud dengan firman Allah (يُمَتِّعْكُم مَّتَاعاً حَسَناً) adalah Allah akan memberikan keutamaan kepada kalian berupa rezeki dan kelapangan sebagaimana ini merupakan penjelasan ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyalllahu ‘anhu.

Dalil dari hadis mengenai keutamaan istigfar

Adapun dalil dari hadis yang menunjukkan bahwa istigfar dan tobat merupakan kunci rezeki adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

“مَنْ أَكْثَرَ مِنْ الِاسْتِغْفَارِ؛ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا، وَمِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا، وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ”

“Barangsiapa memperbanyak istigfar, niscaya Allah akan memberikan jalan keluar bagi setiap kesedihannya, kelapangan untuk setiap kesempitannya, dan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, sahih)

Dalam hadis yang mulia ini, Nabi mengabarkan ada tiga buah manis bagi orang yang banyak beristigfar. Salah satunya adalah rezeki dari Allah Ar-Razzaq yang datang dari arah yang tidak disangka-sangka. Maka, orang yang mengharapkan rezeki, hendaknya dia memperbanyak istigfar dengan perkataan dan perbuatannya. Namun, sayangnya kebanyakan istigfar hanyalah di lisan tanpa diiringi dengan amalan. Semoga Allah menjadikan kita hamba yang dimudahkan untuk senantiasa memperbanyak tobat dan istigfar.

***

Referensi:

Miftaahu Ar-Rizqi fii Dhaui Al-Kitab wa As-Sunnah karya Dr. Fadhl Ilahi.

Keberanian Meminta Maaf

Keberanian Meminta Maaf

شجاعة الاعتذار

إن الاعتذار عما بدر منا من خطأ ليس ضعفا كما يظنه بعض الناس، بل هو في الحقيقة قوة وشجاعة وثقة، ونقاء وصفاء نفس، كما أن الاعتذار يُزيل الأحقاد، ويقضي على الحسد، ويدفع عن صاحبه سوء الظن به والارتياب في تصرفاته، فشجاعة الاعتذار لا يتقنها إلَّا الكِبار، ولا يحافظ عليها إلا الأخيار، ولا يغذِّيها وينمِّيها إلَّا الأبرار، لأنها صِفة نابعة من قَلبٍ أبيض، لا يَحمل غشًّا، ولا يضمر شرًّا، فمَن عرَف خطأَه واعتذر عنه، فهو كبير في نَظر الكثير، والرُّجوعُ إلى الحقِّ فضيلة؛ وما أجمَلَ أن تكون مسارعًا إلى الخير، رجَّاعًا إلى الحق.

وإذا كان الخطأ من طبع ابن آدم فإن ما يمحو أثر الخطأ هو الاعتذار، فقد قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “كلُّ بني آدمَ خطَّاءٌ، وخيرُ الخطَّائينَ التَّوَّابونَ”.

وقد قيل: ماء الاعتراف يمحو دنس الاقتراف.

Meminta maaf atas kesalahan yang telah kita lakukan bukanlah suatu kelemahan, sebagaimana yang dianggap oleh sebagian orang. Justru pada hakikatnya itu adalah suatu bentuk kekuatan, keberanian, kepercayaan diri, dan kejernihan jiwa. Meminta maaf juga dapat menghilangkan rasa dendam, membersihkan rasa dengki, dan menghilangkan dari pelakunya prasangka buruk dan kecurigaan dalam tindak tanduknya. 

Keberanian meminta maaf tidak akan dilakukan dengan mudah kecuali oleh orang-orang besar, tidak akan dilakukan selalu kecuali oleh orang-orang terbaik, dan tidak akan ditingkatkan kecuali oleh orang-orang baik. Sebab ini adalah sifat yang timbul dari hati yang suci, tidak menyimpan tipu daya dan tidak menyembunyikan niat buruk. Barang siapa yang mengetahui kesalahannya, lalu dia meminta maaf atas kesalahan itu, maka dia adalah orang yang besar dalam pandangan banyak orang. Selain itu, memilih kembali kepada kebenaran adalah suatu keutamaan. Betapa indahnya jika kamu menjadi orang yang bersegera menuju kebaikan dan selalu kembali kepada kebenaran!

Jika berbuat kesalahan adalah salah satu hal yang menjadi tabiat manusia, maka hal yang dapat menghapus akibat dari kesalahan itu adalah meminta maaf. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seluruh manusia itu bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang senantiasa bertobat.” Ada ungkapan yang menyatakan, “Air pengakuan akan menghapus kotoran perbuatan buruk.”

وإذا رجعت إلى هذه الثلة المباركة أنبياء الله ورسله الذين هم خير البشر وصفوتهم لوجدتهم لا يتكبرون عن الاعتذار حين يُحتاج إليه.

هذا نبي الله موسى عليه السلام حين صحب الخضر عليه السلام فنهاه الخضر عن سؤاله عن شيء حتى يحدثه به ويوقفه على حقيقة الأمر، فلما خالف نبي الله موسى عليه السلام الشرط اعتذر عن ذلك فقال: {لَا تُؤَاخِذْنِي بِمَا نَسِيتُ وَلَا تُرْهِقْنِي مِنْ أَمْرِي عُسْرًا}(الكهف: 73).

Jika kamu merujuk kepada segolongan manusia yang diberkahi, para nabi dan rasulullah, yang mereka adalah sebaik-baik manusia dan yang terpilih; niscaya kamu akan mendapatkan bahwa mereka tidak merasa angkuh untuk meminta maaf jika itu dibutuhkan. Inilah Nabi Allah, Musa ‘alaihissalam ketika menemani Khadir ‘alaihissalam, lalu Khadir melarangnya untuk bertanya sesuatu hingga dia yang akan menjelaskan hakikat perkara itu. Namun, ketika Nabi Musa ‘alaihissalam melanggar syarat itu, beliau segera meminta maaf dan berkata, “Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.” (QS. Al-Kahfi: 73)

وهذا نبي الله نوح عليه السلام اعتذر لربه تعالى من سؤاله النجاة لولده الذي لم يكن مؤمنا: {قَالَ رَبِّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَسْأَلَكَ مَا لَيْسَ لِي بِهِ عِلْمٌ ۖ وَإِلَّا تَغْفِرْ لِي وَتَرْحَمْنِي أَكُن مِّنَ الْخَاسِرِينَ}(هود: 47).
وهكذا كان الصالحون لا يتكبرون عن الاعتذار إذا بدر منهم ما يستدعيه.

وروى أهل السير أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يسوي الصفوف في غزوة بدر وكان في يده شيء يسوي به الصفوف، فرأى سواد بن غزية بارزا فطعنه في بطنه وقال له: “استو يا سواد”. فقال سواد رضي الله عنه: يا رسولَ اللهِ أوجَعْتَني وقد بعثك اللهُ بالحقِّ والعدلِ فأقِدْني قال فكشف رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ عن بطنِه وقال: “استقِدْ”. فاعتنقَه سواد فقبَّل بطنَه، فقال: “ما حملكَ على هذا يا سوادُ؟”. قال: يا رسولَ اللهِ حضَر ما ترى فأردتُ أن يكون آخرُ العهدِ بك أن يمَسَّ جلدي جلدَك فدعا له رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ بخيرٍ.
فلم يمنعه كونه رسول الله، ولا كونه قائد الجيش من الاعتذار تطييبا لنفس ذلك الرجل.

Lalu Nabi Allah, Nuh ‘alaihissalam, meminta maaf kepada Tuhannya karena telah meminta agar anaknya yang tidak beriman itu diselamatkan. “Nuh berkata, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakekat)nya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi.’” (QS. Hud: 47)

Demikianlah orang-orang saleh tidak merasa angkuh dalam meminta maaf, jika memang ada hal yang mereka lakukan yang mengharuskan mereka untuk meminta maaf.

 Para ulama sejarah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meluruskan barisan saat perang Badar. Dulu beliau memegang sesuatu untuk meluruskan barisan, dan beliau melihat Sawad bin Ghaziyah berdiri terlalu maju dari barisan, maka beliau menekan perutnya dengan benda yang beliau bawa seraya berkata, “Luruslah wahai Sawad!” Kemudian Sawad radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai Rasulullah, engkau telah menyakitiku, sedangkan Allah telah mengutusmu dengan kebenaran dan keadilan, maka biarkan aku membalas.” Maka Rasulullah segera menyingkap pakaian dari perutnya dan bersabda, “Balaslah!” Kemudian Sawad memeluk Rasulullah dan mencium perut beliau. Rasulullah lalu bertanya, “Apa yang mendorongmu untuk melakukan ini, wahai Sawad?” Dia menjawab, “Wahai Rasulullah! Telah hadir apa yang engkau lihat (pasukan musuh), dan aku ingin agar momen terakhirku dengan engkau adalah kulitku dapat menyentuh kulit engkau.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan Sawad dengan kebaikan.

Beliau tidak terhalangi oleh kedudukan sebagai Rasul dan sebagai panglima pasukan untuk meminta maaf, agar dapat menenangkan jiwa orang tersebut. 

وعندما فتح الله عليه مكة خشي الأنصار أن يميل النبي صلى الله عليه وسلم للإقامة في مكة ، فقالوا: أما الرجل فأدركته رغبة في قريته، ورأفة بعشيرته. قال أبو هريرة: وجاء الوحي وكان إذا جاء الوحي لا يخفى علينا، فإذا جاء فليس أحد يرفع طرفه إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى ينقضي الوحي، فلما انقضى الوحي، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “يا معشر الأنصار” قالوا: لبيك يا رسول الله، قال: “قلتم: أما الرجل فأدركته رغبة في قريته؟” قالوا: قد كان ذاك، قال: “كلا، إني عبد الله ورسوله، هاجرت إلى الله وإليكم، والمحيا محياكم والممات مماتكم”. فأقبلوا إليه يبكون ويقولون: والله، ما قلنا الذي قلنا إلا الضن بالله وبرسوله، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “إن الله ورسوله يصدقانكم، ويعذرانكم”.

فلم يترك رسول الله صلى الله عليه وسلم الموقف يمر دون أن يبين لهم موقفه وهذا أطيب لنفوسهم، ولما سمع الأنصار ما قاله صلى الله عليه وسلم اعتذروا وقبل منهم وصدقهم.

Lalu ketika Allah menaklukkan Makkah bagi Rasulullah, kaum Anshar khawatir beliau akan memilih untuk tinggal di Makkah. Mereka berkata, “Adapun beliau, tentu tertarik oleh kecintaan kepada kampungnya dan kasih sayang kepada keluarganya.” Abu Hurairah meriwayatkan, “Lalu turunlah wahyu yang dapat kami saksikan, sehingga tidak ada yang mengalihkan pandangannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga wahyu selesai disampaikan kepada beliau. Setelah selesai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Wahai kaum Anshar!’ Mereka menjawab, ‘Kami penuhi panggilan engkau, wahai Rasulullah!’ Beliau bersabda, ‘Kalian telah berkata bahwa lelaki ini tentu tertarik oleh kecintaan kepada kampungnya?’ Mereka menjawab, ‘Memang seperti itu.’ Beliau bersabda, ‘Sungguh tidak! Aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku telah berhijrah kepada Allah dan kepada kalian. Tempat hidupku adalah tempat hidup kalian, dan tempat matiku adalah tempat mati kalian.’ Kemudian mereka segera mendatangi beliau sambil menangis, dan berkata, ‘Demi Allah! Kami tidak mengucapkan ucapan itu tidak lain karena tidak ingin meninggalkan Allah dan Rasul-Nya.’ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mempercayai kalian dan menerima permintaan maaf dari kalian.’”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkan momen itu berlalu begitu saja tanpa menjelaskan sikap beliau. Hal ini lebih menenangkan hati mereka. Ketika kaum Anshar mendengar apa yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka segera meminta maaf, dan menerima permintaan maaf itu, serta mempercayai alasan mereka.

وعن أبي الدّرداء- رضي الله عنه- قال: كانت بين أبي بكر وعمر محاورة، فأغضب أبو بكر عمر، فانصرف عنه مغضبا، فاتّبعه أبو بكر يسأله أن يستغفر له، فلم يفعل حتّى أغلق بابه في وجهه، فأقبل أبو بكر إلى رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ونحن عنده- فقال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: “أمّا صاحبكم فقد غامر” – أي: خاصَمَ -، وندم عمر على ما كان منه، فأقبل حتّى سلّم وجلس إلى النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم وقصّ على رسول الله صلّى الله عليه وسلّم الخبر. قال أبو الدّرداء: وغضب رسول الله صلّى الله عليه وسلّم، وجعل أبو بكر يقول: والله يا رسول الله لأنا كنت أظلم.

فهذا الصديق يعتذر عما بدر ولا تمنعه مكانته وسابقته من تقديم الاعتذار عند الحاجة.

إذا اعتذر الجاني محا العذرُ ذنبَه … وكان الّذي لا يقبل العذر جانيا

Diriwayatkan dari Abu Darda radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Dulu antara Abu Bakar dan Umar terjadi perbincangan, lalu Abu Bakar membuat Umar marah dan pergi meninggalkannya dengan rasa marah. Abu Bakar mengikutinya dan meminta maaf kepadanya; tapi Umar enggan memberi maaf hingga menutup pintu rumahnya di hadapan Abu Bakar. Kemudian Abu Bakar datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam – dan kami sedang berada di sekeliling beliau –. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Adapun sahabat kalian ini sedang berselisih.’ Ternyata Umar merasa menyesal atas apa yang telah dia perbuat, sehingga dia juga datang, mengucapkan salam, dan duduk di majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; lalu menceritakan kepada beliau apa yang terjadi.” Abu Darda mengatakan, “Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi marah (kepada Umar); dan Abu Bakar segera berkata, ‘Demi Allah, wahai Rasulullah! Sungguh aku yang lebih salah.’” 

Dalam kisah itu, Abu Bakar ash-Shiddiq segera meminta maaf atas kesalahannya. Kedudukannya dan keunggulannya dalam masuk Islam tidak menghalanginya untuk meminta maaf saat itu dibutuhkan. 

Dalam syair disebutkan:

Jika yang bersalah meminta maaf, maka permintaan maafnya menghapus dosanya

Dan yang tidak menerima permintaan maaf adalah yang bersalah

الله يحب العذر

فتح الله عز وجل للتوبة بابا لا يغلقه حتى تطلع الشمس من مغربها، وما ذاك إلا لأنه يحب أن يرحم عباده ويحب العذر، وقد قال النبي صلى الله عليه وسلم: “ليسَ أَحَدٌ أَحَبَّ إِلَيْهِ المَدْحُ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، مِن أَجْلِ ذلكَ مَدَحَ نَفْسَهُ، وَليسَ أَحَدٌ أَغْيَرَ مِنَ اللهِ، مِن أَجْلِ ذلكَ حَرَّمَ الفَوَاحِشَ، وَليسَ أَحَدٌ أَحَبَّ إِلَيْهِ العُذْرُ مِنَ اللهِ، مِن أَجْلِ ذلكَ أَنْزَلَ الكِتَابَ وَأَرْسَلَ الرُّسُلَ”.

وعن أنس بن مالك- رضي الله عنه- أنّه قال: قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: “التّأنّي من الله، والعجلة من الشّيطان، وما أحد أكثر معاذير من الله (يعني لا يؤاخذ عبيده بما ارتكبوه حتى يعذر إليهم المرة بعد الأخرى)، وما من شيء أحبّ إلى الله من الحمد”.

Allah Mencintai Pemberian Maaf

Allah ‘Azza wa Jalla telah membuka pintu tobat dan tidak menutupnya hingga matahari terbit dari barat. Ini tidak lain adalah karena Allah suka memberi rahmat bagi para hamba-Nya dan mencintai pemberian maaf. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

ليسَ أَحَدٌ أَحَبَّ إِلَيْهِ المَدْحُ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، مِن أَجْلِ ذلكَ مَدَحَ نَفْسَهُ، وَليسَ أَحَدٌ أَغْيَرَ مِنَ اللهِ، مِن أَجْلِ ذلكَ حَرَّمَ الفَوَاحِشَ، وَليسَ أَحَدٌ أَحَبَّ إِلَيْهِ العُذْرُ مِنَ اللهِ، مِن أَجْلِ ذلكَ أَنْزَلَ الكِتَابَ وَأَرْسَلَ الرُّسُلَ

“Tidak ada yang lebih suka pujian daripada Allah ‘Azza wa Jalla; oleh karena itu Dia memuji diri-Nya. Tidak ada yang lebih pencemburu daripada Allah. Oleh karena itu, Dia mengharamkan perbuatan-perbuatan keji. Dan tidak ada yang lebih menyukai pemberian maaf daripada Allah; oleh karena itu, Dia menurunkan Kitab dan mengutus para Rasul.” 

Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketenangan adalah dari Allah, sedangkan buru-buru adalah dari setan. Dan tidak ada yang lebih banyak memberi maaf daripada Allah (yakni Allah tidak menyiksa para hamba-Nya atas kesalahan yang mereka lakukan, tapi Allah terus memberi maaf bagi mereka); dan tidak ada yang lebih Allah cintai daripada pujian.”

إياك وما يعتذر منه

لئن كان الله تبارك وتعالى يحب العذر، ولئن ندب الشرع والأدب إلى تقديم الاعتذار عند الخطأ فإن الأولى أن يجتنب العبد ما يوجب الاعتذار قدر طاقته، فعن أنس بن مالك- رضي الله عنه- أنّه قال: قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: “إيّاك وكلّ أمر يعتذر منه”.

وقال صلى الله عليه وسلم: “ولا تتكلمْ بكلامٍ تعتذرُ منه”.

وقد قيل: إيّاك وعزّة الغضب فإنّها تفضي إلى ذلّ ‌الاعتذار. وقال الشاعر:

وإذا ما اعتراك في الغضب العزّة فاذكر تذلّل ‌الاعتذار

Janganlah Berbuat Sesuatu yang Membuatmu Harus Meminta Maaf!

Allah Ta’ala mencintai pemberian maaf, serta syariat dan adab juga menganjurkan untuk meminta maaf saat bersalah; tapi yang lebih baik bagi seorang hamba adalah menjauhi sekuat tenaga hal-hal yang membuatnya harus meminta maaf. Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكَ وَكُلُّ أَمْرٍ يُعَتَذَّرُ مِنْهُ

“Janganlah kamu sekali-kali mendekati segala perkara yang membuatmu harus meminta maaf.” 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَلَا تَتَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ

“Dan janganlah kamu berbicara dengan ucapan yang membuatmu harus meminta maaf karenanya.” 

Ada juga ungkapan yang berbunyi, “Janganlah kamu sekali-kali marah karena keangkuhan, karena itu membuatmu merasakan rendahnya meminta maaf.” Dan seorang penyair berkata:

Jika kamu mengalami kemarahan karena keangkuhan

Maka ingatlah kerendahan meminta maaf (setelah itu)

قبول الأعذار من شيم الكرام
ومن المروءة وكرم النفس أن يقبل الكريم اعتذار المخطئ وأن يقيل عثرته.
هؤلاء إخوة يوسف عليه السلام حين عرفوه ورأوا ما من الله به عليه وتذكروا ذنبهم قالوا معتذرين: {تَاللَّهِ لَقَدْ آثَرَكَ اللَّهُ عَلَيْنَا وَإِن كُنَّا لَخَاطِئِينَ}(سورة يوسف: 91). فما لامهم ولا عنفهم، بل قبل اعتذارهم وأقال عثرتهم ودعا لهم: {قَالَ لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ ۖ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ}(سورة يوسف: 92).

اعتذر رجل إلى إبراهيم النّخعيّ رحمه الله تعالى، فقال له: قد عذرتك غير معتذر، إنّ المعاذير يشوبها الكذب.
يقول الحسن بن علي رضي الله عنهما فيما يُروى عنه : لو أن رجلاً شتمني في أذني هذه، واعتذر إليَّ في الأخرى لقبلت عذره.
ويقول الأحنف بن قيس رحمه الله : إن اعتذر إليك معتذر تلقه بالبِشْر.
واعتذر رجل إلى الحسن بن سهل من ذنب كان له، فقال له الحسن: تقدّمت لك طاعة، وحدثت لك توبة، وكانت بينهما منك نبوة، ولن تغلب سيّئة حسنتين.

Menerima Permintaan Maaf adalah Bagian dari Akhlak Orang Mulia

Di antara kehormatan dan kemuliaan diri adalah menerima permintaan maaf dari orang yang bersalah dan memaklumi kesalahannya. Ketika saudara-saudara Nabi Yusuf ‘alaihissalam mengetahuinya dan melihat karunia yang Allah berikan kepadanya, mereka segera mengingat kesalahan mereka dan mengucapkan permintaan maaf:

تَاللهِ لَقَدْ آثَرَكَ اللهُ عَلَيْنَا وَإِن كُنَّا لَخَاطِئِينَ

“Demi Allah, sesungguhnya Allah telah melebihkan kamu atas kami, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa).” (QS. Yusuf: 91)

Di sisi lain, Nabi Yusuf ‘alaihissalam tidak mencela dan mencerca mereka; tapi justru menerima permintaan maaf mereka dan memaklumi kesalahan mereka; kemudian beliau berdoa bagi mereka:

لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ ۖ يَغْفِرُ اللهُ لَكُمْ ۖ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ

“Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang.” (QS. Yusuf: 92)

Pernah ada seorang lelaki yang meminta maaf kepada Ibrahim an-Nakha’i rahimahullah. Lalu beliau berkata kepadanya, “Aku telah menerima permintaan maafmu tanpa alasan, karena alasan-alasan akan tercampur dengan kedustaan.”

Diriwayatkan dari Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma bahwa dia berkata, “Seandainya ada orang yang menghinaku di telingaku ini, lalu dia meminta maaf kepadaku di telingaku yang satu lagi, niscaya aku akan menerima permintaan maafnya.”

Ahnaf bin Qais rahimahullah berkata, “Jika ada orang yang meminta maaf kepadamu, maka berikanlah dia kabar yang baik (berupa pemberian maaf).”

Pernah juga datang seseorang kepada Hasan bin Sahl untuk meminta maaf atas kesalahannya. Lalu Hasan berkata kepadanya, “Aku telah mendahulukan bagimu ketaatan kepada Allah, dan aku telah menyampaikan kepadamu tobat; lalu di antara keduanya ada kabar darimu, dan satu keburukan tidak akan mengalahkan dua kebaikan.”

نحتاج أن نتقن فن الاعتذار، فكم من عداوات كان يمكن تجنبها بكلمة اعتذار، وكم من بيوت تهدمت لغياب ثقافة الاعتذار، وكم من نفوس تغيرت وصدور أوغرت حين غابت عن بعضنا شجاعة الاعتذار.

نسأل الله تعالى أن يعفو عنا ويقيل عثراتنا وأن يتجاوز عن سيئاتنا إنه جواد كريم، وصلى الله وسلم وبارك على عبده ورسوله محمد، والحمد لله رب العالمين.

Sungguh kita butuh meningkatkan kemampuan untuk meminta maaf. Betapa banyak permusuhan yang sebenarnya bisa dihindari dengan satu kalimat permintaan maaf! Betapa banyak rumah tangga yang runtuh akibat tidak adanya budaya meminta maaf! Dan betapa banyak diri yang berubah dan hati yang dipenuhi kemarahan karena hilangnya keberanian meminta maaf dari sebagian kita!

Kita memohon kepada Allah Ta’ala agar mengampuni kita, memaklumi kekeliruan kita, dan memaafkan kesalahan kita. Sungguh Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia. Selawat, salam, dan keberkahan semoga selalu terlimpah kepada hamba dan rasul-Nya, Muhammad. Dan segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam.

Suka Ikut Campur Urusan Orang Lain

Suka Ikut Campur Urusan Orang Lain

Setiap manusia tercipta dengan membawa takdir masing-masing. Allah Ta’ala telah mengatur sedemikian rupa bagaimana si Fulan dan si Allan akan menjalani takdirnya. Ada manusia yang dimudahkan menuju kebaikan-kebaikan sehingga ia termasuk dari calon-calon penghuni surga, namun ada pula yang dimudahkan menuju keburukan-keburukan sehingga ia termasuk dari calon-calon penghuni neraka. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

اعْمَلُوافَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُأَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِوَأَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الشَّقَاءِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ

“Beramallah! Setiap orang akan dimudahkan sesuai tujuan dia diciptakan. Barang siapa yang tergolong orang-orang yang bergembira (penduduk surga) maka akan dimudahkan untuk beramal sesuai dengan amalan orang-orang tersebut. Barang siapa yang yang tergolong orang-orang yang sengsara (penduduk neraka) maka akan dimudahkan untuk beramal sesuai dengan amalan orang-orang yang sengsara.” (HR. Al-Bukhari no. 4949)

Demikianlah manusia, dalam hal waktu manusia terbagi menjadi dua jenis, ada yang menyibukkan dirinya dengan hal-hal yang baik, adapula yang menyibukkan dirinya dengan hal-hal yang buruk. Di zaman ini, kita akan melihat banyak manusia yang menghabiskan waktu dan umurnya dengan sia-sia, tersibukkan dengan urusan-urusan yang tidak penting. Padahal kehidupan di dunia ini adalah kehidupan yang sangat singkat, tetapi kebanyakan kita lalai memanfaatkan waktu yang telah Allah berikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” (HR. At-Tirmidzi no. 2317)

Keelokan Islam seseorang bisa diukur dengan melihat bagaimana dia habiskan waktunya. Jika kegiatan yang dia lakukan (perkataan atau perbuatannya) berkaitan dengan urusan yang bermanfaat untuk dunia dan akhiratnya, maka ia adalah seorang yang Islamnya indah. Tetapi ada pula orang yang kesibukannya pada perkara-perkara yang tidak bermanfaat. Diantaranya adalah ikut campur urusan orang lain yang tidak ada kepentingan dengan dirinya. Padahal ikut campur urusan orang lain tidak akan menambah manfaat melainkan hanya waktu yang habis sia-sia tanpa faedah. Hanya akan membuat hatinya gelisah, semakin mengacaukan pikirannya, dan ia akan terlupa dengan kewajiban-kewajiban utamanya. Lebih dari itu, ikut campur urusan orang lain dapat menjerumuskannya ke dalam dosa-dosa besar seperti ghibah, tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain), dan namimah (mengadu domba).

Orang yang selalu mencampuri urusan atau mengomentari orang lain maka hampir bisa dipastikan ia akan terjatuh ke dalam ghibah, karena aktivitasnya hanya diisi dengan membicarakan si Fulan dan si Allan. Atau dia akan terjatuh ke dalam lubang dosa yang lain yaitu tajassus, yang awalnya hanya berupa obrolan-obrolan ringan tentang saudaranya sesama muslim, tetapi rasa penasarannya mengantarkan dia mencari-cari sesuatu tentang saudaranya tersebut mengenai aib-aib dan keburukan-keburukannya. Atau tanpa ia sadari ia telah mengadu domba diantara saudaranya sesama muslim. Padahal telah jelas larangan berbuat ghibah, tajassus, dan namimah di dalam Al-Quran ataupun di dalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Allah Ta’ala berfirman tentang buruknya ghibah dan tajassus:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ۝

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat : 12)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda tentang ancaman bagi pelaku namimah dalam haditsnya dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melewati salah satu sudut kota Madinah atau Makkah, lalu beliau mendengar suara dua orang yang sedang diazab di kubur. Beliau pun bersabda,

يُعَذَّبَانِ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ، بَلَى، كَانَ أَحَدُهُمَا لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ، وَكَانَ الآخَرُ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ

Mereka berdua disiksa. Mereka menganggap bahwa itu bukan perkara besar, namun sesungguhnya itu perkara besar. Orang yang pertama disiksa karena tidak menutupi diri ketika kencing. Adapun orang yang kedua disiksa karena suka mengadu domba (namimah).” (HR. Al-Bukhari no. 216 dan Muslim no. 292)

Oleh karena itu, hendaknya setiap orang mengamalkan wasiat Nabi di masa fitnah, dimana beliau bersabda,

وَعَلَيْكَ بِخَاصَّةِ نَفْسِكَ

“Hendaknya engkau sibuk dengan urusan privasimu.” (HR. Ath-Thabrani no. 13)

Sesungguhnya setiap orang telah memiliki kesibukan masing-masing. Hendaknya ia memfokuskan dirinya untuk memperhatikan kewajiban-kewajibannya sebagai hamba Allah Ta’ala, kewajibannya sebagai seorang suami, istri, anak, orang tua, ataupun peran-perannya di tengah kehidupan sosial masyarakat. Orang yang baik keislamannya akan memiliki perhatian penuh terhadap kebaikan dan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya, dan tidak terlalaikan dengan urusan-urusan orang lain yang bisa menjerumuskannya ke dalam dosa-dosa.

Imam Abu Hatim bin Hibban Al-Busthi rahimahullah mengatakan, “Orang yang berakal wajib mencari keselamatan untuk dirinya dengan meninggalkan perbuatan tajassus dan senantiasa sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri. Sesungguhnya orang yang sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri dan melupakan kejelekan orang lain, maka hatinya akan tenteram dan tidak akan merasa capai. Setiap kali dia melihat kejelekan yang ada pada dirinya, maka dia akan merasa hina tatkala melihat kejelekan yang serupa ada pada saudaranya. Sementara orang yang senantiasa sibuk memperhatikan kejelekan orang lain dan melupakan kejelekannya sendiri, maka hatinya akan buta, badannya akan merasa letih, dan akan sulit baginya meninggalkan kejelekan dirinya.” (Raudhah al-‘Uqala wa Nuzhah al-Fudhala’)

Maka, seseorang di zaman seperti ini hendaknya menyibukkan diri dengan kegiatan yang bermanfaat agar dia tidak terjebak pada kegiatan-kegiatan yang tidak bermanfaat seperti mencampuri urusan orang lain. Para ulama mengatakan suatu perkataan yang indah,

مَنِ اشْتَغَلَ بِمَا لا يَعْنِيهِ فَاتَهُ مَا يَعْنِيهِ

“Barangsiapa yang sibuk dengan perkara yang tidak bermanfaat bagi dia maka banyak perkara yang bermanfaat yang luput dari dia.”

Wallahul Muwaffiq.

Jangan Lupa Doakan Anak Anak Kita

Jangan Lupa Doakan Anak Anak Kita 

Memiliki anak shalih yang senantiasa taat kepada Allah Ta’ala dan berbakti kepada orang tua merupakan kenikmatan besar yang harus disyukuri orang tua. Namun terkadang realita berbeda, justru anak menjadi sosok yang sulit dinasehati, suka membantah, malas beribadah bahkan berteman dengan anak-anak yang kurang baik akhlaknya.

Begitu pula ada anak yang semula rajin salat, giat belajar agama, penurut dan santun namun qadarullah berubah menjadi pribadi yang pemalas, susah diajak dalam ketaatan pada agama. Inilah ujian bagi orang tua, akankah ia mampu mendidiknya dengan baik agar mereka menyadari kesalahannya atau justru orang tua membiarkannya. Karena telah dinasehati ribuan kali namun belum juga ada perubahan.

Syaikh Abdurrazzaq Al Badr hafizhahullah berkata: “Tidak mungkin menjadi baik salah satu keturunan kecuali jika Allah memperbaikinya untukmu. Bagaimanapun engkau bersungguh dalam memperbaiki akhlaknya, menuntunnya di atas kebenaran dan menyuruhnya senantiasa istiqamah, tidak mungkin ia akan istiqamah dan menjadi baik kecuali jika Allah yang memperbaikinya untukmu. Karena yang memberi hidayah adalah Allah dan yang memberi taufiq adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu sepantasnya seorang muslim memperbesar harapannya kepada Allah dan berdoa kepada Allah dan terus-menerus berdoa kepada Allah. Agar Dia memperbaiki keturunannya sebagaimana kekasih Ar-Rahman berdoa: ‘Ya Rabb kami semoga Engkau menjadikan kami -suami-istri- orang yang tunduk patuh pada Engkau dan menjadikan anak keturunan kami orang yang tunduk dan patuh kepada Engkau.’” (Syarhu Tafsiri Ayati Al-Qur’an Al-Karim, 8).

Demikianlah nasehat indah untuk orang tua agar tetap berbaik sangka kepada Allah Ta’ala dengan memperbanyak mendoakan anak agar diberi hidayah untuk mengikuti kebenaran dan selalu dalam ketaatan. Tentunya semua ini juga diiringi dengan ikhtiar seperti bersabar dalam membimbing atau menasehatinya, tetap bermuamalah dengan anak secara baik dan tunjukkan padanya bahwa kita sebagai orang tua tetap menyayanginya.

Mendoakan anak agar menjadi shalih merupakan perbuatan nabi dan orang-orang shalih. Allah Ta’ala dalam Al Qur’an menukilkan doanya Nabi Ibrahim ‘alahissalam:

Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang salih.” (QS. Ash-Shaffat: 100)

Orang tua hendaknya senantiasa menasehatinya untuk teguh dalam beragama dan bagaimanapun buruk akhlak anaknya, maksiat atau dosa yang dilakukannya, tetaplah orang tua berharap kebaikan untuk mereka. Allah Ta’ala berfirman:

Dan Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yakub. “Wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim.” (QS. Al-Baqarah: 132)

Mendoakan anak untuk kebaikan agama dan dirinya merupakan ibadah, maka marilah berdoa di saat-saat mustajab dan yakinlah doa akan membawa kebaikan untuk anak-anaknya meskipun kita tidak tahu kapan saat tepat doa itu benar-benar mampu merubah anak menjadi lebih baik. Laa tahzan, semua serahkan pada kekuasaan Allah Ta’ala, yang penting orang tua tidak putus asa untuk selalu mendoakan kebaikan dengan banyak-banyak mengucapkan,

Semoga Allah memberkahimu

Ya Allah, pahamkan lah dia dalam urusan agama”

“Ya Rabbi, shalihkanlah anakku, semoga Allah mengampunimu, memberi hidayah kepadamu, semoga Allah memudahkanmu menghafal Al-Qur’an, meringankan langkahmu untuk salat dan menuntut ilmu, semoga Allah memudahkan dalam kebaikan…”

Dan doa lainnya, yang intinya memohon taufiq dan hidayah pada Allah Ta’ala.

Doa adalah senjata orang mukmin dalam menghadapi segala sesuatu, terlebih lagi saat hati gelisah dengan perilaku anak yang kurang baik. Di sinilah peranan doa yang dilakukan dengan ikhlas, tekad kuat akan terkabulnya doa, dan rasa butuh pada Allah Ta’ala, akan membuat orang tua tegar dan sabar. Semoga Allah Ta’ala memudahkan orang tua dalam mendidik dan membersamai anak-anaknya hingga menjadi generasi shalih.

Referensi:

Mencetak generasi Rabbani, Ummu Ihsan dan Abu Ihsan Al-Atsari, Pustaka Imam Syafi’i, Jakarta, 2015

Begini Seharusnya Menjadi Guru (terjemah), Fuad bin Abdul Aziz Asy Syalhub, Darul Haq, Jakarta, 2014.

Doa Di Sepertiga Malam Terakhir

Doa Di Sepertiga Malam Terakhir 

Di antara doa yang mustajab (mudah diijabahi atau dikabulkan) adalah doa di sepertiga malam terakhir. Namun kita sering melalaikan hal ini karena waktu malam kita biasa diisi dengan tidur lelap. Cobalah kita bertekad kuat untuk mendapatkan waktu tersebut. Malamnya kita isi dengan shalat tahajjud dan memperbanyak do’a pada Allah atas setiap hajat kita.

Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ فِى اللَّيْلِ لَسَاعَةً لاَ يُوَافِقُهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرًا مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ

Di malam hari terdapat suatu waktu yang tidaklah seorang muslim memanjatkan do’a pada Allah berkaitan dengan dunia dan akhiratnya bertepatan dengan waktu tersebut melainkan Allah akan memberikan apa yang ia minta. Hal ini berlaku setiap malamnya.” (HR. Muslim no. 757)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَتَنَزَّلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ ، مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ ، وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ

Rabb kita tabaroka wa ta’ala turun setiap malam ke langit dunia hingga tersisa sepertiga malam terakhir, lalu Dia berkata: ‘Siapa yang berdoa pada-Ku, aku akan memperkenankan doanya. Siapa yang meminta pada-Ku, pasti akan Kuberi. Dan siapa yang meminta ampun pada-Ku, pasti akan Kuampuni’.” (HR. Bukhari no. 6321 dan Muslim no. 758). Muhammad bin Isma’il Al Bukhari membawakan hadits ini dalam Bab ‘Doa pada separuh malam’. Imam Nawawi menyebutkan judul dalam Shahih Muslim Bab ‘Dorongan untuk berdoa dan berdzikir di akhir malam dan terijabahnya doa saat itu’.

Ibnu Hajar menjelaskan, “Bab yang dibawakan oleh Al Bukhari menerangkan mengenai keutamaan berdoa pada waktu tersebut hingga terbit fajar Shubuh dibanding waktu lainnya.” (Fathul Bari, 11/129)

Ibnu Baththol berkata, “Waktu tersebut adalah waktu yang mulia dan terdapat dorongan beramal di waktu tersebut. Allah Ta’ala mengkhususkan waktu itu dengan nuzul-Nya (turunnya Allah). Allah pun memberikan keistimewaan pada waktu tersebut dengan diijabahinya doa dan diberi setiap  yang diminta.” (Syarh Al Bukhari, 19/118)

Ada suatu pelajaran menarik dari Imam Al Bukhari. Beliau membawakan Bab dengan judul “Doa pada separuh malam”. Padahal hadits yang beliau bawakan setelah itu berkenaan dengan doa ketika sepertiga malam terakhir. Mengapa bisa demikian?

Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan bahwa Al Bukhari mengambil judul Bab tersebut dari firman Allah,

قُمِ اللَّيْلَ إِلاَّ قَلِيلاً نِصْفَهُ أَوِ انقُصْ مِنْهُ قَلِيلاً

Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit.” (QS. Al Muzzamil: 2-3). Judul bab tersebut diambil oleh Al Bukhari dari ayat Al Qur’an di atas. Dalam hadits sendiri menunjukkan bahwa waktu terijabahnya doa adalah pada sepertiga malam terakhir. Ini menunjukkan bahwa hendaknya seorang muslim benar-benar memperhatikan waktu tersebut dengan ia bersiap-siap sebelum masuk sepertiga malam terakhir yang awal. Hendaklah setiap hamba bersiap diri dengan kembali pada Allah kala itu agar mendapatkan sebab ijabahnya doa. Setiap muslim hendaklah memperhatikan waktunya di malam dan siang hari dengan doa dan ibadah kepada Allah Ta’ala. (Syarh Al Bukhari,  19/119)

Catatan:

Waktu malam dihitung dari tenggelamnya matahari (waktu Maghrib) hingga terbit fajar Shubuh. Jika waktu Maghrib kira-kira pukul 18.00 dan waktu Shubuh pukul 04.00, berarti waktu malam ada sekitar 10 jam. Pertengahan malam berarti jam 11 malam. Sedangkan sepertiga malam terakhir dimulai kira-kira jam 1 dinihari.

Moga Allah mudahkan waktu kita di malam hari diisi dengan shalat tahajjud ikhlas karena-Nya dan semoga Allah memperkenankan setiap doa-doa kita.

Wallahu waliyyut taufiq.

Referensi:

Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al ‘Asqolani, terbitan Darul Ma’rifah, Beirut, 1379.

Shahih Al Bukhari, Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah Al Bukhari, Mawqi’ Wizaroh Al Awqof Al Mishriyyah.

Shahih Muslim, Muslim bin Al Hajjaj Abul Husain Al Qusyairi An Naisaburi, Tahqiq: Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi, terbitan Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi.

Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, Asy Syamilah.

Mengapa Begitu Sulit Melupakan Kesalahan Orang Lain?

Mengapa Begitu Sulit Melupakan Kesalahan Orang Lain?

Ketika sedang sendirian terkadang tiba-tiba muncul kenangan peristiwa lalu, entah itu kenangan baik maupun buruk. Salah satunya adalah kenangan yang mungkin sulit dilupakan ketika orang lain berbuat kesalahan kepada kita.

Ketika orang lain melakukan kesalahan, hendaklah dia memaafkan dan jangan membalas meskipun kita dalam keadaan mampu untuk membalasnya.

أَلا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُم

Bukankah kalian senang apabila Allāh mengampuni dosa kalian.” (QS. An-Nur: 22)

Ayat tersebut menceritakan kisah Abu Bakar As-Siddiq radhiyallahu ‘anhu ketika terjadi haditsul-ifk (berita dusta bahwa ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha selingkuh). Ibnu Katsir menjelaskan firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat An-Nur dengan mengatakan, “Ayat ini turun berkaitan dengan Abu Bakar ash-Shidiq radhiyallahu ‘anhu, yaitu manakala beliau bersumpah tidak akan memberi apa-apa lagi kepada Misthah bin Utsatsah setelah terlibat dalam menyiarkan berita bohong tentang diri Aisyah radhiyallahu ‘anha. Maka tatkala turun firman Allah ta’ala yang menyatakan kesucian umul mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha, hal tersebut melegakan semua orang dari kaum mukminin dan merasa bahagia serta tentram atasnya. Kemudian Allah ta’ala menerima taubat orang-orang yang ikut serta menyebarkan berita bohong tersebut dari kalangan mukminin. Dan memerintahkan supaya ditegakan hukuman bagi mereka sebagai balasannya.

Atas anugerah dan keutamaan yang Allah ta’ala berikan pada Abu Bakar yang biasa menyambung kekerabatan bersama sanak keluarga dan kerabat, diantara mereka ada yang bernama Misthah bin Utsatsah anak dari bibinya yang merupakan seorang yang fakir yang tidak mempunyai harta. Ketika itu dirinya terlibat di dalam menyiarkan berita bohong tersebut dan telah bertaubat serta ditegakan hukuman cambuk baginya.

Sedangkan Abu Bakar adalah orang yang terkenal dengan kedermawanannya, beliau banyak membantu pada sanak kerabat dan juga orang lain. Maka tatkala turun firman Allah tabaraka wa ta’ala:

أَلا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُم وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٌ

Bukankah kalian senang apabila Allāh mengampuni dosa kalian? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nur: 22)

Berdasarkan ayat di atas, balasan yang mereka lakukan setimpal dengan perbuatannya. Karena balasan sesuai dengan kadar amal perbuatan. Sebagaimana kamu memaafkan orang yang berbuat jahat kepadamu, begitu pula Allah akan memaafkanmu. Sebagaimana engkau berlapang dada atas kesalahannya, demikian pula engkau akan diberi kelapangan.

Maka tatkala mendengar hal tersebut Abu Bakar langsung mengatakan, “Tentu, demi Allah kami menyukai Engkau mengampuni kami Duhai Rabb kami”. Kemudian beliau kembali untuk menyantuni dan memenuhi kebutuhan kerabatnya yang bernama Misthah. Dan beliau mengatakan, “Demi Allah, aku tidak akan mencabut sedekah untuknya selama-lamanya. Demi Allah, aku tidak akan menuntut balas pamrih darinya selama-lamanya”.

Ibnu Katsir mengomentari ucapan Abu Bakar tadi dengan mengatakan, “Oleh karena itulah dirinya dijuluki ash-Shidiq karena kejujuran dan keimanannya”.

Orang yang memaafkan manusia adalah sifat yang mulia, memiliki kesabaran bahkan bukan hanya sabar dia juga memaafkan,melupakan dan tidak mau membalas kejelekan orang lain maka dia mendapatkan pahala. Allah ta’ala berfirman:

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Maka barang siapa yang memaafkan dan memperbaiki mendamaikan maka pahalanya adalah atas Allāh.” (QS. Asy-Syuraa: 40)

Kita memaafkan orang-orang yang ada di sekitar kita, memaafkan anak, memaafkan istri, memaafkan suami, memaafkan orang tua, memaafkan tetangga. Kita bergaul dengan mereka dalam kehidupan sehari-hari dan pasti di sana ada perkara yang tidak baik yang mungkin muncul dari kita maupun dari mereka. Maka kita sebagai seorang muslim/muslimah hendaklah pandai dalam memaafkan.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu,maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka, dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. At-Taghābun: 14)

Kita memaafkan kesalahan mereka dan jangan kita ikut terbawa dengan kelakuan mereka atau ucapan mereka sehingga kita mudah melakukan kemaksiatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena kelakuan dan juga ucapan mereka. Kita gabungkan antara dua perkara yaitu tetap kita istiqamah di atas ketaatan kepada Allāh dan kita memaafkan. Kita maafkan dan kita lupakan dan terus kita istiqomah. Kita bersabar dengan ucapan dan perilaku mereka, ini sikap seorang muslim dan dia berakhlak yang baik.

Berusaha taghaful yakni melupakan kesalahan saudara kita dan tidak mengingat-ingatnya. Tak lupa senantiasa berdoa kepada Allah agar senantiasa diberi kelapangan dada untuk memaafkan kesalahan orang lain.

***

Adab Ketika Bersin dan Menguap

Adab Ketika Bersin dan Menguap

Hadits #878

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( إَنَّ اللهَ يُحِبُّ العُطَاسَ ، وَيَكْرَهُ التَّثَاؤُبَ ، فَإذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ وَحَمِدَ اللهَ تَعَالَى كَانَ حَقّاً عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ سَمِعَهُ أَنْ يَقُولَ لَهُ : يَرْحَمُكَ اللهُ ، وَأَمَّا التَّثَاؤُبُ فَإنَّمَا هُوَ مِنَ الشَّيْطَانِ ، فَإذَا تَثَاءَبَ أحَدُكُمْ فَلْيَرُدَّهُ مَا اسْتَطَاعَ ، فَإنَّ أحَدَكُمْ إِذَا تَثَاءَبَ ضَحِكَ مِنْهُ الشَّيْطَانُ )) رَوَاهُ البُخَارِيُّ 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah menyukai bersin dan membenci menguap. Maka, apabila salah seorang di antara kalian bersin dan memuji Allah, maka wajib bagi setiap orang muslim yang mendengarnya untuk mengucapkan, ‘YARHAMUKALLAH (artinya: semoga Allah merahmatimu)’.”

Adapun menguap, maka itu adalah dari setan. Apabila salah seorang di antara kalian menguap, hendaklah ia menahannya semampu mungkin. Karena, jika salah seorang di antara kalian menguap maka setan tertawa karenanya.” (HR. Bukhari) [HR. Bukhari, no. 6223]

Faedah Hadits

  1. Allah menyukai bersin dan membenci menguap.
  2. Allah memiliki sifat cinta (al-mahabbah) dan sifat benci (al-karah).
  3. Disunnahkan bersegera mengucapkan YARHAMUKALLAH ketika mendengar orang yang bersin mengucapkan ALHAMDULILLAH.
  4. Mengucapkan YARHAMUKALLAH berlaku jika mendengar orang bersin dan mendengarnya mengucapkan ALHAMDULILLAH. Jika tidak mendengar ia bersin dan tidak pula mengucapkan ALHAMDULILLAH, maka tidak perlu mengucapkan YARHAMUKALLAH.
  5. Setiap yang mendengar orang yang bersin dan memuji Allah (mengucapkan ALHAMDULILLAH), maka hendaklah mengucapkan YARHAMUKALLAH, hukumnya fardhu ‘ain—menurut Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly dalam Bahjah An-Nazhirin–.
  6. Setan menguasai manusia ketika ia menguap, akhirnya ia malas dalam ibadah dan tidak semangat.
  7. Setiap menguap itu dari setan, maka hendaklah menguap ditahan semampunya.
  8. Setan punya sifat tertawa, di antaranya ketika melihat ada yang menguap.

Hadits #879

وَعَنْهُ ، عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( إِذَا عَطَسَ أحَدُكُمْ فَلْيَقُلْ : الحَمْدُ للهِ ، وَلْيَقُلْ لَهُ أخُوهُ أَوْ صَاحِبُهُ : يَرْحَمُكَ اللهُ . فَإذَا قَالَ لَهُ : يَرْحَمُكَ اللهُ ، فَليَقُلْ : يَهْدِيكُمُ اللهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ )) رَوَاهُ البُخَارِيُّ .

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian bersin, hendaklah ia mengucapkan, ‘ALHAMDULILLAH (artinya: segala puji bagi Allah)’. Dan hendaklah saudaranya atau rekannya mengucapkan untuknya, ‘YARHAMUKALLAH (artinya: Semoga Allah merahmatimu)’. Maka apabila ia telah mengucapkan semoga Allah merahmatimu, hendaklah yang bersin mengucapkan, ‘YAHDIKUMULLAH WA YUSH-LIH BAALAKUM (artinya: Semoga Allah memberi kalian hidayah dan membaguskan keadaan kalian)’.” (HR. Bukhari) [HR. Bukhari, no. 6224]

Faedah Hadits

  1. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan pada umat perihal bersin dan bagaimana menjawabnya.
  2. Hadits ini menunjukkan besarnya nikmat Allah bagi orang yang bersin, dan ada kebaikan di dalamnya.
  3. Nikmat Allah diberikan lewat bersin, karena ada mudarat yang dihilangkan saat itu.
  4. Bersin menunjukkan karunia Allah pada hamba sehingga dianjurkan membaca ALHAMDULILLAH saat itu.
  5. Doa kebaikan dibalas pada orang yang memulai mendoakan kita kebaikan.
  6. Doa yang diajarkan saat bersin (yaitu YARHAMUKALLAH) berisi permintaan rahmat dan taubat atas dosa lalu dianjurkan untuk menjawabnya pula.

Hadits #880

وَعَنْ أَبِي مُوْسَى – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، يَقُوْلُ : (( إِذَا عَطَسَ أحَدُكُمْ فَحَمِدَ اللهَ فَشَمِّتُوهُ، فَإنْ لَمْ يَحْمَدِ اللهَ فَلاَ تُشَمِّتُوهُ )) رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian bersin lalu memuji Allah, maka hendaklah kalian mendoakannya (ucapkan YARHAMUKALLAH). Namun, jika ia tidak memuji Allah, maka janganlah kalian mendoakannya.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 54/2992]

Faedah Hadits

Hadits ini jadi dalil disyariatkannya mengucapkan YARHAMUKALLAH jika ada yang mengucapkan ALHAMDULILLAH saat bersin. Hadits ini juga berisi larangan tidak perlu mengucapkan YARHAMUKALLAH jika tidak diucapkan ALHAMDULILLAH.

Hadits #881

وَعَنْ أَنَسٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : عَطَسَ رَجُلاَنِ عِنْدَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، فَشَمَّتَ أَحَدَهُمَا وَلَمْ يُشَمِّتِ الآخَرَ ، فَقَالَ الَّذِي لَمْ يُشَمِّتْهُ : عَطَسَ فُلانٌ فَشَمَّتَّهُ ، وَعَطَسْتُ فَلَمْ تُشَمِّتْنِي ؟ فَقَالَ : (( هَذَا حَمِدَ اللهَ ، وَإنَّكَ لَمْ تَحْمَدِ اللهَ )) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .

Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ada dua orang yang sedang bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka kemudian bersin. Maka beliau mendoakan salah satunya dan tidak yang lainnya. Lantas orang yang tidak didoakan berkata, ‘Si fulan bersin, lalu engkau mendoakannya. Sedangkan aku bersin, engkau tidak mendoakanku?’ Beliau pun menjawab, ‘Orang ini memuji Allah, sedangkan engkau tidak memuji Allah.’” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 6225 dan Muslim, no. 53/2991]

Faedah Hadits

  1. Jika yang bersin tidak mengucapkan ALHAMDULILLAH atau mengucapkan kalimat lainnya, maka tidak perlu mengucapkan YARHAMUKALLAH.
  2. Boleh bertanya meminta penjelasan kenapa yang satu diperlakukan seperti ini, yang lain tidak.

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – إِذَا عَطَسَ وَضَعَ يَدَهُ أَوْ ثَوْبَهُ عَلَى فِيهِ ، وَخَفَضَ – أَوْ غَضَّ – بِهَا صَوْتَهُ . شَكَّ الرَّاوِي . رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ ، وَقَالَ : (( حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ )) .

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia menjelaskan, “Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersin, beliau meletakkan tangannya atau pakaiannya pada mulutnya, dan merendahkan atau menundukkan suaranya.” Perawi hadits ragu-ragu antara keduanya. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, ia mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih) [HR. Abu Daud, no. 5029 dan Tirmidzi, no. 2745]

وَعَنْ أَبِي مُوْسَى – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : كَانَ اليَهُودُ يَتَعَاطَسُونَ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، يَرْجُونَ أنْ يَقُولَ لَهُمْ : يَرْحَمُكُمُ اللهُ ، فَيَقُولُ : (( يَهْدِيكُمُ اللهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ )) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ ، وَقَالَ : (( حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ )) .

Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Orang-orang Yahudi biasa berpura-pura bersin di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar beliau mengucapkan kepada mereka ‘YARHAMUKALLAH (artinya: semoga Allah merahmatimu).’ Namun, beliau langsung berkata, ‘YAHDIKUMULLAH WA YUSHLIH BAALAKUM (artinya: semoga Allah memberi kalian hidayah dan membaguskan keadaan kalian).’” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi. Tirmidzi berkata bahwa hadits ini hasan sahih) [HR. Abu Daud, no. 5038 dan Tirmidzi, no. 2739]

Hadits #884

وَعَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الخُدْرِيِّ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : (( إِذَا تَثَاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيُمْسِكْ بِيَدِهِ عَلَى فِيهِ ؛ فَإنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ )) رَوَاهُ مُسْلِمٌ .

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian akan menguap, hendaklah ia letakkan tangannya pada mulutnya, karena setan akan masuk.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 2995]

Referensi:

Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid kedua.