Minta Izin Kepada Anak Ketika Mengambil Hak Hak nya

Minta Izin Kepada Anak Ketika Mengambil Hak Hak nya 

 Di antara tuntunan dan adab orang tua kepada anaknya adalah meminta izin kepada sang anak bila orang tua ingin mengambil, meminjam, atau menggunakan sesuatu yang merupakan hak sang anak. Di antara faidah bagi tumbuh kembang anak adalah:

  1. Menunjukkan adanya perhatian orang tua terhadap anak.
  2. Sebagai sarana dalam mengajarkan adab-adab Islam ketika hendak menggunakan sesuatu yang bukan milik atau haknya.

Dengan harapan, ketika sang anak berinteraksi dengan orang lain, dia tidak akan asal ambil, tidak asal memakai milik temannya. Namun, dia akan meminta izin kepada pemilik barang tersebut terlebih dahulu.

Di antara dalil yang menunjukkan hal ini sebuah hadits yang diriwayatkan melalui shahabat Sahl bin Sa’id as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dihidangkan minuman. Lalu beliau pun meminumnya. Di sebelah kanan beliau ada seorang anak kecil dan di sebelah kiri beliau ada sekumpulan orang-orang tua. Lalu beliau bertanya kepada anak kecil tersebut, “Apakah Engkau mengizinkanku untuk memberikan sisa minumku ini kepada mereka yang di sana (para orang tua)?” Anak kecil tersebut menjawab, “Tidak, demi Allah. Aku tidak akan mendahulukan mereka atas sisa minumanmu yang sudah menjadi bagianku.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun meletakkan minuman tersebut ke tangan sang anak.” (HR. Al-Bukhari no. 5620 dan Muslim no. 2030)

Dalam riwayat lain (At-Tirmidzi no. 3455 dan Ahmad no. I/220) terdapat keterangan bahwa minuman dalam hadits ini adalah susu, anak kecil yang berada di sebelah kanan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dan orang tua yang berada di sisi kiri beliau adalah Khalid bin al-Walid radhiyallahu ‘anhu.

Adab lain yang terkait dengan meminta izin kepada anak ketika mengambil haknya adalah menjelaskan alasan kepada anak ketika kita melarangnya mengambil sesuatu yang bukan merupakan haknya dari orang lain. Atau ketika orang tua tidak menunaikan kemauan anak yang dia pikir merupakan haknya.

Di antara dalil masalah ini adalah hadits yang diriwayatkan melalui shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan,

 “Al-Hasan bin ‘Ali (cucu Nabi, pen.) mengambil sebuah kurma dari tumpukan kurma sedekah (zakat). Lalu dia meletakkan kurma itu di mulutnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Cih, cih, keluarkan itu. Tidak tahukah Engkau bahwa kita (keturunan Nabi) tidak boleh makan sedekah (zakat)? (HR. Al-Bukhari no. 1485 dan Muslim no. 1069)

Dari hadits ini dapat diambil faidah bahwa selain anak itu dilarang untuk mengambil sesuatu yang bukan haknya dan alangkah baiknya bila sang anak pun diberitahu alasan mengapa dia dilarang sehingga dia pun bisa memahaminya dan hatinya pun tidak bertanya-tanya.

Dalil lainnya adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan melalui Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, ketika ada seorang anak perempuan dan Arab Badui yang datang langsung meletakkan tangannya untuk mengambil makanan, seolah-olah keduanya terdorong oleh sesuatu. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menahan kedua tangan mereka. Kemudian beliau bersabda,

Sesungguhnya setan ingin mengambil makanan yang tidak disebut nama Allah ketika memakannya. Sungguh dia datang melalui anak perempuan ini untuk mengambilnya, maka aku pun menahannya. Demikian pula, dia pun datang pada diri Arab Badui ini untuk mengambil makanannya, lalu aku pun menahannya. Demi Allah, saat ini tangan setan itu berada di tanganku seperti tangan mereka berdua di tanganku.” (HR. Muslim no. 2017)

Metode ini pun diikuti para shahabat radhiyallahu ‘anhum. Dalil yang menunjukkannya adalah atsar yang diriwayatkan dari Qais bin ‘Abbad rahimahullah. Beliau mengatakan, “Ketika aku berada di masjid dan berada pada shaf yang terdepan, ada seorang laki-laki yang menarik aku dari belakang dengan keras. Dia menyingkirkanku dan dia berdiri di tempatku semula. Demi Allah, ketika itu pikiranku tidak lagi dalam shalat (tidak khusyuk). Ketika shalat sudah selesai, aku pun berpaling. Ternyata yang menarikku tadi adalah ‘Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhuma. Lalu pun ‘Ubay berkata,

 “Wahai anak, semoga Allah tidak menjelekkanmu. Sesungguhnya ini adalah pengajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kami, agar kami berdiri di belakangnya. (HR. An-Nasa`i no. 808 dan dinilai shahih oleh al-Albani)

***

Keutamaan Sedekah Air Minum

Keutamaan Sedekah Air Minum 

Dalam sebuah hadits dari Sa’ad bin ‘Ubadah radhiallahu’anhu, ia berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ أَفَأَتَصَدَّقُ عَنْهَا قَالَ النبي صلى الله عليه وسلم نَعَمْ قُلْتُ فَأَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ قَالَ سَقْيُ الْمَاءِ

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibu saya telah meninggal. Bolehkah saya bersedekah atas nama beliau?”. Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam menjawab: “Boleh”. Sa’ad bertanya lagi: “Sedekah apa yang paling utama, wahai Rasulullah?”. Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam menjawab: “Sedekah berupa air minum” (HR. An Nasa’i no.3666, dihasankan Al Albani dalam Shahih An Nasa’i).

Dalam riwayat lain terdapat tambahan:

قال الحسن: فتلك سِقَايَةُ آلِ سعدٍ بالمدينةِ

“Al Hasan Al Bashri mengatakan: itulah latar belakang adanya pengairan air dari Alu Sa’ad (keluarga Sa’ad bin ‘Ubadah dan keturunannya) di Madinah” (HR. Ahmad no.22459).

Bisa jadi inilah juga latar belakang banyak orang Arab yang suka bersedekah air minum dan juga banyak muhsinin (donatur) yang mewakafkan pembuatan sumur di banyak negara. Karena terdapat keutamaan yang besar dari sedekah berupa air. Dan karena air adalah unsur pokok dalam kehidupan manusia. Sehingga sedekah air memberikan manfaat yang besar bagi manusia. Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alahi wa sallam bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ أنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ibnu Hibban dalam Al Majruhin [2/1], Ath Thabrani dalam Al Ausath [5787]. Dihasankan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ no.3289).

Demikian juga, kisah pezina yang memberi minum anjing yang kehausan juga diambil faedah oleh para ulama sebagai anjuran untuk bersedekah air. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Rasullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

غُفِرَ لِامْرَأَةٍ مُومِسَةٍ مَرَّتْ بِكَلْبٍ عَلَى رَأْسِ رَكِيٍّ يَلْهَثُ قَالَ كَادَ يَقْتُلُهُ الْعَطَشُ فَنَزَعَتْ خُفَّهَا فَأَوْثَقَتْهُ بِخِمَارِهَا فَنَزَعَتْ لَهُ مِنْ الْمَاءِ فَغُفِرَ لَهَا بِذَلِكَ

“Seorang wanita pezina diampuni oleh Allah. Dia melewati seekor anjing yang menjulurkan lidahnya di sisi sebuah sumur. Anjing ini hampir saja mati kehausan. Si wanita pelacur tersebut lalu melepas sepatunya, dan dengan penutup kepalanya. Lalu dia mengambilkan air untuk anjing tersebut. Dengan sebab perbuatannya ini, dia mendapatkan ampunan dari Allah” (HR. Al Bukhari no.3321, Muslim no.2245).

Istilah al muumisah dalam hadits disebutkan maknanya dalam Lisaanul Arab,

وامرأَةٌ مُومِسٌ ومُومِسَةٌ: فاجرة زانية تميل لمُرِيدِها

“Wanita muumis atau muumisah artinya: wanita ahli maksiat, pezina, yang menggoda orang-orang yang menginginkannya”.

Syaikh Musthafa Al ‘Adawi hafizhahullah menjelaskan,

و من أفضل الصدقات الجارية سقيا الماء. ألا ترى أن أصحاب النار سألوا أهل الجنة فقالوا : أَفِيضُوا عَلَيْنَا مِنَ الْمَاءِ أَوْ مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ. وهذا أيضا في فضل سقيا الماء

“Dan di antara sedekah jariyah yang paling utama adalah memberi sedekah air minum. Tidakkah anda melihat bahwa penghuni neraka meminta minuman kepada penghuni surga. Mereka (penghuni neraka) mengatakan: ‘Berikanlah kami curahan air kepada kami, atau apa saja yang Allah berikan kepada kalian’ (QS. Al A’raf: 50). Dan hadis ini juga menunjukkan keutamaan sedekah air minum [kemudian Syaikh membawakan hadis di atas]” (Fiqhu at Ta’amul ma’al Walidain, hal. 160).

Oleh karena itu hendaknya kita bersemangat untuk bersedekah berupa air. Baik berupa sedekah air minum, pembangunan air sumur, pengairan sawah dan ladang, dan semisalnya. Semoga Allah ta’ala memberi taufik.

***

Jangan Berlebihan dalam Toleransi

Jangan Berlebihan dalam Toleransi

Sebagian kaum muslimin ada yang menggunakan salamnya dengan menggabungkan salamnya muslim dan salam non-muslim. Tujuan utamanya adalah ingin menunjukkan toleransi dan ingin menyapa lebih hangat. Hal ini TIDAK diperkenankan oleh syariat dengan alasan:

  1. Seorang muslim mencukupi diri dengan salam mereka saja sesama muslim
  2. Salam non-muslim terdapat pengangungan terhadap agama atau tuhan mereka, tentu ini melanggar prinsip dasar tauhid dan aqidah seorang muslim
  3. Apabila tujuannya ingin toleransi, maka cukup menggunakan salam secara bahasa semisal “selamat pagi atau selamat malam”. 
  4. Apabila kita menggunakan salam secara Islam saja karena kita negara mayoritas Islam, maka hal ini tidak lah mengapa, walaupun ada juga yang tidak bergama Islam. Selama kita bermaksud menujukan salam keselamatan pada muslim saja. Selama ini, inilah yang berjalan dan tidak merusak toleransi sama sekali.

Bolehkah Memulai Salam kepada non-Muslim?

Hukum asalnya seorang muslim tidak boleh memulai salam kepada non-muslim. Apabila memulai salam saja tidak boleh, maka apalagi salam menggunakan salam non-muslim?

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

لاَ تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ 

“Janganlah kalian memulai kaum Yahudi dan jangan pula kaum Nashrani dengan ucapan salam.” [HR. Muslim]

An-nawawi menjelaskan,

قال بعض أصحابنا يكره ابتداؤهم بالسلام و لا يحرم، وهذا ضعيف، لأن النهي للتحريم فالصواب تحريم ابتدائهم

“Sebagian dari ulama mazhab menyatakan makruhnya memulai salam (kepada orang kafir), tidaklah diharamkan. Pendapat ini lemah, karena (konteks) larangan menunjukkan keharaman. Yang benar adalah haram memulai salam kepada mereka.” [Al-Azkar 1/323]

Bolehkah Mendahului Salam dengan Ucapan Umum?

Perlu diketahui agama Islam bukanlah agama yang kaku total, para ulama menjelaskan bahwa boleh mendahului salam apabila ada kebutuhan dan mashlahat yang lebih besar, akan tetapi salamnya TIDAK menggunakan salam non-muslim. Gunakan salam secara bahasa misalnya selamat pagi, selamat malam atau selamat datang. Dalam al- Mausu’ah al-Fiqhiyyah disebutkan,

وإذا كانت هناك حاجة داعية إلى بدء الكافر بالتحية فلا حرج فيها حينئذٍ ، ولتكن بغير السلام ، كما لو قال له : أهلاً وسهلاً أو كيف حالك ونحو ذلك . لأن التحية حينئذ لأجل الحاجة لا لتعظيمه .

“Apabila ada kebutuhan/hajat untuk memulai salam, maka tidaklah mengapa, akan tetapi tidak menggunakan salam (doa keselamatan). (boleh) Mengatakan  ‘ahlan wa sahlan’ (selamat datang), ‘Kaifa haluk’ (bagaimana kabar) dan sejenisnya. Salam saat itu karena ada hajat, bukan untuk menghormati berlebihan’.” [Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah 25/168]

Demikian juga penjelasan Ibnul Qayyim

” و قالت طائفة – أي من العلماء – : يجوز الابتداء لمصلحة راجحة من حاجة تكون إليه ، أو خوف من أذاه ، أو لقرابة بينهما ، أو لسبب يقتضي ذلك

 “Sebagian ulama menjelaskan, boleh mendahului salam karena ada mashlahat yang lebih besar, misalnya ia membutuhkannya, takut dari gangguannya atau karena ada hubungan kerabat atau sebab lain yang menuntut ia harus memulai salam.” [Zadul Ma’ad 2/424]

Macam-Macam Salam non-Muslim

Apabila kita melihat arti dan makna salam milik non-muslim tersebut, maka terdapat makna pengagungan terhadap agama mereka dan tuhan mereka.misalnya:

Salam Agama Hindu:
Om Swastyastu artinya ‘Semoga Selamat dalam Lindungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa’

Salam Agama Budha:
Namo Buddhaya artinya ‘Terpujilah Semua Buddha’

Salam Agama Kristen:
Shalom artinya ‘Keselamatan’. [Sumber: FB ustadz Dony Arif Wibowo]

Tentu hal ini tidak tepat dan sangat fatal, kita meminta doa perlindungan dan keselamatan dengan tuhan selain Allah.

Menggunakan Salam Islam kepada non Muslim?

Kemudian perhatikan poin ke-4:

“Apabila kita menggunakan salam secara Islam saja karena kita negara mayoritas Islam, maka hal ini tidak lah mengapa, walaupun ada juga yang tidak bergama Islam, selama kita bermaksud menujukan pada muslim saja. Selama ini, inilah yang berjalan dan tidak merusak toleransi sama sekali.”

Secara hukum hal ini diperbolehkan, sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar Al-Asqalani,

جواز السلام على المسلمين إذا كان معهم كفار وينوي حينئذ بالسلام المسلمين.

“Bolehnya mengucapkan salam  kepada kaum muslimin apabila bersama mereka orang kafir dan berniat salam itu hanya untuk muslim saja.” [Fathul Bari 8/230]

Demikian semoga bermanfaat.

Bermusyawarahlah!

Bermusyawarahlah!

عليك بالمشورة

اعْلَمْ أَنَّ مِنْ الْحَزْمِ لِكُلِّ ذِي لُبٍّ أَنْ لَا يُبْرِمَ أَمْرًا وَلَا يُمْضِيَ عَزْمًا إلَّا بِمَشُورَةِ ذِي الرَّأْيِ النَّاصِحِ، وَمُطَالَعَةِ ذِي الْعَقْلِ الرَّاجِحِ. فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَمَرَ بِالْمَشُورَةِ نَبِيَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مَعَ مَا تَكَفَّلَ بِهِ مِنْ إرْشَادِهِ، وَوَعَدَ بِهِ مِنْ تَأْيِيدِهِ، فَقَالَ تَعَالَى: {وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ} [آل عمران: 159] . 

Ketahuilah bahwa di antara bentuk kematangan berpikir orang yang berakal adalah tidak mengambil keputusan atau melaksanakan tekad kecuali dengan bermusyawarah dengan orang yang memiliki pemikiran yang jernih dan tulus, dan meminta pertimbangan dari orang yang memiliki akal yang sehat. Hal ini karena Allah Ta’ala telah memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bermusyawarah meskipun Allah telah menjamin petunjuk dan menjanjikan pertolongan bagi beliau.

Allah Ta’ala berfirman:

وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ

“… dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS. Ali Imran: 159)

قَالَ قَتَادَةُ: أَمَرَهُ بِمُشَاوَرَتِهِمْ تَأَلُّفًا لَهُمْ وَتَطْيِيبًا لِأَنْفُسِهِمْ.

وَقَالَ الضَّحَّاكُ: أَمَرَهُ بِمُشَاوِرَتِهِمْ لِمَا عَلِمَ فِيهَا مِنْ الْفَضْلِ. وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -: أَمَرَهُ بِمُشَاوَرَتِهِمْ لِيَسْتَنَّ بِهِ الْمُسْلِمُونَ وَيَتْبَعَهُ فِيهَا الْمُؤْمِنُونَ وَإِنْ كَانَ عَنْ مَشُورَتِهِمْ غَنِيًّا. وَقَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: نِعْمَ الْمُؤَازَرَةُ الْمُشَاوَرَةُ وَبِئْسَ الِاسْتِعْدَادُ الِاسْتِبْدَادُ. وَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: الرِّجَالُ ثَلَاثَةٌ: رَجُلٌ تَرِدُ عَلَيْهِ الْأُمُورُ فَيُسَدِّدُهَا بِرَأْيِهِ، وَرَجُلٌ يُشَاوِرُ فِيمَا أَشْكَلَ عَلَيْهِ وَيَنْزِلُ حَيْثُ يَأْمُرُهُ أَهْلُ الرَّأْيِ، وَرَجُلٌ حَائِرٌ بِأَمْرِهِ لَا يَأْتَمِرُ رُشْدًا وَلَا يُطِيعُ مُرْشِدًا.

وَقَالَ سَيْفُ بْنُ ذِي يَزَنَ: مَنْ أُعْجِبَ بِرَأْيِهِ لَمْ يُشَاوِرْ، وَمَنْ اسْتَبَدَّ بِرَأْيِهِ كَانَ مِنْ الصَّوَابِ بَعِيدًا. وَقِيلَ فِي مَنْثُورِ الْحِكَمِ: الْمُشَاوَرَةُ رَاحَةٌ لَك وَتَعَبٌ عَلَى غَيْرِك. وَقَالَ بَعْضُ الْحُكَمَاءِ: الِاسْتِشَارَةُ عَيْنُ الْهِدَايَةِ وَقَدْ خَاطَرَ مَنْ اسْتَغْنَى بِرَأْيِهِ. وَقَالَ بَعْضُ الْأُدَبَاءِ: مَا خَابَ مَنْ اسْتَخَارَ، وَلَا نَدِمَ مَنْ اسْتَشَارَ.

وَقَالَ بَعْضُ الْبُلَغَاءِ: مِنْ حَقِّ الْعَاقِلِ أَنْ يُضِيفَ إلَى رَأْيِهِ آرَاءَ الْعُقَلَاءِ، وَيَجْمَعَ إلَى عَقْلِهِ عُقُولَ الْحُكَمَاءِ، فَالرَّأْيُ الْفَذُّ رُبَّمَا زَلَّ وَالْعَقْلُ الْفَرْدُ رُبَّمَا ضَلَّ.

وَقَالَ بَشَّارُ بْنُ بُرْدٍ:

إذَا بَلَغَ الرَّأْيُ الْمَشُورَةَ فَاسْتَعِنْ … بِرَأْيِ نَصِيحٍ أَوْ نَصِيحَةِ حَازِمِ

وَلَا تَجْعَلْ الشُّورَى عَلَيْك غَضَاضَةً … فَإِنَّ الْخَوَافِيَ قُوَّةٌ لِلْقَوَادِمِ

Qatadah rahimahullah berkata, “Allah memerintahkan Nabi untuk bermusyawarah dengan para sahabat agar dapat menunjukkan rasa cinta kepada mereka dan menyenangkan jiwa mereka.” 

Sedangkan adh-Dhahhak rahimahullah berkata, “Allah memerintahkan Nabi untuk bermusyawarah dengan para sahabat karena Allah mengetahui keutamaan dalam musyawarah.” 

Adapun al-Hasan al-Basri rahimahullah berkata, “Allah memerintahkan Nabi untuk bermusyawarah dengan para sahabat agar kaum Muslimin dapat mencontoh dan mengikuti beliau dalam bermusyawarah, meskipun beliau sebenarnya tidak membutuhkan pertimbangan dari para sahabat.” 

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sebaik-baik dukungan adalah musyawarah, dan seburuk-buruk persiapan adalah sikap sewenang-wenang (dalam mengambil keputusan).” 

Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Orang terbagi menjadi tiga macam: (1) orang yang dihadapkan dengan berbagai urusan, lalu dia menanganinya dengan pikirannya, (2) orang yang memusyawarahkan urusan yang sulit baginya, lalu dia menanganinya sesuai dengan arahan yang diberikan oleh orang-orang yang kompeten, (3) dan orang yang bingung menangani urusannya, dia tidak menanganinya dengan kecerdasan akalnya dan tidak mau menuruti arahan orang yang mengarahkannya.”

Saif bin Dziyazan berkata, “Barang siapa yang merasa takjub dengan akalnya, dia tidak akan bermusyawarah; dan barang siapa yang keras kepala dalam memegang pendapatnya, dia akan jauh dari kebenaran.”

Dalam sebuah hikmah disebutkan, “Musyawarah adalah kenyamanan bagimu dan keletihan bagi orang lain.” 

Seorang ahli hikmah berkata, “Meminta pertimbangan orang lain adalah inti petunjuk. Sungguh telah berspekulasi orang yang mencukupkan diri dengan pendapatnya.” 

Seorang ahli adab berkata, “Tidak akan kecewa orang yang melakukan istikharah, dan tidak akan menyesal orang yang bermusyawarah.” 

Seorang ahli sastra berkata, “Di antara hak orang yang berakal adalah menambahkan berbagai pendapat orang berakal lainnya kepada pendapatnya sendiri, dan menghimpun pemikiran orang-orang bijak ke dalam pemikirannya. Sebab, pemikiran yang unggul terkadang ada melesetnya, dan akal yang cerdas terkadang ada sesatnya.”

Basysyar bin Burd berkata:

إذَا بَلَغَ الرَّأْيُ الْمَشُورَةَ فَاسْتَعِنْ … بِرَأْيِ نَصِيحٍ أَوْ نَصِيحَةِ حَازِمِ
وَلَا تَجْعَلْ الشُّورَى عَلَيْك غَضَاضَةً … فَإِنَّ الْخَوَافِيَ قُوَّةٌ لِلْقَوَادِمِ

Jika pendapat harus dimusyawarahkan, maka mintalah pandangan …

Dari orang yang berpandangan tulus atau nasihat yang teguh.

Jangan jadikan musyawarah itu rendah bagimu …

Karena bulu burung bagian dalam adalah penopang kekuatan bagi bulu bagian luar.

فَإِذَا عَزَمَ عَلَى الْمُشَاوَرَةِ ارْتَادَ لَهَا مِنْ أَهْلِهَا مَنْ قَدْ اسْتَكْمَلَتْ فِيهِ خَمْسُ خِصَالٍ:

إحْدَاهُنَّ: عَقْلٌ كَامِلٌ مَعَ تَجْرِبَةٍ سَالِفَةٍ فَإِنَّ بِكَثْرَةِ التَّجَارِبِ تَصِحُّ الرَّوِيَّةُ. قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْحَسَنِ لِابْنِهِ مُحَمَّدٍ: احْذَرْ مَشُورَةَ الْجَاهِلِ وَإِنْ كَانَ نَاصِحًا كَمَا تَحْذَرُ عَدَاوَةَ الْعَاقِلِ إذَا كَانَ عَدُوًّا فَإِنَّهُ يُوشِكُ أَنْ يُوَرِّطَك بِمَشُورَتِهِ فَيَسْبِقَ إلَيْك مَكْرُ الْعَاقِلِ وَتَوْرِيطُ الْجَاهِلِ. وَقِيلَ لِرَجُلٍ مِنْ عَبْسٍ: مَا أَكْثَرَ صَوَابَكُمْ! قَالَ: نَحْنُ أَلْفُ رَجُلٍ وَفِينَا حَازِمٌ وَنَحْنُ نُطِيعُهُ فَكَأَنَّا أَلْفُ حَازِمٍ.

وَكَانَ يُقَالُ: إيَّاكَ وَمُشَاوَرَةَ رَجُلَيْنِ: شَابٌّ مُعْجَبٌ بِنَفْسِهِ قَلِيلُ التَّجَارِبِ فِي غَيْرِهِ، أَوْ كَبِيرٌ قَدْ أَخَذَ الدَّهْرُ مِنْ عَقْلِهِ كَمَا أَخَذَ مِنْ جِسْمِهِ. وَقِيلَ فِي مَنْثُورِ الْحِكَمِ: كُلُّ شَيْءٍ يَحْتَاجُ إلَى الْعَقْلِ، وَالْعَقْلُ يَحْتَاجُ إلَى التَّجَارِبِ. وَلِذَلِكَ قِيلَ: الْأَيَّامُ تَهْتِكُ لَك عَنْ الْأَسْتَارِ الْكَامِنَةِ. وَقَالَ بَعْضُ الْحُكَمَاءِ: التَّجَارِبُ لَيْسَ لَهَا غَايَةٌ، وَالْعَاقِلُ مِنْهَا فِي زِيَادَةٍ. وَقَالَ بَعْضُ الْحُكَمَاءِ: مَنْ اسْتَعَانَ بِذَوِي الْعُقُولِ فَازَ بِدَرَكِ الْمَأْمُولِ.

وَقَالَ أَبُو الْأَسْوَدِ الدُّؤَلِيُّ:

وَمَا كُلُّ ذِي نُصْحٍ بِمُؤْتِيك نُصْحَهُ … وَلَا كُلُّ مُؤْتٍ نُصْحَهُ بِلَبِيبِ

وَلَكِنْ إذَا مَا اسْتَجْمَعَا عِنْدَ صَاحِبٍ … فَحُقَّ لَهُ مِنْ طَاعَةٍ بِنَصِيبِ

Apabila seseorang telah bertekad untuk bermusyawarah, hendaklah dia mencari orang yang berkompeten dalam bidangnya, yaitu orang yang menghimpun lima sifat berikut:

Sifat pertama: Akal yang cerdas dan diiringi dengan pengalaman, karena dengan banyaknya pengalaman, pertimbangannya akan menjadi matang. 

Abdullah bin Hasan pernah berkata kepada anaknya yang bernama Muhammad, “Berhati-hatilah dari meminta saran dari orang jahil meskipun dia tulus; sebagaimana kamu juga harus berhati-hati dari permusuhan dengan orang berakal jika dia menjadi musuh. Sebab bisa-bisa orang jahil itu akan menjerumuskanmu dengan sarannya, sehingga kamu lebih dulu terjebak di antara tipu daya orang berakal dan penjerumusan orang jahil.”

Pernah dikatakan kepada seorang laki-laki dari kabilah Abs, “Betapa banyak kebenaran yang kalian miliki!” Lalu dia menanggapi, “Kami berjumlah seribu orang, dan dalam komunitas kami ada satu orang bijak yang kami taati, sehingga seakan-akan kami menjadi seribu orang bijak.”

Ada sebuah ungkapan, “Janganlah kamu meminta saran dari dua jenis orang ini: (1) seorang pemuda yang takjub dengan dirinya dan punya sedikit pengalaman dalam bidang lain. (2) seorang lansia yang akalnya telah terkikis oleh usia sebagaimana badannya juga telah terkikis olehnya.”

Ada juga ungkapan dalam sebuah hikmah, “Segala sesuatu membutuhkan akal, sedangkan akal membutuhkan pengalaman. Oleh sebab itu dikatakan bahwa hari-hari akan menyingkap bagimu tabir yang menutupi.”

Ada orang bijak yang berucap, “Pengalaman tidak ada batasnya, dan akal akan terus bertambah dengannya.” 

Ada juga orang bijak lainnya yang berkata, “Barang siapa yang meminta bantuan kepada orang-orang berakal, niscaya dia akan dapat meraih apa yang diinginkan.”

Abu al-Aswad ad-Du’ali berkata:

وَمَا كُلُّ ذِي نُصْحٍ بِمُؤْتِيك نُصْحَهُ … وَلَا كُلُّ مُؤْتٍ نُصْحَهُ بِلَبِيبِ
وَلَكِنْ إذَا مَا اسْتَجْمَعَا عِنْدَ صَاحِبٍ … فَحُقَّ لَهُ مِنْ طَاعَةٍ بِنَصِيبِ

Tidak semua orang yang tulus akan memberimu nasihat …

Dan tidak semua orang yang memberi nasihat itu cerdas.

Namun, jika dua hal ini (ketulusan dan kecerdasan) terhimpun dalam diri seseorang …

Maka dia layak untuk diikuti nasihatnya.

وَالْخَصْلَةُ الثَّانِيَةُ: أَنْ يَكُونَ ذَا دِينٍ وَتُقًى، فَإِنَّ ذَلِكَ عِمَادُ كُلِّ صَلَاحٍ وَبَابُ كُلِّ نَجَاحٍ. وَمَنْ غَلَبَ عَلَيْهِ الدِّينُ فَهُوَ مَأْمُونُ السَّرِيرَةِ مُوَفَّقُ الْعَزِيمَةِ.

وَالْخَصْلَةُ الثَّالِثَةُ: أَنْ يَكُونَ نَاصِحًا وَدُودًا، فَإِنَّ النُّصْحَ وَالْمَوَدَّةَ يُصَدِّقَانِ الْفِكْرَةَ وَيُمَحِّضَانِ الرَّأْيَ. وَقَالَ بَعْضُ الْحُكَمَاءِ: لَا تُشَاوِرْ إلَّا الْحَازِمَ غَيْرَ الْحَسُودِ، وَاللَّبِيبَ غَيْرَ الْحَقُودِ. وَقَالَ بَعْضُ الْأُدَبَاءِ: مَشُورَةُ الْمُشْفِقِ الْحَازِمِ ظَفَرٌ، وَمَشُورَةُ غَيْرِ الْحَازِمِ خَطَرٌ.

وَقَالَ بَعْضُ الشُّعَرَاءِ:

أَصْف ضَمِيرًا لِمَنْ تُعَاشِرُهُ … وَاسْكُنْ إلَى نَاصِحٍ تُشَاوِرُهُ

وَارْضَ مِنْ الْمَرْءِ فِي مَوَدَّتِهِ … بِمَا يُؤَدِّي إلَيْك ظَاهِرُهُ

مَنْ يَكْشِفْ النَّاسَ لَا يَجِدْ أَحَدًا … تَصِحُّ مِنْهُمْ لَهُ سَرَائِرُهُ

أَوْشَكَ أَنْ لَا يَدُومَ وَصْلُ أَخٍ … فِي كُلِّ زَلَّاتِهِ تُنَافِرُهُ

Sifat kedua: Orang itu agamis dan bertakwa, sebab ini adalah pilar dari segala kebaikan dan pintu bagi semua keberhasilan. Barang siapa yang tunduk kepada agama, maka dia menjadi orang yang mampu menjaga rahasia dan mendapat taufik dalam tekadnya.

Sifat ketiga: Orang itu tulus dan penyayang, karena ketulusan dan rasa kasih sayang akan menjadikannya tulus dalam berpikir dan menyaring pendapat. Ada orang bijak yang berkata, “Janganlah kamu bermusyawarah kecuali kepada orang bijak yang tidak dengki dan orang berakal yang tidak iri.” 

Seorang ahli sastra berkata, “Meminta saran dari orang yang bijak dan penuh kasih adalah keberuntungan, sedangkan meminta saran dari orang yang tidak bijak adalah mara bahaya.”

Seorang penyair berkata:

أَصْف ضَمِيرًا لِمَنْ تُعَاشِرُهُ … وَاسْكُنْ إلَى نَاصِحٍ تُشَاوِرُهُ
وَارْضَ مِنْ الْمَرْءِ فِي مَوَدَّتِهِ … بِمَا يُؤَدِّي إلَيْك ظَاهِرُهُ
مَنْ يَكْشِفْ النَّاسَ لَا يَجِدْ أَحَدًا … تَصِحُّ مِنْهُمْ لَهُ سَرَائِرُهُ
أَوْشَكَ أَنْ لَا يَدُومَ وَصْلُ أَخٍ … فِي كُلِّ زَلَّاتِهِ تُنَافِرُهُ

Jernihkanlah jiwamu bagi orang yang berinteraksi denganmu …

Dan mendekatlah kepada orang yang tulus untuk bermusyawarah dengannya.

Tuluslah dalam mencintai seseorang …

Atas perilaku yang dia tampakkan kepadamu.

Barang siapa yang mengungkap aib orang-orang, tidak akan menemui seorang pun …

Dari mereka yang tulus batinnya untuk dirinya.

Hampir tidak akan langgeng hubungan persaudaraan …

Jika kamu selalu mempermasalahkan setiap kesalahannya.

وَالْخَصْلَةُ الرَّابِعَةُ: أَنْ يَكُونَ سَلِيمَ الْفِكْرِ مِنْ هَمٍّ قَاطِعٍ، وَغَمٍّ شَاغِلٍ، فَإِنَّ مَنْ عَارَضَتْ فِكْرَهُ شَوَائِبُ الْهُمُومِ لَا يَسْلَمُ لَهُ رَأْيٌ وَلَا يَسْتَقِيمُ لَهُ خَاطِرٌ. وَقَدْ قِيلَ فِي مَنْثُورِ الْحِكَمِ: كُلُّ شَيْءٍ يَحْتَاجُ إلَى الْعَقْلِ وَالْعَقْلُ يَحْتَاجُ إلَى التَّجَارِبِ. وَكَانَ كِسْرَى إذَا دَهَمَهُ أَمْرٌ بَعَثَ إلَى مَرَازِبَتِهِ فَاسْتَشَارَهُمْ فَإِنْ قَصَّرُوا فِي الرَّأْيِ ضَرَبَ قَهَارِمَتِهِ وَقَالَ: أَبْطَأْتُمْ بِأَرْزَاقِهِمْ فَأَخْطَئُوا فِي آرَائِهِمْ. وَقَالَ صَالِحُ بْنُ عَبْدِ الْقُدُّوسِ:

وَلَا مُشِيرَ كَذِي نُصْحٍ وَمَقْدِرَةٍ … فِي مُشْكِلِ الْأَمْرِ فَاخْتَرْ ذَاكَ مُنْتَصِحًا

وَالْخَصْلَةُ الْخَامِسَةُ: أَنْ لَا يَكُونَ لَهُ فِي الْأَمْرِ الْمُسْتَشَارِ غَرَضٌ يُتَابِعُهُ، وَلَا هَوًى يُسَاعِدُهُ، فَإِنَّ الْأَغْرَاضَ جَاذِبَةٌ وَالْهَوَى صَادٌّ، وَالرَّأْيُ إذَا عَارَضَهُ الْهَوَى وَجَاذَبَتْهُ الْأَغْرَاضُ فَسَدَ. وَقَدْ قَالَ الْفَضْلُ بْنُ الْعَبَّاسِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ أَبِي لَهَبٍ:

وَقَدْ يَحْكُمُ الْأَيَّامَ مَنْ كَانَ جَاهِلًا … وَيُرْدِي الْهَوَى ذَا الرَّأْيِ وَهُوَ لَبِيبُ

وَيُحْمَدُ فِي الْأَمْرِ الْفَتَى وَهُوَ مُخْطِئٌ … وَيُعْذَلُ فِي الْإِحْسَانِ وَهُوَ مُصِيبُ

Sifat keempat: Orang itu pikirannya bebas dari kesedihan mendalam dan kegalauan yang menyibukkan, karena barang siapa yang pikirannya terpapar oleh berbagai kegalauan, maka pendapatnya tidak akan lurus dan pikirannya tidak akan jernih. 

Ada ungkapan dalam suatu hikmah, “Segala sesuatu membutuhkan akal, sedangkan akal membutuhkan pengalaman.” 

Dulu ketika raja Persia tertimpa suatu perkara, dia segera mengutus utusan kepada para menterinya untuk meminta pendapat dari mereka. Lalu apabila mereka lemah dalam memberi pendapat, dia memukul para wakilnya seraya berkata, “Kalian lambat dalam membayar gaji mereka, sehingga mereka salah dalam memberi pendapat.”

Shalih bin Abdul Quddus berkata:

وَلَا مُشِيرَ كَذِي نُصْحٍ وَمَقْدِرَةٍ … فِي مُشْكِلِ الْأَمْرِ فَاخْتَرْ ذَاكَ مُنْتَصِحًا

Tidak ada pemberi saran yang lebih baik daripada orang yang punya ketulusan dan kemampuan …

Dalam masalah-masalah suatu perkara (pengalaman), maka pilihlah orang itu sebagai pemberi saran.

Sifat kelima: Orang yang diajak musyawarah ini tidak memiliki kepentingan dan keinginan tertentu di balik urusan yang dimusyawarahkan, karena kepentingan-kepentingan itu akan menggiring pendapatnya dan keinginan-keinginan itu akan menjadi penghalang. Apabila pendapat terpapar oleh keinginan dan digiring oleh kepentingan, pasti pendapat itu akan rusak. Fadhl bin Abbas bin Utbah bin Abi Lahab berkata:

وَقَدْ يَحْكُمُ الْأَيَّامَ مَنْ كَانَ جَاهِلًا … وَيُرْدِي الْهَوَى ذَا الرَّأْيِ وَهُوَ لَبِيبُ
وَيُحْمَدُ فِي الْأَمْرِ الْفَتَى وَهُوَ مُخْطِئٌ … وَيُعْذَلُ فِي الْإِحْسَانِ وَهُوَ مُصِيبُ

Terkadang pada suatu masa akan diatur oleh orang yang jahil …

Dan hawa nafsu membinasakan orang berakal, padahal dia cerdas.

Serta seseorang dipuji dalam suatu urusan, padahal dia bersalah …

Tapi orang yang baik dicela, padahal dia berlaku benar.

فَإِذَا اسْتَكْمَلَتْ هَذِهِ الْخِصَالُ الْخَمْسُ فِي رَجُلٍ كَانَ أَهْلًا لِلْمَشُورَةِ وَمَعْدِنًا لِلرَّأْيِ، فَلَا تَعْدِلْ عَنْ اسْتِشَارَتِهِ اعْتِمَادًا عَلَى مَا تَتَوَهَّمُهُ مِنْ فَضْلِ رَأْيِك، وَثِقَةً بِمَا تَسْتَشْعِرُهُ مِنْ صِحَّةِ رَوِيَّتِك، فَإِنَّ رَأْيَ غَيْرِ ذِي الْحَاجَةِ أَسْلَمُ، وَهُوَ مِنْ الصَّوَابِ أَقْرَبُ، لِخُلُوصِ الْفِكْرِ وَخُلُوِّ الْخَاطِرِ مَعَ عَدَمِ الْهَوَى وَارْتِفَاعِ الشَّهْوَةِ وَقَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: الِاسْتِشَارَةُ عَيْنُ الْهِدَايَةِ وَقَدْ خَاطَرَ مَنْ اسْتَغْنَى بِرَأْيِهِ. وَقَالَ لُقْمَانُ الْحَكِيمُ لِابْنِهِ: شَاوِرْ مَنْ جَرَّبَ الْأُمُورَ فَإِنَّهُ يُعْطِيك مِنْ رَأْيِهِ مَا قَامَ عَلَيْهِ بِالْغَلَاءِ وَأَنْتَ تَأْخُذُهُ مَجَّانًا.

وَقَالَ بَعْضُ الْحُكَمَاءِ: نِصْفُ رَأْيِك مَعَ أَخِيك فَشَاوِرْهُ لِيَكْمُلَ لَك الرَّأْيُ. وَقَالَ بَعْضُ الْأُدَبَاءِ: مَنْ اسْتَغْنَى بِرَأْيِهِ ضَلَّ، وَمَنْ اكْتَفَى بِعَقْلِهِ زَلَّ. وَقَالَ بَعْضُ الْبُلَغَاءِ: الْخَطَأُ مَعَ الِاسْتِرْشَادِ أَحْمَدُ مِنْ الصَّوَابِ مَعَ الِاسْتِبْدَادِ.

Apabila lima sifat ini terdapat pada diri seseorang, maka dia adalah orang yang layak untuk diajak bermusyawarah dan menjadi tempat meminta pendapat. Oleh sebab itu, janganlah kamu berpaling dari meminta saran kepadanya, hanya karena sudah bersandar pada pendapatmu sendiri yang kamu anggap benar dan keyakinanmu pada kebenaran rencanamu yang kamu rasakan. Sebab, pendapat orang yang tidak memiliki kepentingan akan lebih selamat dari kesalahan, dan lebih dekat kepada kebenaran, serta lebih jernih dalam pemikiran dan lebih bijak dalam menentukan, tanpa terseret oleh hawa nafsu dan kecenderungan syahwat.

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bermusyawarah adalah inti petunjuk. Dan sungguh telah berspekulasi, orang yang mencukupkan diri dengan pendapat diri sendiri.”

Lukman al-Hakim pernah berkata kepada anaknya, “Bermusyawarahlah dengan orang yang telah berpengalaman, karena dia akan memberimu pendapat yang dia dapatkan dengan membayar mahal (melalui pengalamannya), sedangkan kamu bisa mendapatkannya dengan percuma.”

Ada orang bijak yang berkata, “Separuh pendapatmu ada pada saudaramu, maka mintalah pendapat darinya agar pendapatmu menjadi utuh sempurna.” 

Seorang ahli bahasa berkata, “Barang siapa yang mencukupkan diri dengan pendapatnya, niscaya dia akan tersesat; dan barang siapa mencukupkan diri dengan akalnya, niscaya dia akan tergelincir.” 

Seorang ahli sastra berkata, “Kesalahan yang timbul dari pendapat hasil musyawarah lebih terpuji daripada kebenaran yang didapatkan dari pendapat yang sewenang-wenang.”

Konsep Rezeki Yang Di Atur Syariat

Konsep Rezeki Yang Di Atur Syariat 

Meskipun sudah ditakdirkan, untuk memperoleh rezeki tetap ada hukum sebab-akibat atau sunnatullah yang berlaku. Artinya, untuk mendapatkan rezeki tersebut tetap dibutuhkan usaha atau menempuh sarana-sarana yang halal. Tidak ada bedanya antara rezeki dengan ajal. Ajal kita sudah ditentukan, tidak bisa menunda dan tidak bisa pula mempercepatnya.

Sebagaimana Firman Allah Ta’ala,

وَلِكُلِّ اُمَّةٍ اَجَلٌۚ فَاِذَا جَاۤءَ اَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَّلَا يَسْتَقْدِمُوْنَ

“Dan setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun.” (QS. Al-A’raf: 34)

وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللَّهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا ۚ وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Munafiqun: 11)

وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Luqman: 34)

Meskipun kita sudah tahu bahwa ajal kita sudah ditentukan, namun kita tetap berusaha menjaga kesehatan, baik dengan mengkonsumi makanan bergizi, menghindari makanan yang berbahaya, atau berolahraga secara teratur. Demikian pula kalau sakit, kita tetap berobat. Meskipun demikian, kalau sudah waktunya meninggal, mau berusaha sekuat apapun, kita tetap meninggal dunia. Akan tetapi, kita tidak tahu kapan kita meninggal, sehingga kita terus berusaha menjaga kesehatan.

Ini mirip dengan rezeki. Kita tidak tahu berapa jatah yang akan Allah Ta’ala berikan kepada kita. Tapi kita berusaha mencari rezeki, ada sebab-sebab yang Allah anjurkan agar kita mendapatkan rezeki. Sehingga meskipun rezeki kita sudah ditakdirkan, hal itu tidak menihilkan usaha. Berulang-ulang disampaikan bahwa tawakal yang benar adalah yang menggabungkan dua perkara:

Pertama, menggantungkan atau menyandarkan hati kepada Allah Ta’ala, Yang Maha memberikan rezeki.

Kedua, menempuh usaha atau ikhtiar. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ

“Bersemangatlah untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat untuk kalian, mintalah pertolongan kepada Allah, dan janganlah engkau bersikap malas (untuk mengejar perkara yang bermanfaat tersebut).” (HR. Muslim no. 2664)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَ كَّلُوْنَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ، لَرُزِقْتُم كَمَا تُرْزَقُ الطَّيْرُ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا

“Sungguh, seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung-burung (diberi rezeki). Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Tirmidzi no. 2344, 2447, Ibnu Majah no 4216, dan lain-lain. Dinilai sahih oleh Al-Albani.)

Burung tidak memiliki akal, tapi dia memiliki naluri untuk bekerja mencari makan. Dia menjalankan sebab, urusan rezeki Allah yang menentukan.

Namun yang perlu diingat, dalam mencari rezeki itu seringkali usaha tidak sesuai dengan hasil. Karena sekali lagi, yang menentukan rezeki adalah Allah. Agar kita yakin bahwa Pemberi rezeki adalah Allah. Ada orang yang bekerja keras mati-matian, namun rezekinya sedikit. Di kutub yang lain, ada orang yang santai dalam bekerja, namun rezekinya banyak karena kemudahan dari Allah. Bahkan ada orang yang tidak berusaha apa-apa, namun dia menjadi kaya raya karena mendapatkan warisan dari orang tua. Semua ini agar kita meyakini bahwa Pemberi rezeki adalah Allah Ta’ala, kita tidak sombong dengan kemampuan dan kecerdasan yang kita miliki.

Konsep ketiga: Rezeki tidak hanya terbatas pada harta benda

Allah Ta’ala berfirman,

زُيِّنَ لِلَّذِينَ كَفَرُواْ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَيَسْخَرُونَ مِنَ الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ اتَّقَواْ فَوْقَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَاللّهُ يَرْزُقُ مَن يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS. Al-Baqarah: 221)

Ketika menjelaskan ayat ini, Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata,

فالرزق الدنيوي يحصل للمؤمن والكافر، وأما رزق القلوب من العلم والإيمان، ومحبة الله وخشيته ورجائه، ونحو ذلك، فلا يعطيها إلا من يحب.

“Adapun rezeki duniawi, maka didapatkan oleh orang mukmin dan orang kafir. Adapun rezeki bagi hati, berupa ilmu dan iman, cinta kepada Allah, takut dan berharap kepada-Nya, dan semacam itu, maka tidak Allah berikan kecuali kepada orang-orang yang Dia cintai.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 95)

Jadi, rezeki tidak hanya terbatas pada urusan dunia saja. Ada rezeki untuk hati, misalnya kesabaran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنْ الصَّبْرِ

“Dan tidak ada suatu pemberian yang diberikan kepada seseorang yang lebih baik dan lebih luas daripada (diberikan) kesabaran.” (HR. Bukhari no. 1376)

Begitu pula, rezeki dunia itu tidak hanya terbatas pada harta saja. Misalnya, istri salehah. Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ

“Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita salehah.” (HR. Muslim no. 1467)

Siapa saja yang mendapatkan istri salehah, maka itu lebih baik daripada mendapatkan rumah mewah. Begitu juga rezeki berupa kesehatan. Kesehatan adalah nikmat yang sangat agung dari Allah Ta’ala di antara sekian banyak nikmat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَن أَصبَحَ آمِناً فِي سِربِهِ مُعافَىً فِي جَسَدِه عِندَّهُ طَعامُ يَومِه فَكأنَّما حِيزَتْ لَهُ الدُّنيَا

“Barangsiapa yang berada di waktu pagi dalam keadaan aman tenteram, badannya sehat, memiliki persediaan makanan yang cukup, maka seolah-olah dikumpulkan seluruh dunia untuknya.” (HR. Bukhari dalam Adaabul Mufrad no. 300. Dinilai shahih oleh Syekh Albani dalam Shahih Adabul Mufrod no. 230. Lihat Syarh Shahih Adabul Mufrod, 1: 390.)

Negeri yang aman juga merupakan rezeki yang patut disyukuri. Alhamdulillah. Kita lihat sebagian negara tidak dalam kondisi aman. Ada peperangan, perang saudara, pemberontakan, kartel narkoba, dan sebagainya. Belum lagi rezeki yang berkaitan dengan keimanan. Kita bisa salat, pergi ke masjid dengan tenang, baca Al-Quran, yang merupakan bekal kita di akhirat. Semua ini adalah rezeki luar biasa yang kadang tidak kita sadari.

Konsep keempat: Jatah rezeki tidak akan berubah, apakah diperoleh dengan cara yang halal ataukah yang haram

Ada orang yang mendapatkan rezeki dengan cara yang haram, misalnya mencuri atau memakan harta riba. Seandainya dia tinggalkan jalan yang haram tersebut, niscaya dia juga akan mendapatkan rezeki dengan jumlah (nominal) yang sama dengan cara yang halal. Tinggal dipilih, mau dengan cara yang halal atau yang haram. Hanya bedanya, jika mencari rezeki dengan cara yang halal, akan mendapatkan pahala. Sedangkan jika dengan cara yang haram, akan mendapatkan dosa.

Oleh karena itu, dalam hadis yang telah kami sebutkan di serial sebelumnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ رُوْحَ القُدُسِ نَفَثَ فِي رَوْعِي إِنَّ نَفْسًا لاَ تَمُوْتَ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رِزْقُهَا ، فَاتَّقُوْا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ ، وَلاَ يَحْمِلَنَّكُمْ اِسْتَبْطَاءَ الرِّزْقُ أَنْ تَطْلُبُوْهُ بِمَعَاصِي اللهَ ؛ فَإِنَّ اللهَ لاَ يُدْرِكُ مَا عِنْدَهُ إِلاَّ بِطَاعَتِهِ

“Sesungguhnya ruh qudus (Jibril), telah membisikkan ke dalam batinku bahwa setiap jiwa tidak akan mati sampai sempurna ajalnya dan sampai dia menghabiskan semua jatah rezekinya. Oleh karena itu, bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah cara dalam mencari rezeki. Jangan sampai tertundanya rezeki mendorong kalian untuk mencarinya dengan cara bermaksiat kepada Allah. Karena rezeki di sisi Allah tidak akan diperoleh kecuali dengan taat kepada-Nya.” (HR. Musnad Ibnu Abi Syaibah, 8: 129 dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, 8: 166, hadis sahih. Lihat Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah no. 2866)

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِىَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ

“Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar telah menghabiskan (menyempurnakan) seluruh jatah rezekinya, walaupun datangnya terlambat. Bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR. Ibnu Majah no. 2144, dinilai sahih oleh Al-Albani)

Kembali ke bagian 1: Konsep Rezeki yang Diatur dalam Syariat (Bag. 1)

Lanjut ke bagian 3: Konsep Rezeki yang Diatur dalam Syariat (Bag. 3)

***