Terlalu Kenyang Bikin Malas Ibadah

Terlalu Kenyang Bikin Malas Ibadah 

Memang betul terlalu kenyang, kadang ketika kenyang kita akan semakin malas dalam beraktivitas dan juga dalam ibadah. Ketika kenyang kita pun akan lebih senang untuk merebahkan badan untuk tidur daripada bergerak dan beraktivitas. Imam Syafi’i adalah di antara ulama yang memberi contoh pada kita agar bersikap sederhana dalam makan.

Nasehat Imam Syafi’i rahimahullah yang kami maksud adalah sebagai berikut.

Abu ‘Awanah Al Isfiroyaini berkata bahwa Ar Robi berkata bahwa ia mendengar Imam Asy Syafi’i berkata,

ما شبعت منذ ست عشرة سنة إلا مرة، فأدخلت يدي فتقيأتها

“Aku tidaklah pernah kenyang selama 16 tahun kecuali sekali. Ketika kenyang seperti itu aku memasukkan tanganku (dalam mulut) agar aku bisa memuntahkan (makanan di dalam).”

Ibnu Abi Hatim dari Ar Robi’ menambahkan (perkataan Imam Syafi’i),

لان الشبع يثقل البدن، ويقسي القلب، ويزيل الفطنة، ويجلب النوم، ويضعف عن العبادة

“Karena yang namanya kenyang membuat badan menjadi berat, hati menjadi keras, kecerdasan berkurang, lebih banyak tidur dan malas ibadah.” (Siyar A’lamin Nubala, 10: 36)

Mengenai hadits yang menganjurkan makan sebelum kenyang sebenarnya dho’if. Akan tetapi maknanya benar dan bisa diamalkan. Dan sebenarnya makan sampai kenyang tidaklah masalah ketika tidak sampai menimbulkan bahaya.

Syaikh ‘Abdul Aziz bin ‘Abdillah bin Baz ditanya: Bagaimana keshahihan hadits berikut:

نحن قوم لا نأكل حتى نجوع وإذا أكلنا لا نشبع

Kita (kaum muslimin) adalah kaum yang hanya makan bila lapar dan berhenti makan sebelum kenyang.“

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjawab:

Hadits ini memang diriwayatkan dari sebagian sahabat yang bertugas sebagai utusan, namun sanadnya dhaif. Diriwayatkan bahwa para sahabat tersebut berkata dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:

نحن قوم لا نأكل حتى نجوع وإذا أكلنا لا نشبع

“Kita (kaum muslimin) adalah kaum yang hanya makan bila lapar dan berhenti makan sebelum kenyang“

Maksudnya yaitu bahwa kaum muslimin itu hemat dan sederhana.

Maknanya benar, namun sanadnya dho’if, silakan periksa di Zaadul Ma’ad dan Al Bidayah Wan Nihayah. Faidahnya, bahwa seseorang baru makan sebaiknya jika sudah lapar atau sudah membutuhkan. Dan ketika makan, tidak boleh berlebihan sampai kekenyangan. Adapun rasa kenyang yang tidak membahayakan, tidak mengapa. Karena orang-orang di masa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan masa selain mereka pun pernah makan sampai kenyang. Namun mereka menghindari makan sampai terlalu kenyang. Terkadang Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengajak para sahabat ke sebuah jamuan makan. Kemudian beliau menjamu mereka dan meminta mereka makan. Kemudian mereka makan sampai kenyang. Setelah itu barulah shallallahu’alaihi wa sallam makan beserta para sahabat yang belum makan.

Terdapat hadits, di masa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, ketika sedang terjadi perang Khondaq, Jabir bin Abdillah Al Anshari mengundang Nabi shallallahu’alaihi wa sallam untuk memakan daging sembelihannya yang kecil ukurannya beserta sedikit gandum. Kemudian Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengambil sepotong roti dan daging, kemudian beliau memanggil sepuluh orang untuk masuk dan makan. Mereka pun makan hingga kenyang kemudian keluar. Lalu dipanggil kembali sepuluh orang yang lain, dan demikian seterusnya. Allah menambahkan berkah pada daging dan gandum tadi, sehingga bisa cukup untuk makan orang banyak, bahkan masih banyak tersisa, hingga dibagikan kepada para tetangga.

Dan suatu hari, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menyajikan susu pada Ahlus Shuffah (salah satunya Abu Hurairah, pent). Abu Hurairah berkata, “Aku minum sampai puas”. Kemudian Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Ayo minum lagi, Abu Hurairah“. Maka aku minum. Kemudian Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Ayo minum lagi“. Maka aku minum lagi. Kemudian Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Ayo minum lagi“. Maka aku minum lagi, lalu aku berkata “Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, tidak lagi aku dapati tempat untuk minuman dalam tubuhku”. Kemudian Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mengambil susu yang tersisa dan meminumnya. Semua ini adalah dalil bolehnya makan sampai kenyang dan puas yang wajar, selama tidak membahayakan. (Sumber: http://www.ibnbaz.org.sa/mat/38)[1]

Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah (7: 1651-1652) berkata bahwa hadits “Kita (kaum muslimin) adalah kaum yang hanya makan bila lapar dan berhenti makan sebelum kenyang“ adalah  ‘laa ashla lahu’ (tidak ada asalnya). Istilah ‘laa ashla lahu’ dalam mustholah hadits ada dua makna: (1) tidak ada sanadnya, (2) memiliki sanad tetapi tidak shahih.[2]

Sebaik-baik muslim adalah yang bersikap sederhana dalam makan dan keuntungan atau manfaatanya sangat luar biasa sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Syafi’i.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.


[1] Dinukil dari tulisan saudara Yulian

[2] Lihat di sini: http://www.ahlalhdeeth.com/vb/archive/index.php/t-49898.html.

Menolak Kebenaran Dan Merendahkan Orang Lain

Menolak Kebenaran Dan Merendahkan Orang Lain 

Sombong ada dua jenis:

  1. Menolak kebenaran.
  2. Merasa lebih baik di hadapan orang lain, atau merendahkan mereka.

Sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi -shallallahu’alaihiwasallam- di dalam sabdanya:

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ، وَغَمْطُ النَّاسِ

“Sombong adalah menolak kebenaran merendahkan manusia.” (HR. Muslim)

Menolak kebenaran digolongkan sebagai wujud dari sombong karena, hakikat kesombongan adalah perasaan lebih tinggi dan lebih sempurna. Orang yang menolak kebenaran dia sedang merasa lebih tinggi dan lebih sempurna dari kebenaran yang sampai kepadanya.  Demikian pula merendahkan orang lain disebut sombong karena seorang tidaklah merendahkan orang lain kecuali karena merasa lebih sempurna dan lebih baik dari yang lain.

Syekh Abdurrahman As Sa’di rahimahullah menerangkan dua model sombong ini:

وبهذا التفسير الجامع الَّذِي ذكره النَّبِيُّ يتضح هذا المعنى غاية الاتضاح؛ فإنه جعل الكبر نوعين:

كبر النوع الأول: على الحق، وهو ردُّه وعدم قبوله. فكُلُّ مَن ردَّ الحقِّ؛ فإِنَّه مستكبر عنه بحسب ما ردَّ مِنَ الحقِّ . وذلك أنه فرض على العباد أن يخضعوا

للحق الذي أرسل الله به رسله، وأنزل به كتبه.
فالمتكبرون عن الانقياد للرُّسُل بالكلية كُفَّارٌ مُخَلَّدُونَ فِي النَّارِ؛ فَإِنَّه جَاءَهم الحق على أيدي الرُّسُل مؤيَّدًا بالآيات والبراهين. فقام الكبر في قلوبهم مانعا، فرَدُّوه.

قال تعالى: ﴿وإِنَّ الَّذِينَ يُجدِلُونَ فِي ايتِ اللَّهِ بِغَيْرِ سُلْطَيْنِ أَنَّهُمْ إِن في صُدُورِهِمْ إِلَّا كِبَرُ مَا هُم بِلِغِيهِ ﴾ [غافر : ٥٦]
وأمَّا المُتكبرون عن الانقياد لبعض الحقِّ الَّذِي يخالف رأيهم وهواهم: فهم – وإن لم يكونوا كُفَّارًا – فإنَّ معهم من موجبات العقاب بحسب ما معهم من الكير وما تأثرُوا به من الامتناع عن قبول الحَقِّ الَّذِي تبين لهم بعد مجيء الشَّرع به، ولهذا أجمع العلماء أنَّ من استبانت له سُنَّة رسول الله لم يحل له أن يعدل عنها

تقول أحدٍ كائناً مِنَ النَّاسِ مَن كان.
وأما الكبر على الخلق وهو -النوع الثاني- فهو غمطهم واحتقارهم وذلك ناشئ عن عجب الإنسان بنفسه وتعاظمه عليه، فالعجب بالنفس يحمل على التكبر على

الخلق واحتقارهم والاستهزاء بهم وتنقيصهم بقوله وفعله

“Penjelasan Nabi tentang sombong ini sungguh sempurna,memberikan pemahaman sangat jelas terhadap makna sombong. Beliau membagi kesombongan menjadi dua jenis:

Yang pertama, sombong terhadap kebenaran, yang mencakup penolakan alias tidak mau menerima.

Setiap orang yang menolak kebenaran, dia sedang bersikap sombong, kadar besar kecilnya kesombongam sesuai dengan kadar penolakannya terhadap kebenaran tersebut. Hal ini karena diharapkan dari setiap hamba untuk patuh terhadap kebenaran yang Allah sampaikan melalui rasul-Nya dan wahyu-Nya dalam kitab-kitab-Nya.

Mereka yang menunjukkan sikap sombong dengan menolak sepenuhnya ajaran  Rasul dianggap sebagai kafir yang akan menghuni Neraka selamanya. Meskipun kebenaran disampaikan kepada mereka melalui para Rasul dengan dukungan tanda-tanda dan bukti yang jelas, namun kesombongan muncul dalam hati mereka telah menghalangi dari kebenaran, sehingga mereka menolaknya. Allah ta’ala menyatakan,

إِنَّ الَّذِينَ يُجَادِلُونَ فِي آيَاتِ اللَّهِ بِغَيْرِ سُلْطَانٍ أَتَاهُمْ ۙ إِن فِي صُدُورِهِمْ إِلَّا كِبْرٌ مَّا هُم بِبَالِغِيهِ ۚ

“Sesungguhnya orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat itu tidak diberi kekuasaan oleh Allah  , sesungguhnya di dalam dada mereka hanya ada kesombongan yang tidak dapat mereka atasi.” (Ghafir: 56)

Adapun orang yang sombong dalam pada sebagian kebenaran, karena tidak sesuai dengan pandangan dan keinginannya, meskipun tidak sampai dihukumi kafir, mereka telah menerjang sebab-sebab datangnya hukuman Allah, yang sesuai dengan kadar kesombongan yang ada dan kadar penolakannya terhadap kebenaran yang telah jelas. Oleh karena itu, para ulama sepakat bahwa bila hadis-hadis Rasulullah telah sampai pada siapapun dia, maka tidaklah halal baginya untuk beralih memilih pandangan yang lain sebagai pijakan.

Jenis kedua, sombong kepada makhluk.

Yaitu dengan merendahkan dan meremehkan makhluk tersebut. Sikap ini muncul karena seseorang merasa bangga (ujub) kepada dirinya dan menyombongkan diri. Sifat ujubnya seseorang akan tercermin dalam perilaku meremehkan dan mengolok-olok orang lain dengan kata-kata atau Tindakan))[1]

Dalam kitab Al-Adab Al-Mufrad, ada riwayat dengan derajat sanad yang Hasan

قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا الشِّرْكُ قَدْ عَرَفْنَاهُ، فَمَا الْكِبْرُ ؟ هُوَ أَنْ يَكُونَ لأَحَدِنَا حُلَّةٌ يَلْبَسُهَا؟ قَالَ: «لا»، قِيلَ: «فَهُوَ أَنْ يَكُونَ لِأَحَدِنَا نَعْلَانِ حَسَنَتَانِ لَهُمَا شِرَاكَانِ

حَسَنَانِ؟ قَالَ: «لا»، قَالَ: فَهُوَ أَنْ يَكُونَ لِأَحَدِنَا دَابَّةٌ يَرْكَبُهَا؟ قَالَ: «لا»، قَالَ: «فَهُوَ أَنْ يَكُونَ لِأَحَدِنَا أَصْحَابٌ يَجْلِسُونَ إِلَيْهِ؟ قَالَ: «لا»، قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ،

فَمَا الْكِبْرُ؟» قَالَ: «سفَهُ الْحَقُّ، وَغَمْصُ النَّاسِ»،.

Seseorang bertanya kepada Rasulullah,

“Ya Rasulallah, tentang syirik kami telah mengetahui, namun tentang sombong, apa gerangan kesombongan itu? Apakah sombong itu seseorang yang mengenakan pakaian mewah?

“Bukan itu.” Jawab Nabi.

Orang ini bertanya kembali, “Ataukah seorang yang memiliki sepatu yang bagus?”

Nabi menjawab, “Bukan..”

“Atau seorang yang memiliki hewan tunggangan?”

Nabi menjawab, “Bukan..”

“Ataukah seorang yang memiliki teman yang mendampingi?”

Nabi menjawab, “Bukan..”

Kemudian orang tersebut bertanya kembali, “Lantas apa yang dimaksud sombong itu?”

Beliau menjelaskan, “Sombong adalah merendahkan kebenaran dan meremehkan orang lain.”[2]

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sombong terdiri dari dua jenis: menolak kebenaran meskipun posisi ia sebagai oran yang sangat minoritas. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits di Sahih Muslim:

«أَنَّ رَجُلًا عِندَ رَسُولِ اللهِ أَكَلَ بِشِمَالِهِ، فَقَالَ رسول الله : «كُلْ بِيَمِينِكَ، قَالَ: «لَا أَسْتَطِيعُ»، قَالَ النَّبِيُّ عليه الصلاة والسلام: «لَا اسْتَطَعْتَ، مَا مَنَعَهُ إِلَّا الْكِبْرُ،

فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فيه

Ada seorang yang makan dengan tangan kirinya. Lalu mendapatkan teguran dari Rasulullah. Kemudian orang tersebut menjawab,”Aku tak bisa makan dengan tangan kanan.”

Rasulullah berkata, “Kalau begitu kamu benar-benar tidak akan mampu. Allah-lah yang menghalanginya.”[3] (HR. Muslim)

Ini mencerminkan kesombongan, yang menjadi sumber ketidakmampuan untuk menerima kebenaran.

Kedua, keburukan dan dosa lahir dari kesombongan, membuat seseorang menolak kebenaran dan tidak mampu menerimanya. Banyak perbuatan yang muncul dari kesombongan, dan orang yang terjerumus ke dalamnya biasanya dikendalikan oleh kesombongan yang tumbuh dalam hatinya.

Dalam hadits yang disebutkan di atas, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- menyatakan,

«لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبرٍ»

“Tidak akan masuk surga siapa pun yang dalam hatinya ada kesombongan seberat atom.” (HR. Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa kesombongan merupakan sifat yang tumbuh di dalam hati. Lalu akan tercermin dalam tindakan yang tampak, dengan sikap menolak kebenaran dan merendahkan masyarakat. Seseorang yang sombong meremehkan dan merendahkan orang lain, sambil memandang dirinya lebih baik dari mereka.

Kemudian hukuman yang akan menimpa orang yang sombong, sejenis dengan kesombongannya. Karena hukuman akan sejenis dengan dosa yang dikerjakan. Sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Tirmidzi, Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam menyatakan bahwa

يُحْشَرُ الْمُتَكَبِّرُونَ يَوْمَ القِيَامَةِ أَمْثَالَ الذَّرِّ فِي صُورِ الرِّجَالِ، يَغْشَاهُمُ الذلُّ مِنْ كُلِّ مَكَان

“Pada hari kiamat, orang-orang sombong akan dikumpulkan seperti atom dalam gambaran manusia, dan kehinaan akan menyelimuti mereka dari segala arah.”[4]

Wallahulmuwaffiq….

________________________________

[1] Bahjah Qulub Al Abrar, karya As Sa’di (hal 165-166).

[2] Riwayat Bukhari di Al Adab Al Mufrad (548), dan dishahihkan oleh Al Bani.

[3] Riwayat Muslim (2021).

[4] Riwayat Al Tirmidzi (2492), dan dihasankan Al Bani.


Referensi:

Al-Badr, Abdurazzaq bin Abdulmuhsin, (1444H). Ahadits Ishlah Al-Qulub, Dar Imam Muslim, Madinah, Saudi Arabia.

Menjadi Ibu, Profesi Terbaik Seorang Wanita

Menjadi Ibu, Profesi Terbaik Seorang Wanita 

Bagaimana tidak? Minimalnya ada 13 ayat Al-Qur’an yang memerintahkan kita untuk berbakti kepada ibu! Di antaranya, Allah Ta’ala berfirman,

وَوَصَّيْنَا الإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.” (QS. Luqman: 14)

Allah Ta’ala berfirman,

وَوَصَّيْنَا الإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَاناً حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهاً وَوَضَعَتْهُ كُرْهاً وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْراً

“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan.” (QS. Al-Ahqaf: 15)

Demikian juga di dalam hadis, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

إنَّ اللَّهَ حرَّمَ عليكم عقوقَ الأمَّهاتِ ، ومنعًا وَهاتِ ، ووأدَ البناتِ وَكرِه لَكم : قيلَ وقالَ ، وَكثرةَ السُّؤالِ ، وإضاعةَ المالِ

“Sesungguhnya Allah mengharamkan sikap durhaka kepada para ibu, sifat pelit, dan tamak, mengubur anak perempuan hidup-hidup. Dan Allah juga tidak menyukai qiila wa qaala (menyebarkan kabar burung), banyak bertanya, dan membuang-membuang harta.” (HR. Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 593)

Tidak ada profesi yang begitu dimuliakan di dalam Al-Qur’an dan As Sunnah seperti ini!

Dalam syair yang terkenal disebutkan:

الام مدرسة اذا أعددتها * اعددت شعبا طيب الاعراق

الام روض ان تعهده الحيا * بالري أورق أيما ايراق

الام أستاذ الاساتذة الاولى * شغلت مأثرهم مدى الافاق

“Ibu bagaikan sekolah, jika engkau siapkan mereka dengan baik, maka engkau telah menyiapkan bibit dari masyarakat yang harum (baik).

Ibu adalah taman jika engkau merawatnya. Ia akan tumbuh segar dengan dipenuhi dedaunan rindang.

Ibu adalah guru pertama dari para guru. Peran mereka dirasakan sampai ke ujung ufuk.”

Para ibu memiliki peran krusial terhadap kondisi moral masyarakat suatu bangsa. Bahkan, para ibu disebut sebagai pemimpin untuk urusan rumah dan anak-anak. Dalam hadis dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, di dalamnya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِىَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ

“ … seorang istri adalah pemimpin terhadap urusan rumah suaminya dan urusan anaknya, ia akan ditanya (di akhirat) tentang semua itu…” (HR. Bukhari no. 7138)

Para ibu adalah manager dalam perusahaan rumahnya! Maka, profesi sebagai seorang ibu, adalah profesi terbaik bagi seorang wanita. Wahai para ibu yang pontang-panting mengurus rumah dan anak, tidak ada cela sama sekali bagimu, engkau adalah orang-orang terbaik di antara kami. Jasamu sangatlah besar untuk negeri ini!

***

Kaya Bukan Diukur Dengan Banyak Harta

Kaya Bukan Diukur Dengan Banyak Harta 

Orang kaya pastikah selalu merasa cukup? Belum tentu. Betapa banyak orang kaya namun masih merasa kekurangan. Hatinya tidak merasa puas dengan apa yang diberi Sang Pemberi Rizki. Ia masih terus mencari-cari apa yang belum ia raih. Hatinya masih terasa hampa karena ada saja yang belum ia raih.

Coba kita perhatikan nasehat suri tauladan kita. Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

“Kaya bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya (ghina’) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051)

Dalam riwayat Ibnu Hibban, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat berharga kepada sahabat Abu Dzar. Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata,

قَالَ لِي رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَا أَبَا ذَرّ أَتَرَى كَثْرَة الْمَال هُوَ الْغِنَى ؟ قُلْت : نَعَمْ . قَالَ : وَتَرَى قِلَّة الْمَال هُوَ الْفَقْر ؟ قُلْت : نَعَمْ يَا رَسُول اللَّه . قَالَ : إِنَّمَا الْغِنَى غِنَى الْقَلْب ، وَالْفَقْر فَقْر الْقَلْب

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku, “Wahai Abu Dzar, apakah engkau memandang bahwa banyaknya harta itulah yang disebut kaya (ghoni)?” “Betul,” jawab Abu Dzar. Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau memandang bahwa sedikitnya harta itu berarti fakir?” “Betul,” Abu Dzar menjawab dengan jawaban serupa. Lantas beliau pun bersabda, “Sesungguhnya yang namanya kaya (ghoni) adalah kayanya hati (hati yang selalu merasa cukup). Sedangkan fakir adalah fakirnya hati (hati yang selalu merasa tidak puas).” (HR. Ibnu Hibban. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)

Inilah nasehat dari suri tauladan kita. Nasehat ini sungguh berharga. Dari sini seorang insan bisa menerungkan bahwa banyaknya harta dan kemewahan dunia bukanlah jalan untuk meraih kebahagiaan senyatanya. Orang kaya selalu merasa kurang puas. Jika diberi selembah gunung berupa emas, ia pun masih mencari lembah yang kedua, ketiga dan seterusnya. Oleh karena itu, kekayaan senyatanya adalah hati yang selalu merasa cukup dengan apa yang Allah beri. Itulah yang namanya qona’ah. Itulah yang disebut dengan ghoni (kaya) yang sebenarnya.

Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Hakikat kekayaan sebenarnya bukanlah dengan banyaknya harta. Karena begitu banyak orang yang diluaskan rizki berupa harta oleh Allah, namun ia tidak pernah merasa puas dengan apa yang diberi. Orang seperti ini selalu berusaha keras untuk menambah dan terus menambah harta. Ia pun tidak peduli dari manakah harta tersebut ia peroleh. Orang semacam inilah yang seakan-akan begitu fakir karena usaha kerasnya untuk terus menerus memuaskan dirinya dengan harta. Perlu dikencamkan baik-baik bawa hakikat kekayaan yang sebenarnya adalah kaya hati (hati yang selalu ghoni, selalu merasa cukup). Orang yang kaya hati inilah yang selalu merasa cukup dengan apa yang diberi, selalu merasa qona’ah (puas) dengan yang diperoleh dan selalu ridho atas ketentuan Allah. Orang semacam ini tidak begitu tamak untuk menambah harta dan ia tidak seperti orang yang tidak pernah letih untuk terus menambahnya. Kondisi orang semacam inilah yang disebut ghoni (yaitu kaya yang sebenarnya).”

Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan pula, “Orang yang disifati dengan kaya hati adalah orang yang selalu qona’ah (merasa puas) dengan rizki yang Allah beri. Ia tidak begitu tamak untuk menambahnya tanpa ada kebutuhan. Ia pun tidak seperti orang yang tidak pernah letih untuk mencarinya. Ia tidak meminta-minta dengan bersumpah untuk menambah hartanya. Bahkan yang terjadi padanya ialah ia selalu ridho dengan pembagian Allah yang Maha Adil padanya. Orang inilah yang seakan-akan kaya selamanya.

Sedangkan orang yang disifati dengan miskin hati adalah kebalikan dari orang pertama tadi. Orang seperti ini tidak pernah qona’ah (merasa pus) terhadap apa yang diberi. Bahkan ia terus berusaha kerus untuk menambah dan terus menambah dengan cara apa pun (entah cara halal maupun haram). Jika ia tidak menggapai apa yang ia cari, ia pun merasa amat sedih. Dialah seakan-akan orang yang fakir, yang miskin harta karena ia tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah diberi. Oran inilah orang yang tidak kaya pada hakikatnya.

Intinya, orang yang kaya hati berawal dari sikap selalu ridho dan menerima segala ketentuan Allah Ta’ala. Ia tahu bahwa apa yang Allah beri, itulah yang terbaik dan akan senatiasa terus ada. Sikap inilah yang membuatnya enggan untuk menambah apa yang ia cari.”

Perkataan yang amat bagus diungkapkan oleh para ulama:

غِنَى النَّفْس مَا يَكْفِيك مِنْ سَدّ حَاجَة فَإِنْ زَادَ شَيْئًا عَادَ ذَاكَ الْغِنَى فَقْرًا

“Kaya hati adalah merasa cukup pada segala yang engkau butuh. Jika lebih dari itu dan terus engkau cari, maka itu berarti bukanlah ghina (kaya hati), namun malah fakir (miskinnya hati).”[1]

An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Kaya yang terpuji adalah kaya hati, hati yang selalu merasa puas dan tidak tamak dalam mencari kemewahan dunia. Kaya yang terpuji bukanlah dengan banyaknya harta dan terus menerus ingin menambah dan terus menambah. Karena barangsiapa yang terus mencari dalam rangka untuk menambah, ia tentu tidak pernah merasa puas. Sebenarnya ia bukanlah orang yang kaya hati.”[2]

Namun bukan berarti kita tidak boleh kaya harta. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنِ اتَّقَى وَالصِّحَّةُ لِمَنِ اتَّقَى خَيْرٌ مِنَ الْغِنَى وَطِيبُ النَّفْسِ مِنَ النِّعَمِ

“Tidak apa-apa dengan kaya bagi orang yang bertakwa. Dan sehat bagi orang yang bertakwa itu lebih baik dari kaya. Dan bahagia itu bagian dari kenikmatan.” (HR. Ibnu Majah no. 2141 dan Ahmad 4/69. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dari sini bukan berarti kita tercela untuk kaya harta, namun yang tercela adalah tidak pernah merasa cukup dan puas (qona’ah) dengan apa yang Allah beri. Padahal sungguh beruntung orang yang punya sifat qona’ah. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ

“Sungguh sangat beruntung orang yang telah masuk Islam, diberikan rizki yang cukup dan Allah menjadikannya merasa puas dengan apa yang diberikan kepadanya.” (HR. Muslim no. 1054)

Sifat qona’ah dan selalu merasa cukup itulah yang selalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minta pada Allah dalam do’anya. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

أنَّ النبيَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يقول : (( اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a: “Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina” (Ya Allah, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf dan ghina).” (HR. Muslim no. 2721). An Nawawi –rahimahullah- mengatakan, “”Afaf dan ‘iffah bermakna menjauhkan dan menahan diri dari hal yang tidak diperbolehkan. Sedangkan al ghina adalah hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada apa yang ada di sisi manusia.”[3]

Saudaraku … milikilah sifat qona’ah, kaya hati yang selalu merasa cukup dengan apa yang Allah beri. Semoga Allah menganugerahkan kita sekalian sifat yang mulia ini.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Panggang-GK, 1 Jumadits Tsani 1431 H (14/05/2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Majalah Pengusaha Muslim, dipublish ulang oleh http://www.rumasyho.com

[1] Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 11/272, Darul Ma’rifah.

[2] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, 7/140, Dar Ihya’ At Turots.

[3] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 17/41.

Alloh Tidak Akan Bosan Sampai Kalian Bosan

Alloh Tidak Akan Bosan Sampai Kalian Bosan

Bismillah

Hadis tersebut adalah bersumber dari Ibunda ‘Aisyah -radhiyallahu’anha-, beliau menyampaikan,

دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدِي امْرَأَةٌ ،

“Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam-, menemuiku saat aku sedang bersama seorang wanita. Aku sampaikan kepada beliau,

امْرَأَةٌ لَا تَنَامُ ، تُصَلِّي

“Beliau ini shalat terus tidak pernah tidur.”

Lantas Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda

 عَلَيْكُمْ مِنْ الْعَمَلِ مَا تُطِيقُونَ فَوَاللَّهِ لَا يَمَلُّ اللَّهُ حَتَّى تَمَلُّوا وَكَانَ أَحَبَّ الدِّينِ إِلَيْهِ مَا دَاوَمَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ .

Hendaknya kalian beramal sesuai kemampuan, demi Allah, Allah tidak akan bosan sampai kalian bosan. Ibadah  yang paling Allah cintai adalah yang dilakukan dengan konsisten.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Makna hadis ini adalah, Allah tidak akan pernah bosan memberi seorang pahala atas ibadah atau amal kebaikan yang mereka lakukan, hingga ia bosan dengan amalan tersebut. Sebagaimana penjelasan di dalam Fatawa Islam Sual wal Jawab,

إن قوله : (لا يمل حتى تملوا) يراد به بيان أنه مهما عملت من عمل فإن الله يجازيك عليه ، فاعمل ما بدا لك فإن الله لا يمل من ثوابك حتى تمل من العمل ، وعلى هذا فيكون المراد بالملل لازم الملل

“Makna Nabi ﷺ ‘Allah tidak akan bosan sampai kalian bosan’ dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa apa pun amal yang kamu lakukan, Allah akan memberimu ganjaran atasnya. Maka, lakukanlah amal sebanyak yang kamu mampu, karena Allah tidak akan bosan memberi pahala sampai kamu sendiri bosan beramal. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan ‘bosan’ di sini adalah konsekuensi dari rasa bosan yang terjadi pada kebosanan hamba dari suatu ibadah  itu sendiri.”

Kemudian, ada tambahan keterangan yang amat penting tentang hadis ini dari para ulama ahlussunnah, bahwa hadis ini berbicara tentang sifat Allah yaitu Al-Malal (bosan), namun perlu kita yakini di saat membaca dalil yang berisi sifat-sifat yang tampak negatif dari satu sisi, bahwa Allah tersucikan dari segala sifat tidak baik. Sifat ini saat menjadi salahsatu sifat Allah, terjadi sebagai respon terhadap kebosanan seorang hamba dari amal kebaikan. Bukan sifat yang ada tanpa adanya sebab. Sehingga dalam pemahaman yang demikian, sifat ini justru menunjukkan kesempurnaan Allah yang maha kuasa dan mulia.

Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Syaikh rahimahullah berkata:

” (فإن الله لا يمل حتى تملوا) من نصوص الصفات ، وهذا على وجه يليق بالباري لا نقص فيه ، كنصوص الاستهزاءِ والخداع فيما يتبادر “

“Sabda (Nabi ﷺ) ‘Sesungguhnya Allah tidak akan bosan sampai kalian bosan’ termasuk dari teks-teks sifat (Allah), dan ini harus dipahami dengan cara yang sesuai dengan keagungan Allah, tanpa mengandung kekurangan apa pun, seperti halnya teks-teks tentang ‘istihza’ (olok-olok) dan ‘khida’ (tipu daya), sebagaimana yang dipahami secara langsung.” (Fatawa Syaikh, 1/179).

Wallahua’lam bis showab.

Hidupmu Peluang Emasmu

Hidupmu Peluang Emasmu

Bismillah

Mari kita mencoba menghayati hadis yang mulia ini untuk betul-betul memahami bahwa hidup anda adalah peluang emas anda untuk sukses.

Dari Abdullah bin Abbas -radhiyallahu’anhuma-, dari Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- beliau bersabda,

نعمتان مغبوك فيهما كثير من الناس، الصحة والفراغ

“Ada dua nikmat yang seringkali dilupakan oleh kebanyakan orang, yaitu sehat dan waktu luang.” (HR. Bukhari)

___________

Orang-orang sukses selalu orang yang sangat menghargai waktu. Bagi mereka, waktu adalah kekayaan yang mahal, terlebih jika bersama dengan kesehatan, maka tak ada mata uang apapun yang bisa membayar harganya. Dalam kitab Al-Arba’un At-Tathowwuriyyah ada penjelasan menarik tentang ini,

فالاستثمار فِي الوقت مع الصحة أفضل تجارة،
فصاحبها رابح دائماً ، فهما رأس المال، والمفرط فيهما خاسر دائماً ، فلذلك وصفه النبي  صلى الله عليه وسلم بأنه مغبون، أي خاسر

“Berinvestasi dalam waktu bersama kesehatan adalah perdagangan terbaik. Pemiliknya selalu untung, karena keduanya adalah modal utama. Orang yang menyia-nyiakan keduanya akan selalu rugi. Oleh karena itu, Nabi Muhammad ﷺ menggambarkannya sebagai orang yang tertipu, yaitu orang yang merugi.” (hal. 53).

Mengapa dua nikmat ini yang disinggung di dalam hadis di atas?

Pertama karena memang dua nikmat ini yang paling mudah dilalaikan. Padahal kedua nikmat ini adalah harta paling mahal yang dimiliki manusia. Sebagaimana dinyatakan dalam syair Arab:

الوقتُ أنفسُ ما عُنِيتَ بحفظهِ
وأراهُ أسهلَ ما عليكَ يضيعُ

“Waktu adalah hal paling berharga yang seharusnya kau jaga,
Namun aku melihatnya sebagai hal yang paling mudah kau sia-siakan.”

Kedua, karena dua hal ini jika bergabung lalu disadari nilainya dan disyukuri, maka dua hal ini dengan izin Allah akan menjadi kunci kesuksesan seorang. Sebagaimana keterangan dalam kitab Al-arba’un At-tathowwuriyyah,

وذلك أن الصحة البدنية والعقلية و النفسية هي القوة التي يستثمر فيها
الإنسان وقته، فالصحة هي القوة المحركة، والفراغ هو الحيز الزمني
لفعل هذه القوة، وهما رأس مال الإنسان فإن أحسن استثمارهما كان
رابحاً ، وإن أخفق كان مغبوناً خاسراً

“Kesehatan, baik fisik, mental, maupun emosional, adalah sumber kekuatan yang memungkinkan seseorang memanfaatkan waktunya dengan baik. Kesehatan menjadi penggerak, sementara waktu luang adalah kesempatan untuk mewujudkan potensi tersebut. Keduanya adalah aset berharga dalam hidup kita. Jika kita bisa menggunakannya dengan bijak, kita akan meraih kesuksesan. Namun, jika kita menyia-nyiakannya, kita hanya akan menyesal dan merasa kehilangan.” (Hal. 53)

Dan juga keterangan dari Imam As-Suyuti -rahimahullah-,

 معناه أن الإنسان لا يتفرغ للطاعة إلا إذا كان مكفيا صحيح البدن فقد يكون مستغنيا ولا يكون صحيحا ، وقد يكون صحيحا ولا يكون مستغنيا فلا يكون متفرغا للعلم والعمل لشغله بالكسب ، فمن حصل له الأمران وكسل عن الطاعة فهو المغبون أي الخاسر في التجارة مأخوذ من الغبن في البيع .

“Maknanya adalah, seseorang tidak dapat sepenuhnya fokus pada ketaatan kecuali jika ia tercukupi dengan memiliki tubuh yang sehat. Mungkin seseorang memiliki kecukupan materi, tetapi tidak sehat, atau sehat tetapi tidak tercukupi secara materi, sehingga tidak memiliki waktu luang untuk ilmu dan amal karena sibuk mencari nafkah. Maka, siapa pun yang memiliki keduanya (kecukupan materi dan kesehatan), tetapi malas untuk beribadah, dialah yang tertipu, yaitu orang yang merugi dalam perdagangan, seperti halnya kerugian dalam jual beli.” (Tuhfatul Ahwadzi).

Untuk mudah memahami, perilaku seorang terhadap waktu luang dan sehatnya bisa dibagi kepada klasifikasi berikut:

  1. Memanfaatkan sehat dan waktunya –> sukses.
  2. Punya sehat akan tetapi tidak punya waktu –> rugi.
  3. Punya waktu, akan tetapi tidak punya sehat –> rugi.
  4. Tidak punya waktu dan tidak punya sehat –> rugi.

Satu-satunya orang yang sukses adalah yang punya waktu dan sehat lalu ia manfaatkan semaksimal mungkin. Mayoritasnya adalah jalan menuju kerugian, inilah mengapa kedua nikmat ini lebih mudah untuk dilupakan dan tidak dimanfaatkan.

Maka, jadilah orang yang manfaatkan sehat dan manfaatkan waktu anda dengan sebaik mungkin.

Semoga Allah memberikan taufik untuk anda…

Referensi:

Al-‘Ajin, Ali bin Ibrahum (2021), Al-Arba’un At-Tatwiriyyah; 40 Haditsan fi Tatwir Az-Dzat wa Asbab An-Najah. Naqatech.

Tuhfatul Ahwadzi Syarah Sunan At-Tirmidzi, Al-Mubarakfuri.

Minum khamr termasuk dosa besar

Minum khamr termasuk dosa besar

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Dosa besar (الكبائر)” adalah yang di dalamnya terdapat hukuman hadd (hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan berdasarkan ijtihad penguasa kaum muslimin) di dunia dan juga hukuman di akhirat. Seperti zina, mencuri, menuduh wanita baik-baik berzina (qadzaf), maka perbuatan tersebut terdapat hukuman hadd di dunia. Kemudian dosa yang di dalamnya terdapat hukuman di akhirat, yaitu ancaman khusus, semisal dosa yang di dalamnya terdapat murka dan laknat dari Allah, dan juga ancaman neraka. Dijauhkan dari surga, seperti sihir, sumpah palsu, kabur dari perang, durhaka kepada orang tua, persaksian palsu, minum khamr, dan semisalnya. Hal ini berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas dan Sufyan bin ‘Uyainah radhiallahu ‘anhuma, Ahmad bin Hanbal rahimahullah dan ulama lainnya. (Majmu’ Fatawa 11/558) (1)

Oleh karena itu, indikator suatu dosa dikatakan sebagai dosa besar adalah:

1) Ditetapkannya hukum hadd secara syariat bagi pelakunya di dunia.

2) Terdapat ancaman khusus berupa murka dan laknat Allah, dan ancaman neraka.

3) Terdapat ancaman berupa dijauhkan dari surga.

Adanya hukuman hadd kepada peminum khamr

Dalil tentang haramnya khamr sudah sangat banyak, baik di Al-Quran maupun As-Sunnah. Dan ada juga dalil tentang adanya hukuman hadd bagi peminum khamr. Terdapat hadis dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, didatangkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seorang yang telah minum khamr. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lantas mencambuknya dengan pelepah kurma sebanyak kurang lebih empat puluh kali. Dan itulah yang dilakukan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. Di masa Umar bin Khattab, beliau radhiallahu ‘anhu meminta saran kepada sahabat, muncul saran dari Abdurrahman bin ‘Auf radhiallahu ‘anhu bahwa jumlah hukuman hadd yang paling ringan adalah delapan puluh cambukan (yaitu, sebagaimana hukuman hadd karena tuduhan zina tanpa bukti). Umar radhiallahu ‘anhu kemudian memerintahkan hal tersebut untuk diterapkan di masanya. (HR. Bukhari no. 6776 dan Muslim no. 1706, terjemahan ini berdasarkan lafal Muslim).

Bentuk hukuman hadd kepada peminum khamr

Minuman yang jika diminum dalam jumlah banyak memabukkan, maka sedikitnya pun haram, baik itu khamr (fermentasi dari anggur), nabidz (fermentasi dari air kurma dan selainnya), dan yang lainnya yang memabukkan. Barangsiapa yang meminumnya dan dia statusnya baligh, berakal, muslim, tidak dipaksa, mengetahui keharamannya, maka harus dikenai hukuman hadd, yaitu empat puluh kali cambukan bagi orang merdeka, dan dua puluh cambukkan bagi budak. Penguasa boleh menambahkan sampai delapan puluh kali cambukan untuk orang merdeka, dan empat puluh kali cambukkan untuk budak.

Meskipun sudah tobat, peminum khamr tetap dihukum

Barangsiapa yang sudah ditetapkan hadd untuknya dan kemudian dia bertobat, maka hukuman hadd tersebut tidaklah gugur. Karena hukuman hadd gugur hanya pada penyamun ketika dia bertobat sebelum ditangkap.

Minum khamr tetap tidak boleh, meskipun untuk pengobatan

Meminum sesuatu yang memabukkan juga tidak diperbolehkan dalam keadaan apapun termasuk dalam hal pengobatan dan sangat kehausan (kecuali dalam keadaan tersedak dan ketika itu hanya ada khamr yang dapat melepaskannya dari sedakan tersebut.) Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau ditanya tentang pengobatan menggunakan khamr,

إنها ليست بدواء, ولكنها داء

Sesungguhnya (khamr) itu bukan obat, melainkan (khamr) itu penyakit.” (HR. Muslim no. 1984)

Jika tidak ada obat yang suci lain; dan jika tidak segera diobati, maka akan membinasakan seseorang; maka berobat dengan khamr diperbolehkan sebatas kadar seperlunya saja. Hal ini sebagaimana hukum berobat dengan sesuatu yang najis karena darurat. (3)

Khamr dan babi sama haramnya, namun level dosanya berbeda

Sebagaimana amal saleh itu bertingkat-tingkat pahalanya, begitu juga kemaksiatan pun bertingkat-tingkat dosanya. Berbeda dengan peminum khamr, tidak ada hukuman hadd secara syariat yang diberlakukan untuk pemakan babi. Sebab pengharaman babi hanyalah karena babi adalah hewan yang kotor (4). Allah Ta’ala berfirman,

فَإِنَّهُ رِجْس

Karena itu kotor.” (QS. Al-An’am: 145)

Dan juga yang terpenting adalah babi diharamkan mutlak oleh syariat, seorang muslim harus taat akan hal itu sebagaimana haramnya khamr. Selain itu, tidak ada dalil yang menyatakan makan babi termasuk dosa besar. Meskipun begitu, hukumnya tetap haram bagi seorang muslim.

Menyedihkan, tidak ada rasa malu dalam berbuat kemaksiatan

Hal yang ingin ditekankan di sini adalah, banyak kaum muslim yang mengira bahwa yang haram bagi seorang muslim hanyalah babi. Banyak yang tercatat di dalam identitasnya sebagai seorang muslim. Akan tetapi, dengan santainya minum khamr meskipun mengklaim mereka tidak makan babi. Bahkan di masakan-masakan tertentu masih banyak yang mengandung khamr dan tetap digunakan meskipun haram dengan dalih, ‘memang seperti itu resep aslinya’ atau ‘jika tidak pakai, tidak enak.’ Ada pula mereka yang minum khamr dengan dalih ‘tidak asik jika tidak kumpul-kumpul tanpa minum’. Bahkan mereka tampakkan maksiat mereka tersebut di sosial media. Tidak ada rasa malu dalam berbuat kemaksiatan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

 إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ

“Jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu.” (HR. Bukhari no. 3484) (5)

Allahul musta’an. Semoga kita dijauhkan dari hal tersebut.

***

Penulis: Triani Pradinaputri

Artikel Muslimah.or.id

Referensi:

  1. https://shamela.ws/book/7289/6003
  2. Al-Maqdisi, Abu Muhammad Abdul Ghaniy bin Abdul Wahid. (wafat 600 H). Cet. 2005. Umdatul Ahkam min Kalami Khairil Anam. Darul Atsar. Shan’a, Yaman.
  3. Al-Mishri, Ibn Naqib, (wafat 869 H). Cet. 2010. Umdatus Salik wa ‘Uddatun Nasik. Dar Ibnu Hazm. Beirut. Lebanon.

Alloh SWT Tidak Mengampuni Dosa Syirik

Alloh SWT Tidak Mengampuni Dosa Syirik 

Di antara bahaya kesyirikan yang membuatnya menjadi perkara paling berbahaya bagi setiap manusia, adalah bahwa orang yang meninggal dalam keadaan membawa dosa selain syirik maka bisa jadi Allah adzab atau bisa jadi Allah ampuni. Adapun dosa syirik, maka tidak Allah ampuni. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisa: 48)

Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata tentang ayat ini:

وقد دلت هذه الآية الكريمة على أن جميع الذنوب التي دون الشرك تحت مشيئة الله سبحانه، وهذا هو قول أهل السنة والجماعة، خلافا للخوارج والمعتزلة ومن سلك مسلكهما من أهل البدع

“Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa seluruh dosa selain syirik itu di bawah kehendak Allah Subhaanahu. Ini adalah keyakinan Ahlussunnah wal Jama’ah. Berbeda dengan keyakinan Khawarij dan orang-orang yang mengikuti manhaj Khawarij dari kalangan ahlul bid’ah” (Majmu’ Fatawa Mutanawwi’ah, 10/70).

Allah Ta’ala juga berfirman:

إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

“Sesungguhnya orang yang berbuat syirik terhadap Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun” (QS. Al Maidah: 72).

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat ini:

أي فقد أوجب له النار وحرم عليه الجنة كما قال تعالى ” إن الله لا يغفر أن يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء”

“Maksudnya, Allah wajibkan mereka (orang yang berbuat syirik) masuk neraka dan Allah haramkan mereka masuk surga. Sebagaimana Allah juga berfirman (yang artinya): Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya” (Tafsir Ibnu Katsir).

Sebagaimana juga dijelaskan dalam hadits dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

الظلمُ ثلاثةٌ ، فظُلمٌ لا يغفرُهُ اللهُ ، وظلمٌ يغفرُهُ ، وظلمٌ لا يتركُهُ ، فأمّا الظلمُ الذي لا يغفرُهُ اللهُ فالشِّركُ ، قال اللهُ : إِنَّ الْشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ ، وأمّا الظلمُ الذي يغفرُهُ اللَّهُ فَظُلْمُ العبادِ أنفسُهمْ فيما بينهُمْ وبينَ ربِّهمْ ، وأمّا الظلمُ الّذي لا يتركُهُ اللهُ فظُلمُ العبادِ بعضُهمْ بعضًا حتى يَدِينَ لبعضِهِمْ من بعضٍ

“Kezaliman ada tiga: kezaliman yang tidak Allah ampuni, kezaliman yang Allah ampuni dan kezaliman yang tidak mungkin dibiarkan oleh Allah.

Adapun kezaliman yang tidak Allah ampuni, itu adalah kesyirikan. Allah berfirman: kesyirikan adalah kezaliman yang paling fatal.

Adapun kezaliman yang Allah ampuni adalah kezaliman seorang hamba pada dirinya sendiri, antara ia dengan Allah.

Adapun kezaliman yang tidak mungkin dibiarkan oleh Allah adalah kezaliman hamba pada orang lain sampai kezaliman tersebut terbayar.” (HR. Abu Daud Ath Thayalisi [2223], Abu Nu’aim dalam Al Hilyah [6/ 309], dihasankan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ no. 3961).

Allah Ampuni Pelaku Kesyirikan Yang Bertaubat

Ayat-ayat dan hadits di atas adalah mengenai orang yang mati dalam keadaan belum bertaubat dari kesyirikan. Maka mereka wajib diadzab di neraka. Adapun orang yang sudah bertaubat dari kesyirikan, tetap Allah Ta’ala ampuni. Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Az Zumar: 53).

Sebagaimana dalam hadits dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَن مات لا يشركُ باللهِ شيئًا دخل الجنةَ ، ومَن مات يشركُ باللهِ شيئًا دخل النارَ

“Barangsiapa yang mati, tanpa berbuat syirik kepada Allah sedikitpun, ia masuk surga. Barangsiapa yang mati dalam keadaan membawa dosa syirik, maka ia masuk neraka” (HR. Muslim no. 93).

Hadits ini menunjukkan ancaman neraka itu bagi orang yang mati dalam keadaan membawa dosa syirik. Syaikh As Sa’di menjelaskan surat An Nisa ayat 48 di atas:

وهذه الآية الكريمة في حق غير التائب، وأما التائب، فإنه يغفر له الشرك فما دونه كما قال تعالى: { قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا } أي: لمن تاب إليه وأناب.

“Ayat yang mulia ini bicara tentang orang yang belum bertaubat. Adapun orang yang sudah bertaubat dari kesyirikan, maka Allah ampuni dosa syiriknya dan dosa lainnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya): Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”(QS. Az Zumar: 53), yaitu bagi orang yang bertaubat dan berinabah” (Tafsir As Sa’di).

Sebagaimana para sahabat Nabi ridhwanullah ‘alaihim  ‘ajma’in, dahulu mereka berada dalam kesyirikan di masa jahiliyyah. Namun mereka telah menerima Islam dan bertaubat dari kesyirikan, kemudian menjadi orang-orang yang Allah ridhai. Allah berfirman tentang para sahabat Nabi:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar” (QS. At Taubah: 100).

Menunjukkan bahwa orang yang bertaubat dari kesyirikan sebelum ajalnya, akan Allah ampuni dosanya, bahkan menjadi orang yang lebih mulia.

Pelaku Dosa Syirik Ada Dua Macam

Berdasarkan hadits Jabir di atas, orang yang mati dalam keadaan membawa dosa syirik, wajib masuk neraka. Namun keadaan mereka dirinci. Jika kesyirikan yang mereka lakukan adalah syirik ashghar maka mereka akan dikeluarkan dari neraka, karena syirik ashghar tidaklah menafikan tauhid secara total. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:

كل عمل قولي أو فعلي أطلق عليه الشارع وصف الشرك لكنه لا ينافي التوحيد منافاة مطلقة

“Syirik ashghar adalah setiap amalan, baik berupa perkataan atau perbuatan, yang disebut sebagai kesyirikan oleh syariat, atau disifati dengan kesyirikan, namun tidak menafikan tauhid secara total” (Syarah Kasyfusy Syubuhat dan Al Ushul As Sittah, hal. 115).

Sedangkan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

يَخْرُجُ مِن النارِ مَن قال: لا إلهَ إلا اللهُ ، وفي قلبِه وزنُ شعيرةٍ مِن خيرٍ ، ويَخْرُجُ مِن النارِ مَن قال: لا إله إلا الله ، وفي قلبِه وزنُ بُرَّةٍ مِن خيرٍ ، ويَخْرُجُ مِن النارِ مَن قال: لا إلهَ إلا اللهُ ، وفي قلبِه وزنِ ذرَّةٍ مِن خيرٍ

“Akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dan di dalam hatinya ada sebiji gandum kebaikan. akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dan di dalam hatinya ada sebiji burr kebaikan. akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dan di dalam hatinya ada sebiji sawi kebaikan” (HR. Bukhari no. 44).

Maka orang yang mati dalam keadaan membawa dosa syirik, wajib diadzab di neraka sebagaimana ditunjukkan oleh ayat-ayat dan hadits-hadits. Namun jika kesyirikan yang ia lakukan adalah syirik ashghar, mereka tidak kekal di neraka. Adapun jika syirik akbar –wal ‘iyyadzu billah– maka mereka kekal di neraka. Syaikh Muhammad bin Abdil Aziz Al Qar’awi rahimahullah menjelaskan:

من مات على الشرك دخل النار فإن كان شركا أكبر خلد فيها و إن كان شركا أصغر عذب ما شاء الله له أن يعذب ثم يخرج

“Orang yang mati membawa dosa syirik maka ia masuk neraka. Jika syiriknya syirik akbar maka ia kekal di neraka, jika syiriknya syirik asghar maka ia diadzab sesuai kehendak Allah kemudian ia dikeluarkan dari neraka” (Al Jadid Syarah Kitab At Tauhid, 59).

Semoga Allah menjauhkan kita dari kesyirikan dan menjauhkan kita dari adzab neraka. Wabillahi at taufiq wa sadaad.

Sebelum Menyesal Karena Salah Pilih Suami

Sebelum Menyesal Karena Salah Pilih Suami 

Urusan jodoh memang urusan Allah, jika sudah ditakdirkan maka kita tak kuasa untuk mengubahnya. Tetapi sebelum kita berjodoh dengan seseorang, kita sama sekali tak tahu siapa jodoh kita. Oleh karena itu, kewajiban kita adalah ikhtiar dan berusaha mencari jodoh sebaik mungkin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اعْمَلُوا، فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ

“Beramallah kalian, karena masing-masing dimudahkan (untuk melakukan sesuatu yang telah ditakdirkan untuknya).” (HR. Muslim no. 2648)

Tak sedikit kami mendengar curahan hati para wanita muslimah yang merasa menyesal telah berjodoh dengan suaminya sekarang. Ungkapannya mungkin tidak tegas, tetapi sikapnya mencerminkan hal tersebut. Lelaki yang dulu terlihat sempurna ternyata menyimpan banyak cacat. Lelaki yang dulu diharap menjadi pelindung ternyata menjadi perundung.

Sebelum menyesal, teliti terlebih dahulu sebelum menikah. Minta bantuan orang lain untuk menilai dan menyelidiki lelaki yang ingin dinikahi atau lelaki yang pantas dinikahi. Jangan merasa percaya diri semua cukup dengan penilaian sendiri.

Bagi seorang wanita muslimah, meminta restu dan penilaian ayahnya merupakan langkah yang sangat tepat. Dia adalah sosok lelaki yang paling menginginkan kebaikan untuk anaknya dan tidak mungkin menyandingkan anaknya dengan lelaki bejat. Mungkin inilah di antara hikmah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ

“Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali.” (HR. Abu Daud no. 2085)

Status ayah bukan hanya sebagai wali yang mengucap kalimat ijab saat menikahkan anaknya. Lebih dari itu, dia adalah lelaki yang paling berhak dimintai pertimbangannya ketika seorang wanita hendak mencari lelaki pendamping hidup, sebab yang tahu bejatnya lelaki adalah sesama lelaki.

Para wanita ketika menimbang sesuatu kerap kali prematur, parsial, dan dipengaruhi oleh tendensi perasaan. Hal itulah yang membuat sebagian wanita menyesal telah menikah dengan suaminya sekarang. Berbeda dengan penilaian ayahnya, ayahnya lebih mengedepankan logika, analisis obyektif, dan pertimbangan jangka panjang. Dia akan memilih pemuda yang baik agamanya plus akhlaknya. Dia akan mencari pemuda yang bertanggung jawab, siap bekerja keras dan bermental tangguh. Dia akan pilihkan yang benar-benar pantas mendampingi serta membimbing anaknya.

Tangisan dan Rintihan Penghuni Neraka

Tangisan dan Rintihan Penghuni Neraka
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَقَالُواْ لَا تَنفِرُواْ فِي ٱلۡحَرِّۗ قُلۡ نَارُ جَهَنَّمَ أَشَدُّ حَرّٗاۚ لَّوۡ كَانُواْ يَفۡقَهُونَ ٨١ فَلۡيَضۡحَكُواْ قَلِيلٗا وَلۡيَبۡكُواْ كَثِيرٗا جَزَآءَۢ بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ [التوبة:81، 82]

“…dan mereka berkata: “Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini”. Katakanlah: “Api neraka Jahannam itu lebih sangat panas(nya)” jika mereka Mengetahui.   Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan”. [At-Taubah/9: 81-82]

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَهُمۡ يَصۡطَرِخُونَ فِيهَا رَبَّنَآ أَخۡرِجۡنَا نَعۡمَلۡ صَٰلِحًا غَيۡرَ ٱلَّذِي كُنَّا نَعۡمَلُۚ أَوَ لَمۡ نُعَمِّرۡكُم مَّا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَن تَذَكَّرَ وَجَآءَكُمُ ٱلنَّذِيرُۖ فَذُوقُواْ فَمَا لِلظَّٰلِمِينَ مِن نَّصِيرٍ [فاطر: ٣٧] 

“Dan mereka berteriak di dalam neraka itu: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan”. dan apakah kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? Maka rasakanlah (azab kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun”. [Faathir/35: 37]

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

لَهُمۡ فِيهَا زَفِيرٞ وَهُمۡ فِيهَا لَا يَسۡمَعُونَ [الانبياء: ١٠٠] 

“Mereka merintih di dalam api dan mereka di dalamnya tidak bisa mendengar”. [Al-Anbiyaa/21`: 100].

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَإِذَآ أُلۡقُواْ مِنۡهَا مَكَانٗا ضَيِّقٗا مُّقَرَّنِينَ دَعَوۡاْ هُنَالِكَ ثُبُورٗا ١٣ لَّا تَدۡعُواْ ٱلۡيَوۡمَ ثُبُورٗا وَٰحِدٗا وَٱدۡعُواْ ثُبُورٗا كَثِيرٗا [الفرقان: ١٣،  ١٤] 

Dan apabila mereka dilemparkan ke tempat yang sempit di neraka itu dengan dibelenggu, mereka di sana mengharapkan kebinasaan. (akan dikatakan kepada mereka): “Jangan kamu sekalian mengharapkan satu kebinasaan, melainkan harapkanlah kebinasaan yang banyak”. [Al-Furqaan/25: 13-14]

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَيَوۡمَ يَعَضُّ ٱلظَّالِمُ عَلَىٰ يَدَيۡهِ يَقُولُ يَٰلَيۡتَنِي ٱتَّخَذۡتُ مَعَ ٱلرَّسُولِ سَبِيلٗا [الفرقان: ٢٧] 

Dan (Ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya seraya berkata: “Aduhai kiranya (dulu) Aku mengambil jalan bersama-sama Rasul”. [Al-Furqaan/25: 27].

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

كَذَٰلِكَ يُرِيهِمُ ٱللَّهُ أَعۡمَٰلَهُمۡ حَسَرَٰتٍ عَلَيۡهِمۡۖ وَمَا هُم بِخَٰرِجِينَ مِنَ ٱلنَّارِ [البقرة: ١٦٧] 

Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: “Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.” Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka”. [Al-Baqarah/2: 167]

Dari Abdullah bin Qais Radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


إِنَّ أَهْلَ النَّارِ لَيَبْكُوْنَ حَتَّى لَوْ أُجْرِيَتِْ السُّفُنُ فِى دُمُوْعِهِمْ لَجَرَتْ, وَإِنَّهُمْ لَيَبْكُوْنَ الدَّمَ –يَعْنِي- مَكَانَ الدَّمْعِ.

“Sesungguhnya penghuni neraka terus menangis, sehingga seandainya kapal-kapal dilabuhkan pada air mata mereka, niscaya ia bisa berlabuh. Dan sesungguhnya meraka menangis darah –maksudnya- di tempat air mata.” HR. Ibnu Majah dan al-Hakim.[1]

Teriakan Para Penghuni Neraka.
Apabila para penghuni neraka sudah memasuki neraka dan merasakan siksaan berat, maka mereka meminta tolong dan berteriak barangkali mereka mendapatkan orang yang menolong dan memenuhi permintaan mereka. Maka mereka memanggil para penghuni surga, para penjaga neraka, dan Malik penjaga neraka. Dan mereka berseru kepada Rabb mereka. Maka mereka tidak mendapatkan jawaban kecuali apa yang menambah kerugian mereka. Sampai akhirnya mereka kehilangan harapan, dan terus berteriak dan merintih.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَنَادَىٰٓ أَصۡحَٰبُ ٱلنَّارِ أَصۡحَٰبَ ٱلۡجَنَّةِ أَنۡ أَفِيضُواْ عَلَيۡنَا مِنَ ٱلۡمَآءِ أَوۡ مِمَّا رَزَقَكُمُ ٱللَّهُۚ قَالُوٓاْ إِنَّ ٱللَّهَ حَرَّمَهُمَا عَلَى ٱلۡكَٰفِرِينَ [الاعراف: ٤٩] 

“Dan penghuni neraka menyeru penghuni syurga: “Limpahkanlah kepada kami sedikit air atau makanan yang Telah dirizkikan Allah kepadamu”. Mereka (penghuni surga) menjawab: “Sesungguhnya Allah Telah mengharamkan keduanya itu atas orang-orang kafir”. [Al-A’raaf/7:50]

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَقَالَ ٱلَّذِينَ فِي ٱلنَّارِ لِخَزَنَةِ جَهَنَّمَ ٱدۡعُواْ رَبَّكُمۡ يُخَفِّفۡ عَنَّا يَوۡمٗا مِّنَ ٱلۡعَذَابِ ٤٩ قَالُوٓاْ أَوَ لَمۡ تَكُ تَأۡتِيكُمۡ رُسُلُكُم بِٱلۡبَيِّنَٰتِۖ قَالُواْ بَلَىٰۚ قَالُواْ فَٱدۡعُواْۗ وَمَا دُعَٰٓؤُاْ ٱلۡكَٰفِرِينَ إِلَّا فِي ضَلَٰلٍ [غافر: ٤٩،  ٥٠] 

“Dan orang-orang yang berada dalam neraka berkata kepada penjaga-penjaga neraka Jahannam: “Mohonkanlah kepada Tuhanmu supaya dia meringankan azab dari kami barang sehari”. Penjaga Jahannam berkata: “Dan apakah belum datang kepada kamu rasul-rasulmu dengan membawa keterangan-keterangan?” mereka menjawab: “Benar, sudah datang”. penjaga-penjaga Jahannam berkata: “Berdoalah kamu”. dan doa orang-orang kafir itu hanyalah sia-sia belaka”. [Ghafiir/40: 49-50]

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَنَادَوۡاْ يَٰمَٰلِكُ لِيَقۡضِ عَلَيۡنَا رَبُّكَۖ قَالَ إِنَّكُم مَّٰكِثُونَ ٧٧ لَقَدۡ جِئۡنَٰكُم بِٱلۡحَقِّ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَكُمۡ لِلۡحَقِّ كَٰرِهُونَ [الزخرف: ٧٧،  ٧٨] 

Mereka berseru: “Hai Malik biarlah Tuhanmu membunuh kami saja”. dia menjawab: “Kamu akan tetap tinggal (di neraka ini)”.  Sesungguhnya kami benar-benar telah memhawa kebenaran kepada kamu tetapi kebanyakan di antara kamu benci pada kebenaran itu. [Az-Zukhruf/43: 77-78]

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

قَالُواْ رَبَّنَا غَلَبَتۡ عَلَيۡنَا شِقۡوَتُنَا وَكُنَّا قَوۡمٗا ضَآلِّينَ ١٠٦ رَبَّنَآ أَخۡرِجۡنَا مِنۡهَا فَإِنۡ عُدۡنَا فَإِنَّا ظَٰلِمُونَ [المؤمنون : ١٠٦،  ١٠٧] 

“Mereka berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah dikuasai oleh kejahatan kami, dan adalah kami orang-orang yang sesat. Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami daripadanya (dan kembalikanlah kami ke dunia), Maka jika kami kembali (juga kepada kekafiran), Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim.”  Allah berfirman: “Tinggallah dengan hina di dalamnya, dan janganlah kamu berbicara dengan Aku”. [Al-Mukminun/23: 106-108]


Maka apabila para penghuni neraka sungguh telah kehilangan harapan bisa keluar dari neraka dan merasa putus asa dari segala kebaikan, mulailah mereka berteriak dan merintih, seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَأَمَّا ٱلَّذِينَ شَقُواْ فَفِي ٱلنَّارِ لَهُمۡ فِيهَا زَفِيرٞ وَشَهِيقٌ ١٠٦ خَٰلِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ إِلَّا مَا شَآءَ رَبُّكَۚ إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٞ لِّمَا يُرِيدُ [هود: ١٠٦،  ١٠٧] 

“Adapun orang-orang yang celaka, Maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih),.  Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang dia kehendaki”. [Huud/11: 106-107]

Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kemurkaan, kebencian, dan siksa-Nya. Ya Allah, berilah kami rizqi surga dan selamatkanlah kami dari siksa neraka. Engkau adalah pelindung kami. Sebaik-baik pelindung dan penolong.

Para Penghuni Surga Mewarisi Tempat Tinggal Para Penghuni Neraka (yang ada di Surga).
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ لَهُ مَنْزِلاَنِ: مَنْزِلٌ فِى الْجَنَّةِ وَمَنْزِلٌ فِى النَّارِ. فَإِذَا مَاتَ فَدَخَلَ النَّارَ وَرِثَ أَهْلُ الْجَنَّةِ مَنْزِلَهُ فَذلِكَ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡوَٰرِثُونَ ١٠ ٱلَّذِينَ يَرِثُونَ ٱلۡفِرۡدَوۡسَ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ  ﴾ [المؤمنون : ١٠،  ١١]  . أخرجه ابن ماجه

“Tidak ada seorangpun di antara kalian kecuali dia mempunyai dua tempat: satu di surga dan satu tempat di neraka. Apabila seseorang meninggal dunia, lalu masuk ke dalam neraka, maka para penghuni surga mewarisi tempatnya. Maka itulah makna firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:

أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡوَٰرِثُونَ ١٠ ٱلَّذِينَ يَرِثُونَ ٱلۡفِرۡدَوۡسَ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ [المؤمنون : ١٠،  ١١]

Mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi.  (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus, mereka kekal di dalamnya”. HR. Ibnu Majah.[2]

Ξ Penghuni Neraka yang Paling Berat Siksanya

[Disalin dari مختصر الفقه الإسلامي (Ringkasan Fiqih Islam Bab :  Tauhid dan keimanan التوحيد والإيمان ). Penulis Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri  Penerjemah Team Indonesia islamhouse.com : Eko Haryanto Abu Ziyad dan Mohammad Latif Lc. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2012 – 1433]


Footnote
[1] Hasan HR. Ibnu Majah no 4324, dan al-Hakim no. 8791, ini adalah lafazhya. Lihat: as-Silsilah ash-Shahihah no. 1679.
[2] Shahih HR. Ibnu Majah no. 4341, Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3503

Hukum Meditasi Dalam Islam

Hukum Meditasi Dalam Islam 

Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), meditasi adalah pemusatan pikiran dan perasaan untuk mencapai sesuatu. Meditasi banyak dikenal sebagai cara untuk menenangkan diri, meningkatkan konsentrasi, dan penyembuhan diri.

Merunut sejarahnya, meditasi adalah praktik kuno yang berasal dari India dan diadopsi oleh banyak agama di seluruh dunia. Catatan tertulis tertua tentang meditasi berasal dari Weda Hindu sekitar tahun 1500 SM. Taurat juga memuat deskripsi tentang meditasi Yahudi yang kemungkinan besar dipraktikkan sekitar tahun 1000 SM.  Meditasi juga tercatat sebagai sebuah ritual dalam agama Buddha dan Kristen. Semuanya melakukan meditasi demi mewujudkan satu tujuan, yaitu pemusatan pikiran dan perasaan untuk meraih ketenangan diri, meningkatkan konsentrasi, atau bahkan berharap tercapainya kesejahteraan hidup.

Di zaman modern ini, meditasi dibungkus dan dilabeli ulang dengan sedemikian rupa sehingga membuat banyak dari kalangan kaum muslimin yang terkecoh dan akhirnya ikut serta melakukannya. Ada yang menamakannya dengan metode mindfullness (perhatian penuh), metode fokus, atau metode-metode lainnya.

Bagaimanakah Islam memandang meditasi ini? Apakah hukumnya boleh untuk dilakukan atau justru ini di antara perkara-perkara yang harus dihindari?

Meditasi identik dengan ritual Hindu dan Buddha

Sebelum menghukumi sesuatu, seorang muslim harus terlebih dahulu mengetahui hakikatnya dan gambaran besarnya. Sebagaimana disebutkan oleh Syekh Utsaimin rahimahullah,

ومن القواعد المعروفة المقررة عند أهل العلم: الحكم على الشيء فرع عن تصوره؛ فلا تحكمْ على شيء إلا بعد أن تتصوره تصوُّرًا تامًّا؛ حتى يكون الحكم مطابقًا للواقع، وإلا حصل خللٌ كبيرٌجدًّا

Di antara kaidah yang sudah dikenal dan sudah ditetapkan di antara para ulama adalah, ‘Menghukumi/menilai sesuatu itu buah dari mengerti esensinya.’ Maka, janganlah menghukumi/menilai sesuatu, kecuali sesudah memahami hakikat sesuatu itu secara lengkap, agar hukum yang kita berikan tersebut sesuai dengan kenyataannya. Jika tidak, maka akan terjadi kekeliruan yang besar.” (Syarh Ushul Min ‘Ilmi Al-Ushul, hal. 604)

Untuk mencari tahu hukum meditasi, maka perlu mengetahui esensi dasarnya, di mana seseorang yang melakukan meditasi, maka di antara yang akan dilakukannya adalah berdiam diri dan bertapa. Kedua hal tersebut adalah identitas ibadah bagi orang-orang Hindu dan Buddha. Tidaklah seseorang melakukan meditasi, kecuali ia akan melakukan gerakan-gerakan yang mengarah pada bentuk ibadah mereka.

Dari esensi tersebut, dapat kita pahami bahwa meditasi meskipun memiliki beberapa manfaat yang dapat diambil, dalam praktiknya akan banyak mengandung keserupaan dan kemiripan dengan ibadah Hindu dan Buddha, sedangkan Islam dengan jelas melarang pemeluknya untuk menyerupai orang-orang kafir. Apalagi dalam hal-hal yang menjadi identitas ibadah mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abu Daud  no. 4031)

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengemukakan alasan dari dilarangnya kaum muslimin untuk meniru dan menyerupai orang-orang kafir. Beliau berkata,

أَنَّ الْمُشَابَهَةَ فِي الْأُمُورِ الظَّاهِرَةِ تُورِثُ تَنَاسُبًا وَتَشَابُهًا فِي الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَلِهَذَا نُهِينَا عَنْ مُشَابَهَةِ الْكُفَّارِ

“Keserupaan dalam perkara lahiriah (sesuatu yang nampak) akan berpengaruh pada keserupaan dalam akhlak dan amalan. Oleh karena itu, kita dilarang menyerupai orang-orang kafir.” (Majmu’ Al-Fatawa, 22: 154)

Bermeditasi, meskipun awalnya hanya diniatkan sebagai penenang pikiran dan keseimbangan hidup, seiring berjalannya waktu pasti akan mempengaruhi akidah, keyakinan, dan sikap kita. Minimalnya kita akan terbiasa bersinggungan dengan pemikiran-pemikiran orang-orang yang mendalami meditasi ini, yaitu orang-orang Hindu dan Buddha.

Jauh-jauh hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah mewanti-wanti umatnya dari kebiasaan buruk mudahnya terbawa arus dan ikut-ikutan yang dilakukan oleh kaum muslimin,

لَتَتَّبِعُنَّ سُنَنَ مَن قَبْلَكُمْ شِبْرًا بشِبْرٍ، وَذِرَاعًا بذِرَاعٍ، حتَّى لو سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ، قُلْنَا: يا رَسُولَ اللَّهِ، اليَهُودَ وَالنَّصَارَى؟ قالَ: فَمَنْ؟

“Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka masuk ke dalam lubang dhab pun, kalian pasti kalian akan mengikuti mereka.” Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka.”  (HR. Bukhari no. 3456, Muslim no. 2669)

Kekhawatiran Nabi tersebut, bahkan pernah terjadi di saat beliau masih hidup. Sahabat Nabi Abu Waqid Al-Laitsi menceritakan,

“Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pergi ke Hunain, beliau melintasi sebuah pohon kaum musyrikin bernama Dzat Anwath. Mereka biasa menggantungkan persenjataan mereka di pohon itu (untuk mengambil keberkahan darinya). Para sahabat kemudian berkata, ‘Wahai Rasulullah, buatkan kami Dzat Anwath seperti milik mereka.’ Lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Subhanallah, ini seperti yang dikatakan kaum Musa kepada Musa ‘alaihis salam,

ٱجۡعَل لَّنَاۤ إِلَـٰهࣰا كَمَا لَهُمۡ ءَالِهَةࣱۚ قَالَ إِنَّكُمۡ قَوۡمࣱ تَجۡهَلُون

‘Buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).’ Dan Musa menjawab, ‘Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui.’ (QS. Al-A’raf: 138)

Rasulullah melanjutkan,

“Demi Zat yang jiwaku berada ditangan-Nya, kalian akan melakukan perilaku-perilaku orang sebelum kalian.” (HR. Tirmidzi no. 2180)

Cara-cara yang diajarkan syariat untuk meraih ketenangan jiwa

Berikut ini adalah amalan-amalan yang diajarkan oleh syariat dan memiliki manfaat untuk meraih ketenangan dan kedamaian jiwa serta dapat mengobati luka-luka yang ada di dalamnya.

Pertama: Iktikaf

Iktikaf merupakan ibadah yang memiliki kemiripan dengan meditasi. Arti iktikaf itu sendiri adalah, “Berdiam diri di masjid dalam tempo waktu tertentu dengan melakukan amalan-amalan ibadah tertentu untuk mengharapkan rida Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Di antara hikmah dari pensyariatan iktikaf adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai macam ibadah serta menjauhkan diri dari interaksi sosial dan kesibukan duniawi agar terwujud kesucian jiwa dalam hati.

Kedua: Bersyukur

Bersyukur atas setiap limpahan nikmat yang telah Allah Ta’ala berikan tentu akan mendatangkan ketenangan pada jiwa. Karena sejatinya, tatkala seorang hamba bersyukur, maka ia akan jauh dari rasa iri dengki kepada orang lain. Dengan bersyukur, seorang hamba akan meraih rida Allah serta menjadi sebab ditambahnya kenikmatan dan terhalang dari mendapatkan azab Allah Ta’ala. Allah Taala berfirman,

وَإِذۡ تَأَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡۖ وَلَئِن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيد

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memberitahukan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.’” (QS. Ibrahim: 7)

Ketiga: Berzikir dan mengingat Allah Ta’ala

Dengan berzikir, seseorang akan mendapatkan ketenangan dan ketenteraman pada jiwa dan pikirannya. Allah Taala berfirman,

ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَتَطۡمَىِٕنُّ قُلُوبُهُم بِذِكۡرِ ٱللَّهِۗ أَلَا بِذِكۡرِ ٱللَّهِ تَطۡمَىِٕنُّ ٱلۡقُلُوبُ

“(Yaitu) Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)

Keempat: Membaca Al-Qur’an

Membaca Al-Qur’an merupakan sumber terbesar timbulnya ketenangan jiwa, karena Al-Qur’an sejatinya merupakan obat bagi hati dan pikiran yang sakit. Allah Taala berfirman,

وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِ مَا هُوَ شِفَاۤءࣱ وَرَحۡمَةࣱ لِّلۡمُؤۡمِنِینَ وَلَا یَزِیدُ ٱلظَّـٰلِمِینَ إِلَّا خَسَارࣰا

“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an (sesuatu) yang menjadi penawar (obat) dan rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang zalim (Al-Qur’an itu) hanya akan menambah kerugian.” (QS. Al-Isra’: 82)

Bolehkah menyebut ibadah Islam tertentu seperti iktikaf dengan meditasi?

Islam adalah agama yang sangat berhati-hati di dalam menjaga keutuhan dan kemurnian ajarannya, agama yang dibangun di atas asas, “Pencegahan terhadap semua jalan menuju keburukan.”

Perihal penamaan dan identitas sekalipun, Islam berusaha untuk tidak meniru dan menjadikan kebiasaan orang kafir sebagai contoh dan acuan. Islam berusaha menjauhkan diri dari istilah-istilah yang identik dengan agama lain.

Saat orang-orang nonmuslim percaya bahwa meditasi adalah salah satu cara untuk meraih ketenangan, kedamaian, konsentrasi, dan kesembuhan jiwa, Islam juga memiliki amalan-amalan yang bermanfaat untuk meraih hal-hal tersebut.

Sebut saja di antaranya adalah iktikaf, yaitu tatkala seorang muslim berdiam diri di masjid untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Hanya saja, kita tidak boleh semena-mena mengatakan bahwa iktikaf adalah “meditasi” bagi seorang muslim. Karena ini tidak sejalan dengan konsep dan kaidah-kaidah kehati-hatian yang dibawa oleh syariat kita.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah contoh terbaik dalam hal kehati-hatian. Lihatlah bagaimana beliau memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa di tanggal 9 dari bulan Muharam, selain berpuasa pada tanggal 10. Tidak lain dan tidak bukan ini berangkat dari keinginan beliau untuk menyelisihi ibadah dan kebiasaan orang-orang Yahudi yang juga merayakan hari Asyura, hari kesepuluh dari bulan Muharam.

Di dalam hadis yang sahih, juga disebutkan,

نَذَر رجُلٌ على عَهدِ رَسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أن يَنحَرَ إبِلًا ببُوانةَ، فأتى النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، فقال: إنِّي نذَرْتُ أن أنحَرَ إبِلًا ببُوانةَ، فقال النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: هل كان فيها وَثَنٌ مِن أوثانِ الجاهليَّةِ يُعبَدُ؟ قالوا: لا، قال: هل كان فيها عيدٌ مِن أعيادِهم؟ قالوا: لا، قال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: أَوْفِ بنَذْرِك؛ فإنَّه لا وفاءَ لنَذرٍ في مَعصيةِ اللهِ، ولا فيما لا يَملِكُ ابنُ آدَمَ

“Ada seseorang yang bernazar akan menyembelih unta di Buwanah. Dia lantas bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau pun bertanya, ‘Apakah dulunya di tempat itu ada berhala peninggalan orang-orang jahiliah yang disembah?’ Para sahabat menjawab, ‘Tidak ada.’ Nabi bertanya lagi, ‘Apakah di tempat itu pernah diadakan salah satu perayaan oleh orang-orang jahiliah?’ Para sahabat menjawab, ‘Belum pernah.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas bersabda, ‘Tunaikanlah nazarmu, namun tidak boleh menunaikan nazar untuk berbuat maksiat kepada Allah dan di luar batas kemampuan seseorang.” (HR. Abu Dawud no. 3313)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam begitu berhati-hati agar jangan sampai niat ibadah yang dilakukan seorang hamba pada akhirnya ternodai dengan hal-hal yang dapat menjatuhkan seseorang kepada perbuatan tasyabbuh dan menyerupai orang-orang kuffarwal’iyadzu billah.

Seorang muslim hendaknya berusaha untuk berlepas dari kebiasaan dan adat istiadat orang-orang kafir, tidak mudah terpengaruh untuk ikut serta hanya karena melihat adanya sebuah manfaat yang akan didapatkan.

Wallahu A’lam bisshawab.

***

Al Jamil, Yang Maha Indah

Al Jamil, Yang Maha Indah 

Nama Allah Ta’ala yang maha mulia ini disebutkan dalam sebuah hadits yang shahih, dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

((لا يدخل الجنة من كان في قلبه مثقالُ ذرة من كبر)). قال رجل: إن الرجل يحب أن يكون ثوبه حسناً ونعله حسنةً. قال: ((إن الله جميلٌ يحب الجمال، الكبر بطر الحق وغمط الناس)) رواه مسلم.

“Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya ada kesombongan seberat biji debu”. Ada seorang yang bertanya: Sesungguhnya setiap orang suka (memakai) baju yang indah, dan alas kaki yang bagus, (apakah ini termasuk sombong?). Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan, kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain”[1].

Makna al-Jamil secara bahasa

Ibnu Faris menjelaskan bahwa asal kata nama ini menunjukkan dua makna, salah satunya adalah indah/bagus[2].

Al-Fairuz Abadi menjelaskan bahwa asal kata nama ini berarti keindahan dalam tingkah laku dan rupa[3].

Ibnul Atsir lebih lanjut menjelaskan bahwa al-Jamil berarti Yang Maha Indah perbuatan-perbuatan-Nya dan sempurna sifat-sifat-Nya[4].

Penjabaran makna nama Allah al-Jamil

Nama Allah Ta’ala yang agung ini menunjukkan sempurnanya keindahan Allah Ta’ala pada semua nama, sifat, zat dan perbuatan-Nya[5].

Imam an-Nawawi menjelaskan makna hadits di atas: bahwa semua urusan Allah Ta’ala (maha) indah dan baik, dan Dia memiliki nama-nama yang maha indah serta sifat-sifat yang maha bagus dan sempurna[6].

Imam Ibnul Qayyim menjelaskan hal ini dengan terperinci dalam ucapan beliau: “Keindahan Allah Ta’ala ada empat tingkatan: keindahan zat, keindahan sifat, keindahan perbuatan dan keindahan nama. Maka nama-nama Allah semuanya maha indah, sifat-sifat-Nya semuanya maha sempurna, dan perbuatan-perbuatan-Nya semuanya (mengandung) hikmah, kemaslahatan (kebaikan), keadilan dan rahmat (kasih sayang). Adapun keindahan zat dan apa yang ada padanya, maka ini adalah perkara yang tidak bisa dicapai dan diketahui oleh selain-Nya. Semua makhluk tidak memiliki pengetahuan tentang itu kecuali (sedikit) pengetahuan yang dengan itulah Dia memperkenalkan dirinya kepada hamba-hamba yang dimuliakan-Nya. Sesungguhnya keindahan-Nya itu terjaga dari (segala bentuk) perubahan, terlindungi dengan tabir selendang dan sarung (kemuliaan), sebagaimana hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah (hadits qudsi), “Kebesaran itu adalah selendang-Ku dan keagungan itu adalah sarung-Ku…”[7]. Maka bagaimana anggapanmu terhadap keindahan yang ditutupi dengan sifat-sifat kesempurnaan, keagungan dan kemuliaan?

Dari makna inilah kita dapat memahami sebagian arti keindahan zat-Nya, karena sesungguhnya seorang hamba akan terus meningkat (pengetahuannya tentang Allah Ta’ala), dari mengenal perbuatan-perbuatan-Nya (meningkat) menjadi mengenal sifat-sifat-Nya, dan dari mengenal sifat-sifat-Nya (meningkat) menjadi mengenal zat-Nya. Maka jika dia menyaksikan sesuatu (yang merupakan pengaruh baik) dari keindahan perbuatan-Nya, dia akan menjadikannya sebagai (argumentasi) yang menunjukkan keindahan sifat-Nya, kemudian keindahan sifat ini dijadikannya sebagai (argumentasi) yang menunjukkan keindahan zat-Nya.

Dari sinilah jelas (bagi kita) bahwa Allah Ta’ala bagi-Nyalah segala pujian, dan bahwa tidak ada seorang makhluk pun yang mampu membatasi/menghitung sanjungan bagi-Nya, bahkan Dia adalah seperti pujian yang ditujukan-Nya untuk diri-Nya sendiri. Dialah yang berhak disembah, dicintai dan disyukuri karena zat-Nya, dan Dia mencintai, memuji dan menyanjung diri-Nya sendiri. Sesungguhnya kecintaan, pujian, sanjungan dan pengesaan-Nya terhadap diri-Nya sendiri, pada hakikatnya itulah pujian, sanjungan, cinta dan tauhid (yang sebenarnya). Maka Allah Ta’ala adalah seperti pujian yang ditujukan-Nya untuk diri-Nya sendiri dan di atas pujian yang ditujukan makhluk-Nya kepada-Nya, Dan Allah Ta’ala dicintai zat, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya. Semua perbuatan-Nya indah dan dicintai, meskipun diantara obyek perbuatan-Nya ada yang dibenci dan tidak disukai-Nya, akan tetapi tidak ada pada perbuatan-Nya sesuatu yang dibenci dan dimurkai. Tidak ada satupun di alam ini yang dicintai, dipuji karena zatnya kecuali Allah Ta’ala. Dan semua yang dicintai selain-Nya, jika kecintaan tersebut mengikui kecintaan kepada-Nya, yaitu dengan mencintainya karena-Nya, maka kecintaan ini adalah kecintaan yang benar. Adapun selain itu adalah kecintaan yang batil (salah).

Inilah hakikat ilahiyyah (penghambaan diri kepada-Nya), karena sembahan yang benar dialah yang dicintai dan dipuji zat-Nya. Terlebih lagi jika semua itu digandengkan dengan (mengingat dan menyakini) kebaikan, limpahan nikmat, kelembutan, pengampunan, pemaafan, anugerah dan rahmat-Nya.

Maka seorang hamba hendaknya memahami bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah, maka dia mencintai dan memuji-Nya karena zat dan kesempurnaan-Nya. Dan hendaknya dia mengetahui bahwa pada hakikatnya tidak ada yang melakukan kebaikan (kepadanya) dengan (melimpahkan) berbagai macam nikmat lahir dan batin, kecuali Allah (Ta’ala), maka dia mencintai-Nya karena kebaikan dan limpahan nikmat-Nya, dan memuji-Nya atas semua itu. Maka dia mencintai Allah dari kedua segi itu secara bersamaan.

Sebagaimana Allah (Ta’ala) tidak ada sesuatu pun yang meyerupai-Nya, maka kecintaan kepada-Nya tidak seperti kecintaan kepada selain-Nya. Dan kecintaan yang disertai ketundukan itulah (hakikat) penghambaan diri (kepada-Nya), yang untuk tujuan inilah Allah menciptakan (semua) makhluk-Nya. Karena ubudiyyah (penghambaan diri) adalah kecintaan yang utuh disertai ketundukan yang sempurna, yang ini semua tidak pantas ditujukan kecuali kepada Allah Ta’ala (semata-mata). Dan menyekutukan-Nya dalam hal ini adalah perbuatan syirik yang tidak diampuni-Nya dan tidak diterima amal perbuatan pelakunya”[8].

Di tempat lain, beliau berkata, “Kecintaan itu memiliki dua (sebab) yang membangkitkannya, (yaitu) keindahan dan pengagungan, dan Allah Ta’ala memiliki kesempurnaan yang mutlak pada semua itu, karena Dia Maha Indah dan mencintai keindahan, bahkan semua keindahan adalah milik-Nya, dan semua pengagungan (bersumber) dari-Nya, sehingga tidak ada sesuatupun yang berhak untuk dicintai dari semua segi karena zatnya kecuali Allah Ta’ala “[9].

Pengaruh positif dan manfaat mengimani nama Allah al-Jamil

Imam Ibnul Qayyim berkata, “Termasuk jenis pengetahuan yang paling mulia adalah mengenal Allah Ta’ala dengan (sifat) al-jamal (maha indah). Ini adalah pengetahuan (yang dimiliki) hamba-hamba (Allah) yang istimewa. Semua manusia mengenal-Nya dengan satu sifat dari semua sifat-Nya, akan tetapi yang paling sempurna pengetahuannya (tentang Allah Ta’ala) adalah yang mengenal-Nya dengan (sifat) kesempurnaan, keagungan dan keindahan-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dalam semua sifat-sifat-Nya. Seandainyapun semua makhluk memiliki rupa yang paling indah, kemudian keindahan mereka lahir dan batin dibandingkan dengan keindahan Allah Ta’ala, maka sungguh (perbandingannya) lebih rendah dari pada perbandingan pelita yang redup (cahayanya) dengan (terangnya cahaya) lingkaran matahari … Cukuplah (yang menunjukkan kesempurnaan) keindahan-Nya bahwa semua keindahan lahir dan batin di dunia dan akhirat adalah termasuk jejak-jejak penciptaan-Nya, maka bagaimana pula dengan zat yang bersumber darinya (semua) keindahan ini?”[10].

Kemudian, pengaruh positif mengimani nama Allah yang maha agung ini dapat kita ambil dari penjelasan makna hadits di atas.

Sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan”, mengandung dua unsur landasan Islam yang agung, yaitu pengetahuan tentang sifat Allah Ta’ala dan pengamalan konsekwensi dari sifat tersebut. Yang pertama kita mengenal Allah Ta’ala dengan sifat maha indah yang tidak ada satu makhlukpun menyerupainya, kemudian yang kedua kita beribadah kepada Allah Ta’ala dengan sifat indah yang dicintai-Nya, dalam ucapan, perbuatan dan akhlak.

Allah Ta’ala mencintai seorang hamba yang memperindah/menghiasi ucapannya dengan kejujuran, hatinya dengan keikhlasan, kecintaan, selalu kembali dan bertawakkal (kepada-Nya), dan anggota badannya dengan ketaatan (kepada-Nya), serta tubuhnya dengan memperlihatkan nikamat yang dianugrahkan-Nya kepadanya, dalam berpakaian, membersihkan tubuh dari najis dan kotoran, memotong kuku, dan sebagainya. Maka hamba yang dicintai-Nya adalah hamba yang mengenal-Nya dengan sifat maha indah-Nya kemudian beribadah kepada-Nya dengan keindahan yang ada pada agama dan syariat-Nya.

Hadits di atas maknanya meliputi keindahan pada pakaian dan alas kaki yang ditanyakan oleh sahabat di atas, juga maknanya secara umum meliputi keindahan pada segala sesuatu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“إن الله يحب أن يرى أثر نعمته على عبده”

“Sesungguhnya Allah suka melihat (tampaknya) bekas nikmat (yang dilimpahkan-Nya) kepada hamba-Nya”[11].

Maka Allah Ta’ala suka melihat (tampaknya) bekas nikmat (yang dilimpahkan-Nya) kepada hamba-Nya, karena ini termasuk keindahan yang dicintai-Nya, dan ini termasuk bentuk syukur kepada-Nya atas limpahan nikmat-Nya. Bersyukur adalah bentuk keindahan dalam batin, maka Allah Ta’ala suka melihat pada diri hamba-Nya keindahan lahir yang berupa tampaknya bekas nikmat-Nya pada diri hamba-Nya.

Oleh karena itulah, Allah menurunkan kepada hamba-hamba-Nya pakaian dan perhiasan untuk memperindah (penampilan) lahir mereka, dan Dia memerintahkan kepada mereka untuk bertakwa (kepada-Nya) karena ini akan memperindah batin mereka. Allah Ta’ala berfirman,

{يا بني آدم قد أنزلنا عليكم لباساً يواري سوآتكم وريشاً، ولباس التقوى ذلك خير}

“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan pakaian untuk menutupi ‘auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan, dan pakaian taqwa itulah yang lebih baik” (QS al-A’raaf:26).

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman tentang keadaan penduduk surga:

{ولَقَّاهُمْ نضْرَةً وسُرُوْراً، وجزاهم بما صبروا جَنَّةً وحَرِيْراً}

“Dan Dia menganugerahkan kepada mereka kecerahan (wajah) dan kegembiraan (hati). Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera” (QS al-Insaan:12).

Maka Allah Ta’ala menghiasi wajah mereka dengan kecerahan, batin mereka dengan kegembiraan, dan tubuh mereka dengan pakaian sutera[12].

Penutup

Demikianlah, dan kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia menganugerahkan kepada kita semua keindahan lahir dan batin, di dunia dan akhirat kelak, serta memudahkan kita untuk memahami dan mengamalkan petunjuk-Nya dengan baik dan benar, sesungguhnya Dia Maha Indah dan Maha Mengabulkan doa.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

[1] HSR Muslim (no. 91).

[2] Mu’jamu maqaayiisil lughah (1/427).

[3] Al-Qamus al-muhith (hal. 1266).

[4] An-Nihayah fi gariibil hadits wal atsar (1/812).

[5] Lihat “Fiqhul asma-i husna” (hal. 291).

[6] Syarh shahih Muslim (2/90).

[7] HR Abu Dawud (no. 4090) dan Ibnu Majah (no. 4174), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.

[8] Kitab “al-Fawa-id” (hal. 182-183).

[9] Kitab “al-Jawabul kaafi” (hal. 164).

[10] Kitab “al-Fawa-id” (hal. 181-182).

[11] HR at-Tirmidzi (no. 2819) dan al-Hakim (no. 7188), dinyatakan shahih oleh al-Hakim dan disepakati adz-Dzahabi, juga dinyatakan hasan oleh at-Tirmidzi dan al-Albani.

[12] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 293-294).

Ghibah Termasuk Dosa Besar

Ghibah Termasuk Dosa Besar 

Ghibah (menggunjing) termasuk dosa besar, namun sedikit yang mau menyadari hal ini.

Sudah dijelaskan sebelumnya mengenai “Ghibah itu Apa?“. Sekarang kita akan melihat dalil yang menunjukkan bahwa ghibah tergolong dosa dan perbuatan haram, bahkan termasuk dosa besar.

Kata seorang ulama tafsir, Masruq, “Ghibah adalah jika engkau membicarakan sesuatu yang jelek pada seseorang. Itu disebut mengghibah atau menggunjingnya. Jika yang dibicarakan adalah sesuatu yang tidak benar ada padanya, maka itu berarti menfitnah (menuduh tanpa bukti).” Demikian pula dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri. (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 26: 167).

Ghibah yang terjadi bisa cuma sekedar dengan isyarat. Ada seorang wanita yang menemui ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Tatkala wanita itu hendak keluar, ‘Aisyah berisyarat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangannya untuk menunjukkan bahwa wanita tersebut pendek. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,

قَدِ اغْتَبْتِيهَا

Engkau telah mengghibahnya.” (HR. Ahmad 6: 136. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)

Dosa ghibah sudah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala berikut ini,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12)

Asy Syaukani rahimahullah dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Allah Ta’ala memisalkan ghibah (menggunjing orang lain) dengan memakan bangkai seseorang. Karena bangkai sama sekali tidak mengetahui siapa yang memakan dagingnya. Ini sama halnya dengan orang yang hidup juga tidak mengetahui siapa yang menggunjing dirinya. Demikianlah keterangan dari Az Zujaj.” (Fathul Qadir, 5: 87)

Asy Syaukani rahimahullah kembali menjelaskan, “Dalam ayat di atas terkandung isyarat bahwa kehormatan manusia itu sebagaimana dagingnya. Jika daging manusia saja diharamkan untuk dimakan, begitu pula dengan kehormatannya dilarang untuk dilanggar. Ayat ini menjelaskan agar setiap muslim menjauhi perbuatan ghibah. Ayat ini menjelaskan bahwa ghibah adalah perbuatan yang teramat jelek. Begitu tercelanya pula orang yang melakukan ghibah.” (Idem)

Ibnu Jarir Ath Thobari berkata, “Allah mengharamkan mengghibahi seseorang ketika hidup sebagaimana Allah mengharamkan memakan daging saudaramu ketika ia telah mati.” (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 26: 168).

Qatadah rahimahullah berkata, “Sebagaimana engkau tidak suka jika mendapati saudarimu dalam keadaan mayit penuh ulat. Engkau tidak suka untuk memakan bangkai semacam itu. Maka sudah sepantasnya engkau tidak mengghibahinya ketika ia masih dalam keadaan hidup.” (Lihat Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 26: 169).

Ghibah termasuk dosa karena di akhir ayat disebutkan Allah Maha Menerima Taubat. Artinya, apa yang disebutkan dalam ayat termasuk dalam dosa karena berarti dituntut bertaubat. Imam Nawawi juga menyebutkan bahwa ghibah termasuk perbuatan yang diharamkan, lihat Syarh Shahih Muslim, 16: 129.

Dalam Kunuz Riyadhis Sholihin (18: 164) disebutkan, “Para ulama sepakat akan haramnya ghibah dan ghibah termasuk dosa besar.”

Wallahu a’lam. Moga Allah menjauhkan dari setiap dosa besar termasuk pula perbuatan ghibah. Semoga Allah memberi taufik untuk menjaga lisan ini supaya senantiasa berkata yang baik.

Referensi:

Fathul Qadir, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad Asy Syaukani, terbitan Dar Ibni Hazm, cetakan ketiga, tahun 1426 H.

Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an (Tafsir Ath Thobari), Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thobari, terbitan Dar Ibni Hazm, cetakan pertama, tahun 1423 H.

Kunuz Riyadhis Sholihin, Rois Al Fariq Al ‘Ilmi: Prof. Dr. Hamad bin Nashir bin ‘Abdirrahman Al ‘Ammar, terbitan Dar Kunuz Isybiliya, cetakan pertama, tahun 1430 H.

Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ibni Hazm, cetakan pertama, tahun 1433 H.

Jihad Melawan Setan

Jihad Melawan Setan 

Sadarkah kita, bahwa setiap diri ini memiliki musuh besar ? Musuh yang sangat menginginkan kita sesat dan celaka. Musuh yang tidak terlihat, tapi memiliki banyak tipu-daya dan cara untuk mencapai tujuannya. Itulah syaithan (setan).

Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan manusia agar tidak tergoda olehnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَا بَنِي آدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ

Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah berhasil mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga. [al-A’râf/7: 27]

Oleh karena itu, dengan rahmat-Nya, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan manusia untuk menjadikan syaithan sebagai musuh. karena memang sebenarnya, syaithan musuh bagi manusia. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا ۚ إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ

Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh nyata bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala. [Fâthir/35:6]

Bagaimana sepak terjang musuh terhadap lawannya ? Semua orang sudah tahu jawabannya yaitu berusaha sekuat tenaga agar lawannya ditimpa segala keburukan dan terlepas dari semua kebaikan.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengomentari ayat di atas, “Perintah Allâh untuk menjadikan syaithan sebagai musuh ini sebagai peringatan agar (manusia) mengerahkan segala kemampuan untuk memerangi dan melawannya. Sehingga syaithan itu seolah-olah musuh yang tidak pernah berhenti dan tidak pernah lalai”.[1]

Dalam menjalankan aksinya menyesatkan dan membinasakan manusia, syaithan memiliki dua senjata yaitu syubhat dan syahwat. Oleh karena itu, orang yang ingin selamat harus berjihad melawan syaithan dengan bersenjatakan ilmu dan mentazkiyah (membersihkan) jiwanya. Ilmu nafi’ (yang yang bermanfaat) akan membuahkan rasa yakin, yang akan menolak syubhat. Sedangkan tazkiyatun nafs akan melahirkan ketakwaan dan kesabaran, yang membuatnya mampu mengendalikan syahwat.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jihad melawan syaithan memiliki dua tingkatan :

Menolak syubhat dan keraguan yang dilemparkan syaithan kepada hamba;
Menolak syahwat dan keinginan-keinginan jelek yang dilemparkan syaithan kepada hamba. Jihad yang pertama akan diakhiri dengan keyakinan, sedangkan jihad yang kedua akan diakhiri dengan kesabaran. Allâh Azza wa Jalla berfirman :


وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا ۖ وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami. [as-Sajdah/32:24]

Allâh Azza wa Jalla memberitakan bahwa kepemimpinan agama hanya bisa diraih dengan kesabaran (dan keyakinaan), kesabaran akan menolak syahwat dan keinginan-keinginan jelek, dan keyakinan akan menolak keraguan dan syubhat.”[2]

Jadi senjata manusia untuk melawan syaithan adalah ilmu dan kesabaran. Ilmu yang bersumber dari kitabullâh dan sunnah Rasul-Nya. Kemudian mengamalkan ilmu tersebut sehingga jiwa menjadi bersih dan suci, dan menumbuhkan kesabaran.

Itulah cara menghadapi tipu daya syaitan secara global, sedangkan secara rinci adalah sebagai berikut :

Beriman Dan Mentauhidkan Allâh Dengan Benar
Sesungguhnya seluruh kekuatan, kekuasaan, kesempurnaan hanyalah milik Allâh Azza wa Jalla. Oleh karena itu, seorang hamba yang ditolong dan dilindungi oleh Allâh, tidak akan ada yang mampu mencelakainya. Inilah senjata pertama dan utama seorang mukmin dalam menghadapi syaithan yaitu beriman dengan benar kepada Allâh, beribadah dengan ikhlas kepada-Nya, bertawakkal hanya kepadaNya dan beramal shalih sesuai aturan-Nya. Allâh Azza wa Jalla memberitakan bahwa syaithan tidak memiliki daya terhadap hamba-hamba Allâh yang beriman dan mentauhidkan-Nya. Allâh berfirman.


إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

“Sesungguhnya syaitan itu tidak ada memliki kekuasaan atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya. [an-Nahl/16: 99]

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Ketika Iblis tahu bahwa dia tidak memiliki jalan (untuk menguasai) orang-orang yang ikhlas, dia mengecualikan mereka dari sumpahnya yang bersyarat untuk menyesatkan dan membinasakan (manusia). Iblis mengatakan,

قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ﴿٨٢﴾إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ

“Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlash [Shâd/38: 82-83]

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ إِلاَّ مَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْغَاوِينَ

Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu (Iblis) terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikuti-mu, yaitu orang-orang yang sesat. [al-Hijr/15:42]

Maka ikhlas adalah jalan kebebasan, islam adalah kendaraan keselamatan, dan iman adalah penutup keamanan.[3]

Berpegang Teguh Kepada Al-Kitab Dan As-Sunnah Dengan Pemahaman As-Salafush Shalih
Ketika Allâh Azza wa Jalla menurunkan manusia di muka bumi, sesungguhnya Dia menyertakan petunjuk untuk mereka. Sehingga manusia hidup di dunia ini tidak dibiarkan begitu saja, tanpa bimbingan, perintah dan larangan. Allâh Azza wa Jalla menurunkan kitab suci dan mengutus para Rasul yang membawa peringatan, penjelasan dan bukti-bukti. Barangsiapa berpaling dari peringatan Allâh, maka dia akan menjadi mangsa syaithan dan dijerumuskan ke dalam kecelakaan abadi. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman.


وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَٰنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ

Baca Juga  Kaidah-kaidah Dalam Berjihad
Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Rabb yang Maha Pemurah (al-Qur’ân), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. [az-Zukhruf/43: 36]

Oleh karena itu, jalan selamat dari tipu daya syaithan adalah dengan mengikuti jalan Allâh, mengikuti al-Kitab dan as-Sunnah dengan pemahaman as-salafush shâlih. Allâh Azza wa Jalla berfirman

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Dan barangsiapa menentang rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min (yaitu jalan para sahabat), Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. [an-Nisâ’/4: 115]

Berlindung Kepada Allâh Dari Gangguan Syaithan.
Inilah sebaik-baik jalan untuk menyelamatkan diri dari syaithan dan tentaranya, memohon perlindungan kepada Allâh Azza wa Jalla , karena Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui dan Maha Berkuasa.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Makna “aku berlindung kepada Allâh dari syaithan yang dilaknat” yaitu aku meminta perlindungan kepada Allâh dari syaithan yang dilaknat yang menggangguku pada agamaku atau pada duniaku, atau menghalangiku dari melakukan sesuatu yang diperintahkan (Allah Azza wa Jalla) kepadaku, atau mendorongku melakukan apa terlarang bagiku. Karena tidak ada yang bisa mencegah syaithan dari manusia kecuali Allâh.

Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan untuk mengambil hati dan bersikap lembut kepada syaithan manusia, dengan melakukan kebaikan kepadanya, agar tabi’atnya (yang baik) menolaknya dari gangguan (yang dia lakukan).

Dan Allâh memerintahkan agar (manusia) berlindung kepada-Nya dari syaithan jin, karena dia tidak menerima suap dan perbuatan kebaikan tidak akan mempengaruhinya, karena dia memiliki tabi’at yang jahat, dan tidak akan mencegahnya darimu kecuali Yang telah menciptakannya.”[4]

Memohon perlindungan ini dilakukan secara umum pada setiap waktu, pada setiap diganggu oleh syaithan, dan juga dilakukan pada waktu-waktu tertentu yang dituntunkan oleh Allâh dan Rasul-Nya.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan, maka berlindunglah kepada Allâh. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [al-A’râf/7:200]

Adapun waktu-waktu tertentu yang dituntunkan untuk beristi’adzah antara lain yaitu saat diganggu syaithan; adanya bisikan jahat; gangguan dalam shalat; saat marah; mimpi buruk; akan membaca al-Qur’an; akan masuk masjid; akan masuk tempat buang hajat; saat mendengar lolongan anjing dan ringkikan keledai; ketika akan berjima’; waktu pagi dan petang; isti’adzah untuk anak-anak dan keluarga; ketika singgah di suatu tempat; ketika akan tidur; dan lain-lain. Perincian dalil-dalil ini semua terdapat di dalam hadits-hadits yang shahih.

Membaca Al-Qur’an
Sesungguhnya syaithan akan lari menjauh dengan sebab bacaan Al-Qur’an, sebagaimana di dalam hadits sebagai berikut:


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ

Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Janganlah kamu menjadikan rumah-rumah kamu sebagai kuburan, sesungguhnya syaithan lari dari rumah yang dibacakan surat Al-Baqarah di dalamnya. (HR. Muslim, no: 780)

Syaithan telah membukakan salah satu rahasianya ini kepada Abu Hurairah, yang hal itu dibenarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Syaithan mengatakan:

إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِيِّ ( اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ) حَتَّى تَخْتِمَ الْآيَةَ فَإِنَّكَ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ وَلَا يَقْرَبَنَّكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ فَأَصْبَحْتُ

“Jika engkau menempati tempat tidurmu, maka bacalah ayat kursi (Allohu laa ilaaha illa huwal hayyul qayyuum) sampai engkau menyelesaikan ayat tersebut, maka sesungguhnya akan selalu ada padamu seorang penjaga dari Allâh, dan syaithan tidak akan mendekatimu sampai engkau masuk waktu pagi”. (HR. Bukhari)

Memperbanyak Dzikrulloh.
Dzikrullah adalah benteng yang sangat kokoh untuk melindungi diri dari gangguan syaithan. Hal ini diketahui dari pemberitaan Allâh Subhanahu wa Ta’alaewat para RasulNya, antara lain lewat lisan Nabi Yahya Alaihissallam, sebagaimana hadits di bawah ini:


عَنْ الْحَارِثِ الْأَشْعَرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ أَمَرَ يَحْيَى بْنَ زَكَرِيَّا بِخَمْسِ كَلِمَاتٍ أَنْ يَعْمَلَ بِهَا وَيَأْمُرَ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ يَعْمَلُوا بِهَا…وَآمُرُكُمْ أَنْ تَذْكُرُوا اللَّهَ فَإِنَّ مَثَلَ ذَلِكَ كَمَثَلِ رَجُلٍ خَرَجَ الْعَدُوُّ فِي أَثَرِهِ سِرَاعًا حَتَّى إِذَا أَتَى عَلَى حِصْنٍ حَصِينٍ فَأَحْرَزَ نَفْسَهُ مِنْهُمْ كَذَلِكَ الْعَبْدُ لَا يُحْرِزُ نَفْسَهُ مِنَ الشَّيْطَانِ إِلَّا بِذِكْرِ اللَّهِ

Dari Al-Harits Al-Asy’ari, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allâh memerintahkan Yahya bin Zakaria q dengan lima kalimat, agar beliau mengamalkannya dan memerintahkan Bani Israil agar mereka mengamalkannya (di antaranya)…”Aku perintahkan kamu untuk dzikrullah (mengingat/menyebut Allâh). Sesungguhnya perumpamaan itu seperti perumpamaan seorang laki-laki yang dikejar oleh musuhnya dengan cepat, sehingga apabila dia telah mendatangi benteng yang kokoh, kemudian dia menyelamatkan dirinya dari mereka (dengan berlindung di dalam benteng tersebut). Demikianlah seorang hamba tidak akan dapat melindungi dirinya dari syaithan kecuali dengan dzikrullah”. (HR.Ahmad)

Baca Juga  Jihad-Jihad yang Fardhu Ain
Maka jika anda ingin selamat dari tipu-daya dan gangguan syaithan, hendaklah selalu membasahi lidah anda dengan dzikrullah disertai konsentrasi dengan hati.

Tetap Bersama Jama’ah umat Muslimin
Bergabung dengan jama’ah umat Islam dalam melaksanakan berbagai ibadah yang dituntunkan dengan berjama’ah, merupakan salah satu cara menyelamatkan diri dari incaran syaithan. Karena sesungguhnya syaithan merupakan serigala yang akan menerkam manusia, sebagaimana serigala akan menerkam domba yang menyempal dari kelompoknya.


عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمُ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدِ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ قَالَ زَائِدَةُ قَالَ السَّائِبُ يَعْنِي بِالْجَمَاعَةِ الصَّلَاةَ فِي الْجَمَاعَةِ

Dari Abu Darda’, dia berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada tiga orang di suatu desa atau padang, tidak didirikan shalat jama’ah pada mereka, kecuali syaithan menguasai mereka. Maka bergabunglah dengan jama’ah, karena sesungguhnya srigala itu akan memakan kambing yang menyendiri”. (HR. Abu Dawud, no: 547)

Mengetahui Tipu-Daya Syaithan Sehingga Mewaspadainya.
Syaithan itu sangat berantusias menyesatkan manusia, ia habiskan waktunya dan segala kemampuannya dikerahkan untuk merusak manusia. Allâh Azza wa Jalla memperingatkan hamba-hambaNya yang beriman dari musuh bebuyutan tersebut dengan firmanNya:


يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَن يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah- langkah syaitan. Barangsiapa mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. [An-Nuur/24: 21]

Salah satu cara menghindari tipu daya syaithan yaitu mengetahui dan membongkar tipu-daya itu sehingga dapat dihindari. Karena orang yang tidak mengetahui keburukan, dia akan mudah terjerumus dalam keburukan tersebut tanpa disadari.

Menyelisihi Syaithan Dan Menjauhi Sarana-Sarananya Untuk Menyesatkan Manusia.
Syaithan adalah musuh manusia. Oleh karena itu, kita wajib memposisikannya sebagai musuh. Allâh Azza wa Jalla berfirman:


يَآأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللهِ حَقٌّ فَلاَ تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلاَيَغُرَّنَّكُمْ بِاللهِ الْغُرُورُ

Hai manusia, sesungguhnya janji Allâh adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allâh. [Fathir/35: 5]

Diantara realisasi dari hal diatas yaitu dengan menyelisihi perbuatan syaithan. Misalnya:

Syaithan makan dan minum dengan tangan kiri, maka selisihi dia dengan makan dan minum dengan tangan kanan.
Syaithan tidak melakukan qoilulah (istirahat di tengah hari), maka kita selisihi dengan melakukan qoilulah.
Tidak boros (tabdziir) karena orang yang berbuat tabdziir adalah saudarasyaithan.
Melakukan sesuatu dengan tenang dan hati-hati, karena sikap tergesa-gesa dari syaithan.
Hendaklah kita berusaha sekuat tenaga agar tidak menguap, karena itu dari syaithan.
Dalil-dalil yang kami sebutkan ini, terdapat di dalam hadits-hadits yang shahih.

Diantara realisasi sikap permusuhan terhadap syaithan adalah adalah menjauhi sarana-sarana yang digunakan oleh syaithan untuk menyesatkan manusia, seperti: musik, lagu dan khamer.

Yakin Bahwa Tipu Daya Syaithan Itu Lemah
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا

Sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah. [An-Nisa’/4: 76]

Bagaimanapun lihainya syaithan dalam menebarkan perangkap-perangkapnya, kita harus yakin bahwa sebenarnya tipu daya syaithan itu lemah. Asalkan kita selalu mentaati Allâh Yang Maha Perkasa. Di antara kelemahan syaithan yaitu :

Dia tidak bisa membuka pintu yang dikunci dengan disertai doa (menyebut nama Allâh).
Dia juga tidak dapat makan bersama orang yang mengucapkan bismillah ketika hendak makan.
Juga tidak dapat bermalam di rumah yang dimasuki oleh penghuninya sambil membaca doa
Taubat Dan Istighfar.
Selama masih hidup, manusia senantiasa perlu bertaubat dan istighfar kepada Allah Azza wa Jalla, diriwayatkan dalam sebuah hadits:


عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ إِبْلِيسَ قَالَ لِرَبِّهِ بِعِزَّتِكَ وَجَلَالِكَ لَا أَبْرَحُ أُغْوِي بَنِي آدَمَ مَا دَامَتِ الْأَرْوَاحُ فِيهِمْ فَقَالَ اللَّهُ فَبِعِزَّتِي وَجَلَالِي لَا أَبْرَحُ أَغْفِرُ لَهُمْ مَا اسْتَغْفَرُونِي

Dari Abu Sa’id Al-Khudri, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Iblis berkata kepada Robbnya: “Demi kemuliaan dan keagunganMu, aku senantiasa akan menyesatkan anak-anak Adam selama ruh masih ada pada mereka”. Maka Allâh berfirman: “Demi kemuliaan dan keagunganMu, Aku senantiasa akan mengampuni mereka selama mereka mohon ampun kepadaKu”. (HR. Ahmad)

Inilah sedikit keterangan tentang syaithan dan tipu-dayanya, semoga bermanfaat bagi kita semua. Aamiin. Wallahul Musta’an.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Footnote
[1] Zâdul Ma’âd, III/6
[2] Zâdul Ma’âd III/10
[3] al-‘Ilmu, Fadhluhu Wa Syarafuhu, hlm. 72-74, tansiq: Syeikh Ali bin Hasan Al-Halabi
[4] Tafsir Ibnu Katsir, 1/14, penerbit: Darul Jiil, Beirut, tanpa tahun.