Hidup Jadi Sulit Karena Pelit

Hidup Jadi Sulit Karena Pelit 

Khutbah Pertama:

إن الحمد لله, نحمده ونستعينه ونستغفره, ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدًا عبد الله ورسوله, صلى الله عليه وعلى آله وصحبه ومن اتبع سنته بإحسان إلى يوم الدين, 

:أما بعد

Ibadallah,

Bertakwalah kepada Allah. Ketauhilah, ketakwaan tidak akan sempurna kecuali dengan menjauhi sifat pelit. Karena pelit merupakan sumber keburukan. Tempat tumbuhnya kerusakan dan hal-hal yang buruk di dalam hati, ucapan, dan perbuatan. Gara-gara pelit, maka hak seseorang disepelekan. Gara-gara pelit, tidak tertunaikan banyak kewajiban. Gara-gara pelit, bisa terjadi pertumpahan darah. Gara-gara pelit, harta orang lain dimakan dengan cara yang tidak benar. Gara-gara pelit, seseorang bisa menodai kehormatan orang lain. Gara-gara pelit bisa putus hubungan kekerabatan dan muncul kedurhakaan. Gara-gara pelit, ditinggalkanlah sekian banyak keutamaan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اتقوا الشحَّ فإنَّ الشحَّ أهلكَ من كانَ قَبْلَكم حملَهُم على أنْ سَفكُوا دِمائَهم ، واستَحَلُّوا مَحارِمَهم

“Jauhilah sifat pelit (syuh), karena pelit telah membinasakan orang sebelum kalian. Sifat tersebut membawa mereka menumpahkan darah dan menghalalkan apa yang diharamkan pada mereka.” [HR. Muslim 2578].

Dari Abdullah bin Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إيَّاكم والشُّحَّ؛ فإنَّه أهلَكَ مَن كان قَبلَكم، أمَرَهم بالبُخلِ فبَخِلوا، وأمَرَهم بالفُجورِ ففَجَروا

“Jauhilah Syuhh (kikir yang sangat), sesungguhnya syuhh membinasakan orang-orang sebelum kalian. Syuhh menyuruh mereka untuk bakhil, mereka pun jadi bakhil. Menyuruh mereka untuk berbuat kejahatan, merekapun melakukannya.” (Sunan Abu Dawud 1698).

Tidak mengherankan! Karena pelit itu artinya seseorang memiliki ketamakan yang besar terhadap dunia. Memperbanyak pundi-pundinya. Ada ketamakan yang bersemayam pada jiwanya. Sangat ketakutan akan kondisi kekurangan dan kemiskinan.

Ayyuhal mukminun,

Jauhilah sifat pelit! Karena pelit akan merusak hati. Akan membawa hati memiliki sifat sombong, zalim, hasad, dan membenci orang lain mendapatkan kebaikan. Berharap kebaikan yang Allah berikan pada orang lain terhenti. Kemudian menelantarkan kewajiban yang Allah perintahkan pada-Nya. Oleh karena itu, tersebarnya sifat pelit merupakan di antara tanda hari kiamat. Saat itu muncullah dan tersebar kerusakan di muka bumi. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَتَقارَبُ الزَّمانُ، ويَنْقُصُ العَمَلُ، ويُلْقَى الشُّحُّ، ويَكْثُرُ الهَرْجُ قالوا: وما الهَرْجُ؟ قالَ: القَتْلُ القَتْلُ

“Waktu terasa singkat. Amal kebaikan berkurang. Tersebarnya sifat pelit. Saat itu banyak terjadi al-haraj.” Sahabat bertanya, “Pembunuhan. Pembunuhan.” [HR. al-Bukhari 6037 dan Muslim 2215].

Maksud dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ويُلْقَى الشُّحُّ

“Tersebarnya sifat pelit.”

Allah turunkan sifat pelit dan memasukkannya ke hati-hati manusia. Sehingga sifat tersebut menghalangi mereka untuk melakukan kebaikan dan malah melakukan permusuhan.

Ayyuhal mukminun,

Jauhilah sifat pelit! Karena sifat ini akan menumbuhkan kemunafikan di hati. Seperti tempatnya yang lembab menumbuhkan jamur. Dan di antara karakteristik orang munafik yang Allah sebutkan. Mereka adalah orang yang pelit terhadap kebaikan. Allah Ta’ala berfirman,

أَشِحَّةً عَلَيْكُمْ فَإِذَا جَاءَ الْخَوْفُ رَأَيْتَهُمْ يَنْظُرُونَ إِلَيْكَ تَدُورُ أَعْيُنُهُمْ كَالَّذِي يُغْشَى عَلَيْهِ مِنَ الْمَوْتِ فَإِذَا ذَهَبَ الْخَوْفُ سَلَقُوكُمْ بِأَلْسِنَةٍ حِدَادٍ أَشِحَّةً عَلَى الْخَيْرِ أُوْلَئِكَ لَمْ يُؤْمِنُوا فَأَحْبَطَ اللَّهُ أَعْمَالَهُمْ وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا

“Mereka pelit terhadapmu, apabila datang ketakutan (bahaya), kamu lihat mereka itu memandang kepadamu dengan mata yang terbalik-balik seperti orang yang pingsan karena akan mati, dan apabila ketakutan telah hilang, mereka mencaci kamu dengan lidah yang tajam, sedang mereka pelit untuk berbuat kebaikan. Mereka itu tidak beriman, maka Allah menghapuskan (pahala) amalnya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” [Quran Al-Ahzab: 19]

Orang-orang munafik itu memiliki sifat pelit terhadap orang-orang yang beriman. Pelit dalam setiap kebaikan dan karunia. Mereka tidak senang kalau Allah Ta’ala memberikan orang-orang yang beriman kebaikan dalam urusan dunia dan agamanya.

أقول هذا القول وأستغفر الله لي ولكم فاستغفروه إنه هو الغفور الرحيم.

Khutbah Kedua:

الحمد لله رب العالمين, له الحمد في الأولى والآخرة وله الحكم وإليه ترجعون، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له, وأشهد أن محمدًا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وصحبه ومن اتبع سنته بإحسان إلى يوم الدين, أما بعد:

فاتقوا الله عباد الله،

Hindarilah sifat pelit. Karena kalau kita mau koreksi diri, sungguh pada diri kita ini ada sifat pelit. Ini sudah menjadi tabiat manusia. Allah Ta’ala berfirman tentang karakter manusia,

وَأُحْضِرَتِ الأَنفُسُ الشُّحَّ

“walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir.” [Quran An-Nisa: 128].

Dan orang yang sukses dan berhasil adalah mereka yang mampu mengendalikan sifat pelit tersebut. Mereka dijaga dari sifat tersebut. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan siapa yang dijaga dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” [Quran Al-Hasyr: 9]

Mengapa beruntung? Karena seseorang yang selamat dari sifat ini akan tumbuh pada dirinya semua kebaikan dan keutamaan. Dan dia selamat dari hal-hal yang tidak diinginkan.

Ibadallah,

Tidak ada jalan keselamatan untuk Anda terbebas dari sifat pelit kecuali dengan berjuang melawannya. Kalahkan hawa nafsu Anda dengan kiat-kiat yang tepat. Di antara kiat atau tips agar mampu mengalahkan sifat pelit adalah:

Pertama: Memenuhi hati dengan iman, cinta, dan pengagungan kepada Allah. Terutama iman kepada hari akhir.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا يجتمع الشحُّ والإيمانُ في قلب عبدٍ أبدًا

“Tidak akan berkumpul antara sifat pelit dan iman pada hati seseorang.” [Sunan an-Nasai 3110].

Allah Ta’ala berfirman,

وَأُحْضِرَتِ الأَنفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

“walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul secara baik dan memelihara dirimu, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [Quran An-Nisa: 128]

Orang yang berbuat baik adalah mereka yang meninggalkan apa yang Allah larang. Walaupun larangan itu dicintai oleh jiwanya. Ia tunaikan hak harta, walaupun di awalnya terasa berat baginya. Kemudian ridha dengan pembagian Allah kepadanya. Menjauhi sifat hasad dan iri. Bahkan ia suka orang lain mendapatkan kebaikan. Sebagaimana ia suka kalau kebaikan tersebut ia dapatkan.

Ibadallah,

Kedua: Melakukan kebaikan dengan lisan dan perbuatan. Baik dalam kondisi sepi maupun di tengah keramaian.

وَأُحْضِرَتِ الأَنفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

“walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul secara baik dan memelihara dirimu, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [Quran An-Nisa: 128]

Ketiga: mengutamakan orang lain dalam masalah dunia.

Dan inilah sifat yang dimiliki oleh sahabat-sahabat anshar. Yang dipuji oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,

وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” [Quran Al-Hasyr: 9]

Keempat: Berdoa kepada Allah.

Seorang sahabat Nabi yang dikenal sangat dermawan, Abdurrahman bin Auf radhiallahu ‘anhu, pernah berdoa,

اللهم قني شح نفسي

“Ya Allah lindungilah aku dari sifat pelit yang ada pada diriku.”

Kelima: Melatih diri.

Sebagaimana kebodohan itu diobati dengan belajar. Sifat tenang itu dilatih untuk dibiasakan. Demikian juga dengan sifat dermawan yang merupakan lawan dari pelit. Inipun harus dipelajari, dilatih, dan dibiasakan. Apalagi sedekah di waktu sehat dan muncul rasa pelit, itu akan melipatgandakan pahala. Rasulullah pernah ditanya tentang sedekah yang utama, beliau bersabda,

« أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ ، تَخْشَى الْفَقْرَ وَتَأْمُلُ الْغِنَى ، وَلاَ تُمْهِلُ حَتَّى إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ قُلْتَ : لِفُلاَنٍ كَذَا ، وَلِفُلاَنٍ كَذَا ، وَقَدْ كَانَ لِفُلاَنٍ » .

“Engkau bersedekah dalam kondisi sehat dan berat mengeluarkannya, dalam kondisi kamu khawatir miskin dan mengharap kaya. Maka janganlah kamu tunda, sehingga ruh sampai di tenggorokan, ketika itu kamu mengatakan, “(andai) Untuk fulan sekian, untuk fulan sekian, dan untuk fulan sekian. (Andai itu) telah menjadi milik si fulan..” (HR. Bukhari 1419 dan Muslim 1032).

اللهم آتِ نفوسنا تقواها, وزكها أنت خير من زكاها أنت وليها ومولاها، اللهم آمنا في أوطاننا وأصلح أئمتنا وولاة أمورنا, واجعل ولايتنا فيمن خافك واتقاك واتبع رضاك يا رب العالمين، اللهم وفق ولي أمرنا إلى ما تحب وترضى, خذ بنواصيهم إلى ما فيه خير العباد والبلاد، أعنهم وسددهم في الأقوال والأعمال، واكتب مثل ذلك لسائر ولاة أهل الإسلام يا ذا الجلال والإكرام، ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار، اللهم اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان، ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين أمنوا ربنا إنك رؤوف رحيم

Berbaik Sangka Kepada Allah

Berbaik Sangka Kepada Allah

Berbaik sangka kepada Allah adalah salah satu tanda keimanan yang kuat. Namun, tidak sedikit orang yang salah memahami hakikatnya, menganggap berbaik sangka sekadar harapan kosong tanpa usaha. Padahal, persangkaan baik kepada Allah adalah dorongan untuk terus memperbaiki diri dan amal.

Sebagian ulama bersandar pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana beliau mengabarkan bahwa Allah berfirman,ِ

ِأَنَا عِنْدَ حُسْنِ ظَنِّ عَبْدِي بِي، فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ

Aku sesuai dengan persangkaan baik hamba-Ku. Maka hendaklah ia berprasangka kepada-Ku sebagaimana yang ia mau.” (HR. Ahmad, 3/491; Ibnu Hibban, 633; Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd, 909; Ad-Darimy, 2/305; Ath-Thabrani dalam Al-Kabiir, 22, no. 211 dan Al-Awsath, 1205, dengan sanad yang sahih)

Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan,

وَلَا رَيْبَ أَنَّ حُسْنَ الظَّنِّ إِنَّمَا يَكُونُ مَعَ الْإِحْسَانِ، فَإِنَّ الْمُحْسِنَ حَسَنُ الظَّنِّ بِرَبِّهِ أَنْ يُجَازِيَهُ عَلَى إِحْسَانِهِ وَلَا يُخْلِفَ وَعْدَهُ، وَيَقْبَلَ تَوْبَتَهُ.

“Tidak diragukan bahwa berbaik sangka hanya terjadi bersama kebaikan. Sesungguhnya orang yang berbuat baik memiliki anggapan baik terhadap Rabbnya bahwa Dia akan membalas kebaikannya dan tidak akan mengingkari janji-Nya, serta akan menerima taubatnya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 37)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

وَأَمَّا الْمُسِيءُ الْمُصِرُّ عَلَى الْكَبَائِرِ وَالظُّلْمِ وَالْمُخَالَفَاتِ فَإِنَّ وَحْشَةَ الْمَعَاصِي وَالظُّلْمِ وَالْحَرَامِ تَمْنَعُهُ مِنْ حُسْنِ الظَّنِّ بِرَبِّهِ، وَهَذَا مَوْجُودٌ فِي الشَّاهِدِ، فَإِنَّ الْعَبْدَ الْآبِقَ الْخَارِجَ عَنْ طَاعَةِ سَيِّدِهِ لَا يُحْسِنُ الظَّنَّ بِهِ، وَلَا يُجَامِعُ وَحْشَةَ الْإِسَاءَةِ إِحْسَانُ الظَّنِّ أَبَدًا، فَإِنَّ الْمُسِيءَ مُسْتَوْحِشٌ بِقَدْرِ إِسَاءَتِهِ، وَأَحْسَنُ النَّاسِ ظَنًّا بِرَبِّهِ أَطْوَعُهُمْ لَهُ.

“Adapun orang yang berbuat jahat dan tetap pada dosa-dosa besar, kezaliman, dan pelanggaran, maka kesunyian dari dosa-dosa, kezaliman, dan hal-hal haram menghalanginya dari berbaik sangka kepada Rabbnya. Ini terdapat pada kenyataannya, karena seorang hamba yang melarikan diri dari ketaatan kepada tuannya tidak akan memiliki anggapan baik terhadapnya, dan tidak mungkin bersamaan antara kesunyian dari perbuatan jahat dengan berbaik sangka. Sesungguhnya orang yang berbuat jahat merasa kesepian sesuai dengan kadar kejahatannya, dan sebaik-baik manusia yang memiliki anggapan baik terhadap Rabbnya adalah yang paling taat kepada-Nya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 37)

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,

إِنَّ الْمُؤْمِنَ أَحْسَنَ الظَّنَّ بِرَبِّهِ فَأَحْسَنَ الْعَمَلَ وَإِنَّ الْفَاجِرَ أَسَاءَ الظَّنَّ بِرَبِّهِ فَأَسَاءَ الْعَمَلَ.

“Sesungguhnya orang Mukmin berbaik sangka kepada Rabbnya, sehingga ia melakukan amal yang baik. Sebaliknya, orang yang durhaka bersikap buruk sangka kepada Rabbnya, sehingga ia pun melakukan amalan yang buruk.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 38)

Namun, untuk memahami lebih jauh, kita harus mempertanyakan: bagaimana mungkin seseorang dapat berbaik sangka kepada Rabbnya jika ia justru menjauh dari-Nya? Dia berpindah dari satu dosa ke dosa lainnya, meremehkan larangan dan perintah-Nya, serta mengabaikan hak-hak-Nya. Dari sinilah kita menyadari bahwa berbaik sangka kepada Allah tidak sekadar ucapan, tetapi menuntut keyakinan yang mendorong kepada amal. Bila seseorang benar-benar memahami hal ini, ia akan mengetahui bahwa berbaik sangka kepada Allah berarti yakin akan balasan dan rahmat-Nya, yang mendorongnya untuk terus beramal baik. Semakin kuat persangkaan baiknya, semakin baik pula amal perbuatannya. Persangkaan baik yang disertai hawa nafsu hanyalah kelemahan belaka.

Selanjutnya, penting untuk memahami bahwa persangkaan baik hanya bermanfaat bagi mereka yang bertaubat, menyesal, dan meninggalkan dosa. Mereka adalah orang-orang yang menggantikan keburukan dengan kebaikan serta memanfaatkan sisa umur mereka dengan taat kepada Allah. Oleh karena itu, hanya dengan usaha ini seseorang dapat benar-benar berbaik sangka kepada-Nya. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa berbaik sangka kepada Allah dan merasa aman dari murka-Nya adalah dua hal yang sangat berbeda.

Lebih lanjut, Allah Ta’ala berfirman,

ِإِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُوْلَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah.” (QS. Al-Baqarah: 218)

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah menetapkan mereka yang beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan-Nya sebagai orang-orang yang layak mengharapkan rahmat-Nya, bukan mereka yang malas beramal atau melakukan kefasikan. Ini menunjukkan bahwa pengharapan akan rahmat Allah harus disertai dengan usaha nyata dalam menjalankan perintah-Nya.

Sebagai tambahan, Allah Ta’ala juga berfirman,

ِثُمَّ إِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِينَ هَاجَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا فُتِنُوا ثُمَّ جَاهَدُوا وَصَبَرُوا إِنَّ رَبَّكَ مِنْ بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

Kemudian Rabbmu (pelindung) bagi orang yang berhijrah setelah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan bersabar, sungguh, Rabbmu setelah itu benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nahl: 110)

Dari ayat ini, kita memahami bahwa Allah mengampuni dan menyayangi orang-orang yang berusaha keras dengan hijrah, berjihad, dan sabar. Inilah yang menjadi bukti bahwa rahmat dan ampunan Allah datang setelah adanya usaha yang sungguh-sungguh. Maka, dapat kita simpulkan bahwa orang yang berilmu akan menempatkan raja’ (harapan) pada tempat yang tepat, sementara orang yang bodoh dan tertipu justru tidak mampu meletakkannya dengan benar.

Kesimpulan

Berbaik sangka kepada Allah bukanlah alasan untuk bermalas-malasan, tetapi dorongan untuk memperbaiki amal. Hanya dengan amalan dan taubat yang tulus, kita layak merasakan harapan dan rahmat-Nya.

Referensi:

  • Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ (Al-Jawaab Al-Kaafi liman Sa-ala ‘an Ad-Dawaa’ Asy-Syaafi). Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Penerbit Daar Ibnul Jauzi.

Kehidupan Yang Sesungguhnya

Kehidupan Yang Sesungguhnya 

Kehidupan manusia secara garis besar terbagi menjadi tiga fase: fase ketika ia belum berbentuk suatu apa pun, fase yang dimulai ketika ia dilahirkan, dan fase setelah kematiannya.

Adapun fase pertama adalah apa yang disebutkan Allah di dalam firmanNya,

هَلْ أَتَىٰ عَلَى ٱلْإِنسَٰنِ حِينٌ مِّنَ ٱلدَّهْرِ لَمْ يَكُن شَيْـًٔا مَّذْكُورًا

Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (QS. Al-Insan: 1)

Fase kedua adalah hari-harinya selama hidup di dunia.

Dan fase terakhir adalah fase ketika roh dicabut dari jasadnya. Kehidupan di alam barzah pun dimulai, tidak dapat diketahui seberapa lama. Hingga tegak hari kiamat, dan dibalas semua amal perbuatannya selama hidup di dunia.

Keadaannya pun berakhir di antara dua kondisi: menetap di surga yang penuh dengan kenikmatan atau neraka yang penuh dengan azab yang mengerikan.

Perbandingan Kehidupan Dunia dan Akhirat

Seandainya setiap insan mau merenungi, mereka pasti akan tersadar betapa fase setelah kematian adalah fase terpanjang dalam kehidupan, bahkan fase ini bersifat abadi selamanya.

Tidak sebanding dengan kadar waktu yang ia habiskan selama hidup di dunia.

Allah ta’ala befirman,

إِنَّمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَإِنَّ الْآخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ

Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (QS. Ghafir: 39)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَاللَّهِ مَا الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ

Tidaklah (perumpamaan) dunia jika dibandingkan akhirat kecuali seperti salah seorang di antara kalian yang meletakkan jarinya ke lautan, kemudian lihatlah apa yang dibawa jarinya itu.” (HR. Muslim 18/93)

Dalam hadits yang lain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

مَا لِيْ وَلِلدُّنْيَا؟ مَا أَنَا وَالدُّنْيَا؟! إِنَّمَا مَثَلِيْ وَمَثَلُ الدُّنْيَا كَمَثَلِ رَاكِبٍ ظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

Apalah artinya dunia ini bagiku?! Apa urusanku dengan dunia?! Sesungguhnya perumpamaanku dan perumpamaan dunia ini ialah seperti pengendara yang berteduh di bawah pohon, ia istirahat (sesaat) kemudian meninggalkannya.” (HR. Ahmad, I/391, 441)

Kehidupan di dunia pun penuh dengan cobaan dan ujian. Sebab itu ia dikatakan dengan Daarul Balaa’ (tempat ujian). Allah ta’ala berfiman,

لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ فِى كَبَدٍ

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. Al-Balad: 4)

Terkadang kenyamanan dan kenikmatan menghampiri, namun tidaklah dunia itu memenuhi suatu rumah dengan kebahagiaan kecuali ia akan memenuhinya dengan pelajaran atau ‘ibrah. Sebagaimana perkataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu: “Setiap kegembiraan di baliknya pasti ada kesusahan. Tidak ada satu rumah yang penuh dengan rasa gembira kecuali setelah itu penuh dengan kedukaaan dan derai air mata.”

Kebahagiaan di dunia ini ibarat mimpinya orang yang tidur, atau seperti naungan yang akan menghilang. Ia membuat kita tertawa sesaat dan banyak menangis kemudian. Jika membuat gembira satu hari, maka sedihnya satu tahun. Dan jika membuat senang sesaat, ia akan mencegah kesenangan pada waktu yang lama.

Oleh karenanya orang-orang beriman ketika mereka telah memasuki surga dan merasakan kenikmatannya, mereka berkata,

وَقَالُوا۟ ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِىٓ أَذْهَبَ عَنَّا ٱلْحَزَنَ ۖ إِنَّ رَبَّنَا لَغَفُورٌ شَكُورٌ

Dan mereka berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami. Sesungguhnya Tuhan kami benar-benar Maha Pengampum lagi Maha Mensyukuri.” (QS. Fathir: 34)

Ini mencakup segala bentuk rasa duka. Maka mereka sama sekali tidak merasakan rasa sedih (duka) yang disebabkan kekurangan pada keindahan mereka atau pada makanan dan minuman mereka, tidak pula pada kelezatan, pada tubuh atau pada keabadian mereka tinggal. Jadi, mereka selalu berada di dalam kenikmatan yang mereka rasakan selalu bertambah. Ia selalu bertambah terus selama-lamanya. (Tafsir As-Sa’di)

Surga sebagai tempat kembalinya orang-orang beriman dikatakan sebagai Daarus-Salaam (negeri keselamatan). Allah ta’ala berfirman,

لَهُمْ دَارُ ٱلسَّلَٰمِ عِندَ رَبِّهِمْ ۖ وَهُوَ وَلِيُّهُم بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

Bagi mereka (disediakan) Darussalam (surga) pada sisi Tuhannya dan Dialah Pelindung mereka disebabkan amal-amal salih yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am: 127)

Surga dinamakan Darussalam karena keselamatannya dari segala kekurangan, cacat, kerusuhan, kesedihan, kecemasan, dan pengganggu-pengganggu lainnya. Hal itu secara otomatis menunjukkan bahwa nikmatnya benar-benar sempurna dan benar-benar lengkap di mana orang yang ingin menjelaskannya tidak mampu untuk menjelaskannya. Para pengkhayal tidak akan berkhayal melebihi hakikatnya, berupa nikmat rohani, hati, dan badan. Mereka mendapatkan sesuatu yang diinginkan oleh jiwa dan dinikmati oleh mata, dan mereka kekal di dalamnya. (Tafsir As-Sa’di)

Dinyatakan dalam hadits qudsi yang shahih, Allah ‘azza wa jalla berfirman,

أَعْدَدْتُ لِعِبَادِي الصَّا لحِينَ مَ لاَ عَيْنٌ رَأَتْ وَلاَ أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلاَ خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرِ

Aku sediakan untuk hamba-hamba-Ku yang shalih kenikmatan (tinggi di surga) yang belum pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga dan terlintas dalam hati manusia.” (HR. Bukhari, no. 3072 dan Muslim, no. 2824)

Di dalam hadits yang shahih juga tentang gambaran tingginya kenikmatan surga, Malaikat Jibril ‘alaihissallam yang melihatnya, berkata kepada Allah ‘azza wa jalla,

أَيْ رَبِّ وَعِزَّتِكَ لاَيَسْمَعُ بِهَا أَحَدٌ إِلاَّ دَخَلَهَا

Demi kemahamuliaan-Mu, tidaklah seorang pun yang mendengar tentang (tingginya kenikmatan) surga kecuali ia ingin masuk ke dalamnya.” (HR. Abu Dawud, no. 4744)

Alangkah tingginya kenikmatan di surga, dan alangkah tidak berartinya kehidupan di dunia ini jika dibandingkan dengannya! Patut untuk disadari juga bahwa kita hidup di dunia bukan untuk bermain dan bersenda gurau semata. Melainkan untuk memikul tugas yang mulia; beribadah kepada Allah, Rabb Pemilik Semesta Alam. Meraih cinta dan ridhaNya. Allah menguji kita untuk melihat siapakah dari kita yang terbaik amalnya. Yaitu yang paling ikhlas dan paling sesuai dengan sunnah RasulNya yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu jadilah orang yang cerdas! Tidak mudah tertipu dengan sesuatu yang sifatnya sementara.

Putuskan segala angan-angan, dan sibuklah beramal untuk kehidupan yang sesungguhnya. Hingga kita meraih kenikmatan yang abadi selamanya, surga yang telah dijanjikanNya bagi hamba-hambanya yang beriman dan beramal salih.

Semoga Allah menjadikan hati-hati kita selalu tertambat padaNya dan negri akhirat yang kekal abadi.

Referensi:

  • Terapi Penyakit Wahn, Abu Ihsan Al Atsari dan Ummu Ihsan, Pustaka Imam Syafi’i Jakarta
  • Tafsir As Sa’di
  • Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas, “Hiduplah Di Dunia Ini Seakan-akan Orang Asing Atau Musafir.
  • Ustadz Abdullah Taslim, “Buah-Buahan Di Surga Gambaran Kenikmatan Yang Tiada Tara”.
  • Kajian Sembuh Melalui Doa, Ustadz Aris Munandar.

Ucapan yang Paling Dibenci Allah

Ucapan yang Paling Dibenci Allah

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إن أبغض الكلام إلى الله أن يقول الرجل للرجل: اتق الله، فيقول: عليك بنفسك.”

”Kalimat yang paling Allah benci, seseorang menasehati temannya, ’Bertaqwalah kepada Allah’, namun dia menjawab: ’Urus saja dirimu sendiri.”

(HR. Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 1/359, an-Nasai dalam Amal al-Yaum wa al-Lailah, 849, dan dishahihkan al-Albani dalam as-Shahihah, no. 2598).

Dibenci karena sikap ini termasuk bentuk kesombongan dan menyakiti perasaan orang yang mengajak dirinya untuk berbuat baik.

Nabi Nuh ’alaihi salam, mengadu kepada Allah disebabkan sikap kaumnya semacam ini.

قَالَ رَبِّ إِنِّي دَعَوْتُ قَوْمِي لَيْلًا وَنَهَارًا ( ) فَلَمْ يَزِدْهُمْ دُعَائِي إِلَّا فِرَارًا ( ) وَإِنِّي كُلَّمَا دَعَوْتُهُمْ لِتَغْفِرَ لَهُمْ جَعَلُوا أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ وَاسْتَغْشَوْا ثِيَابَهُمْ وَأَصَرُّوا وَاسْتَكْبَرُوا اسْتِكْبَارًا

Nuh berkata: “Ya Tuhanku Sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, Maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (kemukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan sangat menyombongkan diri. (QS. Nuh: 5 – 7)