Belaian Dunia Goyahkan Iman

Belaian Dunia Goyahkan Iman

Bismillahirrahmannirrahim…

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah menjadikan dunia sebagai tempat singgah dan akhirat sebagai tempat menetap.

يَا قَوْمِ إِنَّمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَإِنَّ الْآخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ

“…Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (QS. Al Mukmin : 39)

Dunia itu manis, hijau, dan penuh akan perhiasan yang menggiurkan. Dunia membuat orang yang memandangnya dan hati yang mengangankannya menganggap bahwasanya inilah kehidupan yang abadi dan sebenarnya. Dunia telah membuat manusia terlena dan lupa akan sebenar-benarnya kehidupan yang telah menanti. Mereka lupa akan panah kematian yang siap membidik diri.

Disisi lain, manusia terus-menerus berada dalam kepayahan mengejar dunia dan perhiasannya, bagaikan seseorang yang kehausan di tengah jalanan yang begitu terik dengan sengatan matahari. Dia menyangka ada air di tempat tersebut namun tatkala ia mendekat, hanya kekecewaan dan penyesalan yang ia dapatkan.

Hati orang yang beriman akan mengetahui bahwa dunia ini adalah lahan bercocok tanam untuk akhirat. Namun, hati yang tenggelam akan gemerlapnya dunia, seperti tanah keras yang tidak layak untuk tempat penyemaian benih. Dan di hari Kiamatlah saat untuk memanen benih.

Pada saat-saat seperti itulah iman kita diuji… diuji oleh paras cantik dunia yang menjerumuskan.

Makna Dunia

Apakah dunia itu? Lafazh dunia dalam bahasa Arab diambil dari kata “dunuwun” yang artinya dekat, dinamakan dunia karena ia sementara dan dekat dengan akhirat. Atau juga diambil dari kata “dani’ah” yang artinya rendahhina, dinamakan dunia karena ia terhina dan tercela serta tidak ada harganya jika dibandingkan dengan akhirat.

وَمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

“Dan kehidupan dunia ini hanya senda gurau dan permainan. Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui.” (QS. Al Ankabut : 64)

Manusia di Dunia

Dari Ibnul Umar radhiallahu ‘anhuma, ia mengatakan :

أَخَذَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِـمَنْكبِـيَّ فَقَالَ: (كُنْ فِي الدُّنيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ)

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang kedua pundakku seraya bersabda: ‘Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing atau seorang musafir’.”. (HR. Bukhari)

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan : “Sejak diciptakan, manusia terus-menerus menjadi musafir yang tidak berhenti dari perjalanan panjangnya, kecuali di surga atau di neraka. Orang yang berakal mengetahui bahwa safari penuh dengan berbagai kesulitan dan cobaan. Adalah mustahil kelezatan, kenikmatan dan kebahagiaan hakiki itu didapat sebelum sampai kepada tempat tujuan”. (Al-Fawa’id)

Seperti juga yang dikatakan oleh Bilal bin Sa’ad: “Wahai orang-orang yang bertakwa, sesungguhnya kalian tidak diciptakan untuk kefanaan (dunia), yang kalian alami hanyalah pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, sebagaimana kalian telah pindah dari tulang rusuk ke rahim sang ibu, dari rahim ibu ke dunia, dari dunia menuju kuburan, dari kuburan menuju Mahsyar, dan dari Mahsyar menuju kekekalan di Surga atau Neraka.” (As-Siyar V/91)

Seperti itulah harusnya kita di dunia. Sebagai seorang musafir yang sedang melakukan perjalanan jauh untuk menuju sebaik-baik tempat peristirahatan. Siang malam dia membulatkan tekad, mengumpulkan bekal, dan melakukan perjalanan. Dia melewati jalan berbatuan selangkah demi selangkah hingga sampai pada akhir sebuah perjalanan.

Belaian Dunia

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan dunia sebagai barang yang cepat hilang dan dipenuhi dengan tipuan. Dunia terkadang datang dan pergi, dari kecukupan kepada kekurangan, dari kesenangan kepada kesulitan, dia tidak akan terus-menerus dan tidak tetap dalam satu keadaan. Dunia adalah sebuah tempat yang dipenuhi dengan syahwat dan perhiasan.

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (Surga)”. (QS. Ali ‘Imran: 14).

Itulah kesenangan hidup di dunia, dimana semuanya bukanlah puncak dari sebuah harapan. Manusia yang menjadikan kehidupan dunia sebagai puncak harapan, bagai berlari di belakang fatamorgana, berhari-hari, bertahun-tahun. Lalu pada akhirnya dia akan mati. Dan kematian adalah takdir seluruh makhluk,

. كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”. (QS. Ali ‘Imran: 185).

Syaikh As-Sa’di menjelaskan, ayat ini mendorong untuk zuhud di dunia karena dunia fana, tidak kekal. Kehidupan di dunia adalah kesenangan yang memperdaya. Dengan keindahannya, dunia menggoda. Dengan perdayanya, dunia menipu. Dan dengan keindahannya, dunia memperdaya. Setelah itu dunia akan beralih, manusia yang ada di sana juga akan beralih menuju negeri yang kekal. Di sanalah semua jiwa mendapat balasan sempurna atas semua amal yang dilakukan di dunia, baik maupun buruk. (Taisirul Karim ar-Rahman, hal : 159).

Maka jelaslah bahwa belaian-belaian dunia itu adalah cobaan yang Allah berikan kepada setiap hamba. Allah ingin mengetahui siapakah di antara hambaNya yang mampu menjajaki setiap jalan bebatuan, melompati setiap tebing cobaan, menerjang huru-hara petir kesedihan. Allah mencari siapa saja di antara hambaNya yang pantas untuk melalui pintu SurgaNya.

Mereka yang Selamat

Sungguh mengherankan jika seseorang telah mengetahui bahwa kematian itu benar adanya, sedang ia masih bisa berbahagia. Sungguh mengherankan jika seseorang telah mengetahui bahwa neraka itu benar adanya, sedang ia masih bisa tertawa. Sungguh mengherankan jika seseorang telah mengetahui putaran dunia, sedang ia masih bisa merasakan ketenangan. Dan sungguh mengherankan jika seseorang telah mengetahui bahwa takdir itu benar adanya, sedang dia masih bisa mengeluhkan keletihan. Sedang kita semua di dunia ini hanya bermain-main dan lalai.

Seorang mukmin tidak layak untuk menjadikan dunia sebagai tanah air, tempat tinggal, dan merasa tenteram di dalamnya. Pikiran seorang mukmin selalu digantungkan kepada akhirat. Maka setiap yang ada di dunia menggerakkannya untuk akhirat.

Jika ia melihat kegelapan, maka ia mengingat kuburan. Jika melihat sesuatu yang menyakitkan, maka ia mengingat siksaan. Jika ia mendengar suara yang mencekam, maka ia mengingat tiupan sangkakala. Jika ia melihat seseorang yang tertidur, maka ia mengingat seorang mayat dalam kuburan. Jika ia melihat sebuah kenikmatan, maka ia selalu mengingat kenikmatan surga. Hatinya akan selalu terikat dengan sesuatu yang sempurna, keabadian, kekekalan.

‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu berkata : “Siapa yang menginginkan dunia, maka dia harus meninggalkan akhirat. Dan siapa yang menginginkan akhirat, maka dia harus meninggalkan dunia. Sehingga tinggalkanlah sesuatu yang fana untuk mendapatkan sesuatu yang kekal.” (Az-Zahrul Faa-ih, hal. 79).

Mereka yang selamat dari belaian dunia adalah mereka yang mampu mengolah kehidupan di dunia menjadi bekal untuk kehidupan akhirat. Mereka menggunakan fasilitas dunia secukupnya, tidak berlebih-lebihan dalam mengejar dunia. Mereka tidak menjadikan dunia sebagai satu-satunya tujuan. Mereka menggunakan dunia sebagai jembatan untuk memperoleh kebahagiaan di akhirat kelak.

Penutup

Umar bin Abdul Aziz pernah berkata dalam khutbahnya, “Wahai manusia! Kamu tidak diciptakan sia-sia dan tidak ditinggalkan begitu saja. Dan sesungguhnya bagi kamu ada tempat kembali yang Allah akan mengumpulkan kamu di dalamnya untuk memberikan suatu keputusan dan perpisahan di antara kamu. Maka rugi dan celakalah seorang hamba yang Allah telah memutus rahmatNya yang meliputi segala sesuatu dan surgaNya yang seluas langit dan bumi”.

Ambillah bekal di dunia

Sebab Anda tidak mengira jika malam telah dekat

Akankah Anda hidup hingga fajar esok terlihat

Berapa pemuda yang waktunya berisikan tawa

Padahal kain kafannya telah dijahit, dia tak mengira

Berapa pula balita yang berharap panjang umur

Jasad tubuhnya keburu dimasukkan dalam kepekatan kubur

Berapa banyak mempelai berhias untuk suaminya

Tapi pada malam penikahan keburu terenggut jiwanya

Jangan kasihi dunia dan isinya

Sebab kematian pasti menghabisinya, menghabisinya…

Berbuatlah untuk alam keabadian Anda

Dengan keridhaan penjaganya

Yang terlindungi sangat mulia

Sebab yang membangunnya Yang Maha Perkasa

Terlihat olehku sang masa berputar tak seirama

Tak ada kesedihan maupun kesenangan

Raja-raja pada membangun istana

Tapi kelak raja maupun istananya tak ada yang tersisa

Berpacu di dunia padahal kita membencinya

Demi hidupku, wajah dunia telah memberikan tanda

Tak disangka-sangka hari-hari berlalu begitu cepat

Merayap disela-sela kita dengan cepat

Seakan-akan jenazahku di usung segerombolan umat

Menuju satu liang, gundukan pasir menimbun jasad

Beberapa orang yang pasrah mengaduh kesakitan pilu

Raungan tangis menggema ke arahku

Mendengar suaranya aku lalai apa jawabku

Penghancur kenikmatan, tak ada jalan keluar buat Anda.

Aku milik orang yang benci kematian dan bencana

Semangat dan keindahan hidup membuatnya terpana

Ku lihat tiket kematian telah dibagikan ke tiap jiwa.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِاللهِ الْغَرُورُ

Wahai manusia! Sungguh janji Allah itu benar, maka janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan janganlah (setan) yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah.” (QS. Fathir : 5)

——————————————

Penulis: Ovi Aswara Ummu Aisyah

Murojaah: Ustadz Abu Hatim Sigit

Referensi         :

  • Bila Dunia Menjadi Tujuan Hidup, karya Abu Abdirrahman Al-Haritsi
  • Menyikapi Kehidupan Dunia, karya ‘Abdul Malik bin Muhammad Al-Qasim
  • Misteri Kematian, karya Dr. Ahmad Musthafa Mutawalli

Gratifikasi Terlarang Dalam Islam

Gratifikasi Terlarang Dalam Islam 

Dalam Islam, karakter utama seorang pegawai yang baik adalah kejujuran dan integritas, Allah berfirman,

{قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَاأَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ (26)} [القصص: 26]

“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, ‘Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.’” (QS. Al-Qashash (28): 26)

Minim atau nihilnya nilai integritas pada pegawai bisa merusak kinerja instansi dan Perusahaan tempat pegawai itu bekerja dan menyebabkan pengabaian hak dan kewajiban masyarakat atau konsumen. Karenanya, aturan kepegawaian, terutama pegawai negara yang ditunjuk oleh pemerintah, diatur ketat dalam Islam. Di antara yang menyalahi prinsip kejujuran dan integritas dalam pekerjaan adalah praktik gratifikasi.

Apa yang dimaksud dengan gratifikasi? Apa dasar hukum Islam dalam pelarangan gratifikasi?

Gratifikasi dalam KBBI didefinisikan sebagai pemberian yang diberikan karena layanan atau manfaat yang diperoleh. Adapun dalam Islam, gratifikasi lebih dekat dengan istilah رشوة (risywah) yaitu harta suap atau sogokan kepada pegawai, mencakup semua manfaat berupa harta ataupun jasa. Ini selaras dengan definisi gratifikasi yang dijelaskan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI. Dilansir dari situs resmi KPK, pengertian gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor): “Gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.”

Dasar hukum Islam mengenai larangan tindak gratifikasi dijelaskan dalam Al-Quran dan Hadis. Dalam Al-Quran, Allah berfirman,

{وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (188)} [البقرة: 188]

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah (2): 188)

Adapun dalam Hadis, maka Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam melarang tindakan gratifikasi (risywah) dalam sejumlah hadisnya. Diantaranya hadis Abu Hurairah, beliau mengatakan,

لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم الراشي والمرتشي

“Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam melaknat penyuap dan yang menerima suap dalam hukum.” (HR. Tirmidzi, no. 1336, ia mengatakan ini adalah hadis Hasan)

Juga dalam hadis Abu Humaid As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam mengangkat salah seorang dari suku Asad sebagai petugas yang mengambil zakat Bani Sulaim. Orang memanggilnya dengan Ibnul Lutbiah. Ketika datang, Rasulullah mengaudit hasil zakat yang dikumpulkannya. Ia berkata, ‘Ini harta kalian dan ini hadiah untukku.’

Kemudian Rasulullah berkata kepadanya, ‘Kalau engkau benar, mengapa engkau tidak duduk saja di rumah ayah atau ibumu, sampai hadiah itu mendatangimu?’” (HR. Bukhari, no. 7174 dan Muslim, no. 1832)

Dalam hadis ini, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam melarang hadiah yang diberikan kepada pegawai zakat karena pekerjaannya, lalu Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam memberi penjelasan bahwa itu sejatinya bukan hadiah, namun harta suap atau sogokan, karena jika itu adalah murni hadiah, orang tersebut cukup duduk di rumahnya maka hadiah itu akan datang kepadanya. Maka ketika hadiah itu baru didapatnya setelah menjadi pegawai zakat, maka jelaslah bahwa itu sejatinya suap atau sogokan.

Dampak Buruk Gratifikasi

Beberapa dampak buruk gratifikasi diantaranya:

  • Pegawai yang menerima gratifikasi cenderung bersikap tidak adil dan terjebak dalam dilema balas budi kepada orang yang memberikan hadiah.
  • Pilih kasih dalam pekerjaan, mengutamakan orang yang memberi hadiah daripada yang tidak memberi hadiah.
  • Terhalangnya hak-hak sebagian masyarakat, pelayanan publik menjadi lambat dan tidak sesuai SOP.
  • Kekayaan negara tidak tersalurkan dengan maksimal dan sebagaimana seharusnya.
  • Dalam sektor ekonomi, gratifikasi akan mengganggu kelancaran bisnis karena praktik gratifikasi menciptakan pasar yang tidak adil.

Mari kita tinggalkan segala bentuk praktik gratifikasi dan mari kita junjung tinggi nilai kejujuran dan integritas kerja, agar pekerjaan kita membawa berkah dari Allah dan hak-hak masyarakat terpenuhi dengan baik. Allah berfirman,

{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ (119)} [التوبة: 119]

“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan jadilah bersama orang-orang yang jujur.” (QS. At-Taubah (9): 119)

Kesimpulan

Gratifikasi adalah pemberian atau manfaat dalam bentuk apapun yang diberikan karena layanan. Islam melarang gratifikasi atau risywah, bahkan Rasulullah melaknat orang yang memberi suap atau menerimanya. Selain itu, gratifikasi juga menyebabkan banyak kerugian baik baik individu maupun masyarakat.

Daftar Pustaka

  1. Komisi Pemberantasan Korupsi. (2014 M). Buku Saku Gratifikasi. Diambil dari halaman resmi KPK pada tanggal 6 Oktober 2024 https://aclc.kpk.go.id/materi-pembelajaran/pendidikan/buku/buku-saku-gratifikasi
  2. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. (KBBI) Kamus Besar Bahasa Indonesia. Diambil dari laman resmi KBBI https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/gratifikasi
  3. Komisi Pemberantasan Korupsi. (2020 M). Dampak Negatif Gratifikasi. Video dari akun youtube resmi KPK RI, ditonton pada 6 Oktober 2024 https://www.youtube.com/watch?v=7AHvlfa6QO4


Orang Yang Paling Lelah Di Dunia

Orang Yang Paling Lelah Di Dunia 

Allah telah menguji setiap hamba-Nya dengan ujian yang berbeda-beda. Tidak ada sedikit pun dalam ujian tersebut, Allah menzalimi mereka. Semua terjadi dan berjalan di atas ilmu dan kebijaksanaan-Nya. Terjadinya, tidak ada seorang pun yang bisa menolaknya, menghalanginya, mengubahnya, dan menggantikannya. Itulah ketentuan yang tidak akan berubah. Itulah sunnatullah yang tidak akan berganti.

Termasuk ujian yang bersifat menyeluruh atas para hamba-Nya adalah dunia yang indah dan hijau ini. Dunia adalah perhiasan yang selalu dilirik, kemegahan yang senantiasa dikejar. Tahukah Anda, di belakang gemerlap dan keindahannya yang memikat, tersimpan bencana dan penipuan yang besar?

Cermati, lihat, dan belajarlah dari orang yang telah tenggelam di dalamnya. Dia mengira bahwa dunia ini diciptakan untuknya dan dia diciptakan untuk dunia. Lihat pula kemajuan yang telah diraih oleh negeri-negeri kafir. Ternyata semua itu menjadi bumerang dan senjata makan tuan.

Dunia telah memikat, menjerat, membungkam, meninabobokan, dan merongrong agama seseorang. Menurut Imam Ibnu Qayyim, dunia itu bagaikan seorang wanita pelacur yang tidak pernah puas dengan satu suami. Dia akan mencari laki-laki yang akan berbuat baik kepada dirinya. Namun, dia tidak menyukai seorang lelaki yang pencemburu.

Orang yang berjalan mengejar dunia bagaikan orang yang berjalan di daerah yang penuh binatang buas. Jika dia berenang ingin menggapainya, ia bagaikan orang yang mengejarnya dalam pusaran air yang penuh buaya.” (Lihat al-Fawaid karya Ibnul Qayyim hlm. 53)

Allah Mencela Dunia

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلۡغُرُورِ

“Tiadalah kehidupan dunia selain kesenangan yang menipu.” (Ali Imran: 185)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَٱضۡرِبۡ لَهُم مَّثَلَ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا كَمَآءٍ أَنزَلۡنَٰهُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ فَٱخۡتَلَطَ بِهِۦ نَبَاتُ ٱلۡأَرۡضِ فَأَصۡبَحَ هَشِيمًا تَذۡرُوهُ ٱلرِّيَٰحُۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٍ مُّقۡتَدِرًا ٤٥ ٱلۡمَالُ وَٱلۡبَنُونَ زِينَةُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَٱلۡبَٰقِيَٰتُ ٱلصَّٰلِحَٰتُ خَيۡرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيۡرٌ أَمَلًا ٤٦

“Berilah perumpamaan kepada mereka, kehidupan dunia bagaikan air hujan yang Kami turunkan dari langit. Menjadi suburlah tumbuh-tumbuhan karenanya di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Adalah Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu dan lebih baik untuk menjadi harapan.” (al-Kahfi: 45—46)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلۡبَنِينَ وَٱلۡقَنَٰطِيرِ ٱلۡمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلۡفِضَّةِ وَٱلۡخَيۡلِ ٱلۡمُسَوَّمَةِ وَٱلۡأَنۡعَٰمِ وَٱلۡحَرۡثِۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسۡنُ ٱلۡمَ‍َٔابِ ١٤ ۞قُلۡ أَؤُنَبِّئُكُم بِخَيۡرٍ مِّن ذَٰلِكُمۡۖ لِلَّذِينَ ٱتَّقَوۡاْ عِندَ رَبِّهِمۡ جَنَّٰتٌ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَا وَأَزۡوَٰجٌ مُّطَهَّرَةٌ وَرِضۡوَٰنٌ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ بَصِيرُۢ بِٱلۡعِبَادِ

“Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (jannah/ surga).

Katakanlah, ‘Maukah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik daripada itu?’ Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Rabb mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) istri-istri yang disucikan serta keridaan Allah, dan Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.” (Ali Imran: 14—15)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا لَعِبٌ وَلَهۡوٌۖ وَلَلدَّارُ ٱلۡأٓخِرَةُ خَيۡرٌ لِّلَّذِينَ يَتَّقُونَۚ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ

“Tiadalah kehidupan dunia ini selain main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh, kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu memahaminya?” (al-An’am: 32)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّمَا مَثَلُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا كَمَآءٍ أَنزَلۡنَٰهُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ فَٱخۡتَلَطَ بِهِۦ نَبَاتُ ٱلۡأَرۡضِ مِمَّا يَأۡكُلُ ٱلنَّاسُ وَٱلۡأَنۡعَٰمُ حَتَّىٰٓ إِذَآ أَخَذَتِ ٱلۡأَرۡضُ زُخۡرُفَهَا وَٱزَّيَّنَتۡ وَظَنَّ أَهۡلُهَآ أَنَّهُمۡ قَٰدِرُونَ عَلَيۡهَآ أَتَىٰهَآ أَمۡرُنَا لَيۡلًا أَوۡ نَهَارًا فَجَعَلۡنَٰهَا حَصِيدًا كَأَن لَّمۡ تَغۡنَ بِٱلۡأَمۡسِۚ كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ ٱلۡأٓيَٰتِ لِقَوۡمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Sesungguhnya perumpamaan hidup dunia ini adalah bagaikan air hujan yang Kami turunkan dari langit. Lalu tumbuhlah dengan suburnya tanaman-tanaman bumi. Di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya dan memakai perhiasannya, serta para pemiliknya menyangka bahwa mereka sanggup menguasainya, tiba-tiba datanglah kepada mereka azab Kami di waktu malam atau siang. Kemudian Kami jadikan tanaman-tanamannya laksana tanaman yang sudah disabit, seakan akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami bagi orang yang berpikir.” (Yunus: 24)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَا هَٰذِهِ ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا لَهۡوٌ وَلَعِبٌۚ وَإِنَّ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَ لَهِيَ ٱلۡحَيَوَانُۚ لَوۡ كَانُواْ يَعۡلَمُونَ

“Tidaklah kehidupan dunia ini selain senda gurau dan main-main belaka. Dan sesungguhnya akhirat itu sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (al-Ankabut: 64)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّ وَعۡدَ ٱللَّهِ حَقٌّۖ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِٱللَّهِ ٱلۡغَرُورُ

“Sesungguhnya janji-janji Allah itu benar. Maka janganlah kehidupan dunia menipu kalian dan jangan sekali-kali setan menipu kalian di jalan Allah.” (Luqman: 33)

Ketika membahas tafsir surah al-Fath, as-Sa’di menerangkan,

“Ini adalah bentuk pendidikan kezuhudan dari Allah kepada segenap hamba-Nya terhadap kehidupan dunia. Allah memberi tahu mereka tentang hakikat dunia. Sesungguhnya dunia itu adalah main-main dan sia-sia. Main main dalam urusan badan dan sia-sia dalam urusan hati.

Seorang hamba senantiasa berada dalam kelalaian karena urusan harta, anak-anak, perhiasan, dan segala bentuk kelezatannya, baik wanita, makanan, minuman, tempat tinggal, tempat peristirahatan, pemandangan, maupun kepemimpinan. Sia-sia dalam setiap amal yang tidak ada faedahnya.

Bahkan, dia berada dalam kemalasan, kelalaian, dan kemaksiatan sampai dunianya terpenuhi dan ajalnya datang menghampiri. Hal ini menuntut orang yang berakal untuk bersikap zuhud terhadap dunia, tidak mencintainya, dan benar-benar mewaspadainya.” (Tafsir as-Sa’di hlm. 790)

Rasulullah Mencela Dunia

Diriwayatkan dari Jabir, Rasulullah melewati sebuah pasar di daerah Awali dan orang-orang berada di sekelilingnya. Beliau melewati seekor anak kambing yang telah mati. Anak kambing itu bertelinga kecil.

Beliau mengambilnya dan memegang telinganya lalu berkata, “Siapa yang mau membelinya dengan harga satu dirham?”

Mereka menjawab, “Siapa di antara kami yang senang memilikinya? Apa yang bisa kami perbuat dengannya?”

Beliau berkata, “Apakah kalian senang memilikinya?”

Mereka berkata, “Jika dia hidup, dia tetaplah cacat. Lantas bagaimana lagi ketika dia sudah mati?”

Beliau bersabda, “Demi Allah, dunia lebih hina di hadapan Allah daripada hinanya (bangkai) ini di hadapan kalian.” (HR. Muslim no. 5257)

إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا، فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ

“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (enak rasanya dan menyenangkan tatkala dipandang). Sungguh, Allah mengangkat kalian silih berganti dengan yang lain di dunia ini. Lantas Dia akan melihat apa yang kalian perbuat (dengan dunia itu). Oleh karena itu, hati-hatilah kalian terhadap urusan dunia dan wanita. Sebab, awal petaka yang menimpa Bani Israil adalah dalam hal wanita.” (HR. Muslim no. 4925 dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu anhu)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

وَاللهِ مَا الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ-وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ-فِي الْيَمِّ، فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ؟

“Demi Allah, tidaklah dunia dibandingkan dengan akhirat selain seperti seseorang yang meletakkan jarinya ini—Yahya, salah seorang perawi, mengisyaratkan dengan telunjuknya ke dalam air—hendaklah dia melihat apa yang ada di jarinya tersebut.” (HR. Muslim no. 5101 dari sahabat al-Mustaurid radhiyallahu anhu)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ

“Setiap umat ditimpa oleh ujian, dan ujian yang akan menimpa umatku adalah harta benda.” (HR. at-Tirmidzi no. 2258 dari Ka’b bin ‘Iyadh radhiyallahu anhu)

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu mengisahkan,

نَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى حَصِيرٍ فَقَامَ وَقَدْ أَثَّرَ فِي جَنْبِهِ، فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ لَوِ اتَّخَذْنَا لَكَ وِطَاءً، فَقَالَ: مَا لِي وَلِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا.

Rasulullah tidur di atas sebuah tikar. Tikar tersebut membekas di bagian lambung beliau. Lantas kami mengatakan, “Wahai Rasululah, bolehkah kami membuatkan kasur?” Beliau bersabda, “Tiadalah saya dengan dunia selain seperti orang yang bepergian lalu berteduh di bawah pohon kemudian pergi meninggalkannya.” (HR. at-Tirmidzi no. 2299 dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ

“Tidaklah dua ekor serigala dalam keadaan lapar dilepas pada sekawanan kambing akan lebih merusak dibandingkan dengan ambisi seseorang terhadap harta dan kedudukan pada agamanya.” (HR. at-Tirmidzi no. 2298 dari sahabat Ka’b bin Malik radhiyallahu anhu)

Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan dunia pada banyak tempat dalam kitab suci-Nya dalam rangka menghinakannya. Demikian pula Rasul-Nya dalam as-Sunnah. Tentu, tujuannya ialah agar para hamba tidak tertipu dan terlena.

Sikap Manusia terhadap Peringatan Allah

Dalam hal menanggapi berita dari Allah subhanahu wa ta’ala dan menyikapi pengutusan imam para rasul, Nabi Muhammad, manusia terbagi menjadi beberapa golongan.

1. Golongan yang acuh tak acuh terhadap peringatan tersebut.

Mereka tidak mau tahu tentangnya. Yang penting, segala hasratnya terpenuhi, semua keinginannya terwujud, dan cita-citanya tercapai.

2. Golongan yang mau mendengarkan berita dari Pemilik dunia ini, Yang mengatur dan Yang menciptakannya.

Namun, karena dorongan hawa nafsunya yang besar, semua berita itu tidak memiliki nilai kesakralan dan keabsahan. Masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri.

3. Golongan yang mendengar, mematuhi, dan melaksanakan segala yang diwahyukan oleh Allah tentang dunia.

Dia berusaha mendudukkan dunia dan menjadikannya sebagai alat bantu untuk mewujudkan ketaatan kepada Allah. Dia mencarinya karena melaksanakan tugas. Apabila dia mendapatkannya, dia tidak tergolong orang yang kufur. Sebaliknya, apabila tidak mendapatkannya, dia tidak tergolong orang yang putus asa. Dia mengetahui bahwa dunia ini adalah kenikmatan yang semu dan menipu.

Dunia, Sumber Malapetaka

Tidak samar lagi bagi orang yang berakal tentang bahaya dunia terhadap kehidupan manusia ketika dunia itu tidak ditundukkan untuk membantunya melakukan ketaatan kepada Allah. Dunia telah menyebabkan turunnya berbagai bentuk peringatan dari Allah. Dunia menjadi sebab hancurnya hubungan kekerabatan dan kekeluargaan.

Dunia pula yang menghancurkan persatuan dan kesatuan umat sehingga berujung pada malapetaka kelemahan. Dengan sebab itu, mereka kemudian dihinakan oleh musuh Allah. Dunia telah menjadikan seseorang terhina dan menghinakan diri. Dunia telah mengobrak-abrik tatanan kehidupan manusia secara umum dan kaum muslimin secara khusus.

Dunia telah menyebabkan hilangnya nyawa, terhinakannya kehormatan, dan hancurnya harta benda. Dunia telah menjadikan seseorang buta dari kebenaran. Dia menolaknya karena dunia, menentangnya karena dunia, dan memeranginya karena dunia. Dunia telah menjadikan hati seseorang mati. Dunia adalah asal segala malapetaka.

Dunia, Sebab Utama Menolak Kebenaran

Kebenaran datang dari Allah dan tidak ada setelah kebenaran tersebut selain kesesatan. Terangnya kebenaran dan jelasnya jalan kebatilan bagi sebagian kalangan bisa menjadi tersembunyi. Bahkan, terangnya kebenaran itu akan ditolak oleh orang yang dibutakan oleh dunia.

Tidak ada keraguan lagi bahwa setiap nafsu memiliki berbagai keinginan yang tercela, seperti cinta kepada dunia, mencari ketinggian, berlomba-lomba di hadapan makhluk, dan mencari kedudukan. Ditambah lagi, manusia memiliki tabiat zalim dan melampaui batas. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّهُۥ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا

“Sesungguhnya manusia itu banyak berbuat zalim dan jahil.” (al-Ahzab: 72)

Terkadang, banyak sebab yang mendorong sifat yang tersimpan pada diri setiap manusia itu muncul. Di antaranya adalah hawa nafsu sehingga dia menolak kebenaran padahal dia mengilmuinya. Sikap ini muncul karena ia mengikuti hawa nafsu dan menuntut kemuliaannya terjaga atau ingin memperoleh sedikit dunia.

Anda bisa menemukan mereka dalam kondisi menyelisihi kebenaran, padahal mereka mengetahuinya. Sebabnya adalah ingin memperoleh dunia. Mereka berteriak seolah-olah pembela kebenaran.

Abu Wafa’ Ali bin ‘Aqil al-Hambali berkata,

“Cinta kepada pamor dan condong kepada dunia, berbangga-bangga, bermegah-megah, dan menyibukkan diri dengan segala bentuk kelezatan dunia dan segala hal yang akan mendorong kepada kemewahan, semua itu bisa menjadi sebab seseorang berpaling dan menolak kebenaran.” (al-Wadhih fi Ushulil Fiqh, 1/522)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,

“Pencari kedudukan, walaupun dengan kebatilan, akan menyukai satu kalimat yang mengagungkan dirinya sekalipun batil. Sebaliknya, ia akan membenci ucapan yang mencelanya, kendati hal itu benar. Adapun orang yang beriman mencintai kalimat yang haq untuknya meskipun “menyerangnya”. Dia juga membenci kedustaan dan perbuatan zalim.” (Majmu’ al-Fatawa 10/600)

Al-’Allamah Abdul Lathif bin Abdurrahman Alusy Syaikh berkata tentang orang-orang yang berpaling dari kebenaran,

“Golongan yang kedua, para pemimpin dan pemilik harta benda yang telah tenggelam dalam dunia dan syahwat mereka. Sebab, mereka mengetahui bahwa kebenaran bisa menghalangi mereka dari segala keinginan, kesenangan, dan syahwat mereka. Mereka tidak memedulikan segala bentuk seruan menuju kebenaran dan tidak mau menerimanya.” (Uyun ar-Rasail 2/650)

Perilaku setiap orang yang berpaling dari kebenaran karena harta, kedudukan, atau pamor, mirip dengan perilaku orang-orang Yahudi. Sesungguhnya ulama-ulama Yahudi memiliki “sumber” penghidupan pada orang-orang kaya kaumnya. Oleh karena itu, saat Rasulullah datang membawa kebenaran, mereka mengetahui bahwa yang dibawanya adalah haq. Namun, karena dunialah mereka mengingkari dan mengkufurinya. Mereka menyembunyikan kebenaran yang mereka ketahui dari bani Israil.

Dunia, Sebab Utama Kesesatan

Saat menafsirkan firman Allah,

وَلَا تَشۡتَرُواْ بِ‍َٔايَٰتِي ثَمَنًا قَلِيلًا و

“Dan janganlah kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga sedikit.” (al-Baqarah: 41)

Abul Muzhaffar as-Sam’ani berkata,

“Mereka adalah para ulama Yahudi dan para pendeta yang telah memiliki sumber penghasilan dari orang-orang kaya mereka dan orang-orang jahil yang mengikuti mereka. Mereka khawatir penghasilan tersebut hilang apabila mereka beriman kepada Muhammad, Rasulullah. Akhirnya, mereka mengubah ciri-ciri beliau (yang tercantum dalam kitab mereka, -red.) dan menyembunyikan nama beliau. Inilah makna menjual ayat-ayat Allah dengan harga sedikit.” (Tafsir al-Qur’an 1/22)

Kedudukan, kewibawaan, dan kepemimpinan juga telah melandasi para pemuka Quraisy untuk mengingkari Nabi Muhammad, memerangi, dan memusuhinya. Bersamaan dengan itu, mereka mengetahui dan mengakui kebenaran yang diserukan beliau.

Al-Miswar bin Makhramah berkata kepada Abu Jahl, pamannya, “Wahai pamanku, apakah kalian menuduh Muhammad berdusta sebelum dia mendakwahkan apa yang diserukan?”

Abu Jahl berkata, “Hai anak saudaraku. Demi Allah, sungguh saat mudanya, di tengah-tengah kami dia dikenal sebagai seorang yang tepercaya (jujur). Kami tidak pernah mengetahui dia berdusta. Tentu, setelah bertambah usia dia tidak mungkin akan berdusta atas nama Allah.”

Al-Miswar berkata, “Hai pamanku, mengapa kalian tidak mengikutinya?”

Dia berkata, “Hai anak saudaraku, kami telah berselisih dengan bani Hasyim dalam hal kepemimpinan. Mereka memberi makan (orang-orang), kami juga memberi makan. Mereka memberi minum, kami pun memberi minum. Mereka memberi perlindungan, kami juga melakukannya. Tatkala kami saling berlomba-lomba, bani Hasyim berkata, ‘Dari kami ada seorang nabi. Kapan kalian mendapatkannya?’.” (Lihat Miftah Dar as-Sa’adah 1/93)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,

“Meskipun Abu Thalib mengetahui bahwa Muhammad adalah Rasulullah dan dia mencintainya, cintanya bukan karena Allah, melainkan karena dia adalah anak saudaranya. Dia mencintainya karena kekerabatan. Kalaupun dia membela beliau, itu karena ingin memperoleh kedudukan dan kepemimpinan.

Jadi, asal muasal cintanya adalah karena kedudukan. Hal itu terbukti saat Rasulullah menawarinya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat menjelang ajalnya. Dia melihat bahwa mengikrarkannya akan melenyapkan agama yang dicintainya. Agamanya lebih dia cintai daripada anak saudaranya. Oleh karena itu, dia menolak mengikrarkannya.” (Fatawa Kubra 6/244)

Asy-Syaukani berkata,

“Terkadang, sebuah ucapan yang haq ditinggalkan karena seseorang ingin menjaga apa yang telah dia peroleh dari negaranya, baik berbentuk materi maupun kedudukan. Bahkan, terkadang ucapan yang haq itu ditinggalkan karena berbeda dengan apa yang terjadi di tengah-tengah manusia, dalam rangka mencari simpati mereka dan agar mereka tidak lari. Terkadang pula, dia meninggalkan ucapan yang benar karena ketamakannya terhadap apa yang diharapkan dari negaranya atau dari banyak orang di kemudian hari.” (Adabu ath-Thalib wa Muntaha al-Arb hlm. 41)

Imam Ibnu Qayyim berkata,

“Saya telah berdialog dengan ulama Nasrani yang kelasnya terpandang pada hari ini. Saat jelas kebenaran di hadapannya, dia terdiam. Saya berkata kepadanya tatkala menyendiri dengannya, ‘Sekarang, apa yang menghalangi Anda untuk menerima kebenaran?’

Dia berkata kepadaku, ‘Apabila saya datang ke tengah-tengah kaum Himyar, mereka menaburkan bunga yang semerbak di bawah kaki kendaraanku. Mereka menjadikanku sebagai hakim dalam urusan harta benda dan istri mereka. Mereka tidak pernah menentang segala hal yang aku perintahkan. Aku ini tidak punya keahlian untuk bekerja. Aku tidak bisa menghafal Al-Qur’an, tidak pula mengetahui ilmu nahwu dan fikih. Andaikan aku masuk Islam, niscaya aku akan berkeliling di pasar-pasar, meminta-minta kepada orang banyak. Siapa yang tega hal itu terjadi?’

Aku mengatakan, ‘Itu tidak akan terjadi. Bagaimana sangkaan Anda kepada Allah saat Anda mengutamakan ridha-Nya di atas nafsu Anda, apakah Dia akan menghinakan, merendahkan, dan menjadikan Anda miskin? Jika hal itu benar-benar menimpa Anda, kebenaran yang telah Anda raih, keselamatan dari neraka, murka, dan marah Allah adalah harga yang jauh lebih pantas dibandingkan dengan apa yang luput dari Anda.’

Dia berkata, ‘Sampai Allah merestui.’

Saya lalu berkata, ‘Takdir bukan alasan. Jika takdir bisa menjadi alasan, tentu takdir bisa menjadi alasan orang orang Yahudi saat mendustakan Nabi Isa. Demikian pula, dia akan menjadi hujah bagi kaum musyrikin ketika mendustakan seruan Rasulullah. Kalian sendiri menolak takdir. Bagaimana bisa kalian berhujah dengannya?’

Dia berkata, ‘Biarkan kami dari ini.’

Diapun terdiam.” (Hidayatul Hayara fi Ajwibatil Yahudi wan Nashara hlm. 12).

Doa Orang Terzolimi

Doa Orang Terzolimi 

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن سار على نهجه واستنّ بسنته إلى يوم الدين, أما بعد

Ma’asyirol muslimin para pembaca yang semoga dirahmati Allah subhanahu wata’ala.

Dzulmun atau yang biasa kita kenal dengan kata zalim merupakan lawan dari kata adil yang diartikan secara bahasa adalah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya, dan secara istilah adalah melakukan sesuatu yang keluar dari koridor kebenaran, baik karena kurang atau melebihi batas.

Ciri Orang yang Zalim

Islam melarang perbuatan zalim baik terhadap diri sendiri, orang lain, bahkan terhadap Rabb pencipta alam semesta Allah ‘azza wa jalla, disebutkan dalam hadits qudsi yang diriwayatkan imam Muslim

قَالَ الله تبارك وتعالى : يا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلى نَفْسِي وَجَعَلْتُه بَينَكُمْ مُحَرَّماً فَلَا تَظَالمُوا

Artinya : Allah tabaaraka wa ta’ala berfirman : “wahai hamba-hambaKu sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman atas diriKu, dan Aku jadikan kezaliman diharamkan diantara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.”

Hadits ini menjelaskan bahwa Allah ‘azza wajalla mengharamkan perbuatan zalim antara seorang hamba dengan hamba yang lainnya, bahkan terhadap Allah ‘azza wajalla kita lebih diharamkan untuk berbuat zalim kepadaNya yaitu dengan berbuat syirik kepadaNya dan ini adalah kezaliman yang sangat besar, sebagaimana Allah subhanahu wata’ala berfirman :

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Artinya : “sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang sangat besar”
(Q.S.Luqman : 13)

Ketika Allah ‘azza wajalla mengharamkan perbuatan zalim antara seorang hamba dengan yang lainnya, dengan tujuan agar tercipta saling menghormati dan saling menghargai diantara sesama tanpa mengenal status dan kedudukan seseorang, akan tetapi jika kezaliman itu muncul dari seorang hamba, maka hilanglah semua sikap tersebut dan akibatnya bagi orang yang berbuat zalim akan mendapatkan balasan di dunia maupun di akhirat.

Balasan Bagi Orang yang Zalim

Contoh balasan di akhirat adalah akan diqishash pada hari kiamat, disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa rosulullah shallallahu  ‘alaihi wasallam pernah bertanya :

أَتَدْرُونَ مَا المُفْلِسُ؟ قَالُوا: اَلْمُفْلِسُ فِيْنَا مَنْ لَيْسَ لَهُ دِرْهَمَ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ: إِنَّ المُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ، وَيَأْتِي وَقَدْ شَتَمَ هَذَا، وَقَذَفَ هَذَا، وَأَكَلَ مَالَ هَذَا، وَسَفَكَ دَمَ هَذَا، وَضَرَبَ هَذَا، فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يَقْضِيَ مَا عَلَيْهِ، أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ، ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ

Artinya : “Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut?”.
Para sahabat menjawab, “Orang yang bangkrut menurut kami adalah orang yang tidak memiliki uang dirham maupun harta benda”.
Nabi bersabda, “Sesungguhnya orang yang bangkrut dikalangan ummatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala sholat, puasa, dan zakat, tapi ia juga datang membawa dosa berupa perbuatan mencela, menuduh, memakan harta, menumpahkan darah, dan memukul orang lain. Kelak kebaikan-kebaikannya akan diberikan kepada orang yang terzalimi. Apabila amalan kebaikannya sudah habis diberikan, sementara belum selesai pembalasan tindak kedzalimannya, maka diambillah dosa-dosa orang yang terzalimi itu, lalu diberikan kepadanya, kemudian diapun dicampakkan kedalam neraka”.
(H.R. Muslim)

Dan contoh balasan di dunia adalah dijauhkan dari hidayah Allah ‘azza wajalla, Allah subhanahu wata’ala berfirman :

إِنَّ الله لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِيْنَ

Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim”
(Q.S.al-Maidah :51)

Sungguh masih banyak lagi contoh balasan bagi orang-orang yang berbuat zalim yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadits rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi dua contoh tersebut sudah cukup menggambarkan kepada kita kalau kita benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir betapa besarnya balasan bagi orang-orang yang berbuat zalim, sehingga kita takut dan menjauhi perbuatan tersebut.

Doa Orang yang Sedang di Zalim Mustajab

Kalau sekiranya kita secara sengaja ataupun tidak pernah berbuat zalim terhadap orang lain seperti memfitnah, menggunjing, mengadu domba ataupun yang lainnya, maka solusinya adalah segeralah meminta ampun kepada Allah ‘azza wajalla lalu meminta maaf kepada orang yang pernah kita zalimi, karena doa orang yang terzalimi mustajab, yaitu dikabulkan oleh Allah ‘azza wajalla, rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الله حِجَابٌ

Artinya : ”Dan berhati-hatilah terhadap doa orang yang terzalimi, karena tidak ada penghalang antara doanya dengan Allah”.
(H.R. Bukhori dan Muslim)

Beruntunglah kita kalau sekiranya orang yang terzalimi tersebut hanya berdoa memohon kebaikan bagi dirinya atau bahkan memohon kebaikan untuk orang yang menzaliminya, yaitu berupa hidayah, akan tetapi jika ia memohon keburukan untuk kita, maka terancamlah kita dengan doa tersebut, naudzubillah min dzalik, dan hanya kepada Allah kita memohon pertolongan.

Maka sebagai langkah bijak dan mengikhlaskan segala yang pernah terjadi bagi orang yang pernah dizalimi adalah dengan mendoakan kebaikan untuk orang yang pernah menzaliminya bukan mendoakan keburukan, karena dengan mendoakan kebaikan, maka kebaikan tersebut tidak hanya akan diperoleh bagi orang yang berbuat zalim tapi juga akan diperoleh bagi orang yang dizaliminya.

Oleh karena itu marilah kita memohon kepada Allah ‘azza wajalla agar kita termasuk orang-orang yang senantiasa berbuat kebaikan dan senantiasa menjauhi segala bentuk keburukan termasuk didalamnya perbuatan zalim

وَصَلَّى الله عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأّصْحَابِه أّجْمَعِيْنَ

Cara Terbaik Untuk Melawan Was-was

Cara Terbaik Untuk Melawan Was-was 

Kisah ini juga disebutkan oleh al-Hafizh adz-Dzahabi dalam kitab as-Siyar. Kisah tentang laki-laki ini, yaitu Ibnu Wahb, ulama terkenal. Beliau pada awal mulanya terpapar oleh waswas. Lalu beliau pergi mengeluhkan hal itu kepada gurunya. Kemudian gurunya menyarankannya untuk menuntut ilmu. Itulah yang menjadi sebab beliau menuntut ilmu, juga sebab hilangnya waswas.

Oleh sebab itu, para ulama mengatakan bahwa menuntut ilmu adalah salah satu hal terbesar yang dapat menghilangkan waswas. Hal itu karena seorang penuntut ilmu adalah orang yang arif terhadap urusannya dan mengetahui hal yang dapat menghalau waswas. Ia mengetahui bahwa waswas itu tidak mendatangkan masalah baginya.

Sebagai contoh, jika waswas yang mendatanginya dalam hal bersuci apabila dia arif dalam hal ini dan menerapkan kaidah besar dalam fikih bahwa keyakinan tidak dapat gugur dengan keraguan serta meyakini keadaan sucinya, maka ia tidak akan menghiraukan waswas dan keraguan apakah dia sudah berhadas.

Juga menerapkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Hendaklah dia tidak membatalkan shalatnya, hingga mendengar suara atau mencium bau (kentut).” Jadi kita dapati bahwa ilmu dapat membantu dalam mengusir rasa waswas.

Oleh sebab itu, kamu dapati bahwa waswas tidak mendatangi penuntut ilmu. Kalaupun mendatanginya, itu hanya waswas yang ringan. Karena dia punya kearifan dan ilmu untuk menghalau waswas.

Di antara hal lain yang dapat menghalau waswas juga adalah sikap abai; mengabaikan hal yang mendatangkan waswas tersebut. Karena jika dia berhenti memikirkannya, waswas itu akan melemah sedikit demi sedikit, hingga hilang sepenuhnya. Namun, sebagian orang ketika didatangi rasa waswas, ia sibuk memikirkannya. Sehingga waswas itu terus bertambah, hingga menjadi waswas yang tidak dapat terkontrol. Sehingga dia tidak lagi dapat menguasai dirinya, dan justru dia dikuasai oleh nafsunya.

Lalu sebagaimana ilmu itu dapat menghalau rasa waswas, ia juga dapat menghalau fitnah syubhat-syubhat. Hal terbesar untuk menghalau fitnah syubhat adalah ilmu. Karena fitnah syubhat itu datang karena lemahnya kearifan dan kurangnya ilmu. Oleh sebab itu, kamu temui bahwa mayoritas orang yang terjerumus ke dalam fitnah syubhat adalah orang yang kurang arif. Sedangkan orang yang punya kearifan dan keilmuan yang kuat, kebanyakan tidak akan terjerumus ke dalam fitnah syubhat. Jadi, ilmu itu dapat menghalau fitnah syubhat. Sebagaimana kesabaran dapat menghalau fitnah syahwat.

====

هَذِهِ هِيَ الْقِصَّةُ أَيْضًا ذَكَرَهَا الْحَافِظُ الذَّهَبِيُّ فِي السِّيَرِ فِي قِصَّةِ هَذَا الرَّجُلِ ابْنُ وَهْبٍ الْعَالِمُ الْمَعْرُوفُ لَمَّا يَعْنِي فِي أَوَّلِ لَمَّا كَانَ فِي أَوَّلِ أَمْرِهِ عَرَضَتْ لَهُ وَسَاوِسُ فَذَهَبَ وَاشْتَكَى إِلَى شَيْخِهِ فَنَصَحَهُ بِطَلَبِ الْعِلْمِ فَكَانَ ذَلِكَ سَبَبًا لِطَلَبِهِ الْعِلْمَ وَسَبَبًا لِزَوَالِ الْوَسَاوِسِ

وَلِهَذَا قَالَ الْعُلَمَاءُ إِنَّ طَلَبَ الْعِلْمِ مِنْ أَعْظَمِ مَا يُدْفَعُ بِهِ الْوَسْوَاسُ وَذَلِكَ لِأَنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَكُونُ بَصِيرًا بِأَمْرِهِ وَيَكُونُ عَارِفًا بِمَا يَدْفَعُ بِهِ الْوَسَاوِسَ وَأَنَّ هَذِهِ الْوَسَاوِسَ لَا تَضُرُّهُ

فَمَثَلًا إِذَا كَانَ الوَسْوَاسُ فِي الطَّهَارَةِ إِذَا تَبَصَّرَ فِي هَذَا الْبَابِ وَأَعْمَلَ الْقَاعِدَةَ الْفِقْهِيَّةَ الْكُبْرَى الْيَقِينُ لَا يَزُولُ بِالشَّكِّ وَتَيَقَّنَ الطَّهَارَةَ لَمْ يَلْتَفِتْ لِلْوَسَاوِسِ وَالشُّكُوكِ فِي كَوْنِهِ قَدْ أَحْدَثَ

وَأَعْمَلَ قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَنْصَرِفُ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا فَنَجِدُ أَنَّ الْعِلْمَ هُنَا مُعِيْنٌ عَلَى طَرْدِ الْوَسْوَاسِ

وَلِذَلِكَ تَجِدُ أَنَّ الْوَسْوَاسَ لَا يَأْتِيهِ طَالِبَ الْعِلْمِ وَإِذَا أَتَى طَالِبَ الْعِلْمِ يَأْتِي خَفِيفًا لِأَنَّ عِنْدَهُ بَصِيرَةً وَعِنْدَهُ عِلْمًا يَدْفَعُ بِهِ هَذَا الْوَسْوَاسَ

وَمِمَّا يُدْفَعُ بِهِ الْوَسْوَاسُ كَذَلِكَ الْإِعْرَاضُ الْإِعْرَاضُ عَنْ هَذَا الشَّيْءِ الَّذِي يُوَسْوِسُ فَإِنَّهُ إِذَا قَطَعَ التَّفْكِيرُ فِيهِ يَبْدَأُ هَذَا الْوَسْوَاسُ يَضْعُفُ شَيْئًا فَشَيْئًا حَتَّى يَتَلَاشَى لَكِنْ يَعْنِي بَعْضَ النَّاسِ عِنْدَمَا يَأْتِيهِ الْوَسْوَاسُ يَبْدَأُ بِإِشْغَالِ نَفْسِهِ بِهِ فَيَزِيْدُ الْوَسْوَاسُ شَيْئًا فَشَيْئًا إِلَى أَنْ يُصْبِحَ وَسْوَاسًا قَهْرِيًّا فَلَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَتَحَكَّمَ فِي نَفْسِهِ بَلْ تَتَحَكَّمُ بِهِ نَفْسُهُ

ثُمَّ أَيْضًا الْعِلْمُ كَمَا أَنَّهُ يَدْفَعُ الْوَسْوَاسَ فَهُوَ أَيْضًا يَدْفَعُ فِتَنَ الشُّبُهَاتِ فَأَعْظَمُ مَا تُدْفَعُ بِهِ فِتَنُ الشُّبُهَاتِ الْعِلْمُ فَفِتْنَةُ الشُّبُهَاتِ إِنَّمَا تَأْتِي مِنْ ضَعْفِ الْبَصِيرَةِ وَقِلَّةِ عِلْمٍ وَلِهَذَا تَجِدُ أَنَّ عَامَّةَ مَنْ يَقَعُ فِي فِتْنَةِ الشُّبُهَاتِ عِنْدَهُ قِلَّةُ بَصِيرَةٍ وَإِلَّا مَنْ عِنْدَهُ قُوَّةُ بَصِيرَةٍ وَقُوَّةُ عِلْمِيَّةٍ لَا يَقَعُ فِي فِتْنَةِ الشُّبُهَاتِ فِي الْغَالِبِ فَإِذًا الْعِلْمُ يُدْفَعُ بِهِ فِتْنَةُ الشُّبُهَاتِ كَمَا أَنَّ الصَّبْرَ تُدْفَعُ بِهِ فِتْنَةُ الشَّهَوَاتِ