Riya'

Riya' 

Dalam beribadah, terkadang muncul perasaan ingin dipuji orang lain. Apalagi ibadah tersebut dilakukan di tempat umum yang banyak dilihat orang lain. Memang pujian manusia terdengar manis di telinga, tetapi hal ini dapat membawa kerugian bagi kita semua. Hal ini merupakan riya’ yang tersembunyi pada hati. Apa itu riya’? Dan apa saja bahayanya? Mari simak penjelasan singkat mengenai riya’ berikut ini.

Definisi Riya

Riya’ merupakan keinginan hati untuk dipuji saat melakukan ibadah maupun amal salih, sehingga pelaku riya’ tersebut cenderung memperbagus ibadahnya. Para ulama mendefinisikan riya’ sebagai berikut,

أن يُظهِرَ الإنسانُ العَمَلَ الصَّالحَ للآخَرِينَ، أو يُحَسِّنَه عِندَهم؛ لِيَمدَحوه، ويَعظُمَ في أنفُسِهم

Riya’ adalah menampakkan amalan shalih kepada orang lain atau memperbagusnya di hadapan orang lain, agar mendapatkan pujian atau agar dianggap agung oleh orang lain.” (Lihat Al-Muwafaqat karya Asy-Syatibi [2/353], Ar-Ri’ayah karya Ibnu Abil Izz [hal. 55])

Bahaya dari Riya

Terdapat beberapa bahaya dari riya’ yang disebutkan baik di Al-Qur’an maupun berbagai sumber As-Sunnah, diantaranya sebagai berikut:

1. Riya’ membatalkan pahala amal salih

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا ۖ لَا يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadikan ia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan, dan Allah tidak memberi petunujuk kepada orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 264)

Perumpamaan hati pada ayat tersebut menunjukkan bahwa orang yang berbuat riya’ tidak akan mendapatkan apa-apa. Amal ibadah yang dilakukan lewat saja dari hati mereka. Tidak ada kebaikan maupun pahala yang didapatkan, bahkan mereka mendapatkan dosa darinya. Hal ini sangat disayangkan sekali karena ibadah yang dilakukan terhapus pahalanya, hanya memberikan lelah.

2. Riya’ termasuk kesyirikan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِيْ مِنَ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ ، قَالَ قُلْنَا بَلَى ، فَقَالَ : الشِّرْكُ الْخَفِيُّ أَنْ يَقُوْمَ الرَّجُلُ يُصَلِّيْ فَيُزَيِّنُ صَلاَتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ

Maukah aku kabarkan kepada kalian sesuatu yang lebih tersembunyi di sisiku atas kalian daripada Masih ad Dajjal?” Dia berkata, “Kami mau.” Maka Rasulullah berkata, yaitu syirkul khafi; yaitu seseorang salat, lalu ia menghiasi (memperindah) salatnya, karena ada orang yang memperhatikan salatnya.” (HR Ibnu Majah, no. 4204, dari hadits Abu Sa’id al-Khudri, hadits ini hasan-Shahih Ibnu Majah, no. 3389)

Kesyirikan yang dimaksud adalah kesyirikan tersembunyi atau disebut sebagai syirik khafi.

3. Amal salih yang disertai riya’ akan hilang pengaruh baiknya

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ ﴿٤﴾ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ﴿٥﴾الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ﴿٦﴾وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ

Maka celakalah bagi orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya’ dan mencegah (menolong dengan) barang yang berguna.” (QS. Al-Ma’uun: 4-7)

Dalam ayat tersebut, orang yang salat dengan riya’ tidak akan memiliki pengaruh positif dalam hati mereka. Mereka hanya mengerjakan salat dari apa yang tampak saja. Hati mereka tidak digunakan untuk mengharap pahala dari Allah, tetapi mereka hanya mengharapkan ucapan semu dari manusia. Maka merugilah orang-orang yang melakukan riya’.

Riya’ yang Menempel pada Ibadah

Berdasarkan fatwa dari Syaikh Ibnu Utsaimin hafizhahullah pada Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin, (2/29, 30), terdapat tiga macam menempelnya riya’ dengan ibadah:

1. Asal tujuan dalam ibadahnya agar dilihat oleh orang

Pada kasus ini, riya’ membatalkan ibadahnya.

2. Bersama dalam ibadah, terdapat riya’ disela-selanya

  • Apabila kondisi awal tidak terkait dengan kondisi akhir, maka riya’ mempengaruhi pada kondisi yang dilekatinya. Sebagai contoh membaca Al-Qur’an. Pada sepuluh ayat awal, orang tersebut tidak ada riya’. Tetapi pada ayat selanjutnya, orang tersebut melakukan riya’. Maka riya’ hanya mempengaruhi amalan pada bacaan setelah sepuluh ayat pertama.
  • Apabila kondisi awal terkait dengan kondisi akhir, maka riya’ dapat membatalkan ibadahnya. Sebagai contoh salat, puasa. Apabila orang tersebut menyadarinya dan segera mengkoreksi niatnya, maka riya’ tersebut tidak memberikan pengaruh. Tetapi apabila orang tersebut menikmati dan tidak ingin menolak riya’, maka ibadah tersebut batal.

3 . Munculnya riya’ setelah beribadah

Hal ini tidak mempengaruhi ibadahnya karena telah sempurna ibadah yang sudah dilakukan. Bukan termasuk riya’ seseorang senang dengan melakukan amal salih karena hal tersebut merupakan bukti atas keimanannya. Dari Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ وَسَاءَتْهُ سَيِّئَتُهُ فَهُوَ مُؤْمِنٌ

Siapa yang merasa bahagia dengan ibadah yang dia kerjakan, dan merasa sedih karena maksiat yang dia lakukan, maka itulah mukmin”. (HR. Ahmad 115, Turmudzi 2318, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)

Penutup

Betapa bahayanya ibadah apabila dimasuki riya’ karena dapat menghapus nilai dari ibadah tersebut. Jangan sampai kita menjadi orang yang merugi karenanya. Semoga dengan bertambanya ilmu tentang riya’, kita dapat semakin berhati-hati dalam menjaga niat pada ibadah kita.

Wallahu a’lam. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

Referensi:

1. Majmu’ Fatawa Syeikh Ibnu Utsaimin, (2/29, 30) yang diambil dari https://islamqa.info/id/answers/9359/masuknya-riya-dalam-ibadah

2. Ustadz Ammi Nur Baits, 2016, “Kapan Riya bisa Membatalkan Ibadah?”, diakses dari https://konsultasisyariah.com/26441-kapan-riya-bisa-membatalkan-ibadah.html

3. Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, diakses dari https://almanhaj.or.id/11969-bahaya-riya-2.html

4. stadz Yulian Purnama, S. Kom., 2022, “Perbedaan Pamer, Riya, Ujub, dan Sombong”, diakses dari https://konsultasisyariah.com/41003-perbedaan-pamer-riya-ujub-dan-sombong.html


Tetap Bersemangat Dalam Hal Yang Bermanfaat

Tetap Bersemangat Dalam Hal Yang Bermanfaat 

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Sebuah hadits yang patut jadi renungan bersama dan digali faedah-faedah penting di dalamnya …

Dari Abu Hurairah, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun, keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.’ Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu syaithon.”

(HR. Muslim)

[Muslim: 47-Kitab Al Qodar, An Nawawi –rahimahullah- membawakan hadits ini dalam Bab “Iman dan Tunduk pada Takdir”]

Beberapa pelajaran berharga dapat kita petik dari hadits ini.

Mukmin yang Kuat Lebih Baik daripada Mukmin yang Lemah

Mukimin yang kuat di sini bukanlah yang dimaksudkan adalah mukmin yang kekar badannya, perkasa dan sehat. Semacam ini yang sering dipahami sebagian orang tatkala mendengar hadits ini.

Yang dimaksud dengan mukmin yang kuat di sini adalah mukmin yang kuat imannya. Bukan yang dimaksudkan dengan kuat di sini adalah mukmin yang kuat badannya. Karena kuatnya badan biasanya akan menimbulkan bahaya jika kekuatan tersebut digunakan dalam hal maksiat. Namun pada asalnya, kuat badan tidak mesti terpuji dan juga tidak mesti tercela. Jika kekuatan tersebut digunakan untuk hal yang bermanfaat untuk urusan dunia dan akhirat, maka pada saat ini terpuji. Namun jika sebaliknya, digunakan dalam perbuatan maksiat kepada Allah, maka pada saat inilah tercela.

Jadi, yang dimaksudkan kuat di sini adalah kuatnya iman. Kita dapat saja menyebut seorang itu kuat, maksudnya adalah dia perkasa dengan kejantanannya. Begitu pula kita dapat menyebut kuat dalam masalah iman.

Yang dimaksud dengan kuatnya iman di sini adalah seseorang mampu melaksanakan kewajiban dan dia menyempurnakannya pula dengan amalan sunnah. Sedangkan seorang mukmin yang lemah imannya  kadangkala tidak melaksanakan kewajiban dan enggan meninggalkan yang haram. Orang seperti inilah yang memiliki kekurangan.

Lalu yang dimaksudkan bahwa orang mukmin yang kuat itu lebih baik daripada yang lemah adalah orang mukmin yang kuat imannya lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah imannya.

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa mereka semua (yaitu mukmin yang kuat imannya dan mukmin yang lemah imannya) sama-sama memiliki kebaikan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan demikian agar jangan disalahpahami bahwa mukmin yang lemah imannya tidak memiliki kebaikan sama sekali. Mukmin yang lemah imannya masih tetap memiliki kebaikan dan dia tentu saja lebih baik daripada orang kafir. Namun sekali lagi diingat bahwa mukmin yang kuat imannya tentu saja lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah imannya.

Bersemangatlah dalam Perkara yang Bermanfaat Bagimu

Inilah wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya. Wasiat beliau ini adalah perintah untuk bersemangat dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat. Lawan dari hal ini adalah melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan bahaya (dhoror), juga melakukan hal-hal yang tidak mendatangkan manfaat atau pun bahaya.

Karena yang namanya perbuatan itu ada tiga macam: [1] perbuatan yang mendatangkan manfaat, [2] perbuatan yang menimbulkan bahaya, dan [3] perbuatan yang tidak mendatangkan manfaat maupun bahaya. Sedangkan yang diperintahkan adalah melakukan macam yang pertama yaitu hal yang bermanfaat.

Orang yang berakal yang menerima wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini pasti akan semangat melakukan hal yang bermanfaat. Namun kebanyakan orang saat ini menyia-nyiakan waktunya untuk hal yang tidak bermanfaat. Bahkan kadangkala yang dilakukan adalah hal yang membahayakan diri dan agamanya. Terhadap orang semacam ini, pantas kita katakan: Kalian tidaklah mengamalkan wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Boleh jadi kalian tidak melaksanakannya karena tidak tahu atau karena menganggap remeh. Mukmin yang berakal dan mantap hatinya tentu akan melaksanakan wasiat beliau ini, juga akan semangat melakukan hal yang bermanfaat bagi agama dan dunianya.

Hal yang manfaat dalam agama kembali pada dua perkara yaitu ilmu nafi’ (yang bermanfaat) dan amalan sholeh.

Yang dimaksud dengan ilmu nafi’ adalah ilmu yang dapat melembutkan dan menentramkan hati, yang nantinya akan membuahkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ilmu  nafi’ inilah ajaran Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terdapat dalam tiga macam ilmu yaitu ilmu hadits, tafsir dan fiqih. Yang juga bisa menolong dalam menggapai ilmu nafi’ adalah bahasa Arab dan beberapa ilmu lainnya sesuai dengan kebutuhan.

Adapun yang dimaksud amalan sholeh adalah amalan yang selalu dilandasi dengan ikhlash dan mencocoki tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Adapun hal yang manfaat dalam masalah dunia adalah seorang hamba berusaha untuk mencari rizki dengan berbagai sebab yang diperbolehkan sesuai dengan kemampuannya. Juga hendaklah setiap orang selalu merasa cukup, tidak mengemis-ngemis dari makhluk lainnya. Juga hendaklah dia mengingat kewajibannya terhadap harta dengan mengeluarkan zakat dan sedekah. Dan hendaklah setiap orang berusaha mencari rizki yang thoyib, menjauhkan diri dari rizki yang khobits (kotor). Perlu diketahui pula bahwa barokahnya rizki seseorang dibangun di atas takwa dan niat yang benar. Juga berkahnya rizki adalah jika seseorang menggunakannya untuk hal-hal yang wajib ataupun sunnah (mustahab). Juga termasuk keberkahan rizki adalah jika seseorang memberi kemudahan pada yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman,

وَلاَ تَنسَوُاْ الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ

Jangan lupakan untuk saling memberi kemudahan di antara kalian.” (QS. Al Baqarah: 237). Yaitu yang memiliki kemudahan rizki memudahkan yang kesulitan, bahkan seharusnya memberi tenggang waktu dalam pelunasan hutang. Apabila semua ini dilakukan, datanglah keberkahan dalam rizki.

Dahulukanlah Maslahat Agama

Hadits ini begitu baik untuk direnungkan oleh setiap insan, bahkan hadits ini bisa dijadikan pelita baginya dalam melakukan amalan dalam masalah agama maupun dunianya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Bersemangatlah kamu dalam melakukan hal yang bermanfaat bagimu”. Perkataan beliau ini mencakup segala sesuatu yang bermanfaat baik dalam masalah agama maupun dunia. Namun, apabila maslahat dunia dan agama itu bertabrakan, yang lebih didahulukan adalah maslahat agama. Karena jika maslahat agama tercapai, maka dunia pun akan diperoleh. Adapun jika maslahat dunia tercapai, namun agama malah menjadi rusak, maka nantinya maslahat tersebut akan sirna.

Semoga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut bisa menjadi renungan bagi kita semua.

مَنْ كَانَتِ الآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِى قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِىَ رَاغِمَةٌ وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهَ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا قُدِّرَ لَهُ

“Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai akhirat, maka Allah akan memberikan kecukupan dalam hatinya, Dia akan menyatukan keinginannya yang tercerai berai, dunia pun akan dia peroleh dan tunduk padanya. Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai dunia, maka Allah akan menjadikan dia tidak pernah merasa cukup, akan mencerai beraikan keinginannya, dunia pun tidak dia peroleh kecuali yang telah ditetapkan baginya.” (HR. Tirmidzi no. 2465. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Perlu Ada Skala Prioritas: Dahulukan Yang Memiliki Manfaat Lebih

Hadits ini juga menunjukkan bahwa jika bertentangan antara dua hal yang sama-sama manfaat, maka pilihlah perkata yang memiliki nilai manfaat yang lebih.

Misalnya adalah jika kita ingin bersilaturahmi dan kita punya dua pilihan yaitu bersilaturahmi ke saudara kandung dan paman. Keduanya sama-sama mendesak pada saat itu dan tidak mungkin kita berkunjung ke tempat keduanya sekaligus. Dari penjelasan di atas, kita haruslah mendahulukan silaturahmi kepada saudara kandung daripada paman karena berkunjung ke tempatnya tentu lebih utama dan lebih mendatangkan manfaat.

Begitu pula jika di dekat rumah kita ada dua masjid, yang jaraknya hampir sama. Akan tetapi salah satu dari dua masjid tersebut memiliki jama’ah lebih banyak. Dalam kondisi semacam ini, lebih utama shalat di masjid yang lebih banyak jama’ahnya.

Jadi ingatlah baik-baik kaedah yang sangat bermanfaat ini: Jika bertentangan dua hal yang sama-sama bermanfaat, yang satu memiliki nilai lebih dari yang lainnya, maka kita mendahulukan yang memiliki nilai lebih tersebut.

Namun sebaliknya, jika seseorang terpaksa harus melakukan hal yang terlarang dan dia punya dua pilihan. Di antara dua pilihan tersebut ada yang lebih berbahaya. Dalam kondisi semacam ini, dia harus memilih larangan yang lebih ringan.

Jadi, jika ada beberapa perkara yang terlarang dan kita harus menerjanginya, maka pilihlah yang paling ringan. Namun dalam beberapa perkara yang diperintahkan dan kita harus memilih salah satu, maka pilihlah yang paling bermanfaat.

Jangan Lupa Meminta Pertolongan pada Allah

Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kita untuk semangat dalam melakukan hal yang bermanfaat, kemudian beliau menyampaikan wasiat pula agar kita jangan sampai lupa minta pertolongan pada Allah Yang Berada di atas sana.

Seorang yang berakal dan cerdas pasti akan melakukan hal yang bermanfaat dan akan memilih melakukan yang lebih manfaat. Namun terkadang hati ini berubah, sampai-sampai kita bersandar pada diri sendiri dan lupa meminta tolong pada Allah ‘azza wa jalla. Inilah yang terjadi pada kebanyakan orang, mungkin juga kita. Kita terkadang merasa takjub dengan diri sendiri, seraya dalam benak hati ini mengatakan: Saya pasti bisa menyelesaikannya sendiri. Dalam kondisi ini, Rabb tempat kita bergantung dan tempat kita memohon segala macam hajat, posisi-Nya terpinggirkan. Ketika kita sudah bersemangat dalam melakukan suatu amalan sholeh dan yang bermanfaat, terkadang kita terlena dengan kemampuan kita sendiri, merasa takjub dan lupa meminta tolong pada Rabb kita. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepada kita: Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu dan minta tolonglah pada Allah. Maksudnya adalah janganlah kita melupakan meminta tolong pada-Nya walaupun itu adalah dalam perkara yang sepele.

Misalnya dalam hadits:

لِيَسْأَلْ أَحَدُكُمْ رَبَّهُ حَاجَتَهُ كُلَّهَا حَتَّى يَسْأَلَ شِسْعَ نَعْلِهِ إِذَا انْقَطَعَ

Hendaklah salah seorang di antara kalian meminta seluruh hajatnya pada Rabbnya, walaupun itu adalah meminta dalam hal tali sendal yang terputus.” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam musnadnya. Husain Salim Asad mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih berdasarkan syarat Muslim). Yaitu mintalah pada Allah walaupun dalam perkara sepele sekalipun, jangan sampai engkau melupakan-Nya. Misalnya: ketika engkau ingin berwudhu atau melaksanakan shalat, bergerak ke kanan dan ke kiri, atau mungkin ingin meletakkan sesuatu, maka pada saat itu jangan lupa untuk meminta tolong pada Allah. Karena seandainya tanpa pertolongan-Nya, niscaya sedikit pun tidak akan engkau raih.

Teruslah Melakukan Suatu Amalan Hingga Usai

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan lagi: Wa laa ta’jiz, yakni janganlah engkau lemah. Yang dimaksudkan di sini adalah hendaknya seseorang terus melakukan amalan tersebut hingga selesai, janganlah menunda-nundanya, dan janganlah biarkan pekerjaan terlalaikan begitu saja. Janganlah mengatakan bahwa waktu masih panjang. Selama engkau bertekad melakukan sesuatu, yakin bahwa yang dilakukan bermanfaat, lalu engkau meminta pertolongan pada Allah, maka janganlah menunda-nunda melakukannya.

Betapa banyak kita lihat para penuntut ilmu dalam mengkaji agamanya, dia semangat mempelajari satu kitab. Setelah seminggu atau sebulan, dia pun berpindah mempelajari kitab lainnya, padahal kitab yang pertama tadi belum dipelajari hingga usai. Dia mungkin telah melakukan yang bermanfaat dan meminta pertolongan pada Allah, akan tetapi dia begitu ‘ajz (lemah). Apa ‘ajz-nya (lemahnya)? Yaitu dia tidak mampu ajeg dalam mempelajari kitab hingga usai. Karena makna dari hadits: “Janganlah engkau lemah” adalah: Janganlah engkau meninggalkan amalan. Namun setelah engkau tahu bahwa perkara tersebut bermanfaat, hendaklah engkau terus melakukannya hingga usai.

Perbuatan seperti yang dilakukan di atas cuma berpindah dari satu kitab ke kitab lain, namun tidak mendapatkan faedah apa-apa dan hanya menyia-nyiakan waktu semata.

Istidraj

Istidraj 

Allah Ta’ala berfirman dalam Al Qur’an:

فلما نسوا ما ذكروا به فتحنا عليهم أبواب كل شيء حتى إذا فرحوا بما أوتوا أخذنا هم بغتة فإذا هم مبلسون

Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, sehingga apabila mereka gembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa” (QS. Al-An’am : 44).

Dunia dengan segala kemegahannya seringkali membuat silau hingga tenggelam serta sibuk dalam buaian kebahagiaan. Sebagai mukmin yang memiliki jiwa bersih hendaknya lebih jeli kala menghadapi saat-saat indah ini, karena jika ia tak menyadari semua itu bisa berubah menjadi prahara. Realitanya, tak sedikit manusia terlena dengan kesenangan semu ini, bahkan melakukan dosa, maka inilah istidraj.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila engkau melihat seorang hamba masih mendapatkan karunia dunia dari Allah sesuka hatinya sementara ia masih gemar melakukan maksiat sesungguhnya karunia itu tidak lain adalah istidraj” (HR. Ahmad dalam [4/145], dari hadits Uqbah bin Amir radhiallahu’anhu). Maka waspadalah terhadap istidraj!

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin memberikan nasehat yang indah tentang hal ini: “Allah memberikan kesempatan kepada seseorang hamba yang berbuat zalim dan tidak menyegerakan siksanya. Ini merupakan ujian, kita memohon semoga melindungi kita semua. Diantara sikap istidraj adalah diberi kesempatan untuk berbuat zalim dan tidak segera dihukum, sehingga dia melakukan banyak kezaliman kepada manusia. Jika Allah mengazabnya dengan azab yang pedih. Allah subhanallahu wa ta’ala berfirman:

وكذلك أخذ ربك إذا أخذ القرى و هي ظلمة إن أخذه أليم شديد

Dan begitulah azab Tuhanmu, apabia Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya adalah sangat pedih lagi keras”. (QS. Huud: 62).

Kepada orang yang zalim hendaklah dia tidak terperdaya oleh dirinya sendiri dan tidak pula dengan karunia Allah yang diberikan kepadanya karena semua itu hakikatnya musibah di atas musibah. Karena jika manusia dihukum oleh Allah dengan segera atas kezalimannya mungkin dia akan selalu ingat dan meninggalkan kezaliman. Tetapi jika dia masih diberi kesempatan terus untuk berbuat zalim dan melakukan perbuatan dosa maka kezalimannya terus bertambah dan dosa-dosanya menumpuk sehingga hukumannya semakin berat. Kita memohon kepada Allah semoga kita diberi karunia untuk bisa mengambil pelajaran dari tanda-tanda kebesaran-Nya dan semoga Allah melindungi dari kezaliman diri kita dan kezaliman orang lain. Innahu Jawwaadun Kariim” (Syarah Riyadhus Shalihin, Juz I hadits no.1191 hal 953-934)

Inilah nasehat indah agar kaum mukminin selalu berhati-hati agar tidak berbuat zalim. Dan tidaklah pantas kita terpedaya orang-orang yang dibukakan pintu-pintu kenikmatan dunia namun mereka melupakan karunia Allah Ta’ala, tidak mensyukurinya bahkan memanfaatkannya di jalan-jalan yang dibenci Allah ‘Azza wa Jalla.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat : “Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku khawatirkan terhadap diri kalian. Tetapi yang aku khawatirkan justru apabila dunia ini dibentangkannya kepada kalian, sebagaimana dahulu juga dibentangkan di hadapan umat-umat sebelum kalian. Lalu kalianpun memperebutkannya. Hingga akhirnya dunia ini membinasakan kalian sebagaimana dahulu dunia itupun membuat mereka binasa” (HR. Ahmad no.539, Al-Hakim [2/582], dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).

Wallahul muwaffiq.

Referensi:
1. Saat Hidayah Menyapa, Fariq Gasim Anuz, Daun Publising, Cirebon, 2010
2. Sandiwara Langit, Abu Umar Basyier, Shofa Publika, Magelang, 2008.

Kemewahan Itu Membinasakan

Kemewahan Itu Membinasakan 

Syeikh Utsaimin –rahimahullah– mengatakan:

Sungguh, semakin manusia bertambah dalam kemewahan, dan semakin terbuka terhadap yang lain, maka keburukan-keburukan juga semakin terbuka bagi mereka. Sungguh, kemewahan itulah yang membinasakan manusia, karena bila seseorang sudah mementingkan kemewahan dan pemanjaan jasadnya, ia tentu lalai dalam memanjakan hatinya, sehingga jadilah keinginan terbesarnya memanjakan jasad tersebut, padahal jasad itu akan berakhir dengan belatung dan kebusukan. Ini musibah.

Inilah yang membinasakan manusia hari ini. Hampir tidak kamu dapati seorang pun, kecuali ia mengatakan: bagaimana rumah kita, apa mobil kita, apa karpet kita, apa makanan kita? Sampai-sampai orang yang menelaah dan belajar ilmu agama pun, sebagian ada yang belajar untuk meraih pangkat atau kedudukan yang bisa menyampaikannya kepada kenikmatan dunia. Sepertinya manusia diciptakan bukan untuk tujuan yang agung, dunia dan kenikmatannya hanyalah wasilah (perantara)! semoga Allah menjadikan kami dan kalian dapat menjadikan dunia sebagai wasilah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah– mengatakan: “Hendaknya seseorang menggunakan hartanya, seperti ia menggunakan himar untuk tunggangan, seperti ia menggunakan toilet untuk buang hajat”. Lihatlah bagaimana orang-orang yang tahu (hakekat) harta, orang-orang yang tahu kedudukan harta.

Jangan jadikan harta sebagai tujuan utama (hidup)mu! Tunggangilah harta dunia, karena bila kamu tidak menungganginya, harta itu yang akan menunggangimu, sehingga jadilah tujuan (hidup)mu harta. Oleh karena itu, kita katakan: Sungguh, semakin terbuka harta dunia untuk manusia dan mereka jadi (terlena) melihat harta itu, maka mereka akan rugi dari akheratnya sebanding dengan keuntungan yang diperoleh dari dunianya.

Nabi –shallallahu alaihi wasallam– telah bersabda:

“Demi Allah, bukan kefakiran yang aku takutkan terhadap kalian, tapi yang aku takutkan terhadap kalian adalah; bila dunia dibukakan untuk kalian, sehingga kalian saling berlomba mendapatkannya, sebagaimana umat sebelum kalian saling berlomba di dalamnya, lalu dunia itu membinasakan kalian sebagaimana dunia itu telah membinasakan mereka.

Dan benarlah Rasul –shallallahu alaihi wasallam-, inilah yang membinasakan manusia sekarang ini.

Yang membinasakan manusia hari ini adalah saling berlomba mendapatkan dunia, hingga seakan mereka diciptakan untuk dunia, bukan dunia diciptakan untuk mereka. Sehingga mereka bekerja demi dunia yang diciptakan untuk mereka, dan meninggalkan perkara yang mereka diciptakan untuknya. Ini merupakan keadaan yang terbalik, semoga Allah menyelamatkan kita (dari keadaan ini).

فإن الناس كلما ازدادوا في الرفاهية, وكلما انفتحوا على الناس, انفتحت عليهم الشرور. إن الرفاهية هي التي تدمر الإنسان, لأن الإنسان إذا نظر إلى الرفاهية وتنعيم جسده, غفل عن تنعيم قلبه، وصار أكبر همه أن ينعم هذا الجسد الذي مآله إلى الديدان والنتن, وهذا هو البلاء, هذا هو الذي ضر الناس اليوم, لا تكاد تجد أحدا إلا ويقول: وش قصرنا , وش سيارتنا, وش فرشنا, وش أكلنا, حتى الذين يقرؤون العلم ويدرسون العلم بعضهم إنما يدرس من أجل أن ينال رتبة أو مرتبة يتوصل بها إلى نعيم الدنيا. ما كأن الإنسان خلق لأمر عظيم، والدنيا ونعيمها إنَّما هو وسيلة فقط، نسأل الله أن يجعلنا وإياكم أن نستعملة وسيلة.

قال شيخ الإسلام ابن تيمية -رحمه الله-: “ينبغي للإنسان أن يستعمل المال كما يستعمل الحمار للركوب، وكما يستعمل بيت الخلاء للغائط”.

وش اللي يعرفون المال, يعرفون قدره. لا تجعل المال أكبر همك، اركب المال، فإن لم تركب المال؛ ركبك المال، وصار همك هو الدنيا.

ولهذا نقول: إنَّ الناس كلما انفتحت عليهم الدنيا، وصاروا ينظرون إليها؛ فإنَّهم يخسرون من الآخرة بقدر ما ربحوا من الدنيا، قال النبي عليه الصلاة والسلام: (والله ما الفقر أخشى عليكم، وإنَّما أخشى عليكم أن تُفْتَح عليكم الدنيا، فتنافسوها كما تنافسها من قبلكم، فتهلككم كما أهلكتهم)، وصدق الرسول -عليه الصلاة السلام- هذا الذي أهلك الناس اليوم. الذي أهلك الناس اليوم التنافس في الدنيا وكونهم كأنما خُلِقوا لها، لا أنَّها خُلِقت لهم، فاشتغلوا بما خُلِق لهم عما خُلِقوا له، وهذا من الانتكاس -نسأل الله العافية-

===========================

Kemewahan memang dapat membinasakan manusia, ia telah banyak menjerumuskan umat-umat terdahulu dalam kesombongan dan penolakan terhadap kebenaran dakwah para rosul -alaihimussalam-, maka hendaklah kita berhati-hati dan mewaspadai hal ini.

Renungkanlah firman-firman Allah berikut ini:

وَاتَّبَعَ الَّذِينَ ظَلَمُوا مَا أُتْرِفُوا فِيهِ وَكَانُوا مُجْرِمِينَ (116) وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ (117)

Orang-orang yang zalim itu mementingkan kemewahan yang ada pada mereka, dan mereka itu orang-orang yang berdosa. Rabbmu tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan. (Hud: 116-117)

وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا (16)

Jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan mereka yang hidup mewah di negeri itu (agar taat kepada Allah), maka mereka pasti durhaka di dalamnya, sehingga pantas berlaku baginya ketentuan (hukuman) Kami, kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (Al-Isra’: 16)

فَلَمَّا أَحَسُّوا بَأْسَنَا إِذَا هُمْ مِنْهَا يَرْكُضُونَ (12) لَا تَرْكُضُوا وَارْجِعُوا إِلَى مَا أُتْرِفْتُمْ فِيهِ وَمَسَاكِنِكُمْ لَعَلَّكُمْ تُسْأَلُونَ (13) قَالُوا يَا وَيْلَنَا إِنَّا كُنَّا ظَالِمِينَ (14)

Maka, ketika mereka merasakan azab Kami, tiba-tiba mereka lari kalang-kabut dari negerinya itu. (Dikatakan kepada mereka): Janganlah kalian lari kalang-kabut, kembalilah kepada kemewahan yg diberikan kepada kalian dan ke rumah-rumah kalian, agar (nantinya) kalian dapat ditanya. Mereka berkata: “Betapa celaka kami! sungguh kami orang-orang yang zalim”. [Al-Anbiya’: 12-14]

وَقَالَ الْمَلَأُ مِنْ قَوْمِهِ الَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِلِقَاءِ الْآخِرَةِ وَأَتْرَفْنَاهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا مَا هَذَا إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يَأْكُلُ مِمَّا تَأْكُلُونَ مِنْهُ وَيَشْرَبُ مِمَّا تَشْرَبُونَ (33)

Para pemuka kaumnya (Nabi Hud) yang kafir, yang mendustakan pertemuan hari akhir, dan yang telah Kami mewahkan dalam kehidupan dunia mengatakan: “Orang ini hanyalah manusia seperti kalian, dia makan dari apa yang kalian makan, dan minum dari apa yang kalian minum”. (Al-Mu’minun: 33)

بَلْ قُلُوبُهُمْ فِي غَمْرَةٍ مِنْ هَذَا وَلَهُمْ أَعْمَالٌ مِنْ دُونِ ذَلِكَ هُمْ لَهَا عَامِلُونَ (63) حَتَّى إِذَا أَخَذْنَا مُتْرَفِيهِمْ بِالْعَذَابِ إِذَا هُمْ يَجْأَرُونَ (64) لَا تَجْأَرُوا الْيَوْمَ إِنَّكُمْ مِنَّا لَا تُنْصَرُونَ (65) قَدْ كَانَتْ آيَاتِي تُتْلَى عَلَيْكُمْ فَكُنْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ تَنْكِصُونَ (66) مُسْتَكْبِرِينَ بِهِ سَامِرًا تَهْجُرُونَ (67)

Tetapi hati orang-orang kafir itu dalam kesesatan dari (memahami kenyataan) ini, dan mereka mempunyai kebiasaan banyak mengerjakan perbuatan-perbuatan buruk yang terus mereka lakukan. Sehingga apabila Kami timpakan azab kepada orang-orang yang hidup mewah di antara mereka, seketika itu mereka memekik minta tolong.

(Dikatakan kepada mereka): Janganlah kalian memekik minta tolong pada hari ini. Karena kalian tidak akan mendapat pertolongan dari Kami. Sungguh, ayat-ayat-Ku selalu dibacakan kepada kalian, tapi kalian selalu berpaling ke belakang, dengan menyombongkan diri dan mengucapkan banyak perkataan keji terhadapnya di waktu kamu bercakap-cakap di malam hari. (Al-Mu’minun: 63-67)

وَمَا أَرْسَلْنَا فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ (34) وَقَالُوا نَحْنُ أَكْثَرُ أَمْوَالًا وَأَوْلَادًا وَمَا نَحْنُ بِمُعَذَّبِينَ (35)

Setiap Kami mengutus seorang pemberi peringatan ke suatu negeri, orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sungguh, kami mengingkari apa yang kalian diutus untuk menyampaikannya”. Mereka juga mengatakan: “Kami punya lebih banyak harta dan anak-anak (daripada kamu) dan kami sama sekali tidak akan di azab” (Saba’: 34-35)

وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ (23) قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْدَى مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ آبَاءَكُمْ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ (24) فَانْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ (25)

Demikianlah, setiap Kami mengutus seorang pemberi peringatan sebelum kamu ke suatu negeri, mereka yang hidup mewah di negeri itu selalu berkata: “Sungguh, kami mendapati nenek-moyang kami menganut suatu agama. Dan sungguh, kami sekedar pengikut jejak-jejak mereka”.

(Rasul itu) berkata: “Apakah (kalian akan mengikuti mereka juga), sekalipun aku membawa untuk kalian (agama) yang lebih lurus, daripada apa yang kalian dapati dari agama yang dianut oleh nenek-moyang kalian?!”

Mereka menjawab: “Sungguh kami mengingkari agama yang kalian diutus untuk menyampaikannya”.

Karena itu, Kami binasakan mereka. Maka, perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (kebenaran). (Az-Zukhruf: 23-25)

وَأَصْحَابُ الشِّمَالِ مَا أَصْحَابُ الشِّمَالِ (41) فِي سَمُومٍ وَحَمِيمٍ (42) وَظِلٍّ مِنْ يَحْمُومٍ (43) لَا بَارِدٍ وَلَا كَرِيمٍ (44) إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُتْرَفِينَ (45)

Dan golongan kiri, alangkah sengsaranya mereka itu? Mereka dalam (siksaan) angin yang sangat panas dan air yang mendidih, dalam naungan asap yang hitam, tidak sejuk dan tidak menyenangkan. Sungguh, mereka sebelum itu hidup bermewah-mewah. (Al-Waqi’ah: 41-45)

Memang, ketika orang sampai pada taraf ‘kemewahan’, maka kemewahan tersebut akan menyeretnya ke dalam tindakan tinggi hati, memandang remeh orang lain, kurang menghormati orang di sekitarnya, dan kurang merendah kepada Penciptanya. Bahkan mungkin dia lupa sama-sekali dengan Allah Sang Pencipta, karena keadaannya yang dapat melakukan ‘apapun’ yang dia inginkan.

Sehingga ia akan menolak nasehat apapun dan dari mana pun, karena ia merasa tidak memerlukan orang lain, bahkan justru orang lainlah yang memerlukan dia. Dan inilah ‘perangkap mematikan’ hidup mewah, dengan inilah umat-umat terdahulu dibinasakan, sebagaimana ditegaskan dalam ayat-ayat suci di atas.

Oleh karena itu, hendaklah kita menjauhi hidup mewah, dan berusaha untuk selalu hidup sederhana. Bila ada harta melimpah, maka hendaklah kita gunakan untuk amal-amal kebaikan, seperti: membantu dakwah Islam, menjamin kehidupan para da’i, memberi sumbangan wakaf, menyantuni anak yatim, memberi fakir miskin, membantu mereka yang membutuhkan, membangun masjid, mendirikan pondok, sekolah, dan seterusnya.

Ingatlah, bahwa itu semua tidak akan terbuang sia-sia, tapi Allah akan simpan dan lipat-gandakan pahalanya di sisi-Nya, sehingga menjadi tabungan pahala bagi pelakunya di akherat kelak, dan itu akan menjadi kenikmatan yang abadi selamanya.

Jangan sampai kita susah-payah mengumpulkan harta dunia, namun akhirnya harta tersebut hanya menumpuk untuk dibagi ketika sudah menjadi warisan. Sungguh sangat merugi orang seperti ini, dia yang susah-payah di dunia dalam mengumpulkannya, tapi ternyata ahli warisnya yang menikmatinya. Dia yang mempertanggung-jawabkan harta tersebut di akhirat kelak, padahal dia belum sempat menikmati hasilnya di dunia.

Semoga Allah menyelamatkan kita dari gaya hidup mewah ini, dan semoga Allah memberikan taufiq kepada kita semua, sehingga kita dapat memanfaatkan kenikmatan apa pun yang dititipkan Allah kepada kita untuk meraih ridho dan kemuliaan di sisi-Nya. Sungguh, Allah ta’ala itu dekat, Maha Mengetahui, Maha Mendengar, dan Maha Kuasa mengabulkan doa.

Wallahu a’lam, semoga bermanfaat.

وصلى الله وسلم وبارك على عبد الله ورسوله نبينا محمد, وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين, والحمد لله