Hidayah Mengenal Sunnah

Hidayah Mengenal Sunnah 

Sesuatu yang paling mahal di dunia ini adalah hidayah mengenal sunnah. Mengapa dikatakan mahal? Karena hidayah mengenal sunnah sama seperti hidayah mengenal Islam.

Bisa kita bayangkan, dari sekian trilyun manusia yang hidup di muka bumi ini, berapa di antara mereka yang mendapat hidayah untuk memeluk agama Islam? Lalu dari sekian milyar orang yang beragama Islam, berapa persen di antara mereka yang hatinya tergerak untuk mau mendalami agama? Dan dari sekian persen orang yang mendalami agama Islam, berapa persenkah orang yang dalam mendalami agama dengan benar? Kemudian dari sekian orang yang mendalami agama dengan benar, berapa persenkah orang yang mau mengamalkan ilmu yang telah didapatkan?

Oleh karena itu, hidayah mengenal sunnah serta mengamalkannya merupakan sesuatu yang sangat mahal, takkan tergantikan dengan dunia dan seisinya. Sehingga bagi yang telah mendapat hidayah yang sangat mahal ini, hendaknya ia bersyukur.

Apabila ia tidak mensyukuri nikmat hidayah tersebut, dia terancam dengan firman Allah Ta’ala:

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan;  ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’.” (Q.S Ibrahim: 7)

Adapun di antara bentuk siksaan Allah bagi orang yang telah mendapatkan nikmat hidayah,tapi tidak mensyukurinya ialah dicabutnya hidayah tersebut dari orang tersebut. Contoh: Orang yang dulunya semangat  ngaji, tapi akhirnya menghilang dan tidak mengaji lagi.

Salah satu cara mensyukuri hidayah tersebut adalah berusaha menularkan hidayah tersebut kepada orang lain.

 “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl: 125)

Ada sebuah kisah nyata tentang seorang da’i yang berasal dari Kuwait, yaitu Dr.Abdurrahman As-Sumait. Aslinya, beliau adalah seorang dokter internis (penyakit dalam). Beliau mengambil S1 di Baghdad, S2 di Inggris, dan S3 di Kanada. Beliau sudah memiliki pekerjaan di rumah sakit Kuwait dengan penghasilan yang sangat besar. Akan tetapi, beliau tinggalkan penghasilan yang sangat besar itu dan pergi ke pedalaman Afrika serta mengajak mereka untuk masukke agama Islam.

Ketika ada orang yang masukke agama Islam dan selesai mengucapkan kalimat syahadat, orang-orang Afrika tersebut menangis karena bahagia dan sedih. Mereka bahagia karena mendapatkan hidayah, sedangkan mereka sedih sambil berkata, “Mengapa kalian (kaum muslimin) baru datang sekarang (datang ke Afrika) ? Dulu kalian pada kemana ? Sehingga orang tua kami tidak sempat menikmatii ndahnya Islam dan meninggal dalam keadaan kufur. Kemanakah kalian, wahai kaum muslimin?” Tanya orang-orang Afrika tersebut kepada beliau (Dr. AbdurrahmanAs-Sumait).

Hal itulah yang menyentuh perasaan beliau, sehingga beliau mendedikasikan seluruh umurnya untuk berdakwah di negeri Afrika. Padahal beliau di sana mendapat cobaan penyakit-penyakit berat, seperti diabetes, ginjal, tensi tinggi. Akan tetapi, beliau tidak mempedulikan hal itu dan beliau meninggalkan seluruh kenikmatan duniawi, lalu tinggal di pedalaman Afrika.

Di sana, beliau tidur di atas tikar dan beratapkan langit. Terkadang, ancaman binatang buas ada di sekitarnya. Namun beliau –dengan taufik dari Allah Ta’ala– sukses berdakwah selama 29 tahun di pedalaman Afrika dan berhasil mengislamkan 11 juta orang. Beliau membangun 5500 Masjid di berbagai penjuru  Afrika, mengkader 40000 da’i, serta terlibat dalam aktivitas sosial seperti membangun 11000 sumur. Beliau meninggal pada tahun 1434 H atau 2013 M.

Beliau meninggal dunia dengan meninggalkan sesuatu yang berharga. Namun kita? Apa yang akan kita tinggalkan nanti? Sudah berapa orang yang kita dakwahi sehingga mendapatkan hidayah? Ataukah  bahkan orang tua kita sampai saat ini belum mengenal sunnah? Hingga meninggalnya orang tua kita, apa yang sudah kita tularkan kepada mereka?

Allah Ta’ala berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, maukah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga `Adn. Itulah keberuntungan yang besar.” (Ash-Shaf: 10-12)

***

Keutamaan Mendidik Anak Perempuan

Keutamaan Mendidik Anak Perempuan 

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ عَالَ جَارِيَتَيْنِ حَتَّى تَبْلُغَا، جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ هَكَذَا” وَضَمَّ أُصْبُعَيْه

“Barangsiapa mengasuh dua orang anak perempuan sehingga berumur baligh, maka dia akan datang pada hari Kiamat kelak, sedang aku dan dirinya seperti ini.” Dan beliau menghimpun kedua jarinya.” [HR. Muslim]

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata:

دَخَلَتْ عَلَيَّ اِمْرَأَةٌ وَمَعَهَا ابْنَتَانِ لَهَا تَسْأَلُ فَلَمْ تَجِدْ عِنْدِي شَيْئًا غَيْرَ تَمْرَةٍ وَاحِدَةٍ، فَأَعْطَيْتُهَا إِيَّاهَا فَقَسَمَتْهَا بَيْنَ ابْنَتَيْهَا وَلَمْ تَأْكُلْ مِنْهَا ثُمَّ قَامَتْ فَخَرَجَتْ، فَدَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْنَا فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ مَنِ ابْتُلِيَ مِنْ هَذِهِ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ

“Ada seorang wanita yang masuk menemuiku dengan membawa dua orang anak perempuan untuk meminta-minta, tetapi aku tidak mempunyai apa-apa kecuali hanya satu butir kurma. Lalu aku memberikan kurma itu kepadanya. Selanjutnya, wanita itu membagi satu butir kurma itu untuk kedua anak perempuannya sedang dia sendiri tidak ikut memakannya. Lantas, wanita itu bangkit dan keluar. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepada kami, maka aku ceritakan peristiwa itu kepada beliau, maka beliau pun berkata, ‘Barangsiapa yang diuji dengan anak-anak perempuan, lalu dia mengasuhnya dengan baik, maka anak-anak perempuan itu akan menjadi tirai pemisah dari api Neraka.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

An-Nawawi rahimahullah mengatakan di dalam kitab Syarh Muslim (V/ 485), “Disebut ibtilaa’ (ujian), karena biasanya orang-orang tidak menyukainya.

Baca Juga  Memilihkan Kisah yang Mendidik
Dan Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَىٰ ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ


“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.’ [An-Nahl/: 58]

Lebih lanjut, an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits-hadits ini terdapat keutamaan berbuat baik kepada anak-anak perempuan, memberikan nafkah kepada mereka, bersabar dalam mengasuhnya, dan mengurus seluruh urusannya.”

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, dia berkata, Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ لَهُ ثَلاَثُ بَنَاتٍ وَصَبَرَ عَلَيْهِنَّ وَكَسَاهُنَّ مِنْ جِدَتِهِ كُنَّ لَهُ حِجَابًا مِنَ النَّارِ

“Barangsiapa memiliki tiga orang anak perempuan, lalu dia bersabar dalam menghadapinya serta memberikan pakaian kepadanya dari hasil usahanya, maka anak-anak itu akan menjadi dinding pemisah baginya dari siksa Neraka.” [HR. Al-Bukhari dalam kitab al-Adaabul Mufrad dan hadits ini shahih]

Mengenai hak wanita, Allah Ta’ala berfirman:

فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا


“…Dan jika kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” [An-Nisaa’/4: 19]

Demikian juga pada anak-anak perempuan. Tidak jarang seorang hamba mendapatkan kebaikan yang sangat banyak di dunia dan akhirat dari anak-anak perempuan. Dan cukuplah sebagai keburukan, orang yang tidak menyenangi mereka bahwasanya ia benci pada apa yang diridhai dan diberikan Allah kepada hamba-Nya.

***

Hukum Bekerja Untuk Orang Kafir

Hukum Bekerja Untuk Orang Kafir 

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du.

Terdapat banyak dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pun melakukan muamalah-muamalah dengan orang kafir. Dari Aisyah radhiyallahu’anha beliau berkata,

أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم اشتَرى طعامًا من يَهودِيٍّ إلى أجلٍ ، ورهَنه دِرعًا من حديدٍ

Nabi shallallahu’alaihi wasallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan berhutang, lalu beliau menggadaikan baju perang besinya kepada orang tersebut.” (HR. Bukhari no. 2068).

Hadis ini jelas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam pun berjual-beli dengan non-Muslim bahkan menggunakan produk non-Muslim. Tentu saja selama produk tersebut halal dan baik.

Nabi shallallahu’alaihi wasallam pun melakukan kerjasama bisnis dengan non-Muslim. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhu, ia berkata:

أَعْطَى رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ خَيْبَرَ اليَهُودَ: أَنْ يَعْمَلُوهَا ويَزْرَعُوهَا، ولَهُمْ شَطْرُ ما يَخْرُجُ منها

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam memberikan kesempatan kepada kaum Yahudi di Khaibar, sehingga mereka dapat bekerja mengolah lahan dan menanaminya. Dan mereka mendapatkan sebagian dari hasil panennya.” (HR. Bukhari no.2285, Muslim no.1551).

Dari Aisyah radhiyallahu’anha beliau berkata,

واستأجَرَ رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وأبو بكر رجلًا مِن بني الدِّيلِ ، هاديًا خِرِّيتًا ، وهو على دينِ كفارِ قريشٍ ، فدفعا إليه راحلتيهما ، وواعداه غارَ ثورٍ بعدَ ثلاثَ ليالٍ ، فأتاهما براحلتَيْهما صبحَ ثلاثٍ

“Rasulullah dan Abu Bakar menyewa seorang dari Bani Ad-Dail dari Bani Adi bin Adi sebagai penunjuk jalan, padahal ia ketika itu masih kafir Quraisy. Lalu Nabi dan Abu Bakar menyerahkan unta tunggangannya kepada orang tersebut dan berjanji untuk bertemu di gua Tsaur setelah tiga hari. Lalu orang tersebut pun datang membawa kedua unta tadi pada hari ke tiga pagi-pagi.” (HR. Bukhari no. 2264).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan:

لا مانع من معاملته في البيع والشراء والتأجير ونحو ذلك، فقد صح عن رسول الله عليه الصلاة والسلام أنه اشترى من الكفار عباد الأوثان، واشترى من اليهود وهذه معاملة، وقد توفي عليه الصلاة والسلام، ودرعه مرهونة عند يهودي في طعام اشتراه لأهله

“Tidak ada larangan untuk bermuamalah jual-beli, sewa-menyewa, atau muamalah lainnya (dengan non-Muslim). Terdapat dalam hadis shahih bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam membeli barang dari orang-orang kafir penyembah berhala, juga membeli barang dari orang Yahudi, dan ini semua perkara muamalah. Dan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam wafat dalam keadaan baju besi beliau tergadaikan kepada orang Yahudi, ketika membeli makanan sebagai nafkah untuk keluarga beliau” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 6 hal. 285).

Namun memang terdapat khilaf di antara ulama tentang muamalah berupa khidmah (pelayanan) yang dilakukan seorang Muslim kepada orang kafir. Jumhur ulama melarangnya. Mereka berdalil dengan ayat:

وَلَن يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

Dan sama sekali Allah tidak pernah memberi jalan bagi orang kafir untuk menguasai orang beriman” (QS. An-Nisa: 141).

Dijelaskan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah

“Para fuqaha sepakat bolehnya seorang kafir memberikan khidmah (pelayanan) kepada seorang Muslim. Demikian juga, para fuqaha sepakat bolehnya seorang Muslim disewa untuk orang kafir dalam suatu pekerjaan yang mu’ayyan fi dzimmah (spesifik dan ada batas temponya). Seperti: menjahitkan pakaian, membangun rumah, menanami lahan, dan semisalnya. Namun para ulama khilaf tentang hukum khidmah (pelayanan) yang dilakukan seorang Muslim kepada orang kafir. Baik dengan akad ijarah (sewa), akad i’arah (pinjam-meminjam), atau akad lainnya.

Mazhab Hanafiyyah berpendapat hal tersebut hukumnya dibolehkan. Karena akad-akad tersebut termasuk akad mu’awadhah (saling menguntungkan), sehingga dibolehkan sebagaimana jual-beli. Namun dimakruhkan jika mengandung unsur khidmah (pelayanan) kepada orang kafir. Karena khidmah itu bentuk perendahan diri.

Adapun mazhab Malikiyah, disebutkan oleh Ibnu Rusyd bahwa seorang Muslim disewa untuk melayani orang Nasrani atau Yahudi, ini ada empat macam: ada yang boleh, ada yang makruh, ada yang mahzhur dan ada yang haram:

1. Yang boleh adalah jika seorang Muslim melakukan pekerjaan untuk orang kafir di rumah si Muslim tersebut. Seperti seorang yang memproduksi suatu barang yang dikonsumsi masyarakat secara umum.

2. Yang makruh adalah jika orang kafir mendominasi seorang Muslim dalam suatu pekerjaan atau muamalah, namun orang kafir tersebut tidak punya otoritas untuk mengaturnya. Seperti seorang Muslim yang berhutang kepada orang kafir, atau orang seorang Muslim bekerja sama musaqah (merawat lahan) milik orang kafir.

3. Yang mahzhur (terlarang) adalah jika seorang Muslim disewa untuk melakukan pekerjaan untuk orang kafir yang orang kafir ini punya otoritas untuk mengaturnya. Seperti seorang Muslim menjadi pembantu di rumah orang kafir.

4. Yang haram adalah jika seorang Muslim disewa untuk melakukan pekerjaan yang diharamkan seperti mengolah khamr, menggembala babi, dan semisalnya. Untuk jenis ini, akadnya batal sebelum ia bekerja. Jika sudah terlanjur mendapat gaji, maka wajib disedekahkan untuk orang miskin.

Mazhab Syafi’iyyah berpendapat haramnya seorang Muslim memberikan pelayanan kepada orang kafir jika secara langsung ataupun tidak langsung. Secara langsung, seperti mengucurkan air cuci tangan untuk orang kafir, membawakan sandal untuk dipakai orang kafir, membersihkan kotoran pada badan dan pakaiannya, atau semisal itu. Secara tidak langsung, contohnya seperti seorang Muslim diutus untuk mengurus suatu kebutuhan orang kafir (yang mubah). Dihukumi haram dalam rangka menjaga kaum Muslimin dari perendahan dan penghinaan. Namun makruh hukumnya meminjamkan dirinya atau menyewakan dirinya untuk melayani orang kafir, selama orang kafir tersebut tidak memiliki otoritas untuk mengaturnya.

Mazhab Hambali dalam riwayat yang shahih menyatakan haramnya seorang Muslim disewa untuk melayani orang kafir atau meminjamkan dirinya untuk melayani orang kafir. Karena dalam kondisi ini terdapat unsur pengekangan seorang Muslim di bawah kendali orang kafir dan juga unsur perendahan diri di depan orang kafir” (diringkas dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, juz 19 hal. 46).

Ringkasnya, wallahu a’lam, jika muamalah seorang Muslim terhadap orang kafir berupa pelayanan kepada mereka atau menjadi pegawai mereka atau bekerja di perusahaan mereka, perlu kita bagi menjadi tiga macam:

1. Jika itu berupa pelayanan yang spesifik, ada batas temponya, tidak ada unsur perendahan diri, serta tidak dikuasai penuh oleh orang kafir, maka ulama sepakat bolehnya.

2. Jika bukan termasuk pada poin 1, namun bukan dalam perkara haram, maka hukumnya makruh. Lebih utama bagi seorang Muslim untuk tidak melayani orang kafir, tidak menjadi pegawai mereka, dan tidak bekerja di perusahaan mereka. Namun andaikan ia melakukannya, ia tidak berdosa dan penghasilannya tetap halal.

3. Jika pelayanan yang dilakukan dalam perkara haram, maka ulama sepakat akan haramnya dan penghasilannya haram.

Wallahu a’lam. Semoga Allah ta’ala memberi taufik. 

Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

Keutamaan Belajar dan Mengajarkan Al-Qur’an

Keutamaan Belajar dan Mengajarkan Al-Qur’an

وَعَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : (( خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ )) رَوَاهُ البُخَارِيُّ .

Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik orang di antara kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari) [HR. Bukhari, no. 5027]

Faedah hadits

  1. Hadits ini memotivasi untuk mempelajari dan mentadaburi Al-Qur’an, juga mengenal hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an, akidah, perilaku umat sebelum Islam, perintah Allah, larangan-Nya. Itulah yang menyebabkan datangnya keberuntungan di dunia dan akhirat.
  2. Sudah sepatutnya bagi seorang yang berilmu menyebarkan ilmu setelah mempelajarinya. Belajar dan mengajarkannya itu sama-sama mendapatkan ganjaran. Dengan mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya pada yang lain datanglah sempurnanya pahala.
  3. Dengan mempelajari Al-Qur’an akan meninggikan derajat seorang muslim.
  4. Orang yang membaca Al-Qur’an tanpa panduan guru tentu tidak akan benar dalam tajwid dan hukum-hukum bacaannya. Oleh karena itu, dituntut bagi seorang muslim untuk mencari seorang guru untuk membenarkan bacaannya.

Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa belajar dan mengajarkan Al-Qur’an mencakup:

  1. mempelajari dan mengajarkan huruf-hurufnya
  2. mempelajari dan mengajarkan maknanya

Yang kedua ini malah yang lebih utama karena makna itulah yang dimaksud tujuan mempelajari Al-Qur’an. Sedangkan, lafaz hanyalah wasilah (perantara). (Miftah Daar As-Sa’adah, 1:277)

Referensi:

  • Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:205.
  • Miftah Daar As-Sa’aadah wa Mansyur Walaayah Ahli Al-‘Ilmi wa Al-Idarah. Cetakan pertama, Tahun 1433 H. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali bin ‘Abdul Hamid Al-Halabiy Al-Atsariy. Penerbit Dar Ibnul Qayyim dan Dar Ibnu ‘Affan.

Apakah Kaki Bagian Bawah Wanita Termasuk Aurat?

Apakah Kaki Bagian Bawah Wanita Termasuk Aurat?

Jika kita amati realita di lapangan, salah satu bagian tubuh wanita yang paling sering dibuka di depan lelaki yang bukan mahram adalah kaki bagian bawah. Yang kami maksud di sini adalah yang disebut al qadam dalam bahasa arab, yaitu mulai dari tumit ke bawah hingga telapak kaki, atau cukup kita sebut kaki bagian bawah. Bahkan sebagian wanita muslimah yang sudah berhijab pun banyak yang masih membuka bagian ini di depan lelaki yang bukan mahram. Padahal walhamdulillah, berdasarkan yang kami ketahui, kebanyakan guru agama di negeri kita ini sejak sekolah dasar sudah mengajarkan bahwa aurat wanita itu seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Nah, maka di sini perlu kita bahas apakah al qadam termasuk aurat yang wajib ditutupi?

Batasan Aurat Wanita

Sebelum membahas mengenai kaki bagian bawah, perlu dipahami apa batasan aurat bagi wanita. Allah ta’ala berfirman:

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ

Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka” (QS. An Nur: 31).

Allah ta’ala juga berfirman:

يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al Ahzab: 59)

Allah ta’ala juga berfirman:

وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَايُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ

dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (QS. An Nur: 31)

Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu‘anha, beliau berkata,

أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ

Asma’ binti Abu Bakar pernah menemui Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam dengan memakai pakaian yang tipis. Maka Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam pun berpaling darinya dan bersabda, “wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita itu jika sudah haidh (sudah baligh), tidak boleh terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini”, beliau menunjuk wajahnya dan kedua telapak tangannya. (HR. Abu Daud 4140, dalam Al Irwa [6/203] Al Albani berkata: “hasan dengan keseluruhan jalannya”)

Berdasarkan dalil-dalil di atas dan dalil-dalil lainnya, ulama berbeda pendapat mengenai batasan aurat bagi wanita. Ulama Hanafi, Maliki dan salah satu pendapat dalam madzhab Syafi’i berpendapat seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan. Sedangkan ulama Hambali salah satu pendapat dalam madzhab Syafi’i berpendapat bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat termasuk wajah dan telapak tangan. Lebih lengkapnya silakan simak kembali artikel Hukum Memakai Cadar dalam Pandangan 4 Madzhab.

Sehingga dari sini kita ketahui bahwa para ulama berpendapat kaki bagian bawah pun termasuk aurat yang wajib ditutup. Karena yang masyhur diperselisihkan adalah wajah dan telapak tangan.

Dalil Tegas Wajibnya Menutup Bagian Bawah Kaki

Selain dalil-dalil mengenai batasan aurat secara umum, terdapat juga beberapa dalil yang jelas menunjukkan bahwa al qadam atau bagian bawah kaki wajib ditutup. Diantaranya yaitu hadits Ummu Salamah radhiallahu’anha,

أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم لما قال في جرِّ الذيلِ ما قال قالت قلتُ يا رسولَ اللهِ فكيف بنا فقال جُرِّيهِ شبرًا ، فقالت (أم سلمة) إذًا تنكشفُ القدمانِ ، قال فجُرِّيهِ ذراعًا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersabda mengenai masalah menjulurkan ujung pakaian, aku berkata kepada beliau, ‘wahai Rasulullah bagaimana dengan kami (kaum wanita)?’. Nabi menjawab: ‘julurkanlah sejengkal‘. Lalu Ummu Salamah bertanya lagi: ‘kalau begitu kedua qadam (bagian bawah kaki) akan terlihat?’. Nabi bersabda: ‘kalau begitu julurkanlah sehasta‘. (HR. Ahmad 6/295, Abu Ya’la dalam As Sanad 1/325, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 1/828)

Syaikh Al Albani menyatakan: “hadits ini dalil bahwa kedua qadam wanita adalah aurat. Dan ini merupakan perkara yang sudah diketahui oleh para wanita di masa Nabi. Buktinya ketika Nabi mengatakan: ‘julurkanlah sejengkal‘, Ummu Salamah berkata: ‘kalau begitu kedua qadam (bagian bawah kaki) akan terlihat?‘, menunjukkan kesan bahwa Ummu Salamah sebelumnya sudah mengetahui bahwa kedua bagian bawah kaki adalah aurat yang tidak boleh dibuka. Dan hal itu disetujui oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Oleh karena itu beliau memerintahkan untuk memanjangkan kainnya sehasta. Dan dalam Al Qur’an Al Karim juga ada isyarat terhadap makna ini, yaitu dalam firman Allah Ta’ala (yang artinya) “dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (QS. An Nur: 31)” (Silsilah Ash Shahihah,1/828).

Berdalih Dengan Ada Ulama Yang Membolehkan?

Memang benar sebagian ulama ada yang berpendapat bagian bawah kaki bukanlah aurat wanita. Diantaranya adalah Abu Hanifah. Beliau berkata: “kedua qadam bukanlah aurat karena keduanya sering nampak, dan keduanya sebagaimana wajah” (dinukil dari Al Mughni, 1/430). Oleh karena itu bagi yang berdalih dengan pendapat ini kami sanggah dengan beberapa poin:

  1. Para ulama madzhab Hanafi sendiri menyatakan ada perselisihan mengenai pendapat Abu Hanifah dalam hal ini, Ibnu Najim dalam Al Bahrur Ra-iq (1/284) menyatakan,وَاسْتَثْنَى الْمُصَنِّفُ الْقَدَمَ لِلِابْتِلَاءِ فِي إبْدَائِهِ خُصُوصًا الْفَقِيرَاتُ وَفِيهِ اخْتِلَافُ الرِّوَايَةِ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ وَالْمَشَايِخِ“… penulis (kitab Kanzul Daqa-iq) mengecualikan qadam bagi wanita yang memiliki gangguan di kakinya, terutama wanita yang faqir. Dan dalam hal ini terdapat perbedaan riwayat dari Abu Hanifah dan dari para Masyaikh (Hanafiyah)..”
  2. Para ulama Hanafiyah sendiri yang menganggap qadam bukan aurat wanita, mereka tetap melarang laki-laki yang bukan mahram melihat kaki bagian bawah wanita. Ibnu Najim mengatakan,وَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا مُلَازَمَةَ بَيْنَ كَوْنِهِ لَيْسَ بِعَوْرَةٍ وَجَوَازِ النَّظَرِ إلَيْهِ فَحِلُّ النَّظَرِ مَنُوطٌ بِعَدَمِ خَشْيَةِ الشَّهْوَةِ مَعَ انْتِفَاءِ الْعَوْرَةِ“ketahuilah, bahwa jika qadam bukan aurat tidak berarti boleh dilihat (oleh lelaki). kehalalan melihatnya itu tergantung pada tidak adanya kekhawatiran timbulnya syahwat walaupun memang ia bukan aurat” (Al Bahrur Ra-iq, 1/284).
  3. Pendapat ulama bukanlah dalil, bahkan pendapat ulama itu perlu didasari dalil dan akan ditimbang dengan dalil. Seorang Muslim sejati ketika melihat perbedaan maka putusannya akan dikembalikan pada dalil. Allah Ta’ala berfirman:فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)
  4. Pendapat Abu Hanifah ini bertentangan dengan dalil yang tegas dan sangat banyak, minimalnya bertentangan dengan ayat:يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنَّ“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke suluruh tubuh mereka” (QS. Al Ahzab: 59)
  5. Tidak semua pendapat dalam khilafiyah itu ditoleransi, pendapat yang jelas bertentangan dengan dalil-dalil tidak bisa ditorelansi. Silakan simak kembali artikel Tidak Semua Pendapat Dalam Khilafiyah Ditoleransi.
  6. Tidak boleh sengaja memilih pendapat Abu Hanifah ini dengan alasan lebih cocok dengan selera atau lebih enak dan lebih sesuai dengan hawa nafsu. Apalagi, realita mengatakan mayoritas masyarakat Indonesia adalah ber-madzhab Syafi’i. Sulaiman At Taimi berkata,لَوْ أَخَذْتَ بِرُخْصَةِ كُلِّ عَالِمٍ ، أَوْ زَلَّةِ كُلِّ عَالِمٍ ، اجْتَمَعَ فِيكَ الشَّرُّ كُلُّهُ“andai engkau mengambil pendapat yang mudah-mudah saja dari para ulama, atau mengambil setiap ketergelinciran dari pendapat para ulama, pasti akan terkumpul padamu seluruh keburukan” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya, 3172)

Kesimpulan

Al qadam atau kaki bagian bawah bagi wanita adalah aurat yang wajib ditutupi. Sebagaimana diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya dalam banyak ayat Al Qur’an dan hadits. Maka sudah semestinya setiap wanita Muslimah bertaqwa kepada Allah dan senantiasa menutup auratnya, khususnya kaki bagian bawah yang kini telah banyak dilalaikan dan disepelekan kaum Muslimah. Semoga Allah senantiasa melimpahkan hidayah-Nya kepada kita semua terkhusus kaum Muslimah di negeri kita, Wabillahi at taufiq was sadad.

Referensi:

  • Ikhtiyarat Fiqhiyyah Imam Al Albani, Syaikh Ibrahim Abu Syadi
  • Silsilah Ahadits Ash Shahihah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
  • Fatwa Syaikh Abdullah Al Faqih (IslamWeb)

Umur Yang Kedua

Umur Yang Kedua 

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Allah memberikan usia umat ini yang tidak panjang. Rata-rata hanya sekitar 60an-70an. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَعْمَارُ أُمَّتِـي مَا بَيْنَ السِّتِّيْنَ إِلَى السَّبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ

“Umur-umur umatku antara 60 hingga 70 tahun, dan sedikit orang yg bisa melampui umur tersebut” (HR. Ibnu Majah, 4236, dihasankan al-Albani)

Namun ada 2 hal yang perlu kita bedakan,

[1] Usia hidup fisik manusia.

[2] Usia karya manusia.

Ada diantara manusia yang karyanya terkubur, bersamaan dengan terkuburnya badannya. Sehingga begitu dia mati, sudah tidak ada lagi bekas amalnya yang masih bertahan di permukaan bumi.

Sebaliknya, ada manusia yang usia karyanya, jauh lebih panjang dibandingkan usia fisiknya. Sekalipun dia sudah meninggal ratusan tahun di masa silam, namun karyanya tetap segar dan terlihat jelas di permukaan.

Allah menjelaskan dalam al-Quran bahwa Dia tidak hanya mencatat amal perbuatan yang kita lakukan, namun Allah juga mencatat semua pengaruh dan dampak dari perbuatan yang pernah kita lakukan.

Allah berfirman,

إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآَثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ

“Sesungguhnya Kami yang menghidupkan orang mati, Kami catat semua yang telah mereka lakukan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan..” (QS. Yasin: 12)

Al-Hafidz Ibnu Katsir menyebutkan dua tafsir ulama tentang makna kalimat,

bekas-bekas yang mereka tinggalkan

Pertama, Jejak kaki mereka ketika melangkah menuju ketaatan atau maksiat

Ini merupakan pendapat Mujahid dan Qatadah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Najih.

Diantara dalil yang menguatkan pendapat ini adalah hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, bahwa ada Bani Salimah ingin berpindah membuat perkampungan yang dekat dengan masjid nabawi. Karena mereka terlalu jauh jika harus berangkat shalat jamaah setiap hari ke masjid nabawi. Ketika informasi ini sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda,

يَا بَنِى سَلِمَةَ دِيَارَكُمْ تُكْتَبْ آثَارُكُمْ دِيَارَكُمْ تُكْتَبْ آثَارُكُمْ

Wahai Bani Salimah, perjalanan dari rumah kalian ke masjid akan dicatat jejak-jejak kali kalian. (HR. Muslim 1551, dan Ahmad 14940)

Kedua, Pengaruh dari amal yang kita kerjakan

Artinya, Allah mencatat bentuk amal yang mereka kerjakan dan pengaruh dari amal itu. Jika baik, maka dicatat sebagai kebaikan. Dan jika buruk dicatat sebagai keburukan.

Ini seperti yang disebutkan dalam hadis dari sahabat Jarir bin Abdillah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Siapa yang menghidupkan sunah yang baik dalam Islam, kemudian diikuti oleh orang lain setelahnya maka dicatat untuknya mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Siapa yang menghidupkan tradisi yang jelek di tengah kaum muslimin, kemudian diikuti oleh orang lain setelahnya, maka dia mendapatkan dosa sebagaimana dosa orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim 2398, Ahmad 19674, dan yang lainnya)

Karya adalah Umur Kedua

Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading… manusia mati meninggalkan meninggalkan karya.

Ada beberapa karya para ulama yang banyak diterima di masyarakat. Allah mengabadikan karya mereka sekalipun jasad mereka sudah terkubur ratusan tahun silam.

Kitab Bulughul Maram, ditulis al-Hafidz Ibnu Hajar. Karya beliau bertahan hingga sekarang, sekalipun beliau telah meninggal tahun 852 H. Usia beliau 79 tahun, sementara karya beliau sudah menginjak usia 590an tahun.

Kitab Riyadhus sholihin, ditulis oleh an-Nawawi. Karya beliau dimanfaatkan banyak masyarakat, meskipun beliau telah wafat tahun 676 H. Usia fisik beliau hanya 45 tahun, namun karya beliau hingga saat ini menginjak usia 765an tahun.

Subhanallah…

Karya mereka jauh lebih panjang dibandingkan usia mereka…

Itulah umur yang kedua… mereka hidup dengan karyanya, meskipun jasadnya telah terkubur di tanah…

Karena itulah, para ulama memahami, bahwa ketika mereka membaca karya para pendahulunya, seolah dia sedang duduk bersama mereka.

Abdullah bin Mubarak pernah mengatakan,

إني أذهب فأجلس مع الصحابة والتابعين ، أنظر وأقرأ في كتبهم وآثارهم

Saya sedang duduk bersama para sahabat dan tabi’in, dengan melihat dan membaca karya mereka dan kitab mereka. (Washaya wa Nashaih li Thalib al-Ilm, 55).

Mulailah berfikir untuk merencanakan umur yang kedua. Membangun karya yang bisa bermanfaat bagi umat, di saat kita sudah tiada. Kita bisa kembangkan sesuai potensi masing-masing. Tidak harus memaksakan diri jadi ustad atau dai.

Jadi pioner kebaikan, atau wakaf yang bisa diabadikan atau sumber kebaikan apapun yang usianya panjang… Karya kita tetap hidup, meskipun jasad sudah tiada…

Demikian, Allahu a’lam.

Tolok Ukur Kesuksesan Manusia

Tolok Ukur Kesuksesan Manusia 

Setiap orang menginginkan kesuksesan dalam hidupnya. Namun, tidak setiap orang memahami hakikat kesuksesan yang sebenarnya. Sebagian orang memandang bahwa kesuksesan diukur dari jabatan yang diraih. Yang lain menganggap kesuksesan adalah dengan banyaknya harta dan penghasilan yang diperoleh. Ada juga yang menganggap seseorang telah sukses jika dia telah menjadi orang terpandang di tengah kaumnya.

Allah telah berfirman tentang Al-Qur’an,

إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ

Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus.” (QS. Al-Isra: 9)

Ayat ini menjelaskan bahwa jalan yang diajarkan dan ditunjukkan oleh Al-Qur’an adalah jalan yang paling adil dan paling mulia. Baik dalam hal akidah, amalan, maupun akhlak. Maka, siapa saja yang mengambil petunjuk dari apa yang diserukan oleh Al-Qur’an, dia akan menjadi manusia yang paling sempurna, paling lurus, dan paling tepat pada setiap urusannya. (Lihat Taisirul Karimir Rahman)

Maka, tentang kesuksesan pun sesungguhnya agama Islam telah memberikan isyarat dan petunjuk yang paling tepat. Apa yang bisa dijadikan sebagai tolok ukur untuk menilai sukses dan tidaknya manusia. Dan tatkala manusia hidup di alam dunia dan kelak di alam akhirat, kita bisa membagi tolok ukur kesuksesan menjadi dua: tolok ukur kesuksesan di akhirat dan tolok ukur kesuksesan di dunia.

Tolok ukur kesuksesan akhirat

Kehidupan manusia di akhirat hanya terbagi menjadi dua golongan saja. Satu golongan berada di dalam surga, dan satu golongan berada di dalam neraka. Allah berfirman,

وَكَذَٰلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لِّتُنذِرَ أُمَّ الْقُرَىٰ وَمَنْ حَوْلَهَا وَتُنذِرَ يَوْمَ الْجَمْعِ لَا رَيْبَ فِيهِ ۚ فَرِيقٌ فِي الْجَنَّةِ وَفَرِيقٌ فِي السَّعِيرِ

Demikianlah Kami wahyukan kepadamu Al-Qur’an dalam bahasa Arab, supaya kamu memberi peringatan kepada Ummul Qura (penduduk Makkah) dan penduduk (negeri-negeri) sekelilingnya, serta memberi peringatan (pula) tentang hari berkumpul (kiamat) yang tidak ada keraguan padanya. Satu golongan masuk surga, dan satu golongan masuk Jahanam.” (QS. Asy-Syura: 7)

Bagi setiap orang yang memiliki iman terhadap adanya hari akhirat dan beriman dengan adanya surga dan neraka, pasti memahami bahwa orang yang sukses di akhirat adalah orang yang masuk ke dalam surga. Karena merekalah orang yang bahagia dan beruntung di akhirat.

Allah berfirman,

وَأَمَّا الَّذِينَ سُعِدُوا فَفِي الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ إِلَّا مَا شَاءَ رَبُّكَ ۖ عَطَاءً غَيْرَ مَجْذُوذٍ

“Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga. Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.” (QS. Hud: 108)

Mereka juga memahami bahwa orang yang masuk ke dalam neraka, tentu bukanlah orang yang sukses. Bahkan, mereka adalah orang yang celaka. Allah berfirman,

فَأَمَّا الَّذِينَ شَقُوا فَفِي النَّارِ لَهُمْ فِيهَا زَفِيرٌ وَشَهِيقٌ

Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka. Di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih).” (QS. Hud: 106)

Dari sini jelas bahwa tolok ukur kesuksesan manusia di akhirat adalah dengan dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga. Hal ini pun telah Allah tegaskan dalam firman-Nya,

فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَيُدْخِلُهُمْ رَبُّهُمْ فِي رَحْمَتِهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْمُبِينُ

Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka Tuhan mereka memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya (surga). Itulah keberuntungan yang nyata.” (QS. Al-Jatsiyah: 30)

Allah juga berfirman,

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung (sukses). Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imran: 185)

Tolok ukur kesuksesan dunia

Adapun di dunia, maka banyak orang yang tertipu oleh dunia sehingga menganggap sesuatu sebagai tolok ukur kesuksesan, padahal bukan.

Telah menjadi hal yang maklum diketahui, bahwa seseorang dikatakan sukses apabila dia telah menggapai tujuan yang menjadi targetnya. Sebagai contoh, seorang pelajar yang memiliki target menghafal Al-Quran 30 juz secara mutqin, maka dia dikatakan sukses jika telah meraih target tersebut. Seseorang yang belajar bahasa Arab dengan target untuk bisa baca kitab, atau agar bisa berbicara dengan bahasa Arab, dikatakan sukses apabila telah mencapai target dan tujuan tersebut.

Apabila kita melihat kepada hakikat kehidupan manusia, maka sesungguhnya Allahlah yang telah membuat target tujuan bagi manusia. Maka, siapa saja yang bisa mencapai target tujuan itulah yang sesungguhnya telah mencapai kesuksesan.

Tentang tujuan hidup manusia, Allah telah menjelaskannya dalam firman-Nya,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Apabila telah jelas bahwa ibadah adalah tujuan diciptakannya manusia, maka bisa kita katakan bahwa tolok ukur suksesnya seseorang ketika hidup di dunia adalah ketika dia beribadah dengan benar kepada Allah. Oleh karena itulah, Allah menjadikan timbangan kemuliaan manusia bukan pada harta, jabatan, atau perkara dunia lainnya. Akan tetapi, timbangan kemuliaan manusia ada pada ketakwaannya. Allah berfirman,

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah bersabda,

إِنَّ اللَّهَ ‌لَا ‌يَنْظُرُ ‌إِلَى ‌صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ. وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada bentuk rupa kalian dan harta benda kalian, akan tetapi Dia memandang kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim no. 2564)

Atas dasar prinsip ini, maka kita katakan bahwa semua orang dalam kondisi bagaimana pun bisa meraih kesuksesan di dunia. Baik dia orang yang kaya maupun miskin, dalam kondisi sehat maupun sakit, sebagai seorang raja ataupun rakyat jelata, pengusaha besar maupun pekerja kecil, semuanya bisa dikatakan sukses apabila dia tetap beribadah kepada Allah dengan benar dalam kondisi-kondisi tersebut. Sebaliknya, orang yang memiliki harta kekayaan melimpah, jabatan tinggi, kesehatan, dan kekuatan fisik yang luar biasa, tidak dikatakan sukses apabila dia tidak beribadah kepada Allah dengan benar dalam kondisi tersebut.

Wallahu a’lam.

***

Di balik Kesulitan Ada Kemudahan

Di balik Kesulitan Ada Kemudahan 

Seringkali kita berputus asa tatkala mendapatkan kesulitan atau cobaan. Padahal Allah telah memberi janji bahwa di balik kesulitan, pasti ada jalan keluar yang begitu dekat.

Dalam surat Alam Nasyroh, Allah Ta’ala berfirman,

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyroh: 5)

Ayat ini pun diulang setelah itu,

إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyroh: 6)

Mengenai ayat di atas, ada beberapa faedah yang bisa kita ambil:

Pertama: Di balik satu kesulitan, ada dua kemudahan

Kata “al ‘usr (kesulitan)” yang diulang dalam surat Alam Nasyroh hanyalah satu. Al ‘usr dalam ayat pertama sebenarnya sama dengan al ‘usr dalam ayat berikutnya karena keduanya menggunakan isim ma’rifah (seperti kata yang diawali alif lam). Sebagaimana kaedah dalam bahasa Arab, “Jika isim ma’rifah diulang, maka kata yang kedua sama dengan kata yang pertama, terserah apakah isim ma’rifah tersebut menggunakan alif lam jinsi ataukah alif lam ‘ahdiyah.” Intinya, al ‘usr (kesulitan) pada ayat pertama sama dengan al ‘usr (kesulitan) pada ayat kedua.

Sedangkan kata “yusro (kemudahan)” dalam surat Alam Nasyroh itu ada dua. Yusro (kemudahan) pertama berbeda dengan yusro (kemudahan) kedua karena keduanya menggunakan isim nakiroh (seperti kata yang tidak diawali alif lam). Sebagaimana kaedah dalam bahasa Arab, “Secara umum, jika isim nakiroh itu diulang, maka kata yang kedua berbeda dengan kata yang pertama.” Dengan demikian, kemudahan itu ada dua karena berulang.[1] Ini berarti ada satu kesulitan dan ada dua kemudahan.

Dari sini, para ulama pun seringkali mengatakan, “Satu kesulitan tidak akan pernah mengalahkan dua kemudahan.” Asal perkataan ini dari hadits yang lemah, namun maknanya benar[2]. Jadi, di balik satu kesulitan ada dua kemudahan.

Note: Mungkin sebagian orang yang belum pernah mempelajari bahasa Arab kurang paham dengan istilah di atas. Namun itulah keunggulan orang yang paham bahasa Arab, dalam memahami ayat akan berbeda dengan orang yang tidak memahaminya. Oleh karena itu, setiap muslim hendaklah membekali diri dengan ilmu alat ini. Di antara manfaatnya, seseorang akan memahami Al Qur’an lebih mudah dan pemahamannya pun begitu berbeda dengan orang yang tidak paham bahasa Arab. Semoga Allah memberi kemudahan.

Kedua: Akhir berbagai kesulitan adalah kemudahan

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan, “Kata al ‘usr (kesulitan) menggunakan alif-lam dan menunjukkan umum (istigroq) yaitu segala macam kesulitan. Hal ini menunjukkan bahwa bagaimana pun sulitnya, akhir dari setiap kesulitan adalah kemudahan.”[3] Dari sini, kita dapat mengambil pelajaran, “Badai pastilah berlalu (after a storm comes a calm), yaitu setelah ada kesulitan pasti ada jalan keluar.”

Ketiga: Di balik kesulitan, ada kemudahan yang begitu dekat

Dalam ayat di atas, digunakan kata ma’a, yang asalnya bermakna “bersama”. Artinya, “kemudahan akan selalu menyertai kesulitan”. Oleh karena itu, para ulama seringkali mendeskripsikan, “Seandainya kesulitan itu memasuki lubang binatang dhob (yang berlika-liku dan sempit, pen), kemudahan akan turut serta memasuki lubang itu dan akan mengeluarkan kesulitan tersebut.”[4] Padahal lubang binatang dhob begitu sempit dan sulit untuk dilewati karena berlika-liku (zig-zag). Namun kemudahan akan terus menemani kesulitan, walaupun di medan yang sesulit apapun.

Allah Ta’ala berfirman,

سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

“Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath Tholaq: 7) Ibnul Jauziy, Asy Syaukani dan ahli tafsir lainnya mengatakan, “Setelah kesempitan dan kesulitan, akan ada kemudahan dan kelapangan.”[5] Ibnu Katsir mengatakan, ”Janji Allah itu pasti dan tidak mungkin Dia mengingkarinya.”[6]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً

“Bersama kesulitan, ada kemudahan.”[7] Oleh karena itu, masihkah ada keraguan dengan janji Allah dan Rasul-Nya ini?

Rahasia Mengapa di Balik Kesulitan, Ada Kemudahan yang Begitu Dekat
Ibnu Rajab telah mengisyaratkan hal ini. Beliau berkata, “Jika kesempitan itu semakin terasa sulit dan semakin berat, maka seorang hamba akan menjadi putus asa dan demikianlah keadaan makhluk yang tidak bisa keluar dari kesulitan. Akhirnya, ia pun menggantungkan hatinya pada Allah semata. Inilah hakekat tawakkal pada-Nya. Tawakkal inilah yang menjadi sebab terbesar keluar dari kesempitan yang ada. Karena Allah sendiri telah berjanji akan mencukupi orang yang bertawakkal pada-Nya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (QS. Ath Tholaq: 3).”[8] Inilah rahasia yang sebagian kita mungkin belum mengetahuinya. Jadi intinya, tawakkal lah yang menjadi sebab terbesar seseorang keluar dari kesulitan dan kesempitan.

Ya Allah, jadikanlah kami termasuk golongan orang yang sabar dalam menghadapi setiap ketentuan-Mu. Jadikanlah kami sebagai hamba-Mu yang selalu bertawakkal dan bergantung pada-Mu. Amin Ya Mujibas Saa-ilin.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Begitu nikmat setiap hari dapat menggali faedah dari sebuah ayat. Semoga hati ini tidak lalai dari mengingat-Nya-

_________

[1] Dua kaedah bahasa Arab ini disebutkan oleh Asy Syaukani dalam kitab tafsirnya Fathul Qodir, 8/22, Mawqi’ At Tafasir.

[2] Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut adalah dho’if (lemah). Hadits tersebut termasuk hadits mursal dan mursal termasuk hadits dho’if (lemah). Lihat As Silsilah Ash Shohihah no. 4342

[3] Taisir Karimir Rahman, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 929, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1423 H

[4] Asal perkataan ini adalah dari hadits yang dho’if (lemah), namun maknanya shahih (benar).

[5] Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, 6/42, Mawqi’ At Tafasir dan Fathul Qodir, Asy Syaukani, 7/247, Mawqi’ At Tafasir.

[6] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 8/154, Dar Thoyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H.

[7] HR. Ahmad no. 2804. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[8] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 238, Darul Muayyad, cetakan pertama, tahun 1424 H.

Musik Adalah Seruling Setan

SahaMusik adalah Serulin

Musik Adalah Seruling Setan

Demikianlah yang dikatakan oleh sahabat yang mulia, Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu’anhu. Bahwa musik adalah seruling setan. Dari Aisyah radhiallahu’anha, ia berkata:

أبا بكر دخل عليها، والنبي صلَّى اللهُ عليه وسلَّم عِندَها، يومَ فطر أو أضحى، وعِندَها قينتان تغنيان بما تقاذفت الأنصار يومَ بعاث، فقال أبو بكر : مزمار الشيطان ؟ مرتين، فقال النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم : ( دعهما يا أبا بكر، إن لكل قوم عيدا، وإن عيدنا اليومَ )

“Abu Bakar mengunjungi rumah Aisyah dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ada disana. Ketika hari Idul Fithri atau Idul Adha. Ketika itu ada dua wanita penyanyi dari kaum Anshar yang sedang bernyanyi dengan syair-syair kaum Anshar di hari Bu’ats. Maka Abu Bakar berkata: mengapa ada seruling setan? mengapa ada seruling setan? Maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: biarkan mereka wahai Abu Bakar! Sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan inilah hari raya kita” (HR. Bukhari no. 3931).

Abu Bakar Ash Shiddiq tidak mungkin menisbatkan sesuatu pada setan, yang merupakan makhluk gaib, kecuali itulah yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam kepadanya.

Dalam riwayat lain disebutkan dua penyanyi itu adalah anak-anak wanita:

دخل عليَّ أبو بكرٍ وعندي جاريتانِ من جواري الأنصارِ . تُغنِّيانِ بما تقاولت به الأنصارُ ، يوم بُعاثٍ . قالت : وليستا بمُغَنِّيَتَينِ . فقال أبو بكرٍ : أَبمَزمورِ الشيطانِ في بيتِ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ ؟ وذلك في يومِ عيدٍ . فقال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ : ” يا أبا بكرٍ ! إنَّ لكلِّ قومٍ عيدًا . وهذا عيدُنا

“Abu Bakar mengunjungi rumahku. Ketika itu ada dua jariyah (anak wanita) dari Kaum Anshar yang bernyanyi dengan syair-syair kaum Anshar di hari Bu’ats. Aisyah berkata: “mereka berdua bukan penyanyi”. Maka Abu Bakar berkata: mengapa ada seruling setan di rumah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam? Ketika itu adalah hari Id. Maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: wahai Abu Bakar! Sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan inilah hari raya kita” (HR. Bukhari no. 952, Muslim no. 892).

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa dua penyanyi tersebut menggunakan rebana (duff) :

أنَّ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ دخلَ علَيها ، وعندَها جاريَتانِ تضرِبانِ بدُفَّينِ ، فانتَهَرَهُما أبو بَكْرٍ ، فقالَ النَّبيُّ : دعهنَّ فإنَّ لِكُلِّ قومٍ عيدًا

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam masuk ke rumah Aisyah ketika itu ada dua anak perempuan bernyanyi dengan duff. Kemudian hal ini diingkari oleh Abu Bakar, maka Nabi bersabda: biarkan mereka, sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya” (HR. An Nasa-i no. 1592, dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa-i).

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Abu Bakar membentak kedua anak wanita tersebut:

أن أبا بكر رضي الله عنهما دخل عليها وعندها جاريتان في أيام منى تدففان وتضربان والنبي صلى الله عليه وسلم متغش بثوبه فانتهرهما أبو بكر فكشف النبي صلى الله عليه وسلم عن وجهه فقال دعهما يا أبا بكر فإنها أيام عيد وتلك الأيام أيام منى

“Abu Bakar radhiallaahu’anhuma masuk menemuinya ’Aisyah. Di sampingnya terdapat dua orang anak perempuan di hari Mina yang menabuh duff. Nabi shallallaahu’alaihi wasallam ketika itu menutup wajahnya dengan bajunya. Ketika melihat hal tersebut, Abu Bakar membentak kedua anak perempuan tadi. Nabi shallallaahu’alaihi wasallam kemudian membuka bajunya yang menutup wajahnya dan berkata : ”Biarkan mereka wahai Abu Bakar, sesungguhnya hari ini adalah hari raya”. Pada waktu itu adalah hari-hari Mina” (HR. Bukhari no. 987)

Syaikh Alwi bin Abdil Qadir As Segaf mengatakan:

وقد تتبعت جميع الأحاديث التي أباحت استخدام الدف فكانت كلها للنساء والصغار ولا تخلو من حالتين: العرس والعيد

“Dan setelah menelusuri hadits-hadits yang membolehkan permainan duff bagi wanita dan anak kecil, semuanya tidak lepas dari dua keadaan, pesta pernikahan dan hari raya” (Sumber: https://www.dorar.net/article/151).

Faidah-Faidah Hadits

  1. Abu Bakar menyebut permainan rebana sebagai “seruling setan” dan ini tidak diingkari oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Menunjukkan persetujuan beliau terhadap penamaan ini.
  2. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan Aisyah radhiallahu’anha tidak menganggap aneh pengingkaran Abu Bakar. Menunjukkan mereka semua memahami bahwa hukum asal musik adalah haram.
  3. Sabda Nabi: “biarkan mereka, sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya” menunjukkan adanya rukhshah (kelonggaran) yang khusus di hari raya untuk bolehnya bermain rebana. Andaikan bermain rebana boleh di setiap saat tentu Nabi akan jelaskan dengan berkata: “biarkan mereka, karena ini tidak terlarang” atau “sesungguhnya ini tidak terlarang” atau semisalnya.
  4. Alat musik yang dimainkan adalah rebana, namun Abu Bakar mengatakan “seruling setan” bukan “rebana setan”. Menunjukkan semua alat musik secara umum adalah seruling setan.
  5. Para sahabat Nabi keras dalam mengingkari musik, sebagaimana Abu Bakar yang menyebut musik dengan “seruling setan” dan membentak orang yang bermain musik.

Wallahu a’lam.