Hukum Ketika Melakukan Kemaksiatan dengan Dalil Karena Qadar

Hukum Ketika Melakukan Kemaksiatan dengan Dalil Karena Qadar

Hukum Ketika Melakukan Kemaksiatan atau Meninggalkan Kewajiban dengan Dalil Karena Qadar ( Ketentuan ) Allah

Apakah benar orang yang berbuat dosa beralasan bahwa jatuhnya dia kepada kemaksiatan karena ini yang telah Allah tentukan ( takdirkan ) kepadanya ??

Segala puji hanya milik Allah semata,

Sebagian orang yang berbuat dosa dan melakukan kesalahan membuat alasan bahwa Allah yang telah mentakdirkan ( menentukan ) hal ini terjadi padanya. Oleh karena itu tidak layak baginya untuk di olok-olok. Anggapan ini tidak benar sama sekali. Tidak diragukan lagi bahwa keimanan kita terhadap Qadar bukan berarti memberikan peluang bagi orang yang berbuat dosa sebagai alasan untuk meninggalkan kewajiban-kewajiban atau melakukan berbagai macam kemaksiatan menurut kesepakatan orang-orang Islam dan orang-orang yang berakal.

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “ Tidak ada sesorangpun yang berhujjah dengan Qadar dalam kemaksiatan menurut kesepakatan umat Islam, seluruh pengikut agama, seluruh orang yang berakal. Karena kalau sekiranya diterima, maka setiap orang akan bisa melakukan apa saja yang terlintas dibenaknya. Baik membunuh orang, merampas harta benda dan seluruh kerusakan di bumi dengan alasan ketentuan Allah ( Qadar ). Begitu juga alasan yang akan digunakan ketika dia diganggu. Alasan orang yang mengganggu dengan Qadar tidak akan diterima, bahkan jadi saling kontradiksi. Ucapan yang saling kontradiksi menandakan akan ketidak benaran ucapan tersebut. Jadi alasan dengan Qadar telah jelas kesalahannya secara logika “. ( Majmu’ Fatawa : 8 / 179 )

Telah ada dalil yang menjelaskan akan kerusakan alasan dengan Qadar bagi pelaku kemaksiatan atau meninggalkan kewajiban, baik dalil Syara’ maupun akal. Diantara dalil Syara’ adalah :

1.Firman Allah yang artinya : “Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: “Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun". Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: "Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?" Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta “. Al-An’am : 148

Orang-orang musyrik itu beralasan dengan Qadar akan kesyirikan mereka. Kalau sekiranya alasan mereka benar, maka Allah tidak akan menimpakan siksaan-Nya. Barangsiapa yang beralasan dengan Qadar terhadap dosa dan kemaksiatan, maka dia harus membenarkan madzhab orang-orang kafir. Dan menyandarkan kepada Allah dengan secara dholim. Maha Tinggi Allah terhadap tuduhan seperti itu

2. Firman Allah : “(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” An-Nisaa’ : 165. Kalau sekiranya alasan dengan Qadar diterima, maka tidak perlu alasan lagi diutusnya seorang Rasul. Bahkan dengan adanya utusan seorang Rasul nantinya tidak ada manfaatnya dalam kenyataan.

3. Sesungguhnya Allah telah menyuruh dan melarang hamba-Nya, dan dia tidak dibebani kecuali apa yang dia mampu, Allah berfirman : “ Bertaqwalah kamu semua kepada Allah sesuai dengan kemampuan kamu semua “ At-Taghobun : 16. di firman Allah yang lainnya : “ Allah tidak membebani sesorang melainkan sesuai dengan kemampuannya “ Al-Baqarah : 286

Kalau sekiranya seorang hamba mengharuskan untuk melakukan suatu pekerjaan maka hal itu merupakan suatu beban yang dia tidak bisa keluar darinya dan hal ini batil ( tidak benar ). Oleh karena itu manakala seseorang terjerumus melakukan kemaksiatan karena kebodohan atau paksaan, maka dia tidak berdosa karena dia ada alasan yang dibenarkan. Kalau sekiranya alasan dengan Qadar ini benar, maka tidak ada bedanya antara orang yang dipaksa dengan orang bodoh dan antara orang yang sengaja malakukannya. Secara nyata dan menurut logika kedua hal ini ada perbedaan yang jelas sekali.

4. Sesungguhnya Qadar adalah rahasia yang tersembunyi, tidak ada seorangpun yang mengetahuinya kecuali setelah terjadinya peristiwa. Sementara keinginan seseorang untuk melakukan perbuatan itu mendahului dari pada perbuatannya, sehingga keinginan untuk melakukan perbuatan tidak dibangun atas pengetahuan dia terhadap Qadar. Maka persangkaan dia bahwa Allah telah menentukan ( mentaqdirkan ) dia begini dan begitu adalah persangkaan yang batil. Karena hal tersebut persangkaan terhadap ilmu ghoib. Sementara ilmu ghoib tidak ada yang mengetahuinya melainkan Allah saja. Maka alasannya tertolak karena tidak ada alasan bagi seseorang terhadap apa yang dia tidak ketahuinya.

5. Alasan dengan Qadar terhadap dosa-dosa akan berdampak pada tidak berguna lagi syareat, hari perhitungan ( hisab ), hari kebangkitan, pahala dan siksaan.

6. Kalau sekiranya orang-orang yang berbuat kemaksiatan beralasan dengan Qadar, maka penduduk neraka akan beralasan dengan itu juga ketika dia menyaksikan neraka, dia mengira akan masuk kedalamnya begitu juga ketika telah masuk ke neraka. Dimana dia mendapatkan celaan dan hinaan. Akan tetapi realitanya tidak demikian, mereka tidak beralasan dengan Qadar, akan tetapi mereka mengatakan seperti yang Allah firmankan : “Ya Tuhan kami, beri tangguhlah kami (kembalikanlah kami ke dunia) walaupun dalam waktu yang sedikit, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul." Ibrohim : 44. Di ayat lainnya mereka mengatakan : “Ya Tuhan kami, kami telah dikuasai oleh kejahatan kami, dan adalah kami orang-orang yang sesat “. Al-Mukminun : 106. Mereka mengatakan juga : “Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala”. Al-Mulk : 10. Ayat lain : “Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat ”. al-Mudatsir : 43. Dan ucapan-ucapan lainnya yang mereka katakan.

Kalau sekiranya alasan dengan Qadar bagi orang yang melakukan kemaksiatan, pasti mereka akan gunakan alasan tersebut karena mereka dalam kondisi yang sangat membutuhkan sekali agar bisa menyelamatkan dari Neraka Jahanam.

7. Kalau sekiranya beralasan dengan Qadar dibenarkan, maka akan menjadi alasan Iblis yang dia telah mengatakan : “Iblis menjawab: "Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus “ Al-A’raf : 16. Akan sama kedudukan antara Fir’aun musuh Allah dengan Musa Kalimullah ( orang yang pernah diajak berbicara dengan Allah ) ‘Alaihis salam.

8. Dan diantara yang menolak pendapat ini dan menerangkan akan kerusakannya adalah sesungguhnya kami melihat manusia sangat menjaga sekali untuk mendapatkan apa-apa yang enak dalam urusan dunia. Dan kita tidak dapatkan seseorang yang meninggalkan untuk kebaikan urusan dunianya dengan melakukan apa-apa yang dapat merusaknya dengan alasan Qadar. Kenapa mengalihkan yang bermanfaat dengan melakukan sesuatu yang mencelakakan kemudian berasalan dengan Qadar ?!. Untuk lebih jelasnya saya kasih contoh berikut ini. Kalau sekiranya seseorang ingin bepergian ke suatu Negara, yang mana ada dua jalan untuk melewatinya. Salah satu jalan aman dan tenang. Dan yang lain banyak keributan, kekacauan, pembunuhan dan perampokan. Jalan manakah yang akan dia lalui ?? tidak ragu lagu dia pasti memilih jalan yang pertama. Kenapa dalam urusan akhirat tidak melalui jalan menuju surga tanpa melalui jalan ke neraka ??

9. Yang mungkin kita bisa bantah kepada orang yang beralasan seperti ini – sebagaimana madzhabnya – dikatakan kepadanya : “ Engkau jangan menikah, kalau sekiranya Allah menentukan anda mempunyai anak nanti akan datang kepada anda, kalau tidak ditentukan tidak akan datang. Jangan makan dan minum, karena kalau Allah menentukan anda kenyang dan tidak haus maka akan terjadi. Kalau Allah tidak menentukan, tidak akan terjadi. Kalau ada binatang buas menyerang anda, jangan lari darinya. Karena kalau Allah taqdirkan anda selamat pasti selamat. Kalau ditaqdirkan anda celaka, tidak akan bermanfaat meskipun anda lari. Kalau anda sakit tidak perlu berobat, kalau Allah tentukan sembuh anda akan sembuh. Kalau tidak ditaqdirkan sembuh tidak bermanfaat obat-obatan. Apakah dia akan setuju dengan pendapat ini atau tidak ?? Kalau dia setuju berarti dia rusak akalnya, kalau tidak setuju berarti rusak / salah pendapat dan alasannya.

10. Orang yang beralasan dengan Qadar dalam kemaksiatan seperti dirinya dengan orang gila dan bayi yang tidak ada kewajiban ( tidak mukallaf ), tidak ada beban tanggung jawab. Kalau sekiranya dia dimuamalahi dalam urusan dunia, pasti dia tidak akan rela.

11. Kalau sekiranya kita terima alasan dia yang batil, maka kita tidak perlu lagi istighfar ( memohon ampunan ), bertaubat, doa, jihad, menyuruh kebaikan dan melarang kemungkaran.

12. Kalau sekiranya alasan dengan Qadar bagi dosa-dosa dan kemaksiatan, maka akan rusak kemaslahatan manusia. Kekacauan ada dimana-mana, tidak perlu hukum pidana, hukuman biar jera Karena pelakunya akan beralasan dengan Qadar. Begitu juga tidak perlu lagi hukuman bagi orang-orang dholim, penjegal jalanan, tidak perlu membuka pengadilan, mengangkat hakim dengan alasan semua yang terjadi karena atas Qadar / Ketentuan Allah. Hal ini tidak ada satupun orang yang berakal mengatakannya.

13. Orang yang beralasan dengan Qadar mengatakan : “ Kami tidak disiksa karena Allah menuliskan kejelekan kepada kami. Bagaimana kami bisa disiksa padahal kami sudah dicatat ? “. Kita katakan kepadanya : “ Susunggguhnya kami tidak disiksa dengan tulisan terdahulu. Akan tetapi kita disiksa terhadap apa yang telah kita perbuat dan telah kita laksanakan. Kita tidak diperintahkan terhadap apa yang telah Allah tentukan atau telah Allah tuliskan kejelekan kepada kita. Akan tetapi kita diperintahkan mengerjakan apa yang akan diperintahkan kepada kita. Keduanya ada perbedaan antara apa yang diinginkan dengan kita dan apa yang diinginkan dari kita. Kalau apa yang diinginkan dengan kita, maka kita melakukan sesuai dengan apa yang dituliskan. Tapi kalau yang diinginkan dari kita adalah kita diperintahkan untuk melakukannya.

Berkaitan dengan Ilmu Allah akan terjadinya suatu pekerjaan telah diketahui kemudian dituliskannya, bukan merupakan alasan. Karena kandunga Ilmu-Nya Yang Sempurna Mencakup semua apa yang diciptakan-Nya. Hal itu bukan bentuk dari jabar ( pemaksaan ). Contoh dalam kenyataan – dengan tidak menyamakan Allah Yang Maha Tinggi – kalau seandainya seorang guru mengetahui kondisi sebagian muridnya tidak lulus tahun ini karena kenakalan dan kemalasannya. Kemudian murid ini tidak lulus sebagaimana pengetahuan guru tadi, apakah orang yang berakal akan mengatakan bahwa guru yang memaksanya gagal. Atau murid tersebut boleh mengatakan : “ Saya tidak lulus karena guru ini telah mengetahui saya tidak akan lulus ? “. Secara umum bahwa alasan dengan Qadar dalam melakukan kemaksiatan atau meninggalkan kewajiban adalah alasan batil dalam Syara’, akal dan alam realita.

Dan yang perlu untuk diingatkan bahwa kebanyakan dari mereka, alasan yang keluar bukan karena dari penerimaan dan keimanan. Akan tetapi karena mengikuti hawa nafsu dan keingkaran. Oleh karena itu sebagian ulama’ mengatakan berkaitan dengan kondisi mereka : “ Kamu dalam ketaatan Qadari ( sesuai dengan ketentuan Allah ) dan dalam kemaksiatan Jabari ( Allah telah mamaksanya untuk melakukannya ). Madzhab apa yang mereka gunakan dalam mengambil madzhab seperti ini “ ( Majmu’ Fatawa : 8 / 107 ) yakni kalau dia melakukan ketaatan disandarkan kepada dirinya dan mengingkari akan ketentuan Allah padanya. Kalau melakukan kemaksiatan beralasan dengan Qadar.

Syeikhul Islam rahimahullah berkata berkaitan dengan orang yang beralasan dengan Qadar : “ Kaum tersebut kalau sekiranya terus menerus dengan keyakinan seperti itu, maka dia lebih kufur dibandingkan Yahudi dan nashroni “ ( Majmu’ fatawa : 8 / 262 )

Oleh karena itu tidak diperkenankan seorang hamba dalam aib dan kemaksiatan beralasan dengan Qadar. Akan tetapi yang diperkenankan beralasan dengan Qadar adalah ketika ditimpa musibah pada seseorang seperti kefakiran, sakit, meninggalnya kerabat, gagal panen, kerugian harta, membunuh tanpa sengaja atau yang semisalnya. Hal ini merupakan kesempurnaan dari keredhoan kepada Allah sebagai Tuhan. Jadi alasan tersebut berkaitan dengan musibah-musibah bukan pada dosa-dosa. Orang yang bahagia adalah orang yang memohon ampun terhadap dosa-dosa, dan shabar terhadap musibah-musibah. Sebagaimana firman Allah : “Maka bersabarlah kamu, karena sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu ” Al-Mukmin : 55. Orang yang sengsara adalah orang yang mengeluh dikala terkena musibah dan beralasan dengan Qadar ketika dalam dosa-dosa.

Penjelasannya seperti dalam contoh berikut ini : kalau sekiranya ada orang yang mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi sampai hilang kendali yang menyebabkan terjadi kecelakaan kemudian dia dimarahi dan di tilang kemudian dia beralasan dengan Qadar ( karena sudah ketentuan Allah ) maka alasannya tidak akan di terima. Akan tetapi kalau sekiranya ada seseorang menabrak mobil dalam kondisi diam tidak bergerak dan orang pada memarahinya kemudian dia beralasan dengan Qadar ( sudah di tentukan oleh Allah ) maka alasannya bisa diterima. Kecuali kalau dia salah waktu parker mobilnya. Maksdunya adalah kalau sekiranya dari perbuatan dan pilihan seorang hamba, maka dia tidak boleh beralasan karena Qadar. Akan tetapi kalau diluar pilihan dan keinginannya maka dia boleh beralasan dengan Qadar.

Oleh karena itu Nabi Adam memberikan alasan kepada Nabi Musa alaihimassalam, sebagaimana sabda Rasulullah sallalahu’alaihis salam dalam dialognya : “ Adam dan Musa berdialog, Musa berkata kepada Adam : “ Engkau Adam, karena dosamu dikeluarkan dari Surga ?? Adam berkata kepada Musa : “ Engkau Musa yang Allah pilih dengan risalah-Nya dan dengan ucapan-Nya. Kemudian engkau menghina terhadap urusan yang telah Allah takdirkan kepadaku sebelum saya diciptakan ? maka Adam mengalahkan alasan Musa. ( Diriwayatkan Muslim no : 2652 )

Adam ‘alaihissalam tidak beralasan dengan Qadar terhadap dosanya sebagaimana persangkaan orang yang tidak memperhatikan hadits. Musa ‘alaissalam tidak mencela Adam karena dosanya karena beliau mengetahui bahwa Adam telah memohon ampun kepada Tuhan-Nya dan bertaubat kemudian Allah memilih dan menerima taubatnya dan memberikan petunjuk kepadanya. Karena orang yang bertaubat dari dosanya seakan-akan tidak ada dosa lagi.

Kalau sekiranya Musa mencela Adam karena dosanya, maka dijawab : “ Sesungguhnya saya telah berbuat dosa dan telah bertaubat kemudian Allah telah menerima taubatku. Dan Adam juga akan berkata kepada Musa : “ Engkau Musa juga pernah membunuh orang dan melempar tulisan-tulisan ( alwah ), dan ucapan semisalnya. Akan tetapi Musa beralasan dengan musibah maka Adam beralasan dengan Qadar “. Lihat Beralasan dengan qadar ( Al-Ihtijaj Bil Qadar ) karangan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah hal : 18 – 22 )

“ Apa yang telah ditentukan dari berbagai musibah maka hendaklah dia terima dengan sempurna, karena itu merupakan kesempurnaan keredhoan kepada Allah sebagai Tuhan. Sementara dosa-dosa, maka tidak seorangpun boleh berbuat dosa, tapi kalau dia berdosa maka hendaklah dia memohon ampun dan bertaubat. Maka dia bertaubat dari dosa-dosa dan bersabar dari musibah-musibah “ Syarkh Ath-Thohawiyah hal : 147.

Sebagian ulama’ menyebutkan bahwa yang layak untuk beralasan dengan Qadar adalah orang yang bertaubat dari dosa. Kalau ada yang mencela terhadap dosa dan dia telah bertaubat, maka layak dia beralasan dengan Qadar. Kalau dikatakan kepada salah satu orang yang bertaubat : “ Kenapa engkau lakukan ini dan itu ? “. Kemudian dia menjawab : “ Ini adalah karena Qadha’ dan ketentuan Allah, dan saya telah bertaubat dan beristighfar. Maka akan diterima alasannya, karena dosa baginya bagaikan musibah.

Dia tidak beralasan karena kekurangannya terhadap Qadar akan tetapi dia beralasan karena musibah yang menimpahnya yaitu berbuat kemaksiatan kepada Allah. Tidak diragukan lagi bahwa kemaksiatan termasuk dari musibah. Sebagaimana alasan ini dia kemukakan setelah terjadi dan selesai. Pelakunya mengakui akan perbuatannya dan mengakui dosanya. Maka tidak patut bagi seorangpun untuk mencela orang yang bertaubat dari dosa. Karena ‘Ibroh ( pelajaran ) itu pada kesempurnaan akhir bukan pada kekurangan pertama ( didepan ). Wallahu’alam.


Apa yg harus dilakukan anak bila orang tua berbuat maksiat

Apa yg harus dilakukan anak bila orang tua berbuat maksiat 

Terkadang seorang anak harus menghadapi orang tua yang belum mengerti tentang ajaran Islam. Sebagai akibatnya, ia harus menyaksikan orang yang sangat ia cintai dan hormati melakukan perbuatan maksiat atau menghalang-halangi si anak dari perbuatan amal shaleh.

I. RUANG LINGKUP PENGERTIAN BERBAKTI KEPADA ORANG TUA

Pengertian birrul wâlidain (berbakti kepada kedua orang tua) ialah mencurahkan seluruh jenis kebaikan bagi mereka. Syaikh al-’Utsaimîn rahimahullâh memaparkannya dalam bentuk-bentuk berikut ini:

1. Berbakti kepada orang tua dalam bentuk ucapan. Allâh Ta’âla berfirman:

إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
“….. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “Ah” dan janganlah kamu membentak mereka. Ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia” [Al-Isrâ`/17:23]

Ini perlakuan saat orang tua telah berusia uzur. Biasanya ketika telah memasuki usia senja (pikun), tindak-tanduk orang tua tampak tidak normal di hadapan orang lain. Walaupun demikian, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan: “maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘Ah’)”, maksudnya jangan berbuat seperti itu kepada mereka disebabkan kegusaran atas tindak-tanduk mereka (dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia).

2. Bakti kepada orang tua juga dalam bentuk perbuatan, yaitu dengan cara seorang anak menghinakan diri di hadapan orang tuanya, dan tunduk patuh kepada mereka dengan cara-cara yang dibenarkan syariat dalam rangka menghormati kedudukan mereka. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”” [Al-Isrâ`/17:24]

3. Berbakti juga dapat dilakukan dengan pemberian materi kepada orang tua. Orang tua berhak memperoleh infak dari anaknya. Bahkan ini termasuk bentuk infak yang agung. Sebab Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَنْتَ وَمَالُكَ لِأَبِيْكَ
” Engkau dan kekayaanmu adalah milik bapakmu” [HR. Abu Dâwud no. 3530, Ibnu Mâjah no. 2292]

4. Bentuk bakti kepada orang tua yang lain, dengan melayani mereka dalam menyelesaikan atau membantu urusan maupun pekerjaan mereka. Namun bila meminta tolong dalam perkara yang diharamkan, saat itu tidak boleh bagi anak untuk menyambut permintaan mereka. Justru, penolakannya menjadi cermin bakti anak kepada orang tua, berdasarkan sabda Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam :

انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِـمًا أَوْ مَظْلُومًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ هَذَا نَنْصُرُهُ مَظْلُومًا فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِـمًا قَالَ تَـمْنَعُهُ مِنَ الظُّلْمِ
“Tolonglah saudaramu saat berbuat zhalim atau teraniaya. Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam ditanya: “Wahai Rasulullah, kalau menolong orang yang teraniaya kami sudah mengerti, bagaimana dengan menolong saudara yang berbuat zhalim?” Beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Dengan menghalang-halanginya berbuat zhalim”. [HR Al-Bukhâri, Muslim dan Ahmad]

Misalnya, orang tua memerintahkan membeli sesuatu yang diharamkan, kemudian si anak menolaknya. Anak ini tidak disebut sebagai anak durhaka, akan tetapi merupakan putra yang berbakti kepada orang tuanya, karena telah menahan orang tuanya dari berbuat yang haram.[1]

II. TELADAN YANG BAIK DARI NABI IBRAHIM ‘ALAIHISSALAM

Allâh Azza wa Jalla sudah menyatakan bahwa Nabi Ibrâhîm ‘alaihissalam merupakan qudwah hasanah (teladan yang baik) bagi umat manusia. Sebagai contoh, kegelisahan mendalam yang beliau rasakan karena sang bapak (Azar), masih bergelut dengan penyembahan berhala dan patung-patung. Tiada kata putus asa bagi Nabi Ibrâhîm ‘alaihissalam. Allah Ta’ala telah berfirman (mengisahkan) di beberapa surat di dalam al-Qur‘ân bagaimana besarnya sopan-santun dan kegigihan beliau mendakwahi orang tua. Yang menarik dan mesti ditiru oleh seorang anak saat menghadapi perbuatan maksiat orang tua mereka adalah Nabi Ibrâhîm ‘alaihissalam selalu menghiasi diri dengan sifat al-hilm (bijak dan penuh kelembutan) seperti tertera dalam surat at-Taubah ayat 114.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ
“Sesungguhnya Ibrâhîm adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun” [At-Taubah/9:114]

Beliau ‘alaihissalam mempunyai kasih-sayang terhadap sesama, dan memaafkan perlakuan-perlakuan tidak baik kepadanya yang muncul dari orang lain. Sikap tidak sopan orang lain tidak membuat beliau antipati, tidak menyikapi orang jahat dengan tindakan serupa. Dalam hal ini, sang bapak telah mengancam dengan berkata kepadanya: “Bencikah kamu kepada ilâh-ilâhku (tuhan-tuhanku), hai Ibrâhîm. Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama”. Namun Nabi Ibrâhîm ‘alaihissalam menyikapinya dengan berkata: “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan meminta ampun bagimu kepada Rabbku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku”. [Maryam/19:46-47]

Syaikh as-Sa’di rahimahullâh berkata: “Ibrâhîm al-Khalîl ‘alaihissalam menjawabnya (ancaman si ayah) dengan jawaban yang biasa disampaikan oleh hamba-hamba Allâh Azza wa Jalla (’Ibâdurrahmân) saat berbicara dengan orang-orang jâhilîn (orang-orang yang tak berilmu/awam)[2]. Beliau tidak mencela sang bapak sedikit pun. Namun tetap bersabar dan tidak membalas (ancaman) bapaknya dengan hal-hal yang tidak baik. Beliau mengucapkan “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu” yang mengandung pengertian ‘Wahai ayah, engkau tidak akan menghadapi cemoohan, celaan dan perlakuan yang buruk dariku saat aku berbicara denganmu. Justru aku akan senantiasa berdoa kepada Allâh Azza wa Jalla agar memberikan hidayah dan ampunan bagimu…[3]

III. BERCERMIN PADA PETUNJUK ULAMA

Bagaimanapun ketika orang tua berbuat pelanggaran syariat, anak tidak boleh berdiam diri. Ia berkewajiban merubahnya, supaya orang yang ia kasihi tersebut tidak terjerumus dalam kenistaan di jurang maksiat kepada Allâh Ta’âla, namun tidak boleh menempuh cara-cara yang justru langsung memutus tali silaturahmi dengan mereka. Berikut ini kami kutip beberapa keterangan Ulama yang berbicara bagaimana menyikapi orang tua yang berbuat maksiat. Dengan harapan, kita sekalian dapat mengambil langkah yang tepat saat menghadapi persoalan-persoalan serupa :

A. Bapakku melakukan pelanggaran syariat.

Syaikh ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz rahimahullâh menjawab kegamangan seorang anak atas tindakan maksiat yang ia lihat pada bapaknya.

Beliau berkata: “Semoga Allâh Azza wa Jalla memberi hidayah dan kemauan bertaubat bagi bapakmu. Kami berpesan agar engkau tetap berlaku lembut kepadanya dan menasehatinya dengan cara halus, tidak pernah putus asa dalam rangka menunjukkannya kepada hidayah.

Allâh Azza wa Jalla berfirman : “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku lah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan” [Luqmân/ 31:14-15]

(Pada ayat di atas) Allâh Azza wa Jalla berwasiat supaya mensyukuri kedua orang tua. Perintah ini ternyata dipadukan dengan perintah bersyukur kepada-Nya. Ayat itu juga memerintahkan anak agar mempergauli mereka di dunia ini dengan cara-cara yang baik, kendatipun mereka memaksa berbuat kufur. Melalui ayat di atas, engkau tahu bahwa sikap yang diperintahkan syariat dalam kondisi ini (memaksa anak berbuat kufur, red) adalah agar seorang anak tetap menjalin hubungan dengan orang tua dengan cara-cara yang baik, berbuat baik kepada mereka meski mereka berbuat jelek kepadanya, serta gigih mengajak mereka kepada kebenaran. Semoga Allâh Azza wa Jalla memberi hidayah baginya melalui tanganmu. Engkau tidak boleh menaatinya dalam kemaksiatan.

Kami juga berpesan setelah memohon pertolongan kepada Allâh Azza wa Jalla, supaya engkau juga meminta bantuan orang-orang shaleh dari kalangan kerabatmu dan paman-pamanmu dan pihak lainnya, yaitu orang-orang yang sangat dihormati dan dimuliakan oleh ayah. Mungkin saja, beliau akan lebih mudah menerima nasehat mereka….”.[4]

B. Ibuku melarangku mengenakan hijâb (cadar)

Seorang Muslimah mengadukan ibunya yang melarang dirinya mengenakan cadar kepada Syaikh Bin Baz rahimahullâh. Sebaliknya, justru memerintahkan anak untuk menikmati bioskop dan video. Alasan si ibu, agar rambut putrinya tidak cepat memutih. Demikian pernyataan sang ibu kepada anak perempuannya.

Menanggapi persoalan ini, Syaikh Bin Bâz rahimahullâh menjawab: “Kamu berkewajiban bersikap lembut dengan ibu dan tetap berbuat baik kepada beliau, serta berbicara dengan cara yang terbaik. Sebab, hak ibu sangat besar. Akan tetapi, engkau tidak boleh taat kepadanya dalam perkara-perkara yang tidak baik, berdasarkan hadits Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam :

إنَّـمَا الطَّاعَةُ فِـيْ الْـمَعْرُوفِ
“Ketaatan (kepada makhluk) hanya pada perkara-perkara baik saja”

Begitu pula, ayah dan suami, tidak wajib ditaati dalam maksiat kepada Allâh Azza wa Jalla. Akan tetapi, seyogyanya istri atau anak dan lainnya bersikap lembut dan menempuh cara yang baik dalam menyelesaikan masalah. Yaitu dengan menjelaskan dalil-dalil syar’i, wajibnya taat kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, dan kewajiban menghindari maksiat kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, dengan tetap teguh berpegangan al-haq dan menampik perintah orang yang menyuruh melanggar al-haq, baik itu suami, ayah, ibu atau lainnya. Sebenarnya tidak masalah menonton acara TV dan video yang tidak mengandung kemungkaran, atau mendengarkan acara-acara ilmiah dan kajian-kajian yang bermanfaat. Yang harus dihindari ialah acara yang mengandung kemungkaran. Menonton film-film pun tidak boleh karena mengandung banyak kebatilan.”[5]

C. Ibuku marah ketika aku ingatkan dari kesalahan

Seorang anak menyaksikan ibunya tidak istiqamah. Setiap kali menasehati, kemarahanlah yang muncul dari beliau. Akibatnya selama beberapa hari si ibu enggan berbicara dengan anaknya. Persoalan yang ditanyakan adalah cara menasehati ibu, tanpa menimbulkan amarahnya dan kemurkaan Allâh Azza wa Jalla. Sebab, ternyata sang ibu saking marahnya sempat mendoakan kejelekan bagi anak yang menasehatinya. Apakah dibenarkan ia membiarkan ibunya dalam keadaan demikian, hingga tetap disayang oleh ibu?

Syaikh ‘Abdullâh bin ‘Abdur Rahmân al-Jibrîn hafizhahullâh menjawab kegundahan di atas dengan berkata: “Engkau tetap menasehati ibumu terus-menerus, dan menjelaskan dosa dan bahaya akibat perbuatannya. Jika tidak berpengaruh baik, cobalah sampaikan kepada suaminya (bapakmu atau lelaki yang menjadi suaminya karena sudah cerai dari ayah, red), orang tua ibu atau walinya, agar mereka inilah yang menasehati beliau. Jika perbuatan beliau termasuk dosa besar, tidak mengapa bila engkau menghajr (tidak mengajak bicara) beliau. Sehubungan dengan doa buruk atau komentar miring terhadapmu anak yang durhaka atau memutuskan tali silaturahmi maka hal itu tidak membahayakanmu. Sebab engkau melakukannya (menasehati ibu, red) karena dorongan rasa tidak suka bila hukum Allâh Ta’âla dilanggar. Namun apabila kesalahan beliau termasuk dosa kecil, engkau tidak boleh melakukan muqâtha’ah (mendiamkan beliau)”[6]

IV. KESIMPULAN DARI FATWA-FATWA DI ATAS

Beberapa fatwa Ulama di atas telah memberikan petunjuk bagi siapa saja yang ingin menasehati orang tuanya yang berbuat kesalahan. Dari fatwa-fatwa itu, dapat disimpulkan bahwa :

1. Menasehati orang tua harus dengan lemah-lembut.

2. Terkadang diperlukan pihak lain untuk melakukan nahi mungkar.

3. Melarang orang tua dari perbuatan haram atau menolak perintah orang tua yang memerintahkan berbuat haram termasuk bakti kepada orang tua.

4. Tidak boleh putus asa dalam rangka meluruskan orang tua menuju hidayah.

5. Bila diperlukan, tidak mengajak bicara dengan orang tua termasuk langkah untuk menyadarkan orang tua yang berbuat salah.

Semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan karunia hidayah dan taufik bagi setiap keluarga Muslim dalam menjalankan aturan Allâh Azza wa Jalla di tengah keluarga. Amin. (Redaksi)

Referensi: -Taisirul Karimir Rahman, Syaikh as-Sa’di, Muassasah Risalah


Rasa malu menghalangi perbuatan maksiat

Rasa malu menghalangi perbuatan maksiat

RASA MALU MENGHALANGI PERBUATAN MAKSIAT

Rasulullah bersabda : “Inna mimma adrakan naassu min kalaamin nubuwatil uula. Idzaa lam tastahyi fashna’ ma syi’ta. Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui manusia (secara turun temurun) dari kalimat kenabian terdahulu adalah : Jika engkau tidak malu maka berbuatlah sesukamu.(H.R Imam Bukahri dan juga diriwayatkan oleh 9 ahli hadits selainnya).

Inti pokok hadits ini adalah : Jika engkau tidak malu maka berbuatlah sesukamu. Lalu apa makna kata malu. Malu adalah satu kata yang mencakup perbuatan menjauhi segala apa yang dibenci. (Ibnu Hibban al Busti). Syaikh Salim bin ‘Ied al Hilaly berkata :

(1) Malu adalah akhlak yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan buruk dan tercela.

(2) Menghalangi seseorang dari melakukan dosa dan maksiat.

(3) Mencegahnya dari sikap melalaikan hak orang lain.

Selanjutnya tentang kalimat : “Jika engkau tidak malu berbuatlah sesukamu”. Para ulama, diantaranya Syaikh Utsaimin, memberikan beberapa makna, yaitu :

Pertama : Sebagai perintah dan peringatan. Maksudnya adalah, jika engkau telah pastikan tidak malu dihadapan Allah Ta’ala dan dihadapan manusia karena perbuatan itu baik dan halal maka kerjakanlah. Imam an Nawawi berkata : Perintah tersebut adalah dalam arti pembolehan. Maksudnya adalah sekiranya engkau hendak mengerjakan sesuatu maka jika itu adalah hal yang engkau tidak merasa malu kepada Allah dan manusia untuk mengerjakannya maka lakukanlah perbuatan itu.

Kedua : Sebagai bentuk ancaman. Ini adalah gaya bahasa mengancam. Maksudnya jika engkau tidak tahu malu maka kerjakanlah sesuakamu. Dan pada waktunya engkau harus mempertanggung jawabkan apa yang telah engkau kerjakan.

Ketiga : Sebagai bentuk berita. Maksudnya adalah bahwa yang mencegah manusia yang fitrahnya baik, dari zaman ke zaman terhadap kemaksiatan adalah rasa malu yang dimilikinya. Rasa malu akan mencegah kemaksiatan dan membuat orang melakukan kebaikan jika fitrahnya masih baik. Orang yang punya rasa malu paham betul bahwa Allah Maha Mengetahui, Maha Mendengar dan Maha Melihat.

Dari ketiga hal tersebut, jumhur ulama mengatakan bahwa yang lebih kuat adalah pendapat pertama yaitu jika sudah pasti engkau tidak malu di hadapan Allah dan di hadapan manusia (untuk mengatakan atau melakukan sesuatu) maka kerjakanlah.

Seorang hamba sangatlah dianjurkan untuk memelihara sikap malu ini karena sifat malu memiliki banyak keutamaan dan akan mendatangkan kebaikan, diantaranya adalah :

Pertama : Malu adalah salah satu cabang iman. Sungguh terdapat keterkaitan yang kuat antara malu dengan iman bahkan merupakan salah satu cabangnya. Rasulullah bersabda : “Al iimaan bidh’un wa sab’uun au sittuuna syu’bah. Fa afdhaluha qaulu lailaha ilallah wa adnaahaa imaathtul adza ‘anith thaariq. Wal hayaa’u syu’batun minal iimaan”.

Iman memiliki lebih dari 70 atau 60 cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan Laa ilaaha ilallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang iman. (H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim). Rasulullah bersabda : Al hayaa’u wal iimaanu qurinaa jamii’aa. Fa idza rufi’a ahaduhumaa rufi’al akharu. Malu dan iman senantiasa bersama. Apabila salah satunya dicabut maka hilanglah yang lainnya. (H.R al Hakim dan ath Thabrani).

Kedua : Malu hakikatnya mendatangkan kebaikan. Rasa malu akan senantiasa mengajak pemiliknya untuk berhias dengannya dan menjauhkan dari sifat sifat rendah dan hina. Rasulullah bersabda : “Al hayaa’u laa ya’ti illa bi khairin”. Malu itu tidak mendatangkan (sesuatu) kecuali kebaikan (Mutafaq ‘alaihi).

Imam Muslim meriwayatkan : “Al hayaa’u khairun kulluhu”. Malu itu seluruhnya baik. Seorang sahabat pernah mengecam saudaranya dalam hal malu, seolah olah ia berkata kepada saudaranya : Sungguh malu telah merugikanmu. Lalu Rasulullah bersabda : Da’huu fa innal hayaa’a minal iman”. Biarkan dia, karena malu termasuk iman. (H.R Imam Bukhari).

Ketiga : Malu penghalang untuk melakukan kemaksiatan. Berapa banyak kita menyaksikan manusia yang suka berbuat buruk bahkan menzhalimi terhadap sesama. Sebab paling utama adalah karena mereka tidak memiliki sifat malu. Bahkan terkadang masih bisa tertawa dihadapan kamera media masa meskipun telah melakukan suatu perbuatan yang sangat tercela. Seorang hamba yang memiliki rasa malu dan fitrahnya baik pastilah dia merasa terhalang untuk melakukan kemaksiatan serta berbagai perbuatan tercela.

Abu Ubaid al Harawi berkata : Maknanya bahwa orang yang (punya sifat) malu itu berhenti dari perbuatan maksiatnya karena rasa alunya. Sehingga rasa malu itu menjadi seperti iman yang mencegah antara dia dengan makksiat. (Fathul Baari).

Keempat : Malu akan mengantarkan ke surga. Rasulullah salallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Al hayaa’u minal iimaan. Wal iimaanu fil jannah wal badzaa’ minal jafa’I wal faja’u finnaar”. Malu bagi dari iman, sedangkan iman tempatnya di surga. Dan perkataan kotor bagian dari tabiat kasar, sedangkan tabiat kasar tempatnya di neraka. (H.R Imam Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh al Albani).

Itulah sebagian keutamaan sifat malu yang hakikatnya akan menghalangi seorang hamba untuk melakukan perbuatan maksiat. Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam. (1.028)

Pelaku Maksiat akan Menjadi Tawanan Syetan

Pelaku Maksiat akan Menjadi Tawanan Syetan

Pelaku Maksiat akan Menjadi Tawanan Syetan

Termasuk di antara akibat buruk dari maksiat adalah pelaku maksiat menjadi tawanan setan, terkurung dalam penjara syahwat, dan terbelenggu oleh hawa nafsu. Dirinya tertawan, terkurung, dan terbelenggu. Tidak ada yang lebih buruk daripada kondisi tertawan oleh musuh bebuyutan. Tidak ada penjara yang lebih menghimpit daripada penjara hawa nafsu. Tidak ada kekangan yang lebih membelenggu daripada belenggu syahwat. Bagaimana mungkin hati yang tertawan, terpenjara, dan terbelenggu dapat menuju Allah dan akhirat?! Bagaimana mungkin hati yang terbelenggu dapat melangkah walau hanya selangkah?! Hati seperti burung yang terbang tinggi menjauh dari berbagai mara bahaya, sebab saat ia turun maka bahaya itu selalu membuatnya risau.

Dalam hadits disebutkan, "Setan adalah serigala bagi manusia."

Ini ibarat kambing tanpa penjaga yang dikelilingi oleh banyak serigala. Sudah barang tentu ia segera termangsa. Begitu juga dengan hamba yang tidak bersama perlindungan Allah, pasti serigala atau setan itu akan segera memangsanya. Penjagaan dari Allah sebab takwa adalah perlindungan serta benteng kukuh yang melindungi dari kejahatan serigala atau setan, sama seperti halnya penjaga yang melindungi dari siksa dunia dan akhirat. Jika kambing semakin dekat dari penggembalanya, tentu ia akan lebih selamat. Sebaliknya, semakin jauh ia dari penggembala maka semakin dekat ia dengan kebinasaan. Kondisi paling aman bagi kambing adalah ketika ia dekat dengan penggembalanya karena serigala hanya memangsa kambing yang sendirian dan jauh dari penggembalanya.

Pada intinya, jika hati semakin jauh dari Allah, bahaya tentu semakin cepat menghampirinya. Apabila hati semakin dekat dengan Allah, mara bahaya pasti semakin menjauh.

Kondisi jauh dari Allah itu bertingkat-tingkat. Tingkat yang satu lebih membahayakan daripada tingkat yang lain. Kelalaian menjauhan hamba dari Allah, namun jauhnya hati dari-Nya yang disebabkan maksiat jauh lebih berbahaya di banding sebab kelalaian. Jauhnya hati sebab berbuat bid ah lrbili berbahaya daripada jauhnya sebab maksiat, dan jauhnya hati sebab kemunafikan dan syirik lebih berbahaya daripada itu semua.

Maksiat mengundang kecaman dan celaan bagi pelakunya

Maksiat mengundang kecaman dan celaan bagi pelakunya

Dampak maksiat diantaranya dapat mengundang kecaman dan celaan, maksiat akan mencabut nama-nama yang harum dan pujian dan digantikan dengan nama-nama yang buruk dan celaan. Maksiat menaggalkan status dan namanya sebagai mukmin, barr(pelaku kebaikan), muttaqin (bertakwa), muhsin, muthi’ (taat), munib (patuh), wali, shalil, abid (ahli ibadah), kha’if (yang takut pada Allah), awwab (yang kembali kepada Allah), mardhiy (yang diridhai), thayyib (baik), dan lain sebagainya.

Perbuatan maksiat akan memakaikan kepada pelaku maksiat nama-nama yang buruk seperti fajir (durjana), ‘ashi (pemaksiat), mukhalif (penentang), musi’ (pelaku keburukan), mufsid (perusak), maskhuth (dibenci), khabits (keji), zani (pezina), sariq (pencuri), qatil (pembunuh), kadzib (pendusta), kha’in (penghianat), luthi (homo) dan lain sebagainya. Nama-nama tersebut merupakan nama kefasikan yang mendatangkan murka Allah swt, dan mengundang api neraka, serta mendatangkan kehidupan yang hina.

Allah berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُوْنُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوْا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْإِيْمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ(11)
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain,(karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena) bisa jadi perempuan yang (diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolo-olok).janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan Janganlah kamu saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka itulah orang-orang yang zalim.” (QS al-Hujurat [49] : 11)

Jika maksiat mengandung dampak nama-nama buruk tersebut dan ganjaran dosa, niscaya akal menolaknyaa. Jika di dalam ketaatan terdapat pahala dan nama-nama yang harum, niscaya akal akan memerintahkanya. Aka tetapi manusia memiliki hawa nafsu yang dapat menguasai akal manusia dan menjerumuskan manusia kedalam kebinasaan

Allah berfirman

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُوْمُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَكَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ ۖ وَكَثِيْرٌ حَقَّ عَلَيْهِ الْعَذَابُ ۗ وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ (18)
“Tidakkah engkau tahu, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? tetapi banyak (manusia) yang pantas mendapatkan azab. Dan barangsiapa yang dihinakan Allah maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki." (QS. Al-Hajj [22]: 18)

Tidak ada yang dapat mencegah apa yang diberikan Allah swt. dan tidak ada yang dapat memberi apa yang sudah dicegah Allah. Tidak ada yang dapat mendekatkan apa yang sudah sudah dijauhkan Allah dan tidak ada yang menjauhkan apa yang sudah didekatkan Allah.

Maksiat; membutakan Mata Hati dan Hukuman di Akhirat

Maksiat; membutakan Mata Hati dan Hukuman di Akhirat

Maksiat; membutakan Mata Hati dan Hukuman di Akhirat

Dampak buruk lain dari kemaksiatan adalah dapat membutakan mata hati, memadamkan cahayanya, menutup jalan masuknya ilmu, serta menghalangi petunjuk. Imam Malik berkata kepada Imam asy-Syafi'i, "Aku melihat bahwa Allah telah menancapkan cahayadi hatimu, janganlah kamu memadamkannya dengan gelapnya maksiat."

Cahaya hati bisa melemah dan meredup, namun gelapnya kemaksiatan menjadi semakin kuat hingga hati pun laksana malam yang gelap gulita. Betapa banyak kerusakan yang terjadi sebab ia tidak bisa melihat, ibarat orang buta yang berjalan di malam hari melewati jalan yang penuh dengan lubang berbahaya. Sungguh, amat sulit baginya untuk selamat dan begitu mudahnya ia terperosok.

Kegelapan hati semakin pekat hingga menjalar ke seluruh anggota badan sampai hitamnya menutupi wajah sesuai dengan kegelapannya yang semakin bertambah. Lalu, di alam barzakh, kegelapan tampak memenuhi kubur sebagaimana sabda Nabi Saw., "Kubur ini, para penghuninya dipenuhi dengan kegelapan. Kemudian, Allah menyinarinya sebab doaku untuk mereka."

Adapun di hari kiamat, tatkala manusia dikumpulkan maka wajah-wajah mereka tampak begitu hitam kelam seperti arang. Baginya, hukuman yang tak tertandingi dengan segala kenikmatan dunia dari awal hingga akhir. Maka, bagaimanakah jika itu dibandingkan dengan kehidupan seorang hamba yang hanya sebentar bagai mimpi? Semoga Allah menyelamatkan kita.

Maksiat dan Hilang dan Putusnya Nikmat

Maksiat dan Hilang dan Putusnya Nikmat

Maksiat dan Hilang dan Putusnya Nikmat

Di antara dampak buruk maksiat adalah dapat menghilangkan nikmat yang ada dan memutuskan nikmat yang akan datang. Maksiat itu melenyapkan nikmat yang ada dan menghalangi nikmat yang akan datang. Tidak ada yang dapat menjaga nikmat Allah yang sebanding dengan ketaatan, dan tidak ada yang dapat mendatangkan nikmat yang hilang sebagaimana ketaatan. Segala yang ada di sisi Allah tidak dapat diraih kecuali dengan ketaatan. Allah Swt telah menjadikan sebab dan cacat atas segala sesuatu. Sebab, yang mendatangkan kenikmatan adalah ketaatan. Adapun cacat yang melenyapkan nikmat adalah maksiat.

Apabila Allah hendak menjaga nikmat-Nya yang diberikan kepada hamba, Dia tentu memberikan ilham kepada hamba itu supaya menjaganya dengan berbuat taat. Jika Allah menghendaki lenyapnya nikmat tersebut darinya, Dia biarkan hamba itu hingga ia berbuat maksiat kepada-Nya.

Sungguh aneh, ketika hamba telah mengetahui apa yang terjadi pada dirinya dan orang lain, melihatnya secara langsung maupun mendengar kabar orang yang dilenyapkan nikmatnya sebab maksiat yang ia perbuat secara terus-menerus seolah-olah ia termasuk hamba yang dikecualikan atau dikhususkan dan seakan- akan itu semua hanya berlaku bagi manusia secara umum tidak untuk dirinya.

Adakah kebodohan yang lebih daripada itu?! Dan, adakah kezhaliman pada diri sendiri yang lebih parah daripadanya?! Sadarilah bahwa ketetapan hukum itu ada di tangan Allah Yang Maha Luhur lagi Maha Besar!

Dampak Kemaksiatan dan Berbagai Macam Bencana

Dampak Kemaksiatan dan Berbagai Macam Bencana

Dampak Kemaksiatan dan Berbagai Macam Bencana

Termasuk akibat dosa dan kemaksiatan adalah dapat menimbulkan berbagai macam bencana di bumi, baik pada air, udara, tanaman, buah-buahan, dan kemiskinan. Allah Swt. berfirman:

"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali {ke jalan yang benar). (Q.S. Ar-Ruum [30] : 41)"

Mujahid berkata: "Jika orang zhalim berkuasa, ia tentu berbuat aniaya dan kerusakan. Allah kemudian menahan turunnya hujan hingga tanaman dan keturunan menjadi rusak. Sesungguhnya, Dia tidak menyukai kerusakan." Ia lalu membaca ayat di atas. Kemudian ia berkata, "Demi Allah, yang dimaksud bukan hanya laut kalian ini, tetapi semua daerah yang dialiri air."

Ikrimah berkata: "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut, maksudnya bukan hanya laut kalian ini saja, namun setiap daerah yang ada airnya."

Qatadah berpendapat, "Yangdimaksuddarat adalah penduduk kota, dan yang dimaksud laut adalah penduduk desa dan dusun."

Menurutku, Allah menamai air tawar dengan sebutan laut. Dia berfirman:

Termasuk akibat dosa dan kemaksiatan adalah dapat menimbulkan berbagai macam bencana di bumi) "Dan, tiada sama (antara) dua laut; yang ini tawar, segar, sedap diminum dan yang lain asin lagi pahit....(Q.S. Faathir [35] :12) “

Di dunia ini tidak ada laut air tawar yang tidak mengalir, namun yang ada adalah sungai-sungai yang mengalir. Adapun laut yang asin airnya tidak mengalir atau diam. Oleh karena itu, daerah yang dialiri air disebutkan oleh Allah dengan nama air (babr).

Ibnu Zaid mengatakan: "Yang dimaksud dari 'telah tampak kerusakan di laut dan di darat' adalah dosa-dosa." Maksudnya, dosa adalah penyebab kerusakan yang terjadi. Jika yang dimaksud kerusakan adalah dosa-dosa itu sendiri maka huruf "lam" yang terdapat pada ayat di atas adalah bermakna "akibat dan tujuan."

Menurut pandangan yang pertama, yang dimaksud dengan kerusakan adalah keburukan dan penyakit yang di munculkan oleh Allah di atas bumi sebab kemaksiatan yang dilakukan para hamba. Maka, setiap kali mereka melakukan dosa, Allah pasti memberikan hukuman kepada mereka. Ini sejalan dengan pendapat sebagian ulama salaf yang menyatakan, "Setiap kali kalian berbuat dosa, Allah pasti memberikan hukuman kepada kalian." Yang jelas, sesungguhnya yang dimaksud dengan kerusakan adalah dosa- dosa dan berbagai penyebabnya, sebagaimana dalam firman Allah: "Supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka."

Seperti inilah keadaan kita sekarang. Allah menjadikan kita merasakan sebagian kecil dari akibat perbuatan kita sendiri karena jika tidak maka tidak akan ada lagi yang tersisa di permukaan bumi ini.

Di antara akibat kemaksiatan adalah bencana longsor, gempa bumi, dan dihapusnya berkah. Rasulullah Saw. pernah melewati daerah bekas perkampungan kaum Tsamud. Beliau Saw. melarang para sahabat untuk memasukinya kecuali sambil menangis, dan juga melarang mereka meminum airnya serta mengambil air dari sumurnya. Bahkan, Rasulullah Saw. melarang memberikan makanan kepada unta yang mana makanan tersebut tercampur dengan airnya. Itu semua karena dampak kesialan dari maksiat ada di dalam air dan pada buah-buahan yang cacat.

Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya, "Di gudang perbendaharaan Bani Umayyah terdapat biji gandum seukuran kurma. Biji tersebut disimpan dalam kantong yang bertuliskan, ini tumbuh di zaman kezhaliman keadilan." Sering kali, bencana ditimpakan oleh Allah Swt. sebab dosa-dosa yang diperbuat oleh manusia.

Orang-orang tua yang tinggal di padang sahara bercerita kepadaku bahwa mereka dulu bisa mendapatkan buah-buahan yang lebih besar dibanding dengan yang ada sekarang, serta banyak bencana-bencana terjadi hari ini yang belum mereka kenal sebelumnya meski belum berselang waktu yang lama.

Adapun dampak pengaruh dosa menyangkut bentuk rupa ataupun fisik maka telah diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam faami'-nya bahwa Nabi Saw. bersabda, "Adam diciptakan oleh Allah dengan tinggi enam puluh hasta, sementara ukuran makhluk terus menyusut sampai sekarang."

Apabila Allah hendak menyucikan bumi dari orang- orang zhalim, para pengkhianat, dan para pendosa maka Dia memunculkan seorang hamba dari keluarga Nabi Saw. yang akan menegakkan keadilan secara merata di muka bumi yang sebelumnya dipenuhi dengan penyimpangan. Nabi Isa As. pun diturunkan untuk membasmi kaum Nasrani dan Yahudi dan menegakkan agama Allah yang dibawa oleh Rasul yang diutus oleh-Nya. Bumi lalu mengeluarkan keberkahannya, dan kembali lagi seperti sedia kala. Ketika itu, manusia mengalami kelaparan hingga kering kerontang perutnya. Setandan anggur pun telah menjadi beban yang amat berat bagi unta dan bahkan, dengan hanya setetes air susu sudah cukup menyegarkan bagi manusia.

Di saat bumi telah suci dari kemaksiatan, muncullah sisa-sisa keberkahan dari Allah yang telah terhapus oleh dosa-dosa dan kekuluran. Pastilah bahwa hukuman-hukuman yang ditimpakan Allah di muka bumi adalah bekas-bekas akibat dosa yang terus mencari dosa-dosa sepadan dengannya yang tidak lain merupakan penyebab disiksanya umat-umat sebelumnya.

Semua yang ada di bumi sekarang ini adalah bekas akibat hukuman-hukuman, sebagaimana kemaksiatan maupun dosa- dosa adalah bekas dari segala kejahatan. Ketentuan Allah dan hikmah penciptaan itu berjalan bersamaan, baik di awal maupun di akhir. Hukuman berat diperuntukkan bagi dosa besar dan yang ringan diperuntukkan untuk yang ringan pula. Demikian juga Aliah menghukum makhluk-Nya di alam barzakh dan di hari pembalasan.

Perhatikanlah, bagaimana setan selalu mengiringi, apa kedudukannya, dan di mana tempat kembalinya! Ketika seorang hamba telah dikuasai oleh setan, hilanglah keberkahan umur, amal, perkataan, serta rezekinya. Ketaatan kepada setan mengakibatkan lenyapnya keberkahan yang ada di setiap tempat yang digunakan dalam menaatinya. Hal itu karena tempat kembalinya adalah neraka Jahannam yang di dalamnya tidak ada kelapangan, kasih sayang, dan juga keberkahan.

Pelaku dosa adalah orang yang terlaknat

Pelaku dosa adalah orang yang terlaknat

Laknat itu artinya jauh dari kebaikan. Ada juga yang menyatakan, laknat adalah jauh dari Allah.

Jika laknat itu dari manusia dan makhluk, yang dimaksud laknat adalah celaan dan do’a. Setiap yang terkena laknat Allah, maka ia berarti jauh dari rahmat Allah dan berhak mendapatkan siksa, akhirnya binasa. Demikian disebutkan dalam Lisanul ‘Arab, 13: 387-388.

Yang dilaknat bisa jadi perbuatannya adalah kekafiran. Ini jelas jauh dari rahmat Allah dan berhak mendapatkan azab Allah.

Bisa pula yang dilaknat tetap muslim, namun ia melakukan perbuatan yang pantas dapat laknat seperti orang yang minum minuman keras, orang mencaci maki orang tuanya dan semacam itu. Perbuatan yang dilakukan tentu saja termasuk al-kabair (dosa besar), namun tidak menyebabkan ia kekal di neraka.

Karena kaedah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang patut diingat,

مَنْ مَاتَ مِنْ أَهْلِ التَّوْحِيْدِ عَلَى التَّوْحِيْدِ وَالإِسْلَامِ وَإِنْ دَخَلَ النَّارَ بِذُنُوْبٍ فَعَلَهَا فَإِنَّهُ لاَ يَخْلُدُ فِيْهَا
“Siapa saja yang mati dari ahli tauhid dan ahli Islam dan ia masuk neraka karena suatu dosa, maka ia tidak kekal di dalamnya.” (Syaikh Shalih Al-Munajjid dalam Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab no. 175522)

Dan sekali lagi, perbuatan yang dilaknat masuk dalam kategori dosa besar sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin,

كُلُّ ذَنْبٍ كَانَتْ عُقُوْبَتُهُ اللَّعْنَةَ فَهُوَ مِنْ كَبَائِرِ الذُّنُوْبِ
“Setiap dosa yang hukumannya adalah mendapatkan laknat, dosa tersebut tergolong dalam dosa besar.” (Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Madani, hlm. 57)

Siapa Saja yang Terkena Laknat?

1- Orang yang menyembelih untuk selain Allah

2- Orang yang Melindungi pelaku maksiat dan pelaku bid’ah

3- Orang yang mencela kedua orang tuanya

4- Orang yang merubah batas tanah

‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menyampaikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

لَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ غَيَّرَ الْمَنَارَ
“Allah melaknat siapa saja yang melakukan sembelihan (tumbal) pada selain Allah (menyebut nama selain Allah, pen.). Allah melaknat orang yang melindungi pelaku maksiat (dan bid’ah). Allah melaknat orang yang melaknat orang tuanya. Allah melaknat orang yang merubah batas tanah.” (HR. Muslim, no. 1978)

Apa yang dimaksud melaknat orang tua? Bisa yang dimaksud adalah menjadi sebab orang tuanya tercela.

Dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, (beliau berkata bahwa) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ
“Sesungguhnya di antara dosa besar adalah seseorang mencela kedua orang tuanya.” Lalu ada yang berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ
“Wahai Rasulullah, bagaimana seseorang bisa mencela kedua orang tuanya.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَسُبُّ الرَّجُلُ أَبَا الرَّجُلِ ، فَيَسُبُّ أَبَاهُ ، وَيَسُبُّ أَمَّهُ
“Seseorang mencela ayah orang lain, lalu orang lain tersebut mencela ayahnya. Dan seseorang mencela ibu orang lain, lalu orang lain tersebut mencela ibunya.” (HR. Bukhari, no. 5973)

Berarti melaknat seperti di atas termasuk durhaka pada orang tua. Kenapa? ‘Uququl walidain atau durhaka pada orang tua adalah segala bentuk menyakiti orang tua. Tidak termasuk durhaka jika kita mendahulukan kewajiban pada Allah. Juga tidak termasuk durhaka jika kita tidak taat dalam maksiat.

Taat pada orang tua itu wajib dalam segala hal selain pada perkara maksiat. Menyelisihi perintah keduanya termasuk durhaka. Lihat Syarh Shahih Muslim karya Imam Nawawi, 2: 77.

5- Orang yang mengonsumsi sesuatu yang memabukkan (khamar) dan menjadi penyokongnya

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى الْخَمْرِ عَشَرَةً عَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَشَارِبَهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ وَسَاقِيَهَا وَبَائِعَهَا وَآكِلَ ثَمَنِهَا وَالْمُشْتَرِىَ لَهَا وَالْمُشْتَرَاةَ لَهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat dalam khamar sepuluh hal: (1) yang memerasnya, (2) yang mengambil hasil perasannya, (3) yang meminumnya, (4) yang mendistribusikannya, (5) yang memesannya, (6) yang menuangkannya, (7) yang menjualnya, (8) yang memakan hasil penjualannya, (9) yang membeli secara langsung, dan (10) yang membelikan untuk yang lainnya.” (HR. Tirmidzi, no. 1295. Hadits ini dinilai hasan shahih menurut Syaikh Al-Albani)

6- Yang memakan riba dan menolong dalam terlaksananya transaksi riba

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, yang menyetorkan riba, pencatat transaksi riba dan dua orang saksi dalam transaksi riba.” Beliau mengatakan, “Mereka semua sama (dapat dosa, pen.).” (HR. Muslim, no. 1598)

Kaedah untuk memahami riba di antaranya,

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا
“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan (keuntungan), maka itu adalah riba.” (Lihat Al Majmu’ Al-Fatawa, 29: 533)

7- Orang yang meratapi mayit

Dari Abu Sa’id Al-Khudri, ia berkata,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- النَّائِحَةَ وَالْمُسْتَمِعَةَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang meratapi dan meminta untuk mendengar ratapan.” (HR. Abu Daud, no. 3128. Sanad hadits ini dha’if menurut Syaikh Al-Albani)

8- Orang yang memberi suap dan yang menerima suap

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِىَ وَالْمُرْتَشِىَ.
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap”. (HR. Abu Daud no. 3580, Tirmidzi no. 1337, Ibnu Majah no. 2313. Kata Syaikh Al Albani hadits ini shahih).

9- Pria yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai pria

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – الْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ ، وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki” (HR. Bukhari, no. 5885)

Ibnu ‘Abbas juga berkata,

لَعَنَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ ، وَالْمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ وَقَالَ « أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ » . قَالَ فَأَخْرَجَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – فُلاَنًا ، وَأَخْرَجَ عُمَرُ فُلاَنًا
“Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pria yang bergaya seperti wanita dan wanita yang bergaya seperti pria.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Keluarkanlah mereka dari rumah-rumah kalian.”

Ibnu ‘Abbas katakan, “Nabi pernah mengeluarkan orang yang seperti itu. Demikian halnya dengan ‘Umar.” (HR. Bukhari, no. 5886)

Begitu pula dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَعَنَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لُبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لُبْسَةَ الرَّجُلِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian lelaki.” (HR. Ahmad, no. 8309, 14: 61. Sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim, perawinya tsiqah termasuk perawi Bukhari Muslim selain Suhail bin Abi Shaih yang termasuk perawi Muslim saja).

10- Orang yang menyambung rambut

11- Orang yang bertato Dari Abu Hurairah dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma , ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَعَنَ اللَّهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ ، وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ
“Allah melaknat perempuan yang menyambung rambut, perempuan yang meminta disambungkan rambutnya, begitu pula perempuan yang membuat tato dan yang meminta dibuatkan tato.” (HR. Bukhari no. 5933, 5937 dan Muslim no. 2124).

12- Orang yang memimpin kaumnya lantas kaumnya tidak suka padanya (dalam hal terkait agama, pen.)

13- Istri yang tidak taat pada suami

14- Tidak memenuhi panggilan azan untuk shalat berjama’ah

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثَلاَثَةً رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ وَرَجُلٌ سَمِعَ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ ثُمَّ لَمْ يُجِبْ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat tiga orang: (1) orang yang memimpin kaumnya lantas mereka tidak suka (lantaran penyimpangan agama, bukan masalah dunia, pen.), (2) istri yang di malam hari membuat suaminya membencinya (karena tidak mau taat pada suami, pen.), (3) ada orang yang mendengar ‘hayya ‘alal falaah’ (marilah meraih kebahagiaan) lantas ia tidak memenuhi panggilan berjamaah tersebut.” (HR. Tirmidzi, no. 358. Hadits ini sanadnya benar-benar lemah menurut Syaikh Al-Albani)

15- Orang yang menyetubuhi di dubur (seks anal)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَلْعُونٌ مَنْ أَتَى امْرَأَةً فِى دُبُرِهَا
“Benar-benar terlaknat orang yang menyetubuhi istrinya di duburnya.” (HR. Ahmad, 2: 479. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits tersebut hasan)

16- Orang yang gila dunia dan tidak mau mendalami agama, bahkan tidak menyukainya

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلاَّ ذِكْرَ اللَّهِ وَمَا وَالاَهُ أَوْ عَالِمًا أَوْ مُتَعَلِّمًا
“Dunia dan seluruh isinya dilaknati, kecuali dzikir mengingat Allah, segala yang dicintai-Nya, orang yang berilmu atau orang yang sedang belajar menuntut ilmu.” (HR Ibnu Majah, no. 4112; Tirmidzi, no. 2322. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Yang jelas janganlah jadi orang yang asal-asalan dalam beramal. Dari Al-Hasan Al-Bashri, dari Abu Ad-Darda’, ia berkata,

كُنْ عَالِمًا ، أَوْ مُتَعَلِّمًا ، أَوْ مُسْتَمِعًا ، أَوْ مُحِبًّا ، وَلاَ تَكُنْ الخَامِسَةَ فَتَهْلَكُ. قَالَ : فَقُلْتُ لِلْحَسَنِ : مَنِ الخَامِسَةُ ؟ قال : المبْتَدِعُ
“Jadilah seorang alim atau seorang yang mau belajar, atau seorang yang sekedar mau dengar, atau seorang yang sekedar suka, janganlah jadi yang kelima.” Humaid berkata pada Al-Hasan Al-Bashri, yang kelima itu apa. Jawab Hasan, “Janganlah jadi ahli bid’ah (yang beramal asal-asalan tanpa ilmu, pen.) (Al-Ibanah Al-Kubra karya Ibnu Batthah)

Hanya Allah yang memberi taufik untuk menjauhi setiap dosa yang dilaknat.

Hati akan mati karena kemaksiatan

Hati akan mati karena kemaksiatan

Tidak mudah. Tapi lakukanlah. Setiap saat. Di mana hadirkanlah dalam kehidupan ini hukuman-hukuman, dan akibat yang ditetapkan oleh Allah terhadap perbuatan dosa. Bayangkan betapa dahsyatnya akibat hukuman yang bakal kita terima. Lalu, jadikanlah hal itu sebagai, langkah untuk mengajak jiwa ini meninggalkan dosa-dosa.

Syeikh Ibn Qayyim menyebutkan beberapa hukuman, akibat dari perbuatan maksiat yang cukup membuat seseorang harus berpikir, sebelum melakukan perbuatan maksiat. Digambarkan oleh Syikhul Islam, akibat perbuatan maksiat itu antara lain :

Pertama, perbuatan maksiat yang dilakukan oleh seseorang itu, mempunyai akibat, akan dapat menutup hati, pendengaran, dan penghilatan. Sehingga, terkuncilah hatinya, tersumbat kalbunya, karena ia penuh dengan kotoran yang berkarat. Allah yang membolak-balikkan hatinya itu, sehingga tidak memiliki pendirian, membuat jarak antara diri dan hatinya. Allah akan membuatnya lupa untuk berzikir, dan membuat lupa dirinya sendiri.

Allah meninggalkan orang-orang berbuat maksiat dengan tidak membersihkan hatinya. Maksiat membuat dada seseorang sempit, sukar bernafas seperti naik ke langit, hatinya dipalingkan dari kebenaran, menambah penyakit dengan penyakit, dan akan tetap sakit. Seperti yang diterangkan oleh Imam Ahmad, dari Hudhaifah ra, ia berkata, ‘hati itu ada empat kondisi’.

Pertama, yaitu hati bersih yang memiliki lampu yang menerangi. Itulah hati orang mukmin. Kedua, hati yang tertutup, yaitu hati orang kafir. Ketiga, hati yang terbalik, yaitu orang munafik. Keempat, hati yang ada dua unsur materi (madah), didalamnya,unsur keimanan dan kemunafikan. Kapan saja salah satu unsurnya yang mendominasi, maka unsur itu yang menguasainya.

Hakikatnya, kemaksiatan juga menjauhkan seseorang dari kethaatan kepada Allah, menjadikan hati menjadi tuli dan enggan mendengarkan kebenaran. Selalu menolak kebenaran, dan membuat seseorang buta dan enggan melihat kebenaran. Perumpaan antara hatinya dan kebenaran yang tidak bermanfaat adalah seperti antara telinga dan suara, antara mata dan warna, serta antara lidah orang bisu dengan ucapannya. Sebenarnya, hakekat kebutaan, ketulian, dan kebisiuan hati adalah hakikat cacat yang sebenarnya, cacat akan zat, dan cacat organ sekaligus.

“Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi buta ialah hati yang di dalam dada”. (Al-Hajj : 46).

Bukan ayat diatas itu menafikan cacat kebutaan fisik, sebab Allah berfirman :

“Tidak ada halangan bagi orang buta”. (An-Nur : 61)

“Dia (Muhammad) bermuka masa dan berpaling karena telah datang seoran buta”. (‘Abassa :1-2)

Kemudian yang dimaksud ayat diatas itu, kebutaan yang sempurna dan yang sebenarnya adalah kebutaan hati. Sebagaimana Sabda Rasulullah Shallahu Alaihi Wassalam :

"Bukanlah orang yang kuat itu orang yang kuat dalam bergulat (bertarung), akan tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu menguasai hawa nafsunya ketika marah”. Dan Sabd beliau lainnya : “Bukanlah orang-orang miskin itu orang yang berkeliling yng datang padamu yang minta sesuap makanan, akan tetapi orang miskin yang tidak meminta-minta kepada orang dna tidak diketahui orang tetapi ia diberi sedekah”. (RH : Bukhari).

Kiranya, dapat disimpulkan, kemaksiatan menyebabkan kebutaan, ketulian, dan kebisuan hati.

Selanjutnya, maksiat dapat menyebabkan longsornya hati seperti longsornya suatu bangunan ke dalam bumi, hingga menyebabkan jatuh hatinya pada derajat yang paling bawah. Tanda-tanda longsornya hati tidak bisa dirasakan pemiliknya. Tanda-tanda longsornya hati adalah selalu berlaku pada hal-hal yang hina, keji, rendah, dan kotor. Seorang ulama salaf mengatakan, “Sesungguhnya hati kita ini berkeliling. Ada yang berkeliling di sekitar arsy (singgasana Allah), tetapi juga ada pula hati yang di sekitar tempat-tempat yang kotor-kotor.

Maksiat juga dapat mengubah bantuk hati atau mengutuk, sebagaimana dikutuknya sebuah bentuk fisik makhluk menjadi binatang. Akibatnya, hati berubah menjadi bentuk binatang dalam perilaku, watak, dan kelakuannya. Ada hati yang dikutuk menjadi bentuk babi, anjing, khimar, ular, kelajengking, atau watak-watak binatang tersebut. Sufyan ats-Tsauri menafsirkan ayat “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada dalam bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya melankan umat-umat (juga) seperti kamu”. (Al-An’am : 38).

“Diantara mereka ada yang memiliki akhlak (perilaku) seperti binatang buas, juga yang memiliki perilaku anjing, perilaku babi, perilaku khimar, atau ada juga yang suka menghiasi pakaiannya seperti burung merak, atau ada juga yang bodoh seperti khimar. Ada yang lebih suka mengutamakan orang lain atas dirinya seperti ayam jago. Ada juga yang sangat jinak dan penurut seperti burung dara, ada juga yang sangat pendendam seperti unta, ada juga yang baik seperti kambing, dan ada juga yang mirip serigala, dan lainnya”. Jika persamaan watak dan perilaku ini menguat secara bathin, maka akan nampak wujudnya dalam bentuk lahir yang mampu dilihat orang yang firasatnya kuat. Allah akan mengubah bentuk fisiknya dengan bentuk binatang yang perilakuknya diserupai. Sebagaimana apa yang dilakukan oleh Allah kepada orang Yahudi da orang yang menyerupai mereka, di mana mereka dikutuk menjad babi dan anjing.

Betapa banyak hati yang sakit, tanpa dirasakan oleh pemiliknya, betapa banyak hati yang dikutuk, danhati yang longsor. Betapa banyak orang yang terfitnah oleh pujian manusia, orang yang tertipu, karena perilakunya ditutupi oleh Allah. Ini semua adalah hukuman dan penghinaan Allah kepada ahli maksiat.

Allah juga menjadikan makar bagi ahli maksiat, ia akan ditipu oleh para penipu, ditertawakan, dan disesatkan dari jalan kebenaran oleh orang yang hatinya sesat. Maksiat juga membalikkan hati, dan hati akan melihat kebenaran sebagai kebathilan, kebathilan sebagai kebenaran, makruf sebagai mungkar, dan mungkar sebagai yang makruf. Ia berbuat kerusakan, tetapi merasa berbuat kebaikan. Ia menghalangi manusia dari jalan Allah, tetapi ia merasa mengajak ke jalan kebenaran. Ia mendapat kesesatan akan tetapi merasa mendapat petunjuk dari Allah. Dia mengkuti hawa nafsu, namun merasa sebagai orang yang thaat kepda Allah. Ini semua adalah hukuman bagi ahli maksiat yang mengenai hati manusia.

Maksiat juga menghijab hati dari Allah di dunia dan hijab terbesar adalah ketika hari kiamat. Allah berfirman :

“.. Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat Tuhan mereka”. (Al-Muthaffifin : 15). Wallahu’alam.

Maksiat Merusak Akal

Maksiat Merusak Akal

Maksiat Merusak Akal

Alhamdulillah wa Sholatu wa Salamu ‘alaa Rosulillah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam. Masih bertemakan akibat buruk dari perbuatan maksiat. Salah satu dampak maksiat adalah merusak akal. Ibnul Qoyyim Rohimahullah menuturkan[1],

Maksiat Merusak Akal 1

“Diantara dampak maksiat adalah maksiat merusak akal. Karena sesungguhnya akal merupakan cahaya dan maksiat pasti mamadamkan cahaya akal. Ketika cahaya tersebut padam maka akalpun akan berkurang dan melemah”.

Maksiat Merusak Akal 2

‘Sebagian Salaf mengatakan, “Tidaklah seseorang bermaksiat kepada Allah melainkan akan hilang akalnya”.

Maksiat Merusak Akal 3

“Ini merupakan sebuah hal yang nyata/jelas. Karena sesungguhnya jika akalnya (pada saat hendak bermaksiat –pen.) hadir tentu akal tersebut akan mampu mencegahnya dari melakukan kemaksiatan. Akalnya akan menyadarkannya bahwasanya dia berada dalam genggaman dan kekuasaan Allah Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengawasinya, diapun sedang berada di atas bumi Allah serta malaikatpun menyaksikan dan mengawasinya. Peringatakan yang ada dalam Al Qur’an, keimanannya, (ingat akan –pen.) kematian, (iman akan adanya siksa –pen.) neraka akan mampu mencegahnya dari kemaksiatan.

Kebaikan dunia dan akhirat yang hilang akibat maksiat lebih banyak dan berlipanganda dibandingkan dengan kesenangan serta kelezatan yang ia dapatkan ketika bermaksiat. Maka adakah orang yang memiliki akal sehat dan selamat akan mendahulukan kehinaan itu semua dan meremehkannya ??”

Jika demikian, maka semakin besar kemaksiatan yang dilakukan seseorang akan sebanding dengan kerusakan akalnya. Sebesar-besar kemaksiatan adalah berbuat kemusyrikan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan melakukan kekufuran. Maka pantaslah Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan bahwa pelaku kemusyrikan dan kekufuran itu lebih tidak berakal dibandingkan binatang ternak.

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آَذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”. (QS. Al A’rof [] : 179)

Syaikh ‘Abdur Rohman bin Nashir As Sa’diy Rohimahullah mengatakan,

Maksiat Merusak Akal 4

“Firman Allah (كَالْأَنْعَامِ) ‘Seperti binatang ternak’ yaitu binatang ternak yang tidak dibekali akal. Mereka (orang-orang para penghuni neraka Jahannam –pen.) mendahulukan hal-hal yang fana dibandingkan yang kekal maka akal yang khusus ada pada mereka pun dihilangkan.

Firman Allah (بَلْ هُمْ أَضَلُّ) ‘Bahkan mereka lebih sesat’ dibandingkan hewan ternak. Karena sesungguhnya binatang ternak masih mampu menggunakan indra yang dianugrahkan kepadanya. Binatang ternak memiliki telinga yang dengannya mereka mampu mengetahui hal-hal yang membahayakan dirinya dari hal-hal yang bermanfaat untuknya[2]. Oleh karena itulah kondisi binatang ternak lebih baik dibandingkan dengan mereka”[3].

Hati-Hati dengan Kebiasaan Bermaksiat

Hati-Hati dengan Kebiasaan Bermaksiat

Hati-Hati dengan Kebiasaan Bermaksiat

SETIAP maksiat yang dilakukan oleh seorang hamba akan berdampak buruk terhadap dirinya sendiri. Jika seseorang terbiasa melakukan maksiat, maka ia maksiatnya itu akan melunturkan persepsi buruk tentang dosa dalam hati seseorang.

Artinya, ia tidak akan merasa bahwa dosa yang ia lakukan adalah perbuatan buruk. Akibatnya dosa menjadi bagian dari kebiasaannya. Naudzubillah.

Perasaan seperti ini merupakan puncak kenikmatan dan kesenangan seorang pelaku maksiat. Bahkan ada yang bangga dengan maksiat yang ia lakukan dengan menceritakannya kepada orang lain yang tidak tahu. Jenis manusia inilah yang tidak dimaafkan Allah dan jalan serta pintu menuju taubat tertutup bagi mereka.

Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, “Semua umatku akan dimaafkan oleh Allah, kecuali orang yang terang-terangan berbuat maksiat. Termasuk terang-terangan berbuat maksiat adalah ketika Allah menutupi seseorang berbuat maksiat, tapi pagi harinya ia membuka aibnya sendiri. Ia mengatakan, “Hai teman, semalam aku melakukan ini dan itu’. Ia telah merobek kehormatannya sendiri, padahal Allah telah menutupnya.”

1 Maksiat Melahirkan Maksiat Berikutnya

1 Maksiat Melahirkan Maksiat Berikutnya

1 Maksiat Melahirkan Maksiat Berikutnya

Alhamdulillah wa sholatu wa salamu ‘alaa Rosulillah wa ‘alaa ashabihi wa maa walaah.

Pernahkah kita bertanya, berfikir dan merenungkan keadaan diri kita ? Apakah kita pernah melakukan sebuah kemaksiatan ? Lantas semakin hari kok kemaksiatan kita semakin bertambah banyak ? Apakah penyebabnya ? Penulis Al Qomush Al Muhith Rohimahullah mengatakan,

“Al ‘Ishyaan (maksiat) adalah kebalikan dari keta’atan”[1]. Syaikh ‘Abdullah bin Sholeh Al Qushoyyir Hafizhahullah mengatakan[2],

المَعْصِيَةُ وَالعِصْيَانُ خِلَافُ الطَّاعَةِ، أَوْ مُضَادَةُ الأَمْرِ وَمُعَاكَسَتُهُ؛ بِعَدَمِ امْتِثَالِهِ أَوْ بِفِعْلِ مَا يُضَادُّهُ، يُقَالُ: عَصَى العَبْدُ رَبَّهُ: إِذَا خَالَفَ أَمْرَهُ؛ بِأَنْ فَعَلَ مَا نَهَاهُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ عَنْهُ، أَوْ تَرَكَ مَا أَمَرَهُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ بِهِ؛ لَأَنَّهُ اخْتَارَ بِذَلِكَ لِنَفْسِهِ غَيْرَ مَا اخْتَارَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ لَهُ شَرْعًا، وَهَذَا هُوَ الضَّلَالُ المُبِيْنُ؛ قَالَ تَعَالَى : ﴿ وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا ﴾ [الأحزاب: 36]
“Maksiat dan ‘Ishyaan merupakan kebalikan dari keta’atan atau kebalikan dari hal yang diperintahkan atau sesuatu yang berlawanan dengannya (perintah). Dapat berupa tidak melaksanakan perintah atau melakukan kebalikannya. Disebutkan, (عصى العبد ربَّه) ‘seorang hamba bermaksiat kepada Robb nya’ yaitu jika dia menyelisihi perintah Nya, baik berupa melakukan hal yang Allah dan Rosul Nya larang atau meninggalkan yang Allah dan Rosul Nya perintahkan. Sebab dia memilih untuk dirinya sendiri melakukan apa yang bukan menjadi pilihan Allah dan Rosul Nya secara syari’iat. Ini merupakan kesesatan yang nyata. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rosul Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata”.

(QS. Al Ahzab [33] : 36)

Itulah kemaksiatan, jumlahnya tidak dapat dihitung dan sebagian lebih besar dibandingkan yang lainnya.

Adapun yang ingin kita ketengahkan bukanlah rincian macam-macam maksiat dan tingkatannya. Melainkan sebuah renungan kepada kita bahwa maksiat itu walaupun 1 akan melahirkan maksiat berikutnya.

Ibnul Qoyyim Rohimahullah mengatakan[3],

“Sesungguhya maksiat menumbuhkan maksiat yang semisal dengannya. Maksiat pun melahirkan kemaksiatan lainnya hingga seorang hamba merasa sulit memisahkan dirinya dan keluar dari kemaksiatan tersebut. Hal ini sebagaimana ungkapan sebagian salaf, “Sesungguhnya termasuk diantara hukuman sebuah keburukan adalah keburukan setelahnya. Demikian pula sesungguhnya diantara ganjaran dari sebuah kebaikan adalah kebaikan setelahnya”. Seorang hamba jika dia beramal kebaikan maka kebaikan lain pun akan berkata kepadanya, ‘Amalkan aku juga’. Jika dia mengamalkannya maka kebaikan ketiga pun demikian juga.

Demikianlah seterusnya sehingga pahala yang didapatkan pun berlipat ganda dan bertambahlah kebaikan. Demikian pula sebaliknya dengan keburukan. Hingga keta’atan dan kemaksiatan akan menjadi kebiasaan yang mengakar, shifat yang terus menerus ada dan tabiat yang melekat. Maka apabila orang yang senantiasa beramal kebaikan meninggalkan berbagai keta’atan, sempitlah dadanya, bumi terasa sempit padahal luas. Jiwanya merasa susah seperti ikan jika terpisah dari air. Jiwanya akan terus terasa sempit hingga dia kembali melakukan keta’atan yang biasa dia lakukan lantas tenanglah dan gembiralah jiwanya”.

“Seandainya orang yang gemar maksiat meninggalkan kemaksiatannya dan melakukan keta’atan niscaya jiwanya sempit, sesak dadanya dan lemahlah kepercayaannya hingga dia kembali padanya (berbuat maksiat –pen). Bahkan banyak orang-orang yang mereka gemar berbuat maksiat tidak lagi merasakan kelezatan kemaksiatannya. Dia tidak punya faktor pendorong untuk melakukan kembali kemaksiatannya kecuali rasa sakit yang akan dia dapatkan apabila meninggalkan kemaksiatannya tersebut”.

“Sebagaimana gamblang disebutkan oleh Syaikhul Qoum Al Hasan bin Haani, Gelas (Khomer -pen) yang pertama lezat kuminum Sedangkan gelas lainnya hanyalah obat (candu/ kelezatan) gelas yang pertama

Ada juga yang menyebutkan,

Obatku dialah penyakitku itu sendiri

Sebagaimana peminum khomer ‘disembuhkan’ oleh khomer berikutnya”.

“Seorang hamba akan senantiasa melahirkan keta’atan, gemar dengannya, cinta padanya dan mendahulukannya dari yang lain sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala pun akan mengutus malaikat kepadanya dengan rahmatnya untuk mendorongnya, menganjurkannya dan menggerakkannya serta menggugahnya dari tempat tidur dan tempat duduknya untuk kembali melakukan keta’atan”.

“Seorang hamba akan senantiasa gemar, cinta dan mendahulukan maksiat (dibandingkan keta’atan –pen) hingga Allah akan mengutus kepadanya syaithon lantas syaithon pun akan benar-benar mendorongnya (untu melakukan kembali kemaksiatan –pen)”.

Mari pikirkan kembali, coba renungkan kembali apakah kita siap untuk menerima kemaksiatan yang terus menerus akan menghantui, menyertai kita bila kita memberanikan diri untuk melakukan kemaksiatan pertama ??!!

Allah Tabaroka wa Ta’ala berfirman,

هَلْ جَزَاءُ الإحْسَانِ إِلا الإحْسَانُ
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)”. (QS. Ar Rohman [55] : 60)

Ibnu Katsir Rohimahullah mengatakan[4],

أي: مَا لِمَنْ أَحْسَنَ فِيْ الدُّنْيَا العَمَلَ إِلَّا الإِحْسَانَ إِلَيْهِ فِيْ الدَّارِ الآخِرَةِ
“Tidaklah bagi orang yang berusaha memperbaiki amal di dunia melainkan kebaikan baginya kelak di negeri akhirat”.

Pilih mana kecanduan maksiat atau kecanduan keta’atan ???

Pilih mana amal keta’atan yang berbuah keta’atan berikutnya atau kemaksiatan yang semakin menggunung ???

Ketika keberkahan dicabut

Ketika keberkahan dicabut

KETIKA KEBERKAHAN DICABUT

Rasulullah Saw menyebutkan bahwa salah satu tanda-tanda kecil dekatnya hari kiamat adalah waktu yang terasa semakin singkat. Hadits tentang hal ini cukup banyak, misalnya hadits riwayat Imam Ahmad dan Al-Tirmidzi dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Tidak akan tiba hari kiamat hingga waktu semakin singkat. Satu tahun bagaikan satu bulan, satu bulan bagaikan satu minggu, satu minggu bagaikan satu hari, satu hari bagaikan satu jam. Dan satu jam bagaikan api yang membakar daun kurma.”

Dalam hadits Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah juga bahwa Nabi Saw bersabda, “Waktu akan semakin singkat, harta akan berlimpah ruah, fitnah akan menyebar, dan akan banyak terjadi pembunuhan.”

Para ulama tidak menafsirkan “singkatnya waktu” dengan bertambahnya kecepatan perputaran bumi sehingga jumlah masa dalam satu hari berkurang menjadi 23 jam misalnya. Penafsiran seperti ini tentu saja bertentangan dengan logika. Sebab jika kita memutar sebuah bola di sebuah titik tertentu, tentulah kecepatannya semakin lama semakin berkurang, bukan semakin bertambah. Oleh karena itu, para ulama hadits seperti Qadhi ‘Iyadh, Al-Nawawi, Ibn Abi Jamrah dan lain-lain menafsirkan singkatnya waktu ini dengan hilangnya keberkahan. Mereka berkata, “Maksud dari singkatnya waktu adalah hilangnya keberkahan dalam waktu tersebut. Sehingga satu hari misalnya tidak mampu dimanfaatkan melainkan seperti satu jam saja.”

Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Ibn Hajar dalam Fath Al-Bari. Ia berkata, “Pendapat yang benar adalah (hadits ini) bermaksud bahwa Allah Swt mencabut semua keberkahan dari segala sesuatu, termasuk keberkahan waktu. Dan ini merupakan salah satu tanda dekatnya kiamat.”

Makna Berkah

Secara bahasa, kata “berkah” (barakah) bermakna bertambah (al-ziyadah) dan berkembang (al-nama). Kata ini lalu digunakan untuk menunjukkan “kebaikan yang banyak” seperti dalam firman Allah Swt: “kitab penuh berkah” dan “malam penuh berkah”, yakni penuh kebaikan yang banyak. Rasulullah Saw juga sering kali mendoakan para sahabatnya agar Allah Swt memberkahi mereka, seperti doa beliau untuk Abu Qatadah, “Ya Allah, berkahilah kulit dan rambutnya.” Sejak saat itu, kulit dan rambut Abu Qatadah tidak pernah berubah meski usianya makin bertambah. Al-Hafiz Ibn ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq bercerita bahwa Abu Qatadah wafat pada usia 70 tahun namun kulit dan rambutnya bagaikan anak berusia 17 tahun.

Kita dapat berkata bahwa keberkahan dalam sesuatu maknanya:kualitas sesuatu itu berkembang sehingga melampaui kuantitasnya. Jika sebelum makan kita meminta agar Allah memberkahi makanan kita, maknanya: kita meminta agar makanan itu menjadi sarana perbaikan untuk kualitas tubuh dan ibadah kita. Kuantitas dan bentuk makanan itu -begitu juga rasanya- mungkin tak berubah, namun kesan positif yang diakibatkannya akan segera dirasakan berbeda di tubuh dan perilaku orang yang memakannya. Tubuhnya akan semakin kuat dan terjaga dari berbagai penyakit, juga jiwanya terasa lebih ringan untuk melakukan kerja-kerja yang bermanfaat bagi dunia dan akhiratnya.

Saya tidak mengingkari bahwa kadang kala Allah juga memberikan keberkahan dalam makanan dengan mengembangkan jumlah kuantitas bersama kualitas makanan tersebut sebagai mukjizat bagi nabi-Nya dan karamah bagi hamba-hamba pilihan-Nya. Hadits-hadits tentang hal ini sangat banyak dan masyhur sehingga tidak perlu disebutkan lagi pada kesempatan ini.

Keberkahan yang paling penting adalah keberkahan di dalam hidup dan waktu kita. Sebab, demi Allah, kita diciptakan untuk sebuah tugas maha penting, dan waktu adalah modal yang paling utama agar kita dapat menunaikan tugas tersebut dengan baik. Tanpa keberkahan dan manajemen waktu yang baik, seseorang tidak akan dapat menunaikan tugas itu dengan sempurna. Oleh karena itu, bagi mata hamba-hamba Allah yang sejati, waktu jauh lebih mahal dan lebih berharga daripada uang dan harta benda apapun di dunia ini. Keberkahan dalam waktu menjadi dambaan mereka melebihi yang lainnya.

Imam Abu Bakar bin ‘Ayyasy berkata, “Andai seseorang kehilangan sekeping emas, ia akan menyesal dan memikirkannya sepanjang hari. Ia mengeluh: Inna lillah, emas saya hilang. Namun belum pernah seseorang mengeluhkan: satu hari telah berlalu, apa yang telah aku lakukan dengannya?”

Orang-orang seperti ini selalu menyesal jika sebuah detik dari waktunya berlalu tanpa manfaat. Seorang ahli hadits kenamaan Abu Bakar Al-Khatib Al-Baghdadi sering kali terlihat sedang membaca sambil berjalan sebab ia tidak ingin membuang waktunya percuma. Imam Ibn Rusyd, ahli fiqih dan filsafat terkenal, juga diceritakan tidak pernah meninggalkan membaca buku dan mengajar sepanjang hidupnya kecuali dua malam saja: yaitu ketika ia menikah dan ketika bapaknya meninggal dunia.

Imam Abdul Wahab Al-Sya’rani bercerita tentang gurunya Syeikh Zakaria Al-Anshari (pelajar fiqh mazhab Al-Syafii pasti mengenal nama ini), “Selama dua puluh tahun aku melayaninya, belum pernah aku melihat beliau dalam kelalaian atau melakukan sesuatu yang tak berguna, baik siang ataupun malam hari. Jika seorang tamu berbicara terlalu panjang kepadanya, beliau segera berkata dengan tegas: ‘Kau telah membuang-buang waktuku.’

Keberkahan waktu dapat kita lihat di sejarah hidup tokoh-tokoh Islam sejak masa sahabat. Mereka berhasil melahirkan prestasi besar hanya dalam masa yang sangat singkat sehingga agak sukar diterima logika “zaman hilang-berkah” kita ini. Zaid bin Tsabit, misalnya, berhasil melaksanakan perintah Nabi Saw untuk menguasai bahasa Yahudi (Suryaniah) –percakapan dan tulisan- hanya dalam 17 hari saja. Padahal pada saat itu belum ada alat bantu modern audio visual seperti sekarang ini. Bandingkan dengan diri kita yang memerlukan masa bertahun-tahun untuk mempelajari bahasa Arab atau Inggris tanpa memperoleh hasil yang membanggakan.

Para penulis bioghrafi menceritakan bahwa Al Hafiz Ibn Syahin (seorang ulama hadits kenamaan) menulis 330 judul buku, salah satunya kitab tafsir Al Qur’an setebal seribu jilid. Di akhir hayatnya, ia meminta tukang tinta untuk menghitung berapa banyak tinta yang telah digunakannya untuk menulis. Ternyata jumlahnya mencapai 1800 liter tinta. Sebagian ulama meriwayatkan bahwa Syeikh Abdul Ghaffar Al Qushi menulis sebuah kitab fiqih dalam mazhab Syafii setebal seribu jilid di kota Akhmim.

Begitu juga, Imam Ibn Al-‘Arabi (ahli hadits dan fiqih mazhab Maliki asal Andalusia) berhasil menulis berbagai buku-buku besar dan penting, salah satunya sebuah tafsir setebal delapan puluh ribu lembar halaman. Imam Jalaluddin Al-Suyuthi berkata bahwa pemimpin Ahlusunnah wal jama’ah Syeikh Abul Hasan Al Asy’ari pernah menulis sebuah tafsir sebanyak 600 jilid. Al-Suyuthi berkata, “Sekarang buku itu masih berada di perpustakaan Al-Nizhamiah di Baghdad.”

Belum lagi Imam Al-Ghazali yang hanya hidup 55 tahun, dan Al-Nawawi yang hidup hanya 45 tahun, namun berhasil menulis banyak buku berharga berjilid-jilid. Juga Imam Ibn Al-Jauzi yang dikatakan Imam Al-Dzahabi, “Aku tidak mengetahui seorang ulama yang menulis sebanyak tulisan orang ini.”

Siapa yang pernah mencoba menulis buku pasti tahu betapa besar keberkahan yang Allah berikan kepada waktu para ulama ini. Sebagai manusia biasa, mereka memiliki waktu sama dengan kita: satu bulan terdiri dari empat minggu, satu minggu terdiri dari tujuh hari, dan satu hari terdiri dari 24 jam. Namun keberkahan dalam waktu memungkinkan mereka berkarya dan membuahkan prestasi lebih banyak dari kita. Keberkahan waktu benar-benar kita rasakan telah hilang pada masa kita ini sehingga sering kali sebuah buku tidak dapat kita selesaikan meski berbulan-bulan telah berlalu.

Sebab Keberkahan Dicabut

Kehilangan berkah dalam waktu adalah keluhan utama orang-orang kafir di akhirat. Seringkali Al-Qur’an menceritakan bahwa ketika kiamat terjadi, semua manusia merasa bahwa hidup mereka di dunia sangat singkat. Sebagian mereka merasa hidup di dunia hanya sepuluh hari saja (Qs. Thaha [20]: 103) Sebagian yang lain merasa hanya satu hari atau setengah hari saja, “Allah bertanya: berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi? Mereka menjawab: kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari..” (Qs Al-Mukminun [23]: 112-113).

Di antara mereka ada juga yang berkata bahwa masa hidup mereka di dunia hanya beberapa jam saja, “Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari.” (Qs. Al-Nazi’at [79]: 46). Sebagian yang lain bahkan berani bersumpah di hadapan Allah Swt bahwa mereka hanya tinggal di dunia satu jam saja, “Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa; mereka tidak berdiam (di dunia) melainkan sesaat (saja).” (Qs. Al-Ruum [30]: 55).

Apakah yang menyebabkan hilangnya keberkahan dalam waktu mereka (juga kita) ini? Imam Ibn Abi Jamrah dalam Syarh Al-Bukhari berkata, “Penyebabnya adalah lemah iman dan menyebarnya berbagai pelanggaran syariat di berbagai bidang, salah satunya dalam hal makanan. Kita semua tahu sifat haram dan syubhat yang terdapat di makanan kita. Seringkali manusia tidak peduli (tentang hal ini) sehingga tanpa ragu-ragu mengambil makanan yang haram setiap kali ada kesempatan. Padahal keberkahan dalam waktu, rizki dan tumbuhan hanya datang melalui kekuatan iman dan ketundukan terhadap perintah dan larangan. Dalilnya firman Allah ta’ala: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi.” (Al-A’raf [7]: 96).

Lemah iman memang membawa kepada berbagai maksiat dalam pekerjaan seperti melakukan korupsi, menerima rasuah dan lain-lain. Padahal perbuatan ini hanya memberi keuntungan semu yang akan sirna dalam masa singkat. Seorang wali Allah pada abad kesepuluh hijrian di Mesir Syeikh Afdhaluddin pernah berkata, “Pengkhianatan (dalam pekerjaan) menghapus berkah sebagaimana haram menghapus halal. Barangsiapa berkhianat dalam satu dirham, Iblis akan menyeretnya untuk berkhianat dalam seribu dirham. Begitu juga pencurian. Setiap pencuri yang kami temui, kami melihat bahwa keberkahan hilang dari usia, harta dan agamanya.”

Tak ada keberkahan selama haram menjadi santapan kita. Sebab makanan yang haram atau syubhat selalu menghalangi manusia untuk menggunakan waktunya dengan efektif. Fenomena malas dan tidur ketika beribadah, menuntut ilmu dan bekerja lahir akibat konsumsi makanan seperti ini. Imam ahli hakikat Syeikh Abu Al-Hasan Asy Syadzili berkata, “Kami telah membuktikan bahwa tak ada obat yang paling mujarab untuk mengusir kantuk selain memakan halal dan menjauhi haram atau syubhat. Barangsiapa memakan haram dan syubhat, banyak tidurnya.”

Dan barangsiapa yang banyak tidurnya, berarti ia telah membuang-buang waktunya dengan sia-sia. Para ulama sepakat bahwa tidur yang melebihi kebutuhan dapat merusak mental dan kesehatan pelakunya, juga meluputkan dirinya daripada keuntungan duniawi dan ukhrawi. Oleh karena itu, Imam Al-Sya’rani berkata, “Aku selalu menyesal untuk setiap tidur yang aku lakukan baik waktu siang ataupun malam. Sebab semua kesempurnaan berada dalam kesadaran dan terjaga. Barangsiapa yang suka tidur, berarti ia menyukai kekurangan, meniru orang mati, lalai dari amal kebaikan dan melewatkan keuntungan duniawi dan ukhrawinya.”

Tak ada keberkahan selama riba menjadi sumber rizki kita. Sebab Allah Swt berjanji, “Allah akan memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 276). Imam Fakhruddin Al-Razi di dalam Tafsir-nya berkata, “Ketahuilah bahwa Allah memusnahkan riba; dapat terjadi di dunia juga di akhirat. Adapun di dunia, dapat terjadi dengan berbagai cara. Salah satunya; orang yang mengambil riba meskipun hartanya berlimpah biasanya ia akan jatuh miskin pada akhir hayatnya dan hilang keberkahan dari hartanya. Nabi Saw bersabda: Riba meskipun banyak akan mengecil.”

Sayyid Qutb menulis, “Orang yang hendak memikirkan hikmah Allah dan kesempurnaan agama ini dapat melihat kebenaran firman Allah ini lebih jelas daripada orang-orang yang mendengar firman ini pertama kali. Realitas dunia di depan matanya membenarkan setiap kalimat dari ucapan ini. Berbagai bangsa yang sesat dan memakan riba tertimpa berbagai musibah yang membinasakan sistem etika, agama, kesehatan dan perekonomian mereka.”

Sikap Kita

Jika kita telah menyadari bahwa keberkahan telah hilang, maka sungguh merugi jika kita membuang-buang waktu yang memang sudah sedikit itu. Sebaliknya, kita harus mampu menggunakan waktu ini dengan baik untuk berprestasi di dunia dan mengumpulkan bekal hidup di akhirat. Abu Hazim Salamah bin Dinar berkata, “Segala sesuatu yang ingin kau bawa ke akhirat, siapkan dari sekarang. Dan sesuatu yang tidak ingin kau bawa, tinggalkan dari sekarang.”

Apalagi Rasulullah Saw memberitakan bahwa kondisi ini akan bertambah buruk pada masa-masa yang akan datang. Beliau bersabda –sebagaimana diriwayatkan Al-Bukhari dari Anas bin Malik, “Tidaklah datang kepadamu sebuah zaman, melainkan zaman yang setelahnya lebih buruk dari itu hingga kamu berjumpa dengan tuhanmu.”

Beliau juga bersabda, “Cepatlah kalian beramal sebelum datang berbagai fitnah seperti kegelapan malam. Pada saat itu, seseorang mukmin pada pagi hari lalu kafir petang harinya. Ia mukmin pada petang hari lalu kafir pada pagi harinya. Ia menjual agamanya demi sedikit harta dunia.” (Ibn Hibban dan Al-Hakim dari Abu Hurairah).

Menghilangnya keberkahan umur, rezeki, ilmu, amal dan ketaatan

Menghilangnya keberkahan umur, rezeki, ilmu, amal dan ketaatan

Menghilangnya keberkahan umur, rezeki, ilmu, amal dan ketaatan

Di antara dampak buruk maksiat adalah dapat menghilangkan keberkahan umur, rezeki, ilmu, amal dan juga ketaatan. Secara global, maksiat itu dapat menghilangkan keberkahan agama dan dunia. Tidak akan ada keberkahan sedikit pun dalam agama dan dunia bagi orang yang bermaksiat kepada Allah. Keberkahan bumi tidak akan lenyap kecuali sebab berbagai kemaksiatan yang dilakukan oleh makhluk.

Allah Swt. Berfirman:

"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan ber¬takwa. pasti Kami akan melimpahkan berkah kepada mereka dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan {ayat-ayat Kami) itu maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (Q.S. Al-A’raf [7] : 96)" Dia juga berfirman:

"Dan. seandainya mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum mereka air yang segar (rezeki yang banyak) supaya Kami beri cobaan mereka dengannya. Dan, barang siapa yang berpaling dari peringatan Tuhannya, niscaya akan dimasukkan-Nya ke dalam azab yang amat pedih.(Q.S. Al-Jinn [72] : 16-17)"

Seorang hamba akan terhalang dari rezeki sebab dosa yang ia perbuat. Diterangkan dalam sebuah hadits, "Ruh Kudus (malaikat Jibril) berbisik kepadaku bahwa nyawa tidak akan mati hingga habis rezekinya. Maka dari itu, bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah dalam memohon! Karena, tiada yang dapat diperoleh dari sisi-Nya kecuali dengan taat kepada-Nya. Dia menjadikan kedamaian dan kesenangan dalam ridha dan yakin, dan menjadikan keresahan dan kesusahan dalam ragu-ragu dan amarah.'

Dalam kitab Az –Zuhd, Imam Alunad menyebutkan suatu riwayat yang berbunyi, "Aku adalah Allah. Jika Aku ridha maka ku pasti memberi keberkahan, dan keberkahan-Ku itu tiada terbatas. Namun, jika Aku murka, Aku melaknat, dan laknat Ku .mpai tujuh turunan."

Keluasan rezeki dan amal tidak bisa diukur dengan banyaknya, dan panjangnya umur tidak diukur dari banyaknya bulan dan tahun. Akan tetapi, keluasan rezeki dan umur itu diukur dengan keberkahan yang ada di dalamnya, sebagaimana telah dijelaskan belumnya bahwa umur hamba adalah durasi waktu hidupnya, dan tiada kehidupan bagi orang yang menyimpang dari Allah, sementara ia sibuk dengan selain-Nya. Jika seperti itu, kehidupan ia binatang lebih baik daripada kehidupannya. Ini karena hidup manusia itu tergantung pada kehidupan hati dan jiwanya. Tidak ada kehidupan bagi hatinya kecuali dengan mengenal Sang Penciptanya, mencintai-Nya, mengabdi kepada-Nya, kembali pada-Nya, tenang berdzikir kepada-Nya, serta damai dekat dengan-Nya. Barang siapa yang luput dari semua itu berarti ia telah kehilangan segala kebaikan. Seandainya ia mengganti semua itu dengan dunia seisinya, tentu tidaklah cukup. Memang, segala sesuatu yang hilang itu ada gantinya, namun jika ia kehilangan Allah, tiada satu pun yang dapat menjadi ganti-Nya.

Bagaimana mungkin makhluk yang fakir bisa menggantikan Dzat Yang Maha Kaya, yang lemah menggantikan Dzat Yang Maha Kuasa, yang mati menggantikan Dzat Yang Maha Hidup abadi, makhluk menggantikan Sang Khaliq, yang tiada berwujud dan tidak punya apa-apa menggantikan Dzat yang kekayaan, kesempurnaan, wujud, dan rahmat-Nya melekat pada Dzat-Nya?! Dan, bagaimana mungkin orang yang tiada memiliki apa pun bisa menggantikan Dzat yang memiliki kerajaan langit dan bumi?!

Perbuatan maksiat kepada Allah menjadi sebab terhalangnya keberkahan rezeki dan ajal karena itu semua memang diserahkan kepada setan untuk mengusai manusia, baik keluarga maupun sahabatnya yang memegang teguh agama. Segala sesuatu yang berhubungan dan diiringi setan pasti hilang keberkahannya. Oleh sebab itu, dianjurkan dalam syariat untuk menyebut nama Allah di kala hendak makan, minum, berpakaian, bepergian, berselubuli, dan mengerjakan segala sesuatu. Karena, dengan menyebut nama-Nya, segala pekerjaan akan diiringi keberkahan dan dapat mengusir setan hingga keberkahan yang didapatkan tidak ada yang menghalangi.

Segala sesuatu yang tidak ditujukan kepada Allah maka dihapus keberkah-annya karena Dialah yang memberi keberkahan, dan seluruh keberkahan itu dari-Nya. Setiap sesuatu yang di hubungkan kepada-Nya pasti diberkahi. Firman-Nya mengandung keberkahan, Rasul-Nya mengandung keberkahan, hamba- Nya yang mukmin dan bermanfaat kepada makhluk mengandung keberkahan, Baitul al-Haram mengandung keberkahan, negeri Syam juga mengandung keberkahan yang telah Dia jelaskan dalam enam ayat di dalam kitab-Nya. Tiada yang dapat memberi keberkahan kecuali Dia.

Tiada yang mengandung keberkahan kecuali apa-apa yang dihubungkan kepada-Nya, yakni cinta kepada-Nya, sifat ketuhanan-Nya, dan ridha-Nya. Seantero alam dinisbatkan kepada pemeliharaan- Nya serta penciptaan-Nya. Segala sesuatu yang jauh dari-Nya tidak mengandung keberkahan. Dan, setiap sesuatu yang dekat dengan-Nya pasti mengandung keberkahan menurut ukuran kedekatannya dengan-Nya.

Lawan dari keberkahan adalah laknat. Bumi, manusia, dan amal perbuatan yang dilaknat oleh Allah tentu amat jauh dari kebaikan dan keberkahan. Apa pun yang dilaknat oleh-Nya tidak mengandung keberkahan sama sekali. Maka dari itu, kemaksiatan itu berdampak pada lenyapnya keberkahan umur, rezeki, ilmu,dan amal. ,

Setiap waktu, harta, tubuh, pangkat, ilmu, dan amal yang kau gunakan untuk bermaksiat kepada Allah, tidak ada keberkahan di dalamnya karena yang diberkahi hanya apa-apa yang ditujukan untuk taat kepada-Nya. Oleh sebab itu, adakalanya umur manusia di dunia ini hingga seratus tahun, namun sebenarnya umurnya itu tidak mencapai dua puluh tahun. Ada juga yang memiliki limpahan emas dan perak, tetapi pada hakikatnya, hartanya tidak sampai seribu dirham saja. Begitu juga pangkat dan ilmu.

Diterangkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh at- Tirmidzi, "Dunia itu dilaknat. Segala isinya juga terlaknat kecuali dzikir kepada Allah dan sejenisnya, serta orang berilmu dan yang mencari ilmu."

Disebutkan dalam riwayat lainnya, "Dunia seisinya ini terlaknat kecuali apa-apa yang hanya ditujukan kepada Allah." Hanya inilah yang mengandung keberkahan.