Tiga Keadaan Hati Manusia

Tiga Keadaan Hati Manusia 

Hati bagaikan raja bagi seluruh anggota badan. Sebagaimana raja mengatur dan memerintah para rakyat dan pasukannya, maka demikianlah hati, segala amalan lahiriah diatur dan diperintah oleh hati. Hati adalah raja, karena seluruh amalan lahiriah akan terlahir ketika ada niatan atau kehendak dalam hati. Hatilah yang memerintah anggota badan, dan anggota badan melaksanakan perintah hati. Maka, baik buruk lahiriah manusia sangat dipengaruhi oleh baik buruknya hati.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

Ketahuilah, bahwa dalam jasad terdapat segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh jasad pun menjadi baik. Dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah, ia adalah qalbu (hati).” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599)

Seorang hamba yang ingin menyucikan jiwanya, dia harus memberikan perhatian yang besar terhadap hatinya. Dan tentunya dia harus mengetahui bagaimana keadaan-keadaan hati manusia, agar dia mengetahui hati seperti apa yang seharusnya dia miliki agar mendapatkan kebaikan.

Para ulama telah menjelaskan bahwa hati manusia bisa hidup dan bisa mati, sebagaimana jasad manusia. Maka, sebagaimana jasad manusia ada yang hidup dengan sehat dan ada yang sakit, demikian pula halnya dengan hati. Sehingga, keadaan hati manusia bisa dibagi menjadi tiga macam sesuai dengan sifat kehidupan yang ada padanya: hati yang hidup dengan sehat, hati yang hidup dengan penyakit, dan hati yang mati. Berikut ini adalah sedikit penjelasan tentang tiga macam keadaan hati manusia tersebut.

Qalbun salim

Qalbun salim adalah keadaan hati yang paling baik. Hati ini akan menyebabkan pemiliknya mendapatkan keselamatan di hari kiamat. Allah Ta’ala berfirman,

يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ * إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-Syu’ara: 88-89)

Qalbun salim adalah hati yang senantiasa memiliki sifat keselamatan. Dialah hati yang sehat dan tidak sakit.

Tentang definisinya, maka para ulama telah mengungkapkannya dengan berbagai macam ungkapan yang berbeda-beda. Dan penjelasan yang mencakup semua ungkapan itu adalah bahwa qalbun salim adalah hati yang selamat dari setiap syahwat yang menyelisihi perintah dan larangan Allah, dan selamat dari setiap syubhat yang bertentangan dengan kabar berita dari-Nya. Maka, hati ini selamat dari penghambaan kepada selain Allah dan selamat dari menjadikan selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai hakim.

Maka, hati ini selamat dari kesyirikan kepada Allah dengan berbagai bentuknya. Hati ini secara murni hanya menghamba kepada Allah saja; baik dalam kehendak, kecintaan, tawakal (penyandaran hati), inabah (sikap senantiasa kembali), ketundukan, kekhusyukan, dan harapan. Dan amal perbuatan yang muncul dari hati ini pun murni hanya untuk Allah saja. Jika dia mencintai sesuatu, maka dia mencintai karena Allah. Jika membenci, maka dia membenci karena Allah. Jika memberi, maka memberi karena Allah. Dan jika tidak mau memberi, maka juga karena Allah.

Di samping itu, hati ini juga selamat dari ketaatan kepada selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dia selamat dari menjadikan selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai hakim. Hati ini memiliki ikatan yang kuat untuk hanya mengikuti dan meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saja. Dia hanya mengikuti dan meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perkataan dan amalan, baik perkataan hati dan lisan, maupun amalan hati dan anggota badan. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi hakim atasnya pada keyakinan, perkataan, dan amal perbuatannya. Dia tidak mendahulukan sesuatu pun atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hal itu semua, sebagaimana Allah telah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya.” (QS. Al-Hujurat: 1)

Inilah hakikat qalbun salim yang menjamin keselamatan dan kebahagiaan bagi pemiliknya.

Hati yang mati (Qalbun mayyit)

Adalah hati yang tidak memiliki kehidupan. Hati ini tidak mengenal Rabbnya, tidak beribadah kepada-Nya dengan apa yang dicintai dan diridai oleh-Nya. Akan tetapi, hati ini hanya mengikuti syahwat dan kesenangan nafsunya, meskipun menyebabkan kemurkaan dan kemarahan Rabbnya. Jika dia bisa meraih syahwat dan keinginannya, maka dia tidak peduli apakah Allah rida atau murka.

Hati ini menghamba kepada selain Allah, dengan kecintaan, rasa takut, harapan, keridaan, kemurkaan, pengagungan, dan perendahan dirinya. Jika dia mencintai sesuatu, maka dia mencintai karena hawa nafusnya. Jika membenci, dia membenci karena hawa nafsunya. Jika memberi, maka karena hawa nafsunya. Dan jika mencegah pemberian, juga karena hawa nafsunya.

Maka, hawa nafsunya lebih dia utamakan dan lebih dia cintai daripada keridaan Allah. Hawa nafsu telah menjadi imamnya, syahwat menjadi penuntunnya, kebodohan menjadi pengendalinya, dan kelalaian telah menjadi kendaraannya.

Pikirannya dipenuhi dengan usaha meraih tujuan-tujuan dunia. Kecintaan terhadap dunia telah menutupi hatinya. Apabila dia diseru dan dinasihati untuk kembali kepada Allah dan untuk menggapai negeri akhirat, dia tidak menyambut seruan orang yang menasihatinya. Bahkan, dia malah mengikuti setan yang durhaka. Kemurkaan dan keridaannya tergantung kepada dunia. Dan hawa nafsu telah menjadikannya buta dan tuli dari kebenaran.

Berteman, bergaul, dan duduk bersama dengan pemilik hati yang mati adalah penyakit, racun, dan kebinasaan.

Hati yang sakit (Qalbun maridh)

Hati ini masih memiliki kehidupan. Namun, hati ini memiliki penyakit. Dalam hati ini terdapat dua unsur yang saling tarik menarik: unsur kehidupan dan unsur penyakit. Maka, hati ini akan dikuasai oleh unsur yang dominan dari keduanya.

Maka, dalam hati ini, terdapat kecintaan, keimanan, keikhlasan, dan tawakal kepada Allah yang merupakan unsur kehidupannya.

Akan tetapi, dalam hati ini juga terdapat unsur-unsur yang membawanya kepada kebinasaan. Seperti: kecintaan kepada syahwat (kesenangan jiwa), keinginan untuk meraih dan mendahulukan syahwatnya, sifat hasad, kesombongan, ujub (bangga diri), kecintaan terhadap kepemimpinan yang bisa menyebabkan keangkuhan dan kerusakan di muka bumi, dan lain sebagainya.

Maka, hati ini diuji oleh dua dorongan: dorongan yang menyerunya menuju Allah, Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan negeri akhirat, dan dorongan yang menyerunya menuju kesenangan dunia yang sementara. Dan mana saja yang paling dekat dengan hati dari dua dorongan tersebut, itulah yang akan disambut seruannya.

***

Mati Mendadak

Mati Mendadak 

Cukup sering kita mendengar kabar ada artis mati mendadak, pejabat mati mendadak dan mulai banyak kita jumpai kasus-kasus mati mendadak. Secara kedokteran pun muncul penyakit-penyakit yang menyebabkan mati mendadak seperti stroke dan serangan jantung. Demikian juga kasus tabrakan lalu mati mendadak di tempat, kasus tabrakan helikopeter dan lain-lainnya.

[lwptoc]

Mati Mendadak Sebagai Adzab dari Allah Ta’ala?

Muncul pertanyaan, apakah mati mendadak ini semacam adzab atau bencana? Apakah seorang Muslim yang mati mendadak itu terkait dengan dosanya sebelumnya atau bagaimana? Jawabnya adalah sebagaimana dalam hadits berikut

Dari ‘Aisyah bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

موت الفجأة راحة للمؤمن وأخذة أسف للكافر

“Kematian mendadak adalah istirahat bagi mukmin dan penyesalan bagi orang kafir” [HR. Ahmad dan Ibnu Syaibah dalam Mushannafnya]

Mati Mendadak Adalah Istirahat dan Kenikmatan?

 Maksudnya mati mendadak merupakan istirahat adalah ia bisa istirahat dari beban dunia, kelelahan dan  mungkin bisa selamat dari penderitaan sebelum meninggal (sakit-sakitan sebelum meninggal) dan sakratul maut. Tentunya dianggap “istirahat” apabila ia seorang mukmin yang shalih dan telah menyiapkan berbagai perbekalan yang banyak menuju kehidupan setelah kematian. Inilah maksud dari istirahat dan kenikmatan

Hal ini dijelaskan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, beliau berkata,

جاء في بعض الأحاديث ما يدل على أن موت الفجأة يكثر في آخر الزمان، وهو أخذة غضب للفاجر، وراحة للمؤمن، فقد يصاب المؤمن بموت الفجأة بسكتة أو غيرها ويكون راحة له ونعمة من الله عليه؛ لكونه قد استعد واستقام وتهيأ للموت واجتهد في الخير فيؤخذ فجأة وهو على حال طيبة على خير وعمل صالح، فيستريح من كرب الموت وتعب الموت ومشاق الموت، وقد يكون بالنسبة إلى الفاجر قد يقع هذا بالنسبة إلى الفجار وتكون تلك الأخذة أخذة غضب عليهم، فوجؤوا على شر حال.

 “Pada sebagian hadits terdapat dalil mengenai kematian medadak yang akan banyak pada akhir zaman. Yaitu penyesalan bagi orang fajir dan istirahat bagi orang mukmin.Terkadang seorang mukmin tertimpa dengan kematian mendadak seketika. Ini adalah bentuk istirahat dan kenikmatan dari Allah. Akan tetapi tentu saja ia sudah menyiapkan (amal shalih), istiqamah dan bersiap-siap menghadapi kematian dan bersungguh-sungguh dalam kebaikan, kemudian ia meninggal dalam keadaan baik dan melakukan amal shalih, maka ia istirahat dari beban dunia, kelelahan dan penderitaan sakratul maut. Terkadang juga menimpa orang fajir, maka ini menjadi penyesalan baginya, meninggal mendadak dalam keadaan buruk.” [Sumber:http://www.binbaz.org.sa/mat/18136%5D

Mempersiapkan Bekal Kematian

Yang terpenting bukanlah mati mendadak atau tidak, tetapi apa yang kita siapkan untuk kehidupan setelah kematian, apa bekal yang kita persiapkan untuk kehidupan akhirat. Inilah ciri-ciri orang yang pintar dan cerdas yaitu mempersiapkan kehidupan setelah kematian.

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

ﺍﻟْﻜَﻴِّﺲُ ﻣَﻦْ ﺩَﺍﻥَ ﻧَﻔْﺴَﻪُ ﻭَﻋَﻤِﻞَ ﻟِﻤَﺎ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟْﻤَﻮْﺕِ

“Orang yang pandai adalah  orang yang mampu mengevaluasi dirinya dan beramal (mencurahkan semua potensi) untuk kepentingan (kehidupan) setelah kematian.” [HR.Tirmidzi]

Syaikh Al-Mubarakfuri menjelaskan makna “al-Kayyis” yaitu orang yang pandai dan berakal, beliau berkata

أي العاقل المتبصر في الأمور الناظر في العواقب

“Al-Kayyis yaitu yang berakal dan suka berpikir (merenungkan) pada suatu urusan dan suka memperhatikan akibat-akibat/hasil akhir.” [Tuhfatul Ahwadzi, Darul Kutub Al-Ilmiyyah]

Semoga kita senantiasa mendapatkan taufik agar menjadi orang yang cerdas dan mempersiapkan diri untuk kehidupan setelah kematian.

***

Makan Dalam Posisi Bersandar

Makan Dalam Posisi Bersandar 

Teks Hadis

Dari sahabat Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لا آكُلُ مُتَّكِئًا

“Aku tidak makan dalam posisi ittika’ (bersandar).” (HR. Bukhari no. 5398)

Kandungan Hadis

Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghindari makan sambil bersandar (iitika’). Hal ini karena beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bukanlah seseorang yang banyak makan atau makan dengan penuh nafsu (makan dengan lahap seperti orang kelaparan). Hal ini karena makan berlebihan dapat menyebabkan rasa berat, kurangnya aktivitas (menjadi malas), dan juga berbagai dampak buruk lainnya, terutama jika dilakukan secara terus-menerus. Namun, jika sesekali merasa kenyang, hal itu tidaklah mengapa. [1]

Orang yang muttaki’ (bersandar) adalah seseorang yang makan dengan bersandar pada salah satu sisi tubuhnya dengan menggunakan sandaran, seperti bantal atau sejenisnya. Istilah muttaki’ juga merujuk pada seseorang yang meletakkan salah satu tangannya di tanah untuk bersandar.

Hikmah larangan makan dalam posisi seperti ini, sebagaimana disebutkan oleh para ahli kesehatan, adalah karena ketika seseorang makan dalam posisi bersandar, makanan tidak mudah turun ke saluran pencernaan. Hal ini terjadi karena posisi tersebut dapat memberikan tekanan pada lambung, sehingga tidak dapat membuka maksimal untuk menerima makanan. Selain itu, lambung menjadi miring dan tidak dalam posisi tegak, sehingga makanan sulit masuk dengan lancar. Kondisi seperti ini tentu tidak lepas dari potensi bahaya (mudarat) bagi tubuh. [2] Oleh karena itu, yang lebih afdal dan terbaik adalah seseorang duduk dengan posisi tegak dan tidak condong (miring), sehingga makanan dan minuman dapat turun ke saluran pencernaan dengan mudah dan lancar.

Al-Khattabi rahimahullah menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan muttaki’ dalam hadis ini adalah orang yang bersandar pada alas yang ada di bawahnya, seperti bantal, karpet tebal, atau kasur lipat. Setiap orang yang duduk tegak di atas alas seperti itu dianggap bersandar. Makna dari hadis ini, menurut Al-Khattabi rahimahullah, adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak makan dengan duduk di atas alas atau bantal seperti orang yang ingin menikmati banyak makanan dan memilih berbagai jenis hidangan yang banyak. Sebaliknya, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam makan secukupnya, hanya untuk menghilangkan rasa lapar, dan mengambil makanan dalam jumlah yang mencukupi (tidak berlebih-lebihan). Oleh karena itu, posisi duduk beliau ketika makan adalah dalam keadaan tegak dan tidak bersandar. [3]

Penafsiran Al-Khattabi rahimahullah tentang al-ittika’ (bersandar) yang dikatakan sebagai duduk bersila di atas alas, telah diikuti oleh beberapa ulama, termasuk Ibnul Atsir rahimahullah[4] Akan tetapi, tafsir ini perlu ditinjau kembali. Sebagian ulama menyebutkan bahwa tidak ditemukan dalam kitab-kitab lughah (bahasa Arab) bahwa istilah al-ittika’ bermakna demikian. [5] Pendapat ini diperkuat oleh hadis Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, di mana disebutkan bahwa,

وكان متكئًا فجلس

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang bersandar, lalu beliau duduk.”

Masalah ini memerlukan penelitian lebih lanjut dalam kitab-kitab bahasa (lughah) untuk memastikan apakah istilah al-ittika’ dapat digunakan untuk menggambarkan posisi duduk bersila di atas alas (at-tarabbu’). Jika ditemukan bahwa penggunaan ini benar, maka pendapat Al-Khattabi rahimahullah dapat diterima. Namun, jika tidak, maka yang lebih kuat adalah tafsir yang lebih umum dan terkenal, yaitu bahwa al-ittika’ berarti bersandar (condong pada salah satu sisi tubuh). Ibnul Jauzi rahimahullah dengan tegas menyatakan bahwa al-ittika’ adalah bersandar dengan miring pada salah satu sisi tubuh, dan beliau tidak mengindahkan penolakan Al-Khattabi rahimahullah terhadap pengertian ini. [6]

Syekh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berpendapat bahwa duduk bersila (at-tarabbu’) tidak termasuk dalam makna al-ittikā’ (bersandar). Pendapat ini juga didukung oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah. [7]

Tidak terdapat larangan yang tegas dalam syariat mengenai makan sambil bersandar, sehingga Imam Bukhari rahimahullah tidak menetapkan hukum secara pasti dalam hal ini, sebagaimana terlihat dalam judul bab yang beliau letakkan untuk hadis ini [8]. Namun, sikap yang terbaik adalah meninggalkan makan dalam keadaan bersandar sebagai bentuk meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagian ulama berpendapat bahwa makan sambil bersandar hukumnya makruh.

Para ulama menyebutkan bahwa posisi duduk yang dianjurkan ketika makan adalah dengan bertumpu pada kedua lutut dan punggung kaki, atau dengan menegakkan telapak kaki kanan dan duduk di atas telapak kaki kiri. [9] Namun, mereka tidak menyebutkan dalil khusus untuk anjuran ini. Dalam hadis dari Anas radhiyallahu ‘anhu disebutkan,

رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُقْعِيًا يَأْكُلُ تَمْرًا

“Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam duduk dalam posisi iq’a’ saat makan kurma.” (HR. Muslim no. 2044)

Iq‘a’ adalah posisi duduk dengan menegakkan kedua betis, lalu pantat menduduki tumit.

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa posisi tubuh yang paling baik saat makan adalah yang sesuai dengan kondisi alami anggota tubuh. Posisi ini tercapai ketika seseorang duduk dalam keadaan tegak secara alami. Sebaliknya, posisi yang paling buruk saat makan adalah sambil bersandar (al-ittika’), sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. [10]

Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. [11]

***

Catatan kaki:

[1] Ghidha’ Al-Albab, 2: 111.

[2] An-Nihayah, 1: 193; Zaadul Ma’ad, 4: 221.

[3] Ma’alim As-Sunan, 5: 301.

[4] An-Nihayah, 1: 193.

[5] Kasyful Musykil min Haditsi Ash-Shahihain, 1: 439; karya Ibnul Jauzi.

[6] Syarh Al-Munawi ‘ala Asy-Syamail, hal. 227.

[7] Syarhul Mumti’, 12: 377.

[8] Imam Bukhari rahimahullah memasukkan hadis ini dalam kitab Al-‘Ath’imah, di bawah judul bab, “Makan sambil bersandar.”

[9] Lihat Fathul Baari, 9: 542.

[10] Zaadul Ma’ad, 4: 221.

[11] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 436-438). Kutipan-kutipan.