Penyakit Yang Paling Berbahaya

Penyakit Yang Paling Berbahaya 

Terdapat dua jenis penyakit dalam diri seorang manusia. Pertama adalah penyakit hati dan kedua adalah penyakit badan. Keduanya disebutkan dalam Al-Qur’an. Adapun penyakit hati, terbagi lagi dua jenis, yaitu (1) penyakit syubhat (pemahaman dan pemikiran yang menyimpang) dan keragu-raguan; serta (2) penyakit syahwat (keinginan-keinginan yang terlarang).

Contoh-contoh ayat tentang penyakit syubhat

Dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala banyak menyebutkan tentang kedua jenis penyakit ini. Lalu, bagaimana cara membedakannya, penyakit manakah yang Allah Ta’ala maksudkan dalam konteks ayat tertentu?

Syaikh ‘Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di rahimahullahu Ta’ala menjelaskan bagaimanakah cara membedakan keduanya. Jika konteks sebuah ayat itu berbicara tentang celaan kepada orang-orang munafik dan orang-orang yang menyimpang dalam perkara agama, maka penyakit yang dimaksud adalah penyakit syubhat dan keragu-raguan. Namun jika konteks ayat itu menyebutkan tentang maksiat atau kecondongan hati untuk berbuat maksiat, maka yang dimaksud adalah penyakit syahwat(Lihat Al-Qawa’idul hisan, kaidah ke-33)

Adapun contoh penyakit syubhat dan keragu-raguan adalah firman Allah Ta’ala tentang orang-orang yang diseru untuk berhukum kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah namun mereka berpaling. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ مُعْرِضُونَ ؛ وَإِنْ يَكُنْ لَهُمُ الْحَقُّ يَأْتُوا إِلَيْهِ مُذْعِنِينَ ؛ أَفِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ أَمِ ارْتَابُوا أَمْ يَخَافُونَ أَنْ يَحِيفَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَرَسُولُهُ بَلْ أُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

”Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada Rasul dengan patuh. Apakah (ketidak-datangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku zalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. An-Nuur [24]: 48-50)

Juga firman Allah Ta’ala tentang orang-orang munafik,

فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ

“Di dalam hati mereka ada penyakit.” (QS. Al-Baqarah [2]: 10)

Yaitu, penyakit keraguan-raguan dan syubhat sehingga mereka menentang risalah yang dibawa oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian sebagai hukumannya, Allah pun menambahkan penyakit ke dalam hati mereka disebabkan oleh perbuatan mereka tersebut,

فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ

Lalu Allah tambah penyakitnya. Dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS. Al-Baqarah [2]: 10)

Semakna dengan ayat di atas adalah firman Allah Ta’ala,

وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوا وَهُمْ كَافِرُونَ

“Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” (QS. At-Taubah [9]: 125)

Demikian juga dengan firman Allah Ta’ala,

لِيَجْعَلَ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ فِتْنَةً لِلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَفِي شِقَاقٍ بَعِيدٍ

“Agar dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh setan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu, benar-benar dalam permusuhan yang sangat.” (QS. Al-Hajj [22]: 53)

Penyakit jenis ini disebabkan oleh kurangnya ilmu agama, kurangnya keyakinan dalam hati, dan kurangnya keinginan untuk meraih apa yang Allah Ta’ala cintai dan apa yang Allah Ta’ala ridai. Hati yang sehat adalah hati yang mengenal kebenaran kemudian mengikutinya; juga mengenal kebatilan kemudian menjauhinya.

Contoh-contoh ayat tentang penyakit syahwat

Adapun penyakit syahwat, maka Allah Ta’ala berfirman,

يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا

”Wahai istri-istri nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk (melemah lembutkan suara) dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS. Al-Ahzab [33]: 32)

Yang dimaksud penyakit dalam ayat tersebut adalah penyakit syahwat untuk berzina. (Lihat Zaadul Ma’aad, 4: 3)

Siapa saja yang memiliki keinginan dan kecenderungan untuk berbuat maksiat, maka ketahuilah bahwa di dalam dirinya terdapat penyakit syahwat. Karena seandainya hatinya sehat, maka pasti dirinya akan condong untuk beramal saleh, condong menuju ketakwaan dan kesucian jiwa. Sebagaimana yang Allah Ta’ala sifatkan dalam firman-Nya,

وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ ؛ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَنِعْمَةً

“Tetapi Allah menjadikan kamu ‘cinta’ kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka Itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus. Sebagai karunia dan nikmat dari Allah.” (QS. Al-Hujuraat [49]: 7-8)

Manakah yang lebih berbahaya, penyakit hati atau penyakit badan?

Salah satu bentuk penyakit hati yang melanda umat Islam saat ini adalah penyakit kronis kesyirikan. Penyakit ini menyerang hati manusia, dimana hati bergantung, cinta, takut, berharap, dan bertawakkal kepada selain Allah Ta’ala. Penyakit ini sangat berbahaya, lebih berbahaya daripada penyakit kanker yang paling ganas. Sehingga pada zaman sekarang ini, di mana kesyirikan tersebar sampai ke pelosok-pelosok negeri, diiklankan di koran-koran dan televisi, sebetulnya lebih dibutuhkan seorang “dokter” yang mengobati penyakit ini dibandingkan dengan “dokter” yang mengobati penyakit-penyakit badan.

Sungguh, orang yang meninggal karena kanker dalam keadaan mengenal dan mengamalkan tauhid serta menjauhi lawannya (yaitu syirik) itu lebih baik dan mulia daripada orang sehat namun berbuat kesyirikan dan tidak bertaubat sampai meninggal di hari tuanya. Lalu bagaimana lagi dengan keadaan orang sakit yang berbuat kesyirikan sampai matinya?

Penyakit yang menimpa badan dan jasad, penderitaan yang paling puncak adalah sekedar kematian. Namun apabila penyakit tersebut menimpa agama seseorang, di mana dia berbuat kesyirikan, maka ia akan terancam untuk mendapatkan hukuman penderitaan yang abadi, yaitu kekal di neraka. Wal ‘iyadhu billah!

Dan tidak ada obat untuk mencegah penyakit tersebut kecuali seseorang harus mempelajari tauhid dan mengenal lawannya, yaitu syirik dengan segala perinciannya. Jangan sampai karena kebodohan kita, kita terjerumus dalam kesyirikan tanpa kita sadari. Oleh karena itu, jelaslah bahwa ilmu tauhid merupakan ilmu yang sangat penting, lebih penting daripada kebutuhan kita terhadap makanan dan minuman untuk menjaga kesehatan badan kita dari penyakit. Sebagaimana kata Imam Ahmad rahimahullahu Ta’ala,

النَّاسُ إِلَى الْعِلْمِ أَحْوَجُ مِنْهُمْ إِلَى الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ. لِأَنَّ الرَّجُلَ يَحْتَاجُ إِلَى الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ فِي الْيَوْمِ مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ. وَحَاجَتُهُ إِلَى الْعِلْمِ بِعَدَدِ أَنْفَاسِهِ

“Kebutuhan manusia terhadap ilmu itu melebihi kebutuhannya terhadap makan dan minum. Yang demikian itu karena seseorang membutuhkan makanan dan minuman sekali atau dua kali (dalam sehari). Adapun kebutuhannya terhadap ilmu itu sebanyak tarikan nafasnya.” (Kaifa tatahammasu li thalabil ‘ilmi syar’i, hal. 42)

***

Referensi:

Disarikan dari kitab Al-Qawa’idul hisaan al-muta’alliqati bi tafsiir Al-Qur’an, karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di rahimahullahu Ta’ala, hal. 134-135 (kaidah ke-31), penerbit Daar Thaybah Suriah, cetakan pertama tahun 1434.

***

Buatlah Anak Punya Kenangan Indah Masa Kecil

Buatlah Anak Punya Kenangan Indah Masa Kecil 

Masa kecil adalah masa yang tidak begitu lama. Anak kita yang rasanya baru lahir kemarin sekarang sudah besar saja. Jangan sampai kita sebagai orang tua melalaikan masa-masa emas ini untuk mendampingi pertumbuhannya, perkembangannya, dan pendidikannya. Usia dini pada anak merupakan masa penting yang berdampak besar terhadap bawah sadar anak dalam jangka panjang.

Anak-anak sangat mudah menyerap berbagai hal yang mereka alami dan rasakan. Terbukti banyak hal dari diri kita sekarang yang merupakan dampak dari kejadian yang kita alami dan terima saat kita kecil dulu. Oleh karena itu, sebagai orang tua sangat perlu kiranya membangun dan menumbuhkan kedekatan dengan anak yang bisa diingatnya ketika sudah besar nanti.

Kita sendiri seringkali mengingat kembali pesan orang tua kita saat kecil dahulu, lalu pesan itulah yang kita jadikan pegangan hidup sekarang. Dalam banyak hadits kita jumpai bagaimana pengalaman para sahabat saat mereka kecil dahulu bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka masih mengingat memori-memori itu.

Dari sahabat Mahmud bin Ar-Rabi’ radhiyallahu ‘anhu, ia mengisahkan,

عَقَلْتُ مِنَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم مَجَّةً مَجَّهَا فِي وَجْهِي، وَأَنَا ابْنُ خَمْسِ سِنِينَ مِنْ دَلْوٍ

“Yang aku ingat sekali dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah semburan air dari mulutnya ke wajahku, (air tersebut) beliau (semburkan dengan) mengambilnya dari sebuah ember, dan kala itu aku berumur lima tahun.” (HR. Bukhari no. 77)

Bahkan memori saat usia 5 tahun masih tersimpan kuat dalam ingatan beliau hingga dewasa lalu diriwayatkan kepada murid-muridnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga biasa memberikan pengajaran kepada anak kecil sehingga menjadi pegangan kuat untuknya saat dewasa. Dari sahabat Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata,

كُنْتُ: خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْماً فَقَالَ لِي: (( يَا غُلاَمُ! إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ: احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، اِحْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ باِللهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ

“Pada suatu hari aku pernah berada di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, ‘Wahai anak muda! Sesungguhnya aku akan mengajarkan beberapa kalimat kepadamu. Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau akan mendapati-Nya di hadapanmu. Jika engkau mau meminta, mintalah kepada Allah. Jika engkau mau meminta pertolongan, mintalah kepada Allah. Ketahuilah apabila semua umat berkumpul untuk mendatangkan manfaat kepadamu dengan sesuatu, maka mereka tidak bisa memberikan manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan seandainya mereka pun berkumpul untuk menimpakan bahaya kepadamu dengan sesuatu, maka mereka tidak dapat membahayakanmu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan bagimu. Pena-pena (pencatat takdir) telah diangkat dan lembaran-lembaran (catatan takdir) telah kering.’” (HR. Tirmidzi, no. 2516)

Oleh karena itu, orang tua harus sering-sering meluangkan waktu untuk berinteraksi, bermain, dan belajar bersama anak. Sebab pengalaman-pengalaman tersebut bisa memberikan kenangan jangka panjang dan perasaan yang ditimbulkan dari pengalaman tersebut terus bertahan dalam hati dan pikiran anak. Akhirnya pada saat anak tumbuh dewasa dia akan mengingat berbagai kenangan manis itu.

TANDA-TANDA KECIL KIAMAT

TANDA-TANDA KECIL KIAMAT

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى… يَتَقَارَبَ الزَّمَانُ.

‘Tidak akan tiba hari Kiamat hingga… zaman berdekatan.’”[1]

Dan diriwayatkan dari beliau Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَقَارَبَ الزَّمَانُ فَتَكُونَ السَّنَةُ كَالشَّهْرِ، وَيَكُونَ الشَّهْرُ كَالْجُمُعَةِ، وَتَكُونَ الْجُمُعَةُ كَالْيَوْمِ، وَيَكُونَ الْيَوْمُ كَالسَّاعَةِ، وَتَكُونَ السَّاعَةُ كَاحْتِرَاقِ السَّعَفَةِ.

“Tidak akan tiba hari Kiamat hingga zaman berdekatan, setahun bagaikan sebulan, sebulan bagaikan sepekan, sepekan bagaikan sehari, sehari bagaikan sejam dan sejam bagaikan terbakarnya pelepah pohon kurma.”[2]

Ada beberapa pendapat para ulama tentang makna berdekatannya zaman, di antaranya:

Pertama, maksudnya adalah sedikitnya keberkahan di dalam waktu.[3]

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hal ini telah didapati pada zaman kita sekarang ini. Karena kita telah menjumpai cepatnya waktu berlalu yang tidak pernah kita temukan pada zaman sebelum kita.”[4]

Kedua, maksudnya adalah apa yang akan terjadi pada zaman al-Mahdi dan Nabi ‘Isa Alaihissallam, di mana manusia menikmati kehidupannya, adanya jaminan keamanan, juga keadilan. Saat itu manusia merasakan singkatnya masa-masa kemakmuran padahal waktunya lama, dan masa-masa sulit dirasa-kan lama padahal singkat.[5]

Ketiga, maksudnya adalah kedekatan (kemiripan) keadaan penghuninya dalam hal sedikitnya ilmu agama. Sehingga, tidak ada amar ma’ruf dan nahi munkar di tengah-tengah mereka karena mendominasinya kefasikan dan para pelakunya. Secara khusus hal itu terjadi ketika upaya mencari ilmu ditinggalkan serta ridha dengan kebodohan. Karena sesungguhnya manusia tidak sama dalam keilmuannya, dan beragamnya tingkatan ilmu mereka, sebagaimana difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ

“… Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui.” ( Yusuf/12: 76)

Dan mereka dikatakan sama hanya ketika dalam kebodohan.

Keempat, maksudnya adalah berdekatannya orang-orang pada zaman tersebut karena banyaknya sarana-sarana perhubungan dan transportasi darat maupun udara yang mendekatkan jarak yang jauh.[6]

Kelima, maknanya adalah singkatnya waktu, cepat secara hakiki, hal itu terjadi di akhir zaman.

Peristiwa ini belum terjadi sampai sekarang, hal itu diperkuat oleh riwayat yang menjelaskan bahwa hari-hari ketika Dajjal datang terasa lama, sehingga satu hari bagaikan satu tahun, bagaikan satu bulan dan bagaikan satu pekan. Sebagaimana hari-hari itu terasa lama, maka ia pun bisa terasa singkat.[7] Ini terjadi karena rusaknya tatanan alam, dan telah dekatnya kehancuran dunia.

Ibnu Abi Jamrah rahimahullah[8] berkata, “Kemungkinan yang dimaksud dengan dekatnya zaman adalah singkatnya (waktu) sesuai dengan yang diungkap dalam sebuah hadits:

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَكُونَ السَّنَةُ كَالشَّهْرِ.

“Tidak akan tiba hari Kiamat hingga satu tahun bagaikan satu bulan.”

Oleh karenanya, maka singkatnya waktu bisa berupa sesuatu yang dapat dirasakan oleh indra atau sesuatu yang maknawi.

Adapun yang bisa dirasakan indra sama sekali belum nampak, mungkin hal itu terjadi sebagai tanda dekatnya Kiamat.

Adapun yang maknawi, hal itu sering terjadi. Hal itu dirasakan oleh para ulama dan orang-orang yang memiliki kecerdasan dalam ilmu dunia. Mereka mendapati diri mereka tidak mampu melakukan pekerjaan persis seperti yang dilakukan sebelumnya, mereka mengeluhkannya dan tidak mengetahui alasan akan hal itu, kemungkinan hal itu terjadi karena lemahnya keimanan yang disebabkan oleh pelanggaran-pelanggaran syari’at dalam berbagai hal, terutama pelanggaran dalam hal makanan. Tidak diragukan di dalamnya ada sesuatu yang murni haram dan yang syubhat, dan kebanyakan manusia tidak berhenti mengkonsumsi hal itu, walaupun ia sanggup untuk mendapatkan sesuatu yang halal, akan tetapi dia tetap mengambilnya tanpa mau peduli.

Dan kenyataannya bahwa keberkahan dalam waktu, rizki, dan tumbuhan hanya dapat diwujudkan dengan kekuatan iman, mengikuti perintah, dan menjauhi larangan, dalil akan hal itu adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ

“Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi….” (Al-A’raaf/7: 96)[9]

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa’ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]


Footnote
[1] Shahiihul Bukhari, kitab al-Fitan (XIII/81-82, al-Fat-h).
[2] Musnad Ahmad (II/537-538, dengan catatan pinggir Muntakhab Kanz), dan diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Anas, lihat Jaami’ at-Tirmidzi, bab-bab az-Zuhd bab Ma Jaa-a fii Taqaarubiz Zamaan wa Qashril Amal (VI/624, 625, Tuhfatul Ahwadzi).
Ibnul Katsir berkata, “Isnadnya berdasarkan syarat Muslim,” an-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/181), tahqiq Dr. Thaha Zaini.
Al-Haitsami berkata, “Perawinya adalah perawi ash-Shahiih,” Majma’uz Zawaa-id (VII/231).
Al-Albani berkata, “Shahih,” lihat kitab Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (VI/175, no. 7299).
[3] Lihat Ma’aalimus Sunan (VI/141-142, dengan catatan pinggir Mukhtashar Sunan Abi Dawud, karya al-Mundziri), Jaami’ul Ushuul, karya Ibnul Atsir (X/409), dan Fat-hul Baari (XIII/16).
[4] Fat-hul Baari (XIII/16)
[5] Lihat Fat-hul Baari (XIII/16)
[6] Lihat Ithaaful Jamaa’ah (I/497), dan al-‘Aqaa-idul Islaamiyyah (hal. 247), karya Sayyid Sabiq.
[7] Mukhtashar Sunan Abi Dawud (VI/142), Jaami’ul Ushuul (X/409) tahqiq Muhammad ‘Abdul Qadir al-Arnauth.
[8] Beliau adalah al-‘Allamah Abu Muhammad ‘Abdullah bin Sa’d bin Sa’id bin Abi Jamrah al-Azdi al-Andalusi al-Maliki, seorang alim di bidang hadits dan memiliki beberapa karya tulis, di antaranya: Jam’un Nihaayah merupakan ringkasan kitab Shahiih al-Bukhari, beliau pun memiliki kitab al-Maraa-il Hasan yaitu kitab tentang hadits dan tafsir mimpi.
Ibnu Katsir mengomentari beliau dengan perkataannya, “Al-Imam, al-alim, ahli ibadah… dia adalah orang yang selalu mengatakan kebenaran, memerintah yang ma’ruf dan melarang kemunkaran.”
Wafat di Mesir pada tahun 695 H rahimahullah.
Lihat biografinya dalam al-Bidaayah wan Nihaayah (XIII/346), al-A’laam (IV/ 89).
[9] Fat-hul Baari (XIII/17).

Baca Juga  6f-6h. Fitnah Perkataan Bahwa Al-Qur-an adalah Makhluk

  1. Berdekatannya Pasar
    Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَظْهَرَ الْفِتَنُ، وَيَكْثُرَ الْكَذِبُ، وَيَتَقَارَبَ اْلأَسْوَاقُ.

“Tidak akan datang hari Kiamat hingga muncul berbagai fitnah, banyaknya kebohongan, dan berdekatannya pasar.”[1]

Syaikh Hamud at-Tuwaijiri rahimahullah[2] berkata, “Adapun berdekatannya pasar, maka telah ada sebuah riwayat yang menjelaskannya di dalam sebuah hadits dha’if, yaitu kelesuan pasar dan sedikitnya keuntungan, yang jelas –wallaahu a’lam– bahwa hal itu merupakan isyarat terhadap apa yang terjadi di zaman kita sekarang ini berupa berdekatannya penduduk bumi; hal itu karena adanya alat transportasi udara atau darat, alat-alat elektronik yang bisa mengirim suara, seperti siaran radio, dan telepon, yang dengannya pasar-pasar di berbagai belahan dunia menjadi dekat. Maka tidaklah terjadi perubahan harga di suatu negara kecuali para pedagang -atau kebanyakan dari mereka- di negeri-negeri lain mengetahuinya, maka hal itu bisa menambah harga jika (di tempat lain pun bertambah), dan bisa menguranginya jika (di tempat lain pun) berkurang, para pedagang dengan kendaraannya pergi ke pasar-pasar di perkotaan yang perjalanan sebelumnya membutuhkan beberapa hari, lalu dia memenuhi kebutuhannya di sana dan kembali hanya dalam satu hari atau kurang, seseorang pergi menggunakan pesawat ke pasar di berbagai kota yang sebelumnya perjalanan tersebut membutuhkan sebulan atau lebih, dia memenuhi kebutuhannya di sana dan kembali hanya dalam waktu satu hari atau kurang.

Berdekatannya pasar ditinjau dari tiga sisi:

Pertama, cepatnya berita terhadap apa yang akan terjadi di dalamnya berupa bertambah dan berkurangnya harga.

Kedua, cepatnya perjalanan dari satu pasar ke pasar lain, walaupun perjalanannya sangat jauh.

Ketiga, persaingan harga antara yang satu dengan yang lain dan persaingan pedagang dalam menaikkan atau menurunkan harga, wallaahu a’lam.[3]

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa’ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]


Footnote
[1] Musnad Ahmad (II/519, dengan catatan pinggir Muntakhab Kanz).
[2] Beliau adalah al-‘Allamah Syaikh Hamud bin ‘Abdillah at-Tuwaijiri an-Najdi, salah seorang ulama kontemporer, sekarang beliau bertempat tinggal di Riyadh. Beliau memiliki beberapa karya tulis, di antaranya: Ithaaful Jamaa’ah bima Jaa-a fil Fitan wal Malaahim wa Asyraatus Saa’ah dalam dua jilid, beliau memiliki beberapa risalah kecil dan bantahan, seperti ash-Shaarimul Masluul ‘ala Ahlit Tabarruj was Sufuur, at-Tanbiihaat ‘ala Risaalatil Albani fish Shalaah dan Fashlul Khitaab fir Radd ‘ala Abi Turab juga yang lainnya.
[3] Ithaaful Jamaa’ah (I/498-499).

  1. Munculnya Kemusyrikan pada Umat Ini
    Ini adalah di antara tanda-tanda Kiamat yang telah nampak dan akan semakin bertambah. Telah terjadi kemusyrikan pada umat ini, dan berbagai kabilah dari umat ini mengikuti kaum musyrikin, mereka menyembah berhala, membangun berbagai macam bangunan di atas kuburan dan menyembahnya selain kepada Allah dengan tujuan mengambil keberkahan dan mengagungkannya, memberikan berbagai nadzar, dan merayakan berbagai perayaan, kebanyakan darinya (kubur-kubur) mempunyai kedudukan seperti Latta, Uzza, Manat bahkan lebih besar lagi kemusyrikannya.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi, dari Tsauban Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا وُضِعَ السَّيْفُ فِي أُمَّتِي؛ لَمْ يُرْفَعْ عَنْهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَلاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّـى تَلْحَقَ قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتِي بِالْمُشْرِكِينَ، وَحَتَّى تَعْبُدَ قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتِي اْلأَوْثَانَ.

‘Jika pedang telah diletakkan pada umatku, maka ia tidak akan pernah diangkat darinya sampai hari Kiamat, dan tidak akan tiba hari Kiamat hingga beberapa kabilah dari umatku mengikuti kaum musyrikin, dan beberapa kabilah dari umatku menyembah berhala.’”[1]

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَضْطَرِبَ أَلَيَاتُ نِسَاءِ دَوْسٍ حَوْلَ ذِي الْخَلَصَةِ.

‘Tidak akan datang hari Kiamat hingga pantat-pantat para wanita Daus bergoyang di sekitar Dzil Khalashah.’”[2]

Dzul Khalashah adalah thaghut kabilah Daus yang mereka sembah pada masa Jahiliyyah.[3]

Apa-apa yang dikabarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits ini telah terjadi. Karena sesungguhnya kabilah Daus dan sekitarnya dari kalangan Arab telah terkena fitnah Dzul Khalashah ketika kebodohan kembali masuk ke negeri-negeri mereka. Kemudian mereka mengulang sejarah mereka, menyembah selain Allah, hingga Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab rahimahullah menegakkan dakwah tauhid dan memperbaharui segala macam syi’ar-syi’ar agama yang telah tenggelam. Akhirnya kembalilah Islam ke Jazirah Arab, demikian pula yang dilakukan oleh al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Saud rahimahullah. Beliau mengutus beberapa orang da’i ke daerah Dzul Khalashah, mereka menghancurkannya dan merobohkan sebagian bangunan yang ada di sana, lalu ketika pemerintahan keluarga Saud berakhir atas Hijaz pada masa tersebut, maka orang-orang kembali kepada peribadahannya. Kemudian ketika raja ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdirrahman Alu Su’ud rahimahullah naik tahta, beliau menugaskan wakilnya di tempat itu dan mengirim beberapa pasukan untuk menghancurkannya dan menghilangkan semua bekas-bekasnya. Hanya milik Allah-lah segala puji.[4]

Baca Juga  52-53. Penaklukan Konstantinopel. Munculnya Al-Qahthani
Kemusyrikan akan senantiasa ada di berbagai negeri. Benarlah apa yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لاَ يَذْهَبُ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ حَتَّى تُعْبَدَ اللاَّتُ وَالْعُزَّى، فَقاَلَتْ عَائِشَةُ: يَا رَسُـولَ اللهِ! إِنْ كُنْتُ لأَظُنُّ حِيْـنَ أَنْزَلَ اللهُ هُوَ الَّذِيْٓ اَرْسَلَ رَسُوْلَهٗ بِالْهُدٰى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهٗ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهٖۙ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ  أَنَّ ذَلِكَ تَامًّا قَالَ: إِنَّهُ سَيَكُونُ مِنْ ذَلِكَ مَا شَاءَ اللهُ، ثُمَّ يَبْعَثُ اللهُ رِيْحًا طَيِّبَةً فَتَوَفَّى كُلَّ مَنْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةِ خَرْدَلٍ مِنْ إِيْمَانٍ، فَيَبْقَى مَنْ لاَ خَيْرَ فِيهِ فَيَرْجِعُوْنَ إِلَى دِيْنِ آبَائِهِمْ.

“Tidak akan hilang malam dan siang hingga Latta dan Uzza (kembali) disembah.” ‘Aisyah bertanya, “Wahai Rasulullah, sungguh aku mengira bahwa ketika Allah menurunkan ayat, ‘Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkan-nya di atas segala agama meskipun orang-orang musyrik benci.’[5] Semuanya telah sempurna (berakhir).” Beliau bersabda, “Sesungguhnya hal itu (kemusyrikan) akan terjadi sesuai dengan kehendak Allah, kemudian Dia mengutus angin yang lembut, lalu mewafatkan setiap orang yang memiliki keimanan seberat biji sawi dalam hatinya, sementara orang yang tidak memiliki kebaikan akan tetap ada, selanjutnya mereka kembali kepada agama nenek moyang mereka.”[6]

Bentuk-bentuk kemusyrikan sangat banyak, tidak terbatas hanya me-nyembah bebatuan, pepohonan dan kubur saja, bahkan sampai kepada men-jadikan thaghut (orang yang disembah dan dia ridha) sebagai ilah yang disembah selain Allah Ta’ala, mereka membuat syari’at sendiri, dan mewajibkan manusia untuk mengambil hukum darinya dengan meninggalkan syari’at Allah, dengan itu mereka telah menempatkan diri mereka sebagai ilah bersama Allah dan mensucikannya, sebagaimana difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ

“Mereka menjadikan orang-orang alim, dan rahib-rahib mereka sebagai ilah selain Allah….” (At-Taubah/9: 31)

Maknanya adalah mereka telah menjadikan ulama dan ahli ibadah di kalangan mereka sebagai ilah yang membuat hukum bagi mereka, dan mereka mengikutinya dalam segala hal yang mereka halalkan (apa yang diharamkan Allah) dan yang mereka haramkan (apa yang dihalalkan Allah).[7]

Jika hal ini hanya dalam hal menghalalkan dan mengharamkan, maka bagaimana pula orang-orang yang melemparkan (membuang ajaran) Islam, dan memeluk paham-paham menyimpang dan yang sesat, seperti sekulerisme, komunisme, sosialisme, dan nasionalisme, kemudian mereka mengaku sebagai kaum muslimin?!!

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa’ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]


Footnote
[1] Sunan Abi Dawud (XI/322-324, ‘Aunul Ma’buud), Jaami’ at-Tirmidzi (VI/466), at-Tirmidzi berkata, “Hadits ini shahih.”
2 dengan huruf kha yang difat-hahkan sementara lam setelahnya berharakat, inilah yang lebih masyhur di dalam keabsahan harakatnya. Khalashah adalah pohon dengan biji berwarna merah, bagaikan marjan akik.
Dzul Khalashah adalah nama bagi sebuah rumah yang di dalamnya ada berhala. Ada juga yang mengatakan bahwa Khalashah adalah nama rumah, sementara Dzul Khalashah nama berhala.
Dzhul khalashah nama untuk dua berhala yang masing-masing dari keduanya disebut Dzul Kha-lashah, salah satunya milik Daus, dan yang milik Khats’am juga yang lainnya dari kalangan bangsa Arab.
Adapun berhala Daus, maka ialah yang dimaksud dalam hadits. Tempat berhala ini terkenal sampai saat ini di negeri Zahran (sebelah selatan Thaif), tegasnya pada sebuah tempat yang bernama Tsaruq dari perkampungan Daus. Dzul Khalashah terletak dekat dengan sebuah perkampungan dari beberapa perkampungan yang diberi nama (رَمَسُ) dengan huruf ra dan mim yang difat-hahkan. Sebelumnya Dzhul Khalashah ada pada reruntuhan batu tinggi yang dibatasi dari sebelah timur oleh perkampungan Dzil Khalashah dan dari sebelah barat oleh Tihamah. Sebagian batu besar bekas bangunan tetap ada di atas reruntuhan tersebut. Ini menunjukkan adanya bangunan kuat pada tempat tersebut.
Lihat Fat-hul Baari (VIII/71), dan kitab Surrat Ghaamidin wa Jahraan (hal. 336-340), karya Hamd Jasir.
Adapun berhala Khats’am dinamakan pula Dzul Khalashah, ia adalah sebuah rumah yang dibangun oleh dua kabilah dari Arab. Keduanya adalah Khats’am dan Bahilah, keduanya ingin menandingi Ka’bah dengan bangunan tersebut. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus Jarir bin ‘Abdillah al-Bajali dengan membawa seratus lima puluh pasukan berkuda, lalu mereka menghancurkannya dan membakarnya.
Kisah tentang penghancurannya diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam Shahiihnya (VIIII/ 70-7, al-Fat-h) kitab al-Maghaazi, bab Ghazwatu Dzil Khalashah.
Sedangkan berhala Khats’am terletak di Tibalah, daerah yang terletak di antara Makkah dan Yaman dengan perjalanan tujuh malam dari Makkah. Telah dibangun di tempat itu sebuah masjid jami untuk sebuah negeri dari tanah Khats’am yang bernama al-‘Abalat.
Lihat Mu’jamul Buldaan (IV/80), dan kitab Fi Surraat Ghaamid wa Zahraan (hal. 343-344) Mansyurat Darul Yamamah, Riyadh, th. 1391 H.
[3] Shahiihul Bukhari, kitab al-Fitan, bab Taghayyuriz Zamaan hatta Tu’badul Autsaan (XIII/76, al-Fat-h) (no. 7116), dan Shahiih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyraathus Saa’ah (XVIII/32-33, Syarh an-Nawawi).
[4] Lihat kitab Ithaaful Jamaa’ah (I/522-533), dan Surrat Ghaamid wa Zahraan (hal. 347-349).
[5] QS. Ash-Shaff/61: 9.
[6] Shahiih Muslim syarh an-Nawawi, kitab al-Fitan wa Asyraathus Saa’ah (XXXIII/ 18, Syarh an-Nawawi).
[7] Lihat Tafsiir Ibni Katsir (IV/77).

Bisakah Mengenal Keluarga Dan Kerabat Di Surga?

Bisakah Mengenal Keluarga Dan Kerabat Di Surga?

Setelah manusia meninggal, mereka dipisahkan dengan keluarga dan teman-temannya dengan waktu yang sangat lama. Di mulai dari perpisahan menunggu di alam kubur, padang mahsyar, proses hisab, melewati shirath, kejadian di qantharah. Perlu diketahui bahwa satu hari akhirat sebagaimana 1000 tahun di dunia. Dengan waktu menunggu yang sangat lama ini, apakah kita masih ingat atau sudah lupa dengan keluarga dan kerabat kita? Apalagi usia manusia di surga dalah 33 tahun, bagaimana jika ada keluarga yang meninggal ketika anak-anak?

Jawabannya: kita tetap bisa mengenal keluarga dan kerabat kita di surga, bahkan kita tetap kenal dengan teman-teman kita selama di dunia yang sudah masuk surga.

Pertanyaan diajukan kepada Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin,

هل المسلم إذا دخل الجنة يتعرف على أقاربه الذين في الجنة؟

Apakah seorang muslim apabila masuk surga, ia dapat mengenal kerabat-kerabatnya yang masuk di dalam surga?

Jawaban:

نعم يتعرف على أقاربه وغيرهم من كل ما يأتيه سرور قلبه؛ لقول الله تعالى: ﴿وفيها ما تشتهيه الأنفس وتلذ الأعين وأنتم فيها خالدون﴾ بل إن الإنسان يجتمع بذريته في منزلةٍ واحدة إذا كانت الذرية دون منزلته كما قال تعالى: ﴿والذين آمنوا واتبعتهم ذريتهم بإيمان ألحقنا بهم ذريتهم…الآية

Iya, Ia bisa mengenal kerabat- kerabatnya dan selain mereka dari setiap kebahagiaan (keinginan) hati yang datang kepadanya. Karenanya Allah berfirman,

“Dan di dalam surga terdapat apa-apa yang diinginkan oleh jiwa dan yang menyenangkan pandangan kalian, dan kalian di dalamnya kekal selamanya”

Bahkan seseorang akan berkumpul bersama anak keturunannya di dalam satu tingkatan surga. Jika anak keturunannya berada pada tingkatan yang lebih rendah darinya (maka akan disusulkan ke tingkatannya).Sebagaimana firman Allah,

“Dan mereka orang-orang yang beriman dan diikuti oleh keturunan mereka dengan keimanan, maka Kami akan pertemukan orang-orang beriman itu dengan anak keturunan mereka.” [Nuur ‘alad Darb. Kaset nomor 195]

Perlu diketahui bahwa seorang muslim yang masuk surga tidak hanya mengenal keluarga dan kerabatnya, tetapi juga mengenal sahabat-sahabatnya selama berada di dunia yang juga masuk surga. Sahabat yang bersama-sama saling menasehati di jalan agama.

Di surga terdapat pasar surga yang merupakan tempat berkumpul manusia. Tentu mereka saling mengenal dengan sahabat-sahabatnya ketika berkumpul di pasar surga tersebut.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda mengenai pasar surga,

إِنَّ فِى الْجَنَّةِ لَسُوقًا يَأْتُونَهَا كُلَّ جُمُعَةٍ فَتَهُبُّ رِيحُ الشَّمَالِ فَتَحْثُو فِي وُجُوهِهِمْ وَثِيَابِهِمْ فَيَزْدَادُونَ حُسْنًا وَجَمَالاً فَيَرْجِعُونَ إِلَى أَهْلِيهِمْ وَقَدِ ازْدَادُوا حُسْنًا وَجَمَالاً فَيَقُولُ لَهُمْ أَهْلُوهُمْ: وَاللهِ، لَقَدِ ازْدَدْتُمْ بَعْدَنَا حُسْنًا وَجَمَالاً. فَيَقُولُونَ: وَأَنْتُمْ وَاللهِ، لَقَدِ ازْدَدْتُمْ بَعْدَنَا حُسْنًا وَجَمَالاً

“Sungguh di surga ada pasar yang didatangi penghuni surga setiap Jumat. Bertiuplah angin dari utara mengenai wajah dan pakaian mereka hingga mereka semakin indah dan tampan. Mereka pulang ke istri-istri mereka dalam keadaan telah bertambah indah dan tampan. Keluarga mereka berkata, ‘Demi Allah, engkau semakin bertambah indah dan tampan.’ Mereka pun berkata, ‘Kalian pun semakin bertambah indah dan cantik’.” (HR. Muslim no. 7324)

Salah satu kenikmatan manusia di dunia adalah berjumpa dengan saudara dan teman-teman akrab mereka, saling menyapa, menanyakan keadaan, saling bercanda ringan, saling curhat. Ini menimbulkan kebahagiaan dan kenikmatan, apalagi sudah lama sekali tidak bertemu. Demikian juga di surga, disediakan kenikmatan seperti ini. Dijelaskan dalam Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah,

إن سوق الجنة هو مكان اللقاء للمؤمنين بعضهم لبعض؛ لازدياد النعيم بما يجدونه من لذة وسؤدد ، وتحدث بعضهم لبعض؛ وتذاكرهم بما كان في الدار الدنيا وما آلوا إليه في الدار الآخرة؛ ويتجدد هذا اللقاء كل جمعة كما جاء في الحديث؛ لرؤية بعضهم لبعض وأنس بعضهم ببعض

“Pasar di surga adalah tempat bertemunya kaum muslimin satu sama lain supaya bertambah kenikmatan. Merasakan kelezatan saling berbincang-bincang. Dan saling mengenang apa yang terjadi di dunia dan membicarakan apa yang mereka dapatkan di akhirat. Mereka bertemu setiap Jumat sebagaimana pada hadits, agar mereka bisa saling berjumpa satu sama lain.” [Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah 54/214]

Demikian semoga bermanfaat

***

Kalau Meminta Jangan Memaksa

Kalau Meminta Jangan Memaksa 

Andaikan seseorang dalam keadaan darurat terpaksa meminta kepada orang lain, maka hendaknya ia tidak boleh memaksa untuk dikabulkan permintaannya. Dari Abu Sufyan Sakhr bin Harb radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا تُلْحِفُوا فِي الْمَسْأَلَةِ، فَوَاللهِ، لَا يَسْأَلُنِي أَحَدٌ مِنْكُمْ شَيْئًا، فَتُخْرِجَ لَهُ مَسْأَلَتُهُ مِنِّي شَيْئًا، وَأَنَا لَهُ كَارِهٌ، فَيُبَارَكَ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتُهُ

“Jangan kalian memaksa jika meminta. Demi Allah, jika seseorang meminta kepadaku sesuatu, kemudian aku mengabulkan permintaannya tersebut dengan perasaan tidak senang, maka tidak ada keberkahan pada dirinya dan apa yang ia minta itu.” (HR. Muslim no. 1038).

Kita telah ketahui bahwa hukum asalnya, dilarang meminta-minta kepada orang lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ

“Barangsiapa meminta-minta kepada orang lain dengan tujuan untuk memperbanyak kekayaannya, sesungguhnya ia telah meminta bara api. Terserah kepadanya, apakah ia akan mengumpulkan sedikit atau memperbanyaknya.” (HR. Muslim no. 1041)

Namun, ada beberapa jenis orang yang diperbolehkan meminta-minta kepada orang lain. Di antaranya adalah orang yang fakir dalam keadaan sangat mendesak atau meminta kepada penguasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنْ الْمَسْأَلَةَ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِي أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ

“Sesungguhnya, meminta-minta itu adalah topeng yang dikenakan seseorang pada dirinya sendiri, kecuali bila seseorang meminta kepada penguasa atau karena keadaan yang sangat mendesak.” (HR. At-Tirmidzi no. 681, ia berkata, “hasan sahih”)

Andaikan seseorang termasuk orang yang boleh minta-minta, maka ia pun tidak boleh meminta-minta dengan memaksa, sebagaimana disebutkan dalam hadis Abu Sufyan di atas. Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan,

الإلحاف: التَّكرار والإلحاح

Al-ilhaf artinya mengulang-ulang dan memaksa.” (Syarah Riyadhis Shalihin, rekaman no. 184)

Maka, tidak boleh meminta dengan cara memaksa dan juga tidak meminta secara berulang dan terus-menerus. Karena ini jelas merupakan gangguan kepada orang orang yang dimintai. Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

الْمُسْلِمُ مَن سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِن لِسانِهِ ويَدِهِ

“Seorang muslim yang sejati adalah yang kaum muslimin merasa selamat dari gangguan lisannya dan tangannya.” (HR. Bukhari no. 6484 dan Muslim no. 41)

Hadis Abu Sufyan di atas juga menunjukkan bahwa orang yang meminta dengan cara memaksa, ia tidak akan mendapatkan keberkahan dari apa yang dimintanya tersebut walaupun diberikan atau dikabulkan. Sehingga, ia hanya akan mendapatkan sedikit kebaikan saja dari apa yang ia minta tersebut.

Hadis ini juga menunjukkan bahwa meminta-minta itu hanya dalam kondisi darurat saja, tidak boleh sering-sering. Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan,

فهذا يدل على أنه ينبغي للمؤمن الحذر من سؤال الناس إلا عند الضَّرورة، فالسؤال فيه شرٌّ عظيمٌ

“Hadis ini juga dalil bahwa hendaknya seorang mukmin menjauhkan diri dari meminta-minta kepada orang lain, kecuali darurat. Dan minta-minta itu keburukannya sangat besar.” (Syarah Riyadhis Shalihin, rekaman no. 184)

Orang yang meminta-minta tanpa kondisi darurat dan dengan cara yang memaksa, maka ini merupakan kesalahan di atas kesalahan.

Wallahu a’lam. Semoga yang sedikit ini bermanfaat.

***

Ilmu Tidak Akan Didapat Dengan Santai

Ilmu Tidak Akan Didapat Dengan Santai 

Semua manusia sepakat bahwa ilmu sangat penting bagi manusia. Baik ilmu dunia maupun ilmu agama, karena ilmu bisa meningkatkan derajat manusia.

Allah berfirman,

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat” [Al-Mujadilah : 11]

Karena ilmu ini yang bisa mengarahkan orang untuk beramal dengan amal yang benar. Jika tidak berilmu, bagaimana ia bisa beramal? Ath-habari rahimahullahu berkata,

ويرفع الله الذين أوتوا العلم من أهل الإيمان على المؤمنين، الذين لم يؤتوا العلم بفضل علمهم درجات، إذا عملوا بما أمروا به

“Allah mengangkat derajat orang beriman yang berilmu di hadapan orang beriman yang tidak berilmu karena keutamaan ilmu mereka, jika mereka mengamalkan ilmu tersebut.”[1]

Salah satu keutamaan ilmu juga sebagimana dalam ayat berikut.

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ ۖ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۙ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ ۖ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

Mereka menanyakan kepadamu, “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah, “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajari dengan melatihnya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya) dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allâh amat cepat hisab-Nya.” [Al-Maidah/5:4].

Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa anjing yang “berilmu/terlatih” (kalbun mu’allam/anjing terlatih) dihalalkan buruannya padahal anjing berburu dengan gigitan mulut dan ada air liurnya. Beliau berkata,

ﺇﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ ﺟﻌﻞ ﺻﻴﺪ ﺍﻟﻜﻠﺐ ﺍﻟﺠﺎﻫﻞ ﻣﻴﺘﺔ ﻳﺤﺮُﻡ ﺃﻛﻠﻬﺎ ، ﻭﺃﺑﺎﺡ ﺻﻴﺪ ﺍﻟﻜﻠﺐ ﺍﻟﻤﻌﻠّﻢ ﻭﻫﺬﺍ ﻣﻦ ﺷﺮﻑ ﺍﻟﻌﻠﻢ

“Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan buruan anjing yang “bodoh/tidak dilatih” sebagai bangkai yang haram di makan dan Allah membolehkan buruan anjing terlatih. Hal ini menunjukkan kemuliaan ilmu.”[2]

Banyak orang yang sangat ingin berilmu dan menjadi orang yang memiliki ilmu, akan tetapi mereka tidak tahan dengan lelah dan letihnya menuntut ilmu. Ilmu tidak mungkin didapatkan, seseorang harus melawan nafsu bersantai-santainya.

Yahya bin Abi Katsir rahimahullah berkata,

ولا يستطاع العلم براحة الجسد

“Ilmu tidak akan didapatkan dengan tubuh yang santai (tidak bersungguh-sungguh)”[3]

Semakin tinggi cita-cira kita, maka semakin sedikit juga waktu luang dan waktu untuk badan kita bersantai-ria.

Imam Syafi’i rahimahullah juga mengisyaratkan perjalanan dan perjuangan berat menuntut ilmu dengan hasil yang baik. Beliau berkata,

لا يطلب هذا العلم من يطلبه بالتملل وغنى النفس فيفلح، ولكن من طلبه بذلة النفس، وضيق العيش، وخدمة العلم، أفلح

“Tidak mungkin menuntut ilmu orang yang pembosan, merasa puas jiwanya kemudian ia menjadi beruntung, akan tetapi ia harus menuntut ilmu dengan menahan diri, merasakan kesempitan hidup dan berkhidmat untuk ilmu, maka ia akan beruntung.”[4]

Abu ‘Amr bin Ash-Shalah menceritakan biografi Imam Muslim rahimahullah, beliau berkata,

وَكَانَ لمَوْته سَبَب غَرِيب نَشأ عَن غمرة فكرية علمية

“Tentang sebab wafatnya (imam muslim) adalah suatu yang aneh (bagiku), timbul karena kepedihan/kesusahan hidup dalam (menuntut) ilmu.”[5]

Menuntur ilmu selain meletihkan pikiran, juga terkadang meletihkan badan. Yahya Abu zakaria berkata,

وذكر لي عمي عبيد الله قال: قفلت من خراسان ومعي عشرون وقرا من الكتب، فنزلت عند هذا البئر -يعني: بئر مجنة- فنزلت عنده اقتداء بالوالد

“Pamanku Ubaidillah bercerita kepadaku, “aku kembali dari Khurasan dan bersamaku ada 20 beban berat yang berisikan buku-buku. Aku singgah di sebuah sumur –yaitu sumur Majannah- aku lakukan karena mencontoh ayahku.”[6]

Imam Syafi’i rahimahullah menjelaskan bahwa orang yang menanggung letihnya menuntut ilmu adalah orang yang beruntung dengan ilmunya kelak. Beliau berkata,

ما أفلح فى العلم إلا من طلبه فى القلة، ولقد كنت أطلب القرطاس فيعسر علىَّ. وقال: لا يطلب أحد هذا العلم بالملك وعز النفس فيفلح

“Tidak akan beruntung orang yang menuntut ilmu, kecuali orang yang menuntutnya dalam keadaan serba kekurangan aku dahulu mencari sehelai kertaspun sangat sulit. Tidak mungkin seseorang menuntut ilmu dengan keadaan serba ada dan harga diri yang tinggi kemudian ia beruntung.”[7]

Semoga ini menjadi motivasi kita terutama di zaman ini yang ilmu sangat mudah diperoleh melalui internet, youtube dan sosial media. Jangan sampai kita terlena dengan kemudahan ini dan tidak berniat menuntut ilmu dengan baik. Silahkan bandingkan bagaimana cara kita menuntut ilmu dengan ulama zaman dulu.

Catatan kaki:

[1] Jami’ Bayan fii Ta’wilil Quran 23/246, Muassasah Risalah, Asy-Syamilah

[2] Miftah Daris Sa’adah 1/55, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah

[3] Jaami’u bayaanil ‘ilmi wa fadhlihi I/348 no.553, Darul Ibnu Jauzi, cet.I, 1414 H, syamilah

[4] Tadribur Rawi 2/584, Darut Thayyibah, Syamilah

[5] Shiyanah Shahih Muslim hal. 62, darul Gharbil Islamiy, Beirut, cet.II, 1408 H, Syamilah

[6] Siyar A’lam An-nubala 12/503 Darul Hadits, koiro, 1427 H, syamilah

[7] Tahdzib Al-Asma’ wa Al-Lughat hal. 54, Darul Kutub ‘Ilmiyah, Beirut, Syamilah.

Antara Kata Dan Perbuatan

Antara Kata Dan Perbuatan 

Hari demi hari berlalu, dosa demi dosa kita perbuat, kemaksiatan demi kemaksiatan menorehkan luka menganga dan noda-noda hitam di dalam hati kita, Maha Suci Allah!! Seolah-olah tidak ada hari kebangkitan, seolah-olah tidak ada hari pembalasan, seolah-olah tidak ada Zat yang maha melihat segala perbuatan dan segala yang terbesit di dalam benak pikiran, di gelapnya malam apalagi di waktu terangnya siang, innallaha bikulli syai’in ‘aliim (Sesungguhnya Allah, mengetahui segala sesuatu).

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحاً عَسَى رَبُّكُمْ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Robb-mu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah (surga) yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: ‘Ya Robb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah Kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.’” (Qs. At Tahriim: 8)

Allahumma, betapa zalimnya diri ini, bergelimang dosa dan mengaku diri sebagai hamba, hamba macam apakah ini? yang tidak malu berbuat maksiat terang-terangan di hadapan pandangan Robb ‘azza wa jalla, wahai jiwa… kenalilah kehinaan dirimu, sadarilah keagungan Robb yang telah menciptakan dan memberikan nikmat tak berhingga kepadamu, ingatlah pedihnya siksa yang menantimu jika engkau tidak segera bertaubat.

Cepatlah kembali tunduk kepada Ar Rahman, sebelum terlambat. Karena apabila ajal telah datang maka tidak ada seorang pun yang bisa mengundurkannya barang sekejap ataupun menyegerakannya, ketika maut itu datang… beribu-ribu penyesalan akan menghantui dan bencana besar ada di hadapan; siksa kubur yang meremukkan dan gejolak membara api neraka yang menghanguskan kulit-kulit manusia, subhaanAllah, innallaha syadiidul ‘iqaab (sesungguhnya Allah, hukuman-Nya sangat keras). Padahal tidak ada satu jiwa pun yang tahu di bumi mana dia akan mati, kapan waktunya, bisa jadi seminggu lagi atau bahkan beberapa detik lagi, siapa yang tahu? Bangkitlah segera dari lumpur dosa dan songsonglah pahala, dengan sungguh-sungguh bertaubat kepada Robb tabaaraka wa ta’ala.

[lwptoc]

Hakikat dan Kedudukan Taubat

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama mengatakan: Taubat itu wajib dilakukan untuk setiap dosa yang diperbuat.” (Syarah Riyadhu Shalihin, I/56). Beliau juga berkata, “(Taubat) itu memiliki tiga rukun: meninggalkannya, menyesal atas perbuatan maksiatnya itu, dan bertekad kuat untuk tidak mengulanginya selama-lamanya. Apabila maksiat itu berkaitan dengan hak manusia, maka ada rukun keempat yaitu membebaskan diri dari tanggungannya kepada orang yang dilanggar haknya. Pokok dari taubat adalah penyesalan, dan (penyesalan) itulah rukunnya yang terbesar.” (Syarah Shahih Muslim, IX/12)

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “…Mereka (para ulama) telah sepakat bahwa taubat dari segala maksiat (hukumnya) wajib, dan (mereka juga sepakat) taubat itu wajib dilakukan dengan segera dan tidak boleh ditunda-tunda, sama saja apakah maksiat itu termasuk dosa kecil atau dosa besar. Taubat merupakan salah satu prinsip agung di dalam agama Islam dan kaidah yang sangat ditekankan di dalamnya…” (Syarah Shahih Muslim, IX/12)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Taubat secara bahasa artinya kembali, adapun menurut syariat, taubat artinya kembali dari mengerjakan maksiat kepada Allah ta’ala menuju ketaatan kepada-Nya. Taubat yang terbesar dan paling wajib adalah bertaubat dari kekufuran menuju keimanan. Allah ta’ala berfirman,

قُل لِلَّذِينَ كَفَرُواْ إِن يَنتَهُواْ يُغَفَرْ لَهُم مَّا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُواْ فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الأَوَّلِينِ

“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu.” (Qs. Al Anfaal: 38). Kemudian tingkatan berikutnya adalah bertaubat dari dosa-dosa besar, kemudian diikuti dengan tingkatan ketiga yaitu bertaubat dari dosa-dosa kecil.” (Syarah Riyadhu Shalihin, I/56)

Al Quran Memerintahkanmu Bertaubat

Allah ta’ala berfirman,

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An Nuur: 31)

Syaikh Abdur-Rahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah mengatakan setelah menyebutkan penggalan ayat “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman.” : Sebab seorang mukmin itu, (memiliki) keimanan yang menyerunya untuk bertaubat, kemudian (Allah) mengaitkan taubat itu dengan keberuntungan, Allah berfirman (yang artinya): “Supaya kamu beruntung”, maka tidak ada jalan menuju keberuntungan kecuali dengan taubat, yaitu kembali dari segala sesuatu yang dibenci Allah, lahir maupun batin, menuju segala yang dicintai-Nya, lahir maupun batin. Dan ini menunjukkan bahwasanya setiap mukmin itu membutuhkan taubat, sebab Allah menujukan seruan-Nya kepada seluruh orang yang beriman. Dan di dalam (penggalan ayat) ini juga terkandung dorongan untuk mengikhlaskan taubat, yaitu dalam firman-Nya (yang artinya) “Dan bertaubatlah kepada Allah” artinya: bukan untuk meraih tujuan selain mengharapkan wajah-Nya, seperti karena ingin terbebas dari bencana duniawi atau karena riya dan sum’ah, atau tujuan-tujuan rusak yang lainnya.” (Taisir Karim ar-Rahman, hal. 567).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: “Sesungguhnya keberuntungan yang sebenarnya berada pada (ketundukan) melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, serta dengan meninggalkan apa yang dilarang oleh keduanya, wallahu ta’ala huwal musta’aan (dan Allah-lah satu-satunya tempat meminta pertolongan).” (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, V/403).

As-Sunnah Memerintahkanmu Bertaubat

Dari Abu Hurairoh radhiallahu ‘anhu dia berkata, Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Demi Allah, sesungguhnya aku meminta ampun/beristighfar kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya dalam sehari lebih banyak dari 70 kali.” (HR. Bukhari, dinukil dari Syarah Riyadhu Shalihin, I/64)

Dari Al Agharr bin Yasar Al Muzanni radhiallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Wahai manusia, bertaubatlah kepada Allah dan minta ampunlah kepada-Nya, sesungguhnya aku ini bertaubat 100 kali dalam sehari.” (HR. Muslim, dinukil dari Syarah Riyadhu Shalihin, I/64)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Di dalam dua hadits ini terdapat dalil kewajiban bertaubat, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya, beliau bersabda (yang artinya), “Wahai manusia, bertaubatlah kepada Allah” sehingga apabila seorang insan bertaubat kepada Robbnya maka dengan sebab taubat itu akan diperoleh dua faedah:

Faidah pertama: Melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan dengan melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya (itulah) terkandung segala kebaikan. Di atas (kepatuhan) melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya itulah terdapat poros dan sumber kebahagiaan dunia dan akhirat.

Faidah kedua: Meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana beliau itu senantiasa bertaubat kepada Allah dalam sehari sebanyak 100 kali, yakni dengan mengucapkan: Atuubu ilallah, atuubu ilallah (aku bertaubat kepada Allah),…dst.” (Syarah Riyadhu Shalihin, I/65)

Beliau rahimahullah juga berkata, “Dan di dalam kedua hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling taat beribadah kepada Allah, dan memang demikianlah sifat beliau. Beliau itu adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kita, beliau orang paling bertakwa kepada Allah di antara kita, dan beliau adalah orang paling berilmu tentang Allah di antara kita, semoga sholawat dan keselamatan dari-Nya senantiasa tercurah kepada beliau. Dan di dalamnya juga terdapat dalil yang menunjukkan bahwa beliau ‘alaihis sholatu wassalam adalah sosok pengajar kebaikan dengan ucapannya dan dengan perbuatannya. Beliau senantiasa beristigfar kepada Allah dan menyuruh orang-orang agar beristigfar, sehingga mereka pun bisa meniru beliau, demi melaksanakan perintahnya dan mengikuti perbuatannya. Ini merupakan bagian dari kesempurnaan nasihat yang beliau berikan kepada umatnya, shalawatullahi wa salamuhu ‘alaihi. Maka sudah semestinya kita juga meniru beliau, apabila kita memerintahkan sesuatu maka hendaknya kita adalah orang pertama yang melaksanakan perintah ini. Dan apabila kita melarang sesuatu hendaknya kita juga menjadi orang pertama yang meninggalkannya, sebab inilah sebenarnya hakikat da’i ilallah (penyeru kepada agama Allah), bahkan inilah hakikat dakwah ilallah ‘azza wa jalla, anda lakukan apa yang anda perintahkan dan anda tinggalkan apa yang anda larang, sebagaimana Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita bertaubat dan beliau ‘alaihi shalatu wa sallam juga bertaubat (bahkan) lebih banyak daripada kita. Kita mohon kepada Allah untuk menerima taubat kami dan Anda sekalian, serta semoga Dia memberi petunjuk kepada kami dan Anda sekalian menuju jalan yang lurus. Wallahul muwaffiq (Allah lah pemberi taufiq).” (Syarah Riyadhu Shalihin, I/66)

Syarat-Syarat Diterimanya Taubat

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menyebutkan lima buah syarat yang harus dipenuhi agar taubat diterima, beliau berkata:

Syarat pertama: Ikhlas untuk Allah, yaitu orang (yang bertaubat) hendaknya mengharapkan wajah Allah ‘azza wa jalla dengan taubatnya itu dan berharap supaya Allah menerima taubatnya serta mengampuni maksiat yang telah dilakukannya, dengan taubatnya itu ia tidak bermaksud riya di hadapan manusia atau demi mendapatkan kedekatan dengan mereka, dan bukan juga semata-mata demi menyelamatkan diri dari gangguan penguasa dan pemerintah kepadanya. Tapi dia bertaubat hanya demi mengharapkan wajah Allah dan pahala di negeri akhirat dan supaya Allah memaafkan dosa-dosanya.

Syarat kedua: Menyesali perbuatan maksiat yang telah dilakukannya, sebab perasaan menyesal dalam diri seorang manusia itulah yang membuktikan dia benar/jujur dalam bertaubat, ini artinya dia menyesali apa yang telah diperbuatnya dan merasa sangat sedih karenanya, dan dia memandang tidak ada jalan keluar darinya sampai dia (benar-benar) bertaubat kepada Allah dari dosanya.

Syarat ketiga: Meninggalkan dosa yang dilakukannya itu, ini termasuk syarat terpenting untuk diterimanya taubat. Meninggalkan dosa itu maksudnya: apabila dosa yang dilakukan adalah karena meninggalkan kewajiban, maka meninggalkannya ialah dengan cara mengerjakan kewajiban yang ditinggalkannya itu, seperti contohnya: ada seseorang yang tidak membayar zakat, lalu dia ingin bertaubat kepada Allah maka dia harus mengeluarkan zakat yang dahulu belum dibayarkannya. Apabila ada seseorang yang dahulu meremehkan berbakti kepada kedua orang tua (kemudian ingin bertaubat) maka dia harus berbakti dengan baik kepada kedua orang tuanya. Apabila dia dahulu meremehkan silaturahim maka kini dia wajib menyambung silaturahim. Apabila maksiat itu terjadi dalam bentuk mengerjakan keharaman maka dia wajib bersegera meninggalkannya, dia tidak boleh meneruskannya walaupun barang sekejap. Apabila misalnya ternyata dia termasuk orang yang memakan harta riba maka wajib baginya melepaskan diri dari riba dengan cara meninggalkannya dan menjauhkan diri darinya dan dia harus menyingkirkan harta yang sudah diperolehnya dengan cara riba. Apabila maksiat itu berupa penipuan dan dusta kepada manusia dan mengkhianati amanat maka dia harus meninggalkannya, dan apabila dia telah meraup harta dengan cara haram ini maka dia wajib mengembalikan harta itu kepada pemiliknya atau meminta penghalalan kepadanya.

Apabila maksiat itu berupa ghibah/menggunjing maka dia wajib meninggalkan gunjingan terhadap manusia dan meninggalkan pembicaraan yang menjatuhkan kehormatan-kehormatan mereka. Adapun apabila dia mengatakan “Saya sudah bertaubat kepada Allah”, akan tetapi ternyata dia masih terus meninggalkan kewajiban atau masih meneruskan perbuatan yang diharamkan, maka taubat ini tidaklah diterima. Bahkan taubat seperti ini sebenarnya seolah-olah merupakan tindak pelecehan terhadap Allah ‘azza wa jalla, bagaimana engkau bertaubat kepada Allah ‘azza wa jalla sementara engkau masih terus bermaksiat kepada-Nya?!

Dalam kondisi bagaimanapun setiap insan harus meninggalkan dosa yang dia sudah bertaubat darinya, apabila dia tidak meninggalkannya maka taubatnya tertolak dan tidak akan bermanfaat baginya di sisi Allah ‘azza wa jalla. Meninggalkan dosa itu bisa berkaitan dengan hak Allah ‘azza wa jalla, maka yang demikian itu cukuplah bagimu bertaubat antara dirimu dengan Robb-mu saja, kami berpendapat tidak semestinya atau bahkan tidak boleh anda ceritakan kepada manusia perbuatan haram atau meninggalkan kewajiban yang pernah anda kerjakan. Hal itu karena dosa ini hanya terjadi antara dirimu dengan Allah. Apabila Allah sudah memberimu karunia dengan tertutupnya dosamu (dari pengetahuan manusia) dan menutupi dosamu sehingga tidak tampak di mata manusia, maka janganlah anda ceritakan kepada siapa pun apa yang sudah anda lakukan jika anda telah bertaubat kepada Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Seluruh umatku akan dimaafkan, kecuali orang-orang yang berbuat dosa secara terang-terangan” dan termasuk terang-terangan dalam berbuat dosa ialah seperti yang diceritakan di dalam hadits, “Seseorang melakukan dosa lalu pada pagi harinya dia menceritakannya kepada manusia, dia katakan, ‘Aku telah melakukan demikian dan demikian…’.”

Walaupun memang ada sebagian ulama yang mengatakan: Apabila seseorang telah melakukan suatu dosa yang terdapat hukum had padanya maka tidak mengapa dia pergi kepada imam/pemerintah yang berhak menegakkan hudud seperti kepada Amir/khalifah dan dia laporkan bahwa dia telah melakukan dosa anu dan ingin membersihkan diri dari dosa itu, meskipun ada yang berpendapat begitu maka sikap yang lebih utama adalah menutupi dosanya dalam dirinya sendiri.

Artinya dia tetap diperbolehkan menemui pemerintah apabila telah melakukan suatu maksiat yang ada hukum had padanya seperti contohnya zina, lalu dia laporkan, ‘kalau dia telah berbuat demikian dan demikian’ dalam rangka meminta penegakan hukum had kepadanya sebab had itu merupakan penebus/kaffarah atas dosa tersebut.

Adapun kemaksiatan-kemaksiatan yang lain maka tutupilah cukup di dalam dirimu, sebagaimana Allah telah menutupinya, demikian pula zina dan yang semacamnya tutuplah di dalam dirimu (kecuali jika ditujukan untuk melapor kepada pemerintah) janganlah engkau membuka kejelekan dirimu. Dengan catatan selama engkau benar-benar bertaubat kepada Allah atas dosamu maka selama itu pula Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan banyak perbuatan dosa…

Adapun syarat keempat adalah: Bertekad kuat tidak mau mengulangi perbuatan ini di masa berikutnya. Apabila engkau tetap memiliki niat untuk masih mengulanginya ketika terbuka kesempatan bagimu untuk melakukannya, maka sesungguhnya taubat itu tidak sah. Contohnya: ada seseorang yang dahulu menggunakan harta untuk bermaksiat kepada Allah –wal ‘iyaadzu billah-: yaitu dengan membeli minuman-minuman yang memabukkan, dia melancong ke berbagai negeri demi melakukan perzinaan –wal ‘iyaadzu billah– dan untuk bermabuk-mabukan!! Lalu dia pun tertimpa kemiskinan (hartanya habis) dan mengatakan: “Ya Allah sesungguhnya aku bertaubat kepadamu” padahal sebenarnya dia itu dusta, di dalam niatnya masih tersimpan keinginan apabila urusan (harta) nya sudah pulih seperti kondisi semula maka dia akan melakukan perbuatan dosanya yang semula.

Ini adalah taubat yang bobrok, engkau (mengaku) bertaubat atau tidak bertaubat (sama saja) karena engkau bukanlah termasuk orang yang mampu bermaksiat (ini yang tertulis di kitab aslinya, tapi mungkin maksudnya adalah engkau bukan termasuk orang yang serius meninggalkan maksiat, wallahu a’lam -pent), sebab memang ada sebagian orang yang tertimpa pailit lalu mengatakan “Aku telah meninggalkan dosa-dosaku” tetapi di dalam hatinya berbisik keinginan kalau hartanya yang lenyap sudah kembali maka dia akan kembali melakukan maksiat itu untuk kedua kalinya, maka ini adalah taubat yang tidak diterima.

Syarat kelima: Engkau berada di waktu taubat masih bisa diterima, apabila ada seseorang yang bertaubat di waktu taubat sudah tidak bisa diterima lagi maka saat itu taubat tidak lagi bermanfaat. Hal itu ada dua macam: Macam yang pertama dilihat dari sisi keadaan setiap manusia. Macam kedua dilihat dari sisi keumuman.

Adapun ditinjau dari sudut pandang pertama, maka taubat itu harus sudah dilakukan sebelum datangnya ajal (yakni kematian) sehingga apabila ia terjadi setelah ajal menjemput maka ia tidak akan bermanfaat bagi orang yang bertaubat itu, ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّى إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الآنَ

“Dan tidaklah Taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: ‘Sesungguhnya saya bertaubat sekarang.’” (Qs. An Nisaa’: 18), mereka itu sudah tidak ada lagi taubat baginya.

Dan Allah ta’ala berfirman:

فَلَمَّا رَأَوْا بَأْسَنَا قَالُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَحْدَهُ وَكَفَرْنَا بِمَا كُنَّا بِهِ مُشْرِكِينَ فَلَمْ يَكُ يَنفَعُهُمْ إِيمَانُهُمْ لَمَّا رَأَوْا بَأْسَنَا سُنَّتَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ فِي عِبَادِهِ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْكَافِرُونَ

“Maka tatkala mereka melihat azab kami, mereka berkata: ‘Kami beriman Hanya kepada Allah saja, dan kami kafir kepada sembahan-sembahan yang Telah kami persekutukan dengan Allah.’ Maka iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkala mereka Telah melihat siksa kami. Itulah sunnah Allah yang Telah berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. dan di waktu itu binasalah orang-orang kafir.” (Qs. Al Mu’min: 84-85)

Maka seorang insan apabila sudah berhadapan dengan maut dan ajal sudah mendatanginya ini berarti ia sudah hampir terputus dari kehidupannya maka taubatnya itu tidak berada pada tempat yang semestinya! Sesudah dia berputus asa untuk bisa hidup lagi dan mengetahui dia tidak bisa hidup untuk seterusnya maka dia pun baru mau bertaubat! Ini adalah taubat di saat terjepit, maka tidaklah itu bermanfaat baginya, dan tidak akan diterima taubatnya, sebab seharusnya taubat itu dilakukannya sejak dahulu (ketika masih hidup normal, bukan di ambang ajal -pent).

Macam yang kedua: yaitu dilihat dari sudut pandang keadaan umum (seluruh manusia -pent), sesungguhnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa, “Hijrah (berpindah dari negeri kafir menuju negeri muslim -pent) tidak akan pernah terputus hingga terputusnya (kesempatan) taubat, dan (kesempatan) taubat itu tidak akan terputus hingga matahari terbit dari sebelah barat.” Sehingga apabila matahari sudah terbit dari sebelah barat, maka di saat itu taubat sudah tidak bermanfaat lagi bagi siapa pun. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لاَ يَنفَعُ نَفْساً إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِن قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْراً قُلِ انتَظِرُواْ إِنَّا مُنتَظِرُونَ

“Pada hari datangnya sebagian ayat dari Tuhanmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah: ‘Tunggulah olehmu Sesungguhnya kamipun menunggu (pula).’” (Qs. Al An’aam: 158). Sebagian ayat yang dimaksud di sini adalah terbitnya matahari dari arah barat sebagaimana hal itu telah ditafsirkan sendiri oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dengan demikian maka taubat itu hanya akan diterima di saat mana taubat masih bisa diterima, jika tidak berada dalam kondisi seperti itu maka sudah tidak ada (kesempatan) taubat lagi bagi manusia.” (Syarah Riyadhu Shalihin, I/57-61 dengan diringkas)

Sambutlah Surga Dengan Taubatan Nasuha

Allah ta’ala menjanjikan balasan yang sangat agung bagi mereka yang bertaubat kepada-Nya dengan taubatan nasuha. Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحاً عَسَى رَبُّكُمْ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Robb-mu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan nabi dan orang-orang mukmin yang bersama Dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: ‘Ya Robb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah Kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.’” (Qs. At Tahriim: 8)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata tentang makna taubatan nasuha, “Yang dimaksud dengannya adalah taubat yang umum yang meliputi seluruh dosa, taubat yang dijanjikan hamba kepada Allah, dia tidak menginginkan apa-apa kecuali wajah Allah dan kedekatan kepada-Nya, dan dia terus berpegang teguh dengan taubatnya itu dalam semua kondisinya.” (Taisir Karim ar-Rahman, hal. 874)

Ibnu Jarir berkata dengan membawakan sanadnya sampai Nu’man bin Basyir, beliau (Nu’man) pernah mendengar ‘Umar bin Khaththab berkata (membaca ayat):

ا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحا

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).”

Beliau (Umar) berkata: “(yaitu orang) yang berbuat dosa kemudian tidak mengulanginya.”

Ats Tsauri mengatakan: “Dari Samak dari Nu’man dari ‘Umar, beliau pernah berkata: ‘Taubat yang murni adalah (seseorang) bertaubat dari dosanya kemudian dia tidak mengulanginya dan tidak menyimpan keinginan untuk mengulanginya.’” Abul Ahwash dan yang lainnya mengatakan, dari Samak dari Nu’man: “Bahwa Umar pernah ditanya tentang (makna) taubatan nasuha, maka beliau menjawab: ‘Seseorang bertaubat dari perbuatan buruknya kemudian tidak mengulanginya lagi untuk selama-lamanya.’” (Lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim karya Imam Ibnu Katsir, VI/134).

Ibnu Abi Hatim mengatakan dengan membawakan sanadnya sampai ‘Ubay bin Ka’ab, beliau (Ubay) berkata, “Diceritakan kepada kami (para sahabat) berbagai perkara yang akan terjadi di akhir umat ini ketika mendekati waktu terjadinya hari kiamat, di antara kejadian itu adalah: seorang lelaki yang menikahi istri atau budaknya di duburnya, dan hal itu termasuk perbuatan yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya, yang dimurkai oleh Allah dan Rasul-Nya, dan di antaranya juga seorang lelaki yang menikahi lelaki, dan hal itu termasuk perbuatan yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya yang dimurkai oleh Allah dan Rasul-Nya, dan di antaranya lagi seorang perempuan yang menikahi perempuan, dan hal itu termasuk perbuatan yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya, yang dimurkai oleh Allah dan Rasul-Nya, dan bagi mereka itu semua tidak ada sholat selama mereka tetap mengerjakan dosa-dosa ini sampai mereka bertaubat kepada Allah dengan taubatan nasuha.” (Lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, VI/135)

Sebab-Sebab Meraih Ampunan

Allah ta’ala berfirman,

وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِّمَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحاً ثُمَّ اهْتَدَى

“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar.” (Qs. Thahaa: 82)

Syaikh Abdur-Rahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah menyebutkan ada 4 sebab yang akan memudahkan hamba meraih ampunan dari Allah, beliau mengatakan setelah menyebutkan ayat di atas, “Dengan ayat ini Allah telah merinci sebab-sebab yang bisa ditempuh untuk menggapai maghfirah/ampunan dari Allah.

Yang pertama, taubat, yaitu kembali dari segala yang dibenci Allah; baik lahir maupun batin, menuju segala yang dicintai-Nya; baik lahir maupun batin, taubat itulah yang akan menutupi dosa-dosa yang pernah dilakukan sebelumnya; yang kecil maupun yang besar.

Kedua, iman, yaitu pengakuan dan pembenaran yang kokoh dan menyeluruh terhadap semua berita yang disampaikan Allah dan Rasul-Nya, yang menuntut berbagai amalan hati, kemudian harus diikuti dengan amalan anggota badan. Dan tidak perlu diragukan lagi bahwa keimanan kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rosul-Nya dan hari akhir yang tidak disertai keraguan di dalam hati merupakan landasan pokok ketaatan, bagian terbesar darinya bahkan (iman itulah) yang menjadi asasnya. Dan tak perlu disangsikan lagi bahwa hal itu akan mampu menolak berbagai keburukan sesuai kadar kekuatan imannya, iman (seseorang) akan bisa menolak dosa yang belum terjadi dengan menahan dirinya dari terjatuh ke dalamnya, dan bisa menolak dosa yang sudah terlanjur terjadi dengan cara melakukan apa yang bisa meniadakannya dan menjaga hatinya dari ajakan meneruskan perbuatan dosa, karena sesungguhnya orang yang beriman itu di dalam relung hatinya terdapat keimanan dan cahayanya yang tidak akan mau menyatu dengan kemaksiatan-kemaksiatan.

Ketiga, amal shalih, ini mencakup amalan hati, amalan anggota badan dan ucapan lisan, dan kebaikan-kebaikan (hasanaat) itulah yang akan menghilangkan keburukan-keburukan (sayyi’aat).

Keempat, konsisten (terus menerus) berada di atas keimanan dan hidayah serta terus berupaya meningkatkannya, barang siapa menyempurnakan keempat sebab ini maka berilah berita gembira kepadanya dengan maghfirah dari Allah yang menyeluruh dan sempurna. Oleh sebab inilah Allah menggunakan bentuk sifat mubalaghah (kata yang menunjukkan makna sangat berlebihan -pent), Allah berfirman,

وَإِنِّي لَغَفَّارٌ

“Sesungguhnya Aku Maha pengampun (Ghaffaar).” (Qs. Thahaa: 82)….”

(Dinukil dengan sedikit penyesuaian dari Taisir Lathif al-Mannan fi Khulashati Tafsir al-Qur’an, hal. 263-264).

رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya Pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (Qs. Al A’raaf: 23)

Ikhtitam

Kepada semua orang yang pernah berjasa kepadaku semoga Allah membalas kebaikan kalian dengan balasan kebaikan yang sebesar-besarnya, dan kepada semua orang yang pernah terzalimi sudilah kiranya memaafkan kesalahan-kesalahanku, semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua, semoga Allah mempertemukan kita di hari kiamat kelak sebagai sahabat di dalam jannah-Nya, Jannatul Firdaus, aamiin Yaa Robbal ‘aalamiin.

Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallama tasliman katsiran. Wa akhiru da’wanaa anil hamdulillahi Robbil ‘aalamiin.

11 Dzulhijjah 1426 H

***

Bercanda Yang Dianggap Serius

Bercanda Yang Dianggap Serius 

Orang yang serius (jaad) adalah orang yang mengucapkan talak dengan ucapan dan benar-benar memaksudkan (meniatkan) untuk mentalak. Sedangkan orang yang bercanda (hazil) memaksudkan ucapan talaknya dengan ucapan, namun tidak benar-benar meniatkan untuk mentalak. Seperti ucapan ketika bercanda dengan istri, “Saya talak (ceraikan) kamu”. Padahal ucapan itu hanya bercanda atau main-main. Apakah talak dari orang yang bercanda sama dengan orang yang serius?

Menurut mayoritas ulama, siapa yang mengucapkan kata “talak” (cerai) walau dalam keadaan bercanda atau main-main asalkan lafazh talak tersebut keluar shorih (tegas), maka talak tersebut jatuh jika yang mengucapkan talak tersebut baligh (dewasa) dan berakal. Sehingga tidak ada alasan jika ada yang berucap, “Saya kan hanya bergurau”, atau “Saya kan hanya main-main”. Meskipun ketika itu ia juga tidak berniat untuk mentalak istrinya.

Dalil yang mendukung pernyataan di atas adalah sebagai berikut:

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ وَلَا تَتَّخِذُوا آَيَاتِ اللَّهِ هُزُوًا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ

“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah)” (QS. Al Baqarah: 231).

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ وَالرَّجْعَةُ

“Tiga perkara yang serius dan bercandanya sama-sama dianggap serius: (1) nikah, (2) talak, dan (3) rujuk”.[1]

Bahkan para ulama sepakat akan sahnya talak dari orang yang bercanda, bergurau atau sekedar main-main, asalkan ia memaksudkan tegas dengan lafazh talak.[2]

Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Para ulama dari yang saya ketahui berijma’ (sepakat) bahwa talak yang diucapkan serius maupun bercanda adalah sama saja (tetap jatuh talak)”.[3]

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Orang yang mentalak dalam keadaan ridho, marah, serius maupun bercanda, talaknya teranggap”.[4]

Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah berkata, “Talak dengan ucapan tegas tidak diperlukan adanya niat. Bahkan talak tersebut jatuh walau tanpa disertai niat. Tidak ada beda pendapat dalam masalah ini. Karena yang teranggap di sini adalah ucapan dan itu sudah cukup walau tak ada niat sedikit pun selama lafazh talaknya tegas (shorih) seperti dalam jual beli, baik ucapan tadi hanyalah gurauan atau serius”.[5]

Talak dalam keadaan bercanda dikatakan jatuh talak disebabkan karena talak adalah suatu perkara yang besar berkaitan dengan kehormatan wanita dan ia adalah manusia yang merupakan semulia-mulianya makhluk di sisi Allah. Sehingga tidak pantas seorang melanggar harga diri orang lain dengan bergurau.[6]

Bahasan ini menunjukkan pula bagaimana kita harus menjaga lisan dengan baik. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا، أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik dan jika tidak maka diamlah”.[7]

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Pendapat yang mengatakan jatuhnya talak bagi orang bergurau ada manfaat di dalamnya. Hal ini akan meredam tingkah laku orang yang sering bercanda. Jika seseorang tahu bahwa bermain-main dengan talak dan semacamnya bisa teranggap, tentu ia tidak akan nekat bergurau seperti itu selamanya. Sebagian ulama ada yang berpendapat tidak teranggapnya talak dari orang yang bercanda. Pendapat ini lebih akan mengantarkan seseorang untuk bermain-main dengan ayat-ayat Allah”.[8]

Semoga dengan mengetahui hal ini kita lebih hati-hati lagi dalam berucap, walau hanya sekedar bercanda atau bersandiwara dengan istri, maka tetap jatuh talak, meskipun itu hanya bercanda atau bergurau.

Wabillahit taufiq.

  1. Risalah Talak (1), Hukum dan Macam Talak.
  2. Risalah Talak (2), Syarat Talak.
  3. Risalah Talak (3), Talak dalam Keadaan Mabuk.
  4. Risalah Talak (4), Talak dalam Keadaan Marah.
  5. Risalah Talak (5), Talak Ketika Dahulu Kafir.

[1] HR. Abu Daud no. 2194, At Tirmidzi no. 1184 dan Ibnu Majah no. 2039. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan

[2] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, terbitan Kementrian Agama Kuwait, 29: 16.

[3] Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, tahqiq: ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin At Turki dan ‘Abdul Fatah Muhammad Al Halwu, terbitan ‘Alam Al Kutub, cetakan ketiga, 1417 H, 10: 373.

[4] Al Majmu’, Yahya bin Syarf An Nawawi, keluaran Mawqi’ Ya’sub, 17: 68.

[5] Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, tahqiq: ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin At Turki dan ‘Abdul Fatah Muhammad Al Halwu, terbitan ‘Alam Al Kutub, cetakan ketiga, 1417 H, 10: 372-373.

[6] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, terbitan Kementrian Agama Kuwait, 29: 16.

[7] HR. Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 47.

[8] Syarhul Mumthi’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, 1428 H, 13: 64.

Popularitas Dan Ketenaran

Popularitas Dan Ketenaran 

Sebagian orang mungkin sengaja mencari popularitas dan ketenaran. Sebagian manusia memang ada yang sangat cinta dengan ketenaran dan popularitas. Ada yang mencarinya dengan prestasinya dan ilmunya sehingga manfaatnya dirasakan oleh orang banyak dan iapun menjadi terkenal. Ada juga yang mencari ketenaran dengan melakukan hal-hal yang sangat aneh, atau sangat konyol atau sangat ekstrim. Untuk orang seperti ini, tidak perlu terlalu dipedulikan, diberitakan dan disebarkan keanehan dan kekonyolannya.

Oang Arab berkata:

ﺑﺎﻝ ﻓﻲ ﺯﻣﺰﻡ ﻟﻴﺸﺘﻬﺮ

“Dia mengencingi sumur Zam-zam agar terkenal”

Atau

“Stop making stupid people famous”

Perlu diketahui bahwa bimbingan Islam adalah sebaliknya, yaitu hendaknya kita menghindari atau menjauhi sebiasa mungkin untuk menjadi tenar atau populer. Ketenaran ini bisa merampas “Kemerdekaan” diri. Dalam artian kita tidak lagi punya privasi yang lebih, di mana-mana akan diperhatikan orang, di mana-mana akan doa sorot orang dan tingkah laku kita bisa jadi diperbincangkan. Inilah yang disebut berkurangnya atau hilangnya “kemerdekaan diri”.

Bisa juga ketenaran akan perlahan-lahan menyeret kita dalam ketidakikhlasan dalam beramal. Setiap melakukan suatu kebaikan, bisa saja kita terdorong untuk memamerkan dan memperlihatkan amalan kita agar kita semakin terkenal. Padahal perkara ikhlas dan niat ini sangat berat.

Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata,

ما عالجت شيئا أشد علي من نيتي ؛ لأنها تتقلب علي

“Tidaklah aku berusaha untuk mengobati sesuatu yang lebih berat daripada meluruskan niatku, karena niat itu senantiasa berbolak balik”[1]

Mendewakan dan memburu ketenaran, bagaikan semut yang melihat genangan madu, terpukau. Semakin ia meraihnya ke tengah semakin tenggelam dalam genangan madu

Para penuntut ilmu dan orang shalih bisa jadi juga tidak terlepas dari penyakit ini.Asy-Syathibi rahimahullah berkata,

آخر الأشياء نزولا من قلوب الصالحين : حب السلطة والتصدر!

“Hal yang paling terakhir luntur dari hatinya orang-orang shalih: cinta kekuasaan dan cinta eksistensi (popularitas)”[2]

Akan tetapi jika ketenaran itu datang tanpa dicari maka tidak mengapa dan tidak tercela.

Al-Ghazali rahimahullah mengatakan,

“Yang tercela adalah apabila seseorang mencari ketenaran. Namun jika ia tenar karena karunia Allah tanpa ia cari-cari, maka itu tidaklah tercela.”

Hendaknya kita tidak terlalu bangga dengan amal kita, ini yang membuat kita merasa sudah pantas terkenal, padahal amal kita sangat sedikit dan itupun belum tentu diterima.

Allah berfirman,

ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﺆْﺗُﻮﻥَ ﻣَﺎ ﺁﺗَﻮْﺍ ﻭَﻗُﻠُﻮﺑُﻬُﻢْ ﻭَﺟِﻠَﺔٌ

“ Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut.” (QS. Al Mu’minun: 60)

‘Aisyah menjelaskan terkair ayat ini yaitu maksud dari “hati yang takut” adalah khawatir amalannya tidak diterima, beliau mengatakan,

ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ‏( ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﺆْﺗُﻮﻥَ ﻣَﺎ ﺁﺗَﻮْﺍ ﻭَﻗُﻠُﻮﺑُﻬُﻢْ ﻭَﺟِﻠَﺔٌ ‏) ﺃَﻫُﻮَ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﺍﻟَّﺬِﻯ ﻳَﺰْﻧِﻰ ﻭَﻳَﺴْﺮِﻕُ ﻭَﻳَﺸْﺮَﺏُ ﺍﻟْﺨَﻤْﺮَ ﻗَﺎﻝَ ‏« ﻻَ ﻳَﺎ ﺑِﻨْﺖَ ﺃَﺑِﻰ ﺑَﻜْﺮٍ – ﺃَﻭْ ﻳَﺎ ﺑِﻨْﺖَ ﺍﻟﺼِّﺪِّﻳﻖِ – ﻭَﻟَﻜِﻨَّﻪُ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﻳَﺼُﻮﻡُ ﻭَﻳَﺘَﺼَﺪَّﻕُ ﻭَﻳُﺼَﻠِّﻰ ﻭَﻫُﻮَ ﻳَﺨَﺎﻑُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﻳُﺘَﻘَﺒَّﻞَ ﻣِﻨْﻪُ ‏»

“Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksudkan dalam ayat “ Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut”, adalah orang yang berzina, mencuri dan meminum khomr?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab, “ Wahai putri Ash Shidiq (maksudnya Abu Bakr Ash Shidiq, pen)! Yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah seperti itu. Bahkan yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah orang yang yang berpuasa, yang bersedekah dan yang shalat, namun ia khawatir amalannya tidak diterima. ”[3]

Mari lihat contoh seorang tabi’in terbaik yaitu Uwais Al-Qarni yang Umar bin Khattab meminta agar Uwais mendoakan Umar. Uwais Al-Qarni memilih untuk tidak terkenal dan dikenal manusia. Perhatikan kisah berikut,

Apabila kafilah dari Yaman datang, ‘Umar bin Khaththab bertanya kepada mereka: “Adakah di antara kalian Uwais bin ‘Amir?” Sehingga suatu saat ‘Umar mendatangi Uwais dan minta agar Uwais memintakan ampun untuknya, karena Uwais adalah seorang tabi’in yang sangat berbakti kepada ibunya, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa jika Uwais berdo’a, do’anya pasti dikabulkan, maka Uwaispun melakukan apa yang diminta ‘Umar.

Kemudian Umar bertanya kepada Uwais: “Anda mau pergi kemana?”

Uwais menjawab: “Kufah”,

Umar bertanya: “Perlukah saya tulis untukmu sebuah memo kepada pegawai saya di Kufah (agar dia memenuhi kebutuhanmu -pen)?
Ia menjawab: Aku lebih senang menjadi manusia yang tidak diperhitungkan “.[4]

Sebagai renungan bagi kita, perhatikan kisah dalam hadits di mana ada orang yang pertama kali di siksa di neraka, yaitu mereka yang beramal denga tujuan riya’ dan agar terkenal di antara manusia.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

ﺇِﻥَّ ﺃَﻭَّﻝَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻳُﻘْﻀَﻰ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺭَﺟُﻞٌ ﺍﺳْﺘُﺸْﻬِﺪَ، ﻓَﺄُﺗِﻲَ ﺑِﻪِ ﻓَﻌَﺮَّﻓَﻪُ ﻧِﻌَﻤَﻪُ ﻓَﻌَﺮَﻓَﻬَﺎ، ﻗَﺎﻝَ : ﻓَﻤَﺎ ﻋَﻤِﻠْﺖَ ﻓِﻴﻬَﺎ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﻗَﺎﺗَﻠْﺖُ ﻓِﻴﻚَ ﺣَﺘَّﻰ ﺍﺳْﺘُﺸْﻬِﺪْﺕُ، ﻗَﺎﻝَ : ﻛَﺬَﺑْﺖَ، ﻭَﻟَﻜِﻨَّﻚَ ﻗَﺎﺗَﻠْﺖَ ﻟِﺄَﻥْ ﻳُﻘَﺎﻝَ : ﺟَﺮِﻱﺀٌ، ﻓَﻘَﺪْ ﻗِﻴﻞَ، ﺛُﻢَّ ﺃُﻣِﺮَ ﺑِﻪِ ﻓَﺴُﺤِﺐَ ﻋَﻠَﻰ ﻭَﺟْﻬِﻪِ ﺣَﺘَّﻰ ﺃُﻟْﻘِﻲَ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ، ﻭَﺭَﺟُﻞٌ ﺗَﻌَﻠَّﻢَ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢَ، ﻭَﻋَﻠَّﻤَﻪُ ﻭَﻗَﺮَﺃَ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ، ﻓَﺄُﺗِﻲَ ﺑِﻪِ ﻓَﻌَﺮَّﻓَﻪُ ﻧِﻌَﻤَﻪُ ﻓَﻌَﺮَﻓَﻬَﺎ، ﻗَﺎﻝَ : ﻓَﻤَﺎ ﻋَﻤِﻠْﺖَ ﻓِﻴﻬَﺎ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﺗَﻌَﻠَّﻤْﺖُ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢَ، ﻭَﻋَﻠَّﻤْﺘُﻪُ ﻭَﻗَﺮَﺃْﺕُ ﻓِﻴﻚَ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ، ﻗَﺎﻝَ : ﻛَﺬَﺑْﺖَ، ﻭَﻟَﻜِﻨَّﻚَ ﺗَﻌَﻠَّﻤْﺖَ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢَ ﻟِﻴُﻘَﺎﻝَ : ﻋَﺎﻟِﻢٌ، ﻭَﻗَﺮَﺃْﺕَ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ ﻟِﻴُﻘَﺎﻝَ : ﻫُﻮَ ﻗَﺎﺭِﺉٌ، ﻓَﻘَﺪْ ﻗِﻴﻞَ، ﺛُﻢَّ ﺃُﻣِﺮَ ﺑِﻪِ ﻓَﺴُﺤِﺐَ ﻋَﻠَﻰ ﻭَﺟْﻬِﻪِ ﺣَﺘَّﻰ ﺃُﻟْﻘِﻲَ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ، ﻭَﺭَﺟُﻞٌ ﻭَﺳَّﻊَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ، ﻭَﺃَﻋْﻄَﺎﻩُ ﻣِﻦْ ﺃَﺻْﻨَﺎﻑِ ﺍﻟْﻤَﺎﻝِ ﻛُﻠِّﻪِ، ﻓَﺄُﺗِﻲَ ﺑِﻪِ ﻓَﻌَﺮَّﻓَﻪُ ﻧِﻌَﻤَﻪُ ﻓَﻌَﺮَﻓَﻬَﺎ، ﻗَﺎﻝَ : ﻓَﻤَﺎ ﻋَﻤِﻠْﺖَ ﻓِﻴﻬَﺎ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﻣَﺎ ﺗَﺮَﻛْﺖُ ﻣِﻦْ ﺳَﺒِﻴﻞٍ ﺗُﺤِﺐُّ ﺃَﻥْ ﻳُﻨْﻔَﻖَ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺇِﻟَّﺎ ﺃَﻧْﻔَﻘْﺖُ ﻓِﻴﻬَﺎ ﻟَﻚَ، ﻗَﺎﻝَ : ﻛَﺬَﺑْﺖَ، ﻭَﻟَﻜِﻨَّﻚَ ﻓَﻌَﻠْﺖَ ﻟِﻴُﻘَﺎﻝَ : ﻫُﻮَ ﺟَﻮَﺍﺩٌ، ﻓَﻘَﺪْ ﻗِﻴﻞَ، ﺛُﻢَّ ﺃُﻣِﺮَ ﺑِﻪِ ﻓَﺴُﺤِﺐَ ﻋَﻠَﻰ ﻭَﺟْﻬِﻪِ، ﺛُﻢَّ ﺃُﻟْﻘِﻲَ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭ

Orang yang pertama kali disidang pada hari kiamat adalah seorang laki-laki yang mati dalam peperangan. Lalu dia didatangkan, kemudian Allah memperlihatkan kepadanya nikmat-nikmatNya, maka dia pun mengakuinya. Allah berkata, “Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat itu?” Orang tersebut menjawab, “Aku telah berperang di jalan-Mu sampai aku mati syahid.” Allah berkata, “Engkau telah berdusta, akan tetapi engkau melakukan itu supaya disebut sebagai seorang pemberani dan ucapan itu telah diucapkan (oleh manusia).”

Kemudian diperintahkan agar orang tersebut dibawa, maka dia diseret dengan wajahnya, sampai dia pun dilemparkan di neraka. Kemudian ada orang yang belajar agama dan mengajarkannya, serta membaca Al Qur’an. Lalu orang itu didatangkan, lalu Allah memperlihatkan nikmat-Nya dan orang itu pun mengakuinya. Allah berkata, “Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat itu?” Orang itu menjawab, “Aku telah belajar agama, mengajarkannya dan aku telah membaca Al Qur’an.” Allah berkata, “Engkau dusta, akan tetapi engkau belajar agama supaya disebut orang alim dan engkau membaca Al Quran supaya disebut qari’ dan ucapan itu telah dilontarkan.”

Kemudian diperintahkan agar orang tersebut dibawa, maka dia pun diseret dengan wajahnya (terjerembab di tanah) sampai dia pun dilemparkan di neraka.

Kemudian ada seorang laki-laki yang diberikan kelapangan oleh Allah dan menganugerahinya segala macam harta. Lalu dia pun didatangkan, lalu Allah memperlihatkan nikmat-Nya itu dan orang itu pun mengenalinya. Allah berkata, “Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat itu?” Orang itu menjawab, “Aku tidak meninggalkan satu jalan pun sebagai peluang untuk berinfak melainkan aku berinfak di situ semata-mata karena-Mu.” Allah berkata, “Engkau dusta, akan tetapi engkau melakukan seperti itu supaya disebut dermawan dan ucapan itu telah dilontarkan.” Maka orang itu diperintahkan untuk dibawa, lalu dia pun diseret dengan wajahnya (terjerembab di tanah), kemudian dia dilemparkan di neraka. [5]

Semoga kita selamat dari ujian ketenaran.

Catatan kaki:

[1] Jami’ Al-‘ulum wal hikam hal. 21, Darul Aqidah, Koiro, cet.I, 1422 H
[2] Al-I’tisham Asy-Syathibi
[3] HR. Tirmidzi dan Ahmad, dishahihkan Hakim dan disetujui oleh Dzahabi
[4] HR. Muslim
[5] HR Muslim

Keutamaan Dzikir

Keutamaan Dzikir 

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ بُسْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ أَعْرَابِيًّا قَالَ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ شَرَائِعَ الْإسْلَامِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيَّ ، فَأَنْبِئْنِيْ مِنْهَا بِشَيْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ ؟ قَالَ : لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللهِ

Dari ‘Abdullâh bin Busr Radhiyallahu anhu berkata, “Seorang Badui datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata, ‘Wahai Rasûlullâh, sesungguhnya syariat-syariat Islam sudah banyak pada kami. Beritahukanlah kepada kami sesuatu yang kami bisa berpegang teguh kepadanya ?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Hendaklah lidahmu senantiasa berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla”

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya (IV/188, 190); at-Tirmidzi (no. 3375). Beliau berkata, “Hadits ini hasan gharib.”; Ibnu Majah (no. 3793) dan lafazh ini miliknya. Ibnu Abi Syaibah (X/89, no. 29944); Al-Baihaqi (III/371)

Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibbân (no. 811-at-Ta’lîqâtul Hisân) dan al-Hâkim (I/495) dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Dishahihkan juga oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîhul Jâmi’is Shaghîr (no. 7700), Shahîh al-Kalimut Thayyib (no. 3), dan Shahîhut Targhîb wat Tarhîb (no. 1491)

 SYARAH HADITS
Ibnu Hibban[1] meriwayatkan hadits ini dalam shahihnya dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ‘Amal apakah yang  paling dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla ?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Engkau mati dalam keadaan lidahmu basah karena berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla .’”

Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kaum Mukminin untuk banyak berdzikir kepada-Nya dan Allâh memuji orang-orang yang banyak berdzikir. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا ﴿٤١﴾ وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا

Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah kepada Allâh, dengan mengingat (nama-Nya) sebanyak-banyaknya, dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.” [al-Ahzâb/33:41-42]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman, yang artinya, “… Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allâh, Allâh telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.“[al-Ahzâb/33:35]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

سَبَقَ الْمُفَرِّدُوْنَ قَالُوْا: وَمَا الْمُفَرِّدُوْنَ  يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ: اَلذَّاكِرُوْنَ اللهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتُ

“al-Mufarridûn telah mendahului.” Para sahabat berkata, “Siapa al-Mufarridûn wahai Rasûlullâh?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kaum laki-laki dan perempuan yang banyak berdzikir kepada Allâh.”[2]

Dari hadits di atas, terlihatlah makna al-mufarridun, yaitu orang yang terus-menerus berdzikir kepada Allâh dan menyukainya. Orang yang banyak berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla dengan ikhlas karena Allâh Azza wa Jalla , mengikuti contoh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hatinya ingat kepada Allâh Azza wa Jalla dan batas-batas-Nya, maka dia termasuk orang yang bertakwa. Sahabat ‘Abdullâh bin Mas’ud Radhiyallahu anhu telah menjelaskan makna takwa ini pada saat beliau menafsirkan firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kalian kepada Allâh dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya…” [ Ali ‘Imrân/3:102]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :

أَنْ يُطَاعَ فَلاَ يُعْصَى ، وَأَنْ يُذْكَرَ فَلاَ يُنْسَى ، وَأَنْ يُشْكَرَ فَلاَ يُكْفَرَ

Hendaklah Allâh itu ditaati dan tidak dimaksiati, diingat dan tidak dilupakan, serta disyukuri dan tidak dikufuri.[3]

Contoh teladan kita adalah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla dalam setiap keadaannya. Aisyah Radhiyallahu anhu berkata :

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ

Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengingat Allâh dalam setiap keadaannya.[4]

Salah seorang dari tujuh orang yang dinaungi Allâh Azza wa Jalla dalam naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan selain naungan-Nya diantaranya ialah orang yang berdzikir kepada Allâh di saat sendirian kemudian berlinanglah air matanya.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

… وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ …

“… Dan seorang laki-laki yang berdzikir kepada Allâh di saat sendirian kemudian berlinanglah air matanya …”[5]

Hati orang-orang yang mencintai Allâh Azza wa Jalla tidak akan tenang kecuali dengan dzikir kepada-Nya dan jiwa orang-orang yang rindu kepada-Nya tidak tenang kecuali ingin berjumpa dengan-Nya. Allâh Azza wa Jalla memerintahkan untuk berdzikir kepada-Nya dalam setiap keadaan dan memuji orang-orang yang berdzikir. Allâh Azza wa Jalla yang artinya, “(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allâh sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Rabb kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari adzab neraka.’” [Ali ‘Imrân/3:191]

Bahkan Allâh Azza wa Jalla memerintahkan untuk berdzikir dalam jihad, berperang menghadapi musuh. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu bertemu pasukan (musuh), maka berteguh hatilah dan sebutlah (nama) Allâh banyak-banyak (berzikir dan berdo’a) agar kamu beruntung.” [al-Anfâl/8:45]

Allâh Azza wa Jalla juga memerintahkan dzikir sesudah shalat :

فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ

Selanjutnya, apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allâh ketika kamu berdiri, pada waktu duduk dan ketika berbaring…” [an-Nisâ’/4:103]

Yang dimaksud shalat pada ayat ini adalah shalat khauf (shalat pada saat takut). Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla berfirman :

فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ ۚ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

…Kemudian, apabila kamu telah merasa aman, maka laksanakanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sungguh shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” [an-Nisâ/4:103]

Allâh Azza wa Jalla juga memerintahkan berdzikir sesudah melaksanakan ibadah haji. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka berdzikirlah (dengan menyebut) Allâh, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu…” [al-Baqarah/2:200]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan juga berdzikir ketika kita sedang duduk atau berada di majelis,

مَنْ قَعَدَ مَقْعَدًا لَمْ يَذْكُرِ اللهَ فِيْهِ كَانَتْ عَلَيْهِ مِنَ اللهِ تِرَةٌ وَمَنِ اضْطَجَعَ مَضْجَعًا لاَ يَذْكُرُ الله فِيْهِ كَانَتْ عَلَيْهِ مِنَ اللهِ تِرَةٌ

Barangsiapa duduk di suatu tempat, lalu tidak berdzikir kepada Allâh di dalamnya, pastilah dia mendapatkan kerugian dari Allâh, dan  barangsiapa yang berbaring dalam suatu tempat lalu tidak berdzikir kepada Allâh, pastilah mendapatkan kerugian dari Allâh.[6]

مَا جَلَسَ قَوْمٌ مَجْلِسًا لَمْ يَذْكُرُ اللهَ فِيْهِ ، وَلَمْ يُصَلُّوْا عَلَى نَبِيِّهِمْ إِلاَّ كَانَ عَلَيْهِمْ تِرَةً ، فَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُمْ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَلَهُمْ.

Apabila suatu kaum duduk di majelis, lantas tidak berdzikir kepada Allâh dan tidak membaca shalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , pastilah ia menjadi kekurangan dan penyesalan mereka. Maka jika Allâh menghendaki, Dia akan menyiksa mereka dan jika menghendaki, Dia akan mengampuni mereka.”[7]

مَامِنْ قَوْمٍ يَقُوْمُوْنَ مِنْ مَجْلِسٍ لاَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ فِيْهِ إِلاَّ قَامُوْا عَنْ مِثْلِ جِيْفَةِ حِمَارٍ وَكَانَ لَهُمْ حَسْرَةً

Setiap kaum yang bangkit dari suatu majelis yang mereka tidak berdzikir kepada Allâh di dalamnya, maka selesainya majelis itu seperrti bangkai keledai dan hal itu menjadi penyesalan mereka (di hari Kamat).[8]

Allâh Azza wa Jalla juga memerintahkan berdzikir dengan dzikir yang banyak pada saat mencari nafkah dan sesudah shalat jum’at. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allâh dan ingatlah Allâh banyak-banyak agar kamu beruntung.” [al-Jumu’ah/62:10]

Pada ayat ini, Allâh Azza wa Jalla menggabungkan antara usaha mencari karunia (mencari nafkah) dengan banyak dzikir kepada-Nya. Oleh karena itu, ada hadits tentang keutamaan dzikir di pasar-pasar dan tempat-tempat melalaikan seperti dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,

مَنْ دَخَلَ السُّوْقَ فَقَالَ : لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ ، لَهُ الْـمُلْكُ وَلَهُ الْـحَمْدُ يُحْيِـيْ وَيُمِيْتُ وَهُوَ حَيٌّ لاَ يَمُوْتُ بِيَدِهِ الْـخَيْرُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ، كَتَبَ اللهُ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ حَسَنَةٍ ، وَمَحَا عَنْهُ أَلْفَ أَلْفِ سَيِّئَةٍ ، وَرَفَعَ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ دَرَجَةٍ

Barangsiapa memasuki pasar, sedang di dalamnya ada sesuatu yang diteriakkan dan diperjual-belikan kemudian berkata, ‘Tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Allâh saja yang tidak ada sekutu bagi-Nya, kerajaan dan pujian milik-Nya. Dia menghidupkan, mematikan, Mahahidup, dan tidak mati. Seluruh kebaikan ada di Tangan-Nya dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu,’ maka Allâh menulis baginya satu juta kebaikan, menghapus satu juta kesalahan darinya, dan mengangkat satu juta derajat baginya.[9]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan keutamaan yang besar dalam berdzikir di pasar, karena pasar adalah tempat yang banyak orang berbohong, menipu, sumpah palsu, dan maksiat-maksiat lainnya. Abu Ubaidah bin Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata, “Selama hati seseorang berdzikir kepada Allâh, maka ia berada dalam shalat. Jika ia berada di pasar dia menggerakkan mulutnya, itu lebih baik.”[10]

DZIKIR SIANG DAN MALAM
Sebagaimana diketahui bahwa Allâh Azza wa Jalla mewajibkan kaum Muslimin berdzikir  kepada-Nya setiap siang dan malam sebanyak lima kali dengan cara mendirikan shalat pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Selain kelima shalat tersebut, Allâh Azza wa Jalla mensyari’atkan mereka berdzikir sebanyak-banyaknya. Allâh Azza wa Jalla mensyari’atkan shalat agar manusia berdzikir kepada-Nya (mengingat Allâh) dan juga Allâh Subhanahu wa Ta’ala mensyari’atkan shalat-shalat sunnah, dan mengisi waktu-waktunya dengan amal-amal yang wajib dan sunnah agar manusia senantiasa ingat kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Allâh Azza wa Jalla berfirman :


إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي

Sesungguhnya Aku ini adalah Allâh, tidak ada Ilah (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” [Thâha/20:14]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman yang artinya, “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (al-Qur‘ân) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allâh (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allâh Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [al-‘Ankabût/29:45]

al-Hâfizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang tafsir ayat ini, “Maksudnya, shalat itu mencakup dua hal : (pertama) meninggalkan berbagai kekejian dan kemungkaran, artinya mengerjakan shalat dengan rutin bisa mengantarkan kepada sikap meninggalkan hal-hal tersebut… (kedua) shalat mencakup pula upaya mengingat Allâh Subhanahu wa Ta’ala , inilah tuntutan terbesar”[11]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya dalam shalat terdapat (dua hal): (Pertama) menolak sesuatu yang dibenci-yaitu perbuatan keji dan mungkar-, dan (Kedua) mewujudkan sesuatu yang dicintai, yaitu dzikir (mengingat) Allâh Subhanahu wa Ta’ala .

Kemudian, tercapainya sesuatu yang dicintai ini lebih besar daripada menolak hal yang dibenci tersebut. Karena dzikirullâh adalah suatu ibadah yang semata-mata karena Allâh, dan ibadah hati kepada Allâh adalah tujuan inti yang diinginkan. Adapun tertolaknya kejelekan dari hati, maka hal itu dimaksudkan karena selain-Nya, yaitu sebagai penyerta saja.”[12]

Maksudnya apabila ia ikhlas dalam berdzikir dan sesuai dengan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga menimbulkan rasa takut kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , maka perbuatan keji dan munkar akan tertolak dari hatinya. Wallaahu a’lam.

Dzikir dengan lisan, disyariatkan di semua waktu dan disunnahkan di sebagian waktu dengan sunnah mu-akkadah (sunnah yang sangat ditekankan).

Dzikir-dzikir dilakukan dengan hati dan lisan. Hati mengagungkan Allâh Azza wa Jalla dan lisan melafadzkan dzikir-dzikir tersebut, dan anggota tubuh melaksanakan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan menahan diri dari perbuatan dosa dan maksiat.

Misalnya, lafadz Lâ ilâha illallâh, seseorang yang mengucapkan lafadz ini harus tahu tentang makna Lâ ilâha illallâh, hatinya wajib meyakini bahwa Allâh satu-satunya Dzat yang berhak diibadahi, semua sesembahan yang disembah oleh manusia adalah batil. Tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar kecuali hanya Allâh. Kemudian seorang hamba wajib melaksanakan seluruh bentuk ibadah hanya kepada Allâh saja dan tidak boleh dipalingkan kepada selain Allâh.

Oleh karena itu, dzikir merupakan amal. Hal itu tampak ddalam al-Qur’ân, bagaimana amal-amal shalih itu senantiasa disertai dzikir.

Lâ ilâha illallâh yang merupakan syahadat adalah dzikir paling afdhal (utama).

Di antara waktu berdzikir yang ditekankan ialah berdzikir setelah shalat wajib lima waktu yaitu berdzikir sebanyak seratus kali. Dzikirnya berbentuk tasbih yaitu 33 x membaca سُبْحَانَ الله ,   tahmîd yaitu 33 x membaca  اَلْـحَمْدُلِلَّـه , takbir yaitu 33 x membaca اَللَّـهُ أَكْبَر,  dan ditutup dengan

لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ، لَهُ الْـمُلْكُ وَلَهُ الْـحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ.

Dzikir juga disunnahkan setelah shalat Shubuh dan shalat Ashar. Jadi, dzikir pagi disyariatkan setelah shalat Shubuh hingga matahari terbit. Dzikir sore disyari’atkan sesudah shalat Ashar hingga matahari terbenam. Kedua waktu ini adalah waktu siang yang paling baik untuk berdzikir. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kaum Muslimin berdzikir i kedua waktu tersebut. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا

Dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang. [al-Ahzâb/33:42]

وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ بُكْرَةً وَأَصِيلًا

Dan sebutlah nama Rabbmu pada (waktu) pagi dan petang [al-Insân/76:25]

Juga firman-Nya, yang artinya, “…Dan sebutlah (nama) Rabb-mu banyak-banyak, dan bertasbihlah (memuji-Nya) pada waktu petang dan pagi hari.“ [Ali ‘Imrân/3:41]

Juga  firman-Nya, yang artinya, “…Allâh mewahyukan kepada mereka, ‘Bertasbihlah kamu pada waktu pagi dan petang.’“ [Maryam/19:11]

Juga firman-Nya, yang artinya, “Maka bertasbihlah kepada Allâh pada petang hari dan pada pagi hari (waktu subuh).”[ar-Rûm/30:17]

Juga firman-Nya, yang artinya, ” … Dan bertasbihlah seraya memuji Rabbmu pada waktu petang dan pagi.” [Ghâfir/40:55]

Dan masih banyak lagi ayat-ayat lainnya.

Dzikir yang paling baik yang dikerjakan di kedua waktu tersebut ialah sesudah shalat Shubuh dan shalat Ashar yang merupakan shalat paling utama, shalat Ashar yang disebut juga shalat wustha. Barangsiapa yang menjaga kedua shalat tersebut (Shubuh dan Ashar), maka ia masuk Surga. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ صَلَّى الْبَرْدَيْنِ دَخَلَ الْـجَنَّةَ

Barangsiapa yang menjaga kedua shalat (Shubuh dan Ashar) maka ia masuk Surga.[13]

Dzikir pagi sesudah shalat Shubuh dan dzikir sore sesudah shalat Ashar. Dzikir di kedua waktu ini lebih baik dari amal lainnya, kemudian sesudah (berdzikir) itu membaca al-Qur’ân. Dzikir-dzikir dan do’a-do’adi pagi dan sore hari yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak sekali.[14]

Waktu lainnya setelah kedua waktu tersebut ialah malam hari. Oleh karena itu, tasbih dan shalat malam hari disebutkan di al-Qur’ân setelah kedua waktu tersebut.

Jika setelah shalat Isya’ ia ingin tidur, ia disunnahkan tidur dalam keadaan suci dan berdzikir. Ia bertasbih, bertahmid, bertakbir, sebanyak seratus kali seperti diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu dan Fathimah Radhiyallahu anhuma. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh keduanya berbuat seperti itu jika hendak tidur, dilanjutkan dengan dzikir-dzikir menjelang tidur yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dzikir-dzikir menjelang tidur itu bervariasi, misalnya membaca al-Qur’ân, dan berdizkir kepada Allâh. Setelah itu, ia baru tidur.[15]

Jika ia bangun di tengah malam dan berubah posisi di ranjangnya, hendaklah ia berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla setiap kali ia berubah posisi. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bangun dari tidurnya kemudian berkata :

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ، لَهُ الْـمُلْكُ وَلَهُ الْـحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ، وَسُبْحَانَ اللهِ وَالْـحَمْدُ لِلهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ

Tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allâh saja yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Kerajaan dan pujian milik-Nya, Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Maha Suci Allâh, segala puji bagi Allâh, tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allâh, Allâh Maha Besar, tidak ada daya dan upaya kecuali dengan Allâh

، ثُمَّ قَالَ : رَبِّ اغْفِرْلِيْ ، أَوْ قَالَ : ثُمَّ دَعَا اسْتُجِيْبَ لَهُ ، فَإِنْ عَزَمَ وَتَوَضَّأَ ، ثُمَّ صَلَّى قُبِلَتْ صَلاَتَهُ .

Kemudian berkata, ‘Ya Allâh, ampunilah aku,’ –atau beliau bersabda, kemudian ia berdo’a-, maka do’anya dikabulkan. Jika ia berwudhu kemudian shalat, maka shalatnya diterima.”[16]

Seorang suami bangun untuk shalat malam kemudian dia membangunkan istrinya untuk shalat maka keduanya termasuk orang yang banyak berdzikir . Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا أَيْقَظَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّيَا –أَوْ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ جَمِيْعًا- كُتِبَ مِنَ الذَّاكِرِيْنَ الله كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ.

Apabila seorang suami membangunkan istrinya di malam hari, lalu keduanya shalat –atau masing-masing melakukan shalat dua rakaat- maka keduanya dicatat sebagai laki-laki dan wanita yang banyak mengingat Allâh.[17]

Kemudian selesai tahajjud dan witir hendaknya beristighfar pada waktu sahur, karena Allâh Azza wa Jalla memuji orang-orang yang beristighfar di waktu sahur.

الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ

 (Juga) orang yang sabar, orang yang benar, orang yang taat, orang yang menginfakkan hartanya, dan orang yang memohon ampunan pada waktu sebelum fajar. [Ali ‘Imrân/3:17]

Jika fajar telah terbit, ia mengerjakan shalat sunnah dua rakaat kemudian mengerjakan shalat Shubuh. Setelah itu, ia sibuk dengan dzikir yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai matahari terbit seperti telah disebutkan.

Barangsiapa kondisinya seperti itu, maka lidahnya tidak henti-hentinya basah oleh dzikir kepada Allâh Azza wa Jalla . Ia berdzikir ketika hendak tidur, ketika badan berbolak-balik di tempat tidur, kemudian mulai berdzikir lagi ketika bangun tidur. Ini bukti kebenaran cinta kepada Allâh Azza wa Jalla .

Dan urusan agama dan dunia yang pertama kali dikerjakan seseorang di pertengahan malam dan siang, maka sebagian besar darinya disyariatkan dzikir dengan nama Allâh. Dzikir dengan nama Allâh dan memuji-Nya disyariatkan ketika ia makan, minum, berpakaian, melakukan hubungan suami-istri, masuk rumah, keluar rumah, masuk dan keluar kamar mandi, naik kendaraan, menyembelih, dan lain sebagainya.

Ia disyariatkan memuji Allâh Azza wa Jalla ketika bersin, berlindung dan memohon keselamatan ketika melihat orang-orang yang diuji dalam agama dan dunia, mengucapkan salam ketika bertemu dengan orang Muslim, menjenguk dan mendo’akan mereka ketika sakit, memuji Allâh Azza wa Jalla ketika mendapatkan nikmat baru yang ia sukai dan hilangnya sakit yang dibencinya. Yang paling sempurna dari itu semua adalah ia memuji Allâh pada saat suka, duka, krisis, dan dapat rezeki. Jadi ia memuji Allâh dalam semua keadaan dan kondisi.

Ia disyariatkan berdzikir dan berdo’akepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala ketika masuk pasar, mendengar suara kokok ayam di malam hari, mendengar petir, hujan turun, angin bertiup kencang, melihat bulan, dan melihat pohon pertama kali berbuah.


Ia juga disyari’atkan berdzikir dan berdo’a kepada Allâh ketika sakit, mendapatkan musibah, ketika akan keluar untuk bepergian, berhenti di tempat-tempat dalam perjalanannya dan ketika tiba dari perjalanan dan dzikir-dzikir lainnya.

Ia disyariatkan berlindung  kepada Allâh ketika marah, melihat sesuatu yang tidak disukainya di dalam mimpinya, mendengar suara anjing dan keledai di malam hari.

Ia disyariatkan istikhârah (meminta pilihan) kepada Allâh ketika menginginkan sesuatu yang ia belum memiliki pilihan di dalamnya.

Seorang Muslim diwajibkan oleh Allâh Azza wa Jalla untuk segera bertaubat kepada-Nya dan istighfar dari seluruh dosa, dosa-dosa besar maupun kecil. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzhalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allâh, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allâh ? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.” [Ali ‘Imrân/3:135]

Barangsiapa melakukan dzikir mulai bangun tidur sampai ia tidur kembali, dan ia melakukan semua itu dengan konsisten, ikhlas dan ittiba’ kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka lidahnya akan terus menerus basah oleh dzikir kepada Allâh dalam semua kondisi.

Seorang Mukmin hendaknya menggunakan waktunya sebaik mungkin untuk beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla, berdo’a, berdzikir, mencari nafkah, menuntut ilmu, dan lainnya. Dan yang paling mudah yaitu berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla , karena seorang Mukmin dapat berdzikir dimana saja dan kapan saja bisa dilakukan ketika ia berjalan, berkendaraan, naik bis, kereta, ketika menunggu bis dan kereta atau angkutan umum. Lisan ini harus selalu basah dengan berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla pada setiap waktu dan hal ini mudah dan ringan, bisa dilakukan oleh setiap Mukmin dan Mukminah. Bahkan seorang mukminah dia bisa berdzikir ketika menggendong anaknya, menyusui anaknya, atau ketika masak dan lainnya.

KEUTAMAAN DZIKIR
Dengan dzikir, hati akan menjadi tenang. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

 (Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allâh. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allâh hati menjadi tentram. [ar-Ra’d/13:28]

Diriwayatkan dari Abu Darda’ Radhiyallahu anhu ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ أُُنَبِّئُكُمْ بِخَيرِ أَعْمَالِكُمْ وَأَزْكَاهَا عِنْدَ مَلِيْكِكُمْ وَأَرْفَعِهَا فِي دَرَجَاتِكُمْ وَخَيْرٌ لَكُمْ مِنْ إِنْفَاقِ الذَّهَبِ وَالوَرِقِ وَخَيْرٌ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوْا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوْا أَعْنَاقَكُمْ ؟  قَالُوْا : بَلىَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ! قَالَ :  ذِكْرُاللهِ تَعَالَى 

Maukah kamu aku tunjukkan amalan yang terbaik dan paling suci di sisi Rabbmu, dan paling mengangkat derajatmu, lebih baik bagimu daripada menginfakkan emas dan perak, dan lebih baik bagimu daripada bertemu dengan musuhmu lantas kamu memenggal lehernya atau mereka memenggal lehermu?” Para sahabat yang hadir berkata, “Mau wahai Rasûlullâh!” beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dzikir kepada  Allâh Yang Maha Tinggi.”[18]

Diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu , Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَثَلُ الَّذِي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لاَ يَذْكُرُ رَبَّهُ ، مَثَلُ الْـحَيِّ وَ الْـمَيِّتِ

Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Rabbnya dan orang yang tidak berdzikir kepada Rabbnya adalah seperti perbedaan antara orang yang hidup dengan orang yang mati[19]

FAEDAH ATAU MANFAAT DZIKIR (MENGINGAT ALLAH AZZA WA JALLA)
Manfaat dzikir kepada Allâh Azza wa Jalla banyak sekali, di antaranya yaitu:

Mengusir setan, menundukkan dan mengenyahkannya.
Menghilangkan kesedihan dan kemuraman dari hati.
Mendatangkan kegembiraan dan kesenangan dalam hati.
Melapangkan rizki dan mendatangkan barakah.
Membuahkan ketundukan, yaitu berupa kepasrahan diri kepada Allâh dan kembali kepada-Nya. Selagi dia lebih banyak kembali kepada Allâh dengan cara berdzikir, maka dalam keadaan seperti apapun dia akan kembali kepada Allâh dengan hatinya, sehingga Allâh menjadi tempat mengadu dan tempat kembali, kebahagiaan dan kesenangannya, tempat bergantung tatkala mendapat bencana dan musibah.
Membuahkan kedekatan kepada Allâh Azza wa Jalla . Seberapa jauh dia melakukan dzikir kepada Allâh, maka sejauh itu pula kedekatannya kepada Allâh, dan seberapa jauh ia lalai melakukan dzikir, maka sejauh itu pula jarak yang memisahkannya dari Allâh.
Membuat hati menjadi hidup. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Dzikir bagi hati sama dengan air bagi ikan, maka bagaimana keadaan yang akan terjadi pada ikan seandainya berpisah dengan air??? “
Membersihkan hati dari karatnya, karena segala sesuatu ada karatnya dan karat hati adalah lalai dan hawa nafsu. Sedang untuk membersihkan karat ini adalah dengan taubat dan istighfar.
Hamba yang mengenal Allâh, dengan cara berdo’adan berdzikir saat lapang, maka Allâh akan mengenalnya disaat ia menghadapi kesulitan.
Menyelamatkannya dari adzab Allâh sebagaimana yang dikatakan Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu dan dia memarfu’kannya ” Tidak ada amal yang dilakukan anak Adam yang lebih menyelamatkannya dari adzab Allâh, selain dari dzikir kepada Allâh Azza wa Jalla “.[20]
Menyebabkan turunnya ketenangan, datangnya rahmat dan para Malaikat mengelilingi orang yang berdzikir, sebagaimana yang disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Menyibukkan lisan dari melakukan  ghibah, adu domba, dusta, kekejian dan kebathilan.
Sudah selayaknya bagi seorang hamba untuk berbicara yang baik, jika bicaranya bukan dzikir kepada Allâh, tetapi berupa hal-hal yang diharamkan ini, maka tidak ada yang bisa menyelamatkannya kecuali dengan dzikir kepada Allâh.

Cukup banyak pengalaman dan kejadian yang membuktikan hal ini. Siapa yang membiasakan lidahnya untuk berdzikir, maka lidahnya lebih terjaga dari kebathilan dan perkataan yang sia-sia. Namun siapa yang lidahnya tidak pernah mengenal dzikir, maka kebathilan dan kekejian banyak terucap dari lidahnya.

Dzikir memberikan rasa aman dari penyesalan di hari kiamat. Karena majlis yang didalamnya tidak ada dzikir kepada Allâh, maka akan menjadi penyesalan bagi pelakunya pada hari kiamat.
Dzikir merupakan ibadah yang paling mudah, namun paling agung dan paling utama. Sebab gerakan lidah merupakan gerakan anggota tubuh yang paling ringan dan paling mudah. Andaikan ada anggota tubuh lain yang harus bergerak, seperti gerakan lidah selama sehari semalam, tentu ia akan kesulitan melaksanakannya dan bahkan tidak mungkin.[21]
Mudah-mudahan Allâh Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk dari hamba-hamba yang ikhlas dan banyak berdzikir yang sesuai dengan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat.

***


Footnote
[1] Shahih: HR. Ibnu Hibbân (no. 815-at-Ta’lîqâtul Hisân).
[2] HR. Muslim (no. 2676).
[3] Atsar shahih: HR. ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (no. 8502), al-Hâkim (II/294), Ibnu Jarîr dalam Tafsîr ath-Thabari (III/375-376), dan Ibnu Katsîr dalam Tafsîrnya (II/87).
[4] Shahih: HR. Muslim (no. 373), Abu Dâwud (no. 18), at-Tirmidzi (no. 3384), dan selainnya.
[5] Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 660), Muslim (no. 1031), at-Tirmidzi (no. 2391), dan Ahmad (II/439).
[6] Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 4856); Shahîh Abi Dâwud (III/920, no. 4065) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[7] Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 3380), Ahmad (II/446, 453, 481) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu . Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 74).
[8] Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 4855), Ahmad (II/389), al-Hâkim (I/492), dan lainnya. al-Hâkim berkata, “Bahwa hadits ini shahih menurut syarat Muslim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi.” Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 77) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu .
[9] HR. Ahmad (I/47), at-Tirmidzi (no. 3428, 3429), Ibnu Mâjah (no. 2235), ad-Dârimi (II/293), al-Baghawi (no. 1338), ath-Thabrani dalam ad-Du’â (no. 792-793) dari Shahabat ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu . Dishahihkan oleh al-Hâkim (I/538) dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 3139).
[10] Hilyatul Auliyâ’ (IV/227).
[11] Lihat Tafsîr Ibni Katsîr (VI/280-282) dengan diringkas.
[12] al-‘Ubûdiyyah (hlm. 120-121), tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi.
[13] Shahih: HR. Muslim (no. 635).
[14] Baca buku Penulis Do’a dan Wirid, Pustaka Imam asy-Syafi’i, cet ke-12, Jakarta.
[15] Baca buku Penulis Do’a dan Wirid dan Dzikir Pagi dan Petang, Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta.
[16] Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 3414), Ibnu Mâjah (no. 3878).
[17] Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 1309) dan Ibnu Mâjah (no. 1335) dari Shahabat Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu . Syaikh al-Albani berkata dalam Takhrîj Hidâyatir Ruwât (II/49, no. 1194), “Isnadnya shahih. Dishahihkan oleh al-Hâkim, adz-Dzahabi, an-Nawawi, dan al-‘Iraqi.
[18] Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 3377), Ibnu Mâjah (no. 3790), dan al-Hâkim (I/ 496) dari Shahabat Abu Darda’ Radhiyallahu anhu . Lafazh hadits ini lafazh at-Tirmidzi. Dishahihkan oleh al-Hâkim dan disetujui oleh adz-Dzahabi.
[19] Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 6407)/Fathul Baari (XI/208).
[20] HR. Ahmad (V/239).
[21] Diringkas dari Shahîh al-Wâbilus Shayyib karya Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, takhrij Syaikh Slaim bin ‘Ied al-Hilali. Lihat juga buku Penulis Do’a dan Wirid, Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta.