Besarnya Pahala Sebanding Dengan Besarnya Ujian

Besarnya Pahala Sebanding Dengan Besarnya Ujian 

“Amalannya semakin sulit dan banyak, semakin besar pahala.”

Kaedah fikih di atas sangat bermanfaat bagi yang ingin mengetahui keutamaan amalan yang satu dibanding lainnya.

Dalam kaedah yang dibawakan oleh As-Suyuthi dalam Al-Asybah wa An-Nazhair (hlm. 320) disebutkan,

مَا كَانَ أَكْثَرُ فِعْلاً كَانَ أَكْثَرُ فَضْلاً

“Amalan yang lebih banyak pengorbanan, lebih banyak keutamaan.”

Imam Az-Zarkasi berkata dalam Al-Mantsur,

العَمَلُ كُلَّمَا كَثُرَ وَشَقَّ كَانَ أَفْضَلُ مِمَّا لَيْسَ كَذَلِكَ

“Amalan yang semakin banyak dan sulit, lebih afdhal daripada amalan yang tidak seperti itu.”

Dasar kaedah di atas disimpulkan dari hadits ‘Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَكِنَّهَا عَلَى قَدْرِ نَصَبِكِ

“Akan tetapi, pahalanya tergantung pada usaha yang dikorbankan.” (HR. Muslim, no. 1211). Demikian dikatakan oleh As-Suyuthi ketika menyebutkan kaedah di atas dalam Al-Asybah wa An-Nazhair (hlm. 320).

Contoh Kaedah

  1. Kalau seseorang mengerjakan shalat witir dengan memisahkan dua raka’at lalu satu raka’at, itu lebih utama daripada menyambungkannya. Karena saat itu niatnya bertambah, takbirnya bertambah, dan salamnya juga bertambah.
  2. Shalat dalam keadaan berdiri lebih utama daripada duduk. Shalat dalam keadaan duduk lebih utama daripada berbaring.
  3. Haji dan umrah dengan manasik sendiri-sendiri (ifrad) lebih utama daripada menggabungkannya dalam manasik qiran.

Yang Keluar dari Kaedah

  1. Qashar shalat pada saat safar lebih utama daripada mengerjakan secara tamam (sempurna).
  2. Shalat Dhuha dengan delapan raka’at lebih utama dari dua belas raka’at menurut sebagian ulama karena delapan raka’at lebih mencontoh perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  3. Witir dengan tiga raka’at lebih afdhal daripada dengan lima, tujuh, atau sembilan raka’at menurut sebagian ulama.
  4. Membaca surat yang pendek (secara utuh) lebih utama daripada membaca sebagian surat walau panjang.
  5. Shalat sekali berjama’ah lebih utama daripada shalat sendirian walau shalat sendirian itu dilakukan hingga dua puluh lima kali.
  6. Shalat shubuh lebih utama daripada shalat lima waktu lainnya walaupun jumlah rakaatnya lebih sedikit.
  7. Shalat sunnah fajar (qabliyah shubuh) dengan ringkas lebih utama daripada shalat tersebut yang lama.
  8. Shalat ‘ied lebih utama daripada shalat kusuf (gerhana) walaupun shalat gerhana lebih berat dan lebih banyak amalannya.
  9. Menggabungkan antara berkumur-kumur dan memasukkan air dalam hidung dengan tiga kali cidukan tangan lebih afdhal daripada memisah keduanya hingga terbuang enam kali cidukan.
  10. Memakan sedikit dari hasil qurban lalu disedekahkan yang tersisa lebih utama daripada menyedekahkan semuanya.

Contoh-contoh di atas diringkas dari bahasan As-Suyuthi dalam Al-Asybah wa An-Nazhair, hlm. 320-322. Dan contoh tersebut berarti kembali pada pemahaman As-Suyuthi yang bermadzhab Syafi’i.

Semoga bermanfaat.

Referensi:

Al-Asybah wa An-Nazhair min Qawa’id wa Furu’ Asy-Syafi’iyyah. Cetakan kelima, tahun 1432 H. Al-Imam Jalal Ad-Din ‘Abdurrahman As-Suyuthi. Penerbit Dar As-Salam.

***

Hidup Harus Punya Target

Hidup Harus Punya Target 

Hidup harus punya target, jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang,

Membuat program pribadi untuk mencapai target, jika tidak hidup hanya mengalir tidak jelas
yang namanya mengalir pasti dari atas ke bawah.

Misalnya ketika liburan 1 minggu saya harus tamat baca buku ini, harus hapal 1 surat, selama kuliah harus bisa bahasa Arab, selama kuliah target TOEFL 600,harus ini harus itu,

LEBIH BAIK ada target meskipun tidak tercapai sepenuhnya daripada tidak ada target sama sekali. Target tercapai 10%, itu lebih baik daripada tidak sama sekali.

Jelas ini adalah ajaran Islam, memperhatikan hari esok (masa depan) dengan membuat target dan merencanakannya

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk HARI ESOK ; dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Hasyr: 18)

Note: masa depan yang paling depan adalah akhirat, katanya orang hebat adalah orang yang memikirkan dan merencanakan serta bercita-cita tinggi mengenai masa depannya.

Dosa Memutus Silaturahmi

Dosa Memutus Silaturahmi 

Sebuah fatwa di dalam Fatawa Islamweb, yang diterbitkan pada 31 Oktober 2019, menerangkan tentang apa yang dimaksud memutus silaturahmi :

إن قطيعة الأرحام تكون بهجرهم، والإعراض عن الزيارة المستطاعة، وعدم مشاركتهم في مسراتهم، وعدم مواساتهم في أحزانهم، كما تكون بتفضيل غيرهم عليهم في الصلات والعطاءات الخاصة، التي هم أحق بها من غيرهم

“Memutus silaturahmi adalah dengan tidak bertegur sapa, tidak mengunjungi kerabat padahal mampu, tidak hadir di momen / acara bahagia keluarga, tidak datang menghibur di saat keluarga bersedih / mendapat musibah. Sebagaimana menyambung silaturahmi dapat diwujudkan dengan memprioritaskan keluarga dalam menjalin hubungan dan memberikan pemberian khusus daripada orang yang bukan keluarga. Karena keluarga memang lebih berhak mendapatkan kebaikan darDoi kita daripada orang lain.” (Islamweb.net)

Adapun hukuman bagi pelaku dosa memutus silaturahmi adalah :

Pertama, bisa kena laknat Allah

Allah ‘azza wa jalla berfirman,

فَهَلۡ عَسَيۡتُمۡ إِن تَوَلَّيۡتُمۡ أَن تُفۡسِدُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَتُقَطِّعُوٓاْ أَرۡحَامَكُمۡ 

Maka apakah sekiranya jika kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?

 أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ لَعَنَهُمُ ٱللَّهُ فَأَصَمَّهُمۡ وَأَعۡمَىٰٓ أَبۡصَٰرَهُمۡ 

Mereka itulah orang-orang yang dilaknat Allah; dan dibuat tuli (pendengarannya) dan dibutakan penglihatannya. (QS. Muhammad: 22- 23)

Pada ayat di atas diterangkan, dosa yang menyebabkan datangnya laknat Allah kepada pelakunya dan menyebabkan dia tertutup mata hatinya dari hidayah, adalah memutus silaturahmi.

Kedua, sifatnya orang fasik.

Sebagaimana diterangkan dalam ayat suci berikut,

 ۞إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَسۡتَحۡيِۦٓ أَن يَضۡرِبَ مَثَلٗا مَّا بَعُوضَةٗ فَمَا فَوۡقَهَاۚ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ فَيَعۡلَمُونَ أَنَّهُ ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّهِمۡۖ وَأَمَّا ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ فَيَقُولُونَ مَاذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِهَٰذَا مَثَلٗاۘ يُضِلُّ بِهِۦ كَثِيرٗا وَيَهۡدِي بِهِۦ كَثِيرٗاۚ وَمَا يُضِلُّ بِهِۦٓ إِلَّا ٱلۡفَٰسِقِينَ 

Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan seekor nyamuk atau yang lebih kecil dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka tahu bahwa itu kebenaran dari Tuhan. Tetapi mereka yang kafir berkata, “Apakah maksud Allah dengan perumpamaan ini?” Dengan (perumpamaan) itu banyak orang yang disesatkanNya,dan dengan itu banyak (pula) orang yang diberi-Nya petunjuk. Tetapi tidak ada yang Dia sesatkan dengan (perumpamaan) itu selain orang-orang fasik,

 ٱلَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهۡدَ ٱللَّهِ مِنۢ بَعۡدِ مِيثَٰقِهِۦ وَيَقۡطَعُونَ مَآ أَمَرَ ٱللَّهُ بِهِۦٓ أَن يُوصَلَ وَيُفۡسِدُونَ فِي ٱلۡأَرۡضِۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡخَٰسِرُونَ 

(yaitu) orang-orang yang melanggar Perjanjian Allah setelah (perjanjian) itu diteguhkan, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan dan berbuat kerusakan di bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS. Al-Baqarah: 26 – 27)

Di penghujung ayat Allah menyimpulkan, bahwa orang – orang yang berperilaku sejumlah perilaku yang di sebutkan, adalah orang fasik. Salahsatunya adalah orang yang memutus silaturahmi. Kemudian fasik adalah gelaran yang buruk yang diberikan oleh Al-Quran kepada orang – orang pendosa.

Ketiga, Allah memutus hubungan dengan orang – orang yang memutus tali silaturahmi.

Hadis dari Ummul Mukminin ‘Aisyah -radhiyallahu’anha- berkata, “Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda,

الرَّحمُ معلَّقةٌ بالعرش تقولُ: مَن وصلني وصله اللهُ، ومَن قطعني قطعه الله

Rahim menggantung di ‘Arsy, dia berkata, “Siapa yang menyambungku maka Allah akan menyambung hubungan denganNya. Siapa yang memutusku, maka Allah akan memutus hubungan denganNya.” (HR. Muslim)

Kemudian pula hadis dari sahabat Abu Hurairah -radhiyallahu’anhu-, beliau berkata, “Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda,

إنَّ الله خلَق الخلْقَ، حتى إذا فرغ من خلقِه قالتِ الرَّحِمُ: هذا مقامُ العائذ بك من القطيعة قال: نعَم، أمَا تَرضَيْنَ أن أصِل مَن وصلَكِ، وأقطعَ مَن قطعَكِ؟ قالت: بلى يا ربِّ، قال: فهو لكِ»، قال رسول الله صلى الله عليه وسلَّم: «فاقرؤوا إن شِئتُمْ: {فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُم

Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk. Dan jika telah usai darinya, rahim berdiri lalu berkata, ‘Ini adalah tempat berlindung dari pemutusan silaturahmi.’ Maka Allah berfirman, ‘Ya, bukankah kamu merasa senang aku akan menyambung hubungan dengan orang yang menyambungmu, dan akan memutus orang yang memutuskan denganmu?’ Dia menjawab, ‘Ya.’ Allah Ta’ala berfirman, ‘Demikian itu hakmu.” (HR. Muslim)

Satu lagi keterangan dari hadis Abdurrahman bin Auf -radhiyallahu’anhu-. Rasulullah -shallallahualaihi wa sallam- bersabda,

قال الله: أنا الرَّحمن، وهي الرَّحِم، شققتُ لها اسمًا من اسمي، مَن وصلها وصلتُه، ومن قطعها بتتُّه

Allah berfirman, “Aku adalah Ar-Rahman. Ar-Rahman adalah rahim. Nama rahim Aku ambil dari namaku Ar-Rahman. Maka siapa yang menyambungnya, Aku akan menyambung hubungan dengannya. Namun siapa yang yang memutusnya, maka Aku akan memutus hubungan dengannya.” (HR. Abu Dawud, diniliai shahih oleh Syaikh Al-Abani)

Keempat, tidak akan masuk surga.

Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- menyampaikan ancaman tegas kepada pemutus silaturahmi,

لا يدخل الجنة قاطع

Tidak akan masuk surga orang yang memutus silaturahmi.”

Kata Imam Nawawi -rahimahullah- menjelaskan makna hadis ini,

 “لا يدخل الجنة قاطع” هذا الحديث يتأول تأويلين سبقا في نظائره في كتاب الإيمان أحدهما: حمله على من يستحل القطيعة بلا سبب ولا شبهة مع علمه بتحريمها فهذا كافر يخلد في النار ولا يدخل الجنة أبداً، والثاني: معناه ولا يدخلها في أول الأمر مع السابقين بل يعاقب بتأخره القدر الذي يريده الله تعالى

“Tidak masuk surga pemutus silaturahmi”, hadis ini dimaknai dua penafsiran, sebagaimana pemaparan dalam Bab Iman :

Yang pertama, hadis ini berlaku kepada orang – orang yang menghalalkan tindakan memutus silaturahmi tanpa sebab (uzur) atau syubhat. Padahal dia tahu memutus silaturahmi itu haram. Orang seperti ini kafir, kekal di neraka, tak akan masuk surga. 

Kedua, dia tidak akan masuk surga begitu saja, bersama orang – orang yang terlebih dahulu masuk surga. Dia akan diazab dahulu diantara bentuknya dengan diakhirkan masuk surga, sesuai kehendak Allah.”

Kelima, dosa yang hukumannya disegerakan di dunia.

Dalilnya adalah hadis dari Abu Bakr, As-Shidiq -radhiyallahu’anhu-, Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda, 

ما من ذنب أجدر أن يعجل الله لصاحبه العقوبة في الدنيا مع ما يدخر له في الآخرة من البغي وقطيعة الرحم 

Tak ada dosa yang paling berpeluang datangnya hukuman Allah dengan segera di dunia, padahal diakhirat juga dia dapat jatah hukuman, daripada dosa berbuat baghi dan memutus silaturahmi.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Dan ini nyata terjadi di kehidupan kita. Anda dapati ada orang yang memutus hubungan dengan kakaknya, dengan adiknya, bahkan dengan orangtuanya, hidupnya selalu susah, hari – harinya suram, dihantui kegelisahan. Ditambah martabatnya jatuh di tengah masyarakat. Karena perbuatan dosanya sendiri.

Keenam, amal ibadahnya tidak akan diangkat kepada Allah.

Dari Abu Hurairah -radhiyallahu’anhu- dia berkata, “Aku pernah mendengar Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda, 

إن أعمال بني آدم تعرض على الله تبارك وتعالى عشية كل خميس ليلة الجمعة فلا يقبل عمل قاطع رحم

Amalan manusia dilaporkan kepada Allah -tabaraka wa ta’ala- setiap kamis malam atau malam jumat. Amal ibadah orang yang memutus silaturahmi tidak akan diterima oleh Allah.”

Dampak Berbuat Maksiat

Dampak Berbuat Maksiat 

Dosa dan maksiat bukan hanya menodai hati, tetapi juga memengaruhi rezeki, ilmu, dan hubungan antarmanusia. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dengan mendalam bagaimana dampak buruk maksiat yang menjadi racun sehingga merusak kehidupan dunia dan akhirat.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

فَمَا يَنْبَغِي أَنْ يُعْلَمَ، أَنَّ الذُّنُوبَ وَالْمَعَاصِيَ تَضُرُّ، وَلَا بُدَّ أَنَّ ضَرَرَهَا فِي الْقَلْبِ كَضَرَرِ السُّمُومِ فِي الْأَبْدَانِ عَلَى اخْتِلَافِ دَرَجَاتِهَا فِي الضَّرَرِ، وَهَلْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ شَرٌّ وَدَاءٌ إِلَّا سَبَبُهُ الذُّنُوبُ وَالْمَعَاصِي، فَمَا الَّذِي أَخْرَجَ الْأَبَوَيْنِ مِنَ الْجَنَّةِ، دَارِ اللَّذَّةِ وَالنَّعِيمِ وَالْبَهْجَةِ وَالسُّرُورِ إِلَى دَارِ الْآلَامِ وَالْأَحْزَانِ وَالْمَصَائِبِ؟

Termasuk perkara yang seharusnya diketahui bahwasanya dosa dan kemaksiatan pasti menimbulkan mudharat (kerugian), tidak mungkin tidak. Mudharatnya bagi hati sebagaimana mudharat yang ditimbulkan racun bagi tubuh, yaitu memiliki tingkatan beragam. Adakah kehinaan serta penyakit di dunia dan di akhirat yang tidak disebabkan oleh dosa dan maksiat? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 66)

Bukankah dosa dan maksiat yang menyebabkan ayah dan ibu kita, Adam dan istrinya Hawa, dikeluarkan dari Surga, negeri yang penuh dengan kelezatan, kenikmatan, keindahan, dan kegembiraan, menuju tempat yang penuh dengan penderitaan, kesedihan, dan musibah, yaitu bumi?

Ibnul Qayyim rahimahullah menukilkan sebelumnya perkataan para ulama salaf berikut ini.

وَقَالَ الْفُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ: بِقَدْرِ مَا يَصْغَرُ الذَّنْبُ عِنْدَكَ يَعْظُمُ عِنْدَ اللَّهِ، وَبِقَدْرِ مَا يَعْظُمُ عِنْدَكَ يَصْغَرُ عِنْدَ اللَّهِ.

Fudhail bin Iyadh berkata, “Semakin kecil dosa itu terlihat dalam pandanganmu, semakin besar ia di sisi Allah. Sebaliknya, semakin besar dosa itu terasa dalam hatimu, semakin kecil ia di sisi Allah.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 81)

وَقَالَ حُذَيْفَةُ: إِذَا أَذْنَبَ الْعَبْدُ ذَنْبًا نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ حَتَّى يَصِيرَ قَلْبُهُ كَالشَّاةِ الرَّيْدَاءِ.

Hudzaifah berkata, “Ketika seorang hamba melakukan dosa, hatinya akan ditandai dengan titik hitam. Jika dosa terus berulang, hatinya akhirnya menjadi seperti domba yang terbalik, yakni hati yang terbalik dari fitrahnya.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 82)

Berbagai Dampak Buruk Dosa dan Maksiat

Maksiat memiliki berbagai dampak yang buruk, tercela, serta membahayakan hati dan badan, di dunia maupun di akhirat, yang jumlahnya tidak diketahui secara pasti kecuali oleh Allah semata. Di antara dampak kemaksiatan yang dimaksud sebagai berikut:

1. Maksiat menghalangi masuknya ilmu

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

حِرْمَانُ الْعِلْمِ، فَإِنَّ الْعِلْمَ نُورٌ يَقْذِفُهُ اللَّهُ فِي الْقَلْبِ، وَالْمَعْصِيَةُ تُطْفِئُ ذَلِكَ النُّورَ.

Di antara dampak jelek maksiat adalah ilmu sulit masuk. Padahal ilmu adalah cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati, sedangkan maksiat adalah pemadam cahaya tersebut.

وَلَمَّا جَلَسَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ بَيْنَ يَدَيْ مَالِكٍ وَقَرَأَ عَلَيْهِ أَعْجَبَهُ مَا رَأَى مِنْ وُفُورِ فِطْنَتِهِ، وَتَوَقُّدِ ذَكَائِهِ، وَكَمَالِ فَهْمِهِ،فَقَالَ: إِنِّي أَرَى اللَّهَ قَدْ أَلْقَى عَلَى قَلْبِكَ نُورًا، فَلَا تُطْفِئْهُ بِظُلْمَةِ الْمَعْصِيَةِ.

Ketika Imam Asy-Syafi’i duduk sambil membacakan sesuatu di hadapan Imam Malik, kecerdasan dan kesempurnaan pemahamannya membuat gurunya ini tercengang. Beliau pun berujar, “Sesungguhnya aku memandang bahwa Allah telah memasukkan cahaya ke dalam hatimu, maka janganlah kamu memadamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.”

وَقَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ:

شَكَوْتُ إِلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي … فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي

وَقَالَ اعْلَمْ بِأَنَّ الْعِلْمَ فَضْلٌ … وَفَضْلُ اللَّهِ لَا يُؤْتَاهُ عَاصِي

Imam asy-Syafi’i berkata dalam syairnya:

“Aku mengadu kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku, dia menasihatiku agar aku tinggalkan kemaksiatan, dia pun berkata: Ketahuilah, sesungguhnya ilmu itu karunia, dan karunia Allah tidak akan diberikan pada orang bermaksiat.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 84)

2. Maksiat menghalangi datangnya rezeki

Dari hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ

Sungguh, seorang hamba akan terhalang dari rezeki karena dosa yang diperbuatnya.” (HR. Ahmad, 5:277)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

وَكَمَا أَنَّ تَقْوَى اللَّهِ مَجْلَبَةٌ لِلرِّزْقِ فَتَرْكُ التَّقْوَى مَجْلَبَةٌ لِلْفَقْرِ، فَمَا اسْتُجْلِبَ رِزْقُ اللَّهِ بِمِثْلِ تَرْكِ الْمَعَاصِ

Takwa kepada Allah menjadi kunci pembuka pintu rezeki, sedangkan lalai dalam takwa justru dapat mengundang kefakiran. Rezeki hanya akan mengalir ketika seseorang menjauhi segala bentuk maksiat. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85)

3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat Allah

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

وَحْشَةٌ يَجِدُهَا الْعَاصِي فِي قَلْبِهِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ لَا تُوَازِنُهَا وَلَا تُقَارِنُهَا لَذَّةٌ أَصْلًا، وَلَوِ اجْتَمَعَتْ لَهُ لَذَّاتُ الدُّنْيَا بِأَسْرِهَا لَمْ تَفِ بِتِلْكَ الْوَحْشَةِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يَحِسُّ بِهِ إِلَّا مَنْ فِي قَلْبِهِ حَيَاةٌ، وَمَا لِجُرْحٍ بِمَيِّتٍ إِيلَامٌ، فَلَوْ لَمْ تُتْرَكِ الذُّنُوبُ إِلَّا حَذَرًا مِنْ وُقُوعِ تِلْكَ الْوَحْشَةِ، لَكَانَ الْعَاقِلُ حَرِيًّا بِتَرْكِهَا.

Pelaku maksiat akan merasakan kesepian dalam hatinya yang membuat hubungannya dengan Allah terasa jauh. Rasa ini tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan apa pun, bahkan jika seluruh kesenangan dunia diberikan kepadanya, itu tetap tidak akan mampu menghilangkan rasa sepi tersebut. Hanya orang yang hatinya masih hidup yang dapat merasakannya, sebab seseorang yang hatinya mati tidak akan merasakan sakit, sebagaimana luka tak terasa pada tubuh yang mati. Jika tidak ada alasan lain untuk menjauhi dosa selain demi menghindari kesepian ini, seharusnya itu sudah cukup menjadi alasan bagi orang yang berakal untuk meninggalkan perbuatan dosa.

Seorang lelaki pernah mengadu kepada salah satu ulama arifin tentang rasa sepi yang ia rasakan dalam dirinya. Ulama itu pun menjawab:

إِذَا كُنْتَ قَدْ أَوْحَشَتْكَ الذُّنُوبُ … فَدَعْهَا إِذَا شِئْتَ وَاسْتَأْنِسِ

وَلَيْسَ عَلَى الْقَلْبِ أَمَرُّ مِنْ وَحْشَةِ الذَّنْبِ عَلَى الذَّنْبِ، فَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.

“Jika dosa-dosa membuat hatimu merasa sepi, tinggalkanlah dosa itu kapan pun engkau mampu, maka ketenteraman akan kembali hadir dalam dirimu.

Tak ada yang lebih menyakitkan bagi hati selain kehampaan yang muncul akibat terus-menerus terjerumus dalam dosa.”

Wallahul musta’an, semoga Allah senantiasa menolong kita untuk menjauhi dosa dan mendekatkan diri kepada-Nya.

4. Maksiat membuat pelakunya asing di antara orang baik

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

: الْوَحْشَةُ الَّتِي تَحْصُلُ لَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّاسِ، وَلَاسِيَّمَا أَهْلُ الْخَيْرِ مِنْهُمْ، فَإِنَّهُ يَجِدُ وَحْشَةً بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ، وَكُلَّمَا قَوِيَتْ تِلْكَ الْوَحْشَةُ بَعُدَ مِنْهُمْ وَمِنْ مُجَالَسَتِهِمْ، وَحُرِمَ بَرَكَةَ الِانْتِفَاعِ بِهِمْ، وَقَرُبَ مِنْ حِزْبِ الشَّيْطَانِ، بِقَدْرِ مَا بَعُدَ مِنْ حِزْبِ الرَّحْمَنِ، وَتَقْوَى هَذِهِ الْوَحْشَةُ حَتَّى تَسْتَحْكِمَ، فَتَقَعَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ وَوَلَدِهِ وَأَقَارِبِهِ، وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهِ، فَتَرَاهُ مُسْتَوْحِشًا مِنْ نَفْسِهِ.

Rasa sepi yang muncul akibat dosa juga mempengaruhi hubungan seseorang dengan orang lain, terutama dengan mereka yang dikenal sebagai orang-orang baik (ahlul khair). Ia akan merasakan jarak dan keterasingan di antara dirinya dan mereka. Semakin kuat rasa keterasingan itu, semakin jauh pula ia dari mereka dan dari kesempatan untuk duduk bersama mereka. Akibatnya, ia kehilangan keberkahan dari manfaat yang seharusnya ia dapatkan melalui interaksi dengan mereka. Sebaliknya, ia semakin mendekat kepada kelompok setan, sejauh ia menjauh dari kelompok yang diridai oleh Allah.

Keterasingan ini dapat terus berkembang hingga menjadi semakin parah, mempengaruhi hubungan dirinya dengan istrinya, anak-anaknya, kerabatnya, bahkan dirinya sendiri. Akhirnya, ia pun menjadi merasa asing dan sepi, bahkan terhadap dirinya sendiri.

Sebagian ulama salaf pernah berkata,

إِنِّي لَأَعْصِي اللَّهَ فَأَرَى ذَلِكَ فِي خُلُقِ دَابَّتِي، وَامْرَأَتِي.

“Aku mendapati bahwa ketika aku bermaksiat kepada Allah, dampaknya terlihat pada akhlak hewan tungganganku dan perilaku istriku.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 85)

5. Maksiat membuat semua urusan dipersulit

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

تَعْسِيرُ أُمُورِهِ عَلَيْهِ، فَلَا يَتَوَجَّهُ لِأَمْرٍ إِلَّا يَجِدُهُ مُغْلَقًا دُونَهُ أَوْ مُتَعَسِّرًا عَلَيْهِ، وَهَذَا كَمَا أَنَّ مَنْ اتَّقَى اللَّهَ جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا، فَمَنْ عَطَّلَ التَّقْوَى جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ عُسْرًا،

وَيَا لَلَّهِ الْعَجَبُ! كَيْفَ يَجِدُ الْعَبْدُ أَبْوَابَ الْخَيْرِ وَالْمَصَالِحِ مَسْدُودَةً عَنْهُ وَطُرُقَهَا مُعَسَّرَةً عَلَيْهِ، وَهُوَ لَا يَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ أُتِيَ؟

Kesulitan yang menimpa seseorang sering kali terlihat dalam urusan-urusannya yang menjadi serba sulit. Setiap kali ia mencoba menghadapi suatu perkara, ia mendapati jalannya tertutup atau penuh hambatan. Sebagaimana orang yang bertakwa kepada Allah akan dimudahkan dalam urusannya, maka siapa yang meninggalkan takwa akan mendapati urusannya menjadi sulit.

Sungguh mengherankan! Bagaimana seorang hamba bisa merasakan bahwa pintu-pintu kebaikan dan kemaslahatan tertutup baginya, serta jalannya terasa penuh kesulitan, namun ia tidak menyadari dari mana asal kesulitan itu datang? (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 85-86)

Catatan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun mengenai firman Allah Ta’ala,

{ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا }

{ وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ }

Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3).

Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah akan menghilangkan bahaya dan memberikan jalan keluar bagi orang yang benar-benar bertakwa pada-Nya. Allah akan mendatangkan padanya berbagai manfaat berupa dimudahkannya rezeki. Rezeki adalah segala sesuatu yang dapat dinikmati oleh manusia. Rezeki yang dimaksud di sini adalah rezeki dunia dan akhirat.”

6. Maksiat menghadirkan kegelapan ke dalam hati pelakunya

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

ظُلْمَةٌ يَجِدُهَا فِي قَلْبِهِ حَقِيقَةً يَحِسُّ بِهَا كَمَا يَحِسُّ بِظُلْمَةِ اللَّيْلِ الْبَهِيمِ إِذَا ادْلَهَمَّ، فَتَصِيرُ ظُلْمَةُ الْمَعْصِيَةِ لِقَلْبِهِ كَالظُّلْمَةِ الْحِسِّيَّةِ لِبَصَرِهِ، فَإِنَّ الطَّاعَةَ نُورٌ، وَالْمَعْصِيَةَ ظُلْمَةٌ، وَكُلَّمَا قَوِيَتِ الظُّلْمَةُ ازْدَادَتْ حَيْرَتُهُ، حَتَّى يَقَعَ فِي الْبِدَعِ وَالضَّلَالَاتِ وَالْأُمُورِ الْمُهْلِكَةِ وَهُوَ لَا يَشْعُرُ، كَأَعْمَى أُخْرِجَ فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ يَمْشِي وَحْدَهُ، وَتَقْوَى هَذِهِ الظُّلْمَةُ حَتَّى تَظْهَرَ فِي الْعَيْنِ، ثُمَّ تَقْوَى حَتَّى تَعْلُوَ الْوَجْهَ، وَتَصِيرُ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ حَتَّى يَرَاهُ كُلُّ أَحَدٍ.

Kegelapan akibat maksiat benar-benar terasa dalam hati, seolah-olah seseorang sedang merasakan gelap pekatnya malam yang tanpa cahaya. Kegelapan ini menjalar ke hati sebagaimana gelapnya malam menutup penglihatan. Sebab, ketaatan adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah kegelapan. Semakin kuat kegelapan ini, semakin bingunglah seseorang, hingga akhirnya terjerumus dalam bid’ah, kesesatan, dan perkara-perkara yang menghancurkan dirinya, tanpa ia sadari. Ia seperti orang buta yang berjalan sendirian di tengah malam yang gelap gulita. Kegelapan ini bahkan semakin parah hingga tampak pada penglihatannya, kemudian menjalar ke wajah, berubah menjadi bayangan hitam yang nyata hingga dapat dilihat oleh siapa saja.

قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّ لِلْحَسَنَةِ ضِيَاءً فِي الْوَجْهِ، وَنُورًا فِي الْقَلْبِ، وَسَعَةً فِي الرِّزْقِ، وَقُوَّةً فِي الْبَدَنِ، وَمَحَبَّةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ، وَإِنَّ لِلسَّيِّئَةِ سَوَادًا فِي الْوَجْهِ، وَظُلْمَةً فِي الْقَبْرِ وَالْقَلْبِ، وَوَهْنًا فِي الْبَدَنِ، وَنَقْصًا فِي الرِّزْقِ، وَبُغْضَةً فِي قُلُوبِ الْخَلْقِ.

Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata, “Sesungguhnya kebaikan memberikan cahaya pada wajah, penerangan dalam hati, keluasan dalam rezeki, kekuatan pada tubuh, dan kecintaan di hati manusia. Sebaliknya, keburukan mendatangkan kegelapan pada wajah, kegelapan dalam kubur dan hati, kelemahan pada tubuh, pengurangan dalam rezeki, dan kebencian di hati manusia.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 86)

7. Maksiat itu melemahkan hati dan tubuh

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُوهِنُ الْقَلْبَ وَالْبَدَنَ، أَمَّا وَهْنُهَا لِلْقَلْبِ فَأَمْرٌ ظَاهِرٌ، بَلْ لَا تَزَالُ تُوهِنُهُ حَتَّى تُزِيلَ حَيَاتَهُ بِالْكُلِّيَّةِ.
وَأَمَّا وَهْنُهَا لِلْبَدَنِ فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ قُوَّتُهُ مِنْ قَلْبِهِ، وَكُلَّمَا قَوِيَ قَلْبُهُ قَوِيَ بَدَنُهُ، وَأَمَّا الْفَاجِرُ فَإِنَّهُ – وَإِنْ كَانَ قَوِيَّ الْبَدَنِ – فَهُوَ أَضْعَفُ شَيْءٍ عِنْدَ الْحَاجَةِ، فَتَخُونُهُ قُوَّتُهُ عِنْدَ أَحْوَجِ مَا يَكُونُ إِلَى نَفْسِهِ فَتَأَمَّلْ قُوَّةَ أَبْدَانِ فَارِسَ وَالرُّومِ، كَيْفَ خَانَتْهُمْ، أَحْوَجَ مَا كَانُوا إِلَيْهَا، وَقَهَرَهُمْ أَهْلُ الْإِيمَانِ بِقُوَّةِ أَبْدَانِهِمْ وَقُلُوبِهِمْ؟

“Salah satu dampak maksiat adalah melemahkan hati dan tubuh. Lemahnya hati akibat maksiat sangatlah nyata, bahkan jika terus-menerus dilakukan, maksiat dapat sepenuhnya mematikan kehidupan hati.

Sedangkan pada tubuh, seorang mukmin memperoleh kekuatannya dari hatinya. Semakin kuat hatinya, semakin kuat pula tubuhnya. Sebaliknya, orang yang durhaka, meskipun terlihat memiliki tubuh yang kuat, sebenarnya adalah makhluk paling lemah saat ia benar-benar membutuhkan kekuatannya. Kekuatan itu justru akan mengkhianatinya di saat ia sangat membutuhkannya.

Lihatlah bangsa Persia dan Romawi, yang dikenal dengan kekuatan tubuh mereka, bagaimana tubuh itu justru mengkhianati mereka di saat paling genting, hingga akhirnya mereka dikalahkan oleh kaum mukminin yang memiliki kekuatan hati dan tubuh.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 86)

8. Maksiat menghalangi dari ketaatan

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

وَمِنْهَا: حِرْمَانُ الطَّاعَةِ، فَلَوْ لَمْ يَكُنْ لِلذَّنْبِ عُقُوبَةٌ إِلَّا أَنْ يَصُدَّ عَنْ طَاعَةٍ تَكُونُ بَدَلَهُ، وَيَقْطَعَ طَرِيقَ طَاعَةٍ أُخْرَى، فَيَنْقَطِعَ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَرِيقٌ ثَالِثَةٌ، ثُمَّ رَابِعَةٌ، وَهَلُمَّ جَرًّا، فَيَنْقَطِعُ عَلَيْهِ بِالذَّنْبِ طَاعَاتٌ كَثِيرَةٌ، كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهَا خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا، وَهَذَا كَرَجُلٍ أَكَلَ أَكْلَةً أَوْجَبَتْ لَهُ مِرْضَةً طَوِيلَةً مَنَعَتْهُ مِنْ عِدَّةِ أَكَلَاتِ أَطْيَبَ مِنْهَا، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ.

“Di antara dampak maksiat adalah terhalangnya seseorang dari ketaatan. Seandainya tidak ada hukuman lain dari dosa selain mencegah seseorang melakukan ketaatan yang seharusnya bisa menggantikan dosa tersebut, itu sudah cukup sebagai kerugian besar. Dosa juga memutus jalan menuju ketaatan berikutnya, sehingga semakin banyak dosa dilakukan, semakin banyak pula jalan ketaatan yang tertutup—satu demi satu. Padahal, setiap ketaatan yang hilang nilainya jauh lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya.

Hal ini seperti seseorang yang makan makanan yang buruk, lalu menyebabkan dirinya sakit dalam waktu yang lama, sehingga ia kehilangan kesempatan untuk menikmati banyak makanan yang lebih lezat darinya. Hanya kepada Allah-lah tempat meminta pertolongan.” (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 87)

9. Maksiat menghilangkan keberkahan dan memperpendek umur

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

أَنَّ الْمَعَاصِيَ تُقَصِّرُ الْعُمُرَ وَتَمْحَقُ بَرَكَتَهُ وَلَا بُدَّ، فَإِنَّ الْبِرَّ كَمَا يَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، فَالْفُجُورُ يُقَصِّرُ الْعُمُرَ.

Di antara dampak maksiat adalah memperpendek umur dan menghilangkan keberkahannya. Sebagaimana kebaikan dapat menambah umur, keburukan justru memperpendeknya.

فَقَالَتْ طَائِفَةٌ: نُقْصَانُ عُمُرِ الْعَاصِي هُوَ ذَهَابُ بَرَكَةِ عُمُرِهِ وَمَحْقُهَا عَلَيْهِ، وَهَذَا حَقٌّ، وَهُوَ بَعْضُ تَأْثِيرِ الْمَعَاصِي.

Sebagian ulama mengatakan bahwa berkurangnya umur pelaku maksiat berarti hilangnya keberkahan dalam hidupnya. Ini benar adanya, dan merupakan salah satu dampak dari maksiat.

وَقَالَتْ طَائِفَةٌ: بَلْ تُنْقِصُهُ حَقِيقَةً، كَمَا تُنْقِصُ الرِّزْقَ، فَجَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ لِلْبَرَكَةِ فِي الرِّزْقِ أَسْبَابًا كَثِيرَةً تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ، وَلِلْبَرَكَةِ فِي الْعُمُرِ أَسْبَابًا تُكَثِّرُهُ وَتَزِيدُهُ.

Sebagian ulama berpendapat bahwa dosa benar-benar mengurangi umur secara hakiki, sebagaimana dosa juga dapat mengurangi rezeki. Allah, Mahasuci Dia, telah menetapkan banyak sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam rezeki sehingga rezeki itu bertambah dan meningkat. Demikian pula, Allah menetapkan sebab-sebab yang dapat mendatangkan keberkahan dalam umur, yang menjadikannya lebih panjang dan penuh manfaat.

قَالُوا وَلَا تُمْنَعُ زِيَادَةُ الْعُمُرِ بِأَسْبَابٍ كَمَا يُنْقَصُ بِأَسْبَابٍ، فَالْأَرْزَاقُ وَالْآجَالُ، وَالسَّعَادَةُ وَالشَّقَاوَةُ، وَالصِّحَّةُ وَالْمَرَضُ، وَالْغِنَى وَالْفَقْرُ، وَإِنْ كَانَتْ بِقَضَاءِ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ، فَهُوَ يَقْضِي مَا يَشَاءُ بِأَسْبَابٍ جَعَلَهَا مُوجِبَةً لِمُسَبَّبَاتِهَا مُقْتَضِيَةً لَهَا.

Mereka mengatakan bahwa bertambahnya umur tidak terhalang oleh sebab-sebab tertentu, sebagaimana berkurangnya umur juga terjadi karena sebab-sebab tertentu. Hal ini serupa dengan rezeki dan ajal, kebahagiaan dan kesengsaraan, kesehatan dan penyakit, serta kekayaan dan kemiskinan. Semua itu, meskipun ditetapkan oleh keputusan Allah yang Mahaagung, tetap terjadi melalui sebab-sebab yang telah Allah tetapkan sebagai faktor penyebab bagi akibat-akibatnya, yang saling berkaitan dan sesuai dengan hikmah-Nya.

وَقَالَتْ طَائِفَةٌ أُخْرَى: تَأْثِيرُ الْمَعَاصِي فِي مَحْقِ الْعُمُرِ إِنَّمَا هُوَ بِأَنَّ حَقِيقَةَ الْحَيَاةِ هِيَ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَلِهَذَا جَعَلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ الْكَافِرَ مَيِّتًا غَيْرَ حَيٍّ، كَمَا قَالَ تَعَالَى، {أَمْوَاتٌ غَيْرُ أَحْيَاءٍ} [سُورَةُ النَّحْلِ: ٢١] .

Sebagian ulama lain berpendapat bahwa pengaruh maksiat dalam menghilangkan umur terletak pada hakikat kehidupan itu sendiri, yaitu kehidupan hati. Karena itulah Allah, Mahasuci Dia, menyebut orang kafir sebagai makhluk yang mati, bukan hidup, sebagaimana firman-Nya: “Mereka itu mati, tidak hidup.” (QS. An-Nahl: 21).

فَالْحَيَاةُ فِي الْحَقِيقَةِ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَعُمُرُ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ فَلَيْسَ عُمُرُهُ إِلَّا أَوْقَاتَ حَيَاتِهِ بِاللَّهِ، فَتِلْكَ سَاعَاتُ عُمُرِهِ، فَالْبِرُّ وَالتَّقْوَى وَالطَّاعَةُ تَزِيدُ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ الَّتِي هِيَ حَقِيقَةُ عُمُرِهِ، وَلَا عُمُرَ لَهُ سِوَاهَا.

Hakikat kehidupan sejati adalah kehidupan hati. Umur manusia pada hakikatnya adalah masa hidup hatinya. Tidak ada umur yang sebenarnya kecuali waktu-waktu yang ia jalani bersama Allah. Itulah jam-jam kehidupannya yang sejati. Kebaikan, ketakwaan, dan ketaatan menambah waktu-waktu ini, yang merupakan hakikat umur seseorang. Selain itu, tidak ada umur lain baginya selain waktu-waktu tersebut.

وَبِالْجُمْلَةِ، فَالْعَبْدُ إِذَا أَعْرَضَ عَنِ اللَّهِ وَاشْتَغَلَ بِالْمَعَاصِي ضَاعَتْ عَلَيْهِ أَيَّامُ حَيَاتِهِ الْحَقِيقِيَّةُ الَّتِي يَجِدُ غِبَّ إِضَاعَتِهَا يَوْمَ يَقُولُ: {يَالَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي} [سُورَةُ الْفَجْرِ: ٢٤] .

Secara keseluruhan, jika seorang hamba berpaling dari Allah dan sibuk dengan maksiat, maka ia telah menyia-nyiakan hari-hari dari kehidupannya yang sejati. Ia akan merasakan penyesalan atas waktu-waktu yang disia-siakan itu pada hari ketika ia berkata: “Alangkah baiknya jika aku dahulu mempersembahkan sesuatu untuk kehidupanku ini.” (QS. Al-Fajr: 24).

فَلَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ مَعَ ذَلِكَ تَطَلُّعٌ إِلَى مَصَالِحِهِ الدُّنْيَوِيَّةِ وَالْأُخْرَوِيَّةِ أَوْ لَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ فَقَدْ ضَاعَ عَلَيْهِ عُمُرُهُ كُلُّهُ، وَذَهَبَتْ حَيَاتُهُ بَاطِلًا، وَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَلُّعٌ إِلَى ذَلِكَ طَالَتْ عَلَيْهِ الطَّرِيقُ بِسَبَبِ الْعَوَائِقِ، وَتَعَسَّرَتْ عَلَيْهِ أَسْبَابُ الْخَيْرِ بِحَسْبِ اشْتِغَالِهِ بِأَضْدَادِهَا، وَذَلِكَ نُقْصَانٌ حَقِيقِيٌّ مِنْ عُمُرِهِ.

Keadaan seseorang yang berpaling dari Allah akan terbagi menjadi dua: apakah ia masih memiliki perhatian terhadap kepentingan dunia dan akhiratnya, atau tidak. Jika ia sama sekali tidak memiliki perhatian terhadap hal itu, maka seluruh umurnya akan terbuang sia-sia, dan kehidupannya menjadi kosong tanpa makna. Namun, jika ia masih memiliki perhatian terhadap hal tersebut, jalannya akan terasa panjang karena berbagai penghalang, dan sebab-sebab kebaikan menjadi sulit baginya, sebanding dengan kesibukannya pada hal-hal yang bertentangan dengan kebaikan itu. Ini adalah bentuk nyata dari berkurangnya umur secara hakiki.

وَسِرُّ الْمَسْأَلَةِ أَنَّ عُمُرَ الْإِنْسَانِ مُدَّةُ حَيَّاتِهِ وَلَا حَيَاةَ لَهُ إِلَّا بِإِقْبَالِهِ عَلَى رَبِّهِ، وَالتَّنَعُّمِ بِحُبِّهِ وَذِكْرِهِ، وَإِيثَارِ مَرْضَاتِهِ.

Inti dari permasalahan ini adalah bahwa umur manusia sejatinya adalah masa hidupnya, dan tidak ada kehidupan yang sebenarnya kecuali dengan mendekat kepada Rabb-nya, menikmati cinta dan zikir kepada-Nya, serta mengutamakan keridaan-Nya. (Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa‘, hlm. 87-88)

10. Dosa Melahirkan Dosa Lain

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

وَمِنْهَا أَنَّ الْمَعَاصِيَ تَزْرَعُ أَمْثَالَهَا، وَتُولِدُ بَعْضَهَا بَعْضًا، حَتَّى يَعِزَّ عَلَى الْعَبْدِ مُفَارَقَتُهَا وَالْخُرُوجُ مِنْهَا، كَمَا قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: إِنَّ مِنْ عُقُوبَةِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا، وَإِنَّ مِنْ ثَوَابِ الْحَسَنَةِ الْحَسَنَةُ بَعْدَهَا، فَالْعَبْدُ إِذَا عَمِلَ حَسَنَةً قَالَتْ أُخْرَى إِلَى جَنْبِهَا: اعْمَلْنِي أَيْضًا، فَإِذَا عَمِلَهَا، قَالَتِ الثَّالِثَةُ كَذَلِكَ وَهَلُمَّ جَرًّا، فَتَضَاعَفُ الرِّبْحُ، وَتَزَايَدَتِ الْحَسَنَاتُ.

“Salah satu akibat dari maksiat adalah bahwa maksiat akan menanamkan maksiat-maksiat lain yang serupa dan melahirkan maksiat berikutnya. Hal ini terus berlanjut hingga sulit bagi seorang hamba untuk meninggalkan dan keluar darinya. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama salaf: ‘Sesungguhnya salah satu hukuman dari sebuah keburukan adalah keburukan lain setelahnya. Dan sesungguhnya salah satu ganjaran dari sebuah kebaikan adalah kebaikan lain setelahnya.’

Apabila seorang hamba melakukan suatu kebaikan, maka kebaikan lain akan berkata kepadanya, ‘Lakukanlah aku juga.’ Ketika dia melakukannya, kebaikan ketiga akan berkata hal yang sama, ‘Lakukanlah aku juga.’ Demikian seterusnya hingga keuntungan (dari kebaikan tersebut) berlipat ganda dan amal-amal kebaikan terus bertambah banyak.”

وَكَذَلِكَ كَانَتِ السَّيِّئَاتُ أَيْضًا، حَتَّى تَصِيرَ الطَّاعَاتُ وَالْمَعَاصِي هَيْئَاتٍ رَاسِخَةً، وَصِفَاتٍ لَازِمَةً، وَمَلَكَاتٍ ثَابِتَةً، فَلَوْ عَطَّلَ الْمُحْسِنُ الطَّاعَةَ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ، وَضَاقَتْ عَلَيْهِ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ، وَأَحَسَّ مِنْ نَفْسِهِ بِأَنَّهُ كَالْحُوتِ إِذَا فَارَقَ الْمَاءَ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، فَتَسْكُنَ نَفْسُهُ، وَتَقَرَّ عَيْنُهُ.

Demikian pula halnya dengan keburukan, hingga ketaatan dan kemaksiatan berubah menjadi kebiasaan yang mengakar, sifat yang melekat, dan karakter yang tetap. Apabila seorang yang terbiasa berbuat baik meninggalkan ketaatan, jiwanya akan merasa sempit, dunia yang luas ini terasa menghimpitnya, dan ia merasa seperti ikan yang terlempar keluar dari air. Ia tidak akan merasa tenang hingga kembali kepada ketaatannya, barulah jiwanya menjadi tenteram dan hatinya merasa bahagia.

وَلَوْ عَطَّلَ الْمُجْرِمُ الْمَعْصِيَةَ وَأَقْبَلَ عَلَى الطَّاعَةِ؛ لَضَاقَتْ عَلَيْهِ نَفْسُهُ وَضَاقَ صَدْرُهُ، وَأَعْيَتْ عَلَيْهِ مَذَاهِبُهُ، حَتَّى يُعَاوِدَهَا، حَتَّى إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْفُسَّاقِ لَيُوَاقِعُ الْمَعْصِيَةَ مِنْ غَيْرِ لَذَّةٍ يَجِدُهَا، وَلَا دَاعِيَةٍ إِلَيْهَا، إِلَّا بِمَا يَجِدُ مِنَ الْأَلَمِ بِمُفَارَقَتِهَا.

“Dan apabila seorang pendosa menghentikan kemaksiatannya lalu beralih kepada ketaatan, ia akan merasa sempit jiwanya, dadanya terasa sesak, dan ia kesulitan menemukan jalan untuk merasa nyaman. Akhirnya, ia kembali kepada kemaksiatan. Bahkan, banyak di antara para pelaku maksiat yang melakukan dosa bukan karena menemukan kenikmatan di dalamnya atau adanya dorongan yang kuat untuk melakukannya, melainkan karena rasa sakit yang ia rasakan ketika meninggalkan maksiat tersebut.”

وَلَا يَزَالُ الْعَبْدُ يُعَانِي الطَّاعَةَ وَيَأْلَفُهَا وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِرَحْمَتِهِ عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةَ تَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا، وَتُحَرِّضُهُ عَلَيْهَا، وَتُزْعِجُهُ عَنْ فِرَاشِهِ وَمَجْلِسِهِ إِلَيْهَا.

وَلَا يَزَالُ يَأْلَفُ الْمَعَاصِيَ وَيُحِبُّهَا وَيُؤْثِرُهَا، حَتَّى يُرْسِلَ اللَّهُ إِلَيْهِ الشَّيَاطِينَ، فَتَؤُزُّهُ إِلَيْهَا أَزًّا.

فَالْأَوَّلُ قَوِيٌّ جَنَّدَ الطَّاعَةَ بِالْمَدَدِ، فَكَانُوا مِنْ أَكْبَرِ أَعْوَانِهِ، وَهَذَا قَوِيٌّ جَنَّدَ الْمَعْصِيَةَ بِالْمَدَدِ فَكَانُوا أَعْوَانًا عَلَيْهِ.

“Seorang hamba akan terus berusaha dalam ketaatan, hingga ia terbiasa dengannya, mencintainya, dan lebih memilihnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan rahmat-Nya, mengirim malaikat kepada hamba tersebut yang mendorongnya kuat-kuat kepada ketaatan, menyemangatinya untuk melakukannya, bahkan menggerakkannya dari tempat tidur dan majelisnya menuju ketaatan.

Sebaliknya, seorang hamba yang terus terbiasa dengan kemaksiatan, mencintainya, dan lebih memilihnya, Allah akan mengirimkan setan kepadanya yang mendorongnya kuat-kuat kepada kemaksiatan.

Yang pertama adalah orang yang kuat, karena ia memperkuat ketaatannya dengan bantuan dari Allah, sehingga para malaikat menjadi pendukung utamanya. Adapun yang kedua adalah orang yang kuat dalam dosa, karena ia memperkuat kemaksiatannya dengan bantuan setan, sehingga setan menjadi pendukungnya.”

(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 88-89)

11. Maksiat itu Melemahkan Hati

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

وَمِنْهَا: – وَهُوَ مِنْ أَخْوَفِهَا عَلَى الْعَبْدِ – أَنَّهَا تُضْعِفُ الْقَلْبَ عَنْ إِرَادَتِهِ، فَتُقَوِّي إِرَادَةَ الْمَعْصِيَةِ، وَتُضْعِفُ إِرَادَةَ التَّوْبَةِ شَيْئًا فَشَيْئًا، إِلَى أَنْ تَنْسَلِخَ مِنْ قَلْبِهِ إِرَادَةُ التَّوْبَةِ بِالْكُلِّيَّةِ، فَلَوْ مَاتَ نِصْفُهُ لَمَا تَابَ إِلَى اللَّهِ، فَيَأْتِي بِالِاسْتِغْفَارِ وَتَوْبَةِ الْكَذَّابِينَ بِاللِّسَانِ بِشَيْءٍ كَثِيرٍ، وَقَلْبُهُ مَعْقُودٌ بِالْمَعْصِيَةِ، مُصِرٌّ عَلَيْهَا، عَازِمٌ عَلَى مُوَاقَعَتِهَا مَتَى أَمْكَنَهُ وَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ الْأَمْرَاضِ وَأَقْرَبِهَا إِلَى الْهَلَاكِ

“Salah satu dampak dosa—dan ini adalah salah satu yang paling menakutkan bagi seorang hamba—adalah bahwa dosa melemahkan hati dalam keinginannya untuk berbuat baik. Sebaliknya, dosa memperkuat dorongan untuk terus melakukan perbuatan maksiat. Akibatnya, keinginan untuk bertaubat pun perlahan-lahan melemah hingga benar-benar hilang dari hati. Bahkan, jika separuh dirinya berada di ambang kematian, ia mungkin tetap tidak akan kembali kepada Allah.

Hamba seperti ini bisa saja melafalkan istighfar atau bertaubat, tetapi itu hanyalah taubat yang dusta. Lidahnya mengucapkan permohonan ampun, tetapi hatinya tetap terikat pada dosa, terus bersikukuh melakukannya, dan bertekad untuk kembali terjerumus kapan pun ia mendapat kesempatan. Kondisi ini merupakan salah satu penyakit hati yang paling berbahaya dan paling dekat dengan kebinasaan.” (Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89)

12. Hilangnya Rasa Jijik Terhadap Maksiat

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

وَمِنْهَا: أَنَّهُ يَنْسَلِخُ مِنَ الْقَلْبِ اسْتِقْبَاحُهَا، فَتَصِيرُ لَهُ عَادَةً، فَلَا يَسْتَقْبِحُ مِنْ نَفْسِهِ رُؤْيَةَ النَّاسِ لَهُ، وَلَا كَلَامَهُمْ فِيهِ.

وَهَذَا عِنْدَ أَرْبَابِ الْفُسُوقِ هُوَ غَايَةُ التَّهَتُّكِ وَتَمَامُ اللَّذَّةِ، حَتَّى يَفْتَخِرَ أَحَدُهُمْ بِالْمَعْصِيَةِ، وَيُحَدِّثَ بِهَا مَنْ لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهُ عَمِلَهَا، فَيَقُولُ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ كَذَا وَكَذَا.

وَهَذَا الضَّرْبُ مِنَ النَّاسِ لَا يُعَافَوْنَ، وَتُسَدُّ عَلَيْهِمْ طَرِيقُ التَّوْبَةِ، وَتُغْلَقُ عَنْهُمْ أَبْوَابُهَا فِي الْغَالِبِ،

“Di antara dampak buruk dosa adalah hilangnya rasa jijik terhadap perbuatan maksiat dalam hati. Akibatnya, dosa tersebut menjadi kebiasaan. Orang yang terjerumus dalam kebiasaan maksiat tidak lagi merasa malu meskipun orang lain melihat atau membicarakan perbuatannya.

Bagi sebagian pelaku maksiat, kondisi ini dianggap sebagai puncak keberanian dan kenikmatan. Bahkan, mereka tidak segan-segan membanggakan dosa-dosanya. Mereka menceritakan keburukan yang telah dilakukan kepada orang lain yang mungkin sebelumnya tidak tahu. Misalnya, seseorang berkata, “Hai Fulan, aku pernah melakukan ini dan itu.”

Orang seperti ini sering kali sulit untuk disembuhkan dari penyakitnya. Jalan taubat tertutup bagi mereka dalam banyak kasus, dan pintu-pintu ampunan menjadi sulit diraih.

كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:

«كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرُونَ، وَإِنَّ مِنَ الْإِجْهَارِ أَنْ يَسْتُرَ اللَّهُ عَلَى الْعَبْدِ ثُمَّ يُصْبِحُ يَفْضَحُ نَفْسَهُ وَيَقُولُ: يَا فُلَانُ عَمِلْتُ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا كَذَا وَكَذَا، فَهَتَكَ نَفْسَهُ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ» .

Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Setiap umatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa. Termasuk dalam kategori ini adalah seseorang yang pada malam hari Allah menutupi dosanya, tetapi pada pagi harinya ia sendiri yang membuka aibnya dengan berkata, ‘Hai Fulan, aku telah melakukan ini dan itu pada hari ini.’ Maka ia sendiri yang merusak penutup yang Allah berikan atasnya.” (HR. Bukhari, no. 5721 dan Muslim, no. 2990)

(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 89-90)

13. Ada Dosa yang Merupakan Warisan dari Umat Terdahulu

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

وَمِنْهَا أَنَّ كُلَّ مَعْصِيَةٍ مِنَ الْمَعَاصِي فَهِيَ مِيرَاثٌ عَنْ أُمِّةٍ مِنَ الْأُمَمِ الَّتِي أَهْلَكَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ.

فَاللُّوطِيَّةُ: مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ لُوطٍ.

وَأَخْذُ الْحَقِّ بِالزَّائِدِ وَدَفْعُهُ بِالنَّاقِصِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ شُعَيْبٍ.

وَالْعُلُوُّ فِي الْأَرْضِ بِالْفَسَادِ، مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ.

وَالتَّكَبُّرُ وَالتَّجَبُّرُ مِيرَاثٌ عَنْ قَوْمِ هُودٍ.

فَالْعَاصِي لَابِسٌ ثِيَابَ بَعْضِ هَذِهِ الْأُمَمِ، وَهُمْ أَعْدَاءُ اللَّهِ.

Di antara dampak buruk dari maksiat adalah bahwa setiap perbuatan dosa merupakan warisan dari umat-umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah.

  • Perbuatan kaum Nabi Luth (liwathhomoseksual) adalah warisan dari kaum Luth.
  • Kecurangan dalam timbangan dan ukuran, yaitu mengambil lebih dari hak dan memberikan kurang dari kewajiban, adalah warisan dari kaum Nabi Syu’aib.
  • Kesombongan di muka bumi dengan melakukan kerusakan adalah warisan dari kaum Fir’aun.
  • Kesombongan dan keangkuhan adalah warisan dari kaum Nabi Hud.

Maka, orang yang melakukan dosa seperti ini seolah-olah sedang mengenakan pakaian dari umat-umat tersebut, yang notabene adalah musuh Allah.

Kisah dan Nasihat dari Malik bin Dinar

وَقَدْ رَوَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ فِي كِتَابِ الزُّهْدِ لِأَبِيهِ عَنْ مَالِكِ بْنِ دِينَارٍ قَالَ: أَوْحَى اللَّهُ إِلَى نَبِيٍّ مِنْ أَنْبِيَاءِ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ قُلْ لِقَوْمِكَ: لَا يَدْخُلُوا مَدَاخِلَ أَعْدَائِي، وَلَا يَلْبَسُوا مَلَابِسَ أَعْدَائِي وَلَا يَرْكَبُوا مَرَاكِبَ أَعْدَائِي، وَلَا يَطْعَمُوا مَطَاعِمَ أَعْدَائِي، فَيَكُونُوا أَعْدَائِي كَمَا هُمْ أَعْدَائِي.

Dalam kitab Az-Zuhd karya Imam Ahmad, diriwayatkan bahwa Malik bin Dinar menyebutkan sebuah wahyu yang Allah sampaikan kepada salah satu nabi dari kalangan Bani Israil, “Sampaikan kepada kaummu agar mereka tidak memasuki tempat-tempat yang menjadi kebiasaan musuh-musuh-Ku, tidak mengenakan pakaian seperti musuh-musuh-Ku, tidak menaiki kendaraan seperti musuh-musuh-Ku, dan tidak memakan makanan seperti musuh-musuh-Ku, karena jika mereka melakukannya, mereka akan menjadi musuh-Ku seperti musuh-musuh-Ku.” (Kitab Az-Zuhd, 2:180)

Hadis Nabi tentang Penyerupaan Diri

وَفِي مُسْنَدِ أَحْمَدَ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي، وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي، وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ» .

Dalam Musnad Ahmad, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diutus dengan pedang menjelang datangnya hari kiamat agar Allah disembah semata, tanpa menyekutukan-Nya. Rezekiku dijadikan berada di bawah bayang-bayang tombakku, dan kehinaan serta kerendahan ditimpakan kepada orang-orang yang menyelisihi perintahku. Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan mereka.” (HR. Ahmad, 2:50,92. Hadits ini hasan sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dalam takhrij kitab Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 91)

(Lihat Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, hlm. 90-91)

***

Buah Dari Mengikuti Kebaikan

Buah Dari Mengikuti Kebaikan 

Saudaraku inilah di antara tanda kebaikan kita diterima, yaitu kebaikan tersebut berbuah pada kebaikan selanjutnya. Jika kita mengerjakan shalat, maka itu pun membuahkan kita rutin mengerjakannya dan menjauhi kemungkaran. Jika kita shalat malam, maka tanda diterimanya kebaikan tersebut adalah jika kita berusaha terus untuk rutin shalat malam. Jika kita telah berhaji, maka itu membuahkan kita gemar menjaga shalat wajib, shalat sunnah, rajin berderma dan melakukan segala kebaikan lainnya. Sebaliknya, jika kebaikan yang kita lakukan malah berbuah kejelekan, maka itu tanda kebaikan sebelumnya itu bermasalah.

Jika Allah subhanahu wa ta’ala menerima amalan seorang hamba, maka Dia akan menunjuki pada amalan sholih selanjutnya. Hal ini diambil dari perkataan sebagian salaf,

مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا، وَمِنْ جَزَاءِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا

Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya dan di antara balasan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim). Ibnu Rajab menjelaskan hal di atas dengan perkataan salaf lainnya, Balasan dari amalan kebaikan adalah amalan kebaikan selanjutnya. Barangsiapa melaksanakan kebaikan lalu dia melanjutkan dengan kebaikan lainnya, maka itu adalah tanda diterimanya amalan yang pertama. Begitu pula barangsiapa yang melaksanakan kebaikan lalu malah dilanjutkan dengan amalan kejelekan, maka ini adalah tanda tertolaknya atau tidak diterimanya amalan kebaikan yang telah dilakukan. (Latho-if Al Ma’arif)

Walaupun singkat faedah di siang ini, namun semoga semakin memudahkan kita untuk terus istiqomah dalam beramal baik. Kunci utama agar terus bisa beramal baik adalah tawakkal dan banyak memohon doa pada Allah.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3). Yaitu seandainya manusia betul-betul bertakwa dan bertawakkal, maka sungguh Allah akan mencukupi urusan dunia dan agama mereka. (Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam)

Ingatlah pula sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى مِنَ الدُّعَاءِ

Tidak ada sesuatu yang lebih besar pengaruhnya di sisi Allah Ta’ala selain do’a.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad. Hasan)

Dengan tawakkal dan doa, moga Allah mudahkan kita kontinu dalam beramal baik sepanjang hayat. Wallahu waliyyut taufiq.

***