Jangan Sampai Kena Penyakit Hati

Jangan Sampai Kena Penyakit Hati 

Ada dua penyakit pada diri kita, yaitu penyakit hati dan penyakit badan. Oleh karenanya, kalau kita meminta sehat, mintalah kesehatan badan dan hati sekaligus.

Penyakit hati itu penyakit maknawi yang tidak terlihat, beda dengan penyakit badan itu tampak. Ada yang terlihat sehat, berotot kuat, terlihat segar, namun hatinya itu sakit. Bisa saja seperti itu.

Tiga macam hati

Perlu kita tahu bahwa hati itu ada tiga macam. Ada hati yang sehat (selamat dari penyakit), hati yang sakit dan hati yang mati. Ketiga jenis hati ini disebutkan dalam ayat berikut ini,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ وَلَا نَبِيٍّ إِلَّا إِذَا تَمَنَّى أَلْقَى الشَّيْطَانُ فِي أُمْنِيَّتِهِ فَيَنْسَخُ اللَّهُ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللَّهُ آَيَاتِهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (52) لِيَجْعَلَ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ فِتْنَةً لِلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَفِي شِقَاقٍ بَعِيدٍ (53) وَلِيَعْلَمَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَيُؤْمِنُوا بِهِ فَتُخْبِتَ لَهُ قُلُوبُهُمْ وَإِنَّ اللَّهَ لَهَادِ الَّذِينَ آَمَنُوا إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (54)

Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana, agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit (hati yang sakit) dan yang mati hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu, benar-benar dalam permusuhan yang sangat, dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu (yang punya hati yang sehat), meyakini bahwasanya Al Quran itulah yang hak dari Rabb-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.” (QS. Al Hajj: 52-54). Dalam ayat ini, disebutkan tiga macam hati, yaitu dua hati yang terkena fitnah dan satu hati yang selamat. Hati yang terkena fitnah adalah hati yang sakit dan yang mati. Sedangkan hati yang selamat adalah hati orang beriman yang selalu tunduk dan patuh pada Rabb-Nya, serta selalu merasakan ketenangan.

Bagaimana keadaan hati yang sehat?

Hati yang sehat, itulah yang akan selamat pada kegentingan hari kiamat kelak. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ (88) إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ (89)

“(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy Syu’araa’: 88-89).

Hati yang sehat adalah hati yang selamat dari syahwat yang menyelisihi perintah dan larangan Allah dan selamat dari syubhat yang bertentangan dengan kabar dari Allah, selamat dari penghambaan pada selain Allah, selamat dari berhukum pada selain hukum Rasulullah. Hati yang sehat juga selamat dari cinta ibadah yang menduakan Allah, dari takut ibadah yang menduakan Allah, begitu pula dari rasa harap yang menduakan Allah. Intinya, segala ubudiyah (penghambaan) hanyalah ditujukan pada Allah, itulah hati yang selamat. Demikian kalimat yang jaami’ ketika mendefinisikan hati yang sehat sebagaimana diuraikan oleh Ibnul Qayyim.

Hati yang sehat, selamat dari syirik (penghambaan ibadah pada selain Allah) dan hati tersebut tunduk pada syari’at yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dua unsur penting ini dimiliki oleh orang yang memiliki hati yang sehat. Demikian kesimpulan dari Ibnul Qayyim rahimahullah.

Tanya: Mengapa dan Bagaimana

Dalam ibadah ditanyakan dua hal, yaitu: (1) Mengapa? (2) Bagaimana?

Sebagian salaf berkata,

ما من فعلة وإن صغرت إلا ينشر لها ديوانان : لم وكيف أى لم فعلت وكيف فعلت

“Setiap amalan tidak lepas dari dua pertanyaan yaitu mengapa dan bagaimana, maksudnya (1) mengapa dilakukan? (2) bagaimana dilakukan?” (Ighatsah Al-Lahfan, 1: 42).

Pertanyaan pertama dimaksudkan apakah motivasi yang mendorong melakukan amalan tersebut, apakah dilakukan untuk meraup keuntungan dunia, suka akan pujian manusia, takut pada celaan mereka, ataukah ingin mendekatkan diri pada Allah.

Pertanyaan kedua dimaksudkan bagaimana amalan tersebut dilakukan, apakah sesuai yang disyari’atkan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– ataukah tidak.

Intinya, pertanyaan pertama tentang ikhlas dalam amalan, sedangkan pertanyaan kedua tentang ittiba’ (mengikuti ajaran Rasul – shallallahu ‘alaihi wa sallam-). Amalan tidaklah diterima melainkan dengan memenuhi dua syarat ini. Sehingga hati yang selamat dan meraih kebahagiaan adalah hati yang ikhlas dan hati yang berusaha mengikuti setiap petunjuk Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam amalan ibadah. Sehingga Ibnul Qayyim pun mengatakan,

فهذا حقيقة سلامة القلب الذي ضمنت له النجاة والسعادة

“Inilah (hati yang ikhlas dan ittiba’) itulah hakikat hati yang salim, yang akan meraih keselamatan dan kebahagiaan.” (Ighatsah Al-Lahfan, 1: 43).

Hati yang Mati

Hati yang mati adalah lawan dari hati yang hidup. Hati yang mati adalah hati yang tidak ada kehidupan di dalamnya. Hati seperti ini tidak mengenal Rabbnya, tidak menyembah-Nya dengan menjalankan perintah-Nya sesuai ia cintai dan ridhoi. Bahkan hati seperti ini hanya mau menuruti syahwat dan keinginannya walau sampai membuat Allah murka dan marah. Ia tidak ambil pusing apakah Rabbnya peduli ataukah tidak. Hakikatnya ia beribadah pada selain Allah dalam hal cinta, takut, harap, ridho, murka, pengagungan dan penghinaan diri. Jika ia mau mencinta, maka ia mencintai karena hawa nafsunya (bukan karena Allah). Begitu pula ketika ia membenci, maka ia membenci karena hawa nafsunya (bukan karena Allah). Sama halnya ketika ia memberi atau menolak, itu pun dengan hawa nafsunya. Hawa nafsunya lebih ia cintai daripada ridho Allah. Hawa nafsu, syahwat dan kebodohan adalah imamnya. Kendaraannya adalah kendaraannya.

Hati yang mati ini adalah hati yang tidak mau menerima kebenaran dan juga tidak mau patuh. Berbeda halnya dengan hati yang sehat yang mengetahui kebenaran, patuh dan menerimanya.

Demikian penjelasan Ibnul Qayyim yang kami sarikan dari kitab Ighatsah Al-Lahfan, 1: 44, 46.

Kalau kita perhatikan, orang yang punya penyakit dalam hati lebih berbahaya dari penyakit badan. Karena penyakit badan hanya membuat sengsara dan sulit di dunia. Sedangkan penyakit hati mengakibatkan sengsara dunia dan akhirat.

Moga Allah memberi taufik pada hati agar terus sehat dan dihindarkan dari penyakit yang membahayakan.

Akan Muncul Da'i Dai Yang menyeru Ke Neraka Jahanam

Akan Muncul Da'i Dai Yang menyeru Ke Neraka Jahanam

عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَان رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ : كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُوْنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَيْرِ وَ كُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي فَقُلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ أِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرِّ فَجَاءَنَااللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ شَرِّ قَالَ نَعَمْ فَقُلْتُ هَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرِ قَالَ نَعَمْ وَفِيْهِ دَخَنٌ قَلْتُ وَمَادَخَنُهُ قَالَ قَوْمٌ يَسْتَنُّوْنَ بِغَيْرِ سُنَّتِي وَيَهْدُوْنَ بِغَيْرِ هَدْيِي تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ فَقُلْتُ هَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرِّ قَالَ نَعَمْ دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوْهُ فِيْهَا فَقُلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ صِفْهُمْ لَنَا قَالَ نَعَمْ قَوْمٌ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَمُوْنَ بِأَلْسِنَتِنَا قثلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ فَمَاتَرَى إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ قَالَ تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ فَقُلْتُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلُ تِلكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ عَلَى أَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ

Dari Hudzaifah bin Al-Yaman Radhiyalahu ‘anhu beliau berkata : “Dahulu manusia bertanya kepada Rasulullah tentang hal-hal yang baik tapi aku bertanya kepada beliau tentang hal-hal yang buruk agar jangan sampai menimpaku”
Aku bertanya : “Wahai Rasulullah, dahulu kami berada dalam keadaan jahiliyah dan kejelekan lalu Allah mendatangkan kebaikan (Islam,-pent) ini, apakah setelah kebaikan ini akan datang kejelekan ?”
Beliau berkata : “Ya”
Aku bertanya : “Dan apakah setelah kejelekan ini akan datang kebaikan?”
Beliau menjawab : “Ya, tetapi didalamnya ada asap”.
Aku bertanya : “Apa asapnya itu ?”
Beliau menjawab : “Suatu kaum yang membuat ajaran bukan dari ajaranku, dan menunjukkan (manusia) kepada selain petunjukku. Engkau akan mengenal mereka dan engkau akan memungkirinya”
Aku bertanya : “Apakah setelah kebaikan ini akan datang kejelekan lagi?”
Beliau menjawab :”Ya, (akan muncul) para dai-dai yang menyeru ke neraka jahannam. Barangsiapa yang menerima seruan mereka, maka merekapun akan menjerumuskan ke dalam neraka”
Aku bertanya : “Ya Rasulullah, sebutkan cirri-ciri mereka kepada kami ?”
Beliau menjawab : “Mereka dari kulit-kulit/golongan kita, dan berbicara dengan bahasa kita”
Aku bertanya : “Apa yang anda perintahkan kepadaku jika aku temui keadaan seperti ini”
Beliau menjawab : “Pegang erat-erat jama’ah kaum muslimin dan imam mereka”
Aku bertanya : “Bagaimana jika tidak imam dan jama’ah kaum muslimin?”
Beliau menjawab :”Tinggalkan semua kelompok-kelompok sempalan itu, walaupun kau menggigit akar pohon hingga ajal mendatangimu”

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini memiliki banyak jalan, diantaranya :

Dari jalan Walid bin Muslim (dia berkata) : Menceritakan kepada kami Ibnu Jabir (dia berkata) : Menceritakan kepada kami Bisr bin Ubeidillah Al-Hadromy hanya dia pernah mendengar Abu Idris Al-Khaoulani dari Hudzaifah bin Yaman Radhiyallahu ‘anhu …….[HR Bukhari 6/615-616 dan 13/35 beserta Fathul Baari. Muslim 12/235-236 beserta Syarh Nawawi. Baghowi dalam Syarhus Sunnah 14/14. Dan Ibnu Majah 2979]
Dari jalan Waki’ dari Sufyan dari ‘Atho’ bin Saib dari Abi Al-Bukhari dia berkata : Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu berkata ….. [HR Ahmad dalam musnad 5/399]
Dari jalan Abi Mughiroh (dia berkata) menceritakan kepada kami Assafar bin Nusair Al-Azdi dan selainnya dari Hudzaifah bin Al-Yaman, beliau berkata : “Wahai Rasulullah sesungguhnya kami dahulu dalam keburukan lalu Allah menghilangkannya dan mendatangkan kebaikan melalui anda. Apakah setelah kebaikan ini akan datang kejelekan?”. Beliau berkata : “Ya”. Hudzaifah bertanya lagi : “Apa kejelekan tersebut?” Beliau menjawab : “Akan muncul banyak fitnah seperti malam yang gelap gulita, sebagaimana mengikuti yang lainnya dan akan datang kepada kalian hal-hal yang samar-samar seperti wajah-wajah sapi yang kalian tak mengetahuinya” [HR Ahmad 5/391]
SYARH HADITS

  1. Mengenal Jalan Orang-Orang Yang Tersesat Merupakan Kewajiban Dalam Syariat.
    Ketahuilah -semoga Allah memberkahi anda- sesungguhnya metode Ar-Rabbani (Islam) yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menampilkan generasi pertama yaitu shabat dan para tabi’in (sesungguhnya bertujuan) untuk mejelaskan jalan kebenaran dan agar diikuti.

Allah Azza wa Jalla berfirman.

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Barangsiapa yang menyelisihi Rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia mengikuti jalan selain orang-orang yang beriman maka kami palingkan dia kemana dia berpaling dan kami akan memasukkannya kedalam neraka jahannam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali” [an-Nisa/4 : 116]

Akan tetapi (metode Islam ini) tidak cukup hanya mejelaskan jalan kebenaran saja bahkan menyingkap kebatilan dan mengungkap kepalsuannya agar jelas dan terang jalan orang-orang yang tersesat (lalu dijauhi dan ditinggalkan,-pent).

Allah Azza wa Jalla berfirman.

وَكَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ الْمُجْرِمِينَ

“Dan demikianlah kami terangkan ayat-ayat Al-Qur’an, supaya jelas jalan orang-orang yang benar dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang tersesat” [al-An’am/6 : 55]

Seorang penyair berkata.

عَرَفْتُ الشَّرِّ لاَ لِلشَّرِّ وَلَكِنْ لِتَوْقِيْهِ
وَمَنْ لَمْ يَعْرِفِ الْخَيْرَ مِنَ الشَّرِّ يَقَعُ فِيْهِ


“Aku mengenal keburukan bukan untuk keburukan akan tetapi untuk menjauhinya”
“Dan barangsiapa yang tidak mengenal kebaikan dari keburukan dia akan terjerumus kedalam keburukan itu”.

  1. Islam Terancam Dari Dalam
    Sesungguhnya musuh-musuh Allah terus mengintai Islam hingga ketika mereka telah melihat penyakit whan (cinta dunia dan takut mati) telah menjalar dalam tubuh kaum muslimin dan penyakit-penyakit yang lain sudah menyebar mereka langsung menyerang dan menyumbat nafas kaum muslimin.

Sesungguhnya racun-racun berbisa yang membinasakan dan menghancurkan kekuatan kaum muslimin serta melemahkan gerak mereka bukanlah pedang-pedang orang-orang kafir yang berkumpul untuk membuat makar terhadap Islam. Akan tetapi kuman-kuman yang busuk yang menyelinap didalam tubuh kaum muslimin yang lambat tapi pasti (itulah yang menyebabkan kebinasaan). Itulah asap yang dikatakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Hudzaifah diatas : “suatu kaum yang membuat ajaran bukan dari ajaranku dan memberikan petunjuk bukan dari petunjukku …..” Didalam ucapan beliau ini ada hal-hal penting diantaranya.

Sesungguhnya asap itu merupakan penyimpangan yang selalu membuat kabur ajaran Islam (Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang terang benderang malamnya bagaikan siangnya.
Yang nampak pada saat terjadinya hal ini adalah kebaikan akan tetapi dalamnya terdapat hal-hal yang membinasakan. Bukanlah dalam riwayat Muslim Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Akan muncul manusia-manusia yang berhati setan”.
Asap ini terus tumbuh dan menguasai hingga kejelekan itu merajalela serta merupakan awal munculnya dai-dai penyesat dan kelompok-kelompok sempalan.
Sesungguhnya yang meniup asap tersebut adalah para dai-dai penyesat. Dan ini menunjukkan bahwa rencana busuk untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin telah mengakar kuat dalam sejarah Islam.
Sesungguhnya gembong-gembong kesesatan selain giat dalam menyesatkan. Akan tetapi (sebagian) pemegang kebenaran lalai dan tertidur hingga asap tersebut menguasai dan merajalela serta menutupi kebenaran. Dari sini kita ketahui bahwa asap yang menyelimuti kebenaran dan mengkotori kejernihannya adalah bid’ah-bid’ah yang ditebarkan oleh Mu’tazilah, Sufiyah, Jahmiyah, Khowarij, Asy’ariyah, Murji’ah dan Syi’ah Rofidhoh sejak berabad-abad lamanya.
Oleh karena inilah umat Islam mejadi terbelakang dan menjadi santapan bagi setiap musuh serta menyebarnya kebatilan. Dan dengan sebab inilah setiap munafik berbicara dengan mengatas namakan Islam. Dari sini kita mengetahui bahwa bahaya bid’ah lebih besar daripada musuh-musuh yang lainnya (orang-orang kafir), karena bid’ah merusak hati dan badan tapi musuh-musuh tersebut hanya merusak badan. Para salaf telah bersepakat akan kewajiban memerangi ahli bid’ah dan menghajr (memboikot) mereka. Imam Dzahabi mengatakan : “Para salaf sering mentahdzir ahli bid’ah, mereka mengatakan : Sesungguhnya hati-hati ini lemah sedangkan syubhat (dari ahli bid’ah itu) cepat mencengkram”.

  1. Hati-Hati Antek-Antek Yahudi !!!
    Sesungguhnya para gembong-gembong kekafiran telah memproduksi antek-anteknya dalam negeri kaum muslimin dua cara.

Pengiriman para pelajar ke negeri kafir (seperti di Cihicago Univerity,-pent) yang disanalah para pelajar kaum muslimin di cuci otak-otak mereka lalu jika mereka pulang mereka sebarkan racun-racun itu kepada kaum muslimin.
Dengan menyelinapnya para orientalis dibawah simbol-simbol penelitian ilmiah. Sesunggunya para orientalis-orientalis itu merupakan antek-antek/tangan-tangan Yahudi dan Nashrani.
Di dalam hadits Hudzaifah ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan ciri mereka, beliau bersabda :

دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوْهُ فِيْهَا فَقُلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ صِفْهُمْ لَنَا قَالَ نَعَمْ قَوْمٌ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَمُوْنَ بِأَلْسِنَتِنَا

“Akan muncul dai-dai yang menyeru ke neraka jahannam, barangsiapa yang menerima seruan mereka maka mereka akan menjerumuskannya ke dalam jahannam”. Hudzaifah bertanya : “Wahai Rasululah sebutkan cirri mereka ?” Rasulullah menjawab : “Mereka dari golongan kita dan berbicara dengan lisan-lisan kita”.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul Baari 13/36 : “Yaitu dari kaum kita dan yang berbicara dengan bahasa kita serta dari agama kita. Didalamnya ada isyarat bahwa mereka itu dari Arab”.

Ad-Dawudi berkata : “Mereka itu dari keturunan Adam”.

Al-Qoobisy berkata : Maknanya, secara dhohir mereka itu dari agama kita tapi secara batin mereka menyelisihi (agama kita)”.

Mereka menampakkan kesungguhan dalam memberi solusi, dan maslahat bagi umat. Tapi mereka menipu umat dengan gaya bahasa mereka, dan hati-hati mereka menginginkan untuk menjalankan misi-misi tuan-tuan mereka dari kalangan Kristen dan Yahudi. Allah berfirman.

وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ

“Tidak akan ridho orang-orang Yahudi dan Narani hingga kalian mengikuti agama mereka” [al-Baqarah/2 : 120]

Diantara mereka adalah Thoha Husein (dari Mesir, pent) yang dijuluki oleh tuan-tuannya sebagai pujangga Arab. Orang ini mengatakan bahwa syair orang-orang jahiliyah itu lebih baik kesasteraannya daripada Al-Qur’an. Inilah pemikiran Marjilius seorang orientalis Yahudi yang diadopsi oleh Thoha Husein dan dipropagandakannya. Contoh-contoh seperti ini banyak sekali, mereka turun temurun dari waktu ke waktu di setiap tempat.

  1. Siapa Jama’ah Kaum Muslimin ?
    Setelah melihat kenyataan yang pahit dan getir ini, mulailah sebagian kaum muslimin bangkit, setiap kelompok dari kaum muslimin melihat realita ini dari kaca mata tersendiri, kelompok yang lain juga demikian. Oleh karena itulah bisa dikatakan bahwa kelompok-kelompok yang ada sekarang ini yang katanya berjuang atau berdakwah, mereka itu saling berselisih dalam metode dan cara berdakwah. Dan perselisihan yang paling parah yang menghalangi persatuan mereka adalah dua hal :

Peselisihan mereka dalam pengambilan sumber ilmu dan pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Sunnah.
Ketidakmengertian mereka tentang diri mereka sendiri, sehingga pada saat ini kita sering menyaksikan bahwa hizbiyyah dan fanatik golongan ini masih menyumbat akal pikiran para dai-dai yang turun di medan dakwah. Mereka membanggakan diri mereka sendiri dan meremehkan yang lainnya. Sebagiannya menganggap bahwa kelompoknya itulah yang dinamakan jama’ah kaum muslimin dan pendirinya adalah imam kaum muslimin yang wajib di bai’at atau disumpah setia. Dan sebagiannya lagi mengkafirkan kaum muslimin. Sebenarnya mereka hanya jama’ah atau kelompok-kleompok kaum muslimin, karena kaum muslimin sekarang tidak memiliki jama’ah ataupun imam/pemimpin.

Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa jama’ah kaum muslimin adalah (Negara Islam) yang bersatu atau berkumpul didalamnya seluruh kaum muslimin. Mereka hanya punya satu imam/pemimpin yang menerapkan hukum-hukum Allah dan wajib untuk di taati serta diba’iat.

  1. Tinggalkan Kelompok-Kelompok Sempalan Itu
    Hadits Hudzaifah diatas memerintahkan kepada kita untuk meninggalkan semua kelompok-kelompok sesat ketika terjadi fitnah dan kejelekan serta disaat tidak ada jama’ah kaum musilimin dan imam mereka.

Kelompok-kelompok sempalan ini yang menyeru manusia kepada kesesatan, bersatu diatas kemungkaran dan diatas hawa nafsu atau berkumpul diatas pemikiran-pemikiran kufur seperti sosialisme, komunisme, kapitalisme, demokrasi atau bersatu berdasarkan fanatik golongan dan lain sebagainya.

Inilah kelompok-kelompok sesat yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Hudziafah untuk ditinggalkan dan dijauhi karena menjerumuskan manusia ke dalam neraka jahanam dengan sebab ajaran mereka yang bukan dari Islam.

Adapun kelompok yang menyeru kepada Islam (yang benar), memerintahkan kepada yang baik dan melarang dari yang mungkar maka inilah yang diperintahkan oleh Allah untuk diikuti dan ditolong. Allah ta’ala berfirman.

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Hendaklah ada diantara kalian sekelompok orang yang menyeru kepada kebaikan dan menyeru kepada yang baik dan melarang dari yang mungkar. Dan merekalah orang-orang yang beruntung” [Ali-Imran/3 : 104]

  1. Jalan Keluar Dari Problematika Umat
    Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Hudzaifah untuk meninggalkan semua kelompok sempalan yang menyeru ke neraka jahannam meskipun sampai menggigit akar pohon hingga ajal menjemput. Adapun penjelasannya, maka sebagai berikut :

Ini adalah perintah untuk berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah serta pemahaman salafush shalih. Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Al-Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu ‘anhu.


فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كًثِيْراً. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“…. Dan barangsiapa yang hidup diantara kalian maka dia akan melihat perselisihan yang banyak sekali, maka berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara yang baru dalam agama karena itu kesesatan. Dan barangsiapa diantara kalian yang mendapatkan hal ini maka wajib bagi kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para khulafa ‘ar-rasyidin, gigitlah erat-erat dengan gigi geraham kalian….”. [HR Abu Dawud (4607). Tirmidzi (2676) dan Ibnu Majah (440) dan selain mereka]

Didalam hadits Hudzaifah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menggigit akar pohon ketika terjadi perpecahan sambil menjauhi semua kelompok sesat. Dan didalam hadits Al-Irbadh beliau memerintahkan untuk berpegang teguh dengan Sunnah sesuai dengan pemahaman salafus shalih radhiyallahu anhum, ketika munculnya kelompok-kelomok sesat dan ketika tidak adanya jama’ah kaum muslimin serta imam mereka.

Sesungguhnya perintah untuk menggigit akar pohon dalam hadits Hudzaifah maknanya adalah istiqomah atau tetap dalam sabar dalam memegang kebenaran dan dalam meninggalkan semua kelompok sesat yang menyelisihi kebenaran. Atau maknanya bahwa pohon Islam akan diguncang dengan angin kencang hingga merontokkan semua ranting dan cabangnya, tidak ada yang tersisa melainkan akarnya yang masih tegar. Karena itulah wajib bagi setiap muslim untuk memegang erat akar tersebut dan mengorbankan semua yang berharga dalam dirinya karena akar tersebut akan tumbuh dan tegar kembali.
Ketika itu juga wajib bagi setiap muslim untuk menolong dan membantu kelompok (yang berpegang teguh dengan sunnah tersebut, -pent) dari setiap fitnah yang mengancam. Karena kelompok ini yang selalu tampak diatas kebenaran hingga akhirnya mereka membunuh Dajjal.
(Ringkasan dari kitab Al-Qaulul Mubin Fii Jama’atil Muslimin)

***

Berkasih Sayang Dan Lemah Lembut

Berkasih Sayang Dan Lemah Lembut 

Allah menjelaskan bahwa Nabi-Nya, Muhammad, sebagai orang yang memiliki akhlak yang agung. Allah Ta’ala berfirman.

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Sungguh, kamu mempunyai akhlak yang agung” [Al-Qalam/68 : 4]

Allah juga menjelaskan bahwa beliau adalah orang yang ramah dan lemah lembut. Allah Ta’ala berfirman.

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ

“Dengan sebab rahmat Allah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentu mereka menjauh dari sekelilingmu” [Ali Imran/3 : 159]

Allah juga menjelaskan bahwa beliau adalah orang yang penyayang dan memiliki rasa belas kasih terhadap orang-orang yang beriman. Allah Ta’ala berfirman.

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, yang berat memikirkan penderitaanmu, sangat menginginkan kamu (beriman dan selamat), amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min” [At-Taubah/9 : 128]

Rasulullah memerintahkan dan menganjurkan kita agar senantiasa berlaku lemah lembut. Beliau bersabda.

يَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا، وَبَشِّرُوْا وَلاَ تُنَفِّرُوْا

“Mudahkanlah dan jangan kalian persulit, berilah kabar gembira dan janganlah kalian membuat orang lari”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 69 dan Muslim no. 1734 dari Anas bin Malik. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim no. 1732 dari Abu Musa dengan lafaz.

بَشِّرُوا وَلاَ تُُنَفِّرُواوَيَسِّرُوا وَلاَتُعَسِّرُوا

“Berilah kabar gembira dan jangan kalian membuat orang lari. Mudahkanlah dan janganlah kalian persulit”.

Baca Juga  Penutup (Wasiat Untuk Para Penuntut Ilmu)
Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya no.220 meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah pernah berkata kepada para sahabatnya pada kisah tentang seorang Arab Badui yang kencing di masjid.

دَعُوهُ وَهَرِيْقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلاً مِنْ مَاءِ أَوْ ذَنُو بًا مِنْ مَاءٍ فَإِنَّمَا بُعِشْتُمُ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَشُوا مُعَسِّرِيْنَ

“Biarkanlah dia ! Tuangkanlah saja setimba atau seember air. Sesungguhnya kalian diutus untuk mempermudah, bukan untuk mempersulit”

Al-Bukhari meriwayatkan dari Aisyah hadits no.6927 bahwa Rasulullah bersabda.

يَاعَائِشَةُ إِنَّ اللَّهَ رَفِيْقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِيْ الأَمْرِ كُلِّهِ

“Wahai Aisyah, sesungguhnya Allah itu Mahalembut dan mencintai kelembutan di dalam semua urusan”

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim no. 2593 dengan lafaz.

يَا عَائِشَةُ إِنَّ اللَّهَ رَفِيْقٌ يُحِبُ الرِّفْقَ وَيُعْطِى عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعطِِي عَلَى الْعُنْفِ وَمَالاَ يُعْطِي عَلَى مَا سِوَاهُ

“Wahai Aisyah, sesunguhnya Allah itu Mahalembut dan mencintai kelembutan. Allah memberi kepada kelembutan hal-hal yang tidak diberikan kepada kekerasan dan sifat-sifat lainnya”

Muslim meriwayatkan hadits dalam kitab Shahihnya no.2594 dari Aisyah, Nabi bersabda.

إِنَّالرِّفْقَ لاَيَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَ عُ مِنْ شَيءٍ إِلاَّ شَانَهُ

“Sungguh, segala sesuatu yang dihiasi kelembutan akan nampak indah. Sebaliknya, tanpa kelembutan segala sesuatu akan nampak jelek”

Muslim juga meriwayatkan hadits no. 2592 dari Jabir bin Abdullah bahwa Nabi bersabda.

مَنْ يُحْرَمِ الرِّفْقَ يُحْرَمِ الْخَيْرَ

“Barangsiapa yang tidak memiliki sifat lembut, maka tidak akan mendapatkan kebaikan”.

Allah pernah memerintahkan dua orang nabiNya yang mulia yaitu Musa dan Harun untuk mendakwahi Fir’aun dengan lembut. Allah Ta’ala berfirman.

اذْهَبَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ

Baca Juga  Lemah Lembut Sesama Ahlus Sunnah
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, karena dia telah berbuat melampui batas. Berbicaralah kepadanya dengan kata-kata yang lembut, mudah-mudahan ia mau ingat atau takut” [Thaha/20 : 43-44]

Allah juga menjelaskan bahwa para sahabat yang mulia senantiasa saling bekasih sayang. Allah Ta’ala berfirman.

مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ

“Muhammad itu adalah utusan Allah. Orang-orang yang selalu bersamanya bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesame mereka” [Al-Fath/48 : 29]

***

Walau Durhaka, Manusia Tetap Masih Diberi Rezeki

Walau Durhaka, Manusia Tetap Masih Diberi Rezeki 

Walau durhaka, manusia tetap masih diberi rezeki oleh Allah.

Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu; ia berkata,

مَا أَحَدٌ أَصْبَرُ عَلَى أَذًى سَمِعَهُ مِنَ اللَّهِ ، يَدَّعُونَ لَهُ الْوَلَدَ ، ثُمَّ يُعَافِيهِمْ وَيَرْزُقُهُمْ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidak ada siapa pun yang lebih sabar terhadap gangguan yang ia dengar dibandingkan (sabarnya) Allah. Manusia mengatakan bahwa Allah memiliki anak, namun Allah memaafkan mereka dan masih memberi rezeki kepada mereka.” (HR. Bukhari, no. 7378)

Guru kami, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak mengatakan dalam penjelasan kitab At-Tajrid Ash-Sharih,

“Dengan sifat sabarnya Allah, Dia memaafkan orang yang mencela-Nya dengan mengatakan Allah memiliki anak dan Dia masih tetap memberikan rezeki pada-Nya.”

Kita selalu durhaka dan bermaksiat, namun Allah masih menyayangi kita karena tetap masih diberi rezeki.

Perjalanan Menuju Akhirat

Perjalanan Menuju Akhirat 

Hari akhirat adalah hari setelah kematian yang wajib diyakini kebenarannya oleh setiap orang yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan kebenaran agama-Nya. Hari itulah hari pembalasan semua amal perbuatan manusia, hari perhitungan yang sempurna dan hari ditampakkannya semua perbuatan yang tersembunyi sewaktu di dunia. Juga pada hari itu orang-orang yang melampaui batas akan berkata penuh penyesalan:

يَقُولُ يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي

“Duhai, alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal shalih) untuk hidupku ini.” [al-Fajr/89:24]

Maka hendaknya setiap Muslim yang mementingkan keselamatan dirinya benar-benar memberikan perhatian besar dalam mempersiapkan diri dan mengumpulkan bekal untuk menghadapi hari yang kekal abadi ini. Karena pada hakikatnya, hari inilah masa depan bagi manusia yang sesungguhnya. Kedatangan hari tersebut sangat cepat seiring dengan cepat berlalunya usia manusia. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” [al-Hasyr/59:18]

Dalam menafsirkan ayat di atas Imam Qatâdah rahimahullah[1]  berkata: “Senantiasa tuhanmu (Allâh Azza wa Jalla ) mendekatkan hari kiamat, sampai-sampai Dia menjadikannya seperti besok”[2].

Semoga Allâh Azza wa Jalla meridhai Sahabat yang mulia Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu yang telah mengingatkan hal ini dalam ucapannya yang terkenal: “Hisablah (introspeksilah) dirimu saat ini, sebelum kamu dihisab (diperiksa/dihitung amal perbuatanmu pada hari kiamat). Timbanglah dirimu saat ini, sebelum amal perbuatanmu ditimbang (pada hari kiamat), karena sesungguhnya akan mudah bagimu menghadapi hari kiamat jika kamu mengintrospeksi dirimu saat ini; dan hiasilah dirimu dengan amal shaleh untuk menghadapi hari yang besar ketika manusia dihadapkan kepada Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لَا تَخْفَىٰ مِنْكُمْ خَافِيَةٌ

“Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Allah), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi-Nya)” [al-Hâqqah/69:18][3]

Senada dengan ucapan di atas, Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu berkata: “Sesungguhnya dunia telah pergi meninggalkan kita, sedangkan akhirat telah datang menghampiri kita, dan masing-masing dari keduanya (dunia dan akhirat) memiliki pengagum, maka jadilah kamu orang yang mengagumi/mencintai akhirat dan janganlah kamu menjadi orang yang mengagumi dunia, karena sesungguhnya saat ini waktunya beramal dan tidak ada perhitungan, adapun besok di akhirat adalah saat perhitungan dan tidak ada waktu lagi untuk beramal”[4].

“Jadilah kamu di dunia seperti orang asing…”
Dunia adalah tempat persinggahan sementara dan sebagai ladang akhirat tempat kita mengumpulkan bekal untuk menempuh perjalanan menuju negeri yang kekal abadi itu. Barangsiapa yang mengumpulkan bekal yang cukup, maka dengan izin Allâh Azza wa Jalla dia akan sampai ke tujuan dengan selamat, dan barang siapa yang bekalnya kurang maka dikhawatirkan dia tidak akan sampai ke tujuan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan sikap yang benar dalam kehidupan di dunia dengan sabdanya: “Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau orang yang sedang melakukan perjalanan“[5]

Hadits ini sebagai nasehat bagi orang beriman, bagaimana seharusnya dia menempatkan dirinya dalam kehidupan di dunia. Karena orang asing (perantau) atau orang yang sedang melakukan perjalanan adalah orang yang hanya tinggal sementara; tidak terikat hatinya pada tempat persinggahannya, serta terus merindukan kembali ke kampung halamannya. Demikianlah keadaan seorang Mukmin di dunia yang hatinya, selalu terikat dan rindu kembali ke kampung halaman yang sebenarnya, yaitu surga tempat tinggal pertama kedua orang tua kita, Adam Alaihissallam dan istrinya Hawa, sebelum mereka berdua diturunkan ke dunia.

Dalam sebuah nasehat tertulis yang disampaikan oleh Imam Hasan al-Bashri rahimahullaht kepada Imam Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, beliau berkata: “…Sesungguhnya dunia adalah negeri perantauan dan bukan tempat tinggal yang sebenarnya, dan hanyalah Adam Alaihissallam diturunkan ke dunia untuk menerima hukuman akibat perbuatan dosanya…”[6].

Dalam mengungkapkan makna hal ini Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam  syairnya:

Marilah (kita menuju) surga ‘adn (tempat menetap) karena sesungguhnya itulah
Tempat tinggal kita yang pertama, yang di dalamnya terdapat kemah (yang indah)
Akan tetapi kita (sekarang dalam) tawanan musuh (setan), maka apakah kamu melihat
Kita akan (bisa) kembali ke kampung halaman kita dengan selamat?[7]

Sikap hidup ini menjadikan seorang Mukmin tidak panjang angan-angan dan terlalu muluk dalam menjalani kehidupan dunia, karena “barangsiapa yang hidup di dunia seperti orang asing, maka dia tidak punya keinginan kecuali mempersiapkan bekal yang bermanfaat baginya ketika kembali ke akhirat. Dia tidak berambisi dan berlomba bersama orang-orang yang mengejar kemewahan dunia, karena keadaannya seperti perantau, yaitu tidak merasa risau dengan kemiskinan dan rendahnya kedudukannya.”[8].

Makna inilah yang diisyaratkan `Abdullâh bin Umar Radhiyallahu anhu :”Jika kamu berada di waktu sore maka janganlah menunggu datangnya waktu pagi; dan jika kamu berada di waktu pagi maka janganlah menunggu datangnya waktu sore. Gunakanlah masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu, dan masa hidupmu sebelum kematian menjemputmu”[9].

Bahkan inilah makna zuhud di dunia yang sesungguhnya, sebagaimana ucapan Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah : “Maknanya adalah tidak panjang angan-angan, yaitu seseorang yang ketika berada di waktu pagi dia berkata: “Aku khawatir tidak akan bisa mencapai waktu sore lagi””[10].

“Berbekallah, dan sungguh sebaik-baik bekal adalah takwa” وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوى
Sebaik-baik bekal untuk perjalanan ke akhirat adalah takwa, yang berarti “menjadikan pelindung antara diri seorang hamba dengan siksaan dan kemurkaan Allâh Azza wa Jalla yang dikhawatirkan akan menimpanya, yaitu (dengan) melakukan ketaatan dan menjauhi perbuatan maksiat kepada-Nya”[11].

Maka sesuai dengan keadaan seorang hamba di dunia dalam melakukan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan meninggalkan perbuatan maksiat, begitu pula keadaannya di akhirat kelak. Semakin banyak dia berbuat baik di dunia akan semakin banyak pula kebaikan yang akan di raihnya di akhirat nanti, yang berarti semakin besar pula peluangnya meraih keselamatan menuju surga.

Inilah di antara makna yang diisyaratkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya: “Setiap orang akan dibangkitkan (pada hari kiamat) sesuai dengan keadaannya sewaktu dia meninggal dunia”[12]. Artinya dia akan mendapatkan balasan pada hari kebangkitan kelak sesuai dengan amal baik atau buruk yang dilakukannya sewaktu di dunia[13].

Baca Juga  Hati-Hati Mati Su’ul Khatimah
Landasan utama takwa adalah dua kalimat syahadat: Lâ ilâha illallâh dan Muhammadur Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, sebaik-baik bekal yang perlu dipersiapkan untuk selamat dalam perjalanan besar ini adalah memurnikan tauhid (mengesakan Allâh Azza wa Jalla dalam beribadah dan menjauhi perbuatan syirik) yang merupakan inti makna syahadat Lâ ilâha illallâh dan menyempurnakan al ittibâ‘ (mengikuti sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi perbuatan bid’ah) yang merupakan inti makna syahadat Muhammadur Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Allâh Azza wa Jalla akan memudahkan bagi manusia dalam menghadapi peristiwa besar yang akan dialami mereka pada hari kiamat, sesuai dengan pemahaman dan pengamalan mereka terhadap dua landasan utama Islam ini sewaktu di dunia.

Ujian keimanan dalam kubur merupakan peristiwa besar pertama yang akan dialami manusia setelah kematiannya. Mereka akan ditanya oleh dua malaikat yaitu Munkar dan Nakir[14] dengan tiga pertanyaan: “Siapa Tuhanmu?, apa agamamu? dan siapa nabimu?”[15]. Allâh Azza wa Jalla hanya menjanjikan kemudahan dan keteguhan iman ketika menghadapi ujian besar ini bagi orang-orang yang memahami dan mengamalkan dua landasan Islam ini dengan benar, sehingga mereka akan menjawab: “Tuhanku adalah Allâh Azza wa Jalla , agamaku adalah Islam dan Nabiku adalah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam”[16]

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۖ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ ۚ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ

Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, dan Allah menyesatkan orang-orang yang dzalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki” [Ibrâhim/14:27]

Makna ‘ucapan yang teguh’ dalam ayat ini ditafsirkan sendiri oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahîh riwayat al-Bara’ bin ‘Azib Radhiyallahu anhu, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seorang Muslim ketika ditanya di dalam kubur (oleh Malaikat Munkar dan Nakir) maka dia akan bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah (Lâ Ilâha Illallâh) dan bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah (Muhammadur Rasulullah), itulah makna firman-Nya: “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat” [17]

Termasuk peristiwa besar pada hari kiamat adalah mendatangi telaga Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang penuh kemuliaan, warna airnya lebih putih daripada susu, rasanya lebih manis daripada madu, dan baunya lebih harum daripada minyak wangi misk (kesturi), barangsiapa yang meminum darinya sekali saja maka dia tidak akan kehausan selamanya[18]. Dalam hadits yang shahîh [19] juga disebutkan bahwa ada orang-orang yang dihalangi dan diusir dari telaga Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Hal itu karena sewaktu di dunia mereka berpaling dari petunjuk dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah bid’ah.

Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah [20] berkata: “Semua orang yang melakukan perbuatan bid’ah yang tidak diridhai Allâh Azza wa Jalla dalam agama ini akan diusir dari telaga Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang paling parah di antara mereka adalah orang-orang (ahlul bid’ah) yang menyelisihi pemahaman jama’ah kaum Muslimin, seperti orang-orang Khawârij, Syî’ah, Râfidhah dan para pengikut hawa nafsu. Demikian pula orang-orang yang berbuat zhalim yang melampaui batas dan menentang kebenaran, serta orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar secara terang-terangan. Mereka semua dikhawatirkan termasuk orang-orang yang disebutkan dalam hadits ini (yang diusir dari telaga Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam)[21].

Termasuk peristiwa besar pada hari kiamat adalah melintasi ash-Shirâth (jembatan) yang dibentangkan di atas permukaan neraka Jahannam, di antara surga dan neraka. Dalam hadits yang shahîh[22] disebutkan bahwa keadaan orang yang melintasi jembatan tersebut bermacam-macam; sesuai dengan amal perbuatan mereka sewaktu di dunia. “Ada yang melintasinya secepat kerdipan mata, ada yang secepat kilat, ada yang secepat angin, ada yang secepat kuda pacuan yang kencang, ada yang secepat menunggang onta, ada yang berlari, ada yang berjalan, ada yang merangkak, dan ada yang disambar dengan pengait besi kemudian dilemparkan ke dalam neraka Jahannam”[23] – na’ûdzu billâhi min dâlik – .

Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-‘Utsaimîn ketika menjelaskan perbedaan keadaan orang-orang yang melintasi jembatan tersebut, mengatakan : “Ini semua  bukan atas pilihan masing-masing orang, karena kalau dengan pilihan sendiri tentu semua orang ingin melintasinya dengan cepat. Akan tetapi keadaan manusia sewaktu melintasinya sesuai dengan cepat atau lambatnya mereka dalam menerima dan mengamalkan syariat Islam di dunia ini. Barangsiapa yang bersegera dalam menerima petunjuk dan sunnah dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka dia akan cepat melintasinya. Sebaliknya barangsiapa yang lambat dalam hal ini, maka dia akan lambat melintasinya; sebagai balasan yang setimpal, dan balasan itu sesuai dengan jenis perbuatannya[24].

“Balasan akhir yang baik (surga) bagi orang-orang yang bertakwa”  وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
Akhirnya, perjalanan manusia akan sampai pada ujungnya; surga yang penuh kenikmatan, atau neraka yang penuh dengan siksaan yang pedih. Di sinilah Allâh Azza wa Jalla akan memberikan balasan yang sempurna bagi manusia sesuai dengan amal perbuatan mereka di dunia. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَأَمَّا مَنْ طَغَىٰ ﴿٣٧﴾ وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا ﴿٣٨﴾ فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَىٰ ﴿٣٩﴾ وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ ﴿٤٠﴾ فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ

“Adapun orang-orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabb-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya” [an Nâzi’ât/79:37-41]

Maka balasan akhir yang baik hanya Allâh Azza wa Jalla peruntukkan bagi orang-orang yang bertakwa dan membekali dirinya dengan ketaatan kepada-Nya, serta menjauhi perbuatan yang menyimpang dari agama-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا ۚ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, dan kesudahan (yang baik) itu (surga) adalah bagi orang-orang yang bertakwa” [al-Qashash/28:83]

Syaikh Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah berkata: “…Jika mereka tidak mempunyai keinginan untuk menyombongkan diri atau berbuat maksiat di muka bumi, maka berarti keinginan mereka hanya tertuju kepada Allâh Azza wa Jalla . Tujuan mereka hanya mempersiapkan bekal untuk akhirat, dan keadaan mereka sewaktu di dunia selalu merendahkan diri kepada hamba-hamba Allah; serta selalu berpegang kepada kebenaran dan mengerjakan amal shaleh. Mereka itulah orang-orang bertakwa yang akan mendapatkan balasan akhir yang baik (surga dari Allâh Azza wa Jalla)”[25].

Baca Juga  Hakikat Tawakkal
Penutup
Setelah merenungi tahapan-tahapan perjalanan besar ini, marilah bertanya kepada diri sendiri: sudahkah kita mempersiapkan bekal yang cukup agar selamat dalam perjalanan tersebut? Kalau jawabannya: belum, maka jangan berputus asa, masih ada waktu untuk berbenah diri dan memperbaiki segala kekurangan kita – dengan izin Allâh Azza wa Jalla –  Caranya, bersegeralah untuk kembali dan bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla , serta memperbanyak amal shaleh pada sisa umur kita yang masih ada. Dan semua itu akan mudah bagi orang yang diberi Allâh Azza wa Jalla taufik dan kemudahan baginya.

Imam Fudhail bin ‘Iyâdh rahimahullah [26] pernah menasehati seseorang lelaki, beliau berkata: “Berapa tahun usiamu “? Lelaki itu menjawab: “Enam puluh tahun.” Fudhail rahimahullah berkata: “Berarti sudah enam puluh tahun kamu menempuh perjalanan menuju Allâh Azza wa Jalla ; dan mungkin saja kamu hampir sampai”. Lelaki itu menjawab: “Sesungguhnya kita ini milik Allâh Azza wa Jalla dan akan kembali kepada-Nya.” Maka Fudhail  rahimahullah berkata: “Apakah kamu paham arti ucapanmu? Kamu berkata bahwa aku milik Allâh Azza wa Jalla dan akan kembali kepada-Nya; barangsiapa yang menyadari bahwa dia adalah hamba milik Allâh Azza wa Jalla dan akan kembali kepada-Nya, maka hendaknya dia mengetahui bahwa dia akan berdiri di hadapan-Nya pada hari kiamat. Barangsiapa yang mengetahui bahwa dia akan berdiri di hadapan-Nya, maka hendaknya dia mengetahui bahwa dia akan dimintai pertanggungjawaban atas semua perbuatannya di dunia. Barangsiapa yang mengetahui akan dimintai pertanggungjawaban (atas perbuatannya), maka hendaknya dia mempersiapkan jawabannya”. Maka lelaki itu bertanya: “Lantas bagaimana caranya untuk menyelamatkan diri ketika itu?” Fudhail rahimahullah menjawab: “Caranya mudah”. Lelaki itu bertanya lagi: “Apa itu?” Fudhail rahimahullah berkata: “Perbaikilah dirimu pada sisa umurmu, maka Allâh Azza wa Jalla akan mengampuni dosamu di masa lalu, karena jika kamu tetap berbuat buruk pada sisa umurmu, maka kamu akan disiksa (pada hari kiamat) karena dosamu di masa lalu dan pada sisa umurmu”[27].

Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan doa dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam [28] untuk kebaikan agama, dunia dan akhirat kita:

Ya Allah, perbaikilah agamaku yang merupakan penentu (kebaikan) semua urusanku, dan perbaikilah (urusan) duniaku yang merupakan tempat hidupku,
serta perbaikilah akhiratku yang merupakan tempat kembaliku (selamanya), jadikanlah (masa) hidupku sebagai penambah kebaikan bagiku,
dan (jadikanlah) kematianku sebagai penghalang bagiku dari semua keburukan.

وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، وَآخِرُ دَعْوَاناَ أَنِ الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIII/1430/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]


Footnote
[1] Qatâdah bin Di’âmah As-Sadûsi Al-Bashri (wafat setelah tahun 110 H), adalah Imam besar dari kalangan Tâbi’in yang sangat terpercaya dan kuat dalam meriwayatkan hadits Rasulullah n (lihat kitab “Taqrîbut tahdzîb“, hal. 409).
[2] Dinukil oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya “Ighâtsatul lahfân” (hal. 152-Mawâridul amân).
[3] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab beliau “Az Zuhd” (hal. 120), dengan sanad yang hasan.
[4] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam “Az Zuhd” (hal. 130) dan dinukil oleh Imam Ibnu Rajab Al-Hambali dalam kitab beliau “Jâmi’ul ‘ulûmi wal hikam” (hal. 461).
[5] HR al Bukhâri (no. 6053).
[6] Dinukil oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya “Ighâtsatul Lahfân” (hal. 84 – Mawâridul amân).
[7] Miftâhu Dâris Sa’âdah (1/9-10), juga dinukil oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau “Jâmi’ul ‘Ulûmi Wal Hikam” (hal. 462).
[8] Ucapan Imam Ibnu Rajab dalam kitab “Jâmi’ul ‘Ulûmi Wal Hikam” (hal. 461), dengan sedikit penyesuaian.
[9] Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dalam kitab “Shahîhul Bukhâri”  (no. 6053).
[10] Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam kitab “Jâmi’ul ‘Ulûmi Wal Hikam” (hal. 465).
[11] Ucapan Imam Ibnu Rajab dalam kitab “ Jâmi’ul ‘Ulûmi Wal Hikam ” (hal. 196).
[12] HR Muslim (no. 2878).
[13] Lihat penjelasan al-Munâwi dalam kitab beliau “Faidhul qadîr” (6/457).
[14] Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits riwayat at-Tirmidzi (no. 1083) dan dinyatakan shahîh oleh Syaikh al-Albâni dalam “Ash- Shahîhah” (no. 1391).
[15] Hadits shahih riwayat Ahmad (4/287-288), Abu Dâwud (no. 4753) dan al-Hâkim (1/37-39), dinyatakan shahîh oleh al-Hâkim dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[16] Ibid.
[17] HR al-Bukhâri (no. 4422), hadits yang semakna juga diriwayatkan oleh Imam Muslim (no. 2871).
[18] Semua ini disebutkan dalam hadits yang shahîh riwayat imam al-Bukhâri (no. 6208) dan Muslim (no. 2292).
[19] Riwayat Imam al-Bukhâri (no. 6211) dan Muslim (no. 2304) dari Anas bin Mâlik rahimahullah.
[20] Yûsuf bin Abdullâh bin Muhammad bin Abdul Barr An-Namari Al-Andalusi (wafat 463 H), adalah Syaikhul Islam dan Imam besar Ahlus Sunnah dari wilayah Magrib. Biografi beliau dalam kitab “Tadzkiratul huffâzh” (3/1128).
[21] Kitab “Syarh Az-Zarqâni ‘Ala Muwaththa-Il Imâmi Mâlik” (1/65).
[22] Riwayat imam al-Bukhâri (no. 7001) dan Muslim (no. 183) dari Abu Sa’îd al-Khudri Radhiyallahu anhu.
[23] Ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab beliau “Al-Aqîdah Al Wâsithiyyah” (hal. 20).
[24] Kitab “Syarhul Aqîdatil Wâsithiyyah” (2/162).
[25] Taisîrul karîmir Rahmân fî tafsîri kalâmil Mannân (hal. 453).
[26] Fudhail bin ‘Iyâdh bin Mas’ûd At-Tamîmi (wafat 187 H), adalah seorang Imam besar dari dari kalangan atba’ut tâbi’în yang sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seorang ahli ibadah (lihat kitab “Taqrîbut Tahdzîb“, hal. 403).
[27] Dinukil oleh Imam Ibnu Rajab dalam kitab “Jâmi’ul ‘Ulûmi Wal Hikam” (hal. 464).
[28] Dalam HR Muslim (no. 2720) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu .
***

Dosa Diampuni Karena Berjabat Tangan

Dosa Diampuni Karena Berjabat Tangan 

Alhamdulillah, pada kesempatan kali ini kami akan coba membahas keutamaan berjabat tangan. Semoga pembahasan singkat ini bisa bermanfaat untuk kita semua.

Dari al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا

Tidaklah dua orang muslim saling bertemu kemudian berjabat tangan, kecuali akan diampuni (dosa-dosa) mereka berdua sebelum mereka berpisah.” [1]

Hadits yang mulia ini menunjukkan keutamaan berjabat tangan ketika bertemu, dan ini merupakan perkara yang dianjurkan berdasarkan kesepakatan para ulama [2], bahkan ini merupakan sunnah yang muakkad (sangat ditekankan) [3].

Faidah-Faidah Penting yang Terkandung Dalam Hadits:

  1. Arti mushaafahah (berjabat tangan) dalam hadits ini adalah berjabat tangan dengan satu tangan, yaitu tangan kanan, dari kedua belah pihak [4]. Cara berjabat tangan seperti ini diterangkan dalam banyak hadits yang shahih, dan inilah arti “berjabat tangan” secara bahasa [5]. Adapun melakukan jabat tangan dengan dua tangan adalah cara yang menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam [6].
  2. Berjabat tangan juga disunnahkan ketika berpisah, berdasarkan sebuah hadits yang dikuatkan oleh syaikh al-Albani [7]. Maka pendapat yang mengatakan bahwa berjabat tangan ketika berpisah tidak disyariatkan adalah pendapat yang tidak memiliki dalil/argumentasi. Meskipun jelas anjurannya tidak sekuat anjuran berjabat tangan ketika bertemu [8].
  3. Berjabat tangan adalah ibadah yang disyari’atkan ketika bertemu dan berpisah, maka melakukannya di selain kedua waktu tersebut, misalnya setelah shalat lima waktu, adalah menyelisihi ajaran Nabi, bahkan sebagian ulama menghukuminya sebagai perbuatan bid’ah [9]. Di antara para ulama yang melarang perbuatan tersebut adalah al-‘Izz bin ‘Abdussalam, Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’i, Quthbuddin bin ‘Ala-uddin al-Makki al-Hanafi, al-Laknawi dan lain-lain[10].
  4. Adapun berjabat tangan setelah shalat bagi dua orang yang baru bertemu pada waktu itu (setelah shalat lima waktu, pen), maka ini dianjurkan, karena niat keduanya adalah berjabat tangan karena bertemu dan bukan karena shalat [11].
  5. Mencium tangan seorang guru/ustadz ketika bertemu dengannya adalah diperbolehkan, berdasarkan beberapa hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perbuatan beberapa orang sahabat radhiyallahu ‘anhum. Akan tetapi kebolehan tersebut harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
    (a) Tidak menjadikan hal itu sebagai kebiasaan, karena para sahabat radhiyallahu ‘anhum sendiri tidak sering melakukannya kepada Rasuluillah shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlebih lagi jika hal itu dilakukan untuk tujuan mencari berkah dengan mencium tangan sang guru.
    (b) Perbuatan itu tidak menjadikan sang guru menjadi sombong dan merasa dirinya besar di hadapan orang lain, seperti yang sering terjadi saat ini.
    (c) Jangan sampai hal itu menjadikan kita meninggalkan sunnah yang lebih utama dan lebih dianjurkan ketika bertemu, yaitu berjabat tangan, sebagaimana keterangan di atas [12].

Catatan kaki:

[1] HR Abu Dawud (no. 5212), at-Tirmidzi (no. 2727), Ibnu Majah (no. 3703) dan Ahmad (4/289), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani dengan berbagai jalur dan pendukungnya dalam kitab Silasilatul Ahaaditsish Shahiihah (no. 525).

[2] Lihat Syarh Shahih Muslim (17/101) dan Fathul Baari (11/55).

[3] Lihat kitab Faidhul Qadiir (5/499).

[4] Lihat kitab Tuhfatul ahwadzi (7/429) dan ‘Aunul Ma’bud (14/80).

[5] Lihat kitab Lisanul ‘Arab (2/512).

[6] Lihat kitab Silasilatul Ahaaditsish Shahiihah (1/51-52).

[7] Dalam Silasilatul Ahaaditsish Shahiihah (1/48).

[8] Ibid (1/52-53).

[9] Seperti al-Fadhil ar-Ruumi, al-Laknawi dan syaikh al-Albani.

[10] Lihat nukilan ucapan mereka dalam kitab al-Qaulul Mubin fi Akhtha-il Mushallin (hal. 294-296).

[11] Lihat Silasilatul Ahaaditsish Shahiihah (1/53).

[12] Lihat Silasilatul Ahaaditsish Shahiihah (1/302).

***

Perniagaan Yang Tidak Akan Merugi

Perniagaan Yang Tidak Akan Merugi 

Semua manusia sepakat, meskipun secara tidak tertulis, bahwa target mereka dalam setiap usaha yang mereka lakukan adalah meraih kesuksesan, mendapat untung dan terhindar dari kerugiaan.

Ironisnya, kebanyakan manusia hanya menerapkan hal ini dalam usaha dan urusan yang bersifat duniawi belaka, sedangkan untuk urusan akhirat mereka hanya merasa cukup dengan ‘hasil’ yang pas-pasan dan seadanya. Ini merupakan refleksi dari kuatnya dominasi hawa nafsu dan kecintaan terhadapa dunia dalam diri mereka.

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengisyaratkan keadaan mayoritas manusia ini dalam firman-Nya,

يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

Mereka hanya mengetahui yang lahir (nampak) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. ar-Ruum: 7).

Imam Ibnu Katsir berkata, “Arti (ayat ini): mayoritas manusia tidak memiliki ilmu pengetahuan kecuali dalam (perkara-perkara yang berkaitan dengan) dunia, keuntungan-keuntungannya, urusan-urusan dan semua hal yang berhubungan dengannya. Mereka sangat mahir dan pandai dalam usaha meraih (keberhasilan) dan cara-cara mengusahakan keuntungan duniawi, sedangkan untuk kemanfaatan (keberuntungan) di negeri akhirat mereka lalai (dan tidak paham sama sekali), seolah-seolah mereka seperti orang bodoh yang tidak punya akal dan pikiran (sama sekali).” (Kitab Tafsir Ibnu Katsir, 3/560).

Perniagaan Akhirat

Allah Subhanahu wa Ta’ala menamakan amalan-amalan shalih, lahir dan batin, yang disyariatkan-Nya untuk mencapai keridhaan-Nya dan meraih balasan kebaikan yang kekal di akhirat nanti sebagai “tijaarah” (perniagaan) dalam banyak ayat al-Qur’an.

Ini menunjukkan bahwa orang yang menyibukkan diri dengan hal tersebut berarti dia telah melakukan ‘perniagaan’ bersama Allah Ta’ala, sebagaimana orang yang mengambil bagian terbesar dari perniagaan tersebut maka dialah yang paling berpeluang mendapatkan keuntungan yang besar.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ. تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ. يَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَيُدْخِلْكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya dengan harta dan jiwamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di surga ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar.” (QS. ash-Shaff: 10-12).

Imam asy-Syaukani berkata, “Allah menjadikan amalan-amalan (shalih) tersebut kedudukannya seperti ‘perniagaan’, karena orang-orang yang melakukannya akan meraih keuntungan (besar) sebagaimana mereka meraih keuntungan dalam perniagaan (duniawi), keuntungan (besar) itu adalah masuknya mereka ke dalam surga dan selamat dari (siksa) neraka.” (Kitab Fathul Qadiir, 5/311).

Inilah ‘perniagaan’ yang paling agung, karena menghasilkan keuntungan yang paling besar dan kekal abadi selamanya, inilah ‘perniagaan’ yang dengannya akan diraih semua harapan kebaikan dan terhindar dari semua keburukan yang ditakutkan, inilah perniagaan yang jelas lebih mulia dan lebih besar keuntungannya daripada perdagangan duniawi yang dikejar oleh mayoritas manusia. (Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir, 4/463).

Oleh karena itu, Allah Ta’ala menyifati ‘perniagaan’ mulia ini sebagai perniagaan yang pasti beruntung dan tidak akan merugi. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ. لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ

Sesungguhnya, orang-orang yang selalu membaca kitab Allah (al-Qur’an), mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dengan diam-diam maupun terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi. Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (QS. Faathir: 30).

Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata, “(Inilah) perniagaan yang tidak akan merugi dan binasa, bahkan (inilah) perniagaan yang paling agung, paling tinggi dan paling utama, (yaitu) perniagaan (untuk mencari) ridha Allah, meraih balasan pahala-Nya yang besar, serta keselamatan dari kemurkaan dan sisaan-Nya. Ini mereka (raih) dengan mengikhlaskan (niat mereka) dalam mengerjakan amal-amal (shalih) serta tidak mengharapkan tujuan-tujuan yang buruk dan rusak sedikitpun.” (Kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan, hal. 689).

Barang Dagangan/ Perniagaan Allah Subhanahu wa Ta’ala Adalah Surga

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya barang dagangan Allah sangat mahal, dan ketahuilah bahwa barang dagangan Allah adalah surga.” (HR. at-Tirmidzi (no. 2450) dan al-Hakim (4/343), dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi, serta dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Ash-Shahiihah, no. 954 dan 2335).

Barang dagangan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mahal dan mulia ini harganya adalah amalan shalih dan berkorban di jalan-Nya, sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala isyaratkan dalam firman-Nya,

وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلا

Dan amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabb-mu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. al-Kahfi: 46).

Juga dalam firman-Nya,

إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالإنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Sesungguhnya, Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga (sebagai balasan) untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. at-Taubah: 111) (Lihat kitab Tauhfatul Ahwadzi, 7/124 dan Fathul Qadiir, 6/123).

Imam Ibnu Katsir berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan (dalam ayat ini), bahwa Dia telah mengganti (membeli) dari hamba-hamba-Nya yang beriman jiwa dan harta mereka yang mereka curahkan di jalan-Nya dengan Surga (sebagai harganya). Ini merupakan (bagian) dari karunia, kebaikan dan kedermawanan-Nya, karena Dia menerima (untuk memberikan) ganti (harga) dari apa yang merupakan milik-Nya, dengan (ganti yang berupa) anugerah yang dilimpahkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang (selalu) taat kepada-Nya. Oleh karena itu, (Imam) Hasan al-Bashri dan Qatadah berkata (tetntang ayat ini), ‘Demi Allah, Dia telah berjual-beli dengan mereka, lalu Dia menjadikan sangat mahal harga (yang mereka terima, yaitu surga).’” (Kitab Tafsir Ibnu Katsir, 2/515).

Barang Dagangan yang Mahal Hanya untuk Pedagang dan Pembeli Kelas Tinggi

Barang dagangan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sangat mulia dan mahal ini, yaitu Surga, hanya pantas ‘diperdagangkan’ dan ‘dibeli’ oleh para pedagang dan pembeli ‘kelas tinggi’, yaitu mereka yang siap mencurahkan segenap kesungguhan dan perjuangan mereka, dengan jiwa, raga dan harta, untuk meraih kesempurnaan iman dan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Merekalah orang-orang ‘kelas tinggi’ dalam arti yang sebenarnya, karena mereka siap berjuang dan mengorbankan segala yang mereka miliki untuk memenuhi ‘selera mereka yang tinggi’, yaitu selera untuk mendapatkan balasan yang tinggi, yaitu Surga.

Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati Surga dalam al-Qur’an dengan firman-Nya,

فِي جَنَّةٍ عَالِيَةٍ

Di dalam Surga yang sangat tinggi.” (QS. al-Ghaasyiah: 10).

Demikian juga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyifati Surga Firdaus dalam sabda beliau, “Jika kalian memohon (Surga) kepada Allah, maka mintalah (Surga Firdaus), itulah Surga yang paling di tengah dan paling tinggi, dan atapnya adalah Arsy (Allah Subhanahu wa Ta’ala) Yang Maha Pemurah.” (Hadits shahih riwayat al-Bukhari, no. 2637 dan 6987).

Bukankah dengan ini mereka pantas disebut sebagai orang-orang yang memiliki ‘selera tinggi’?

Sebagaimana orang-orang yang menjadikan dunia sebagai target utama dalam hidup mereka, pantas disebut sebagai orang-orang yang memiliki ‘selera rendah’ sesuai dengan kerendahan dan kehinaan dunia itu sendiri.

Imam ‘Abdur Rauf al-Munawi berkata, “Dunia itu dinamakan ‘dunia’ (secara bahasa berarti yang rendah/ dekat), karena kedekatannya (cepat berakhirnya) dan kerendahannya (kehinaannya).” (Kitab Faidhul Qadiir, 3/544).

Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan sifat utama yang ada pada penghuni Neraka yaitu selalu memprioritaskan kehidupan dunia yang rendah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

فَأَمَّا مَنْ طَغَى وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى، وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى

Adapun orang-orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabb-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Naazi’aat: 37-41).

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari ‘selera yang rendah’ ini, sebagaimana dalam doa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ولا تَجْعَلِ الدُّنْيا أَكْبَرَ هَمِِّنا ولا مَبْلَغَ عِلْمِنَا

(Ya Allah) janganlah Engkau jadikan dunia (harta dan kedudukan [lihat kitab Tuhfatul Ahwadzi, 9/334]) sebagai target utama kami dan puncak dari pengetahuan kami.” (HR. at-Tirmidzi (no. 3502), dinyatakan hasan oleh Imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani).

Imam Ibnul Qayyim berkata, “Barangsiapa yang bercita-cita untuk (meraih) perkara-perkara yang tinggi, maka wajib baginya untuk menekan kuat kecintaan kepada perkara-perkara yang rendah (dunia).” (Kitab Miftaahu Daaris Sa’aadah, 1/108).

Sikap inilah yang ditunjukkan oleh shahabat yang mulia, Shuhaib bin Sinan radhiallahu ‘anhu, ketika beliau berhijrah dari Mekkah ke Madinah, yang untuk itu beliau harus menyerahkan harta dan emas berlimpah yang beliau miliki kepada orang-orang kafir Quraisy, agar mereka tidak menghalangi hijrah beliau ke Madinah. Sehingga ketika beliau telah sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah mengetahui kejadian tersebut berdasarkan berita dari Malaikat Jibril ’alaihis salam, waktu itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kabar gembira kepadanya dengan bersabda, “Wahai Abu Yahya, (sungguh) telah beruntung perniagaanmu”, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya sebanyak tiga kali.” (HR.al-Hakim (8/31) dan ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir, no. 7296, dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi).

Kemuliaan dan Keutamaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala Sesuai dengan Kesungguhan Manusia

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

Dan orang-orang yang berjuang dengan sungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami berikan hidayah kepada mereka (dalam menempuh) jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al- ‘Ankabuut: 69).

Imam Ibnu Qayyim ketika mengomentari ayat di atas, beliau berkata, “(Dalam ayat ini), Allah Subhanahu wa Ta’ala menggandengkan hidayah (dari-Nya) dengan perjuangan dan kesungguhan (manusia), maka orang yang paling sempurna (mendapatkan) hidayah (dari Allah Ta’ala) adalah orang yang paling besar perjuangan dan kesungguhannya.” (Kitab Al-Fawa-id, hal. 59).

Tidak terkecuali dalam hal ini, untuk meraih keuntungan besar dalam perdagangan akhirat tentu sangat dibutuhkan perjuangan dan kesungguhan. Kesungguhan dalam memahami petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengamalkannya untuk mencapai ridha-Nya. Inilah jalan untuk mencapai keuntungan yang tinggi dan mulia dalam perdagangan akhirat, yaitu surga yang penuh dengan berbagai macam kenikmatan besar yang “belum pernah dilihat oleh mata, belum pernah didengar oleh telinga dan belum pernah terlintas dalam benak manusia.” (Sebagaimana dalam hadits qudsi riwayat Imam al-Bukhari, no. 4501 dan Muslim, no. 2824).

Seorang penyair mengungkapkan hal ini dalam bait syairnya,

Maka katakanlah kepada mereka yang mengharapkan perkara-perkara (balasan) yang tinggi
Tanpa kesungguhan/perjuangan (berarti) kamu mengharapkan sesuatu yang mustahil (kamu dapatkan)

Inilah makna yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Orang yang berjihad/ berjuang dengan sungguh-sungguh (yang sebenarnya) –dalam riwayat lain: jihad/ perjuangan yang paling utama– adalah orang yang berjuang dengan sungguh-sungguh untuk menundukkan hawa nafsunya di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala –dalam riwayat lain: dalam ketaatan kepada Allah –.” (HR. at-Tirmidzi (no. 1621), Ahmad (6/21,22), Ibnu Hibban (no. 4862), dinyatakan shahih oleh Imam At-Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albani).

Nasihat dan Penutup

Inilah perniagaan akhirat dan perniagaan dunia, dan inilah perbandingan antara keduanya, manakah yang akan anda pilih?

Allah Ta’ala berfirman,

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاها قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا

Dan (demi) jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan, Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu (dengan ketakwaan), dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (dengan kefasikan).”  (QS. asy-Syams: 7-10).

Kehidupan dunia yang kita jalani, hakekatnya adalah pertaruhan diri kita untuk membawanya kepada jalan kebaikan atau kebinasaan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap manusia menjalankan (kehidupannya) dan menjual (mempertaruhkan) dirinya, maka (ada orang) yang membebaskan (menyelamatkan) dirinya dan (ada pula) yang membinasakannya.” (Hadits shahih riwayat Muslim, no. 223).

Imam an-Nawawi berkata, “Makna hadits ini adalah setiap manusia mengusahakan (mempertaruhkan) dirinya, di antara mereka ada yang menjualnya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan (menetapi) ketaatan kepada-Nya, maka dialah yang membebaskan (menyelamatkan) dirinya dari siksa (neraka yang sangat pedih), dan di antara mereka ada yang menjualnya untuk syaitan dan hawa nafsunya dengan menuruti (ajakan) keduanya, maka dialah yang membinasakan dirinya.” (Kitab Syarhu Shahiihi Muslim, 3/102).

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan tulisan ini bermanfaat untuk memotivasi kita agar semangat dan bersungguh-sungguh mengejar keuntungan mulia dalam perdagangan akhirat yang tidak akan merugi.

Dan semoga Dia senantiasa memudahkan taufik-Nya bagi kita untuk meraih keridhaan-Nya dan semua kedudukan yang mulia dalam agama-Nya, sesungguhnya Dia Maha Dekat, Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Hukum Meremehkan Sholat

Hukum Meremehkan Sholat 

Meremehkan shalat termasuk kemungkaran yang besar dan termasuk sifat orang-orang munafik, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَىٰ يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا


“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut nama Allah kecuali sedikit sekali” [An-Nisa/4 : 142]

Dalam ayat lain Allah berfirman.

وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلَا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ إِلَّا وَهُمْ كُسَالَىٰ وَلَا يُنْفِقُونَ إِلَّا وَهُمْ كَارِهُونَ


“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena kafir kepada Allah dan RasulNya dan mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan” [At-Taubah/9 : 54]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

لَيْسَ صَلاَةٌ أثْقَلَ عَلَى المُنَافِقِينَ مِنْ صَلاَةِ الفَجْرِ وَالعِشَاءِ ، وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْواً

“ Tidak ada shalat yang lebih berat bagi orang-orang munafik daripada shalat Shubuh dan shalat Isya, dan seandainya mereka mengetahui apa yang terkandung pada keduanya, tentulah mereka akan mendatanginya walaupun dengan merangkak” [Disepakati keshahihannya : Al-Bukhari, kitab Al-Adzan 657, Muslim, kitab Al-Masajid 252-651]

Maka yang wajib atas setiap Muslim dan Muslimah adalah memelihara shalat yang lima pada waktunya, melaksanakannya dengan thuma’ninah, konsentrasi dan khusyu serta menghadirkan hati, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ﴿١﴾الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu dalam shalatnya” [Al-Mukminun/: 1-2]

Dan berdasarkan riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau memerintahkan kepada orang yang buruk dalam melakukan shalatnya karena tidak thuma’ninah agar mengulangi shalatnya. Dan kepada kaum laki-laki, hendaknya mereka memelihara shalat-shalat tersebut dengan berjama’ah di rumah-rumah Allah, yakni di masjid-masjid, hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ، فَلاَ صَلاَةَ لَهُ، إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ.

“Barangsiapa yang mendengar adzan tapi tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena udzur” [Dikeluarkan oleh Ibnu Majah, kitab Al-Masajid 793, Ad-Daru Quthni 1/420, 421, Ibnu Hibban 2064, Al-Hakim 1/246 dengan isnad shahih]

Pernah dikatakan kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, “Apa yang dimaksud dengan udzur itu ?” ia menjawab, “Takut atau sakit”. Dalam Shahih Muslim, Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau didatangi oleh seorang laki-laki buta, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, tidak ada orang yang menuntunku ke masjid. Apakah aku punya rukhshah untuk shalat di rumahku ?” kemudian beliau bertanya,


هل تسمع النداء بالصلاة؟ قال : نعم. قال : فأجب

“Apakah engkau mendengar seruan untuk shalat ?” ia menjawab, “Ya”, beliau berkata lagi, “Kalau begitu penuhilah” [Hadits Riwayat Muslim, kitab Al-Masajid 653]

Dalam Ash-Shahihain dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda.

وَلَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَتُقَامَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثُمَّ أَنْطَلِقَ مَعِي بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حُزَمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لَا يَشْهَدُونَ الصَّلَاةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ بِالنَّارِ

“Sungguh aku sangat ingin memerintahkan shalat untuk didirikan, lalu aku perintahkan seorang laki-laki untuk mengimami orang-orang, kemudian aku berangkat bersama beberapa orang laki-laki dengan membawa beberapa ikat kayu bakar kepada orang-orang yang tidak ikut shalat, lalu aku bakar rumah-rumah mereka dengan api tersebut” [Al-Bukhari, kitab Al-Khusumat 2420, Muslim, kitab Al-Masajid 651]

Hadits-hadits shahih ini menunjukkan bahwa shalat jama’ah termasuk kewajiban kaum laki-laki dan merupakan kewajiban yang paling utama, dan bahwa yang menyelisihinya berhak mendapatkan siksaan yang menyakitkan.

Kita memohon kepada Allah, semoga memperbaiki kondisi seluruh kaum Muslimin dan memberi mereka petunjuk kepada jalan yang diridhaiNya.

Adapun meninggalkan shalat seluruhnya –ataupun hanya sebagian waktunya- maka ini adalah kekufuran yang besar walaupun tidak mengingkari kewajibannya, demikian menurut pendapat yang paling kuat diantara dia pendapat ulama, baik yang meninggalkan shalat itu laki-laki maupun perempuan, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ

“Sesungguhnya (pembatas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat” [Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya, kitab Al-Iman 82]

Dan berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

الْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

“Perjanjian antara kita dengan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkannya berarti ia telah kafir” [Dikeluarkan oleh Imam Ahmad 5/346 dan para penyusun kitab sunan dengan isnad shahih : At-Turmudzi 2621, An-Nasa’i 1/232, Ibnu Majah 1079]

Jadi berdasarkan hadits-hadits lainnya yang berkenaan dengan masalah ini.

Sedangkan orang yang mengingkari kewajibannya –baik laki-laki maupun perempuan- maka pengingkarannya itu telah menjadikannya kafir dengan kekufuran yang besar berdasarkan kesepakatan ahlul ilmi, bahkan sekalipun ia melaksanakan shalat. Kita memohon kepada Allah untuk kita dan semua kaum Muslimin agar senantiasa dibebaskan dari yang demikian, sesungguhnya Dia sebaik-baik tempat meminta.

Wajib bagi semua kaum Muslimin untuk saling menasehati dan saling berwasiat dengan kebenaran serta saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, di antaranya adalah dengan menasehati orang yang meninggalkan shalat jama’ah atau meremehkannya sehingga terkadang meninggalkannya, juga memperingatkannya akan kemurkaan dan siksaan Allah.

Lain dari itu, hendaknya sang ayah, ibu dan saudara-saudaranya yang se-rumah, agar senantiasa menasehatinya, dan terus menerus mengingatkannya, mudah-mudahan Allah memberinya petunjuk sehingga ia menjadi lurus. Demikian juga perempuan yang meninggalkannya, mereka harus dinasehati dan diperingatkan akan murka dan siksa Allah, serta terus menerus diperingatkan.


Selanjutnya, perlu mengambil tindakan dengan mengasingkan orang yang enggan dan memperlakukannya dengan cara yang sesuai dengan kemampuan dalam masalah ini, karena hal ini semua termasuk dalam katagori tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, serta amar ma’ruf dan nahyi mungkar yang telah diwajibkan Allah kepada para hamba-Nya baik yang laki-laki maupun yang perempuan, berdasarkan firmanNya.

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ


“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta’at kepada Allah dan RasulNya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah ; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” [At-Taubah/9 : 71]

Juga berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

مُرُوا أَوْلادَكُمْ بِالصَّلاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka (jika tidak melaksanakannya) saat mereka telah berumur sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka” [Hadits Riwayat Abu Dawud, kitab Ash-Shalah 495-496]

Dari hadits ini dapat disimpulkan, bahwa anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, diperintahkan untuk shalat sejak berusia tujuh tahun, kemudian jika telah mencapai usia sepuluh tahun dan belum juga mau melaksanakannya maka mereka harus dipukul. Maka orang yang sudah baligh tentu lebih wajib lagi untuk diperintah shalat dan dipukul jika tidak melaksanakannya yang disertai dengan nasehat yang terus menerus serta wasiat dengan kebaikan dan kesabaran, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

وَالْعَصْرِ ﴿١﴾ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿٢﴾ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran” [Al-Ashr/103 : 1-3]

Barangsiapa yang meninggalkan shalat setelah usia baligh dan enggan menerima nasehat, maka perkaranya bisa diadukan kepada mahkamah syari’ah sehingga ia diminta untuk bertaubat, jika tidak mau bertaubat maka dibunuh. Kita memohon kepada Allah agar memperbaiki kondisi kaum Muslimin dan menganugerahi mereka kefahaman tentang agama serta menunjukkan mereka untuk senantiasa saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, amar ma’ruf dan nahyi mungkar, serta saling berwasiat dengan kebenaran dan kesabaran, sesungguhnya Dia Maha Baik lagi Maha Mulia.

***

Kasih Sayang Adalah Pondasi Agama Islam

Kasih Sayang Adalah Pondasi Agama Islam 

Islam, yang berakar dari kata salam, memiliki arti keselamatan atau kedamaian. Jalan keselamatan ini adalah apa yang ditawarkan oleh Islam. Dalam pandangan para ulama, esensi dari jalan keselamatan tersebut adalah tauhid dan kasih sayang. Syekh Nawawi Al-Bantani rahimahullah berkata,

فان جميع أوامر الله تعالى ترجع الى خصلتين التعظيم لله تعالى والشفقة لخلقه

Sesungguhnya semua perintah Allah kembali kepada dua hal: mengagungkan Allah Ta’ala dan berkasih sayang terhadap makhluk-Nya.” (Nasha’ihul ‘Ibad, hal. 9)

Para ulama terdahulu juga mengaitkan keimanan dengan sifat kasih sayang. Abu Khairah Al-Aqtha’ dalam Tarikh Dimasyqi (66: 161), mengatakan,

فقلب مملوء إيمانًا، فعلامته الشَّفَقَة على جميع المسلمين والاهتمام بما يهمُّهم، ومعاونتهم على أن يعود صلاحه إليهم

Hati yang penuh dengan keimanan, tandanya adalah kasih sayang kepada semua umat muslim, perhatian terhadap apa yang menjadi kepentingan mereka, dan membantu mereka agar kebaikannya kembali kepada mereka.”

Akan tetapi, Islam sering disalahpahami sebagai agama yang keras, baik dari luar maupun dari sebagian kaum muslimin itu sendiri. Stigma ini muncul dari penyimpangan sekelompok kaum muslimin yang mengabaikan prinsip kasih sayang dan perdamaian, terutama oleh segelintir orang yang terlihat agamis, tetapi memaknai Islam secara ekstrem. Di sisi lain, kaum orientalis yang menginterpretasikan syariat Islam dengan lensa negatif juga ikut menciptakan citra keras terhadap Islam.

Setidaknya, ada tiga argumentasi sederhana yang menunjukkan bahwa Islam adalah agama kasih sayang. Argumentasi ini perlu diketahui kaum muslimin sebagai ilmu yang menambah keimanan pribadi. Selain itu, juga menjadi jawaban bagi golongan yang skeptis terhadap klaim luasnya rahmat dalam ajaran Islam.

Islam menuhankan Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Kewajiban pertama seorang hamba dalam Islam adalah mengakui bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah, melainkan Allah ﷻ. Dialah Allah ﷻ, Zat Yang Esa, yang menciptakan dan memelihara kita beserta seluruh ciptaan-Nya di bentangan alam semesta.

Dua nama Allah yang paling sering disebut dalam Al-Qur’an adalah Ar-Rahman dan Ar-Rahim, keduanya bermakna kasih sayang yang begitu luas. Allah ﷻ menetapkan atas dirinya sifat kasih sayang dalam firman-Nya,

وَإِذَا جَآءَكَ ٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِـَٔايَٰتِنَا فَقُلْ سَلَٰمٌ عَلَيْكُمْ ۖ كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَىٰ نَفْسِهِ ٱلرَّحْمَةَ ۖ

Dan apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami datang kepadamu, maka katakanlah, ‘Keselamatan atas kalian. Tuhan kalian telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang.’” (QS. Al-An’am: 54)

Allah ﷻ juga membuka kitab suci Al-Qur’an yang mulia dengan nama Ar-Rahman Ar-Rahim, begitu juga ketika membuka 113 surah di dalam Al-Qur’an. Allah ﷻ membuka Al-Qur’an dengan,

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan menyebut nama Allah ﷻ Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Fatihah: 1)

Allah ﷻ pun kembali menegaskan sifat rahmat atas diri-Nya pada ayat selanjutnya,

الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Fatihah: 3)

Nama Allah ﷻ bukanlah sekadar nama, tetapi juga mengandung sifat kesempurnaan di sisi-Nya. Sifat tersebut juga memiliki tuntutan bagi kaum muslimin untuk meneladaninya dan mengejawantahkannya dalam kehidupan sehari-hari. Lantas, bagaimana seorang muslim tidak berkasih sayang, sementara ia beriman kepada Allah ﷻ yang bersifat Maha Pengasih dan Penyayang?! Maka, kasih sayang bukan sekadar nilai tambah bagi seorang muslim. Akan tetapi, ia merupakan pondasi keimanan seorang yang beriman kepada Allah ﷻ.

Kasih sayang dalam pengutusan Nabi 

Rasulullah ﷺ adalah sosok yang Allah ﷻ utus dalam misi mulia, yakni menjadi rahmat bagi semesta alam.

وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَٰلَمِينَ

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107)

Rahmat dalam ayat ini menunjukkan kepada makna jaminan keselamatan bagi siapa saja yang mengikuti Nabi ﷺ. Dan yang dimaksud mengikuti Nabi ﷺ, dalam Tafsir Kemenag RI, misalnya adalah pengamalan Islam yang melahirkan perlindungan, kedamaian, dan karakter kasih sayang.

Dalam hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ’anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda,

الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ

Orang-orang yang penyayang, niscaya akan disayangi pula oleh Ar-Rahman (Allah). Maka, sayangilah penduduk bumi, niscaya Yang di atas langit pun akan menyayangi kalian.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh Al-Albani)

Sabda ini membawa pesan esensial bahwa kasih sayang adalah refleksi iman yang sejati. Kasih sayang terhadap sesama berhubungan langsung dengan kasih sayang Allah ﷻ. Bagaimana kehidupan yang tidak berisi cinta dan kasih sayang dari Allah ﷻ yang mengatur seluruh alam? Tentu kehidupan akan teramat berat dan penuh kesengsaraan.

Kasih sayang sebagai akhlak sehari-hari

Sifat kasih sayang tidak hanya termuat dalam fundamental Islam, tetapi juga tercermin dalam syariat dan juga keteladanan Nabi ﷺ. Tujuan utama dari praktik-praktik syariat ini adalah untuk melahirkan seorang muslim yang memancarkan kasih sayang dalam keseharian mereka. Beberapa praktik kehidupan Islami tersebut, di antaranya:

Pertama: Pengulangan mengingat sifat kasih sayang Allah  dalam salat

Seorang muslim diwajibkan untuk mengulang Al-Fatihah yang mengandung pernyataan tegas tentang nama Ar-Rahman Ar-Rahim setidaknya 17 kali dalam sehari. Sungguh hal ini menjadi alamat bahwa Islam menginginkan sifat kasih sayang menjadi keseharian seorang muslim.

Kedua: Berempati dan lemah lembut kepada orang lain

Islam mengajarkan adab dan akhlak yang penuh empati, lemah lembut, dan pengertian terhadap orang lain. Allah ﷻ berfirman mengabarkan sebab para sahabat Nabi ﷺ berada di sisinya adalah karena kelemahlembutan beliau yang lahir dari sifat rahmat,

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ الله لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظّاً غَلِيظَ القلب لاَنْفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ

Maka, disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imran: 159)

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Berlaku lemah lembut adalah akhlak Muhammad ﷺ yang beliau memang diutus dengan membawa akhlak yang mulia ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3: 232)

Dari hubungan keluarga hingga interaksi dengan tetangga, Islam mendorong umatnya untuk selalu menempatkan kasih sayang di atas kekerasan. Rasulullah ﷺ dalam banyak hadis mengingatkan umatnya untuk berlaku lembut kepada anak-anak, mengasihi orang tua, dan saling menyayangi sesama manusia tanpa memandang latar belakang.

Ketiga: Perintah beragam bentuk muamalah kasih sayang dengan sesama

Rasulullah ﷺ juga biasa mengumpulkan perintah untuk bermuamalah dengan baik kepada sesama makhluk-Nya sebagai perwujudan sifat rahmat. Dari Al-Bara’, dia meriwayatkan,

أَمَرَنَا النَّبِيُّ بِسَبْعِ، وَنَهَانَا عَنْ سَبْعِ: أَمَرَنَا بِعِيَادَةِ الْمَرِيضِ، وَاتَّبَاعِ الْجِنَازَةِ، وَتَثْمِيتِ الْعَاطِسِ، وَإِجَابَةِ الدَّاعِي، وَرَةِ السَّلَامِ، وَنَصْرِ الْمَظْلُومِ، وَإِبْرَارِ الْمُقْسِمِ.

Nabi ﷺ memerintahkan kami untuk melakukan tujuh hal dan melarang kami melakukan tujuh hal. Beliau memerintahkan kami untuk menjenguk orang sakit, menghadiri pemakaman, mengucapkan ‘yarḥamuka Allāh’ (semoga Allah merahmati kalian) kepada orang yang bersin, menjawab undangan, menjawab salam, menolong orang yang teraniaya, dan memenuhi permintaan orang yang bersumpah….” (HR. Bukhari no. 6294 dan Muslim no. 5510)

Keempat: Nabi  pun memerintahkan kasih sayang kepada hewan dan tumbuhan

Rasulullah ﷺ bersabda,

في كُلِّ كَبِدٍ رطبَةٍ أجرٌ

Pada setiap yang mempunyai hati yang basah (hewan) itu terdapat pahala (dalam berbuat baik kepada-Nya).” (HR. Bukhari no. 2363)

Nabi Muhammad ﷺ  pun memotivasi kita untuk menumbuhkan pepohonan yang dinilai sebagai kebaikan bagi setiap makhluk. Dalam sabda beliau ﷺ,

فَلاَ يَغْرِسُ الْمُسْلِمُ غَرْسًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ وَلاَ دَابَّةٌ وَلاَ طَيْرٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Tidaklah seorang muslim menanam tanaman, lalu dimakan oleh manusia, hewan, atau burung, kecuali hal itu merupakan sedekah untuknya sampai hari kiamat.” (HR. Muslim no. 1552)

Bahkan, dalam perintah menyembelih pun, Rasulullah ﷺ menekankan untuk berkasih sayang di dalamnya. Rasulullah ﷺ telah bersabda,

إن الله كتب الإحسانَ على كل شيء، فإذا قتلتم فأحسِنوا القِتلةَ وإذا ذبحتم فأحسِنوا الذِّبحة، وليحد أحدُكم شَفْرَتَه ولْيُرِحْ ذبيحتَهُ

Sesungguhnya Allah telah mewajibkan ihsan (berbuat baik) atas segala sesuatu. Maka, apabila kalian membunuh (hewan yang haram dimakan), hendaklah berlaku ihsan di dalam pembunuhan. Dan apabila kalian menyembelih (hewan yang halal dimakan), hendaklah berlaku baik di dalam penyembelihan. Dan hendaklah salah seorang kamu menyenangkan sembelihannya dan hendaklah ia mempertajam mata pisaunya.” (HR. Muslim no. 1955)

Terkadang, perintah syariat yang merefleksikan sifat kasih sayang ini tampak sederhana. Namun, dampaknya sangat besar. Semua ini adalah bentuk kasih sayang yang menjadi pondasi dalam menggapai keselamatan, baik di dunia maupun akhirat.

Menghadapi tantangan dan stigma

Islam sendiri mengajarkan bahwa rahmat Allah melingkupi segala sesuatu dan umat-Nya harus meneladani sifat kasih sayang tersebut dalam setiap aspek kehidupan. Mencintai dan menyayangi, bahkan dalam hal-hal kecil, adalah bentuk ibadah kepada Allah. Umat Islam harus memahami bahwa dengan menampilkan sifat kasih sayang, mereka sejatinya sedang menunaikan perintah Allah dan mengamalkan ajaran Rasulullah ﷺ.

Sebagai penutup, ingatlah bahwa kasih sayang adalah pondasi dari Islam. Prinsip kasih sayang dalam Islam, bukan hanya ajaran yang dipraktikkan kepada sesama muslim, tetapi kepada seluruh alam. Stigma yang dilekatkan kepada Islam, tak lain ialah datang dari kesalahpahaman orang terhadap ajaran Islam yang didapatkan dari berinteraksi dengan penganutnya. Maka, seorang muslim harus menunjukkan akhlak dan sifat kasih sayang kepada orang lain. Karena sejatinya seorang muslim adalah ikon dari agama yang diyakininya.

Dan kita perlu sadari bahwa tujuan utama dalam berkasih sayang adalah menggapai cinta Allah ﷻ. Kecintaan Allah ﷻ berkaitan erat dengan kebermanfaatan hamba tersebut kepada sesamanya. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ,

أحبُّ الناسِ إلى اللهِ تعالى أنفعُهم للناسِ

Orang yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Ath-Thabrani, 6: 139, dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, 2: 575)

***

Istrimu Butuh Hiburan Dan Rekreasi

Istrimu Butuh Hiburan Dan Rekreasi 

Tugas seorang istri di rumah sangatlah berat, berbagai macam kewajiban rumah tangga ditunaikan, mulai dari mengurus anak, mengurus suami, beberes bebersih, dan banyak kerjaan rumah tangga lainnya. Di balik rutinitas yang tak ada habisnya tersebut, tentu saja para istri dan ibu rumah tangga butuh yang namanya hiburan atau yang belakangan kerap disebut healing.

Suami yang baik akan berusaha memperhatikan dan menunaikan hak istri yang satu ini. Dia tidak sibuk sendiri untuk mengurusi dan memberikan hiburan atas dirinya setelah lelah bekerja di luar rumah, melainkan dia juga memikirkan bagaimana caranya memberikan hiburan untuk istri dan keluarganya.

Islam memotivasi seorang laki-laki agar menunaikan hak orang-orang yang berada di sekitarnya dengan proporsinya masing-masing. Rabbnya memiliki hak atas dirinya dengan cara beribadah menyembah-Nya, tubuhnya pun memiliki hak atas dirinya dengan beristirahat, demikian pula istri dan keluarganya memiliki hak atas dirinya dengan memberikannya nafkah lahir nafkah batin ataupun hiburan karena telah mengurus rumah tangganya.

Dalam kisah Abu Darda’ dan Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu setelah dipersaudarakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika Salman melihat Abu Darda’ terlalu fokus pada ibadah sehingga menelantarkan hak dirinya dan keluarganya, Salman berkata kepadanya,

إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ .

“Sesungguhnya bagi Rabbmu ada hak, bagi dirimu ada hak, dan bagi keluargamu juga ada hak. Maka penuhilah masing-masing hak tersebut.”

Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengomentari dengan berkata,

صَدَقَ سَلْمَانُ

“Salman itu benar.” (HR. Bukhari no. 1968)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah contoh sempurna bagaimana beliau menunaikan dengan baik hak-hak orang yang ada di sekitarnya setelah menunaikan hak Rabbnya. Dalam banyak riwayat, beliau kerap kali menemani dan mendengarkan keluh kesah istrinya. Termasuk pula memberikan hiburan untuk istrinya. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah menceritakan,

جاء حَبَشٌ يزْفِنونَ في يومِ عيدٍ في المسجدِ . فدعاني النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ . فوضَعْتُ رأسي . على منكبِه . فجعلتُ أنظرُ إلى لعبِهم . حتى كنتُ أنا التي أنصرفُ عن النظرِ إليهم

“Datang orang-orang Habasyah menari-nari di masjid pada hari Id. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memanggilku. Aku letakkan kepalaku di atas bahu beliau. Dan akupun menonton orang-orang Habasyah tersebut sampai aku sendiri yang memutuskan untuk tidak ingin melihat lagi.” (HR. Muslim no. 892)

Dalam konteks ini, lihatlah bagaimana sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat baik pada istrinya. Beliau memberikan kesempatan kepada ‘Aisyah untuk melihat permainan anak-anak Habasyah. Ini menjadi contoh bagaimana Nabi berusaha memberikan istrinya hiburan. Oleh karena itu, berikanlah hiburan untuk istri tercinta atau ajaklah untuk rekreasi setelah berlelah-lelah mengurus semua pekerjaan rumah.
 ***