Letak Kebahagiaan Bukan Pada Kemewahan Dunia

Letak Kebahagiaan Bukan Pada Kemewahan Dunia 

Setiap orang pasti menginginkan hidup bahagia. Namun banyak orang yang menempuh jalan yang salah dan keliru. Sebagian menyangka bahwa kebahagiaan adalah dengan memiliki mobil mewah, Handphone sekelas Blackberry, memiliki rumah real estate, dapat melakukan tur wisata ke luar negeri, dan lain sebagainya. Mereka menyangka bahwa inilah yang dinamakan hidup bahagia. Namun apakah betul seperti itu? Simak tulisan berikut ini.

Kebahagiaan untuk Orang yang Beriman dan Beramal Sholeh

Saudaraku … Orang yang beriman dan beramal sholeh, merekalah yang sebenarnya merasakan manisnya kehidupan dan kebahagiaan karena hatinya yang selalu tenang, berbeda dengan orang-orang yang lalai dari Allah yang selalu merasa gelisah. Walaupun mungkin engkau melihat kehidupan mereka begitu sederhana, bahkan sangat kekurangan harta. Namun jika engkau melihat jauh, engkau akan mengetahui bahwa merekalah orang-orang yang paling berbahagia. Perhatikan seksama firman-firman Allah Ta’ala berikut.

Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. An Nahl: 97). Ini adalah balasan bagi orang mukmin di dunia, yaitu akan mendapatkan kehidupan yang baik.

وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An Nahl: 97). Sedangkan dalam ayat ini adalah balasan di akhirat, yakni alam barzakh.

Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَلَأَجْرُ الْآَخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui.” (QS. An Nahl: 41)

وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ

Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertobat kepada-Nya. (Jika kamu, mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya.” (QS. Huud: 3). Kedua ayat ini menjelaskan balasan di akhirat bagi orang yang beriman dan beramal sholeh.

Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10)

Inilah empat tempat dalam Al Qur’an yang menjelaskan balasan bagi orang yang beriman dan beramal sholeh. Ada dua balasan yang mereka peroleh yaitu balasan di dunia dan balasan di akhirat. Itulah dua kebahagiaan yang nantinya mereka peroleh. Ini menunjukkan bahwa mereka lah orang yang akan berbahagia di dunia dan akhirat.

Salah Satu Bukti

Seringkali kita mendengar nama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Namanya begitu harum di tengah-tengah kaum muslimin karena pengaruh beliau dan  karyanya begitu banyak di tengah-tengah umat ini. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, nama aslinya adalah Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam bin Abdullah bin Muhammad bin Al Khodr bin Muhammad bin Al Khodr bin Ali bin Abdullah bin Taimiyyah Al Haroni Ad Dimasqi. Nama Kunyah beliau adalah Abul ‘Abbas.

Berikut adalah cerita dari murid beliau Ibnul Qayyim mengenai keadaannya yang penuh kesusahan, begitu juga keadaan yang penuh kesengsaraan di dalam penjara. Namun di balik itu, beliau termasuk orang yang paling berbahagia.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

“Allah Ta’ala pasti tahu bahwa aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih bahagia hidupnya daripada beliau, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Padahal kondisi kehidupan beliau sangat susah, jauh dari kemewahan dan kesenangan duniawi, bahkan sangat memprihatinkan. Ditambah lagi dengan siksaan dan penderitaan yang beliau alami di jalan Allah Ta’ala, yaitu berupa siksaan dalam penjara, ancaman dan penindasan dari musuh-musuh beliau. Namun bersamaan dengan itu semua, aku dapati bahwa beliau adalah termasuk orang yang paling bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling tegar hatinya dan paling tenang jiwanya. Terpancar pada wajah beliau sinar kenikmatan hidup yang beliau rasakan. Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan gundah gulana atau muncul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk atau ketika kami merasakan kesempitan hidup, kami segera mendatangi beliau untuk meminta nasehat, maka dengan hanya memandang wajah beliau dan mendengarkan nasehat beliau, serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pun sering mengatakan berulang kali pada Ibnul Qoyyim, “Apa yang dilakukan oleh musuh-musuhku terhadapku? Sesungguhnya keindahan surga dan tamannya ada di hatiku.”

Begitu pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah mengatakan tatkala beliau berada di dalam penjara, padahal di dalamnya penuh dengan kesulitan, namun beliau masih mengatakan, “Seandainya benteng ini dipenuhi dengan emas, tidak ada yang bisa menandingi kenikmatanku berada di sini.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga pernah mengatakan, “Sebenarnya orang yang dikatakan dipenjara adalah orang yang hatinya tertutup dari mengenal Allah ‘azza wa jalla. Sedangkan orang yang ditawan adalah orang yang masih terus menuruti (menawan) hawa nafsunya (pada kesesatan). ”

Bahkan dalam penjara pun, Syaikhul Islam masih sering memperbanyak do’a agar dapat banyak bersyukur pada Allah, yaitu do’a: Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik (Ya Allah, aku meminta pertolongan agar dapat berdzikir, bersyukur dan beribadah dengan baik pada-Mu). Masih sempat di saat sujud, beliau mengucapkan do’a ini. Padahal beliau sedang dalam belenggu, namun itulah kebahagiaan yang beliau rasakan.

Tatkala beliau masuk dalam sel penjara, hingga berada di balik dinding, beliau mengatakan,

فَضُرِبَ بَيْنَهُمْ بِسُورٍ لَهُ بَابٌ بَاطِنُهُ فِيهِ الرَّحْمَةُ وَظَاهِرُهُ مِنْ قِبَلِهِ الْعَذَابُ

Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa.” (QS. Al Hadid: 13)

Itulah kenikmatan yang dirasakan oleh orang yang memiliki keimanan yang kokoh. Kenikmatan seperti ini tidaklah pernah dirasakan oleh para raja dan juga pangeran.

Para salaf mengatakan,

لَوْ يَعْلَمُ المُلُوْكُ وَأَبْنَاءُ المُلُوْكِ مَا نَحْنُ فِيْهِ لَجَلِدُوْنَا عَلَيْهِ بِالسُّيُوْفِ

Seandainya para raja dan pangeran itu mengetahui kenikmatan yang ada di hati kami ini, tentu mereka akan menyiksa kami dengan pedang.”

Mendapatkan Surga Dunia

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Di dunia itu terdapat surga. Barangsiapa yang tidak memasukinya, maka dia tidak akan memperoleh surga akhirat.”

Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa surga dunia adalah mencintai Allah, mengenal Allah, senantiasa mengingat-Nya, merasa tenang dan thuma’ninah ketika bermunajat pada-Nya, menjadikan kecintaan hakiki hanya untuk-Nya, memiliki rasa takut dan dibarengi rasa harap kepada-Nya, senantiasa bertawakkal pada-Nya dan menyerahkan segala urusan hanya pada-Nya.

Inilah surga dunia yang dirindukan oleh para pecinta surga akhirat.

Itulah saudaraku surga yang seharusnya engkau raih, dengan meraih kecintaan Allah, senantiasa berharap pada-Nya, serta dibarengi dengan rasa takut, juga selalu menyandarkan segala urusan hanya kepada-Nya.

Penutup

Inti dari ini semua adalah letak kebahagiaan bukanlah dengan memiliki istana yang megah, mobil yang mewah, harta yang melimpah. Namun letak kebahagiaan adalah di dalam hati, yaitu hati yang memiliki keimanan, yang selalu merasa cukup dan selalu bersandar pada Allah Ta’ala.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

Yang namanya kaya (ghina’) bukanlah dengan banyaknya harta (atau banyaknya kemewahan dunia). Namun yang namanya ghina’ adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Semoga Allah memberi petunjuk kepada kita dan memberikan kita surga dunia yaitu dengan memiliki hati yang selalu bersandar pada-Nya.

Hati yang selalu merasa cukup itulah yang lebih utama dari harta yang begitu melimpah.

***

Pentingnya Ilmu Agama

Pentingnya Ilmu Agama 

Bismillah. Wa bihi nasta’iinu.

Saudaraku yang dirahmati Allah, bagi seorang muslim belajar ilmu agama bukan sekedar kegiatan sampingan. Kalau ada waktu dikerjakan dan kalau tidak ada ya tidak mengapa ditinggalkan. Bukan demikian! Ilmu adalah kebutuhan kita sehari-hari…

Diantara dalil yang menunjukkan hal itu adalah firman Allah, 

ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَيَوٰةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلٗا

“[Allah] Yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (QS. Al-Mulk : 2). 

Sebagaimana telah ditafsirkan oleh para ulama bahwa yang dimaksud paling bagus amalnya adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Ikhlas yaitu jika dikerjakan karena Allah, sedangkan benar maksudnya mengikuti tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan, tidak mungkin seorang bisa ikhlas dan mengikuti tuntunan kecuali jika berlandaskan dengan ilmu.

Dalil yang lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah pahamkan dalam agama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini sebagaimana telah diterangkan pula oleh para ulama menunjukkan bahwa paham tentang ilmu agama adalah syarat mutlak untuk menjadi baik. 

Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullah menerangkan, diantara faidah hadits di atas adalah : 

  • Dorongan untuk menimba ilmu (agama) dan motivasi atasnya
  • Penjelasan mengenai keutamaan para ulama di atas segenap manusia
  • Penjelasan keutamaan mendalami ilmu agama di atas seluruh bidang ilmu
  • Pemahaman dalam agama merupakan tanda Allah menghendaki kebaikan pada diri seorang hamba

(lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 2/59)

Dengan demikian, ketika kita berbicara mengenai keutamaan belajar ilmu agama sesungguhnya kita sedang membahas mengenai pentingnya seorang muslim mencapai keridhaan Allah dan cinta-Nya. Karena tidak mungkin dia bisa mendapatkan kecintaan Allah dan ampunan-Nya kecuali dengan mengikuti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan bagaimana mungkin dia akan bisa mengikuti ajaran jika dia tidak membangun agamanya di atas ilmu dan pemahaman?!

Allah berfirman,

قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٣١

“Katakanlah; Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku (rasul) niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. Al-Imran: 31)

Allah berfirman,

وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلۡقَيِّمَةِ ٥

“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan agama/amal untuk-Nya dengan hanif, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat. Dan itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Allah berfirman,

فَمَن كَانَ يَرۡجُواْ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلۡيَعۡمَلۡ عَمَلٗا صَٰلِحٗا وَلَا يُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدَۢا

“Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Allah juga berfirman,

وَٱلۡعَصۡرِ ١  إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ ٢  إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ ٣ 

“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (QS. Al-Ashr: 1-3)

Ayat-ayat di atas dengan gamblang menunjukkan kepada kita bahwa setiap muslim harus :

  • Mengikuti tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
  • Beribadah kepada Allah dengan ikhlas dan bersih dari syirik
  • Melandasi amal salihnya dengan keimanan dan tauhid
  • Tunduk kepada syari’at Allah, menegakkan sholat dan membayar zakat
  • Menegakkan nasihat dan kesabaran

Sementara tidak mungkin melakukan itu semuanya kecuali dengan dasar ilmu dan pemahaman.

Maka sekali lagi, belajar ilmu agama ini bukan kegiatan sampingan. Ini adalah kebutuhan setiap insan. Tidakkah kita ingat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam“Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu (agama) niscaya Allah akan mudahkan baginya dengan sebab itu jalan menuju surga.” (HR. Muslim)

Setiap kita butuh bantuan Allah untuk bisa istiqomah dalam beragama hingga akhir hayat. Lantas bagaimana seorang hamba bisa istiqomah apabila dia tidak berpegang dengan ilmu agama?

Akar atau kunci istiqomah terletak pada keistiqomahan hati; sejauh mana hati itu tunduk kepada Allah dan mengagungkan-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah istiqomah  iman seorang hamba sampai istiqomah hatinya.” (HR. Ahmad, dinyatakan sahih oleh al-Albani). Hadits ini menunjukkan bahwa keistiqomahan anggota badan tergantung pada keistiqomahan hati, sedangkan keistiqomahan hati adalah dengan mengisinya dengan kecintaan kepada Allah, cinta terhadap ketaatan kepada-Nya dan benci berbuat maksiat kepada-Nya (lihat mukadimah Syarh Manzhumah fi ‘Alamati Shihhatil Qalbi, hal. 5-6)

Mengakui Kebodohan

Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan:

Beruntunglah orang yang bersikap inshof/objektif kepada Rabbnya. Sehingga dia mengakui kebodohan yang meliputi ilmu yang dia miliki. Dia pun mengakui berbagai penyakit yang berjangkit di dalam amal perbuatannya. Dia juga mengakui akan begitu banyak aib pada dirinya sendiri. Dia juga mengakui bahwa dirinya banyak berbuat teledor dalam menunaikan hak Allah. Dia mengakui betapa banyak kezaliman yang dia lakukan dalam bermuamalah kepada-Nya. 

Apabila Allah memberikan hukuman kepadanya karena dosa-dosanya maka dia melihat hal itu sebagai bukti keadilan-Nya. Namun apabila Allah tidak menjatuhkan hukuman kepadanya dia melihat bahwa hal itu murni karena keutamaan/karunia Allah kepadanya. Apabila dia berbuat kebaikan, dia melihat bahwa kebaikan itu merupakan anugerah dan sedekah/kebaikan yang diberikan oleh Allah kepadanya. 

Apabila Allah menerima amalnya, maka hal itu adalah sedekah kedua baginya. Namun apabila ternyata Allah menolak amalnya itu, maka dia sadar bahwa sesungguhnya amal semacam itu memang tidak pantas dipersembahkan kepada-Nya. 

Dan apabila dia melakukan suatu keburukan, dia melihat bahwa sebenarnya hal itu terjadi disebabkan Allah membiarkan dia dan tidak memberikan taufik kepadanya. Allah menahan penjagaan dirinya. Dan itu semuanya merupakan bentuk keadilan Allah kepada dirinya. Sehingga dia melihat bahwa itu semuanya membuatnya semakin merasa fakir/butuh kepada Rabbnya dan betapa zalimnya dirinya. Apabila Allah mengampuni kesalahan-kesalahannya hal itu semata-mata karena kebaikan, kemurahan, dan kedermawanan Allah kepadanya. 

Intisari dan rahasia dari perkara ini adalah dia tidak memandang Rabbnya kecuali selalu melakukan kebaikan sementara dia tidak melihat dirinya sendiri melainkan orang yang penuh dengan keburukan, sering bertindak berlebihan, atau bermalas-malasan. Dengan begitu dia melihat bahwasanya segala hal yang membuatnya gembira bersumber dari karunia Rabbnya kepada dirinya dan kebaikan yang dicurahkan Allah kepadanya. Adapun segala sesuatu yang membuatnya sedih bersumber dari dosa-dosanya sendiri dan bentuk keadilan Allah kepadanya.

(lihat al-Fawa’id, hal. 36)

Demikian sekelumit cuplikan nasihat dan renungan, mudah-mudahan bisa bermanfaat bagi penulis dan segenap pembaca. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin. 

Nasihat Bagi Penuntut Ilmu

Nasihat Bagi Penuntut Ilmu 

الحمد لله، والصلاة والسلام على رسوله، نبينا محمد وآله وصحبه

Tidak ada keraguan lagi bahwa menuntut ilmu (agama) merupakan metode terbaik dalam mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Menuntut ilmu menjadi sebab kesuksesan di akhirat kelak dengan balasan surga serta menjadi sebab kemuliaan bagi mereka yang mengamalkan ilmunya. Di antara poin penting dalam menuntut ilmu adalah ikhlas. Belajar agama dengan niat karena Allah Ta’ala semata, bukan selain-Nya. Karena hal tersebut yang akan menjadikan ilmu itu bermanfaat dan menjadi sebab datangnya taufik agar meraih kedudukan yang tinggi di dunia dan akhirat.

Telah datang hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda,

من تعلم علما مما يبتغى به وجه الله لا يتعلمه إلا ليصيب به عرضا من الدنيا لم يجد عرف الجنة يوم القيامة

Barangsiapa yang mempelajari ilmu agama dengan apa yang seharusnya ditujukan untuk mencari wajah Allah Ta’ala, namun ia mempelajarinya untuk mendapat bagian dari kehidupan dunia, maka tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat kelak.” (HR. Abu Daud dengan sanad hasan)

Hadis diriwayatkan dari Tirmidzi dengan sanad dha’if, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من طلب العلم ليباهي به العلماء أو ليماري به السفهاء أو ليصرف به وجوهه الناس إليه أدخله الله النار

Barangsiapa menuntut ilmu agama dengan niat untuk mendebat ulama atau berbangga di depan orang dungu atau agar memalingkan wajah manusia kepadanya, Allah akan masukkan dia ke dalam neraka.”

Maka, aku wasiatkan kepada setiap penuntut ilmu dan kepada setiap muslim yang membaca tulisan ini, hendaknya kalian mengikhlaskan seluruh amal karena Allah Ta’ala semata.

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ اِنَّمَآ اَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوْحٰٓى اِلَيَّ اَنَّمَآ اِلٰهُكُمْ اِلٰهٌ وَّاحِدٌۚ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْا لِقَاۤءَ رَبِّهٖ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَّلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهٖٓ اَحَدًا ࣖ

Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa.’ Maka, barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Dalam Shahih Muslim, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,

يقول الله عز وجل: أنا أغنى الشركاء عن الشرك من عمل عملا أشرك معي فيه غيري تركته وشركه

“Allah ‘Azza Wajalla berfirman, “Aku paling tidak butuh terhadap sekutu. Barangsiapa beramal dengan suatu amalan yang dalam amalan tersebut menyekutukan-Ku pada sesuatu selain-Ku, maka Aku akan tinggalkan dia bersama sekutunya.”

Begitu pula aku wasiatkan kepada setiap penuntut ilmu dan setiap muslim, untuk takut kepada Allah Ta’ala dan merasa selalu diawasi oleh Allah Ta’ala dalam setiap keadaan. Hal ini mengamalkan firman Allah Ta’ala,

اِنَّ الَّذِيْنَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ لَهُمْ مَّغْفِرَةٌ وَّاَجْرٌ كَبِيْرٌ

Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka yang tidak terlihat, mereka memperoleh ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Mulk: 12)

وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهٖ جَنَّتٰنِۚ

Dan untuk yang takut akan kedudukan Tuhannya ada dua surga.” (QS.Ar-Rahman: 46)

Sebagian salaf berkata,

رأس العلم خشية الله

Puncak ilmu adalah rasa takut kepada Allah.

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

كفى بخشية الله علما، وكفى بالاغترار به جهلا

Cukuplah rasa takut kepada Allah sebagai (wujud) ilmu. Dan cukuplah terperdaya darinya sebagai (wujud) kebodohan.”

Sebagian salaf berkata,

من كان بالله أعرف كان منه أخوف

Barangsiapa yang lebih mengetahui tentang Allah, maka lebih besar pula rasa khaufnya (takut, pent).

Hal yang menunjukkan benarnya makna perkataan salaf di atas adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada sahabatnya,

أما والله إني لأخشاكم لله وأتقاكم له

Demi Allah, aku (Muhammad, pent) adalah orang yang paling takut (kepada Allah) dan paling bertakwa di antara kalian.”

Maka, setiap bertambah kuatnya ilmu seorang hamba tentang Allah Ta’ala akan menjadi sebab kesempurnaan takwa dan ikhlasnya kepada Allah Ta’ala, dan menahan diri dari larangan serta memperingatkannya akan maksiat.

Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman,

اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُا

Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama.” (QS. Al-Fatir: 28)

Seorang yang alim tentang Allah Ta’ala dan juga dengan agamanya adalah orang yang paling takut kepada Allah Ta’ala di antara para manusia, paling bertakwa, dan paling depan dalam menegakkan agamanya. Pemimpin mereka adalah para rasul dan nabi ‘alaihim shalatu wasalam dan para pengikut mereka dengan ihsan.

Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengabarkan bahwa di antara tanda kebahagiaan adalah seseorang yang dipahamkan dalam perkara agamanya. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين

Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, akan dipahamkan dalam perkara agama.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Sahabat Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu)

Hal tersebut (paham agama) akan memandu hamba dalam menegakkan perintah Allah Ta’ala, menumbuhkan rasa takut kepada-Nya, membantu untuk melaksanakan kewajibannya, waspada terhadap murka-Nya, mengajaknya untuk berakhlak mulia, memperbaiki amal ibadahnya, dan nasihat untuk Allah dan hamba-hamba-Nya.

Aku memohon kepada Allah ‘Azza Wajalla agar melimpahkan kepada kami dan seluruh penuntut ilmu dan seluruh kaum muslimin pemahaman agama, istikamah di atasnya, dan menjauhkan dari segala keburukan diri dan amal-amal kami. Sesungguhnya Allah Zat yang mampu melakukan segala sesuatunya.

وصلى الله وسلم على عبده ورسوله محمد وعلى آله وصحبه

***

نشرت في مجلة التوحيد المصرية، ص 11- 12، (مجموع فتاوى ومقالات الشيخ ابن باز 2/ 322).

Beriman Terhadap Datangnya Kematian

Beriman Terhadap Datangnya Kematian 

Terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan keimanan kita terhadap kematian.

Pertama, kematian itu pasti datang

Kita harus meyakini bahwa siapa saja yang ada di dunia ini, baik penghuni langit dan bumi, baik manusia, jin, dan malaikat, dan makhluk Allah Ta’ala lainnya, pasti akan menjumpai kematian. Allah Ta’ala berfirman,

كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ

Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah.” (QS. Al-Qashash: 88)

Allah Ta’ala berfirman,

كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (QS. Ali ‘Imran: 185)

Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdoa,

أَعُوذُ بِعِزَّتِكَ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ الَّذِي لَا يَمُوتُ وَالْجِنُّ وَالْإِنْسُ يَمُوتُونَ

A’UUDZU BI’IZZATILLAHILLLADZII LAA ILAAHA ILLAA ANTAL LADZII LAA YAMUUTU WAL JINNU WAL INSU YAMUUTUUNA (Saya berlindung dengan kekuasaan-Mu yang tiada sesembahan yang hak selain Engkau, yang tidak pernah mati, sedangkan jin dan manusia pasti akan mati).” (HR. Bukhari no. 7383 dan Muslim no. 2717)

Kedua, ajal manusia sudah ditentukan, tidak akan lebih lama dan tidak akan lebih cepat

Allah Ta’ala berfirman,

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاء أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ

Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu. Apabila telah datang waktunya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS. Al-A’raf: 34)

Allah Ta’ala berfirman,

وَهُوَ الَّذِي يَتَوَفَّاكُم بِاللَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَا جَرَحْتُم بِالنَّهَارِ ثُمَّ يَبْعَثُكُمْ فِيهِ لِيُقْضَى أَجَلٌ مُّسَمًّى ثُمَّ إِلَيْهِ مَرْجِعُكُمْ ثُمَّ يُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur(mu) yang telah ditentukan. Kemudian kepada Allahlah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan.” (QS. Al-An’am: 60)

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Ummu Habibah -istri Rasulullah- pernah berdoa sebagai berikut, ‘Ya Allah, berikanlah aku kenikmatan (panjangkanlah usiaku) bersama suamiku, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ayahku Abu Sufyan, dan saudaraku Mu’awiyah.’”

Mendengar doa itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada istrinya Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha,

قَدْ سَأَلْتِ اللهَ لِآجَالٍ مَضْرُوبَةٍ، وَأَيَّامٍ مَعْدُودَةٍ، وَأَرْزَاقٍ مَقْسُومَةٍ، لَنْ يُعَجِّلَ شَيْئًا قَبْلَ حِلِّهِ، أَوْ يُؤَخِّرَ شَيْئًا عَنْ حِلِّهِ، وَلَوْ كُنْتِ سَأَلْتِ اللهَ أَنْ يُعِيذَكِ مِنْ عَذَابٍ فِي النَّارِ، أَوْ عَذَابٍ فِي الْقَبْرِ، كَانَ خَيْرًا وَأَفْضَلَ

Sesungguhnya kamu memohon kepada Allah ajal, kematian, dan rezeki yang telah ditentukan. Allah tidak akan mengajukan ataupun memundurkan sebelum waktunya. Apabila kamu memohon kepada Allah agar Dia menyelamatkanmu dari siksa neraka dan siksa kubur, maka hal itu lebih baik bagimu dan lebih utama.” (HR. Muslim no. 2663)

Adapun makna dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَه

Siapa yang ingin diluaskan rezekinya atau dipanjangkan umurnya, hendaklah dia menyambung silaturahim.” (HR. Bukhari no. 2067 dan Muslim no. 2557)

adalah “keberkahan dalam amal dan waktu”. Sehingga seseorang bisa mengerjakan banyak amal saleh di waktu yang sebentar (sedikit).

Ketiga, beriman bahwa tidak ada satu pun makhluk yang mengetahui kapan datangnya waktu kematian

Waktu datangnya kematian termasuk bagian dari ilmu gaib yang hanya diketahui oleh Allah Ta’ala. Maka, tidak ada yang mengetahui kapankah kematian menjemputnya, kecuali Allah Ta’ala semata. Allah Ta’ala berfirman,

وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ

Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Dia sendiri. Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan. Dan tiada sehelai daun pun yang gugur, melainkan Dia mengetahuinya (pula). Dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” (QS. Al-An’am: 59)

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ

Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.” (QS. Luqman: 34)

Keempat, memperbanyak mengingat kematian dan menjadikan kematian itu ada di depan matanya

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ

Perbanyaklah mengingat penghancur kelezatan (yaitu, kematian).” (HR. Tirmidzi no. 3207, An-Nasa’i no. 1824, dan Ibnu Majah no. 4258, dinilai sahih oleh Al-Albani)

Kelima, mempersiapkan diri sebelum datangnya kematian

Seorang mukmin hendaknya mempersiapkan dirinya sebelum datangnya kematian, dan juga mempersiapkan dirinya dengan hal-hal setelah kematian, baik azab atau nikmat kubur, hari kiamat, dan seterusnya. Allah Ta’ala berfirman,

حَتَّى إِذَا جَاء أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحاً فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِن وَرَائِهِم بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ

(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, ‘Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan.’ Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan.” (QS. Al-Mu’minuun: 99-100)

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (QS. Al-Hasyr: 18)

Demikian, semoga bermanfaat.

***

Rasisme Dalam Pandangan Islam

Rasisme Dalam Pandangan Islam

Perbuatan rasisme tentu tidak sesuai dengan fitrah manusia manapun. Meremehkan, merendahkan dan menghina orang lain hanya karena berbeda suku, berbeda warna kulit, berbeda bangsa atau negara. Kita dapati rasisme ini masih ada di beberapa tempat di dunia ini dan ini memang yang sangat tidak kita harapkan. Ketahuilah, Islam agama yang mulia telah menghapus dan mengharamkan rasisme tersebut di muka bumi ini. Semua orang pada asalnya sama kedudukannya dan memiliki hak-hak dasar kemanusiaan yang sama serta tidak boleh dibedakan, satu di istimewakan dan satu lagi dihinakan hanya karena alasan perbedaan suku, ras, bangsa semata.

Lihat-lah bagaimana Bilal bin Rabah, seorang sahabat yang mulia. Beliau adalah mantan budak dan berkulit hitam legam, tetapi kedudukan beliau tinggi di antara para sahabat. Beliau telah dipersaksikan masuk surga secara khusus yang belum tentu ada pada semua sahabat lainnya.[1] Beliau juga adalah sayyid para muadzzin dan pengumandang adzan pertama umat Islam.[2]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Abu Dzar,

 ﺍﻧْﻈُﺮْ ﻓَﺈِﻧَّﻚَ ﻟَﻴْﺲَ ﺑِﺨَﻴْﺮٍ ﻣِﻦْ ﺃَﺣْﻤَﺮَ ﻭَﻻَ ﺃَﺳْﻮَﺩَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻥْ ﺗَﻔْﻀُﻠَﻪُ ﺑِﺘَﻘْﻮَﻯ

“Lihatlah, engkau tidaklah akan baik dari orang yang berkulit merah atau berkulit hitam sampai engkau mengungguli mereka dengan takwa.”[3]

Allah menciptakan kita berbeda-beda agar kita saling mengenal satu sama lainnya. Yang membedakan di sisi Allah hanyalah ketakwaannya. Perhatikan ayat berikut:

ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺇِﻧَّﺎ ﺧَﻠَﻘْﻨَﺎﻛُﻢْ ﻣِﻦْ ﺫَﻛَﺮٍ ﻭَﺃُﻧْﺜَﻰ ﻭَﺟَﻌَﻠْﻨَﺎﻛُﻢْ ﺷُﻌُﻮﺑًﺎ ﻭَﻗَﺒَﺎﺋِﻞَ ﻟِﺘَﻌَﺎﺭَﻓُﻮﺍ ﺇِﻥَّ ﺃَﻛْﺮَﻣَﻜُﻢْ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺃَﺗْﻘَﺎﻛُﻢْ

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. (Al-Hujurat: 13)

Jadi kita diciptakan berbeda-beda suku, ras dan bangsa agar kita saling mengenal. Allah menegaskan setelah ayat ini bahwa yang paling mulia adalah yang paling taqwa. Ath-Thabari menafsirkan,

 ﺇﻥ ﺃﻛﺮﻣﻜﻢ ﺃﻳﻬﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻨﺪ ﺭﺑﻜﻢ ، ﺃﺷﺪﻛﻢ ﺍﺗﻘﺎﺀ ﻟﻪ ﺑﺄﺩﺍﺀ ﻓﺮﺍﺋﻀﻪ ﻭﺍﺟﺘﻨﺎﺏ ﻣﻌﺎﺻﻴﻪ ، ﻻ ﺃﻋﻈﻤﻜﻢ ﺑﻴﺘﺎ ﻭﻻ ﺃﻛﺜﺮﻛﻢ ﻋﺸﻴﺮﺓ

“Yang paling mulia di sisi Rabb kalian adalah yang paling bertakwa dalam melaksanakan perintah dan menjauhi maksiat. Hukan yang paling besar rumah atau yang paling banyak keluarganya.”[4]

Bahkan Islam melarang keras bentuk ta’assub yaitu membela serta membabi buta hanya berdasarkan suku, rasa atau bangsa tertentu, tidak peduli apakah salah atau benar, dzalim atau terdzalimi.

Perkatikan hadits berikut, Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu ‘anhu,ia berkata:

ﻛُﻨَّﺎ ﻣَﻊَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰِّ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﻓِﻰ ﻏَﺰَﺍﺓٍ ﻓَﻜَﺴَﻊَ ﺭَﺟُﻞٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﻬَﺎﺟِﺮِﻳﻦَ ﺭَﺟُﻼً ﻣِﻦَ ﺍﻷَﻧْﺼَﺎﺭِ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺍﻷَﻧْﺼَﺎﺭِﻯُّ ﻳَﺎ ﻟَﻸَﻧْﺼَﺎﺭِ ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﻤُﻬَﺎﺟِﺮِﻯُّ ﻳَﺎ ﻟَﻠْﻤُﻬَﺎﺟِﺮِﻳﻦَ . ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ‏« ﻣَﺎ ﺑَﺎﻝُ ﺩَﻋْﻮَﻯ ﺍﻟْﺠَﺎﻫِﻠِﻴَّﺔِ ‏» . ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻛَﺴَﻊَ ﺭَﺟُﻞٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﻬَﺎﺟِﺮِﻳﻦَ ﺭَﺟُﻼً ﻣِﻦَ ﺍﻷَﻧْﺼَﺎﺭِ . ﻓَﻘَﺎﻝَ ‏« ﺩَﻋُﻮﻫَﺎ ﻓَﺈِﻧَّﻬَﺎ ﻣُﻨْﺘِﻨَﺔٌ ‏»

”Dahulu kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di Gaza, Lalu ada seorang laki-laki dari kaum Muhajirin yang memukul pantat seorang lelaki dari kaum Anshar. Maka orang Anshar tadi pun berteriak: ‘Wahai orang Anshar (tolong aku).’ Orang Muhajirin tersebut pun berteriak: ‘Wahai orang muhajirin (tolong aku).’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Seruan Jahiliyyah macam apa ini?!.’ Mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah, seorang muhajirin telah memukul pantat seorang dari kaum Anshar.’ Beliau bersabda: ‘Tinggalkan hal itu, karena hal itu adalah buruk.’ ” (HR. Al Bukhari dan yang lainnya)

Bagaimana Menyikapi Isu Rasisme?

Alhamdulillah, kita diberi anugrah Islam, walaupun berbeda-beda suku, ras dan bangsa kita semua bersaudara dan disatukan dalam agama Islam. Allah berfirman,

ﻭَﺍﺫْﻛُﺮُﻭﺍ ﻧِﻌْﻤَﺔَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺇِﺫْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺃَﻋْﺪَﺍﺀً ﻓَﺄَﻟَّﻒَ ﺑَﻴْﻦَ ﻗُﻠُﻮﺑِﻜُﻢْ ﻓَﺄَﺻْﺒَﺤْﺘُﻢْ ﺑِﻨِﻌْﻤَﺘِﻪِ ﺇِﺧْﻮَﺍﻧًﺎ

“Ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara.” (Ali Imran: 103)

@Masjid Kampus UGM, Yogyakarta Tercinta

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen
Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

[1] Dari Abu Hurairah, beliau berkata,

ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠّﻢَ ﻟِﺒِﻼَﻝٍ ﻋِﻨْﺪَ ﺻَﻼَﺓِ ﺍﻟْﻐَﺪَﺍﺓِ ﻳَﺎ ﺑِﻼَﻝُ ﺣَﺪِّﺛْﻨِﻲ ﺑِﺄَﺭْﺟَﻰ ﻋَﻤَﻞٍ ﻋَﻤِﻠْﺘَﻪُ ﻋِﻨْﺪَﻙَ ﻓِﻲ ﺍْﻹِﺳْﻼَﻡِ ﻣَﻨْﻔَﻌَﺔً ﻓَﺈِﻧِّﻲ ﺳَﻤِﻌْﺖُ ﺍﻟﻠَّﻴْﻠَﺔَ ﺧَﺸْﻒَ ﻧَﻌْﻠَﻴْﻚَ ﺑَﻴْﻦَ ﻳَﺪَﻱَّ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﻗَﺎﻝَ ﺑِﻼَﻝٌ ﻣَﺎ ﻋَﻤِﻠْﺖُ ﻋَﻤَﻼً ﻓِﻲ ﺍْﻹِﺳْﻼَﻡِ ﺃَﺭْﺟَﻰ ﻋِﻨْﺪِﻱْ ﻣَﻨْﻔَﻌَﺔً ﻣِﻦْ ﺃَﻧِّﻲ ﻻَ ﺃَﺗَﻄَﻬَّﺮُ ﻃُﻬُﻮْﺭًﺍ ﺗَﺎﻣًّﺎ ﻓِﻲ ﺳَﺎﻋَﺔٍ ﻣِﻦْ ﻟَﻴْﻞٍ ﻭَﻻَ ﻧَﻬَﺎﺭٍ ﺇِﻻَّ ﺻَﻠَّﻴْﺖُ ﺑِﺬَﻟِﻚَ ﺍﻟﻄُّﻬُﻮْﺭِ ﻣَﺎ ﻛَﺘَﺐَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻟِﻲْ ﺃَﻥْ ﺃُﺻَﻠِّﻲَ ‏

“Rasulullah bersabda kepada Bilal setelah menunaikan shalat subuh, ‘Wahai Bilal, beritahukanlah kepadaku tentang perbuatan-perbuatanmu yang paling engkau harapkan manfaatnya dalam Islam! Karena sesungguhnya tadi malam aku mendengar suara terompahmu di depanku di surga.’ Bilal radhiyallahu ‘anhu menjawab, ‘Tidak ada satu perbuatan pun yang pernah aku lakukan, yang lebih kuharapkan manfaatnya dalam Islam dibandingkan dengan (harapanku terhadap) perbuatanku yang senantiasa melakukan shalat (sunat) yang mampu aku lakukan setiap selesai bersuci (wudhu) dengan sempurna di waktu siang ataupun malam.’ (HR. Muslim).

[2] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﻧﻌﻢ ﺍﻟﻤﺮﺀ ﺑﻼﻝ، ﻫﻮ ﺳﻴﺪ ﺍﻟﻤﺆﺫﻧﻴﻦ، ﻭﻻ ﻳﺘﺒﻌﻪ ﺇﻻ ﻣﺆﺫﻥ، ﻭﺍﻟﻤﺆﺫﻧﻮﻥ ﺃﻃﻮﻝ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺃﻋﻨﺎﻗًﺎ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ

“Iya, orang itu adalah Bilal, pemuka para muadzin dan tidaklah mengikutinya kecuali para muadzin. Para muadzin adalah orang-orang yang panjang lehernya di hari kiamat.” (HR. Thabrani)

[3] HR. Ahmad, 5: 158. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih dilihat dari sanad lain

[4] Lihat Tafsir Ath-Thabari