Sabar Diawal Musibah

Sabar Diawal Musibah 

Coba melatih untuk bersabar di awal musibah, ketika mendapatkan musibah pertama

Perlu diketahui, bahwa sabar yang menjadikan seseorang mendapatkan ganjaran pahala adalah sabar ketika di awal musibah dan inilah yang dinamakan sabar sebenarnya. Adapun sabar sesudahnya adalah cuma sekedar hiburan. Adapun jika seseorang menghadapi musibah, langsung dengan amarah dan tidak ridho pada takdir Allah, namun setelah itu dia menahan diri dan bersabar karena mungkin mendapatkan nasehat atau yang lainnya, maka ini bukanlah sabar yang sebenarnya. Kita dapat melihat hal ini dalam kisah seorang wanita bersama Nabi kita shallallahu alaihi wa sallam.

Dari Anas bin Malik, beliau berkata,

مَرَّ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِامْرَأَةٍ تَبْكِى عِنْدَ قَبْرٍ فَقَالَ « اتَّقِى اللَّهَ وَاصْبِرِى » . قَالَتْ إِلَيْكَ عَنِّى ، فَإِنَّكَ لَمْ تُصَبْ بِمُصِيبَتِى ، وَلَمْ تَعْرِفْهُ . فَقِيلَ لَهَا إِنَّهُ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – . فَأَتَتْ بَابَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمْ تَجِدْ عِنْدَهُ بَوَّابِينَ فَقَالَتْ لَمْ أَعْرِفْكَ . فَقَالَ « إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الأُولَى »

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati seorang wanita yang sedang menangis di sisi kuburan. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Bertakwalah pada Allah dan bersabarlah.” Kemudian wanita itu berkata,”Menjauhlah dariku. Sesungguhnya engkau belum pernah merasakan musibahku dan belum mengetahuinya.” Kemudian ada yang mengatakan pada wanita itu bahwa orang yang berkata tadi adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian wanita tersebut mendatangi pintu (rumah) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian dia tidak mendapati seorang yang menghalangi dia masuk pada rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian wanita ini berkata,”Aku belum mengenalmu.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya namanya sabar adalah ketika di awal musibah.” (HR. Bukhari, no. 1283)

Semoga Allah memberikan kita taufik dan hidayah untuk selalu ridho dengan takdir Allah yang kita rasa itu pahit. Semoga Allah juga selalu memberikan kita kemudahan untuk bersabar di awal-awal musibah, walaupun itu mungkin terasa berat. Jika seseorang memiliki keyakinan yang mantap pada Allah dan meyakini ada hikmah yang besar di balik setiap musibah, tentu dia akan memilih untuk bersabar.

Amin Yaa Mujibas Saailin. Alhamdulillahilladzi bi nimatihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ala nabiyyina Muhammad wa ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Sabar Diawal Musibah

Sabar Diawal Musibah 

Coba melatih untuk bersabar di awal musibah, ketika mendapatkan musibah pertama kali.

Perlu diketahui, bahwa sabar yang menjadikan seseorang mendapatkan ganjaran pahala adalah sabar ketika di awal musibah dan inilah yang dinamakan sabar sebenarnya. Adapun sabar sesudahnya adalah cuma sekedar hiburan. Adapun jika seseorang menghadapi musibah, langsung dengan amarah dan tidak ridho pada takdir Allah, namun setelah itu dia menahan diri dan bersabar karena mungkin mendapatkan nasehat atau yang lainnya, maka ini bukanlah sabar yang sebenarnya. Kita dapat melihat hal ini dalam kisah seorang wanita bersama Nabi kita shallallahu alaihi wa sallam.

Dari Anas bin Malik, beliau berkata,

مَرَّ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِامْرَأَةٍ تَبْكِى عِنْدَ قَبْرٍ فَقَالَ « اتَّقِى اللَّهَ وَاصْبِرِى » . قَالَتْ إِلَيْكَ عَنِّى ، فَإِنَّكَ لَمْ تُصَبْ بِمُصِيبَتِى ، وَلَمْ تَعْرِفْهُ . فَقِيلَ لَهَا إِنَّهُ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – . فَأَتَتْ بَابَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمْ تَجِدْ عِنْدَهُ بَوَّابِينَ فَقَالَتْ لَمْ أَعْرِفْكَ . فَقَالَ « إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الأُولَى »

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati seorang wanita yang sedang menangis di sisi kuburan. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Bertakwalah pada Allah dan bersabarlah.” Kemudian wanita itu berkata,”Menjauhlah dariku. Sesungguhnya engkau belum pernah merasakan musibahku dan belum mengetahuinya.” Kemudian ada yang mengatakan pada wanita itu bahwa orang yang berkata tadi adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian wanita tersebut mendatangi pintu (rumah) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian dia tidak mendapati seorang yang menghalangi dia masuk pada rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian wanita ini berkata,”Aku belum mengenalmu.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya namanya sabar adalah ketika di awal musibah.” (HR. Bukhari, no. 1283)

Semoga Allah memberikan kita taufik dan hidayah untuk selalu ridho dengan takdir Allah yang kita rasa itu pahit. Semoga Allah juga selalu memberikan kita kemudahan untuk bersabar di awal-awal musibah, walaupun itu mungkin terasa berat. Jika seseorang memiliki keyakinan yang mantap pada Allah dan meyakini ada hikmah yang besar di balik setiap musibah, tentu dia akan memilih untuk bersabar.

Amin Yaa Mujibas Saailin. Alhamdulillahilladzi bi nimatihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ala nabiyyina Muhammad wa ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Zuhud Secara Lahir Dan Batin

Zuhud Secara Lahir Dan Batin 

Di malam hari ini –berkat anugerah Allah- satu pelajaran kami peroleh dari Ibnu Taimiyah rahimahullah tentang maksud zuhud. Bagaimanakah bentuknya seseorang memiliki zuhud secara batin dan secara lahir. Semoga bahasan berikut ini bermanfaat.

Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan,

Zuhud yang disyari’atkan adalah meninggalan setiap hal yang tidak bermanfaat untuk kehidupannya di akhirat dan hati begitu yakin pada apa yang di sisi Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang dikeluarkan oleh Imam At Tirmidzi,

لَيْسَ الزُّهْدُ فِي الدُّنْيَا بِتَحْرِيمِ الْحَلَالِ وَلَا إضَاعَةِ الْمَالِ وَلَكِنَّ الزُّهْدَ أَنْ تَكُونَ بِمَا فِي يَدِ اللَّهِ أَوْثَقَ بِمَا فِي يَدِك وَأَنْ تَكُونَ فِي ثَوَابِ الْمُصِيبَةِ إذَا أَصَبْت أَرْغَبَ مِنْك فِيهَا لَوْ أَنَّهَا بَقِيَتْ لَك

Zuhud terhadap dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan bukan juga menyia-nyiakan harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah engkau begitu yakin terhadap apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu. Zuhud juga berarti ketika engkau tertimpa musibah, engkau lebih mengharap pahala dari musibah tersebut daripada kembalinya dunia itu lagi padamu.”[1]

Karena Allah Ta’ala berfirman,

لِكَيْ لَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ

Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (QS. Al Hadid: 23) [2]. Ini menunjukkan bahwa zuhud di sini merupakan ciri-ciri zuhud dalam hati (batin).

Adapun zuhud secara lahiriyah (zhohir) adalah dengan seseorang meninggalkan berlebih-lebihan dalam hal makanan, pakaian, harta dan lainnya yang tidak sebagai pengantar untuk taat pada Allah.

Sebagaimana Imam Ahmad pernah katakan,

إنَّمَا هُوَ طَعَامٌ دُونَ طَعَامٍ وَلِبَاسٍ دُونَ لِبَاسٍ وَصَبْرِ أَيَّامٍ قَلَائِلَ

“(Yang dimaksud zuhud secara lahir) adalah seseorang mengonsumsi makanan namun tidak secara berlebih-lebihan, mengenakan pakaian juga tidak secara berlebihan dan bersabar di hari-hari penuh kesulitan.”

***

Dari penjelasan Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah, kita dapat mengerti bahwa zuhud itu ada dua macam. Orang yang dikatakan zuhud bukanlah secara lahiriah saja, namun juga yang utama adalah secara batin. Bagaimanapun zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat di akhirat nanti. Juga beliay tambahkan maksud zuhud secara batin adalah menjadikan hati begitu yakin pada janji Allah, dalam hal rizki dan lainnya. Sedangkan secara lahiriah, zuhud ditunjukkan dengan seseorang bersikap sederhana (artinya, tidak berlebih-lebihan) dalam hal makanan, pakaian, dan kebutuhan lainnya, ditambah dengan bersabar. Jadi tidak selamanya zuhud adalah dengan hidup sederhana dalam harta, artinya tidak berlebih-lebihan, namun hendaknya ada perbuatan batin sebagaimana yang Ibnu Taimiyah rahimahullah sebutkan. Semoga Allah membalas amalan baik beliau ini yang telah menunjukkan kita pada hakekat zuhur yang sebenarnya.

Semoga pelajaran berharga ini semakin menjadikan akhlaq kita mulia di sisi Allah. Moga Allah anugerahkan kepada kita untuk bersikap zuhud. Aamiin Yaa Mujibbas Saailin.

***

[1] HR. Tirmidzi no. 2340 dan Ibnu Majah no. 4100. Abu Isa berkata: Hadits ini gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur sanad ini, adapun Abu Idris Al Khaulani namanya adalah A’idzullah bin ‘Abdullah, sedangkan ‘Amru bin Waqid dia adalah seorang yang munkar haditsnya. Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Yang tepat riwayat ini mauquf (hanya perkataan Abu Dzar) sebagaimana dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Az Zuhd.” (Lihat Jaami’ul Ulum wal Hikam, hal. 346)

[2] QS. Al Hadid: 23


Jebakan Berupa Limpahan Rezeki

Jebakan Berupa Limpahan Rezeki

Apa itu istidraj?

Bisa jadi ada yang mendapatkan limpahan rezeki namun ia adalah orang yang gemar maksiat. Ia tempuh jalan kesyirikan –lewat ritual pesugihan- misalnya, dan benar ia cepat kaya. Ketahuilah bahwa mendapatkan limpahan kekayaan seperti itu bukanlah suatu tanda kemuliaan, namun itu adalah istidrajIstidraj artinya suatu jebakan berupa kelapangan rezeki padahal yang diberi dalam keadaan terus menerus bermaksiat pada Allah.

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا رَأَيْتَ اللهَ تَعَالَى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيْهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنهُ اسْتِدْرَاجٌ

Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.” (HR. Ahmad 4: 145. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lain).

Allah Ta’ala berfirman,

فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ

Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al An’am: 44)

Dalam Tafsir Al Jalalain (hal. 141) disebutkan, “Ketika mereka meninggalkan peringatan yang diberikan pada mereka, tidak mau mengindahkan peringatan tersebut, Allah buka pada mereka segala pintu nikmat sebagai bentuk istidraj pada mereka. Sampai mereka berbangga akan hal itu dengan sombongnya. Kemudian kami siksa mereka dengan tiba-tiba. Lantas mereka pun terdiam dari segala kebaikan.”

Syaikh As Sa’di menyatakan, “Ketika mereka melupakan peringatan Allah yang diberikan pada mereka, maka dibukakanlah berbagi pintu dunia dan kelezatannya, mereka pun lalai. Sampai mereka bergembira dengan apa yang diberikan pada mereka, akhirnya Allah menyiksa mereka dengan tiba-tiba. Mereka pun berputus asa dari berbagai kebaikan. Seperti itu lebih berat siksanya. Mereka terbuai, lalai, dan tenang dengan keadaan dunia mereka. Namun itu sebenarnya lebih berat hukumannya dan jadi musibah yang besar.” (Tafsir As Sa’di, hal. 260).

Kisah Pemilik Kebun yang Diberi Nikmat yang Sebenarnya Istidraj

Disebutkan dalam surat Al Qalam kisah pemilik kebun berikut ini,

إِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ إِذْ أَقْسَمُوا لَيَصْرِمُنَّهَا مُصْبِحِينَ (17) وَلَا يَسْتَثْنُونَ (18) فَطَافَ عَلَيْهَا طَائِفٌ مِنْ رَبِّكَ وَهُمْ نَائِمُونَ (19) فَأَصْبَحَتْ كَالصَّرِيمِ (20) فَتَنَادَوْا مُصْبِحِينَ (21) أَنِ اغْدُوا عَلَى حَرْثِكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَارِمِينَ (22) فَانْطَلَقُوا وَهُمْ يَتَخَافَتُونَ (23) أَنْ لَا يَدْخُلَنَّهَا الْيَوْمَ عَلَيْكُمْ مِسْكِينٌ (24) وَغَدَوْا عَلَى حَرْدٍ قَادِرِينَ (25) فَلَمَّا رَأَوْهَا قَالُوا إِنَّا لَضَالُّونَ (26) بَلْ نَحْنُ مَحْرُومُونَ (27) قَالَ أَوْسَطُهُمْ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ لَوْلَا تُسَبِّحُونَ (28) قَالُوا سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنَّا كُنَّا ظَالِمِينَ (29) فَأَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ يَتَلَاوَمُونَ (30) قَالُوا يَا وَيْلَنَا إِنَّا كُنَّا طَاغِينَ (31) عَسَى رَبُّنَا أَنْ يُبْدِلَنَا خَيْرًا مِنْهَا إِنَّا إِلَى رَبِّنَا رَاغِبُونَ (32) كَذَلِكَ الْعَذَابُ وَلَعَذَابُ الْآَخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (33)

  1. Sesungguhnya Kami telah mencobai mereka (musyrikin Mekah) sebagaimana Kami telah mencobai pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)-nya di pagi hari,
  2. dan mereka tidak menyisihkan (hak fakir miskin),
  3. lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Rabbmu ketika mereka sedang tidur,
  4. maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita.
  5. lalu mereka panggil memanggil di pagi hari:
  6. “Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya.”
  7. Maka pergilah mereka saling berbisik-bisik.
  8. “Pada hari ini janganlah ada seorang miskin pun masuk ke dalam kebunmu.”
  9. Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka (menolongnya).
  10. Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata: “Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang yang sesat (jalan),
  11. bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya)
  12. Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka: “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu)
  13. Mereka mengucapkan: “Maha Suci Rabb kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim.”
  14. Lalu sebahagian mereka menghadapi sebahagian yang lain seraya cela mencela.
  15. Mereka berkata: “Aduhai celakalah kita; sesungguhnya kita ini adalah orang-orang yang melampaui batas.”
  16. Mudah-mudahan Rabb kita memberikan ganti kepada kita dengan (kebun) yang lebih baik daripada itu; sesungguhnya kita mengharapkan ampunan dari Rabb kita.
  17. Seperti itulah azab (dunia). Dan sesungguhnya azab akhirat lebih besar jika mereka mengetahui. (QS. Al Qalam: 17-33).

Syaikh As Sa’di rahimahullah menerangkan, “Kisah di atas menunjukkan bagaimanakah akhir keadaan orang-orang yang mendustakan kebaikan. Mereka telah diberi harta, anak, umur yang panjang serta berbagai nikmat yang mereka inginkan. Semua itu diberikan bukan karena mereka memang mulia. Namun diberikan sebagai bentuk istidraj tanpa mereka sadari.“ (Tafsir As Sa’di, hal. 928)

Moga segala nikmat yang Allah beri pada kita bukanlah istidraj. Marilah kita berusaha menjauhi maksiat dengan jujur.

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Referensi:

Tafsir Al Jalalain, Jalaluddin Al Mahalli dan Jalaluddin As Suyuthi, ta’liq: Syaikh Shafiyyurahman Al Mubarakfuri, terbitan Darus Salam, cetakan kedua, tahun 1422 H.

Tafsir As Sa’di (Taisir Al Karimir Rahman), Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan kedua, tahun 1433 H.

Bahaya Sikap Menunda-nunda

Bahaya Sikap Menunda-nunda

Iya nanti sajalah”, demikian yang dikatakan dalam rangka menunda-nunda pekerjaaan atau amalan padahal masih bisa dilakukan saat itu. Kebiasaan kita adalah demikian, karena rasa malas, menunda-nunda untuk belajar, menunda-nunda untuk muroja’ah (mengulang) hafalan qur’an, atau melakukan hal yang manfaat lainnya, padahal itu semua masih amat mungkin dilakukan.

Perlu diketahui saudaraku, perkataan “sawfa … sawfa”, “nanti sajalah” dalam rangka menunda-nunda kebaikan, ini adalah bagian dari “tentara-tentara iblis”. Demikian kata sebagian ulama salaf.

Menunda-nunda kebaikan dan sekedar berangan-angan tanpa realisasi, kata Ibnul Qayyim bahwa itu adalah dasar dari kekayaan orang-orang yang bangkrut.

إن المنى رأس أموال المفاليس

“Sekedar berangan-angan (tanpa realisasi) itu adalah dasar dari harta orang-orang yang bangkrut.”[1]

Dalam sya’ir Arab juga disebutkan,

وَ لاَ تَرْجِ عَمَلَ اليَوْمِ إِلَى الغَدِ          لَعَلَّ غَدًا يَأْتِي وَ أَنْتَ فَقِيْدُ

Janganlah engkau menunda-nunda amalan hari ini hingga besok

Seandainya besok itu tiba, mungkin saja engkau akan kehilangan

Dari Abu Ishaq, ada yang berkata kepada seseorang dari ‘Abdul Qois, “Nasehatilah kami.” Ia berkata, “Hati-hatilah dengan sikap menunda-nunda (nanti dan nanti).”

Al Hasan Al Bashri berkata, “Hati-hati dengan sikap menunda-nunda. Engkau sekarang berada di hari ini dan bukan berada di hari besok. Jika besok tiba, engkau berada di hari tersebut dan sekarang engkau masih berada di hari ini. Jika besok tidak menghampirimu, maka janganlah engkau sesali atas apa yang luput darimu di hari ini.”[2]

Itulah yang dilakukan oleh kita selaku penuntut ilmu. Besok sajalah baru hafal matan kitab tersebut. Besok sajalah baru mengulang hafalan qur’an. Besok sajalah baru menulis bahasan fiqih tersebut. Besok sajalah baru melaksanakan shalat sunnah itu, masih ada waktu. Yang dikatakan adalah besok dan besok, nanti dan nanti sajalah.

Jika memang ada kesibukan lain dan itu juga kebaikan, maka sungguh hari-harinya sibuk dengan kebaikan. Tidak masalah jika ia menset waktu dan membuat urutan manakah yang prioritas yang ia lakukan karena ia bisa menilai manakah yang lebih urgent. Namun bagaimanakah jika masih banyak waktu, benar-benar ada waktu senggang dan luang untuk menghadiri majelis ilmu, muroja’ah, menulis hal manfaat, melaksanakan ibadah lantas ia menundanya. Ini jelas adalah sikap menunda-nunda waktu yang kata Ibnul Qayyim termasuk harta dari orang-orang yang bangkrut. Yang ia raih adalah kerugian dan kerugian.

Lihatlah bagaimana kesibukan ulama silam akan waktu mereka. Sempat-sempatnya mereka masih sibukkan dengan dzikir dan mengingat Allah.

Dari Abdullah bin Abdil Malik, beliau berkata, “Kami suatu saat berjalan bersama ayah kami di atas tandunya. Lalu dia berkata pada kami, ‘Bertasbihlah sampai di pohon itu.’ Lalu kami pun bertasbih sampai di pohon yang dia tunjuk. Kemudian nampak lagi pohon lain, lalu dia berkata pada kami, ‘Bertakbirlah sampai di pohon itu.’  Lalu kami pun bertakbir. Inilah yang biasa diajarkan oleh ayah kami.”[3] Subhanallah … Lisan selalu terjaga dengan hal manfaat dari waktu ke waktu.

Ingatlah nasehat Imam Asy Syafi’i –di mana beliau mendapat nasehat ini dari seorang sufi-[4], “Aku pernah bersama dengan orang-orang sufi. Aku tidaklah mendapatkan pelajaran darinya selain dua hal. (Di antaranya), dia mengatakan bahwa waktu bagaikan pedang. Jika kamu tidak memotongnya (memanfaatkannya), maka dia akan memotongmu.”[5]

Hasan Al Bashri mengatakan, “Wahai manusia, sesungguhnya kalian hanyalah kumpulan hari. Tatkala satu hari itu hilang, maka akan hilang pula sebagian dirimu.”[6]

Semoga Allah memudahkan kita untuk memanfaatkan waktu kita dengan hal yang bermanfaat dan menjauhkan kita dari sikap menunda-nunda.

Wabillahit taufiq. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Riyadh-KSA, 26 Rabi’uts Tsani 1432 H (31/03/2011)

www.rumaysho.com

[1] Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim, 1/456, Darul Kutub Al ‘Arobi. Lihat pula Ar Ruuh, Ibnul Qayyim, 247, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah; Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, 2/325, Muassasah Ar Risalah; ‘Iddatush Shobirin, Ibnul Qayyim, 46, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.

[2] Dinukil dari Ma’alim fii Thoriq Tholabil ‘Ilmi, Dr. ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin ‘Abdillah As Sadhaan, 30, Darul Qobis

[3] Az Zuhud li Ahmad bin Hambal, 3/321, Asy Syamilah

[4] Ini menunjukkan bahwa tidak masalah mendapat nasehat dari orang yang berpahaman menyimpang (semacam sufi) selama si penyimak tahu bahwa hal itu benar.

[5] Al Jawabul Kafi, 109, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah

[6] Hilyatul Awliya’, 2/148, Darul Kutub Al ‘Arobi

Alloh Tidak Akan Pernah Ridho Dengan Kesyirikan

Alloh Tidak Akan Pernah Ridho Dengan Kesyirikan 

Kita ketahui bahwa tujuan utama penciptaan kita di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah Ta’ala semata. Dan sangat penting untuk diketahui bahwa ibadah yang kita lakukan akan menjadi sia-sia apabila tercampur dengan kemusyrikan. Apabila suatu ibadah bercampur dengan kemusyrikan, maka ibadah kita tidak akan diterima. Oleh karena itu, barangsiapa yang beribadah kepada selain Allah Ta’ala –di samping juga beribadah kepada Allah Ta’alamaka ibadahnya kepada Allah Ta’ala adalah ibadah yang batil. Karena suatu ibadah tidaklah bermanfaat bagi pelakunya kecuali jika disertai dengan keikhlasan dan tauhid.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, ‘Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.’” (QS. Az-Zumar [39]: 65)

Di dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am [6]: 88)

Untuk lebih mendekatkan pemahaman kita tentang hal ini, Syaikh Muhammad At-Tamimy rahimahullah membuat suatu ilustrasi tentang kedudukan tauhid dan ikhlas dalam beribadah. Beliau rahimahullah mengatakan, ”Ketahuilah, sesungguhnya ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah kecuali dengan tauhid (yaitu memurnikan ibadah kepada Allah semata, pen.). Sebagaimana shalat tidaklah disebut sebagai shalat kecuali dalam keadaan bersuci (thaharah). Apabila ibadah tersebut dimasuki syirik, maka ibadah itu batal. Sebagaimana hadats yang masuk dalam thaharah.” (Syarh Al-Qowa’idul Arba’, hal. 14).

Dari ilustrasi yang beliau sampaikan tersebut, jelaslah bahwa ibadah kita tidak akan diterima kecuali dengan tauhid. Hal itu sebagaimana ibadah shalat dengan bersuci (thaharah). Tauhid adalah syarat diterimanya ibadah, sebagaimana bersuci adalah syarat sah ibadah shalat. Sebagaimana shalat tidak sah jika tidak dalam kondisi suci, demikian pula ibadah kita tidak akan sah jika tidak disertai dengan tauhid, meskipun di dahinya terdapat tanda bekas sujud, berpuasa di siang hari, atau rajin shalat malam. Karena semua ibadah tersebut syaratnya adalah ikhlas dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Apabila terdapat satu saja dari ibadah tersebut yang dicampuri dengan kemusyrikan, maka seluruh ibadah yang pernah dia lakukan akan batal dan hilanglah pahalanya.

Oleh karena itu, di dalam banyak ayat Allah Ta’ala mengumpulkan antara perintah untuk beribadah kepada Allah Ta’ala dengan perintah untuk menjauhi perbuatan syirik. Allah Ta’ala berfirman,

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.” (QS. An-Nisa’ [4]: 36)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5)

Ketika Allah Ta’ala melarang kita untuk berbuat syirik, maka hal itu menunjukkan bahwa Allah Ta’ala tidak ridha disekutukan dengan apa pun dalam ibadah kepada-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,’Aku tidaklah butuh adanya tandingan-tandingan. Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal dalam keadaan menyekutukan Aku dengan selain Aku, maka Aku akan meninggalkan dia dan perbuatan syiriknya itu.’” (HR. Muslim no. 7666)

Oleh karena itu, apabila ada sekelompok masyarakat yang rajin shalat, rajin puasa, bersyahadat laa ilaaha illallah Muhammad rasulullah, dan berhaji ke baitullah, namun di sisi lain mereka juga berdoa meminta kepada penghuni kubur, meminta kepada “Wali Songo” yang sudah meninggal, maka semua ibadahnya itu sia-sia semata. Hal ini karena mereka menyekutukan Allah Ta’ala, mereka mengotori ibadah mereka dengan perbuatan syirik. Semua amalnya adalah amal yang batil, sampai dia bertaubat, mentauhidkan Allah Ta’ala dalam ibadah, dan mengikhlaskan ibadahnya hanya kepada Allah Ta’ala semata.

Allah Ta’ala tidak akan pernah ridha dengan kemusyrikan, meskipun yang dijadikan sebagai sekutu itu adalah malaikat yang paling mulia –yaitu Jibril ‘alaihis salaam- atau salah seorang Nabi yang diutus, seperti Muhammad, ‘Isa, Nuh, Ibrahim, dan selainnya. Lalu, bagaimana lagi jika yang dijadikan sebagai sekutu itu adalah selain malaikat dan para nabi, seperti wali dan orang shalih yang kedudukannya tentu sangat jauh di bawah mereka? Tentu Allah Ta’ala lebih tidak ridha lagi dengan hal itu. Maka hal ini adalah bantahan atas anggapan sebagian orang yang menganggap bahwa syirik itu baru disebut sebagai syirik jika yang disembah adalah batu, pohon, patung, dan sejenisnya. Adapun jika yang disembah adalah malaikat, nabi, atau orang shalih, maka hal itu bukan syirik.

Anggapan semacam ini adalah anggapan yang tidak benar. Dan di antara dalil yang menunjukkan atas batilnya anggapan tersebut adalah firman Allah Ta’ala,

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا

Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” (QS. Al-jin [72]: 18)

Kata “ahadan” dalam ayat di atas adalah isim nakiroh (kata benda indefinitif) yang berada dalam konteks nahi (larangan), yaitu kalimat “Janganlah kamu menyembah”. Menurut kaidah ilmu ushul fiqh, hal ini mengandung makna yang bersifat umum, mencakup seluruh jenis sekutu, tidak ada pengecualian di dalamnya sedikit pun. Maksudnya, Allah Ta’ala melarang untuk menujukan ibadah kepada selain Allah Ta’ala, siapa pun dia. Baik malaikat yang paling dekat dan paling mulia di sisi Allah Ta’ala, seorang nabi, berhala, kubur, wali, orang shalih, baik orang tersebut masih hidup maupun sudah meninggal dunia. Oleh karena itu, perbuatan syirik tetaplah disebut syirik meskipun yang disembah adalah seorang malaikat, nabi, atau wali dan orang shalih. Semoga Allah Ta’ala melindungi dan menjauhkan kita dari perbuatan syirik.

***

Dalam Perintah Alloh Pasti Ada Hikmah

Dalam Perintah Alloh Pasti Ada Hikmah 

Ibnu Taimiyah telah memberikan pelajaran yang amat berharga. Beliau menyatakan bahwa setiap ibadah pasti ada hikmahnya, entah itu kita tahu atau pun tidak. Berikut penjelasan beliau rahimahullah:

Setiap yang Allah perintahkan pasti ada hikmahnya, begitu pula yang Allah larang. Demikianlah yang diyakini oleh madzhab para fuqoha kaum muslimin, para imam dan kaum muslimin di berbagai penjuru negeri. Artinya di sini, tidak mungkin ada satu ibadah yang tidak ada hikmah di balik ibadah tersebut.

Semacam ibadah melempar jumrah, sa’i antara Shofa dan Marwah, perbuatan ini sendiri punya maksud untuk berdzikir pada Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَمْىُ الْجِمَارِ لإِقَامَةِ ذِكْرِ اللَّهِ

Sesungguhnya sa’i antara Shofa dan Marwah dan melempar jumrah, tujuannya adalah untuk berdzikir pada Allah.”[1] Maka tidak tepat kita katakan tidak ada hikmah di balik ibadah mulia semacam itu.

Adapun melakukan hal yang diperintahkan dalam syari’at, lalu dikatakan tidak ada maslahat, tidak manfaat dan tidak ada hikmah kecuali sekedar melakukan ketaatan, artinya orang beriman cuma melakukannya saja, maka aku tidak tahu ada ibadah semacam ini.

Sumber: Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, 4/144-146


[1] HR. Abu Daud no. 1888 dan Tirmidzi no. 902. Abu ‘Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.


Sungguh Kita Telah Banyak Menyia-nyiakan Waktu

Sungguh Kita Telah Banyak Menyia-nyiakan Waktu 

Inilah nasehat berharga dari para ulama kita. Sungguh di zaman ini, kita akan melihat banyak orang yang menyia-nyiakan waktu dan umurnya dengan sia-sia. Kebanyakan kita saat ini hanya mengisi waktu dengan maksiat, lalai dari ketaatan dan ibadah, dan gemar melakukan hal yang sia-sia yang membuat lalai dari mengingat Allah. Padahal kehidupan di dunia ini adalah kehidupan yang sangat singkat, tetapi kebanyakan kita lalai memanfaatkan waktu yang telah Allah berikan. Pada posting kali ini, kami akan menyajikan perkataan-perkataan ulama terdahulu mengenai menjaga waktu dan insya Allah nasehat ini sangat menyentuh qolbu. Semoga dengan merenungkan nasehat para ulama berikut, kita dapat menjadi lebih baik dan tidak menjadi orang yang menyia-nyiakan waktu.

Ketahuilah bahwa Engkau Seperti Hari-harimu

Hasan Al Bashri mengatakan,

ابن آدم إنما أنت أيام كلما ذهب يوم ذهب بعضك

“Wahai manusia, sesungguhnya kalian hanya bagaikan hari. Tatkala satu hari hilang, akan hilang pula sebagian darimu.” (Hilyatul Awliya’, 2/148, Darul Kutub Al ‘Arobi)

Waktu Pasti akan Berlalu, Beramallah

Ja’far bin Sulaiman berkata bahwa dia mendengar Robi’ah menasehati Sufyan Ats Tsauri,

إنما أنت أيام معدودة، فإذا ذهب يوم ذهب بعضك، ويوشك إذا ذهب البعض أن يذهب الكل وأنت تعلم، فاعمل

“Sesungguhnya engkau bagaikan hari yang dapat dihitung. Jika satu hari berlalu, maka sebagian darimu juga akan pergi. Bahkan hampir-hampir sebagian harimu berlalu, namun engkau merasa seluruh yang ada padamu ikut pergi. Oleh karena itu, beramallah.” (Shifatush Shofwah, 1/405, Asy Syamilah)

Waktu Bagaikan Pedang

Imam Asy Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan,

صحبت الصوفية فلم أستفد منهم سوى حرفين أحدهما قولهم الوقت سيف فإن لم تقطعه قطعك

“Aku pernah bersama dengan seorang sufi. Aku tidaklah mendapatkan pelajaran darinya selain dua hal. Pertama, dia mengatakan bahwa waktu bagaikan pedang. Jika kamu tidak memotongnya (memanfaatkannya), maka dia akan memotongmu.”

Jika Tidak Tersibukkan dengan Kebaikan, Pasti akan Terjatuh pada Perkara yang Sia-sia

Lanjutan dari perkataan Imam Asy Syafi’i di atas,

“Kemudian orang sufi tersebut menyebutkan perkataan lain:

ونفسك إن أشغلتها بالحق وإلا اشتغلتك بالباطل

Jika dirimu tidak tersibukkan dengan hal-hal yang baik (haq), pasti akan tersibukkan dengan hal-hal yang sia-sia (batil).” (Al Jawabul Kafi, 109, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Waktu Berlalu Begitu Cepatnya

Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Waktu manusia adalah umurnya yang sebenarnya. Waktu tersebut adalah waktu yang dimanfaatkan untuk mendapatkan kehidupan yang abadi dan penuh kenikmatan dan terbebas dari kesempitan dan adzab yang pedih. Ketahuilah bahwa berlalunya waktu lebih cepat dari berjalannya awan (mendung). Barangsiapa yang waktunya hanya untuk ketaatan dan beribadah pada Allah, maka itulah waktu dan umurnya yang sebenarnya. Selain itu tidak dinilai sebagai kehidupannya, namun hanya teranggap seperti kehidupan binatang ternak.”

Kematian Lebih Layak Bagi Orang yang Menyia-nyiakan Waktu

Lalu Ibnul Qoyyim mengatakan perkataan selanjutnya yang sangat menyentuh qolbu, “Jika waktu hanya dihabiskan untuk hal-hal yang membuat lalai, untuk sekedar menghamburkan syahwat (hawa nafsu), berangan-angan yang batil, hanya dihabiskan dengan banyak tidur dan digunakan dalam kebatilan, maka sungguh kematian lebih layak bagi dirinya.” (Al Jawabul Kafi, 109)

Janganlah Sia-siakan Waktumu Selain untuk Mengingat Allah

Dari Abdullah bin Abdil Malik, beliau berkata, “Kami suatu saat berjalan bersama ayah kami di atas tandunya. Lalu dia berkata pada kami, ‘Bertasbihlah sampai di pohon itu.’ Lalu kami pun bertasbih sampai di pohon yang dia tunjuk. Kemudian nampak lagi pohon lain, lalu dia berkata pada kami, ‘Bertakbirlah sampai di pohon itu.’ Lalu kami pun bertakbir. Inilah yang biasa diajarkan oleh ayah kami.” (Az Zuhud li Ahmad bin Hambal, 3/321, Asy Syamilah)

Semoga kita memanfaatkan waktu kita dalam ketaatan, ibadah dan berdzikir pada Allah. 

***

DOA MEMINTA PERLINDUNGAN DARI KELAPARAN DAN KHIANAT

DOA MEMINTA PERLINDUNGAN DARI KELAPARAN DAN KHIANAT

للَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُوعِ، فَإِنَّهُ بِئْسَ الضَّجِيعُ  وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْخِيَانَةِ، فَإِنَّهَا بِئْسَتِ الْبِطَانَةُ

Ya Allâh! Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari lapar, karena kelaparan adalah seburuk-buruk teman yang menyertai. Dan aku berlindung kepada-Mu dari khianat. Karena ia adalah teman karib yang paling buruk. [HR. Abu Daud, An-Nasa’i, Ibnu Majah]

Doa ini memuat permintaan perlindungan dari lapar yang merupakan teman berbaring (selalu menyertai) yang paling buruk. Yaitu rasa lapar yang membuat seseorang tidak mampu menunaikan kewajibannya, dan mengharuskannya bergantung pada orang lain. Dan ini pun terkait erat dengan kefakiran yang sangat, sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam meminta perlindungan dari fitnah kefakiran. Yaitu kefakiran yang tak ada kebaikan di dalamnya, tidak pula rasa wara’, sehingga membuat orang jatuh dalam hal yang mencoreng agama dan muru’ah (kehormatannya). Dan berbagai dampak buruk akan menimpanya, bahkan bisa sampai menggadaikan agama.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam berdoa, meminta perlindungan dari lapar, karena dampaknya sangat buruk dan kentara terhadap kekuatan seseorang, baik kekuatan fisik maupun batin. Artinya bahwa kelaparan tersebut menghalangi seseorang untuk menunaikan berbagai amal ibadah. Sebab kelaparan melemahkan badan dan mengganggu pikiran; sehingga membangkitkan pikiran-pikiran busuk dan merusak. Amaliah ibadah menjadi rusak dan terbengkalai. Dan salah satu pemicunya adalah kosongnya lambung dari makanan. Badan dan pikirannya menjadi tidak stabil.

Hadits ini dijadikan sebagai dalil dari suatu pendapat yang mengatakan bahwa rasa lapar semata (murni karena lapar, tidak ada tendensi karena Allâh) tidak terkandung unsur pahala di dalamnya.


Sedangkan khianat adalah lawan dari amanah. Dan ini sifatnya umum, mencakup hak-hak Allâh seperti shalat, puasa, sedekah, zakat, dan lainnya ; juga mencakup hak-hak anak manusia di antara mereka. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allâh dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. [Al-Anfâl/ 8: 27]

Doa ini memuat permintaan perlindungan dari khianat, baik khianat terhadap hak Allâh Azza wa Jalla , maupun terkait sesama hak hamba. Karena ia adalah seburuk-buruk sifat dan perilaku batin seseorang, bahkan ia adalah salah satu pertanda kemunafikan.

***

Rasa Takut Berbuah Taat

Rasa Takut Berbuah Taat

Ketahuilah karena rasa takut seseorang pada Allah, maka ia pun terus mengenali-Nya, lalu hal itu membuahkan khosyah (rasa khawatir atau takut), dan khosyah akhirnya mengantarkan pada ketaatan.

Ibnu Taimiyah rahimahullah memberikan suatu faedah, “Rasa takut pada Allah membuat seseorang takut pada-Nya. Rasa takut ini membuat ia semakin mengenali Allah. Ilmu ini membuatnya semakin khosyah (khawatir akan siksa Allah). Lantas khosyah inilah yang mengantarkan pada ketaatan pada Allah. Jadi orang yang takut pada Allah pasti akan selalu menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Inilah yang dimaksudkan pertama kali. Yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah Ta’ala,

فَذَكِّرْ إِنْ نَفَعَتِ الذِّكْرَى (9) سَيَذَّكَّرُ مَنْ يَخْشَى (10) وَيَتَجَنَّبُهَا الْأَشْقَى (11) الَّذِي يَصْلَى النَّارَ الْكُبْرَى (12) ثُمَّ لَا يَمُوتُ فِيهَا وَلَا يَحْيَى (13) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى (14)

Oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat, orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran, dan orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya. (Yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka)” (QS. Al A’laa: 9-12).” (Majmu’ Al Fatawa, 7: 24)

***