Kisah Tamim ad-Dari Tentang Jasasah

Kisah Tamim ad-Dari Tentang Jasasah 
Dari Amir bin Syaraahil asy-Asya'bi, bahwasannya beliau pernah bertanya kepada Fatimah binti Qais saudaranya Dhahak bin Qais.
Fatimah binti Qais adalah seorang shahabiyah yang ikut hijrah pada masa-masa pertama. Rawi mengatakan: 'Ceritakan padaku sebuah hadits yang engkau dengar langsung dari Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam, yang tidak engkau sandarkan pada orang lain. Maka beliau mengatakan: "Kalau sekiranya itu yang kamu ingin, pasti akan ku lakukan". Tentu, ceritakan hadits tersebut, jawab saya.
Beliau lalu bercerita: "Dulu Saya pernah menikah dengan Ibnu Mughirah, dia adalah seorang pemuda pillihan di kalangan Quraisy pada saat itu, kemudian dia meninggal pada jihad pertama bersama Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa salam. 
      Ketika suami pertamaku sudah meninggal, kemudian datanglah Abdurahman bin Auf meminangku, beliau termasuk sahabatnya Nabi, setelah itu datanglah Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam meminangku untuk budaknya Usamah bin Zaid, dan saya pada waktu itu pernah mendengar sabda Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang mengatakan; "Barangsiapa yang mencintaiku maka cintailah Usamah". Tatkala beliau datang mengutarakan maksudnya, maka saya katakan padanya: "Keputusannya saya serahkan padamu. Nikahkan saya dengan siapa yang engkau inginkan".
Beliau menyuruhku untuk menyempurnakan masa iddah, sabdanya: "Tinggallah dirumah Ummu Syarik". Dan Ummu Syarik adalah seorang saudagar yang kaya raya, beliau dari kalangan Anshar, dan beliau sering berinfak di jalan Allah Shubhanahu wa ta’alla. Sehingga banyak orang yang sering mendatangi dia, dan pada saat itu ada dua orang yang sedang berada dirumahnya. Maka saya setujui perintah Rasulallah Shalallahu alihiawa sallam, saya akan lakukan, kata saya.
Namun beliau segera meralat perintahnya, lalu mengatakan: "Jangan, sesungguhnya Ummu Syarik banyak kedatangan tamu, dan saya tidak senang kalau sekiranya khimarmu jatuh, atau terbuka bajumu, sehingga ada orang yang melihat sebagian anggota tubuhmu yang tidak kamu senangi, akan tetapi pergilah ketempat pamannya, Abdullah bin Amr bin Ummi Maktum –beliau adalah seorang dari Bani Fahr dari Quraisy, dan dia masih satu keturunan dengan Ummu Syarik-". Maka saya pun ketempatnya.
Manakala sudah selesai masa iddahku, saya mendengar ada suara keras dari muadzin Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam yang memanggil; 'Sholat Jami'ah'. Maka saya segera keluar rumah menuju masjid, lalu sholat bersama Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan saya berada di antara barisan shaf kalangan wanita, yang berada di belakang kaum lelaki.
Tatkala Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah usai sholatnya, lalu beliau berdiri naik mimbar sambil tersenyum, lantas bersabda: "Hendaknya setiap orang duduk ditempatnya masing-masing, kemudian mengatakan: "Tahukah kalian kenapa kalian saya kumpulkan? Allah Shubhanahu wa ta’alla dan Rasul -Nya yang lebih tahu, jawab kami.
Beliau memberi alasannya: "Sesungguhnya, demi Allah. Tidaklah Aku kumpulkan kalian untuk memotivasi tidak pula untuk menakuti, akan tetapi aku kumpulkan kalian ditempat ini karena saudara kalian Tamim ad-Daari, dia adalah seorang Nashrani, yang datang kepadaku berbaiat dan menyatakan keislamannya. Dia menceritakan padaku sebuah kisah yang serasi sekali dengan apa yang pernah aku ceritakan pada kalian yaitu tentang Al-Masih dan Dajjal.
Dia menceritakan, bahwasanya dirinya pernah bersama rombongan, jumlahnya tiga puluh orang naik sebuah kapal, lalu kapal yang ditumpanginya terombang-ambing terbawa ombak yang dahsyat selama satu bulan. Kemudian mereka terdampar pada sebuah pulau tatkala matahari akan tenggelam, mereka duduk ditepi pantai dekat dengan kapal, lantas mereka memutuskan untuk masuk kepulau tersebut. Mereka bertemu dengan seekor binatang besar yang tubuhnya penuh dengan rambut, sampai-sampai mereka tidak bisa membedakan mana ekor dan kepalanya. Di karenakan begitu banyaknya bulu yang menutupinya.
Mereka berbicara pada binatang tersebut; 'Celaka! Apa kamu ini? Binatang tersebut menjawab: 'Saya adalah Jasaasah'. Apa Jasaasah itu?, tanya kami. Wahai manusia! Pergilah kalian ke orang yang ada didalam gua, dia akan memberitahu tentang apa yang kalian tanyakan, jawab binatang tersebut.
Nabi melanjutkan: "Tatkala ia memberi tahu nama orang tersebut, maka kamipun takut dan mengira, jangan-jangan dia adalah setan. Kemudian dengan segera kami pergi bersama-sama ketempat yang diisyaratkan tadi, sampai akhirnya kami memasuki sebuah gua, maka didalamnya kami menjumpai wujud insan yang sangat besar yang belum pernah kami lihat ada manusia sebesar itu sebelumnya, ia diikat dengan rantai yang sangat kuat, tangannya terikat dibelakang leher, demikian pula kedua lututnya dengan rantai besi. Kami memberanikan diri untuk bertanya: "Celaka! Siapakah kamu? Ia justru balik bertanya: "Saya akan buka identitas saya, akan tetapi kabarkan siapa kalian ini? Kami adalah kaum dari Arab, jawab kami.
Lalu kami ceritakan, kami naik sebuah kapal menyeberangi lautan nan luas, ditengah laut badai turun, sehingga kapal kami dilempar ombak kesana kemari selama satu bulan, kemudian akhirnya kami terdampar dipulaumu ini, lalu kami duduk di dekat kapal kami, dan memutuskan untuk masuk kepulau, disana kami bertemu dengan seekor binatang yang besar dan berbulu banyak, sehingga kami tidak tahu mana kepala dan ekornya, karena bulu yang begitu banyaknya, lantas kami tanya: "Celaka! Apa kamu ini? Ia menjawab: "Saya adalah Jasaasah". Siapa Jasaasah, tanya kami kembali. Lalu ia menjawab: "Mendekatlah kepada orang itu, yang ada di dalam gua. Sesungghnya ia akan memberitahu kalian". Lalu kami segera datang kemari, kami sangat kaget dengan binatang tersebut, sampai diantara kami mengira dia adalah setan.
Orang tersebut masih bertanya lagi: "Kabarkan padaku tentang kebun kurma Baisaan". Untuk apa kamu bertanya tentangnya, tanya kami heran. Saya bertanya pada kalian tentang pohon kurmanya, apakah ia telah berbuah, jawabnya. Kami jawab; 'Ya', kemudian ia berkata: "Ketahuilah, sesungguhnya kebun itu akan segera tidak berbuah".
Dia bertanya lagi: "Kabarkan padaku tentang danau Thabariyah". Kami menjawab: "Untuk apa kamu bertanya tentangnya". Ia justru bertanya: "Apakah masih ada airnya? Ya, sangat banyak airnya, jawab kami, lalu ia berkata: "Adapun airnya, sungguh nanti pasti akan segera habis".
Dia bertanya: "Kabarkan padaku tentang mata air Zughar". Kami bertanya: "Untuk apa kamu bertanya tentangnya? Ia bertanya lagi: "Apakah disumbernya masih ada air, apakah penduduk sekitar masih bercocok tanam dengan air dari sumber tersebut? Kami menjawab: "Ia, dan darinya banyak sekali air yang mengalir, dan pendudukpun mengairi tanaman dari sana".
Dia bertanya kembali: "Kabarkan padaku tentang seorang Nabi umi (yang tidak bisa baca tulis), apa yang sedang dilakukan? Kami menjawab: "Dia telah datang dari Makkah kemudian hijrah ke Yatsrib". Apakah orang-orang Arab telah memeranginya, tanyanya. Ya, jawab kami. Apa yang dilakukan olehnya atas mereka?
Lalu kami beri tahu tentang Nabi tersebut, tentang agama yang dibawanya serta para pengikutnya dari Arab yang mentaatinya. Dia bertanya; 'Apakah demikian adanya? Kami jawab: 'Ia'. Kemudian dia berkata: "Adapun mereka yang mengikuti serta mentaatinya maka itu merupakan kebaikan baginya. Sekarang saya akan beritahu kalian sejatiku, sesungguhnya saya adalah al-Masih. Sungguh saya takutkan atas kalian, sebentar lagi Allah Shubhanahu wa ta’alla mengizinkan saya untuk keluar. Jika saya keluar maka saya akan mengelilingi bumi, tidak akan saya tinggalkan sebuah kampungpun pasti saya akan singgahi, selama empat puluh hari, melainkan kota Makkah dan Thaibah. Kedua kota itu terlarang bagiku, karena setiap kali aku ingin memasukinya, sekali atau dua kali, ada seorang malaikat yang membawa pedang terhunus menghadangku, lalu mengusirku dari sana. Dan sesungguhnya setiap sudut dua kota tersebut dijaga oleh para malaikat.
Berkata Fatimah, yang menceritakan hadits ini: "Bersabda Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam, sambil menekan tongkatnya di mimbar: "Inilah Thaibah, sebanyak tiga kali, maksudnya adalah Madinah.
Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Ketahuliah, apakah saya telah ceritakan semuanya atas kalian? Para sahabat menjawab: "Ya", sesungguhnya menakjubkan bagiku cerita Tamim itu, bahwasannya ceritanya sepadan dengan cerita yang aku kisahkan pada kalian, tentang Madinah dan Makkah. Ketahuilah, bahwa Dajjal itu berada dilautan Syam atau dilautan Yaman, dan dia akan keluar dari arah timur, dia akan keluar dari arah timur, dia akan keluar dari arah timur". Beliau mengatakan itu sambil mengisyaratkan tangannya kearah timur.
Fatimah binti Qais mengatakan: "Sungguh saya hafal hadits ini dari Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam". 
Hadits ini Shahih, dikeluarkan oleh Imam Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan selain mereka. 
***

Mengatasi Problematika Remaja

Mengatasi Problematika Remaja

Setiap manusia pasti melalui jenjang-jenjang usia dalam rentang waktu kehidupannya. Mulai dari bayi neonatus (baru lahir), lalu memasuki masa batita, balita, kanak-kanak, remaja, dewasa, kemudian masa tua. Hal ini sebagaimana firman Allah Shubhanahu wa ta ‘alla :
“Kemudian Kami keluarkan kalian sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kalian sampai pada kedewasaan, di antara kalian ada yang diwafatkan, dan (ada pula) di antara kalian yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang dahulunya telah diketahuinya.” (al-Hajj: 5)
Saat seseorang beranjak dari masa kanak-kanak menuju dewasa, tepatnya pada masa remaja, banyak perubahan yang terjadi pada dirinya, baik fisik maupun psikis. Ini semua ditetapkan oleh Allah Shubhanahu wa ta ‘alla sebagai persiapan bagi dirinya untuk memasuki dunia dewasa. Di antaranya, mulai tumbuh kecenderungan jiwanya untuk tertarik terhadap lawan jenis.
Ironinya, masih banyak orang tua yang belum mengerti apa yang harus dilakukan ketika menghadapi hal ini. Apalagi, pergaulan yang bebas antara anak laki-laki dan perempuan makin dianggap sesuatu yang lumrah. Ikhtilath (campur baur lelaki dan perempuan), bahkan khalwat (berduaan dengan lawan jenis) tidak lagi menjadi sesuatu yang perlu dikhawatirkan menurut mereka. Toh cuma sekadar teman biasa, begitu pikir mereka.
Lebih-lebih lagi berbagai teori psikologi Barat turut melegalkan pergaulan semacam ini. Bahkan, hal ini dianggap sebagai bagian dari kehidupan sosial remaja. Akibatnya, orang tua merasa semakin ‘bisa mengerti dunia anak remajanya’ dengan cara membebaskan mereka ber-ikhtilath. Lebih jauh lagi, mereka menjadi sponsor dan fasilitator bagi anak mereka yang ingin berpacaran. Nas’alullah as-salamah (kita memohon keselamatan kepada Allah Shubhanahu wa ta ‘alla).
Padahal senyatanya, dari sanalah justru pangkal segala kerusakan. Makin berjalan waktu, pergaulan yang bebas antara anak laki-laki dan perempuan makin dianggap wajar. Pemisahan antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai gaya hidup kolot dan tempo doeloe.
Akan tetapi, akibatnya kian memiriskan hati. Remaja adalah masa mulai bergejolak naluri seksual. Namun, alih-alih mendapatkan sesuatu yang meredakan sehingga tersalurkan dengan benar, situasi dan kondisi di sekeliling justru mendorong pelampiasannya secara salah. Jika terjadi sesuatu yang tak diharapkan, tinggallah si remaja menjadi kambing hitam. Sementara itu, orang tua seringkali tak merasa bersalah sama sekali.
Alangkah baiknya jika kita mendengar dan tunduk kepada syariat Allah Shubhanahu wa ta ‘alla. Allah Shubhanahu wa ta ‘alla dan Rasul -Nya telah mengabarkan tentang haramnya ikhtilath dan khalwat. Bukankah sesuatu yang haram pasti berujung pada kejelekan, kerusakan, dan kebinasaan? Bukankah lebih baik mencegah kejelekan, kerusakan, dan kebinasaan dengan melaksanakan syariat -Nya daripada di belakang hari menuai penyesalan?
Untuk itu, alangkah baiknya jika kita simak bimbingan seorang alim yang telah puluhan tahun menghabiskan hidupnya sebagai seorang pendidik. Beliau memberikan arahan kepada kita—orang tua—tentang cara menghadapi problematika remaja yang tengah bergejolak naluri seksualnya.
Beliau, asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu radiyallahu ‘anhu, menuliskan hal ini di tengah lembaran-lembaran kitab kecil yang beliau susun, Kaifa Nurabbi Auladana. Beliau katakan, “Sesungguhnya solusi paling utama bagi problematika remaja ini adalah menikah, jika memang hal ini memungkinkan dan jalannya pun mudah, seperti tersedianya mahar. Hal ini sebagai pengamalan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَة فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَر وَأَحْصَنُ لِلْفَرْج، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ» [ رواه البخاري ومسلم ]

 “Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian mampu, hendaknya dia menikah, karena hal itu akan lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang siapa belum mampu, hendaknya dia berpuasa, karena puasa itu tameng baginya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Tameng di sini maksudnya meredakan syahwat (keinginan) untuk jima’.
Jangan sampai pernikahan terhalang oleh keinginan menyelesaikan pendidikan, jika memang si pemuda itu dari keluarga kaya dan memiliki orang tua yang dapat mencukupi kebutuhannya, atau dia sendiri memiliki kekayaan/pekerjaan.
Begitu pun orang tua. Seyogianya mereka tidak menunda pernikahan anaknya ketika telah mencapai usia baligh, apabila memang mereka ini kaya. Ini lebih baik daripada membiarkan anaknya membujang sehingga terseret untuk berbuat keji dan merusak nama baik atau kehormatan orang tuanya. Ujungnya, si anak berbuat dosa, baik pada dirinya maupun orang tuanya.
Di sisi lain, si anak hendaknya meminta dengan lemah lembut kepada orang tuanya agar diizinkan menikah, jika memang orang tuanya adalah ‘orang yang berada’. Dia pun hendaknya bersemangat mencari ridha orang tuanya dan senantiasa bersikap baik kepada mereka. Sebaliknya, sang ayah hendaknya membantu sejauh kemampuannya agar hal ini terwujud.
Hendaknya setiap orang menyadari bahwa Allah Shubhanahu wa ta ‘alla tidaklah mengharamkan sesuatu melainkan pasti menghalalkan hal lain yang dapat menggantikannya. Contohnya, Allah Shubhanahu wa ta ‘alla mengharamkan riba dan menghalalkan jual beli, Allah Shubhanahu wa ta ‘alla mengharamkan zina dan menghalalkan pernikahan. Menikah adalah solusi terbaik bagi problematika para pemuda.
Namun, jika belum ada kemudahan untuk menikah, mungkin karena fakir sehingga tak memiliki sesuatu untuk mahar atau nafkah, solusi yang terbaik adalah:
Melaksanakan Puasa Sesuai Ajaran Syariat
Hal ini sebagai pengamalan hadits di atas:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ » [ رواه البخاري ومسلم ]

 “Barang siapa belum mampu, hendaknya ia berpuasa karena puasa itu tameng baginya.”
Maksudnya, puasa itu akan menjaga si pemuda karena akan meredakan syahwatnya.
Puasa tidak hanya menahan diri dari makan dan minum, namun mencakup pula menahan diri dari melihat segala yang haram, bercampur dengan wanita, menyaksikan film-film porno, bacaan-bacaan cabul, dan berinteraksi dengan lawan jenis.
Hendaknya seorang pemuda juga bisa menjaga pandangannya untuk tidak melihat wanita. Allah Shubhanahu wa ta ‘alla menjadikan kesehatan dengan sebab menjaga diri. Allah Shubhanahu wa ta ‘alla menjadikan sakit dan berbagai musibah lain dengan sebab mengikuti syahwat yang tak bisa dia kendalikan. Tidak boleh syahwat itu disalurkan melainkan melalui jalan yang dibenarkan baginya, dan jalannya adalah menikah. Pernikahan itu akan menjaga kehormatannya dan memberi pengaruh yang baik kepadanya.
 Melakukan Aktivitas Rohani
Para ahli jiwa menyatakan bahwa gejolak seksual dalam diri seseorang dapat diredakan. Jika seseorang belum mampu menikah, hendaknya jangan sampai mendekati perbuatan keji. Hendaknya dia berlomba dengan dirinya sendiri untuk melaksanakan berbagai aktivitas rohani, seperti shalat, puasa, membaca al-Qur’an, hadits nabawi, biografi, dan sebagainya. Bisa pula dia menyibukkan diri bekerja, sibuk mengadakan penelitian, mengisi waktu dengan membaca dan berbagai kesibukan, seperti menggambar.

 Olahraga
Ini adalah aktivitas jasmani. Melakukan olahraga, memperhatikan latihan tubuh, bergabung dengan klub-klub yang bebas ikhtilath, semua ini akan mengalihkan pikirannya dari gejolak seksualnya. Selain itu, hal-hal ini juga akan menjauhkannya dari zina yang akan membahayakan fisik, akhlak, dan agamanya.
Saat seorang pemuda merasakan gejolak seksual, dia harus melakukan aktivitas jasmani untuk menyalurkan energinya. Ia bisa melakukan lari jarak jauh, angkat berat, gulat, berlomba, belajar memanah, berenang, mengikuti perlombaan ilmiah, dan sebagainya yang dapat meredakan syahwatnya.
 Membaca Buku-Buku Agama
Yang terpenting adalah membaca al-Qur’anul Karim dan hadits-hadits nabawi serta kitab-kitab tafsir. Kemudian berusaha menghafal al-Qur’an dan hadits, membaca sejarah hidup para Nabi, biografi al-Khulafa ar-Rasyidin dan para ulama, mendengarkan ceramah ilmiah dan keagamaan, serta mendengarkan bacaan al-Qur’an dari Idza’atul Qur’anil Karim (radio siaran milik pemerintah Saudi Arabia, pen.) atau yang lainnya.
Singkatnya, solusi yang paling bermanfaat bagi para pemuda adalah menikah. Jika ternyata belum mampu, bisa dengan berpuasa, melakukan aktivitas rohani, olahraga, menekuni ilmu yang bermanfaat—yang merupakan penenang dan sesuatu yang kuat yang dapat memberi manfaat tanpa merugikan—kemudian menjaga pandangan dari segala sesuatu yang dilarang oleh Allah Shubhanahu wa ta ‘alla, dan memohon hanya kepada -Nya terutama di malam hari agar Allah Shubhanahu wa ta ‘alla memudahkan mereka untuk menikah.” (Dinukil dari Kaifa Nurabbi Auladana hlm. 30—32)
Wallahu ta’ala a’lam.
***

Agar Bahtera Selamat Sampai Tujuan

Agar Bahtera Selamat Sampai Tujuan

Rumah tangga yang dibina bisa saja kandas di tengah jalan apabila suami istri tidak pandai mengantisipasi problem yang muncul menghadang perjalanannya.
Karena problem pasti akan datang, tinggal setiap pihak perlu tahu perkara apa saja yang dapat memicunya, yang dapat merusak hubungan keduanya, dan bagaimana sikap yang tepat saat ada masalah.
Membanding-bandingkan keadaan diri atau pasangan hidup dengan orang lain termasuk sebab terbesar yang merusak kehidupan rumah tangga. Bisa jadi, sikap ini datang dari pihak suami. Tergambar pada dirinya sosok wanita lain yang punya kelebihan yang tidak didapatkan pada istrinya. Padahal apabila ia melihat hakikatnya, bisa jadi ia dapati istrinya memiliki sifat-sifat yang puluhan wanita tidak mampu memilikinya. Akan tetapi, memang jiwa itu selalu berhasrat untuk beroleh sesuatu yang jauh, yang dalam anggapannya terkumpul pelbagai sifat kebagusan yang tidak ada pada apa yang telah dimilikinya. Ibarat rumput tetangga lebih hijau daripada rumput sendiri. Kenyataannya, tidak lain hanya fatamorgana.
Sikap membandingkan bisa pula datang dari pihak istri, di mana ia membandingkan hidupnya dengan kehidupan wanita lain, membandingkan suaminya dengan suami orang lain.
“Fulanah bisa begini, bisa begitu…. Diberi ini dan itu oleh suaminya…. Sementara aku…? ”, secara terus-menerus kalimat seperti itu ia ulang-ulang di depan suaminya hingga suaminya jengkel.
Orang Arab mengatakan, “Bagi lelaki yang ingin menikah, hendaklah ia tidak memilih tipe wanita; annanah, hannanah, dan mannanah.”
• Annanah adalah wanita yang banyak menggerutu dan berkeluh kesah, setiap saat dan setiap waktu, dengan atau tanpa sebab.
• Hannanah adalah wanita yang banyak menuntut kepada suaminya, ia tidak ridha apabila diberi sedikit. Ia suka membandingkan suaminya dengan lelaki lain.
• Mannanah adalah wanita yang suka mengungkit-ungkit apa yang dilakukannya terhadap suaminya. Misal dengan mengatakan, “Aku telah lakukan ini dan itu karena kamu….”
Betapa banyak perbuatan membanding-bandingkan tersebut dapat merobohkan bangunan rumah tangga. Seorang muslim semestinya ridha dengan apa yang ditetapkan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla untuknya. Hendaklah ia percaya bahwa siapa yang membanding-bandingkan keadaannya dengan orang lain, niscaya ia akan menganggap kurang apa yang ada padanya, Karena kesempurnaan itu sesuatu yang sulit diperoleh. Orang yang suka membanding-bandingkan keadaannya dengan orang yang di atasnya, ia tidak bisa mensyukuri apa yang diberikan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla kepadanya. Padahal sebenarnya masih banyak orang yang keadaannya berada jauh di bawahnya, yang karenanya ia patut memuji dan bersyukur kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla atas karunia -Nya.
Pokok masalah sekarang bukanlah banyaknya harta yang dimiliki, bisa melancong dari satu tempat ke tempat lain, pakaian-pakaian yang indah, perabot-perabot yang mewah, dan semisalnya. Akan tetapi, masalahnya adalah kelapangan jiwa menerima pembagian Allah Shubhanahu wa ta’alla serta sebuah rumah yang tegak di atas cinta dan kasih sayang. Apabila semua itu sudah terkumpul, apa lagi yang diinginkan? Mengapa harus menyibukkan diri mengamati keadaan orang lain hingga mengundang kesedihan dan kegundahgulanaan jiwa? Berikut ada beberapa langkah-langkah agar keharmoisan dapat terjaga:
1. Menyembunyikan Masalah dari orang Lain
Andai terjadi “keributan” di antara suami istri, seorang yang cerdas adalah yang menjadikan problemnya sebagai sesuatu yang disimpan dan dirahasiakan dari orang lain, ia tidak akan menampakkannya. Hal ini karena problem di antara suami istri sebenarnya pemecahannya mudah, namun apabila sampai diketahui pihak luar, niscaya semua orang akan “mengulurkan timbanya”, hingga rusaklah cinta dan jauhlah yang semula dekat serta tercerai-berailah keutuhan.
Karena itulah, hendaknya perkara ini menjadi pegangan yang disepakati di awal pernikahan suami istri, yaitu apabila di kemudian hari sampai terjadi perselisihan di antara keduanya, hendaknya tidak ditampakkan kepada seorang pun, siapa pun dia. Hal ini karena jika sebagian orang ikut campur dalam masalah keduanya, justru lebih merusak daripada memperbaiki, walaupun itu kerabat istri sendiri. Bisa jadi, ia melakukannya karena dorongan semangat membela keluarga.
Ada beberapa hal yang biasa dilakukan oleh sebagian orang, yaitu merusak hubungan istri dengan suaminya. Perbuatan ini termasuk dosa besar. Oleh karena itu, seorang muslim harus berhati-hati agar tidak menjadi orang yang bersifat demikian sehingga ia berhadapan dengan ancaman yang keras, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alihi wassallam bersabda,
(( وَمَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا فَلَيْسَ مِنَّا )) [ رواه أحمد ]
“Siapa yang merusak seorang wanita dari suaminya, ia tidak termasuk golongan kami.” (HR. Ahmad 2/397, sanadnya sahih sebagaimana dinyatakan demikian dalam ash-Shahihah no. 324)
Betapa banyak masalah yang kecil di antara suami istri menjadi besar karena adanya sebagian orang yang terus-menerus “meniup api”. Seorang wanita datang dan berkata kepada si istri, “Kamu jangan mau mengalah… Kamu jangan mau dibodoh-bodohi…. Minta dong ini dan itu sama suamimu! Masa hidupmu begini begini saja?”
Demikianlah, kalimat-kalimat ini akan merusak dan mengguncang ketenteraman rumah tangga.
Terkadang yang turut andil merobohkan rumah tangga adalah ibu atau saudara perempuan istri. Oleh karena itu, seorang istri hendaknya tidak lemah akalnya sehingga menghancurkan rumah tangganya karena ucapan orang-orang, yang terkadang mereka berbuat demikian karena hasad terhadap kehidupannya.
Kemudian, perlu disadari bahwa menampakkan perselisihan yang ada di antara suami istri kepada orang lain termasuk hal yang menjatuhkan kewibawaan suami istri di hadapan orang lain dan di depan anak-anak. Maka dari itu, suami istri tidak baik bertengkar atau adu mulut dalam sebuah masalah di depan anak-anak. Hal ini termasuk yang menjatuhkan kepribadiannya di mata anak-anak dan akan bermudarat karena membuat cacat bagi tarbiyah mereka. Setiap pihak harus menjaga agar kehormatan pasangannya tidak jatuh di depan anak-anak. Apabila anak-anak tidak lagi segan kepada ayah atau ibunya, lantas bagaimana bisa tarbiyah mereka akan berhasil di saat pihak yang disegani anak sedang bepergian (tidak di rumah)?

2. Muamalah di Antara Keduanya
Suami istri janganlah jual mahal untuk memaafkan pasangannya ketika salah satunya meminta maaf dan meminta keridhaan. Seorang istri tidak boleh bersikap angkuh dan tinggi hati untuk mengakui kesalahannya di depan suaminya, seorang suami pun tidak boleh kaku dan keras hati. Apabila istri sudah mengakui kesalahannya, hendaklah berlapang dada, selama masalahnya tidak mencacati agama dan akhlak. Demikian pula ketika suami bersalah, dia tidak boleh merasa gengsi untuk meminta maaf.
Namun, perlu diketahui, apabila seorang istri buruk akhlaknya, seorang suami hendaknya tidak menahannya dalam ikatan pernikahan, karena perempuan seperti itu lebih banyak merusak daripada memperbaiki, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( ثَلاَثَةٌ يَدْعُوْنَ فَلاَ يُسْتَجَابُ لَهُمْ: رَجُلٌ كَانَتْ تَحْتَهُ امْرَأَةٌ سَيِّئَةُ الْخُلُقِ فَلَمْ يُطَلِّقْهَا….)) [ رواه الحاكم ]
“Tiga golongan yang apabila berdoa maka Allah tidak akan mengabulkan doa mereka, (di antaranya) seorang lelaki yang memiliki istri berakhlak buruk, namun ia tidak mau menceraikannya….” (HR. al-Hakim 2/302, sanadnya sahih secara zahir, kata al-Imam Albani t dalam ash-Shahihah no. 1805 )
Seorang istri hendaknya menyadari bahwa berkhidmat kepada suami adalah sesuatu yang tidak boleh dilalaikannya. Karena itulah, seorang istri harus menunaikan pekerjaan-pekerjaan yang dibutuhkan di rumah suaminya.
Ia tunduk kepada suaminya, tidak boleh mengangkat diri di hadapannya. Jangan ia menafsirkan perintah suami kepadanya sebagai penghinaan terhadapnya. Bisa jadi, si suami memerintahkannya melakukan sesuatu dalam rumahnya, apa pun bentuknya, selama tidak bertentangan dengan agama atau mencacati akhlak, ini termasuk dalam keumuman haknya terhadap istri. Oleh karena itu, janganlah si istri merasa congkak untuk mematuhinya dan menafsirkannya sebagai bentuk penghinaan terhadap dirinya.
Penting untuk diketahui bahwa kehidupan suami istri tidak bisa berjalan sesuai dengan yang diinginkan apabila keduanya bersikap keras, salah satunya harus ada yang lunak/lembut. Tentu, tidak diragukan bahwa itu adalah istri! Kehidupan suami istri tidak bisa berjalan baik melainkan dengan seorang suami yang kuat dan seorang istri yang tahu bahwa ia wanita yang lemah, itulah sebabnya lelaki dijadikan sebagai qawwam bagi wanita, karena lelaki kuat dan wanita lemah. Pihak yang lemah butuh sandaran yang kuat, tempat ia berlindung dan bertumpu di kala sulit. Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman,

قال الله تعالى: ﴿ ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ ٣٤  [النساء: 34]
“Kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita dikarenakan Allah telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Oleh sebab itu, wanita yang salehah adalah wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara dirinya ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara mereka. Dan istri-istri yang kalian khawatirkan nusyuznya maka nasihatilah mereka, pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka dan pukullah mereka….” (an-Nisa: 34)
Jangan sampai seorang istri senang apabila suaminya lemah, tidak bisa menegakkan urusan istrinya, dan tidak dapat mengayomi istrinya, Inilah fitrah. Lantas, mengapa ada saja orang yang lari dan merasa sombong untuk mengakuinya? Padahal keberadaan lelaki sebagai pihak yang kuat tidak berarti ia bersifat zalim. Kuatnya kepribadian tidaklah sama dengan kezaliman dan kekakuan.
Istri salehah adalah yang tahu besarnya kadar suaminya dan besarnya hak suami terhadap dirinya. Oleh karena itu, ia tidak henti-hentinya mencurahkan upaya guna memberikan kelapangan dan kebahagiaan bagi suaminya. Renungkanlah sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ، لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا )) [ رواه أحمد ]
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku akan memerintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya karena besarnya hak suami terhadapnya.” (HR. Ahmad 4/381, dinyatakan sahih dalam Irwa’ul Ghalil no. 1998 dan ash-Shahihah no. 3366)
Demikian pula sabda beliau,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( لاَ يَصْلُحُ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ، وَلَوْ صَلُحَ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ كَانَ مِنْ قَدَمِهِ إَلَى مَفْرَقِ رَأْسِهِ قُرْحَةٌ تَجْرِي بِالْقَيْحِ وَالصَّدِيْدِ، ثُمَّ اسْتَقْبَلَتْهُ فَلَحِسَتْهُ مَا أَدَّتْ حَقَّهُ))  [ متفق عليه ]

“Tidak pantas seorang manusia sujud kepada manusia yang lain. Seandainya pantas seorang manusia sujud kepada yang lain niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya karena besarnya haknya suami terhadapnya. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya pada telapak kaki suaminya sampai ke belahan rambutnya ada luka yang mengucurkan nanah bercampur darah, kemudian si istri menghadapi luka-luka tersebut lalu menjilatinya, niscaya ia belum purna menunaikan hak suaminya.” (HR. Ahmad 3/159, dinyatakan sahih oleh al-Haitsami 4/9, al-Mundziri 3/55, dan Abu Nu’aim dalam ad-Dala’il no. 137. Lihat catatan kaki Musnad al-Imam Ahmad 10/513, cet. Darul Hadits, Kairo)
Hadits ini adalah keterangan yang paling agung tentang besarnya hak suami terhadap istrinya. Yang mengherankan adalah apabila ada istri yang melewati dalil ini, namun ia tidak berhenti di hadapannya dengan merenungkannya dan merasa takut apabila tidak mengamalkan tuntutannya!
Wajib bagi istri membaguskan pergaulannya dengan suaminya, ia menjaga rahasianya, Ia menjaga hartanya karena ia diamanati oleh suaminya. Janganlah ia membuka penutup tubuhnya (hijabnya) di hadapan lelaki selain suaminya. Ia mendidik anak-anaknya agar hormat terhadap ayah mereka. Janganlah ia bersifat kaku. Apabila suaminya membantunya dalam pekerjaannya atau memberinya hadiah misalnya, hendaklah ia mensyukuri apa yang dilakukan oleh suaminya. Ia puji suaminya dengan kebaikan dan jangan ia cela apa yang diberikan oleh suaminya. Jangan menganggap jelek apa yang dilakukan oleh suami untuknya dan anak-anaknya. Selain itu, wajib bagi istri mencari sisi-sisi yang mengundang ridha suami, lalu ia bersegera melakukannya.
Istri hendaklah menjadi penolong suami dalam hal menjaga iffah (kehormatan diri) dan menghalanginya dari godaan. Oleh karena itu, ia tidak boleh meninggalkan tempat tidur suaminya dan “menghalangi dirinya” dari suaminya. Rasulullah Shalallahu ‘alihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( إِذَا دَعَى الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ )) [ متفق عليه ]
“Apabila seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya, namun si istri tidak mendatangi suaminya, lalu si suami bermalam dalam keadaan marah kepadanya, niscaya para malaikat akan melaknat si istri sampai pagi hari.” (HR. al-Bukhari no. 5193 dan Muslim no. 3526)
Hendaklah istri berteman dengan suaminya di dunia dengan cara yang ma’ruf. Hendaknya ia melakukan apa yang dicintai oleh suaminya walaupun ia sendiri tidak menyukainya. Hendaknya ia juga menjauhi segala sesuatu yang tidak disukai oleh suaminya walaupun ia sendiri sebenarnya menyenanginya, demi mengharapkan pahala dari Allah Shubhanahu wa ta’alla dan menghadirkan rasa bahwa suaminya adalah tamu di sisinya yang hampir-hampir pergi meninggalkannya, sehingga ia tidak mau menyakitinya dengan ucapan atau perbuatan. Nabi s bersabda,
(( لاَ تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجُهَا مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ: لاَ تُؤْذِيْهِ، قَتَلَكِ اللهُ! فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكِ دَخِيْلٌ يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا )) [رواه الترمذي]
Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia melainkan istri suaminya dari kalangan hurun ‘in 1 akan mengatakan, “Jangan engkau sakiti dirinya, qatalakillah! 2 Karena dia hanya tamu di sisimu dan sekadar singgah. Hampir-hampir ia akan berpisah denganmu untuk bertemu kami.” (HR. at-Tirmidzi no. 1174 dan Ibnu Majah no. 204, dinyatakan sahih dalam Shahih at-Tirmidzi)
Hendaklah seorang wanita mengetahui bahwa istri yang paling utama adalah yang selalu menganggap besar apa yang dilakukan oleh suaminya kepadanya walaupun sebenarnya kecil. Ia menyebut-nyebut suaminya di hadapan banyak orang dengan kebaikan walaupun sebenarnya suaminya kurang memenuhi haknya. Hendaknya ia yakin bahwa dengan berbuat demikian, kesudahan yang baik akan kembali kepadanya.
Istri harus bersih hatinya terhadap suaminya, walaupun mungkin suami kurang memenuhi haknya. Kalaupun suatu saat ia bermaksud menyampaikan kekurangan tersebut, maka dilakukannya dengan perlahan dan santun tanpa menyakiti suaminya, dengan mencari waktu yang tepat, di saat kosong pikiran dan dada lapang. Karena maksudnya menyampaikan bukanlah untuk mendebat suami atau menjadikannya lawan, tapi maksudnya adalah terlaksananya tujuan dan berbuah apa yang diinginkan.
Adapun suami, ia harus menjadi seorang yang penuh kasih sayang kepada istrinya. Ia syukuri apa yang dilakukan oleh istrinya untuknya, berupa melayaninya di rumah, menjaga anak-anaknya, serta menyimpan rahasianya. Hendaklah ia membantu istrinya dalam melakukan tugas-tugas tersebut dan membesarkannya di hadapan anak-anak, memujinya dengan kebaikan, memberikan nafkah kepadanya dengan nafkah yang membuatnya tidak lagi meminta kepada yang lain, apabila memang suami memiliki kelapangan. Ia tidak mencela istrinya dengan celaan yang melukai rasa malunya dan perasaannya sebagai perempuan, atau menyifatinya dengan sifat yang buruk. Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam pernah ditanya,
سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم يا رَسُوْلَ اللهِ ، مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ؟ قَالَ: (( أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّح ْوَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ )) [ رواه أبو داود ]
“Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang dari kami dari suaminya?” Rasulullah n menjawab, “Engkau beri makan istrimu jika engkau makan dan engkau beri pakaian jika engkau berpakaian. Jangan engkau pukul wajahnya, jangan engkau menjelekkannya3, dan jangan menghajr/memboikotnya kecuali dalam rumah4.” (HR. Abu Dawud no. 2142, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Muqbil t dalam al-Jami’ush Shahih, 3/86)
Suami hendaknya menyadari bahwa kemuliaan istri adalah kemuliaannya juga, maka alangkah anehnya jika dia justru menghina istrinya?
Wajib bagi suami membaguskan pergaulannya dengan istrinya. Ia menegakkan istrinya di atas ketaatan kepada Allah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, mencegah dari istrinya seluruh ucapan dan perbuatan yang bisa mencacati rasa malunya, baik ucapan/perbuatan yang didengar maupun yang dilihat, karena istrinya akan menjadi pendidik bagi anak-anaknya, akan menjadi contoh bagi putri-putrinya, dan sebagai pembimbing bagi anak-anaknya di saat suami tidak ada. Istrilah yang paling sering bergaul dengan anak-anak karena suami tersibukkan dengan mencari penghidupan.
Seharusnya, suami memuliakan istrinya di hadapan anak-anaknya sehingga mereka segan kepada ibunya dan menghormatinya. Apabila sampai ia “menjatuhkan” ibunya di depan mereka, mereka akan mendurhakai ibunya. Apabila hal itu terjadi, anak-anak akan bertindak-tanduk yang buruk, saat ayahnya tidak di rumah, karena tidak ada orang yang mereka takuti. Suami harus berlaku lembut dalam memberikan pengajaran dan pengarahan kepada istrinya, tidak keras dan kaku, atau dengan marah, atau dengan penghinaan. Nabi Muhammad Shalallhu ‘alaihi wasallam bersabda,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ )) [رواه الترمذي]
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling bagus akhlaknya. Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.”5 (HR. at-Tirmidzi no. 1172, dinyatakan hasan dalam ash-Shahihul Musnad 2/336—337)
Beliau juga bersabda tentang diri beliau sebagai teladan bagi para suami,

(( وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ )) [ رواه الترمذي ]
“Aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap istri-istriku.” (HR. at-Tirmidzi, dinyatakan sahih dalam ash-Shahihah no. 285)
Tidaklah yang kita maksudkan dengan mencintai istri adalah membiasakan istri hidup sebagai “nyonya besar” yang hanya bisa memerintah dan bermalas-malasan. Wanita yang menghabiskan siangnya dengan tidur dan di malam hari begadang, pindah dari satu restoran ke restoran lain, nongkrong di kafe, melancong dari satu tempat ke tempat lain, shopping atau sekadar jalan-jalan di mal, tidak pernah masak, tidak pernah membersihkan rumah, tidak ada perhatian terhadap suami dan anak-anak, serta tidak peduli dengan keadaan rumah. Kalau seperti ini keadaan seorang istri, lalu untuk apa seseorang menikah? Apa sekadar simbol saja bahwa ia sudah berstatus menikah?
Suami memikul tanggung jawab yang besar apabila membiasakan atau membiarkan istrinya berada di atas jalan yang jelek tersebut, kelak ia akan ditanya dan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Shubhanahu wa ta’alla. Maka dari itu, sebelum semuanya terlambat hendaknya ia “membenahi” istrinya.
Jadi, cinta tidak berarti memanjakan istri dengan dunia dan mempersilakannya berbuat semaunya. Tetapi cinta adalah membimbing tangannya dan mengarahkannya kepada kebaikan dengan penuh kelembutan.
Suami tidak boleh menganggap enteng apabila istrinya berbuat dosa atau melakukan sesuatu yang tercela dalam kebiasaan manusia. Jangan ia berdalih dengan kata “kasihan” untuk memperingatkan istrinya dari perbuatan salah atau menyimpang. Bahkan, apabila perlu, ia memberikan hukuman yang mendidik.
Suami harus punya rasa cemburu terhadap istrinya sehingga tidak membiarkan istrinya tabarruj (bersolek) dan bercampur baur dengan lelaki ajnabi atau membiarkan istrinya keluyuran, keluar masuk rumah semaunya. Suami yang tidak cemburu kepada istrinya dan membiarkan istrinya bermaksiat kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla adalah dayyuts.
Suami harus menyadari, segigih apa pun upayanya untuk memperbaiki istrinya, tetaplah pada diri sang istri ada kekurangan dan cacat. Hanya saja, selama cacat itu bukan dalam hal agama dan akhlak, hendaklah suaminya bersabar menghadapinya, karena memang mustahil ia bisa mendapatkan wanita yang sempurna, sama sekali tidak memiliki kekurangan dari satu sisi pun. Nabi Muhammad Shalallhu ‘alaihi wasallam bersabda,

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلْعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلْعِ أَعْلاَهُ، فَإنْ ذَهَبْتَ تُقيْمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاء خَيْرًا )) [ متفق عليه ]

“Mintalah wasiat untuk berbuat kebaikan kepada para wanita (istri), karena mereka diciptakan dari tulang rusuk. Sungguh, bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atasnya. Apabila engkau memaksa untuk meluruskan tulang rusuk itu, niscaya engkau akan mematahkannya. Namun, apabila engkau biarkan, ia akan terus-menerus bengkok. Oleh karena itu, mintalah wasiat kebaikan dalam hal para istri.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Rasulullah Muhammad Shalallhu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( الْمَرْأَةُ كَالضِلْعِ، إِنْ أَقَمْتَهُ كَسَرْتَهُ وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَفِيْهَا عِوَجٌ )) [ متفق عليه ]
“Wanita itu seperti tulang rusuk. Jika engkau meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Jika engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau bisa bersenang-senang dengannya, hanya saja padanya ada kebengkokan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalam sebuah riwayat al-Imam Muslim  disebutkan dengan lafadz,

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ، لَنْ تَسْتَقِيْمَ لَكَ عَلَى طَرِيْقٍ، فَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَبِهَا عِوَجٌ، وَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهَا كَسَرْتَهَا وَكَسْرُهَا طَلاَقُها )) [ متفق عليه ]

“Sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk sehingga ia tidak akan terus-menerus lurus untukmu di atas satu jalan. Jika engkau bernikmat-nikmat dengannya, engkau bisa melakukannya, namun padanya ada kebengkokan. Jika engkau memaksa meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Patahnya adalah talaknya.”6
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda,

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( إِنَّمَا النَّاسُ كَإِبِلٍ مِائَةً لاَ تَكَادُ تَجِدُ فِيْهَا رَاحِلَةً )) [ متفق عليه ]
“Manusia itu hanyalah seperti seratus ekor unta, hampir-hampir dari seratus ekor tersebut engkau tidak dapatkan seekor pun yang bagus untuk ditunggangi.” (HR. al-Bukhari no. 6498 dan Muslim no. 2547)
Maksud hadits di atas, kata al-Imam al-Khaththabi, “Mayoritas manusia itu memiliki kekurangan. Adapun orang yang punya keutamaan dan kelebihan jumlahnya sedikit sekali. Oleh karena itu, mereka yang sedikit itu seperti keberadaan unta yang bagus untuk ditunggangi dari sekian unta pengangkut beban.” (Fathul Bari, 11/343)
Al-Imam an-Nawawi menyatakan, “Orang yang diridhai keadaannya dari kalangan manusia, yang sempurna sifat-sifatnya, indah dipandang mata, kuat menanggung beban (itu sedikit jumlahnya).” (Syarhu Shahih Muslim, 16/101)
Ibnu Baththal juga menyatakan hal serupa tentang makna hadits di atas, “Manusia itu jumlahnya banyak, namun yang disenangi dari mereka jumlahnya sedikit.” (Fathul Bari, 11/343)
Demikianlah… Sebagai akhir, hendaknya diketahui bahwa siapa yang telah menikah berarti ia telah menjaga dirinya. Maka dari itu, hendaknya ia bertakwa kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla sebagai Rabbnya, dengan tidak berbuat yang diharamkan. Hendaknya ia menjadi seorang ‘afif, yang membatasi pandangan matanya hanya kepada pasangannya yang sah. Karena di dalam pernikahan ada ketenangan bagi jiwa, dapat meredam syahwat yang menyimpang dan menjauhkan dari yang haram, bersama seseorang yang merupakan miliknya sendiri, yang telah diizinkan oleh Dzat Yang Maha Penyayang, Yang Maha tahu apa yang tersembunyi dalam dada. Hendaknya ia bersyukur kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla atas nikmat -Nya yang tiada terhitung, Dia telah memberikan sesuatu yang halal kepadanya dan menjaganya dari yang haram.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salllam bersabda,

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ نِصْفَ الدَّيْنِ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِيْمَا بَقِيَ )) [ رواه الطبراني في الأوسط ]
“Apabila seorang hamba telah menikah, sungguh ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Maka dari itu, hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam separuh yang tersisa.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Ausath [1/162/1], hadits ini hasan sebagaimana keterangan asy-Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 625)
Kita memohon kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla agar menegakkan rumah tangga kita di atas kebahagiaan, penuh sakinah, mawaddah dan warrahmah, serta menjadikan kita sebagai orang-orang yang terbimbing. Amin ya Mujibas Sa’ilin.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Disusun dari tulisan berjudul : Walyasa’ki Baituki min Ajli Hayah Zaujiyah Hani’ah dan dari beberapa sumber  yang lain)
Sumber: asysyariah.com

Catatan Kaki:
1. Al-hur jamak dari al-haur, yaitu wanita-wanita penduduk surga yang lebar matanya, bagian yang putih dari matanya sangat putih dan bola matanya sangat hitam. (Tuhfatul Ahwadzi, 4/283—284).
2. Artinya secara harfiah, “Semoga Allah l membunuhmu, melaknat, atau memusuhimu.” Namun, maknanya untuk menyatakan keheranan dan tidak dimaksudkan agar hal tersebut terjadi.
3. Maksudnya, mengucapkan ucapan yang buruk kepada istri, mencaci makinya atau mengatakan kepadanya, “Semoga Allah menjelekkanmu”, atau ucapan semisalnya. (Aunul Ma’bud, Kitab an-Nikah, bab “Fi Haqqil Mar’ah ‘ala Zaujiha”).
4. Memboikot istri dilakukan ketika istri tidak mempan dinasihati dalam hal kemaksiatan yang dilakukannya sebagaimana ditunjukkan dalam ayat,
“Istri-istri yang kalian khawatirkan nusyuznya maka berilah mau’izhah kepada mereka, boikotlah mereka di tempat tidur….” (an-Nisa: 34)
Pemboikotan ini bisa dilakukan di dalam atau di luar rumah, seperti yang ditunjukkan oleh hadits Anas bin Malik z tentang Rasulullah n yang meng’ila istrinya (bersumpah untuk tidak mendatangi istri-istrinya) selama sebulan dan selama itu beliau tinggal di masyrabahnya (loteng). (HR. al-Bukhari)
Hal ini tentu melihat keadaan. Apabila memang diperlukan boikot di luar rumah, hal itu dilakukan. Namun, apabila tidak diperlukan, cukup di dalam rumah. Bisa jadi, boikot di dalam rumah lebih mengena dan lebih menyiksa perasaan si istri daripada boikot di luar rumah. Namun, bisa juga sebaliknya. Akan tetapi, yang dominan, boikot di luar rumah lebih menyiksa jiwa, terkhusus jika yang menghadapinya kaum wanita karena lemahnya jiwa mereka. (Fathul Bari, 9/374)
Al-Imam an-Nawawi t berkata terkait dengan kisah Rasulullah n meng-ila’ istri-istrinya, “Suami berhak menghajr istrinya dan memisahkan diri dari istrinya ke rumah lain apabila ada sebab yang bersumber dari sang istri.” (al-Minhaj, 10/334)
5. Nabi n menyatakan, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya”, karena para wanita/istri adalah makhluk Allah l yang lemah sehingga sepantasnya menjadi tempat curahan kasih sayang. (Tuhfatul Ahwadzi, 4/273)
6. Hadits-hadits ini menunjukkan keharusan berlaku lembut kepada para wanita/istri, berbuat baik kepada mereka, bersabar atas kebengkokan akhlak mereka, menanggung kelemahan akal mereka dengan sabar, tidak disenanginya menalak mereka tanpa ada sebab, dan tidak boleh berambisi meluruskan mereka dengan paksa. (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 10/42
***

Kesalah Pahaman Terhadap Masalah Penting Dalam Islam

Kesalah Pahaman Terhadap Masalah Penting Dalam Islam

Segala puji hanya untuk Allah  Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad ShalAllah u’alaihi wa sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya

Khutbah pertama:

إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، أَمَّا بَعْدُ:
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Alhamdulillah, segala puji kita panjatkan ke hadirat Allah Shubhanahu wa ta’alla yang mencipta, memiliki, dan mengatur semesta alam. Dialah satu-satunya yang berhak untuk diibadahi yang tidak ada sekutu bagi -Nya dan tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan -Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada pemimpin kaum muslimin, Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, para sahabatnya, dan seluruh kaum muslimin yang berjalan di atas sunnahnya.
Jamaah jum’ah yang semoga dirahmati Allah Shubhanahu wa ta’alla, Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla dengan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu untuk diamalkan dalam kehidupan kita. Tentu saja harus melalui keterangan serta bimbingan para ulama yang berjalan di atas jalan generasi terbaik umat ini, yaitu para sahabat Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa  sallam. Karena merekalah orang-orang yang dipilih oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla untuk membawa agama Islam setelah wafatnya Rasulullah Shubhanahu wa ta’alla.

Hadirin rahimakumullah,
Pada kesempatan khutbah kali ini akan kami sampaikan, enam perkara penting di antara prinsip-prinsip yang ada dalam agama Islam yang disebutkan oleh salah seorang ulama besar, yaitu asy-Syaikh Muhammad at-Tamimi dalam kitab beliau al-Ushulus Sittah. Enam perkara penting ini sesungguhnya telah disebutkan dengan sangat jelas di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, sehingga orang yang awam pun dari kaum muslimin akan memahaminya apabila mau mempelajarinya. Namun, karena jauhnya sebagian kaum muslimin dari ulama dalam mempelajari agamanya dan kurangnya sebagian kaum muslimin dalam mempelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah—bahkan Al-Qur’an hanya sebatas dihafalkan atau dibaca saja—enam perkara yang penting ini menjadi perkara yang tidak diketahui, bahkan disalahpahami. Tidak saja disalahpahami oleh orang-orang awam, namun juga oleh orang-orang yang dikenal berpendidikan tinggi serta ditokohkan oleh sebagian kaum muslimin.

Hadirin rahimakumullah,
Keenam perkara penting ini, yang pertama adalah kewajiban untuk mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah Shubhanahu wa ta’alla semata dan tidak menyekutukan      -Nya dengan sesuatu pun. Allah Shubhanahu wa ta’alla telah menyebutkan perkara yang penting ini dengan sangat jelas dalam banyak ayat-Nya, seperti dalam firman-Nya:
قال الله تعالى: ﴿۞وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡ‍ٔٗاۖ ﴾ [ النساء : 36]  
“Beribadahlah kalian kepada Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.” (an-Nisa: 36).

Ayat ini menjelaskan bahwa ibadah dengan segala jenisnya hanyalah untuk Allah Shubhanahu wa ta’alla semata karena Allah Shubhanahu wa ta’alla-lah satu-satunya yang mencipta, menguasai, serta mengatur alam semesta.

Hadirin rahimakumullah, 
Namun prinsip yang besar ini kemudian menjadi perkara yang asing dan disalahpahami oleh banyak orang. Disebabkan tipu daya setan yang menghiasi kesyirikan dalam bentuk mencintai orang saleh, terjatuhlah banyak kaum muslimin dalam perbuatan syirik.
Di antara mereka ada yang menjadikan orang yang telah meninggal dunia dari yang dianggap saleh tersebut sebagai perantara untuk meminta kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, atau dengan melakukan penyembelihan di atas kuburannya serta mengambil berkah dari tanah kuburannya, dan yang semisalnya. Jadilah mencintai orang saleh diwujudkan dalam bentuk kesyirikan. Orang yang tidak mau berbuat syirik kemudian dianggap sebagai orang yang tidak mencintai orang saleh. Tentu saja, perbuatan ini menyelisihi apa yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits yang sahih serta bertentangan dengan dakwah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan seluruh para nabi yang diutus untuk mengajak manusia agar mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah Shubhanahu wa ta’alla semata.

Jama’ah jum’ah rahimakumullah,
Di samping itu, karena alasan mencintai orang saleh pula, banyak dari kaum muslimin yang tertipu oleh setan sehingga terjatuh dalam perkara yang akan menyeret kepada perbuatan syirik. Di antaranya dengan membangun dan beribadah di sekitar makam orang yang dianggap saleh, serta menganggap bahwa berdoa kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla di sekitar kuburan tersebut lebih mustajab dari berdoa dan beribadah di tempat lain. Padahal menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah merupakan amalan orang Yahudi dan Nasrani yang diingatkan oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «لَعْنَةُ اللهِ عَلَى اليَهُوْدِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ » [ متفق عليه ]
“Semoga Allah Shubhanahu wa ta’allamelaknat Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat beribadah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Jama’ah jum’ah rahimakumullah,
Perkara penting yang kedua adalah bahwa Allah Shubhanahu wa ta’alla memerintahkan kaum muslimin untuk bersatu di atas agama Allah Shubhanahu wa ta’allaserta melarang berpecah-belah dengan menyelisihi ajarannya. Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعٗا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ  ﴾ [آل عمران : 103]  
“Dan berpegang teguhlah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali Imran: 103).

Ayat ini menunjukkan kewajiban untuk menjalankan hal yang penting ini, yaitu agar kaum muslimin bersatu di atas agama Allah Shubhanahu wa ta’alla dan mengembalikan perselisihan di antara mereka kepada wahyu yang diturunkan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bukan fanatik buta kepada ucapan ulama A atau ulama B, tanpa memperdulikan dasar pijakannya. Bukan pula dengan membiarkan perselisihan di antara kaum muslimin dalam permasalahan yang salah satunya dibangun di atas dalil yang kuat sedangkan yang lainnya sebaliknya. Karena itu, hal ini akan menyebabkan tidak adanya upaya saling menasihati serta akan menghilangkan kewajiban tolong-menolong di atas kebenaran, yang akibatnya akan terjatuh pada tolong-menolong di atas kebatilan.
Adapun sabda Nabi Allah Shubhanahu wa ta’alla  yang menyebutkan bahwa “perselisihan umatku adalah rahmat” bukanlah hadits yang sahih, sebagaimana keterangan para ulama. Bahkan perselisihan dan perpecahan akan membuahkan azab sebagaimana tersebut dalam firman Allah Shubhanahu wa ta’alla:

قال الله تعالى: ﴿ وَلَا تَكُونُواْ كَٱلَّذِينَ تَفَرَّقُواْ وَٱخۡتَلَفُواْ مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَهُمُ ٱلۡبَيِّنَٰتُۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ لَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيمٞ ١٠٥ ﴾ [ آل عمران : 105 ]  
“Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (Ali Imran: 105)


Hadirin rahimakumullah,
Oleh karena itu, jelaslah bahwa kebahagiaan dan kekuatan kaum muslimin akan terwujud apabila kaum muslimin bersatu di atas kebenaran, yaitu jalan yang telah dilalui oleh Rasulullah Shubhanahu wa ta’alla dan para sahabatnya. Bukan sebaliknya, berpecah-belah dengan membuat jalan dan aturan baru dalam menjalankan agama Allah Shubhanahu wa ta’alla.

Jama’ah jum’ah rahimakumullah,
Namun perkara yang penting ini pun kemudian disalahpahami oleh sebagian kaum muslimin, sehingga orang yang mengajak untuk kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman salaful ummah serta mengingatkan dari kesalahan suatu pemahaman yang diyakini oleh masyarakat, dianggap sebagai orang yang ingin memecah-belah persatuan kaum muslimin atau dianggap meremehkan ulama atau tokoh kaum muslimin. Padahal Rasulullah Shalallhu ‘alaihi wa sallam adalah sosok yang bukan hanya mengajak kepada kebaikan, namun juga mengingatkan umatnya dari kebatilan begitu pula para ulama yang mengikuti jalannya.

Hadirin rahimakumullah,
Adapun perkara penting yang ketiga adalah kewajiban untuk bersatu di bawah penguasa muslim. Dengan bersatunya kaum muslimin di bawah seorang penguasa, akan terwujud kehidupan yang aman dan terhindar dari kehidupan yang penuh ketidakteraturan. Oleh karena itu, wajib bagi kaum muslimin untuk menjalankan prinsip ini dengan menaati aturan penguasanya dalam urusan yang tidak bertentangan dengan syariat. Allah Shubhanahu wa ta’alla telah memerintahkan dalam firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ ﴾ [ النساء : 59]  
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), serta ulil amri (yaitu ulama dan umara) di antara kalian.” (an-Nisa: 59)

Namun, prinsip bersatu bersama penguasa muslim ini pun telah disalahpahami. Yang dibanggakan dan ditokohkan oleh sebagian kaum muslimin justru orang yang melanggar prinsip ini, yaitu orang yang berani menentang dan menyebutkan kejelekan penguasanya di depan massa. Akibatnya, terjadilah pertumpahan darah. Kehidupan masyarakat pun menjadi tidak aman, kacau, dan penuh keresahan. Semestinya, seseorang yang ingin menasihati penguasanya hendaknya melakukannya secara diam-diam dan tidak di muka umum, sebagaimana telah diajarkan oleh Nabi kita Muhammad Shubhanahu wa ta’alla.
Demikianlah tiga dari enam perkara penting dalam agama kita. Mudah-mudahan Allah Shubhanahu wa ta’alla senantiasa memberikan kebaikan dan taufiq -Nya kepada kita.
Walhamdulillahi rabbil ‘alamin.

Khutbah kedua:
الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا، أَمَّا بَعْدُ:
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Melanjutkan pembahasan sejumlah masalah penting dalam agama Islam yang telah disalahpahami oleh banyak kaum muslimin. Perkara penting berikutnya adalah penjelasan tentang ilmu dan ulama. Ilmu yang disebutkan keutamaannya di dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah ilmu syar’i, yaitu wahyu yang Allah Shubhanahu wa ta’alla turunkan kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan ilmu inilah, Allah Shubhanahu wa ta’alla akan memperbaiki hati dan akhlak seseorang serta akan menunjukkan mana yang benar dan mana yang salah. Oleh karena itu, ilmu syar’i inilah yang akan mengantarkan seseorang kepada keridhaan Allah Shubhanahu wa ta’alla. Begitu pula ulama yang dipuji dalam Al-Qur’an dan hadits adalah ulama yang memahami dan mengamalkan serta mengajak kepada agama yang dibawa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan penuh amanah. Tentang ulama, Allah Shubhanahu wa ta’allaberfirman: 
قال الله تعالى: ﴿ إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَٰٓؤُاْۗ ﴾ [ فاطر: 28]  
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba -Nya, hanyalah ulama.” (Fathir: 28)

Namun, prinsip ini pun kemudian disalahpahami oleh kebanyakan orang. Jadilah ilmu yang dipahami oleh kebanyakan orang bukanlah firman Allah Shubhanahu wa ta’alla dan sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Ilmu yang dipahami oleh kebanyakan orang ternyata justru ucapan dan pendapat seseorang yang tidak ada dasarnya, atau bahkan cerita yang penuh khurafat. Akibatnya, orang semakin jauh dari ilmu syar’i serta semakin sibuk dengan dunia atau sibuk dengan amal ibadah yang tidak ada tuntunannya. Selain itu, karena salah memahami prinsip ini, banyak orang yang tidak kembali kepada ulama. Mereka justru lebih tertarik dengan orang yang berpenampilan layaknya ulama, padahal dia tidak mengetahui jalan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Jadilah setiap orang yang berbicara tentang agama Islam disebut ulama oleh kebanyakan orang. Bisa jadi, karena banyaknya hafalan Al-Qur’an yang dimilikinya atau karya tentang agama Islam yang ditulisnya, seseorang dianggap ulama, padahal dia tidak memahami dengan benar jalan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam

Hadirin rahimakumullah,
Perkara penting yang kelima adalah penjelasan tentang makna wali. Istilah wali telah dijelaskan maksudnya di dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad Shalallahu ‘alahi wa sallam. Di antaranya disebutkan dalam firman Allah Shubhanahu wa ta’alla:
قال الله تعالى: ﴿ أَلَآ إِنَّ أَوۡلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ ٦٢ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَكَانُواْ يَتَّقُونَ ٦٣ ﴾ [ يونس: 62-63]  
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (Yunus: 62—63)

Oleh karena itu, wali-wali Allah adalah orang-orang yang senantiasa menjalankan hal-hal yang Allah Shubhanahu wa ta’alla wajibkan serta menyempurnakannya dengan menjalankan amalan-amalan yang sunnah. Namun perkara yang penting ini pun telah disalahpahami, sehingga tanpa melihat ketakwaan dan keimanannya, seseorang disebut wali Allah Shubhanahu wa ta’alla oleh banyak orang. Mereka hanya sebatas bisa melakukan sesuatu yang dilihat luar biasa, seperti tidak terluka ketika dikenai benda tajam atau dilindas mobil, dan yang semisalnya, kemudian mereka anggap wali. Akibatnya, orang-orang yang meninggalkan shalat, berbuat bid’ah dan dosa-dosa besar lainnya—bahkan masih berbuat syirik—diakui sebagai wali, lalu diambil barakah dari tubuhnya dan dikeramatkan kuburannya setelah meninggal. Wal ‘iyadzubillah.

Jama’ah jum’ah rahimakumullah,
Perkara penting yang keenam adalah penjelasan tentang anggapan salah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak mungkin bisa dipahami dengan benar kecuali oleh ulama yang telah mampu melakukan ijtihad saja. Akhirnya, mereka menganggap bahwa yang selamat bagi keumuman kaum muslimin adalah mengikuti pendapat ulama saja tanpa perlu mempelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bahkan mereka menganggap bahwa mempelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah akan membuat keumuman kaum muslimin akan tersesat.
Tentu saja pernyataan ini adalah anggapan yang salah. Betapa banyak ayat  yang memerintahkan seluruh kaum muslimin tanpa terkecuali untuk mentadaburi Al-Qur’an. Akankah Allah Shubhanahu wa ta’alla memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan hal yang tidak bisa dilakukan? Atau akankah Allah Shubhanahu wa ta’alla memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan sesuatu yang akan mencelakakan diri mereka sendiri? Sungguh kebahagiaan seseorang justru ketika dia mau membaca dan mempelajari Al-Qur’an. Memang ada hal-hal yang tidak semua orang bisa memahaminya, namun kita bisa menanyakannya kepada para ulama. Adapun meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, ini adalah sebab celakanya seseorang. Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ وَمَنۡ أَعۡرَضَ عَن ذِكۡرِي فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةٗ ضَنكٗا وَنَحۡشُرُهُۥ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ أَعۡمَىٰ ١٢٤ قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرۡتَنِيٓ أَعۡمَىٰ وَقَدۡ كُنتُ بَصِيرٗا ١٢٥ قَالَ كَذَٰلِكَ أَتَتۡكَ ءَايَٰتُنَا فَنَسِيتَهَاۖ وَكَذَٰلِكَ ٱلۡيَوۡمَ تُنسَىٰ ١٢٦  ﴾ [ طه : 126- 124 ]  
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” Berkatalah ia, “Ya Rabbku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?” Allah berfirman, “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, namun kamu melupakannya, maka begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan.” (Thaha: 124—126)

Demikian beberapa perkara penting yang bisa kami sebutkan dan masih banyak prinsip Islam lainnya. Mudah-mudahan Allah Shubhanahu wa ta’alla senantiasa menunjukkan kepada kita kebenaran untuk kita melakukannya dan menunjukkan kepada kita kesalahan untuk kita menjauhinya.
Catatan Kaki: Kami tidak mencantumkan doa pada rubrik “Khutbah Jumat” agar khatib yang ingin membaca doa memilih doa yang sesuai dengan keadaan masing-masing.
***

Membalas Kebaikan Orang Lain

Membalas Kebaikan Orang Lain
Segala puji hanya untuk Allah  Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu u’alaihi wa sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya. 
Berterima kasih atas pemberian orang lain adalah perangai terpuji. Setiap muslim hendaknya menghiasi diri dengannya. Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ هَلۡ جَزَآءُ ٱلۡإِحۡسَٰنِ إِلَّا ٱلۡإِحۡسَٰنُ ٦٠  ﴾ [الرحمن:60]  

 “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (ar-Rahman: 60).

Adalah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam  memerintahkan umatnya agar membalas kebaikan orang lain, sebagaimana sabdanya:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرُوْفٌ فَلْيَجْزِهِ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ مَا يَجْزِيْهِ فَلْيُثْنِ عَلَيْهِ، فَإِنَّهُ إِذَا أَثْنَى عَلَيْهِ فَقَدْ شَكَرَهُ وَإِنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَه» [رواه البخاري]   
“Barangsiapa diperlakukan baik (oleh orang), hendaknya ia membalasnya. Apabila dia tidak mendapatkan sesuatu untuk membalasnya, hendaknya ia memujinya. Jika ia memujinya maka ia telah berterimakasih kepadanya namun jika menyembunyikannya berarti dia telah mengingkarinya ….” (HR. al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad, lihat Shahih al-Adab al-Mufrad no. 157)

Pada umumnya, seseorang merasa berat hati untuk mengeluarkan tenaga, harta, waktu, dan yang semisalnya jika tidak ada imbal balik darinya. Oleh karena itu, barangsiapa yang mencurahkan semua itu untuk saudaranya dengan hati yang tulus, orang seperti ini berhak dibalas kebaikannya dan disyukuri pemberiannya. Apabila kita diperintahkan untuk berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat kepada kita dan memaafkannya, tentu balasan orang yang berbuat baik kepada kita hanyalah kebaikan. Perlu diketahui juga, dalam Islam orang yang memberi lebih baik daripada orang yang menerima. Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى» [متفق عليه]
“Tangan yang di atas (pemberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (penerima pemberian).” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Oleh karena itu, hendaknya kita menjadi umat yang suka memberi daripada banyak menerima. Jika kita menerima pemberian, berbalas budilah, karena seperti itulah contoh dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam . ‘Aisyah berkata, “Adalah Rasulullah menerima hadiah (pemberian selain shadaqah) dan membalasnya.” (Shahih al-Bukhari no. 2585).
Berbalas budi—di samping merupakan perangai yang disukai oleh Islam dan terpuji di tengah masyarakat—adalah salah satu cara untuk mencegah timbulnya keinginan mengungkit-ungkit pemberian yang bisa membatalkan amal pemberiannya.

Bentuk Balas Budi
Bentuk membalas kebaikan orang sangat banyak ragam dan bentuknya. Tentu saja setiap orang membalas sesuai dengan keadaan dan kemampuannya. Jika seseorang membalas dengan yang sepadan atau lebih baik, inilah yang diharapkan. Jika tidak maka memuji orang yang memberi di hadapan orang lain, mendoakan kebaikan dan memintakan ampunan baginya, juga merupakan bentuk membalas kebaikan orang.
Dahulu, orang-orang Muhajirin datang kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengatakan, “Wahai Rasulullah, orang-orang Anshar telah pergi membawa seluruh pahala. Kami tidak pernah melihat suatu kaum yang paling banyak pemberiannya dan paling bagus bantuannya di saat kekurangan selain mereka. Mereka juga telah mencukupi kebutuhan kita.” Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Bukankah kalian telah memuji dan mendoakan mereka?” Para Muhajirin menjawab, “Iya.” Nabi bersabda, “Itu dibalas dengan itu.” (HR. Abu Dawud dan an-Nasai, lihat Shahih at-Targhib no. 963). Maksudnya, selagi orang-orang Muhajirin memuji orang-orang Anshar karena kebaikan mereka, para Muhajirin telah membalas kebaikan mereka.
Di antara bentuk pujian yang paling bagus untuk orang yang berbuat baik adalah ucapan:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «جَزاكَ اللهُ خَيْرًا » 
“Semoga Allah membalas kamu dengan kebaikan.”
Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرُوْفٌ فَقَالَ لِفَاعِلِهِ: جَزَاكَ اللهُ خَيْرًا؛ فَقَدْ أَبْلَغَ فِى الثَّنَاءِ » [رواه الترمذي]
Barang siapa diperlakukan baik lalu ia mengatakan kepada pelakunya, “Semoga Allah membalas kamu dengan kebaikan”, dia telah tinggi dalam memujinya.” (Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 2035, cet. al-Ma’arif)

Mensyukuri yang Sedikit Sebelum yang Banyak
Seseorang belum dikatakan mensyukuri Allah Shubhanahu wa ta’alla jika belum berterimakasih terhadap kebaikan orang. Hal ini seperti yang disabdakan oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لَا يَشْكُرُ اللهَ مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ» [رواه البخاري]

“Tidak bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterimakasih kepada manusia.” (HR. Al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad dari sahabat Abu Hurairah , dan Abu Dawud dalam Sunan-nya).

Hadits ini mengandung dua pengertian:
1. Orang yang tabiat dan kebiasaannya tidak mau berterimakasih terhadap kebaikan orang, biasanya dia juga mengingkari nikmat Allah Shubhanahu wa ta’alla dan tidak mensyukuri-Nya.
2. Allah Shubhanahu wa ta’alla tidak menerima syukur hamba kepada -Nya apabila hamba tidak mensyukuri kebaikan orang, karena dua hal ini saling berkaitan.
Ini adalah makna ucapan al-Imam al-Khaththabi seperti disebutkan dalam ‘Aunul Ma’bud (13/114, cet. Darul Kutub al-Ilmiyah).

Orang yang tidak bisa mensyukuri pemberian orang meskipun hanya sedikit, bagaimana ia akan bisa mensyukuri pemberian Allah Shubhanahu wa ta’alla yang tak terbilang!

 Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ وَإِن تَعُدُّواْ نِعۡمَةَ ٱللَّهِ لَا تُحۡصُوهَآۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَغَفُورٞ رَّحِيمٞ ١٨ ﴾ [النحل:18]  

“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.” (an-Nahl: 18).
Orang-orang yang Harus Disyukuri Pemberiannya
Di antara manusia yang wajib disyukuri kebaikannya adalah kedua orang tua. Ini sebagaimana firman Allah Shubhanahu wa ta’alla:
قال الله تعالى: ﴿ وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُۥ وَهۡنًا عَلَىٰ وَهۡنٖ وَفِصَٰلُهُۥ فِي عَامَيۡنِ أَنِ ٱشۡكُرۡ لِي وَلِوَٰلِدَيۡكَ إِلَيَّ ٱلۡمَصِيرُ ١٤  ﴾ [لقمان:14]  
“Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu.” (Luqman: 14).
Kedua orang tua telah mengorbankan semua miliknya demi kebaikan anaknya. Mereka siap menanggung derita karena ada seribu asa untuk buah hatinya. Oleh karena itu, sebaik apa pun seorang anak menyuguhkan berbagai pelayanan kepada kedua orang tuanya, belumlah mampu membalas kebaikan mereka, kecuali apabila mereka tertawan musuh atau diperbudak lalu sang anak membebaskannya dan memerdekakannya. Hak kedua orang tua sangatlah besar sehingga sangat besar pula dosa yang ditanggung oleh seseorang manakala mendurhakai kedua orang tuanya.
Demikian pula, kewajiban seorang istri untuk berterimakasih kepada suaminya sangatlah besar. Seorang suami telah bersusah-payah mencarikan nafkah serta mencukupi kebutuhan anak dan istrinya. Oleh karena itu, seorang istri hendaknya pandai-pandai berterimakasih atas kebaikan suaminya. Jika tidak, dia akan diancam dengan api neraka.
Dahulu ketika melakukan shalat gerhana, diperlihatkan surga dan neraka kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam . Diperlihatkan kepada beliau api neraka yang ternyata kebanyakan penghuninya adalah wanita. Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa sebabnya adalah mereka banyak melaknat dan mengingkari kebaikan suaminya. (Lihat Shahih Muslim no. 907).
Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ مِنَ الْإِسْتِغْفَارِ فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ » [صحيح مسلم]
“Wahai para wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar (meminta ampunan kepada Allah), karena aku melihat kalian terbanyaknya penghuni neraka.” Ketika Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan wasiat tersebut, ada seorang wanita bertanya, “Mengapa kami (para wanita) menjadi mayoritas penghuni neraka?” Beliau menjawab, “Kalian banyak melaknat dan mengingkari (kebaikan) suami.” (Mukhtashar Shahih Muslim no. 524).

Apabila seorang istri disyariatkan untuk mengingat kebaikan suaminya, demikian pula seorang suami hendaknya mengingat-ingat kebaikan istrinya. Adalah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengingat-ingat jasa dan perjuangan istrinya tercinta, Khadijah bintu Khuwailid. Hal ini seperti yang disebutkan oleh ‘Aisyah, “Aku belum pernah merasa cemburu terhadap istri-istri Nabi seperti cemburuku atas Khadijah, padahal aku belum pernah melihatnya. Akan tetapi, Nabi sering menyebutnya. Terkadang beliau menyembelih kambing lalu memotong bagian kambing itu dan beliau kirimkan kepada teman-teman Khadijah. Terkadang aku berkata kepada Nabi, ‘Seolah tidak ada wanita di dunia ini kecuali selain Khadijah!’ Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda, ‘Sesungguhnya Khadijah dahulu begini dan begitu (beliau menyebut kebaikannya dan memujinya), Saya juga mempunyai anak darinya’.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Di sini, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengingat-ingat kebaikan istri beliau yang pertama yang memiliki setumpuk kebaikan. Dialah Khadijah. Ia termasuk orang yang pertama masuk Islam, membantu Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan hartanya, dan mendorong Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk senantiasa tegar menghadapi setiap masalah. Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim selalu menjaga kebaikan istrinya, temannya, dan kawan sepergaulannya dengan mengingat-ingat kebaikan mereka dan memujinya.
Ada contoh lain dari praktik salaf umat ini dalam membalas kebaikan orang lain. Sahabat Jarir bin Abdillah al-Bajali sangat kagum dengan pengorbanan orang-orang Anshar. Oleh karena itu, ketika melakukan perjalanan dengan sahabat Anas bin Malik—yang termasuk orang Anshar—, sahabat Jarir memberikan pelayanan dan penghormatan kepada Anas, padahal Jarir lebih tua darinya. Anas menegur Jarir supaya tidak memperlakukan dirinya dengan perlakuan istimewa. Akan tetapi, Jarir beralasan bahwa orang-orang Anshar telah banyak berbuat baik kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam sehingga ia (Jarir) bersumpah akan memberikan pelayanan dan pernghormatan kepada orang-orang Anshar. (Lihat Shahih Muslim no. 2513)
Wallahu a’lam.
***

Mimpi Yang Dilihat Oleh Nabi Shalallahu'alaihi wasallam

Mimpi Yang Dilihat Oleh Nabi Shalallahu'alaihi wasallam
Dari Samurah bin Jundub radhiyallahu 'ahnu, beliau berkata: "Adalah Rasulallahu Shalallahu 'alaihi wa sallam seringkali mengatakan kepada para sahabatnya: "Apakah ada salah seorang diantara kalian yang bermimpi?. Maka beliau bercerita kepada orang yang Allah Shubhanahu wa ta’alla kehendaki untuk mendengarkannya.
Pada suatu hari beliau pernah berkata kepada kami: "Sesungguhnya tadi malam telah datang padaku dua orang, keduanya berkata padaku; 'Mari pergi'. Maka sayapun pergi bersama keduanya, kemudian kami mendatangi ada seseorang yang sedang tiduran, dan yang satunya berdiri memegang batu besar, setelah itu batu tersebut dia pukulkan kekepalanya sendiri, sehingga batu tersebut menghancurkan kepalanya, lalu ia mengambil batu lain, tidaklah dirinya kembali melainkan kepala yang tadi telah hancur kembali seperti semula, kemudian ia melakukan seperti tadi berulang-ulang.
Maka saya menjadi penasaran, siapa gerangan orang ini, lalu saya tanyakan kepada kedua malaikat yang membawaku tersebut: "Maha Suci Allah, Siapakah orang ini? Namun keduanya menyuruhku pergi; 'Mari kita pergi'. Lalu kitapun pergi meninggalkan orang tersebut.
Selanjutnya kami mendatangi seorang yang diikat tengkuknya, sedangkan ada seorang lagi yang berdiri diatasnya memegang anjing dari besi, tiba-tiba ia mendatangi sebelah wajahnya lalu menggigit mulut, hidung dan mata sampai ketengkuknya, setelah itu ia pindah kesebelahnya lagi dan melakukan hal yang sama seperti yang tadi, tidaklah ia pindah dan menggigit sisi yang sebelahnya melainkan yang sebelahnya lagi sudah kembali seperti semula. Dan hal itu dilakukan berulang-ulang.
Maka saya pun keheranan lalu saya tanyakan: "Maha Suci Allah! Siapakah kedua orang ini? Kedua malaikat yang membawaku mengatakan; 'Mari kita pergi'. Kami pun pergi meninggalkan mereka.
Setelah itu kami mendatangi sebuah tungku besar, yang didalamnya terdengar keributan serta suara gaduh yang sangat. Lalu kamipun menengok kedalamnya, maka saya lihat disana ada kaum lelaki dan wanita yang bertelanjang tidak tertutupi kain sedikitpun, tiba-tiba datang api menyambar dari bawah mereka, sehingga apabila api tersebut membakar tubuh mereka terdengar kegaduhan dan hiruk pikuk luar biasa.
Maka saya tanyakan: "Siapakah mereka itu? Keduanya menjawa: 'Mari kita pergi'. Kitapun pergi meninggalkan mereka, lalu kami mendatangi sebuah sungai, -Rawi mengatakan; 'Seakan-akan beliau mengatakan; 'Sungai yang berwarna merah seperti darah'-. Dan disungai tersebut ada seseorang yang sedang berenang, namun ketika telah sampai ditepian, disana telah menunggu sekelompok kaum yang semuanya memegang batu yang sangat banyak, dan apabila orang  tersebut sampai ke tepian, dengan cepat mereka melemparkan batu tersebut padanya. Diapun akhirnya berenang lagi ketengah sungai, lalu setelah itu ia mencoba ketepian lagi. Maka tiap kali dia mencoba kembali ketepian, setiap itu pula mulutnya dilempari dengan batu.
Maka saya tanyakan pada keduanya: "Siapakah mereka itu? Keduanya menjawab: 'Mari kita pergi'. Kami akhirnya pergi meninggalkan mereka. Dan kami mendatangi seseorang yang sangat buruk rupanya, berada disisinya api yang menyala-nyala dan membakar setiap yang ada disekitarnya. Maka saya tanyakan pada keduanya: "Siapakah orang ini? Namun keduanya menjawab; 'Mari kita pergi'.
Selanjutnya kamipun pergi meninggalkan orang tersebut, lalu kami tiba pada sebuah taman yang luas, disekelilingnya hijau seperti musim semi, maka saya jumpai disisi taman tersebut ada seorang laki-laki yang sangat tinggi, sampai-sampai saya tidak bisa melihat kepalanya yang menjulang tinggi kelangit. Dan disekitar orang tersebut banyak sekali anak-anak yang tidak pernah aku lihat sebelumnya.
Maka saya tanyakan padanya; 'Siapakah orang itu? Keduanya menjawab; 'Mari kita pergi'. Kami lalu pergi meninggalkannya, kemudian kami mendatangi sebuah kemah yang sangat besar, yang tidak pernah saya melihat kemah sedemikian besarnya, dan betapa indahnya.
Keduanya menyuruhku; 'Masuklah kedalamnya'. Maka kamipun masuk kedalamnya, lalu disana kami menjumpai sebuah kota yang dibangun dengan batu yang terbuat dari emas dan perak. Lalu kami mendatangi pintu kota tersebut dan meminta supaya dibukakan, maka pintupun dibuka untuk kami, kami masuk. Didalam kami bertemu dengan para lelaki yang setengah tubuhnya sangat indah, yang belum pernah kalian lihat sepertinya. Dan setengahnya lagi sangat buruk, yang tidak pernah kalian lihat sebelumnya.
Lalu kedua malaikat yang membawaku tersebut berkata pada mereka; 'Pergilah kalian kesungai tersebut! Dan saya lihat ada sungai yang sangat panjang, mengalir didalamnya air yang sangat bening.  Kemudian merekapun pergi kesungai tersebut dan menceburkan dirinya, lalu kembali mendatangi kami. Sungguh, rupa jelek yang ada pada mereka telah hilang, dan berubah menjadi wajah-wajah yang sangat indah.
Keduanya mengatakan padaku; 'Ini namanya surga Adn, dan disana ada rumahmu'. Keduanya menunjuk kearah rumah tersebut. Maka saya melihat disana ada sebuah istana megah yang berwarna putih. Keduanya menegaskan lagi padaku; 'Itulah rumahmu'. Saya katakan padanya; 'Semoga Allah Shubhanahu wa ta’alla memberkahi kalian berdua. Kalau demikian biarkan aku masuk kedalamnya'. Adapun sekarang, maka belum waktunya, jawab keduanya.
Lalu saya katakan padanya: 'Sesungguhnya saya beberapa waktu yang lalu melihat dalam mimpi sesuatu yang sangat menakjubkan, dan benar sudah, inilah yang sekarang saya lihat'.
Keduanya berkata: 'Sekarang saatnya kami beritahu peristiwa-peristiwa yang baru saja kamu lihat. Adapun laki-laki pertama yang kamu lihat yaitu orang yang menghancurkan kepalanya sendiri dengan batu, dia adalah orang yang membaca al-Qur'an namun mengabaikan isinya. Dan ketika datang waktu sholat dia tidur.
     Sedangkan orang kedua yang kamu lihat, yang mencakar-cakar wajah, hidung dan matanya sampai tengkuk, sehingga terkelupas kulitnya. Dia adalah orang yang pergi dari rumah (mencari nafkah) namun dengan cara berdusta pada orang lain.
Adapun kaum lelaki dan wanita yang telanjang, yang berada di tungku besar, maka mereka adalah para pezina.
Sedangkan orang yang kamu lihat sedang berenang, lalu dilempari batu ketika sampai ditepian, dia adalah pemakan riba.
Adapun orang yang berwajah beringas yang berada disisi api yang menjilat-jilat serta membakar segala yang ada disekitarnya. Sesungguhnya dia adalah malaikat penjaga Jahanam.
Sedangkan orang  tinggi yang berada disebuah taman, dia adalah Ibrahim. Adapun anak-anak yang ada disekitarnya adalah setiap bayi yang lahir diatas fitrah. Di dalam salah satu riwayat al-Burqani disebutkan; "Dia adalah bayi yang dilahirkan diatas fitrah". Maka sebagian Sahabat ada yang bertanya pada beliau: "Ya Rasulallah, apakah anak-anak orang musyrik ikut didalamnya? Beliau menjawab; 'Dan anak-anaknya orang musyrik'.
Sedangkan kaum yang sebelah tubuhnya indah dan sebelahnya lagi buruk, maka mereka adalah orang-orang yang beramal dengan mencampur aduk antara kebaikan dan kejelekan, dan Allah telah mengampuni mereka".
Hadits ini Shahih, dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Ahmad.
***

Orang Munafik Akan Kehilangan Cahaya di Tengah Kegelapan

Orang Munafik Akan Kehilangan Cahaya di Tengah Kegelapan

Segala puji hanya untuk Allah  Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallah u’alaihi wa sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya. 

Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ مَثَلُهُمۡ كَمَثَلِ ٱلَّذِي ٱسۡتَوۡقَدَ نَارٗا فَلَمَّآ أَضَآءَتۡ مَا حَوۡلَهُۥ ذَهَبَ ٱللَّهُ بِنُورِهِمۡ وَتَرَكَهُمۡ فِي ظُلُمَٰتٖ لَّا يُبۡصِرُونَ ١٧ صُمُّۢ بُكۡمٌ عُمۡيٞ فَهُمۡ لَا يَرۡجِعُونَ ١٨ أَوۡ كَصَيِّبٖ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ فِيهِ ظُلُمَٰتٞ وَرَعۡدٞ وَبَرۡقٞ يَجۡعَلُونَ أَصَٰبِعَهُمۡ فِيٓ ءَاذَانِهِم مِّنَ ٱلصَّوَٰعِقِ حَذَرَ ٱلۡمَوۡتِۚ وَٱللَّهُ مُحِيطُۢ بِٱلۡكَٰفِرِينَ ١٩ ﴾ [ البقرة : 17-19 ]  
“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah menghilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar). Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir.” (al-Baqarah: 17—19)

Allah Shubhanahu wa ta’alla menyebutkan dua permisalan bagi orang-orang munafik—sesuai dengan keadaan mereka—, permisalan api dan permisalan air karena keduanya mengandung sinar, cahaya dan kehidupan. Api adalah sumber cahaya dan air adalah sumber kehidupan. Allah Shubhanahu wa ta’alla telah menjadikan wahyu yang Ia turunkan dari langit mengandung kehidupan bagi kalbu dan keterangan baginya. Oleh karena itu, Allah Shubhanahu wa ta’alla menamakan wahyu dengan roh dan cahaya sehingga -Dia menjadikan penerimanya sebagai orang-orang yang hidup dalam cahaya, sedangkan orang yang tidak tergerak sama sekali -Dia jadikan sebagai orang yang mati dalam kegelapan.
Allah Shubhanahu wa ta’alla mengabarkan keadaan orang-orang munafik terkait dengan bagian mereka dari wahyu bahwa mereka bagaikan orang yang menyalakan api untuk menyinarinya dan mengambil manfaat darinya. Hal ini karena mereka telah masuk ke dalam agama Islam sehingga mereka mendapatkan cahaya dan manfaatnya. Mereka beriman dengannya. Mereka pun berbaur dengan kaum muslimin. Akan tetapi, manakala pembauran mereka dengan muslimin tidak dilandasi oleh sumber cahaya Islam dalam kalbu mereka, cahaya itu pun padam. Allah Shubhanahu wa ta’alla pun melenyapkan cahaya mereka.
Allah tidak mengatakan “Allah melenyapkan api mereka” karena api itu bersifat menyinari dan membakar. Allah Shubhanahu wa ta’alla hanya menghilangkan sinarnya namun menyisakan sifat membakarnya. Lalu Allah Shubhanahu wa ta’alla membiarkan mereka dalam kegelapan sehingga mereka tidak dapat melihat. Inilah keadaan seseorang yang dahulu melihat lalu menjadi buta. Dahulu mengenal yang baik lalu ingkar, dan dahulu memasuki agama Islam lalu memisahkan diri darinya dengan kalbunya. Dia tidak akan kembali kepadanya. Oleh karena itu, Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman:
﴿ فَهُمۡ لَا يَرۡجِعُونَ ١٨ ﴾
“Maka mereka tidak kembali.”1

Kemudian Allah Shubhanahu wa ta’alla menjelaskan keadaan mereka dengan permisalan air (hujan). Allah Shubhanahu wa ta’alla menyerupakan mereka dengan orang-orang yang tertimpa hujan, yang turun dari langit membawa kegelapan, halilintar, dan kilat. Allah Shubhanahu wa ta’alla menyerupakan petunjuk dengan hujan, karena dengan hidayah, kalbu menjadi hidup sebagaimana hidupnya bumi dengan hujan. Allah Shubhanahu wa ta’alla juga menyerupakan bagian seorang munafik dari hidayah tersebut seperti bagian seseorang yang tidak mendapatkan dari hujan selain kegelapan, halilintar dan kilatnya. Ia tidak mendapatkan manfaat di balik hujan tersebut yang merupakan tujuan turunnya hujan, yaitu hidupnya suatu negeri dan penduduknya, tumbuh-tumbuhan serta hewan-hewan. Adapun kegelapan yang beserta hujan, halilintar dan kilat itu punya tujuan lain, yakni sebagai sarana menuju kesempurnaan pemanfaatan hujan tersebut. Maka dari itu, seorang yang bodoh, karena sangat bodohnya dia hanya merasakan kegelapan, halilintar, kilat, dan rasa dingin yang sangat dari hujan tersebut. Demikian juga tertundanya perjalanan seorang musafir dan terhentinya pekerjaan seorang tukang. Dia tidak punya pandangan (jauh) yang bisa menerobos akibat baik hujan tersebut berupa kehidupan dan manfaat yang menyeluruh.
Karena lemahnya pandangan dan akal mereka (orang-orang munafik), peringatan-peringatan Al-Qur’an terasa berat bagi mereka. Ancaman-ancaman, perintah-perintah, larangan-larangan, dan pembicaraan Al-Qur’an bagi mereka laksana halillintar. Karena itu, kondisi mereka seperti orang yang tertimpa hujan yang disertai kegelapan, halilintar dan kilat. Karena kelemahan dan ketakutannya terhadap halilintar yang akan menyambarnya, ia meletakkan dua jarinya di telinganya serta menutupkan kedua matanya. Kata Ibnul Qayyim selanjutnya, “Sungguh, kami telah menyaksikan sebagaimana orang yang lain menyaksikan, banyak para banci anak didik aliran Jahmiyah dan ahli bid’ah jika mendengar sebagian ayat dan hadits yang menyebutkan sifat-sifat Allah yang (tentu saja) tidak sesuai dengan bid’ah mereka—aku perhatikan—mereka berpaling bagaikan keledai-keledai yang lari menyelamatkan diri dari singa.
Salah seorang dari mereka mengatakan, “Tutuplah pembahasan ini dari kami. Bacalah ayat selain ini.” Engkau perhatikan bahwa kalbu mereka berpaling. Mereka marah karena akal dan kalbu mereka berat untuk mengenal Allah, nama-nama -Nya dan sifat-sifat -Nya.
Demikian pula orang-orang musyrik dengan kesyirikan mereka yang beraneka ragam. Jika dihunuskan kepada mereka pembahasan tauhid dan engkau bacakan kepada mereka ayat-ayat yang membantah kesyirikan mereka, kalbu mereka membeku dan terasa berat bagi mereka. Andai mereka dapat menutup telinga mereka tentu mereka akan melakukannya. Oleh karena itu, engkau dapati orang-orang yang memusuhi para sahabat Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam jika mendengar ayat-ayat yang memuji al-Khulafa ar-Rasyidin dan para sahabat, mereka merasa sangat berat dan kalbu mereka mengingkarinya. Ini semua adalah keserupaan yang nyata dan perumpamaan yang telah terbukti pada saudara-saudara mereka, orang-orang munafik, yang disebutkan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla dengan permisalan air (hujan).Ketika kalbu mereka serupa, kelakuan mereka pun serupa.
(I’lamul Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘alamin, 1/200, dan at-Tafsirul Qayyim, disusun dan diterjemahkan oleh al-Ustadz Qomar Suaidi)
 
Catatan Kaki:
1. Oleh karena itu, kondisi orang-orang munafik di akhirat adalah seperti yang diceritakan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam surat al-Hadid ayat 12—14:
2. (Yaitu) pada hari ketika kamu melihat orang mukmin laki-laki dan perempuan, sedangkan cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, (dikatakan kepada mereka), “Pada hari ini ada berita gembira untukmu, (yaitu) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai yang kamu kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang banyak. Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman, “Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebahagian dari cahayamu.” Dikatakan (kepada mereka), “Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu).” Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa. Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mukmin) seraya berkata, “Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kamu?” Mereka menjawab, “Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong hingga datanglah ketetapan Allah; dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh (setan) yang amat penipu.
***

Pertama Kali Wahyu Turun

Pertama Kali Wahyu Turun  
Diriwayatkan dari Aisyah, Ibunda Kaum Mukminin, radhiyallahu 'anha, beliau berkata: "Wahyu yang pertama kali kepada Rasulallah Shalallahu 'alaih wa sallam adalah mimpi yang sholeh tatkala tidur, tidaklah beliau melihat sebuah mimpi melainkan pasti terjadi seperti apa yang dilihatnya dalam mimpi.
Setelah itu beliau senang menyendiri, lalu beliau menyendiri di gua Hira, maka disana beliau bertahanuts –yaitu beribadah di dalamnya- pada malam-malam tertentu, dan sebelum meninggalkan rumah beliau membawa bekal untuk persiapan selama tinggal disana.
Kemudian setelah itu, beliau pulang ke rumah, bertemu istrinya Khadijah yang telah menyiapkan bekal untuknya. Demikian selama beberapa lama, sampai datang padanya kebenaran, ketika beliau berada digua Hira.
Datanglah seorang malaikat yang berkata padanya: "Bacalah". Saya tidak bisa membaca, jawab beliau. Beliau menceritakan: "Maka ia merangkulku, lalu mendekap tubuhku sampai nafasku terasa sesak, setelah itu iapun melepaskanku". Dia lalu mengatakan: "Bacalah"! Saya katakan: "Saya tidak bisa membaca". Dia lalu merangkul dan mendekapku sampai nafasku terasa sesak, setelah itu dia melepaskanku, dan berkata: "Bacalah". Saya jawab: "Saya tidak bisa membaca". Kemudian dia mendekapku yang ketiga kalinya, lalu melepaskannya, dan mengatakan:
قال الله تعالى: ﴿ ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِي خَلَقَ ١ خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ مِنۡ عَلَقٍ ٢ ٱقۡرَأۡ وَرَبُّكَ ٱلۡأَكۡرَمُ ٣ ﴾ [العلق: ١،  ٣]  
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah".  (QS al-'Alaq: 1-3). 
Maka Rasulallah pulang dengan perasaan yang takut, lalu beliau masuk rumah, Khadijah bin Khuwailid radhiyallahu 'anha. Beliau berkata pada istirnya itu: "Selimuti aku, selimuti aku". Maka Khadijah menyelimutinya sampai rasa cemas Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam hilang, setelah itu beliau berkata pada Khadijah, menceritakan apa yang telah dialaminya. Saya khawatir terhadap diriku, kata Rasulallah mengadu padanya, Khadijah menjawab: "Sungguh demi Allah tidak, Allah Shubhanahu wa ta’alla tidak akan mencelakaimu, sesungguhnya engkau adalah orang yang suka menyambung tali silaturahim, meringankan beban orang lain, memuliakan tamu, dan senang menolong".
Lalu pergilah Khadijah bersama suaminya membawa ketempatnya Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul Uzza –Beliau adalah anak paman Khadijah-.
Waraqah adalah seorang yang beragama Nashrani pada zaman Jahiliyah, beliau biasa menulis kitab dengan bahasa Ibrani, beliau menulis Injil dengan bahasa Ibrani sesuai dengan apa yang Allah Shubhanahu wa ta’alla kehendaki. Beliau seorang yang sudah renta lagi buta, maka Khadijah menceritakan padanya, lalu mengatakan: "Wahai anak pamanku, dengarlah apa yang akan dikatakan oleh anak saudaramu".
Waraqah mengatakan pada Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam: "Wahai anak saudaraku! Apa yang engkau lihat? Maka Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam menceritakan kejadian yang beliau alami. Setelah selesai Waraqah mengatakan padanya: "Ini adalah Namus yang telah Allah Shubhanahu wa ta’alla utus kepada Nabi Musa 'Alaihi sallam, sekiranya saya masih kuat, sekiranya saya masih hidup tatkala kaummu mengusirmu (maka aku akan membelamu)".  Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam heran lalu menanyakan: "Apakah mereka akan mengusirku? Ya, tidaklah seorang pun yang datang dengan membawa seperti apa yang engkau bawa, melainkan pasti akan mendapat cobaan, kalau seandainya saya menjumpai  harimu itu, pasti saya akan menolong dan membelamu".  Tidak lama kemudian Waraqah meninggal dunia, dan wahyu terputus. 
Hadits ini Shahih, diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. 
***

Balasan Itu Sesuai dengan Amalan

Balasan Itu Sesuai dengan Amalan

Khutbah Pertama:

الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِي وَعَدَ الْمُطِيعِيْنَ لَهُ وَلِرَسُوْلِهِ أَجْرًا عَظِيْمًا، وَأَعَدَّ لِلْمُعْرِضِيْنَ عَنْهُ وَعَنْ رَسُوْلِهِ عَذَابًا أَلِيْمًا، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَكَفَى بِاللهِ عَلِيْمًا، وَأَشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَتَمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْهِ وَهَدَاهُ صِرَاطًا مُسْتَقِيْمًا، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى    آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمً، أَمَّا بَعْدُ:
أَيُّهَا النَّاسُ، اتَّقُوْا اللهَ، وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ بِحِكْمَتِهِ قَضَى أَنَّ الْجَزَاءَ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ فِيْ الْخَيْرِ وَالشَّرِّ لِيَعْرِفَ الْعِبَادُ أَنَّهُ حَلِيْمٌ عَلِيْمٌ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ 
Segala puji bagi Allah Shubhanahu wa a’alla yang telah menyinari hati para hamba yang dikehendaki -Nya sehingga mengetahui tanda-tanda kebesaran -Nya dan keadilan dari ketetapan-ketetapan -Nya. Saya bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak untuk diibadahi kecuali hanya Allah Shubhanahu wa a’alla semata serta saya bersaksi bahwa Nabi Muhammadn adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan oleh Allah Shubhanahu wa a’alla kepada pemimpin para nabi, Nabi kita Muhammad n dan keluarganya, serta para sahabat dan kaum muslimin yang senantiasa mengikuti petunjuknya.

Hadirin rahimakumullah, Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah Shubhanahu wa ta’ala dengan memperbaiki dan meningkatkan amalan-amalan kita. Sesungguhnya, dengan berupaya memperbaiki dan meningkatkan amalannya, seorang hamba akan mendapatkan kebaikan dalam kehidupannya serta mendapatkan balasan yang besar dan berlipat-lipat dari Allah Shubhanahu wa ta’ala. Allah Shubhanahu wa ta’ala berfirman:
قال الله تعالى: ﴿قال الله تعالى: ﴿مَنۡ عَمِلَ صَٰلِحٗامِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤۡمِنٞ فَلَنُحۡيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةٗ طَيِّبَةٗۖ وَلَنَجۡزِيَنَّهُمۡ أَجۡرَهُم بِأَحۡسَنِ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ٩٧﴾ [النحل : 97]  
“Barang siapa mengerjakan amal saleh baik laki-laki maupun perempuan dan dia dalam keadaan beriman, sungguh Kami akan berikan kepada mereka kehidupan yang baik dan sungguh Kami akan beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih besar daripada amalan yang mereka kerjakan.” (an-Nahl: 97)

Dari ayat di atas, kita mengetahui bahwa Allah Shubhanahu wa ta’ala telah menetapkan kehidupan yang bahagia sebagai balasan dari amal saleh. Demikian pula, Allah Shubhanahu wa ta’lla tidak menjadikan balasan dari amal saleh dengan banyaknya harta atau yang semisalnya. Dengan demikian, bahagia dan tidaknya kehidupan seseorang tidaklah semata-mata tergantung pada banyak dan tidaknya dunia yang didapatnya. Dengan kekayaannya seseorang bisa melampaui batas. Sebaliknya, karena kemiskinannya seseorang bisa lupa dengan akhiratnya. Maka dari itu, seseorang harus memahami bahwa Allah Shubhanahu wa ta’ala telah menjadikan kebahagiaan itu akan didapatkan dengan amal saleh. Apabila seseorang mengisi hidupnya di dunia dengan amal saleh, dirinya akan mendapatkan kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan serta balasan yang baik di dunia dan akhirat. Adapun orang yang berbuat kemaksiatan, balasannya disebutkan oleh Allah Shubhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya:
قال الله تعالى: ﴿ وَمَنۡ أَعۡرَضَ عَن ذِكۡرِي فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةٗ ضَنكٗا وَنَحۡشُرُهُۥ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ أَعۡمَىٰ ١٢٤ قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرۡتَنِيٓ أَعۡمَىٰ وَقَدۡ كُنتُ بَصِيرٗا ١٢٥ قَالَ كَذَٰلِكَ أَتَتۡكَ ءَايَٰتُنَا فَنَسِيتَهَاۖ وَكَذَٰلِكَ ٱلۡيَوۡمَ تُنسَىٰ ١٢٦ ﴾ [طه: 126 - 124]  
Dan barang siapa berpaling dari peringatan -Ku, sesungguhnya ia akan mendapat kehidupan yang sempit dan Kami akan kumpulkan pada hari kiamat dalam keadaan buta. Ia berkata, “Ya Rabbku, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?” Allah berfirman, “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami namun engkau melupakannya maka pada hari ini engkau pun dilupakan.” (Thaha: 124—126)

Jama’ah jum’ah rahimakumullah. Dalam ayat di atas kita mengetahui bahwa apabila seseorang memenuhi hidupnya dengan berbagai kemaksiatan, dirinya akan mendapatkan kehidupan yang sempit dan jauh dari ketenangan. Oleh karena itu, janganlah kita tertipu oleh gemerlapnya dunia yang melalaikan dari ketaatan kepada Allah Shubhanahu wa ta’ala. Lalai mengingat Allah Shubhanahu wa ta’ala akan menjauhkan seseorang dari mendapatkan kebahagiaan meskipun kehidupannya penuh dengan kemewahan.
Hadirin rahimakumullah. Firman Allah Shubhanahu wa ta’ala di atas juga menunjukkan bahwa balasan seseorang sesuai dengan amalannya. Artinya, sebagaimana seseorang waktu di dunia tidak mau melihat peringatan Allah Shubhanahu wa ta’ala, maka pada kehidupan yang sesungguhnya di hari akhir nanti dia pun dibangkitkan dan dikumpulkan dalam keadaan buta. Begitu pula, sebagaimana saat di dunia dia melupakan peringatan Allah Shubhanahu wa ta’ala, pada hari akhir pun dia akan dilupakan serta dibiarkan dalam kesulitan dan siksa yang pedih.
Demikianlah. Dengan hikmah -Nya, Allah Shubhanahu wa ta’ala menetapkan bahwa balasan seseorang sesuai dengan perbuatannya. Banyak sekali dalil yang menunjukkan hal tersebut di samping ayat yang telah kita sebutkan. Di antaranya adalah apa yang disebutkan oleh sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمْ الرَّحْمَنُ، ارْحَمُوا أَهْلَ الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاء » [رواه أبو داود]
 “Orang-orang yang memiliki sikap kasih sayang akan mendapatkan kasih sayang dari Allah Yang Maha Penyayang, (maka) berbuat kasih sayanglah kalian kepada yang ada di muka bumi (sehingga Allah) yang di langit akan menyayangi kalian.” (HR. Abu Dawud disahihkan oleh al-Albani)

Dari hadits ini, kita mengetahui bahwa balasan seseorang sesuai dengan amalannya. Oleh karena itu, seorang muslim tentu akan senantiasa berbuat baik, beramal saleh, serta jauh dari berbuat kezaliman dan kemaksiatan. Dia akan menjadi orang yang mengasihi orang-orang yang lemah dari kalangan para wanita, fakir miskin, anak yatim, dan yang semisalnya serta tidak menyakiti mereka. Bahkan, terhadap hewan sekalipun, seorang muslim tidak sewenang-wenang terhadapnya karena dirinya menginginkan rahmat dan kasih sayang Allah Shubhanahu wa ta’ala, serta takut dari terkena azab -Nya. Oleh karena itu, untuk mendapatkan rahmat dan kasih sayang -Nya, seseorang juga harus mengasihi dan menyayangi hamba-hamba -Nya.
Adapun perbuatan zalim, baik menipu, mencuri, tidak menunaikan kewajiban kepada saudaranya, maupun yang semisalnya, akan mendekatkan dirinya dengan azab Allah Shubhanahu wa ta’ala.
Hadirin rahimakumullah. Di antara hadits yang juga menunjukkan bahwa balasan seseorang sesuai dengan amalannya adalah sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ، وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ » [رواه مسلم]

“Barang siapa menghilangkan kesempitan seorang mukmin dari kesulitan-kesulitan di dunia, Allah akan menghilangkan kesulitan yang menimpanya dari kesulitan-kesulitan di hari kiamat. Dan barang siapa yang meringankan seseorang yang sedang tertimpa kesulitan, Allah akan meringankan bebannya di dunia dan akhirat. Dan barang siapa yang menutup kejelekan seorang muslim, Allah akan menutup kejelekannya di dunia dan akhirat. Dan Allah akan menolong seorang hamba apabila hamba tersebut menolong saudaranya. Dan barang siapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu, Allah akan memudahkan jalannya menuju ke surga.” (HR. Muslim)

Hadits ini sangat jelas menunjukkan bahwa balasan seseorang sesuai dengan amalannya. Maka dari itu, siapa di antara kita yang tidak ingin dimudahkan jalannya menuju surga? Siapa di antara kita yang tidak ingin ditutupi kejelekannya sehingga tidak diketahui orang lain? Siapa yang tidak ingin mendapatkan kemudahan dan dihilangkan dari kesulitan di hari akhir, kesulitan yang jauh lebih berat dari kesulitan apa pun yang menimpa seseorang saat di dunia?
Di saat seluruh manusia dikumpulkan di Padang Mahsyar dalam keadaan tidak dikhitan, telanjang, dan tanpa alas kaki. Sementara itu, matahari didekatkan. Tidak ada tempat berteduh selain yang diberi naungan oleh Allah Shubhanahu wa a’alla. Saat itu, keadaan setiap orang menggambarkan perbuatannya saat di dunia. Ada yang tenggelam dengan keringatnya sampai ke mata kaki. Ada yang tenggelam sampai ke betis. Ada pula yang sampai setengah badannya, bahkan ada yang sampai ke telinganya.
Sungguh, siapa yang tidak membutuhkan pertolongan dan dihilangkan kesulitannya pada hari itu? Oleh karena itu, setiap muslim hendaknya bersemangat dalam menuntut ilmu. Setiap muslim hendaknya menutup aib saudaranya dan tidak menjadikan kejelekan orang lain sekadar bahan pembicaraan tanpa bermaksud memperbaikinya. Begitu pula, setiap muslim hendaknya senantiasa berbuat baik dan peduli dengan keadaan orang lain. Dengan demikian, di saat orang lain membutuhkan pertolongan dan dia mampu membantunya, dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk berbuat baik kepadanya. Begitu pula ketika meminjami uang kepada saudaranya, hendaknya dia memberi kelonggaran, terutama ketika saudaranya telah berusaha namun belum mampu melunasinya. 
Hadirin rahimakumullah. Masih banyak lagi dalil-dalil yang menunjukkan bahwa balasan seseorang sesuai dengan perbuatannya. Mudah-mudahan yang sedikit ini bisa menjadi peringatan bagi kita.



 
Khutbah Kedua

الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً خَاتَمَ النَّبِيِّيْنَ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعلى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كثيراً، أَمَّا بَعْدُ:
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Marilah kita senantiasa memperbaiki hati kita dengan bertakwa kepada Allah Shubhanahu wa ta’ala dan kembali kepada -Nya. Dengan bertakwa kepada -Nya, seseorang akan mendapatkan apa yang diidam-idamkan, berupa kehidupan yang bahagia dan penuh dengan ketenteraman serta jauh dari kegelisahan. Dengan senantiasa kembali kepada Allah Shubhanahu wa ta’ala, baik dengan mengharapkan balasan -Nya dan takut dari azab -Nya maupun bertaubat dari kemaksiatan yang dilakukannya, seorang hamba akan mendapatkan kelapangan dada dan ketenangan serta kebahagiaan hidup. Adapun berpaling dari Allah Shubhanahu wa ta’ala, hal ini akan membuat hati menjadi berkarat sehingga tidak mengetahui mana yang bermanfaat dan mana yang berbahaya untuk dirinya.
Hadirin rahimakumullah, Oleh karena itu, marilah kita menjaga diri-diri kita agar tidak terjatuh dalam kemaksiatan kepada Allah Shubhanahu wa ta’ala dan Rasul -Nya. Jika seseorang memenuhi hidupnya dengan berbagai kemaksiatan, dirinya akan mendapatkan kehidupan yang sempit dan jauh dari ketenangan. Dengan demikian, meskipun dalam pandangan manusia dia adalah seorang yang terpenuhi segala kebutuhan hidupnya, namun hatinya tidak merasakan kebahagiaan, bahkan selalu diliputi oleh kegelisahan, ketakutan, dan semisalnya. Oleh karena itu, untuk lari dari kesempitan, kesulitan, dan kegelisahan, kita dapatkan sebagian mereka mengonsumsi obat-obat terlarang, minum minuman keras, dan mencari hiburan-hiburan yang dipenuhi oleh berbagai kemaksiatan. Hal itu adalah balasan yang Allah Shubhanahu wa ta’ala timpakan kepada mereka di dunia. Adapun di akhirat nanti, mereka akan mendapatkan hukuman yang jauh lebih keras lagi.
Oleh karena itu, janganlah kita tertipu dengan gemerlapnya dunia yang melalaikan dari ketaatan kepada Allah Shubhanahu wa ta’ala. Lalai mengingat Allah Shubhanahu wa ta’ala akan menjauhkan seseorang dari mendapatkan kebahagiaan meskipun kehidupannya penuh dengan kemewahan. Bahkan, di akhirat nanti akan merasakan hukuman yang lebih besar. Allah Shubhanahu wa ta’ala berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ لَّهُمۡ عَذَابٞ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَلَعَذَابُ ٱلۡأٓخِرَةِ أَشَقُّۖ وَمَا لَهُم مِّنَ ٱللَّهِ مِن وَاقٖ ٣٤ ﴾ [الرعد:34]  
“Bagi mereka azab dalam kehidupan di dunia dan sungguh hukuman di akhirat kelak lebih keras lagi dan tidak ada bagi mereka seorang pelindung pun dari azab Allah.” (ar-Ra’d: 34)

Jama’ah jum’ah rahimakumullah. Seseorang yang mengetahui bahwa balasan seseorang sesuai dengan amalannya, tentu akan memanfaatkan saat hidupnya di dunia untuk berbuat baik dan beramal saleh serta tidak berbuat kejahatan dan kemaksiatan. Dia akan menjadi orang yang senang membantu dan meringankan beban saudaranya. Dia pun akan jauh dari sikap sombong, baik dalam bentuk menolak kebenaran maupun merendahkan orang lain. Bahkan, dia akan mudah memaafkan kesalahan orang terhadap dirinya apabila baik akibatnya karena dia tahu bahwa hal itu bukanlah suatu kehinaan namun justru suatu kemuliaan, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ» [رواه مسلم ]

“Tidaklah sedekah akan membuat harta berkurang. Tidaklah Allah akan menambahkan pada seorang hamba karena memaafkan (saudaranya) selain (bertambah) kemuliaan, dan tidaklah seseorang merendahkan hatinya karena Allah, melainkan Allah akan meninggikan derajatnya.” (HR. Muslim)
Hadirin rahimakumullah. Akhirnya kita memohon kepada Allah Shubhanahu wa ta’ala dengan nama-nama -Nya yang husna dan sifat-sifat -Nya yang sempurna agar memudahkan kita semua memahami agama -Nya serta agar ikhlas dalam menjalankannya.

 Catatan Kaki:
Kami tidak mencantumkan doa pada rubrik “Khutbah Jumat” agar khatib yang ingin membaca doa memilih doa yang sesuai dengan keadaan masing-masing.
***