Menikahi Wanita Yang Lebih Tua

Menikahi Wanita Yang Lebih Tua 

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, ulama yang pernah menjabat sebagai ketua komisi fatwa di Saudi Arabia ditanya, Apa ada usia yang cocok untuk menikah bagi pria dan wanita karena beberapa gadis tidak mau menikah dengan pria yang lebih tua dari mereka? Demikian juga, beberapa pria tidak mau menikah dengan wanita yang lebih tua dari mereka. Kami menanti jawaban Anda dan semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan.

Jawab beliau rahimahullah,

Saya menyarankan agar para gadis tidak menolak menikah dengan seorang pria karena usianya yang sepuluh, dua puluh atau tiga puluh tahun lebih tua darinya. Ini bukan alasan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menikahi ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha– ketika beliau berusia lima puluh tiga tahun dan ‘Aisyah seorang gadis sembilan tahun. Jadi menikah dengan laki-laki yang jauh lebih tua tidaklah masalah. Tidak masalah pula bagi wanita atau laki-laki yang lebih tua menikahi yang jauh lebih muda darinya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menikahi Khadijah –radhiyallahu ‘anha– ketika dia berumur empat puluh tahun dan Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam dua puluh lima tahun, yaitu sebelum wahyu turun kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini berarti Khadijah usianya lima belas tahun lebih tua daripada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha– ketika ‘Aisyah masih kecil (enam atau tujuh tahun), sedangkan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam berusia lima puluh tiga tahun.

Banyak dari mereka yang berbicara di radio atau televisi mencegah pria dan wanita yang jauh beda usianya untuk menikah. Statement tersebut jelas keliru dan mengatakan hal-hal seperti itu tidak diperbolehkan bagi mereka. Wajib bagi seorang wanita untuk melihat calon suami, dan jika laki-laki tersebut sholeh dan cocok dengannya, ia seharusnya setuju untuk menikah, meskipun laki-laki tadi jauh lebih tua darinya. Demikian pula sebaliknya, seorang pria harus berusaha menemukan seorang wanita yang baik agamanya, meskipun wanita tadi lebih tua darinya, selama wanita tersebut masih muda dan masih subur. Singkatnya, usia seharusnya tidak menjadi alasan dan tidak harus dianggap sesuatu yang memalukan, asalkan pria itu adalah sholeh dan wanitanya juga sholehah. Semoga Allah memperbaiki kondisi kita semua.[

Tangisan dan Rintihan Penghuni Neraka

Tangisan dan Rintihan Penghuni Neraka
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَقَالُواْ لَا تَنفِرُواْ فِي ٱلۡحَرِّۗ قُلۡ نَارُ جَهَنَّمَ أَشَدُّ حَرّٗاۚ لَّوۡ كَانُواْ يَفۡقَهُونَ ٨١ فَلۡيَضۡحَكُواْ قَلِيلٗا وَلۡيَبۡكُواْ كَثِيرٗا جَزَآءَۢ بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ [التوبة:81، 82]

“…dan mereka berkata: “Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini”. Katakanlah: “Api neraka Jahannam itu lebih sangat panas(nya)” jika mereka Mengetahui.   Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan”. [At-Taubah/9: 81-82]

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَهُمۡ يَصۡطَرِخُونَ فِيهَا رَبَّنَآ أَخۡرِجۡنَا نَعۡمَلۡ صَٰلِحًا غَيۡرَ ٱلَّذِي كُنَّا نَعۡمَلُۚ أَوَ لَمۡ نُعَمِّرۡكُم مَّا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَن تَذَكَّرَ وَجَآءَكُمُ ٱلنَّذِيرُۖ فَذُوقُواْ فَمَا لِلظَّٰلِمِينَ مِن نَّصِيرٍ [فاطر: ٣٧] 

“Dan mereka berteriak di dalam neraka itu: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan”. dan apakah kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? Maka rasakanlah (azab kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun”. [Faathir/35: 37]

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

لَهُمۡ فِيهَا زَفِيرٞ وَهُمۡ فِيهَا لَا يَسۡمَعُونَ [الانبياء: ١٠٠] 

“Mereka merintih di dalam api dan mereka di dalamnya tidak bisa mendengar”. [Al-Anbiyaa/21`: 100].

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَإِذَآ أُلۡقُواْ مِنۡهَا مَكَانٗا ضَيِّقٗا مُّقَرَّنِينَ دَعَوۡاْ هُنَالِكَ ثُبُورٗا ١٣ لَّا تَدۡعُواْ ٱلۡيَوۡمَ ثُبُورٗا وَٰحِدٗا وَٱدۡعُواْ ثُبُورٗا كَثِيرٗا [الفرقان: ١٣،  ١٤] 

Dan apabila mereka dilemparkan ke tempat yang sempit di neraka itu dengan dibelenggu, mereka di sana mengharapkan kebinasaan. (akan dikatakan kepada mereka): “Jangan kamu sekalian mengharapkan satu kebinasaan, melainkan harapkanlah kebinasaan yang banyak”. [Al-Furqaan/25: 13-14]

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَيَوۡمَ يَعَضُّ ٱلظَّالِمُ عَلَىٰ يَدَيۡهِ يَقُولُ يَٰلَيۡتَنِي ٱتَّخَذۡتُ مَعَ ٱلرَّسُولِ سَبِيلٗا [الفرقان: ٢٧] 

Dan (Ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya seraya berkata: “Aduhai kiranya (dulu) Aku mengambil jalan bersama-sama Rasul”. [Al-Furqaan/25: 27].

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

كَذَٰلِكَ يُرِيهِمُ ٱللَّهُ أَعۡمَٰلَهُمۡ حَسَرَٰتٍ عَلَيۡهِمۡۖ وَمَا هُم بِخَٰرِجِينَ مِنَ ٱلنَّارِ [البقرة: ١٦٧] 

Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: “Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.” Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka”. [Al-Baqarah/2: 167]

Dari Abdullah bin Qais Radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


إِنَّ أَهْلَ النَّارِ لَيَبْكُوْنَ حَتَّى لَوْ أُجْرِيَتِْ السُّفُنُ فِى دُمُوْعِهِمْ لَجَرَتْ, وَإِنَّهُمْ لَيَبْكُوْنَ الدَّمَ –يَعْنِي- مَكَانَ الدَّمْعِ.

“Sesungguhnya penghuni neraka terus menangis, sehingga seandainya kapal-kapal dilabuhkan pada air mata mereka, niscaya ia bisa berlabuh. Dan sesungguhnya meraka menangis darah –maksudnya- di tempat air mata.” HR. Ibnu Majah dan al-Hakim.[1]

Teriakan Para Penghuni Neraka.
Apabila para penghuni neraka sudah memasuki neraka dan merasakan siksaan berat, maka mereka meminta tolong dan berteriak barangkali mereka mendapatkan orang yang menolong dan memenuhi permintaan mereka. Maka mereka memanggil para penghuni surga, para penjaga neraka, dan Malik penjaga neraka. Dan mereka berseru kepada Rabb mereka. Maka mereka tidak mendapatkan jawaban kecuali apa yang menambah kerugian mereka. Sampai akhirnya mereka kehilangan harapan, dan terus berteriak dan merintih.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَنَادَىٰٓ أَصۡحَٰبُ ٱلنَّارِ أَصۡحَٰبَ ٱلۡجَنَّةِ أَنۡ أَفِيضُواْ عَلَيۡنَا مِنَ ٱلۡمَآءِ أَوۡ مِمَّا رَزَقَكُمُ ٱللَّهُۚ قَالُوٓاْ إِنَّ ٱللَّهَ حَرَّمَهُمَا عَلَى ٱلۡكَٰفِرِينَ [الاعراف: ٤٩] 

“Dan penghuni neraka menyeru penghuni syurga: “Limpahkanlah kepada kami sedikit air atau makanan yang Telah dirizkikan Allah kepadamu”. Mereka (penghuni surga) menjawab: “Sesungguhnya Allah Telah mengharamkan keduanya itu atas orang-orang kafir”. [Al-A’raaf/7:50]

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَقَالَ ٱلَّذِينَ فِي ٱلنَّارِ لِخَزَنَةِ جَهَنَّمَ ٱدۡعُواْ رَبَّكُمۡ يُخَفِّفۡ عَنَّا يَوۡمٗا مِّنَ ٱلۡعَذَابِ ٤٩ قَالُوٓاْ أَوَ لَمۡ تَكُ تَأۡتِيكُمۡ رُسُلُكُم بِٱلۡبَيِّنَٰتِۖ قَالُواْ بَلَىٰۚ قَالُواْ فَٱدۡعُواْۗ وَمَا دُعَٰٓؤُاْ ٱلۡكَٰفِرِينَ إِلَّا فِي ضَلَٰلٍ [غافر: ٤٩،  ٥٠] 

“Dan orang-orang yang berada dalam neraka berkata kepada penjaga-penjaga neraka Jahannam: “Mohonkanlah kepada Tuhanmu supaya dia meringankan azab dari kami barang sehari”. Penjaga Jahannam berkata: “Dan apakah belum datang kepada kamu rasul-rasulmu dengan membawa keterangan-keterangan?” mereka menjawab: “Benar, sudah datang”. penjaga-penjaga Jahannam berkata: “Berdoalah kamu”. dan doa orang-orang kafir itu hanyalah sia-sia belaka”. [Ghafiir/40: 49-50]

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَنَادَوۡاْ يَٰمَٰلِكُ لِيَقۡضِ عَلَيۡنَا رَبُّكَۖ قَالَ إِنَّكُم مَّٰكِثُونَ ٧٧ لَقَدۡ جِئۡنَٰكُم بِٱلۡحَقِّ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَكُمۡ لِلۡحَقِّ كَٰرِهُونَ [الزخرف: ٧٧،  ٧٨] 

Mereka berseru: “Hai Malik biarlah Tuhanmu membunuh kami saja”. dia menjawab: “Kamu akan tetap tinggal (di neraka ini)”.  Sesungguhnya kami benar-benar telah memhawa kebenaran kepada kamu tetapi kebanyakan di antara kamu benci pada kebenaran itu. [Az-Zukhruf/43: 77-78]

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

قَالُواْ رَبَّنَا غَلَبَتۡ عَلَيۡنَا شِقۡوَتُنَا وَكُنَّا قَوۡمٗا ضَآلِّينَ ١٠٦ رَبَّنَآ أَخۡرِجۡنَا مِنۡهَا فَإِنۡ عُدۡنَا فَإِنَّا ظَٰلِمُونَ [المؤمنون : ١٠٦،  ١٠٧] 

“Mereka berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah dikuasai oleh kejahatan kami, dan adalah kami orang-orang yang sesat. Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami daripadanya (dan kembalikanlah kami ke dunia), Maka jika kami kembali (juga kepada kekafiran), Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim.”  Allah berfirman: “Tinggallah dengan hina di dalamnya, dan janganlah kamu berbicara dengan Aku”. [Al-Mukminun/23: 106-108]


Maka apabila para penghuni neraka sungguh telah kehilangan harapan bisa keluar dari neraka dan merasa putus asa dari segala kebaikan, mulailah mereka berteriak dan merintih, seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَأَمَّا ٱلَّذِينَ شَقُواْ فَفِي ٱلنَّارِ لَهُمۡ فِيهَا زَفِيرٞ وَشَهِيقٌ ١٠٦ خَٰلِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ إِلَّا مَا شَآءَ رَبُّكَۚ إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٞ لِّمَا يُرِيدُ [هود: ١٠٦،  ١٠٧] 

“Adapun orang-orang yang celaka, Maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih),.  Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang dia kehendaki”. [Huud/11: 106-107]

Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kemurkaan, kebencian, dan siksa-Nya. Ya Allah, berilah kami rizqi surga dan selamatkanlah kami dari siksa neraka. Engkau adalah pelindung kami. Sebaik-baik pelindung dan penolong.

Para Penghuni Surga Mewarisi Tempat Tinggal Para Penghuni Neraka (yang ada di Surga).
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ لَهُ مَنْزِلاَنِ: مَنْزِلٌ فِى الْجَنَّةِ وَمَنْزِلٌ فِى النَّارِ. فَإِذَا مَاتَ فَدَخَلَ النَّارَ وَرِثَ أَهْلُ الْجَنَّةِ مَنْزِلَهُ فَذلِكَ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡوَٰرِثُونَ ١٠ ٱلَّذِينَ يَرِثُونَ ٱلۡفِرۡدَوۡسَ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ  ﴾ [المؤمنون : ١٠،  ١١]  . أخرجه ابن ماجه

“Tidak ada seorangpun di antara kalian kecuali dia mempunyai dua tempat: satu di surga dan satu tempat di neraka. Apabila seseorang meninggal dunia, lalu masuk ke dalam neraka, maka para penghuni surga mewarisi tempatnya. Maka itulah makna firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:

أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡوَٰرِثُونَ ١٠ ٱلَّذِينَ يَرِثُونَ ٱلۡفِرۡدَوۡسَ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ [المؤمنون : ١٠،  ١١]

Mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi.  (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus, mereka kekal di dalamnya”. HR. Ibnu Majah.[2]

Ξ Penghuni Neraka yang Paling Berat Siksanya

[Disalin dari مختصر الفقه الإسلامي (Ringkasan Fiqih Islam Bab :  Tauhid dan keimanan التوحيد والإيمان ). Penulis Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri  Penerjemah Team Indonesia islamhouse.com : Eko Haryanto Abu Ziyad dan Mohammad Latif Lc. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2012 – 1433]


Footnote
[1] Hasan HR. Ibnu Majah no 4324, dan al-Hakim no. 8791, ini adalah lafazhya. Lihat: as-Silsilah ash-Shahihah no. 1679.
[2] Shahih HR. Ibnu Majah no. 4341, Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3503

Bukan Cinta Sejati

Bukan Cinta Sejati 

Ibnul Qayyim dalam bukunya “Taman Orang yang Jatuh Cinta” atau dalam kitab arabnya disebut dengan “Roudhotul Muhibbin” menerangkan tentang akibat dari hubungan intim yang tidak halal seperti yang kita saksikan saat ini di tengah-tengah muda-mudi yang memadu kasih lewat pacaran. Bahkan sex before marriage jadi hal yang lazim bagi orang yang ingin membuktikan cinta pada kekasihnya. Padahal hubungan seperti ini sebenarnya bukan cinta sejati dan termasuk dosa besar yang dimurkai Allah.

Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah berkata,

“Sejatinya hubungan intim (jima’ atau bersetubuh) yang tidak halal malah bisa merusak rasa cinta. Bahkan rasa cinta tersebut bisa berakhir benci dan permusuhan. Inilah yang telah kita saksikan dalam kenyataan. Setiap cinta yang tidak didasari cinta karena Allah maka akan berakhir dengan kebencian. Ini jika cinta yang tidak didasari atas takwa bagaimanakan lagi jika dilakukan dengan menerjang dosa besar (seperti zina)?! Allah Ta’ala berfirman,

الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ

Persaudaraan pada hari ini (hari kiamat) saling bermusuhan kecuali orang-orang bertakwa” (QS. Az Zukhruf: 67).

Adapun hubungan intim yang halal malah itu menambah cinta. Jika keinginan orang yang mencinta telah dicapai, ia lantas merasakan nikmatnya dan lezatnya, sehingga rasa cinta pun bertambah. (Roudhotul Muhibbin, cet Dar Ibnu Katsir, hal. 127-128).

Ayat yang dibawakan oleh Ibnul Qayyim di atas menunjukkan bahwa khullah, persaudaraan yang tulus atau ikatan cinta yang tulus bisa langgeng hingga akhirat asal didasari cinta karena Allah. Sedangkan seks di luar nikah bukanlah atas dasar cinta karena Allah, namun cinta yang didasari nafsu belaka. Sehingga mengapa mesti membuktikan cinta lewat jalan yang Allah haramkan? Perlu diketahui -wahai para remaja-, cinta yang diridhoi Allah adalah cinta lewat jalur yang sah, yaitu pernikahan, bukan lewat pacaran. So … say no for girl friends.

Semoga Allah memberi taufik pada kita untuk terbebas dari zina dan dari segala jalan menuju zina.

Jangan Remehkan Sedekah

Jangan Remehkan Sedekah 

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji hanya milik Allah. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Rasulullah. Wa ba’du.

Menginfakkan harta yang thayyib (baik) dan penghasilan yang halal di jalan Allah termasuk ibadah yang paling agung. Sebagaimana ibadah itu bisa dilakukan dengan anggota badan, maka ibadah juga bisa dilakukan dengan harta. Oleh karenanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan zakat sebagai salah satu rukun Islam. Zakat ialah menyerahkan sebagian harta yang merupakan hak bagi orang miskin yang meminta-minta maupun orang miskin yang menahan diri dari meminta-minta. Allah memasukkan zakat sebagai bagian dari sedekah sekaligus bagian dari rukun Islam. Demikian pula Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan sedekah dalam kafarat (denda atas pelanggaran larangan), seperti kafarat sumpah, kafarat zhihar (ucapan suami yang menyamakan istrinya dengan ibu kandung atau mahramnya), dan kafarat membunuh hewan buruan di tanah haram atau bagi orang yang sedang ihram. Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan beberapa kafarat dengan tebusan harta. Adapun sedekah selain itu, maka hukumnya sunnah, bahkan termasuk ibadah sunnah yang paling afdhal (utama).

Membelanjakan harta yang halal dalam rangka taat kepada Allah juga termasuk bentuk jihad yang termasuk amalan yang paling mulia. Bahkan, berdasarkan ayat Al-Qur’an, jihad di jalan Allah dengan harta lebih didahulukan dibandingkan jihad dengan jiwa. Hal ini karena jihad dengan harta dapat memberikan manfaat yang lebih luas. Maka sepatutnya seorang muslim mengetahui hal ini sehingga ia dapat menunaikan kewajiban yang Allah bebankan atasnya berkenaan dengan sebagian hartanya yang merupakan jatah bagi orang miskin. Di samping itu, seyogyanya ia menyedekahkan kelebihan hartanya dan tidak menahannya. Terlebih di bulan yang diberkahi dan musim kebaikan ini. Hendaknya seseorang tidak meremehkan sedekah meskipun dengan jumlah yang sedikit. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala kelak akan menyelamatkan seseorang dari neraka dengan sebab sedekah separuh kurma. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Jagalah diri kalian dari neraka meskipun hanya dengan sedekah setengah biji kurma. Barangsiapa yang tak mendapatkannya, maka ucapkanlah perkataan yang baik.” (HR. Bukhari no. 1413, 3595 dan Muslim no. 1016)

Allah Jalla wa ‘Ala menerima sedekah dari hamba-Nya yang beriman, lantas Dia mengembangkannya sebagaimana seseorang menumbuhkembangkan anak kudanya hingga sedekah tersebut menjadi seperti gunung yang besar. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Barangsiapa yang bersedekah dengan sebutir kurma hasil dari usahanya sendiri yang baik, sedangkan Allah tidak menerima kecuali yang baik saja, maka sungguh Allah akan menerimanya dengan tangan kanan-Nya lalu mengembangkannya untuk pemiliknya sebagaimana seseorang merawat anak kudanya hingga ia menjadi seperti gunung yang besar.” (HR. Bukhari no. 1410 dan Muslim no. 1014)

Dengan demikian, hendaknya seseorang tidak meremehkan sedekah meskipun sedikit. Lantas bagaimana lagi jika sedekahnya banyak? Semisal sedekah untuk memakmurkan masjid dengan harta yang halal, membangun sekolah, menyebarkan kebaikan, dan berjihad di jalan Allah. Ruang sedekah dengan harta yang halal sangatlah luas. Dan yang paling baik adalah banyak bersedekah kepada keluarga jika dalam hal ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Perumpamaan sedekah yang dikeluarkan oleh orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan ganjaran bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas karunia-Nya lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 261)

Sedekah kepada kerabat yang membutuhkan lebih afdhal (utama) dibandingkan sedekah kepada selain kerabat. Karena sedekah kepada kerabat itu terhitung sebagai sedekah sekaligus silaturahim (menyambung kekerabatan). Sehingga ia mengandung dua pahala, yakni pahala sedekah dan pahala silaturahim. Dari Salman bin ‘Amir adh-Dhabbi, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Sedekah kepada orang miskin hanyalah sedekah, sedangkan sedekah kepada kerabat akan mendapatkan dua ganjaran, yaitu ganjaran sedekah dan ganjaran silaturahim.” (HR. Tirmidzi no. 658, Ibnu Majah no. 1844, Ibnu Khuzaimah no. 2067, 2385, Ahmad no. 17, 18, dan Ad-Darimi no. 1687, 1688. Dinilai shahih oleh al-Albani di Shahih al-Jami’ no. 3858)

Di antara bentuk infak di jalan Allah adalah seseorang yang memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Demikian pula seorang suami yang menafkahi istrinya, anak-anaknya, dan keluarganya. Maka orang tersebut mendapatkan pahala yang berlimpah. Jika seseorang berinfak dengan penghasilan yang halal dan disertai dengan niat yang benar, maka ia memperoleh ganjaran yang besar dan kebaikan yang banyak.

Seorang manusia hendaknya tidak dikuasai oleh cinta harta, rakus, dan pelit. Lantas ia tahan  harta tersebut untuk dirinya sendiri. Padahal, pada hakikatnya harta adalah titipan. Allah memberikan kesempatan baginya untuk bersedekah dan memenuhi kebutuhan pribadinya dengan harta tersebut. Apabila ia enggan bersedekah dan hanya mengumpulkan dan menyimpan hartanya, maka ketahuilah bahwa ia pasti akan mati dan meninggalkan semua hartanya. Lantas harta tersebut akan dimanfaatkan orang lain, padahal ia telah bersusah payah mengumpulkannya dan ia pun kelak akan dimintai pertanggungjawabannya. Bagaimanakah seseorang menghalangi dirinya untuk sedekah? Mengapa ia hanya semangat mengumpulkan harta? Padahal ia tahu bahwa ia pasti akan pergi meninggalkan dunia. Ia pun juga sadar bahwa harta tersebut tidaklah bermanfaat, kecuali sekedar apa yang ia manfaatkan untuk dirinya sebelum ia mati. Demikian pula sedekah jariyah yang mengalir pahalanya meskipun ia telah mati.

Jika anak keturunan Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, atau anak shalih yang senantiasa mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631)

Kemudian, hendaknya seseorang mengilmui bahwa Allah Jalla wa ‘Ala adalah Ath-Thayyib (Maha Baik) dan tidak menerima, kecuali perkara yang baik. Dengan demikian, seseorang tidak boleh bersedekah dengan harta yang haram atau penghasilan yang kotor. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menerimanya. Demikian juga, seseorang tidak boleh bersedekah dengan harta yang jelek dan sedikit manfaatnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

Dan janganlah kalian memilih harta yang buruk untuk diinfakkan, padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya, melainkan dengan memicingkan mata.” (QS. Al-Baqarah : 267)

Harta yang buruk” maksudnya adalah harta yang jelek, bukan maknanya harta yang haram. Misalnya, apabila seseorang tidak menginginkan suatu makanan karena tidak lezat, lantas ia menyedekahkannya. Padahal, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarangnya, “Dan janganlah kalian memilih harta yang buruk untuk diinfakkan.” Seseorang tidak sepatutnya menyedekahkan pakaian jika ia lihat pakaian tersebut telah robek, tidak layak pakai, atau hanya bisa dikenakan dalam jangka waktu yang singkat. Demikian pula, tidak selayaknya menyedekahkan makanan yang tidak diminati oleh orang. Ini bukanlah sedekah, tetapi sekedar buang sampah. Sedekah semacam ini tidaklah bermanfaat di sisi Allah “Kalian sekali-kali tidak akan mencapai kebajikan yang sempurna hingga kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai.”. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

Kalian sekali-kali tidak akan mencapai kebajikan yang sempurna hingga kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai.” (QS. Ali-‘Imran : 92)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,

Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin,anak yatim, dan tawanan.” (QS. Al-Insan : 8)

Yakni, mereka menyedekahkan makanan yang mereka inginkan dan sukai untuk dirinya. Akan tetapi, mereka lebih mendahulukan kecintaan Allah dibandingkan kecintaan dirinya sendiri, “Kalian sekali-kali tidak akan mencapai kebajikan yang sempurna hingga kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai. Dan harta yang kalian nafkahkan, maka sungguh Allah Maha Mengetahuinya.

Seyogyanya, seseorang berinfak dengan sesuatu yang berguna, terlebih jika jiwanya menyukainya. Ia menyedekahkannya meskipun dirinya mencintainya. Ini adalah bukti keimanannya bahwa ia mengedepankan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana Allah Jalla wa ‘Ala berfirman mengenai sahabat Anshar,

Dan mereka mengutamakan sahabat Muhajirin dibandingkan diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Barangsiapa yang dijauhkan dari sifat kikir dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr : 9)

Kami memohon kepada Allah agar Dia memberikan taufik kepada kita semua untuk mengerjakan amal yang dicintai dan diridhai oleh-Nya. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad.

***

Diterjemahkan dari kitab Majalis Syahri Ramadhan al-Mubarak hlm. 21-24 (cetakan kedua), Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah al-Fauzan,  1422 H, Darul ‘Ashimah:  Riyadh.


Pentingnya Menjaga Waktu

Pentingnya Menjaga Waktu 

Banyak diantara kita yang terlalaikan dengan nikmat ini, yaitu waktu luang. Dan hendaknya kita sadar pentingnya nikmat ini. Sesungguhnya Allah telah mengisyaratkan kepada kita bahwa orang orang yang telah mati mereka menyesal dan mereka minta agar dikembalikan lagi di dunia agara bisa beramal shalih lagi sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala (yang artinya): “dan Infakanlah sebagian dari apa yang yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian dating kepada salah sesorang diantara kamu; lalu dia berkata (menyesali) ‘Ya tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian) ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang orang shalih”(QS. Al-Munafiqun: 10).

Dan hendaklah kita mengetahui bahwa kita hidup di dunia ini hanya lah sebentar sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya): “Dia berfirman,’berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?’ mereka menjawab ,’ kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada mereka yang menghitung’” (QS. Al-Mu’minun: 112-113)Maka lihatlah! Bahwa kita hanyalah seorang musafir di dunia ini atau perumpaman kita di dunia ini sekadar berteduh di bawah pohon dari perjalanan yang panjang lalu kita melanjutkan perjalan lagi, lalu perjalan mana lagi yang mana akan kita lanjutkan? Yaitu perjalanan ke kampung abadi jannatun na’im dimana segala kenikamatan yang kekal ada disana.

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata “sepatutnya bagi manusia mengetahui kemuliaan waktu dan kadar waktunya. Dan jangan ia sia siakan waktunya walau hanya satu menit tanpa ada ketaatan pada Allah. Semua nikmat umur ini pasti akan ditanya oleh Allah, oleh karena itu jangan lah sampai disibukkan dengan dengan dunia dan angan angan kosong.

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata “jadikanlah waktumu untuk Allah dan barangsiapa yang tida menjadi wkatumu maka kematian lebih baik untuknya dari pada kehidupannya”.

Maka lihatlah bagaimana para generasi salafus shalih dan ulama’ rabbani menjaga waktunya.Seperti Abul Wafa’ bin Abu Aqil rahimahullah menceritakan “dengan segala kesungguhanku, aku juga memendekkan waktu makanku,sampai smpai aku lebih makanan biscuit yang dilarutkan dengan air dari pada memakan roti. Alasannya karena kedua makanan tersebut berbeda jauh waktu yang dihasilkan ketika mengunyahnya. Yakni demi lebih member waktu untuk memmbaca dan menyalin berbagai hal yang benrmanfaat yang belum sempat ku ketahui”.

Lalu ada Ar-Raqam rahimahullah menceritakan, aku pernah bersama kepada Abdurrahman (yakni Ibnu Abi Hatim karena begitu banyaknya beliau mendengar dan bertanya kepada ayahnya sendiri (yang seorang ulama’), maka beliau menjawab, ketika ayahku mkaan, aku membacakannya kepada beliau, ketika berjalan, aku membacakannya (kitab dan bertanya) pada beliau, bahkan ketika masuk kamar mandi aku membacakannya untuk beliau, dan ketika masuk rumah untuk satu keperluan, aku juga membacakannya pada beliau.

Setelah kisah para generasi salafus shalih ada kisah lain dari ulama’ rabbani pada generasi saat ini. Yaitu Syaikh Ibnu Baz rahimahullah selalu menyibukkan setiap menit dan detik waktu yang beliau miliki dengan tasbih, istighfar, dan tahlil. Imam as-Sam’ani menyebutkan dalam kitabnya Adabul Imla’ wal Istimla’ (hlm. 73) bahwa ketika muhaddits (ahli hadits) seperti beliau berada dalam sebuah halaqah besar dan disana terdapat beberapa mustamli (orang yang menyampaikan suara syaikh disekitanya), maka ketika beliau berkata “haddatsanaa waki’” (telah mengabarkan kepada kami waqi’), mustamli menirukan mengulang kata tersebut “haddatsanaa waki’”. Sedangkan ditengah tengah ucapan tersebut mustamli yang singkat itu syaikh membaca istghfar dan tasbih sampai beliau mendapat giliran berbicara kembali.

Lihat bagaimana sebagaimana para salafus shalih menjaga waktunya dan kita bisa mengambil ibrahnya dari kisah semangat mereka dalam menjaga waktu mereka. Maka tinggalkan segala majelis yang menyia-nyiakan, dari kekosongan pikiran dan akal. Dan jangan lupa agar kita selalu berdoa kepada Allah agar diberi taufik supaya bisa menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya. Karena memanfaatkan waktu dalam ketaatan adalah sebuah pemberian dari Allah ‘azza wa jalla, Allah memberikanya kepada siapa yang Dia kehendaki dari hamba hambanyaNya dan memudahkan jalannya. Karena itulah mintalah kepada Allah dengan hati yang tunduk, lisan yang jujur,a nggota tubuh yang khusyu’ agar kita dikaruniai taufik dalam menjaga waktu kita, allah tabaraka wa ta’ala memerintahkan kepad kita untuk berdoa kepada Nya, Allah subhanahu wa ta’la berfirman (yang artinya), “dan rabb-mu berfirman ’ berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina‘“ (QS. Ghaafir:60).

***

Referensi:

  1. Al-Quranul karim
  2. Waktumu Dihabisakan Untuk Apa, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, penerbit pustaka At-taqwa
  3. Meneladani akhlak generasi terbaik, Abdul Aziz bin Nashir al-Jullayil,Baha’uddin bin Fatih Uqail, penerbit Darul Haq
  4. Biografi Syaikh bin Bazz rahimahullah, Syaikh Abdul Aziz bin Muhammd As-Sadhan, penerbit Khazanah Fawa’id

Hukum Berhutang Untuk Menikah

Hukum Berhutang Untuk Menikah 

Kita sudah ketahui bersama bahwa yang dituntut sebelum menikah adalah sudah punya kemampuan finansial. Seorang yang menikah tidak dibebankan dengan menyusahkan diri untuk mencari utang. Yang terpenting adalah memiliki sifat ba-ah.

Dari ‘Abdullah bin Ma’sud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada para sahabat,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Wahai para pemuda, barangsiapa yang memiliki baa-ah, maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu adalah pengekang syahwatnya yang menggelora.” (HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400).

Al ba-ah yang dimaksud di sini menurut para ulama sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim ada dua makna yaitu:

  • siapa yang sudah mampu berjima’ karena sudah punya kemampuan nafkah atau finansial,
  • siapa yang sudah memiliki kemampuan finansial untuk menikah. Intinya dari dua definisi yang disebutkan kembali ujung-ujungnya pada kemampuan finansial.

Lalu apakah jika tidak mampu dari sisi finansial diharuskan untuk mencari utangan?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menerangkan bahwa tidak layak orang yang akan menikah menyusahkan diri dengan mencari utangan. Di antara alasannya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu ‘siapa yang tidak mampu menikah, hendaklah ia berpuasa’. Dalam hadits tidak disebut, ‘siapa yang tidak mampu menikah, hendaklah ia mencari utangan’. Hal ini ditunjukkan pula pada firman Allah,

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ

Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An Nuur: 33). Dalam ayat tidaklah disebutkan, sampai Allah mencukupi mereka dengan berbagai wasilah. Namun dalam ayat disebutkan ‘hingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya’. Ini menunjukkan menikah itu ketika sudah memiliki kemampuan (ghina).

Jika ada yang bertanya, apa hikmah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyarankan untuk membebani diri dengan utang untuk nikah, bukankah seperti itu mengandung maslahat?

Iya, ada maslahat. Namun mencari utangan itu membuat orang semakin hina dan seakan-akan ia menjadi budak pada orang yang beri utangan. Alasan itulah yang membuat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyarankan tidak mencari utang.

Demikian keterangan dari Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Fathu Dzil Jalali wal Ikram, 11: 13-14.

Ringkasnya, menikah dituntut harus mampu dari sisi finansial. Sebisa mungkin tidak mencari utangan untuk bisa menikah. Karena jika sejak awal sudah terbebani seperti itu, biasanya ketika menjalani kehidupan keluarga selanjutnya akan bermudah-mudahan untuk berutang.

Pahamilah, berutang itu sulit, berat dan tak mengenakkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri meminta perlindungan pada Allah dari sulitnya utang. Ini do’a beliau,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ

Allahumma inni a’udzu bika minal ma’tsami wal maghrom. Artinya: Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari berbuat dosa dan sulitnya utang. (HR. Bukhari no. 2397 dan Muslim no. 5)

Bahaya lain dari berutang ditunjukkan pada hadits,

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ

Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.” (HR. Ibnu Majah no. 2414. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Semoga Allah beri kepahaman. Moga Allah mudahkan para pemuda untuk dimampukan dari finansial dan dimudahkan segera naik pelaminan.

Hukum Menyemir Rambut Yang Belum Beruban

Hukum Menyemir Rambut Yang Belum Beruban

Bagaimana hukum menyemir rambut yang belum beruban menjadi warna lain?

Padahal rambut tersebut masih dalam keadaan hitam, belum beruban, namun ada yang ingin berpenampilan cantik rupawan dengan menyemirnya.

Ketika Sudah Beruban

Ketika beruban jelas boleh disemir, asalkan dengan warna selain hitam.

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, ”Pada hari penaklukan Makkah, Abu Quhafah (ayah Abu Bakar) datang dalam keadaan kepala dan jenggotnya telah memutih (seperti kapas, artinya beliau telah beruban). Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ

Ubahlah uban ini dengan sesuatu, tetapi hindarilah warna hitam.” (HR. Muslim no. 2102).

Ulama besar Syafi’iyah, Imam Nawawi memberikan judul Bab untuk hadits di atas “Dianjurkannya menyemir uban dengan shofroh (warna kuning), hamroh (warna merah) dan diharamkan menggunakan warna hitam”.

Bagaimana Kalau Belum Beruban?

Yang jelas jika belum beruban, juga tidak disemir atau tidak diwarnai. Adapun yang dilakukan selama ini adalah karena mengikuti gaya hidup non muslim atau para artis yang fasik. Karena maksudnya seperti itu, tentu saja tidak dibolehkan. Karena kita dilarang untuk tasyabbuh.

Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad 2: 50 dan Abu Daud no. 4031, hasan menurut Al Hafizh Abu Thohir)

Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا

Bukan termasuk golongan kami siapa saja yang menyerupai selain kami” (HR. Tirmidzi no. 2695. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Syaikh Shalih Al Fauzan –guru penulis- mengatakan, “Adapun hukum mewarnai rambut wanita yang masih berwarna hitam diubah ke warna lainnya, seperti itu menurutku tidak boleh karena tidak ada faktor pendorong untuk melakukannya. Karena warna hitam sendiri sudah menunjukkan kecantikan. Kalau beruban barulah butuh akan warna (selain hitam). Yang ada dari gaya mewarnai rambut hanyalah meniru mode orang kafir.” (Tanbihaat ‘ala Ahkami Takhtasshu bil Mu’minaat, hal. 14).

Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.

Rasa Malu Kaum Hawa Masa Kini

Rasa Malu Kaum Hawa Masa Kini 

Moga saja setelah para wanita -kaum hawa- membaca tulisan ini semakin mendapat hidayah dan bisa memperbaiki diri. Tulisan ini lebih ingin menanamkan rasa malu pada wanita kala bergaul.

Islam Memuliakan Wanita

Seperti yang telah kita ketahui bersama, Islam adalah agama yang sempurna dan tidaklah satu perkara kecil pun melainkan telah diatur oleh agama yang mulia ini. Begitu pula berkenaan dengan kaum hawa, ada juga aturan dan bimbingannya secara sempurna. Islam sangat memperhatikannya dan menempatkan para wanita sesuai dengan kedudukannya. Contohnya, istri tidak boleh dibiarkan tanpa diperhatikan haknya seperti dalam pakaian. Lihat kisah berikut.

آخَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بَيْنَ سَلْمَانَ ، وَأَبِى الدَّرْدَاءِ ، فَزَارَ سَلْمَانُ أَبَا الدَّرْدَاءِ ، فَرَأَى أُمَّ الدَّرْدَاءِ مُتَبَذِّلَةً . فَقَالَ لَهَا مَا شَأْنُكِ قَالَتْ أَخُوكَ أَبُو الدَّرْدَاءِ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ فِى الدُّنْيَا . فَجَاءَ أَبُو الدَّرْدَاءِ ، فَصَنَعَ لَهُ طَعَامًا . فَقَالَ كُلْ . قَالَ فَإِنِّى صَائِمٌ . قَالَ مَا أَنَا بِآكِلٍ حَتَّى تَأْكُلَ . قَالَ فَأَكَلَ . فَلَمَّا كَانَ اللَّيْلُ ذَهَبَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُومُ . قَالَ نَمْ . فَنَامَ ، ثُمَّ ذَهَبَ يَقُومُ . فَقَالَ نَمْ . فَلَمَّا كَانَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ قَالَ سَلْمَانُ قُمِ الآنَ . فَصَلَّيَا ، فَقَالَ لَهُ سَلْمَانُ إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ . فَأَتَى النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « صَدَقَ سَلْمَانُ »

Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– telah mempersaudarakan Salman dan Abu Darda’. Suatu saat Salman mengunjungi –saudaranya- Abu Darda’. Ketika itu Salman melihat istrinya, Ummu Darda’ dalam keadaan tidak mengenakkan. Salman pun berkata kepada Ummu Darda’, “Kenapa keadaanmu seperti ini?” “Saudaramu, Abu Darda’ seakan-akan ia tidak lagi mempedulikan dunia”, jawab wanita tersebut. Abu Darda’ kemudian datang. Salman pun membuatkan makanan untuk Abu Darda’. Salman berkata, “Makanlah”. “Maaf, saya sedang puasa”, jawab Abu Darda’. Salman pun berkata, “Aku pun tidak akan makan sampai engkau makan.” Lantas Abu Darda’ menyantap makanan tersebut.

Ketika malam hari tiba, Abu Darda’ pergi melaksanakan shalat malam. Salman malah berkata pada Abu Darda’, “Tidurlah”. Abu Darda’ pun tidur. Namun kemudian ia pergi lagi untuk shalat. Kemudian Salman berkata lagi yang sama, “Tidurlah”. Ketika sudah sampai akhir malam, Salman berkata, “Mari kita berdua shalat.” Lantas Salman berkata lagi pada Abu Darda’, “Sesungguhnya engkau memiliki kewajiban kepada Rabbmu. Engkau juga memiliki kewajiban terhadap dirimu sendiri (yaitu memberi supply makanan dan mengistirahatkan badan, pen.), dan engkau pun punya kewajiban pada keluargamu (yaitu melayani istri, pen). Maka berilah porsi yang pas untuk masing-masing kewajiban tadi.” Abu Darda’ lantas mengadukan Salman pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau bersabda, “Salman itu benar” (HR. Bukhari no. 968)

Coba perhatikan, hadits di atas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menganjurkan memuliakan wanita. Karena tidak boleh seseorang dengan alasan sibuk ibadah sampai kewajiban terhadap istri dilalaikan. Tentu itu tanda Islam melarang menelantarkan wanita.

Begitu juga bentuk pemuliaan pada wanita adalah dengan menjaga pergaulan mereka dengan lawan jenis.

Fenomena Kaum Hawa Saat Ini

Sungguh sangat menyedihkan sedikit demi sedikit aturan yang telah dibuat oleh Allah dan Rasul-Nya dilanggar oleh kaum Hawa. Di antara fenomena yang kita saksikan bersama, kaum hawa dewasa ini mulai menanggalkan dan luntur sifat malunya. Mereka tidak merasa malu bergaul bebas dengan kaum Adam. Bahkan yang lebih mengenaskan, tidak sedikit dari kaum hawa yang berani mengumbar aurat yaitu berpakaian tetapi telanjang di depan umum. Fainna lillahi wa inna ilaihi roojiun …

Padahal yang Islam larang pasti karena ada mafsadah (bahaya), baik mafsadahnya murni maupun mafsadah itu lebih besar.

Maka cermatilah kisah yang difirmankan Allah berikut ini yaitu kisah dua wanita di zaman Nabi Musa ‘alaihis salam.

وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لَا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ (23) فَسَقَى لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّى إِلَى الظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ (24)

Dan tatkala ia (Musa) sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)? Kedua wanita itu menjawab: Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya. Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: “Ya Rabbku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (QS. Al-Qashash: 23-24)

Kalau kita perhatikan, apa kedua wanita itu punya rasa malu? Iya, bahkan rasa malu yang besar.

Lihat saja untuk memberikan minum di mana kala itu ada para pria saja, kedua wanita itu enggan. Mereka malu berdesak-desakan dengan lelaki.

Kalau kaum hawa masa kini? Adakah seperti itu?

Ada saja jika Allah menyelematkannya. Namun banyak yang kita lihat saat ini tak lagi ada rasa malu. Dianggap biasa duduk dengan sekelompok lelaki, bahkan ketika wanita itu bersendirian. Dianggap biasa berdesak-desakan bahkan bersenggol-senggolan dengan lelaki, bukan lagi hal yang tabu. Apalagi jalan berdua, boncengan dan duduk berduaan, bisa kita bayangkan sendiri keadaannya.

Kembali ke kisah dua wanita di atas.

Rasa malu keduanya dibuktikan lagi kala mereka berjalan,

فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا فَلَمَّا جَاءَهُ وَقَصَّ عَلَيْهِ الْقَصَصَ قَالَ لَا تَخَفْ نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ (25)

Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan penuh rasa malu, ia berkata, “Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami.” (QS. Al-Qashash: 25)

Ayat yang mulia ini, menjelaskan bagaimana seharusnya kaum wanita berakhlaq dan bersifat malu. Allah menyifati gadis wanita yang mulia ini dengan cara jalannya yang penuh dengan rasa malu dan terhormat.

Amirul Mukminin Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu mengatakan, gadis itu menemui Musa ‘alaihis salaam dengan pakaian yang tertutup rapat. (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6: 12)

Penulis yakin, para wanita saat ini bisa memiliki rasa malu seperti itu. Caranya bagaimana? Coba dalami ilmu agama, tambah terus pelajaran akhlak dan adab bergaul dengan lawan jenis, kurangi bergaul dengan para pria termasuk dalam hal chating dan hubungan di dunia maya, juga hindari dengan keras berdua-duaannya di dunia nyata.

Ya Allah, karuniakanlah pada kami sifat malu yang dapat mengantarkan pada kebaikan.

Referensi:

Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan Pertama, tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Penerbit Ibnul Jauzi.

Aturan Membayar Utang Puasa Ramadhan

Aturan Membayar Utang Puasa Ramadhan 

Bagaimana aturan membayar utang puasa Ramadhan (qadha puasa)? Sebagian yang disebutkan di dalam tulisan ini ada yang jarang diketahui.

Siapa yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan karena sakit atau bersafar (menjadi musafir), maka ia wajib mengqadha’ sesuai jumlah hari yang ia tidak berpuasa. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ

Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Beberapa aturan qadha’ puasa

  1. Jika ada yang luput dari berpuasa selama sebulan penuh, ia harus mengqadha’ sebulan.
  2. Boleh puasa pada musim panas diqadha’ pada musim dingin, atau sebaliknya.
  3. Qadha’ puasa Ramadhan boleh ditunda.
  4. Jumhur ulama menyatakan bahwa menunaikan qadha’ puasa ini dibatasi tidak sampai Ramadhan berikutnya (kecuali jika ada uzur). Aisyah mencontohkan bahwa terakhir ia mengqadha puasa adalah di bulan Syakban.
  5. Apabila ada yang melakukan qadha’ Ramadhan melampaui Ramadhan berikutnya tanpa ada uzur, ia berdosa.

Dari Abu Salamah radhiyallahu ‘anhu, ia mendengar Aisyah radhiyallahu ‘anhamengatakan,

كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ

Aku dahulu punya kewajiban puasa. Aku tidaklah bisa membayar utang puasa tersebut kecuali pada bulan Syakban.”  (HR. Bukhari, no. 1950 dan Muslim, no. 1146).

Dalam riwayat Muslim disebutkan,

كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ الشُّغُلُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَوْ بِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-

“Aku dahulu punya kewajiban puasa. Aku tidaklah bisa membayar utang puasa tersebut kecuali pada bulan Syakban karena kesibukan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

  1. Yang harus dilakukan ketika menunda qadha’ Ramadhan melampaui Ramadhan berikutnya adalah (1) mengqadha’ dan (2) menunaikan fidyah (memberi makan kepada orang miskin untuk setiap hari puasa). Hal ini berdasarkan pendapat dari Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum. Fidyah ini dilakukan karena sebab menunda. Adapun fidyah untuk wanita hamil dan menyusui (di samping menunaikan qadha’) disebabkan karena kemuliaan waktu puasa (di bulan Ramadhan). Adapun fidyah untuk yang sudah berusia lanjut karena memang tidak bisa berpuasa lagi.
  2. Yang menunda qadha’ puasa sampai melampaui Ramadhan berikut bisa membayarkan fidyah terlebih dahulu kemudian mengqadha’ puasa.

Beberapa aturan qadha’ puasa ini diringkas dari Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 28:75-76.

Beberapa catatan tentang qadha puasa

Pertama: Qadha’ Ramadhan sebaiknya dilakukan dengan segera (tanpa ditunda-tunda) berdasarkan firman Allah Ta’ala,

أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ

Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al-Mu’minun: 61)

Kedua: Qadha’ puasa tidak boleh dibatalkan kecuali jika ada uzur yang dibolehkan sebagaimana halnya puasa Ramadhan.

Ketiga: Tidak wajib membayar qadha’ puasa secara berturut-turut, boleh saja secara terpisah. Karena dalam ayat diperintahkan dengan perintah umum,

فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Tidak mengapa jika (dalam mengqadha’ puasa) tidak berurutan.” (Dikeluarkan oleh Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad- dan juga dikeluarkan oleh Abdur Rozaq dalam Mushonnafnya, 4:241,243, dengan sanad yang sahih).

Keempat: Qadha’ puasa tetap wajib berniat di malam hari (sebelum Shubuh) sebagaimana kewajiban dalam puasa Ramadhan. Puasa wajib harus ada niat di malam hari sebelum Shubuh, berbeda dengan puasa sunnah yang boleh berniat di pagi hari.

Dari Hafshah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ

Barangsiapa yang tidak berniat di malam hari sebelum fajar, maka tidak ada puasa untuknya.” (HR. Abu Daud, no. 2454; Tirmidzi, no. 730; An-Nasai, no. 2333; dan Ibnu Majah no. 1700. Para ulama berselisih apakah hadits ini marfu’—sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam—ataukah mauquf—hanya sampai pada sahabat–. Yang menyatakan hadits ini marfu’ adalah Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi, An-Nawawi. Sedangkan yang menyatakan hadits ini mauqufadalah Al-Imam Al-Bukhari dan itu yang lebih sahih. Lihat Al-Minhah Al-‘Allam fii Syarh Al-Bulugh Al-Maram, 5:18-20).

Adapun puasa sunnah (seperti puasa Syawal) boleh berniat dari pagi hari hingga waktu zawal (matahari tergelincir ke barat). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini.

عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ

Dari ‘Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemuiku pada suatu hari lantas beliau berkata, “Apakah kalian memiliki sesuatu untuk dimakan?” Kami pun menjawab, “Tidak ada.” Beliau pun berkata, “Kalau begitu saya puasa saja sejak sekarang.” Kemudian di hari lain beliau menemui kami, lalu kami katakan pada beliau, “Kami baru saja dihadiahkan hays (jenis makanan berisi campuran kurman, samin dan tepung).” Lantas beliau bersabda, “Berikan makanan tersebut padaku, padahal tadi pagi aku sudah berniat puasa.” Lalu beliau menyantapnya. (HR. Muslim, no. 1154).

Imam Nawawi membawakan judul bab untuk hadits di atas “Bolehnya berniat di siang hari sebelum zawal untuk puasa sunnah. Boleh pula membatalkan puasa sunnah tanpa ada uzur. Namun, yang lebih baik adalah menyempurnakannya.”

Imam Nawawi juga berkata, “Menurut jumhur (mayoritas) ulama, puasa sunnah boleh berniat di siang hari sebelum waktu zawal.” (Lihat Syarh Shahih Muslim, 8: 32-33).

Kelima: Ketika ada yang melakukan qadha’ puasa lalu berhubungan intim di siang harinya, maka tidak ada kewajiban kafarah, yang ada hanyalah qadha’ disertai dengan taubat. Kafarah berat (yaitu memerdekakan seorang budak, jika tidak mampu berarti berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu berarti memberi makan pada 60 orang miskin, pen.) hanya berlaku untuk puasa Ramadhan saja.

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

***

Jilbab Bukan Hanya Penutup Rambut Kepala

Jilbab Bukan Hanya Penutup Rambut Kepala 

Ada yang mengira bahwa jilbab hanyalah penutup rambut kepala. Tak apalah katanya berpakaian ketat yang penting rambut kepala sudah tertutup. Benarkah pengertian demikian?

Perintah Jilbab

Perintah mengenakan jilbab sebagaimana diterangkan dalam ayat,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)

Pengertian Jilbab Menurut Madzhab Syafi’i

Jika kita telusuri penjelasan dari Imam Nawawi -ulama besar Syafi’iyah-, kita akan mendapat titik terang manakah yang dimaksud jilbab.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Disebutkan dalam Al Bayan, jilbab adalah khimar (penutup kepala) dan izar (kain penutup badan). Al Kholil berkata, “Jilbab itu lebih lebar dari khimar dan lebih tipis dari izar.” Al Mahamili berkata, “Jilbab adalah izar (kain penutup badan) itu sendiri.” Penulis kitab Al Matholi’ berkata bahwa An Nadhr bin Syamil berkata, “Jilbab adalah kain yang lebih pendek dari khimar, yang lebih lebar dan menutup kepala wanita.” Penulis Matholi’ mengatakan, ulama lainnya berkata bahwa jilbab adalah kain yang lebar selain rida’ (mantel) yang di mana kain tersebut menutupi punggung dan dada wanita. Ibnul A’robi juga mengatakan bahwa jilbab adalah izar (kain penutup badan). Ada pula ulama yang mengatakan, “Jilbab adalah baju panjang.”

Ulama lainnya berkata bahwa jilbab adalah baju panjang yang menyelimuti baju bagian dalam wanita. Pendapat terakhir inilah yang dimaksud oleh Imam Syafi’i, Imam Asy Syairozi dan ulama Syafi’iyah lainnya. Itulah yang dimaksud dengan izar oleh para ulama yang diungkapkan di atas seperti dari Al Mahamili dan lainnya. Izar yang dimaksud di sini bukanlah kain sarung.” (Al Majmu’, 3: 125).

Kemudian Imam Nawawi membawakan dalil mengenai masalah penutup aurat wanita di atas dengan membawakan hadits dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha. Ia bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai apakah boleh wanita shalat dengan dengan gamis (yang menutupi badan hingga kaki) dan khimar (penutup kepala), ia tidak memakai izar (sarung). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

إِذَا كَانَ الدِّرْعُ سَابِغًا يُغَطِّى ظُهُورَ قَدَمَيْهَا

“Boleh jika gamis tersebut menutupi punggung telapak kakinya.” (HR. Abu Daud no. 640. Imam Nawawi mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid). Imam Nawawi menyatakan bahwa kebanyakan perowi meriwayatkan dari Ummu Salamah secara mauquf, berarti hanya perkataan Ummu Salamah saja. Al Hakim mengatakan bahwa hadits tersebut shahih sesuai syarat Al Bukhari.

Ada hadits pula dari Ibnu ‘Umar.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ قَالَ « يُرْخِينَ شِبْرًا ». فَقَالَتْ إِذًا تَنْكَشِفَ أَقْدَامُهُنَّ. قَالَ فَيُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لاَ يَزِدْنَ عَلَيْهِ

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang menjulurkan pakaiannya (di bawah mata kaki) karena sombong, maka Allah pasti tidak akan melihat kepadanya pada hari kiamat.” Ummu Salamah lantas berkata, “Lalu bagaimana para wanita menyikapi ujung pakaiannya?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Hendaklah mereka menjulurkannya sejengkal.” Ummu Salamah berkata lagi, “Kalau begitu, telangkap kakinya masih tersingkap.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Turunkan satu hasta, jangan lebih dari itu.“(HR. Tirmidzi no. 1731 dan An Nasai no. 5338. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih). Lihat Al Majmu’, 3: 124.

Jilbab Bukan Hanya Penutup Kepala

Ada yang memahami bahwa jilbab hanyalah penutup kepala. Dari penjabaran yang kita lihat di awal dari ulama Syafi’iyah dapat disimpulkan bahwa jilbab lebih daripada sekedar penutup kepala. Adapun penutup kepala saja biasa disebut khimar. Sedangkan jilbab yang melapisi luar tubuh. Deskripsinya sebagaimana gambar Muslimah.Or.Id yang kami berikan di bawah ini.

Perbedaan khimar dan jilbab
Bagaimanakah jilbab yang sempurna?
Bagaimanakah jilbab yang sempurna?

Berjilbab Lebar, Menggunakan Gamis atau Rok

Konsekuensi dari jilbab adalah menutup aurat seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Berarti bagian dada, lengan tangan, dan kaki bukan hanya dibalut dengan baju dan celana. Namun jilbab yang sempurna adalah bersifat longgar (tidak ketat). Sehingga yang lebih tepat adalah dengan menggunakan jilbab lebar ditambah dengan bergamis atau mengenakan rok. Jilbab lebar yang dimaksud, panjangnya hingga paha sehingga membuat lengan tangan tidak dibalut yang membentuk lekuk tubuh. Jika lekuk tubuh nampak, maka berarti aurat tidaklah tertutup dengan sempurna.

Wallahu a’lam, hanya Allah yang memberi taufik.

Membuka Hijab Di Hadapan Wanita Kafir

Membuka Hijab Di Hadapan Wanita Kafir

Bagaimana jika ada seorang wanita muslimah menampakkan rambutnya atau membuka jilbabnya di hadapan wanita kafir?

Coba renungkan lagi ayat berikut,

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ

Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.” (QS. An-Nur: 31).

Pada kalimat “أَوْ نِسَائِهِنَّ” yang dimaksudkan di sini adalah boleh menampakkan perhiasan wanita di hadapan wanita muslimah, bukan di hadapan wanita kafir (ahlu dzimmah).

Mujahid rahimahullah mengatakan bahwa “nisaihinna” dalam ayat yang dimaksud adalah wanita muslimah, bukan wanita kafir.

Mujahid mengatakan janganlah sampai wanita muslimah khimarnya di hadapan wanita musyrik. Karena dalam ayat hanya disebut nisaihinna ‘wanita mereka’ artinya wanita musyrik bukanlah bagian dari wanita beriman. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5: 529)

Dalam Ensiklopedia Fikih disebutkan, mayoritas fuqaha yaitu ulama Hanafiyah, Malikiyah dan pendapat yang paling kuat dalam madzhab Syafi’i menyatakan bahwa aurat wanita muslimah di hadapan wanita kafir yang bukan mahram adalah seperti aurat laki-laki di hadapan wanita yang bukan mahramnya. Oleh karena itu tidak boleh memandang pada badan wanita tersebut. Wanita muslimah tidak boleh menampakkan badannya di hadapan wanita kafir tadi. Alasannya adalah ayat yang dibawakan di atas. (Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 31: 47)

Kesimpulannya, membuka hijab di hadapan wanita kafir tidak dibolehkan.

Semoga bermanfaat.

Referensi:

Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Awqaf dan Urusan Islamiyah Kuwait.

Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Tahqiq: Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.

URGENSI WAKTU DAN MUHASABAH


URGENSI WAKTU DAN MUHASABAH

Al-Waqtu Huwa al-Hayâh

         Ada sebuah kata hikmah yang singkat namun sarat terhadap makna hidup yang sangat luas dan mendalam, yang terdiri dari 3 (tiga) suku kata arab, namun sangat representative untuk menggambarkan arti pentingnya waktu bagi kehidupan manusia, yaitu ungkapan 'al-waqtu huwa al-hayâh (waktu adalah kehidupan)'. Sekali lagi, yaitu 'waktu adalah kehidupan.'

         Yang dimaksud dengan kehidupan adalah, waktu yang dilalui manusia saat ia dilahirkan hingga ia wafat. Dengan definisi kehidupan seperti di atas, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa, seseorang yang membiarkan waktunya berlalu sia-sia, dan lenyap begitu saja, sama artinya ia –dengan sengaja atau tidak sengaja- telah melenyapkan sisa-sisa masa kehidupannya. Al-Hasan al-Bashri berkata,

يَا ابْنَ آدَم، إنَّمَا أنْتَ أيَّامٌ !، فَإذَا ذَهَبَ يَوْمٌ ذَهَبَ بَعْضُكَ

Wahai Bani Adam (manusia), sesungguhnya anda hanyalah “kumpulan hari-hari”, maka jika hari telah berlalu berarti telah berlalu sebagian dirimu.”

 

         Sekali bahwa ketika kita menyia-nyiakan dan membuang waktu kita  tanpa hal yang berarti untuk agama dan kemaslahatan umat, maka ketika itu juga sesungguhnya kita telah membunuh diri kita sendiri. Betapa waktu itu sangat berharga dan jangan biarkan ia berlalu begitu saja.

 

Allah Subhanahu wa Ta'ala  Bersumpah dengan Waktu dan Bagiannya

         Begitu pentingnya waktu bagi kehidupan manusia, sampai-sampai Allah Subhanahu wa Ta'ala bersumpah di banyak tempat dalam al-Qur`an al-Karim, dengan waktu dan bagian-bagiannya, seperti firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَالْفَجْرِ، وَالضُّحَى، وَاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ، وَالْعَصْرِ

Demi waktu fajar, Demi waktu Dhuha, Demi Malam, Demi Siang, Demi Waktu

 

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala, jika ia bersumpah dengan sesuatu, maka dengan sumpahnya itu, dengan sesuatu tersebut dimaksudkan untuk memalingkan atau mengalihkan pandangan kita kepada arti pentingnya hal tersebut sampai kita bertafakkur (berfikir) di dalam setiap  bagian waktu seluruhnya, ketika fajar, ketika dhuha, ketika malam, dan ketika siang dll.

Seperti Ulil Albab di dalam firman-Nya :

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لأَيَاتٍ لأُوْلِي اْلأَلْبَابِ. الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ رَبَّنَا مَاخَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ . سورة آل عمران : 191

Sesungguhnya dalam penciptaan langit langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (QS. 3:190); (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):"Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. 3:191)

 

Intropeksi Diri

          Maka sudah selazimnya menjadi kewajiban bagi seorang muslim terhadap dirinya untuk melakukan muhâsabah an-nafsi 'intropeksi diri', yaitu  menghitung-hitung dirinya atas tahun dan hari-hari yang telah ia lalui. Apa yang telah ia perbuat semasa itu, dan keuntungan apa yang peroleh, kerugian apa yang ia derita.

Seperti apa yang dilakukan oleh seorang bisnisman yang menginginkan kesuksesan dengan modalnya pada setiap tahunnya, ia menghitung-hitung kembali perdagangannya, berapa modal yang telah ia keluarkan, berapa pemasukannya, di mana ia mengalami kerugian dan apa masalahnya, dan di mana keuntungannya, berapa besar keuntungannya dari pada kerugiannya, ketika kerugiannya lebih besar dari pada keuntungannya maka ia menjadi sangat menyesal sekali dan mengalami kesedihan yang luar biasa, dan sebaiknya ketika keuntungannya lebih besar dari pada kerugiannya  maka ia merasa senang dan bergembira sekali, untuk selanjutnya  ia melakukan kalkulasi bisnisnya kembali, memenag dan membuat schedule untuk tahun berikutnya.

Yang demikian itu pada amrun dunyawi (urusan duniawi), begitu ihtimaam (concern)nya  dan sangat telitinya ia dalam urusan dunia ini. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala  berfirman:

قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلُُ وَاْلأَخِرَةُ خَيْرُُ لِّمَنِ اتَّقَى وَلاَ تُظْلَمُونَ فَتِيلاً { سورة النساء:  77 }

Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa dan anda tidak akan dianiaya sedikitpun.”(QS. An-Nisaa:77)

 

         Nabi Musa berkata di dalam al-Qur`an :

يَاقَوْمِ إِنَّمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا مَتَاعُُ وَإِنَّ اْلأَخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ { سورة المؤمن : 39}

“Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan sementara, sesungguhnya akhirat itulah kesenangan yang kekal.” (QS.40 : 39)

 

         Allah Subhanahu wa Ta'ala  berfirman :

أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِككُّمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ {سورة النساء : 78}

Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, (QS. 4:78)

 

 

Karena itu  muhasabatunnafsi merupakan suatu keharusan, seandainya tidak sanggup setiap hari untuk instropeksi/menghitungkan dirinya hendaklah dilakukan pada setiap pekan, maka kalaupun setiap pekan ia masih juga tak dapat melakukannya, maka hendaklah setiap bulan, dan kalau tidak bisa juga maka hendaklah ia melakukan instropeksi diri pada setiap tahun.       

 

Ulama dan Waktu

         Para salafus soleh meninggalkan banyak pelajaran berharga dalam menghargai waktu. Imam Ibnu Jarir ath-Thabari (223H-310H) sepanjang hidupnya tercatat telah mengumpulkan 358 ribu halaman dari berbagai karangannya. Jika kita perkirakan masa kanak-kanak beliau sebelum baligh 14 tahun, maka dapat disimpulkan beliau menulis 14 halaman setiap harinya. Begitu perhatiannya beliau dengan waktu, sampai-sampai ketika + sejam sebelum kematiannya beliau masih menyempatkan diri menulis suatu do`a yang baru ia dengar dari Ja`far bin Muhammad. Begitu pula dengan Imam Ibnu al-Qayyim yang tidak rela kehilangan waktunya karena safar (suatu perjalanan), sehingga selama safarnya beliau mengisinya dengan menulis sehingga menghasilkan karya Zaadul Ma`aad. Imam Nawawi yang tidur dengan bersandarkan sebuah buku yang ditegakkan pada dagunya, begitu buku itu terjatuh maka beliau terjaga dan kembali menggoreskan tintanya. Majduddin Abu al-Barakat `Abdussalam, kakek dari  Imam Ibnu Taimiyah, tiap kali masuk ke kakus, beliau memerintahkan anaknya (orang tua Imam Ibnu Taimiyah) untuk membacakan suatu kitab dengan suara keras, hingga terdengar olehnya. Tak aneh jika sikap sang kakek ini tertular kepada cucunya. Suatu ketika Imam Ibnu Taimiyah jatuh sakit, dokter menyarankan agar beliau untuk sementara waktu menghentikan dulu kegiatan belajar mengajarnya karena hal itu dikhawatirkan dapat memperparah kondisinya. Berkata Imam Ibnu Taimiyah kepada dokternya, "bukankah jika jiwa yang bahagia dan gembira dapat memperkuat daya tahan tubuh", sang dokter membenarkannya. "Maka sesungguhnya jiwaku merasa tenang jika berinteraksi dengan ilmu, dan tubuhku terasa kuat dan hanya dengan itu saya dapat beristirahat."

 

Optimalkan Amal

         Waktu hidup manusia di dunia adalah umurnya, dan umur manusia merupakan rahasia Allah Subhanahu wa Ta'ala  Kualitas umur seseorang sangat menentukan posisinya di alam kehidupan berikutnya. Jika dari waktunya diperuntukkan hanya karena Allah (lillah) maka kematiannya adalah baik baginya. Namun sebaliknya jika waktu dan umurnya dihabiskan untuk menuruti kesenangan nafsu dan dan ambisi syahwat hewaninya maka kematiannya merupakan petaka besar baginya. Al-Hasan al-Bashri berkata,

 

يَا ابْنَ آدَم، إنَّمَا أنْتَ أيَّامٌ !، فَإذَا ذَهَبَ يَوْمٌ ذَهَبَ بَعْضُكَ

Wahai Bani Adam (manusia), sesungguhnya anda hanyalah “kumpulan hari-hari”, maka jika hari telah berlalu berarti telah berlalu sebagian dirimu.”

Ibnu Mas`ud Radhiyallahu 'Anhu (salah seorang sahabat besar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa sallam) berkata:

مَا نَدِمْتُ عَلَى شَيْءٍ نَدَمِي عَلَى يَوْمٍ غَرَبَتْ شَمْسُهُ، نَقَصَ فِيْهِ أجَلِي، وَلَمْ يَزِد فِيْهِ عَمَلِي

"Tidak ada yang lebih aku sesali, kecuali bila matahari telah terbenam maka berkuranglah masa ajalku, namun tidak bertambah sedikitpun amalanku."

 

Berkata Khalifah Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah,

إنَّ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ يَعْمَلاَنِ فِيْكَ، فَاعْمَلْ فِيْهِمَا

"Sesungguhnya malam dan siang terus bekerja dalam dirimu, maka bekarjalah di dalam siang dan malammu."

        

        Bekerjalah pada siang dan malammu, janganlah mengakhirkan pekerjaan siang untuk dikerjakan di malam harinya, dan janganlah mengakhirkan pekerjaan malam ke siang harinya. Janganlah pekerjaan hari ini di akhirkankan hingga esok harinya dan janganlah pekerjaan esok karena malas diakhirkan hingga lusanya. Jangan katakan, "Nanti akan kuamalkan, sebentar lagi akan kukerjakan." Karena setiap manusia akan ditanya pada hari kiamat, mengenai umurnya untuk apa ia habiskan, tentang masa mudanya untuk apa ia gunakan, tentang ilmunya sudahkah ia amalkan, dan tentang hartanya, dari mana dia peroleh dan untuk apa ia belanjakan ?. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi wa sallam:

لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلاَهُ (رواه الترمذي وقَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ )

Tidak akan bergeser kedua kaki manusia pada hari Kimat hingga (ia) ditanya tentang:

  1. tentang umurnya, untuk apa ia habiskan ?
  2. tentang ilmunya, sudahkan ia amalkan ?
  3. tentang hartanya, dari mana dia peroleh dan untuk apa ia belanjakan ?
  4. tentang jasadnya, untuk apa ia gunakan ?

      (HR. At-Tirmidzi)

 

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَالْعَصْرِ . إِنَّ الإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ . إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ . سورة العصر

Demi masa. (QS. 103:1) Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, (QS. 103:2) kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran. (QS. 103:3)

 

         Sungguh terbukti kebenaran ucapan Imam Syafi`i mengenai firman Allah Subhanahu wa Ta'ala  :

لَوْ لَمْ يُنْزَلْ غَيْر هَذِهِ السُّوْرَةُ لَكَفَتِ النَّاس

Bahwa seandainya (al-Qur`an) tidak diturunkan kecuali (hanya) surat (al-Ashr) ini, maka hal itu sudah cukup memadai bagi manusia sekalian.

 

Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan taufik, hidayah dan keberkahan-Nya dalam hidup dan umur kita. Amiin.

ANTARA AJAL DAN RIZKI


ANTARA AJAL DAN RIZKI 

Segala puji hanya bagi Allah, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Rasulullah, dan aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya selain Allah yang Maha Esa dan tiada sekutu bagiNya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya.. Amma Ba’du.

         Dari Abdullah bin Mas’ud ra berkata, Rasulullah saw memberitahukan kepada kita dan beliau adalah orang yang jujur lagi terpercaya: Sesungguhnya salah seorang di antara kalian dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi segumpal darah seperti itu, kemudian menjadi segumpal daging dalam masa seperti itu kemudian diutus kepadanya malaikat lalu dia meniupkan ruh padanya dan diperintahkan baginya untuk menulis empat perkara: Diperintahkan baginya untuk menulis rizkinya, ajal dan amalnya serta apakah dia bahagia atau sengsara.[1]

Di dalam hadits ini disebutkan empat perkara gaib yang wajib diimani, diyakini dengan keyakinan yang kuat dan dibenarkan, dan penjelasanku pada tulisan ini terbatas pada dua bagian saja, yaitu:  masalah ajal dan rizki.

Nash-nash di dalam Al-Qur’an dan Sunnah menjelaskan bahwa Allah telah menetapkan masalah ajal dan rizki, dia tidak akan bertambah disebabkan oleh perhatian orang yang bersungguh-sungguh padanya dan tidak pula akan terhalang oleh orang yang benci.

Dari Abdullah bin Amru Bin Ash abhwa Nabi saw bersabda: Allah telah menetapkan takdir setiap makhluk pada masa lima puluh ribu tahun sebelum Dia menciptakan seluruh langit dan bumi, dan ArsyNya di atas air”.[2]

Dan swt telah menegaskan tentang hakekat ini pada beberapa ayat di dalam Al-Qur’an. Allah swt berfirman:

وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلاَّ بِإِذْنِ الله كِتَابًا مُّؤَجَّلاً وَمَن يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَن يُرِدْ ثَوَابَ الآخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ

Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin  Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang  bersyukur. QS. Ali Imron: 145

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاء أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ

Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya. Maksudnya: tiap-tiap bangsa mempunyai batas waktu kejayaan atau keruntuhan. QS. Al-A’raf: 34

Sebagian orang-orang munafiq menyangka bahwa jika mereka tidak ikut serta berjihad di jalan Allah dan pengecut dalam menghadapi musuh akan menjadi penghalang antara dirinya dengan kematian, maka Allah membantah prasangka tersebut dengan firmanNya:

ثُمَّ يَقُولُونَ هَل لَّنَا مِنَ الأَمْرِ مِن شَيْءٍ قُلْ إِنَّ الأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ يُخْفُونَ فِي أَنفُسِهِم مَّا لاَ يُبْدُونَ لَكَ يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ مَّا قُتِلْنَا هَاهُنَا قُل لَّوْ كُنتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَى مَضَاجِعِهِمْ وَلِيَبْتَلِيَ اللّهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ وَلِيُمَحَّصَ مَا فِي قُلُوبِكُمْ وَاللّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ

Mereka berkata: "Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?" Katakanlah: "Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tanganAllah". Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata: "Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini". Katakanlah: "Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu ke luar (juga) ke tempat mereka terbunuh". Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati. QS. Ali Imron: 154

Oleh karena itulah, pada realitanya membuktikan bahwa orang-orang yang terbunuh karena lari dari peperangan lebih banyak daripada orang-orang yang terbunuh karena berani menghadapi peperangan. Seorang penyair berkata:

Aku mundur guna berlomba mencari hidup namun tidak ku dapatkan

Bagi diriku kehidupan seperti kehidupan maju menghadapi tantangan

Perkara rizki sama seperti perkara ajal, rizki apa yang dituliskan bagi seseorang akan pasti didiapatkannya. Allah swt berfirman:

وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ

Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lohmahfuz). QS. Hud: 6

Allah swt berfirman:

وَفِي السَّمَاء رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ  فَوَرَبِّ السَّمَاء وَالْأَرْضِ إِنَّهُ لَحَقٌّ مِّثْلَ مَا أَنَّكُمْ تَنطِقُونَ

Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu. Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikanitu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan. QS. Al-Dzaryat: 22-23

Dari Abi Umamah ra bahwa Nabi saw bersabda: Sesungguhnya ruh kudus telah meniupkan di dalam jiwaku bahwa satu jiwa tidak akan mati sehingga dia mengambil rizkinya secara sempurna dan menyempurnakan ajal yang telah ditentukan baginya, takulah kepada Allah, bertindak baiklah dalam meminta, dan janganlah keterlambatan datangnya rizki mendorong sesorang untuk menuntutnya dengan cara bermaksiat, sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah tidak akan didapatkan kecuali dengan ketaatan kepada Allah”.[3]

Maka rizki apa yang telah ditetapkan bagi seorang hamba pasti didapatkannya sebelum kematianya. Dari Jabir ra bahwa Nabi saw bersabda: Seandainya manusia berlari menjauh dari rizkinya sama seperti dirinya menjauhi berlari menjauhi keamtian maka dia pasti medapatkan rizkinya sebgaimana ajal menjemputnya”.[4]

Renungkannah hadits ini, menjelaskan tentang adab erbdo’a di mana dia menegaskan tentang hakekat ini.

Dari Ummu Habibah ra berkata: Ya Allah berikanlah kenikmatan bagi dengan suamiku Rasulullah saw, dan dengan bapakku Abi Supyan, dan dengan saudaraku  Mu’awiyah. Maka Rasulullah saw bersabda kepadanya: Sungguh dirimu telah meminta kepada Allah suatu ajal yang telah ditetapkan, jejak-jejak yang telah ditapaki dan rizki yang telah dibagi-bagi, janganlah salah seorang di antara kalian tergesa-gesa denganya sebelum waktunya tiba, dan jangan pulah berharap mengundurkannya setelah datang, dan seandainya engkau meminta kepada Allah agar terjaga dari api neraka dan azab kubur maka hal itu lebih baik”.[5]

Dari penjelasan di atas mengetengahkan dua hal:

Pertama: Mngimani bahwa ajal dan rizki telah terbagi dan diketahui, tidak akan didapatkan karena usaha orang yang bersungguh-sungguh dan tidak menahannya kebencian orang yang benci.

Kedua: Hal ini bukan berarati meniggalkan segala sebab-sebab yang telah disyari’atkan oleh Allah. Allah swt berfirman:

وَأَنفِقُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَلاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوَاْ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. QS. Al-baqarah: 195

Ketiga: Hadits Umamah di atas mengisyaratkan dua perkara:

a-Seorang hamba harus berusaha mencari rizki yang halal, dan menjauhi hal yang haram dan usaha-usaha yang mengarah kepadanya.

b-Tidak menuntut rizikinya dengan motifasi tamak dan rakus, hendaklah dia menyadarai hadits Rasulullah saw: Barangsiapa yang menjadikan akherat sebagai tujuannnya maka Allah akan memberikan kekayaan di dalam hatinya, dan Allah akan memberikan kekuatan untuknya dan dunia akan mendatanginya sekalipun dengan terpaksa, dan barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai cita-citanya, maka Allah akan menjadikan kemiskinannya di antara kedua matanya dan akan mencerai-beraikan kekuatannya, serta dunia tidak datang kepadanya kecuali apa yang telah ditetapkan baginya”.[6]

Keempat: Sebab-sebab yang bisa mendatangkan rizki dan menolak hal-hal yang dibenci sangat banyak, dan sebagaiannya dijelaskan di dalam pembahasan ini.

A-Bertawakkal kepada Allah. Dari Umar Ibnul khattab ra bahwa Nabi saw bersabda: Seandinya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal maka dia pasti memberikan rizki kepada kalian sama Dia telah memberi rizki kepada seekor burung yang pergi pada waktu pagi dengan perut yang kosong dan pulang waktu sorenya dengan perut yang kenyang”.[7]

B-Istiqomah di dalam sayri’at Allah Azza Wa Jalla. Allah swt berfirman:

وَأَلَّوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُم مَّاء غَدَقًا

Dan bahwasanya: jika mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak”. QS. Al-Jin: 16

Allh swt berfirman:

وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا  وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. (3) Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. QS. Al-Thalaq: 2-3.

Allah swt berfirman:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاء وَالأَرْضِ

Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, QS. Al-A’raf: 96

C-Selalu beristigfar dan bertaubat. Allah swt berfirman:

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا يُرْسِلِ السَّمَاء عَلَيْكُم مِّدْرَارًا وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَارًا

maka aku katakan kepada mereka: "Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, (11) niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, (12)dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai. QS. Nuh: 10-11

D- Bersilaturrahmi. Dari Anas bin Malik ra bahwa Nabi saw bersabda: Barangsiapa yang suka untuk diluaskan dalam rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaklah dia  menyambung silaturrahmi”.[8]

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, semoga shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad dan kepada keluarga, shahabat serta seluruh pengikut beliau.

 



[1] Shahih Bukhari: 4/396 no: 7454 dan Muslim: 4/2036 no: 2631

[2] Shahih Muslim: 4/2044 no: 2652

[3] Hilyatul Auliya’: 10/27 dan dishahihkan oleh Albani di dalam shahihul jami’is shagir: 1/420 no: 2085

[4] Hilyatul Auliya’: 7/90dan dishahihkan oleh Albani di dalam Asilsilah As-Shahihah: 1/672 no: 752

[5] Shahih Muslim: 4/2051 no: 2663

[6] Sunan Turmudzi: 4/642 no: 2465 dan dishahihkan oleh Albani di dalam shahih Al-jami’ Al-Sagir: 2/1111 no: 6516

[7] Musnad Imam Ahmad: 1/30

[8] Shahih Muslim: 4/1982 no: 2557

30 Renungan SeputarHari 'Asyura


30 Renungan Seputar

Hari 'Asyura

Segala puji bagi Allah semata. Shalawat dan salam semoga tecurah atas Nabi pilihan, Muhammad.

Adapun selanjutnya:

Pada hari-hari ini umat Islam melewati kejadian besar yang berelevansi (berkaitan) dengan umat terdahulu yaitu hari Asyuro. Dengan senang hati dalam kesempatan singkat ini akan saya utarakan perkara-perkara yang saya pandangan penting, yang saya ambil dari sunnah Nabi r terkait hari Asyuro ini.

1.    Hari Asyuro adalah kejadian bersejarah sepanjang perjalanan ummat manusia. Yang porosnya adalah peperangan antara keimanan dan kekafiran. Karenanya, ummat jahiliahpun memuasainya. Hal ini sebagaimana yang diberitakan oleh Aisyah –semoga Allah meridhoinya- bahwa bangsa Quraisy dahulu memuasai hari Asyuro di masa jahiliah."

2.    Hari Asyuro mengikat sebagian ahli iman dengan sebagian yang lain. Sekalipun berbeda bangsa, bahasa dan zaman. Mulanya adalah ikatan iman antara Nabi Musa dan orang-orang beriman yang ada bersamanya, kemudian meluas kepada siapa saja yang menyertai mereka dalam keimanan itu.

3.    Mendidik hati-hati kaum mukminin akan kecintaan dan kegelisaahan yang sama diantara mereka. Dengan memuasainya, manusia menjadi ingat kejadian bersejarah yang terjadi pada saudara-saudaranya sekeyakinan bersama Musa –alaihi salam- dahulu, bagaimana pelarian dan penderitaan mereka akibat penyiksaan yang diperbuat ahli kufur.

4.     Hari Asyuro menunjukkan bahwa sebagian nabi memiliki keutamaan yang lebih dibanding sebagian yang lain, sebagaimana yang disebutkan di dalam riwayat:

أَنَا أَوْلَى بِمُوْسَى مِنْكُمْ

"Aku lebih berhak (meneladani) Musa daripada kalian."

Loyalitas ini karena kesamaan keyakinan dan risalah (penugasan).

5.    Puasa Asyuro menunjukkan bahwa umat ini lebih berhak terhadap nabi-nabi dari umat terdahulu daripada kaumnya sendiri yang mendustakan mereka. Hal ini ditunjukkan oleh riwayat hadits Nabi di dalam as Shahihain yang mengatakan:

أَنْتُمْ أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْهُمْ

"Kalian lebih berhak kepada Musa daripada mereka."

Ini adalah diantara kelebihan ummat Muhammad di sisi Allah. Mereka nantinya akan menjadi saksi atas para nabi bahwa nabi-nabi itu telah penyampaikan agama (yang diembankan) pada hari kiamat.

6.    Hari Asyuro mendidik muslim atas persaudaraan di atas agama semata, karena itulah Nabi r bersabda, "Kalian lebih berhak terhadap Musa dari pada mereka."

Yang demikian tidak lain karena ikatan agama di antara kita; jika tidak, tentu Bani Israil lebih dekat kepada Musa –alaihi salam- dari sisi nasab (keturunan).

7.    Hari Asyuro mengingatkan penduduk bumi secara umum akan pertolongan Allah kepada para walinya. Hal ini memperbaharui dalam hati pencarian akan pertolongan Allah dan sebab-sebabnya disetiap tahun.

8.    Hari Asyuro mengingatkan penduduk bumi secara umum akan kekalahan yang Allah berikan kepada musuh-musuh-Nya. Hal ini memperbaharui dalam hati harapan dan membangkitkan optimisme.

9.    Hari Asyuro adalah bukti atas beragamnya pertolongan Allah kepada kaum muslimin. Bentuk pertolongan Allah tidak musti kekalahan musuh (dalam perang) dan perolehan ghanimah (harta rampasan perang). Tetapi terkadang pertolongan bentuknya kebinasaan musuh dan menyelamatkan kaum muslimin dari keburukan musuhnya, sebagaimana yang terjadi pada Musa –alaihi salam- dan sebagaimana yang terjadi pada Nabi r pada perang Khandak.

10.    Hari Asyuro menekankan lagi kewajiban menyelisihi petunjuk orang-orang musyrikin, hingga dalam urusan ibadah. Penyelisihan itu ditunjukkan dengan:

  1. Ketika dikatakan kepada Nabi r: "Sesungguhnya kaum Yahudi dan Nasrani menjadikan Asyuro sebagai hari raya!" Nabi mengatakan, "Berpuasalah kalian pada hari itu."[1]
  2. Nabi r memerintahkan untuk memuasai sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan dalam Musnad Ahmad, dan disitu ada pembicaraan.

11.     Siapa yang merenungkan hadits-hadits hari Asyuro akan jelas baginya bahwa asal penyelisihan kaum muslimin terhadap kaum musyrikin adalah sesuatu yang telah menghujam pada diri para sahabat Nabi. Hal itu dibuktikan bahwa ketika mereka mengetahui puasa ahlulkitab bersamaan dengan puasa mereka, serta-merta mereka bertanya kepada Rasulullah r dengan mengatakan: "Sesungguhnya kaum Yahudi dan Nasrani memuasai hari ini!" Seolah mereka ingin mengatakan: "Wahai Rasulullah, Engkau mengajarkan kami menyelisihi kaum Yahudi dan Nasrani, sekarang mereka memuasainya, maka bagaimana kami menyelisihinya?"

12.    Hari Asyuro adalah bukti bahwa menjadikan suatu moment sebagai perayaan adalah kebiasaan sepesial kaum Yahudi sejak dahulu. Karenanya mereka menjadikan hari Asyuro sebagai hari raya, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa –semoga Allah meridoinya-, dia berkata: "Dahulu penduduk Khaibar (Yahudi) memuasai Asyuro dan menjadikannya hari raya. Pada hari itu para wanita mengenakan perhiasan-perhiasan dan lencana mereka." [Hadits riwayat Muslim]

Adapun ummat ini, telah Allah tetapkan bagi mereka dua 'Id (dua hari raya, Idul Fitri dan Idulu Adha) tanpa ada yang ketiga.

13.    Hari Asyuro adalah bukti dualisme dalam kehidupan kaum Yahudi dan Nasrani, dimana mereka konsisten memuasai Asyuro padahal tidak diwajibkan dalam agama mereka. Mereka hanyalah meniru Nabi Musa –alaihi salam-, sementara perkara yang paling penting yang berkaitan dengan pokok agama dan peribadatan kepada Allah mereka tinggalkan yaitu mengikuti Rasulullah r.

14.    Hari Asyuro adalah bukti bahwa kewajiban dalam syari'at tidak dapat disebandingkan keutamaan dan kedudukannya (dengan ibadah lainnya). Oleh karenanya, ketika Allah mensyari'atkan (mewajibkan) ummat ini untuk berpuasa Ramadhan puasa Asyuru menjadi perkara yang dikembalikan kepada kehendak. Karenanya Nabi r bersabda di dalam hadits Qudsi:

وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيءٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ

"Tidaklah seorang hamba mendekat kepadaku dengan sesuatu yang lebih aku cintai daripada apa yang telah aku wajibkan atasnya" [Mutafak alaih]

15.    Hari Asyuro adalah bukti bahwa ibadah nawafil (sunnah) sebagiannya lebih tinggi derajatnya  dibanding sebagian yang lain. Penjelasannya: bahwa orang yang puasa Arafah dihapus dosanya setahun sebelumnya dan setahun setelahnya. Sedangkan puasa Asyuro hanya dihapus dosanya setahun sebelumnya. Orang beriman senantiasa mengupayakan yang lebih utama dan sempurna.

16.    Puasa Asyuro adalah bukti akan kemudahan agama. Hal ini sebagaiamana sabda Nabi r,

فَمَنْ شَاءَ أَنْ يَصُوْمَهُ فَليَصُمْهُ، وَمَنْ شَاءَ أَنْ يَتْرُكَ فَليَترُكْهُ

"Siapa berkehendak memuasainya silahkan memuasainya dan siapa yang berkehendak meninggalkannya silahkan meninggalkannya." [Mutafak alaih]

17.    Puasa Asyuro adalah bukti atas keagungan Allah I. Dimana Allah memberi balasan yang besar atas amal yang sedikit. Dosa (kecil) setahun penuh dihapuskan hanya dengan berpuasa satu hari.

18.    Puasa Asyuro adalah bukti adanya naskh (penghapusan/pergatian hukum) dalam syari'at ummat Muhammad r sebelum beliau wafat. Dimana pada mulanya puasa Asyuro diwajibkan kemudian diganti menjadi istihbab (disukai).

19.    Penetapan adanya Nask (pergantian hukum) puasa Asyuro atau hukum yang lain adalah bukti hikmah Allah I, dimana Dia menghapus dan menetapkan sehendak-Nya, mencipta dan memilih sekehendak-Nya.

20.    Puasa Asyuro adalah bukti bahwa rasa syukur direalisasikan dengan perbuataan sebagaimana dilakukan juga dengan ucapan hingga pada ummat terdahulu. Nabi Musa –alaihi salam- memuasai hari Asyuro adalah sebagai bentuk syukurnya kepada Allah r. Inilah manhaj (perilaku) para nabi. Sebagaimana juga yang dilakukan oleh Nabi Dawud –alaihi salam- dan ditutup oleh Nabi Muhammad r yang senantiasa melakukan shalat malam. Ketika ditanya tentang shalat malamnya beliau menjawab,

أَفَلاَ أَكُوْنُ عَبْداً شَكُوْراً

"Bukankah sudah semestinya aku menjadi hamba yang bersyukur." [Mutafakun alaihi]

21.    Siapa yang merenungkan hadits-hadits yang ada, jelaslah baginya bahwa orang yang tidak memuasainya tidak diingkari. Dahulu Ibnu Umar tidak memuasainya kecuali jika bertepatan dengan puasa yang biasa dilakukannya. [Riwayat al-Bukhari].

22.    Puasa Asyuro merupakan pendidikan bagi manusia untuk berlomba-lomba dan bersaing dalam kebaikan. Setelah Nabi r menjelaskan keutamaan Asyura, beliau mengembalikannya kepada kehendak pelakunya. Dengan demikian terlihatlah siapa yang berlomba memburu kebaikan dan yang tidak.

23.    Puasa Asyuro mendidik manusia akan adanya perbedaan perbuatan (aktifitas) dengan tanpa mengingkari sebagian yang satu dengan sebagian yang lain, selama perkaranya memang terbuka untuk berbeda. Karenanya dahulu sebagian sahabat memuasainya dan sebagian lagi tidak. Meskipun demikian tidak ada berita yang dinukilkan bahwa mereka saling menyalahkan atau menuduh (yang tidak melakukannya) lemah iman dan lain sebagainya.

24.    Puasa Asyuro adalah bukti bersegera dalam menyambut perintah Allah dan Rasul-Nya. Diriwayatkan dalam as-Shahihain dari hadits Salamah t, bahwa Nabi r mengutus seorang lelaki untuk mengumumkan kepada manusia akan masuknya hari Asyuro, bahwa 'siapa yang sedang makan boleh meneruskan atau menghentikannya lalu berpuasa, dan siapa yang belum makan maka janganlah dia makan.'

Seruan itu disambut oleh para sahabat. Mereka tidak lagi bertanya-tanya atau mendiskusikannya, tetapi bersegera melakukannya. Karena itu wajib bagi seorang muslim dalam lakunya mengejawantahkan perintah-perintah Allah.

25.    Dahulu para sahabat Nabi y mendidik anak-anak mereka yang belum balikh untuk memuasai hari Asyuro, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ar-Robi' binti Ma'udz –semoga Allah meridhoinya-, dia berkata, "Kami memuasainya demikin pula anak-akan kecil kami." [Mutafak Alaihi].

26.    Upaya para sabahat Nabi –semoga Allah meridhoi mereka semua- dalam membiasakan anak-anak kecil mereka untuk berpuasa Asyuro adalah bukti bahwa seyogyanya syi'ar agama ditampakkan di tengah masyarakat, sekalipun kepada mereka yang belum terbebani melakukan kewajiban, agar terdidik untuk peduli dengan agama ini dan pemeluknya.

27.    Pendidikan yang sungguh-sungguh agar kuat bertahan dan bersabar. Karenanya para sahabat Nabi membiasakan anak-anak kecil mereka untuk berpuasa hingga ar-Rabi' binti Ma'udz –semoga Allah meridhoinya- berkata, "Jika salah seorang dari anak-anak yang berpuasa itu menangis karena lapar, kami beri dia mainan yang terbuat dari bulu." [Mutafak alaihi]

28.    Hari Asyuro menunjukkan bahwa berita yang datang dari Ahlulkitab dapat diterima, selama tidak bertentangan dengan syari'at kita. Hal itu ditunjukkan dari: hari Asyuro adalah hari dimana Nabi Musa (bersama pengikutnya) diselamatkan dari tenggelam di lautan, dan itu adalah berita ahlulkitab, meskipun Nabi r bisa jadi diwahyukan akan kebenaran berita itu. Pada yang demikian itu termasuk keadilan walau dengan musuh sekalipun dan itu bukan suatu yang tersembunyi.

29.    Kita lebih berhak terhadap Nabi Musa daripada Ahlulkitab yang mendustakannya dari berbagai sisi:

1)    Kita mepercayainya dan mengimaninya sekalipun belum pernah melihatnya. Berbeda dengan kaumnya yang mendustakannya.

2)    Nabi Musa menyerukan tauhid (pengesaan Allah) sebagaimana yang diseru oleh Nabi kita r. Bahkan tidak berbeda sedikitpun dari sisi ini.

3)    Kita mempersaksikan bahwa Nabi Musa telah menyampaikan agama Allah yang menjadi tanggung jawabnya dan telah menunaikan risalah kerasulannya.

4)    Kita tidak menyakitinya dengan celaan dan tuduhan. Berbeda dengan mereka yang mengatakan bahwa Nabi Musa aadar (berpenyakit kulit atau kelamin).

Firman Allah I:

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qçRqä3s? tûïÏ%©!$%x. (#÷rsŒ#uä 4ÓyqãB çnr&§Žy9sù ª!$# $£JÏB (#qä9$s% 4 tb%x.ur yZÏã «!$# $\Å_ur ÇÏÒÈ  

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa; Maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan." (QS.al-Ahzab:69)

5)    Kita bersaksi bahwa jika Nabi Musa hidup di masa Nabi Muhammad r, tidak ada pilihan baginya selain mengikuti Nabi Muhammad r.

6)    Kita mengimani dengan apa yang dibawa oleh Nabi Musa –alaihi salam- dalam perkara aqidah (keyakinan) sekalipun kita belum pernah membaca atau mengetahuinya.

7)    Kita bersaksi bahwa seluruh ummat Nabi Musa yang tidak mengikuti Nabi Muhammad r, Nabi Musa berlepas diri darinya.

8)    Apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad r dan yang dibawa oleh Nabi Musa –alaihi salam- berasal dari sumber yang sama sebagaimana yang dikatakan oleh An-Najasyi (raja Ethopia).

 

Inilah beberapa faidah dan renungan. Saya meminta kepada Allah semoga menjadikannya bermanfaat, dan senantiasa melindungi kita, menolong agama, al-Quran serta sunah nabi-Nya r.

 

 

 

 



[1] Hari raya adalah hari kegembiraan yang diantaranya diisi dengan makan-makan. Dengan berpuasa berarti telah menyelisihi ahlulkitab.